Quantcast
Channel: Nasirullah Sitam
Viewing all 750 articles
Browse latest View live

Jembatan Bambu di Trekking Mangrove Pantai Congot Kulon Progo

$
0
0
“Karena Hutan Mangrove itu fungsinya banyak; sebagai pencegah abrasi pantai dan juga sebagai tempat tinggal biota laut. Kalian bisa melihat banyak Kepiting, Ikan, ataupun Udang di sini. Itulah sedikit kalimat yang aku ingat kala mendapatkan mata pelajaran Balai Taman Nasional pada mapel Muatan Lokal semasa SMP.”
Pengunjung berselfie di Mangrove Congot, Kulon Progo
Pengunjung berselfie di Mangrove Congot, Kulon Progo
Enaknya bergabung disebuah grup sepeda (Facebook) adalah mengetahui banyak informasi yang dibagikan tiap anggota. Salah satunya sebuah postingan yang akan mengunjungi Mangrove di Pantai Congot, Kulon Progo. Berbagai komentar pun ditulis, aku terus memantau postingan tersebut; pada akhirnya keputusan berangkat ke sana hari Sabtu dengan titik kumpul pertama di Tugu. Paginya aku segera mengayuh sepeda menuju Tugu, di sana menunggu anggota lain yang ikut kumpul di Tugu. Aku, Mas Febri, dan ketiga pesepeda lainnya segera berangkat menuju titik kumpul kedua di Demak Ijo. Di sana sudah ada lima pesepeda lainnya yang menunggu.

Tak hanya di Demak Ijo, teman pesepeda lainnya juga menunggu di area sebelum Sentolo. Rombongan terakhir adalah komunitas tuan rumah (Kulon Progo) yang menjadi marshal sekaligus menentukan rute. Kejutan yang diberikan teman-teman Kulon Progo membuatku antusias, rute tidak melalui jalan raya, namun menyusuri arah rel melintasi daerah Kaligintung, Temon, memasuki Kokap juga dan akhirnya kami sampai ke jalan besar. Jalan ini ternyata sudah di Kabupaten Purworejo. Sekitar 300 - 500 meter dari gapura perbatasan DIY – Jateng. Mengesankan sekali. Apalagi melihat antusias teman-teman pesepeda untuk mengabadikan diri di gapura pembatas kedua kabupaten yang berbeda provinsi.
Rombongan pesepeda menyusuri jalan di Kulon Progo
Rombongan pesepeda menyusuri jalan di Kulon Progo
Sampai di Gapura perbatasan Kulon Progo - Purworejo
Sampai di Gapura perbatasan Kulon Progo - Purworejo
Jembatan Gantung Watukuro
“Kami sengaja lewatkan rute kampung ini agar lebih nyaman, mas. Kalau lewat jalan raya saingannya bus, truk dan kendaraan besar lainnya. Kalau lewat sini memang lebih jauh, tapi tetap teduh dan jalannya lebih sepi,” Terang om Agung (pesepeda dari Kulon Progo).

Kebersamaan berlanjut, usai mengabadikan diri di gapura, kami menyusuri jalan menuju arah pantai Congot. Rute ini sengaja dipilih teman-teman pesepeda Kulon Progo untuk menyenangkan kami. Tak jauh dari gapura pembatas, kami membelokkan arah ke kanan dan memasuki jalan kampung cor dua tapak. Lokasinya ternyata masih kawasan Purworejo. Suasana nyaman dan tenang ini membuatku semakin bersemangat. Tak lama mengikuti jalan, sampailah kami disebuah Jembatan Gantung. Ini Jembatan Gantungnya, wahhhh tahu banget kalau aku suka motret Jembatan Gantung. Aku bergegas menyeberangi jembatan tersebih dulu, kemudian mengabadikan teman-teman yang beriringan menyeberangi jembatan tersebut. Jembatan ini berada di desa Watukuro, Purwodadi, Purworejo. Nama jembatannya adalah Jembatan Gantung Watukuro.

“Jembatan Gantung Watukuro ini lokasinya di Purworejo, mas,” Ujar bapak pesepeda menjawab pertanyaanku.
Jembatan Gantung Watupuro, Purworejo
Jembatan Gantung Watupuro, Purworejo
Jembatan Gantung Watupuro, Purworejo
Trekking Mangrove Pantai Congot
Sebelum melanjutkan ke Mangrove pantai Congot, rombongan berhenti di pasar yang lokasinya tak jauh dari Jembatan arah jalan ke Pantai Congot. Sebagian membeli bekal makan, bahkan ada yang membeli pisang dan dibagi-bagikan. Terima kasih atas pisangnya, pak. Mentari sudah agak terik walau awan menutupi sebagian sinarnya. Kami mengayuh pedal sepeda menuju tujuan pantai Congot. Selang beberapa menit, kami sampai diparkiran pantai Congot, salutnya lagi sudah ada banyak pesepeda yang menunggu kami di sini. Inilah pesepeda, satu postingan digrup menjadi viral dan mereka tak segan-segan menyambut sesama pesepeda yang menuju ke destinasi di daerahnya.

Hutan Mangrove pantai Congot ini sebenarnya sudah dikelola dalam kurun waktu lama. Sekitar enam tahun silam, para penduduk menanami Mangrove di pantai ini. Selain itu salah satu komunitas pesepeda dari Jogja pun pernah baksos di sini beberapa tahun silam. Bahkan, ada mangrove yang ditanam pada tahun 1989an. Informasi ini aku dapatkan dari bapak yang bertugas mengelola Mangrove. Bentangan jembatan bambu membentang tiap sudut mangrove dijadikan titian para pengunjung yang ingin menyusuri kawasan mangrove. Jika di Karimunjawa jalan untuk hutan mangrovenya terbuat dari titian papan, di sini semi permanen dari bambu.
Area Hutan Mangrove di Pantai Congot, Kulon Progo
Area Hutan Mangrove di Pantai Congot, Kulon Progo
Area Hutan Mangrove di Pantai Congot, Kulon Progo
Area Hutan Mangrove di Pantai Congot, Kulon Progo
Satu hal yang harus kita ketahui di sini, berhubung jembatannya terbuat dari bambu; usahakan ketika berhenti di satu titik tak lebih dari 10 orang. Takutnya jembatan tersebut goyang, lebih baik pengunjung berurutan jalan dan jika ingin berhenti harus mencari titik-titik tertentu yang di bawahnya ada sanggahan kayu. Jembatan bambu ini baru selesai dibuat 1.5 bulan lalu, jadi masih sangat kuat. Karena jembatan trekkingnya dari bambu lah banyak pengunjung yang ingin melihat dan mengabadikan diri di sini. Selama aku di sini, sudah ada banyak pengunjung yang datang dan mengabadikan bersama-sama. Di salah satu sudut jembatan ini terdapat sampan, juga ada aktifitas para pemancing. Mereka tak merasa terganggu dengan kedatangan kami.

Karena sudah sampai tujuan, kami (rombongan pesepeda) segera menyebar. Jalur trekking mangrove di pantai Congot tak ditentukan satu jalur, ada semacam tiga jalur. Jalur yang lurus itu menyeberangi sungai, jalur yang ke kiri itu sampai mentok di ujung sekitar 100 meter. Jadi kalian harus putar balik ke titik awal untuk kembali. Jalur yang paling panjang adalah yang belok kiri (dari arah parkiran). Di jalur ini kita bisa mengelilingi sebagian mangrove dan menuju area parkir melalui jalur yang berbeda.
Aku mengabadikan teman-teman yang menapaki tiap jalur jembatan bambu. Suara batang bambu berderit kala kaki kami menginjak batangnya, terlontar guyonan para pesepeda menanggapi suara tersebut. Mereka tertawa membayangkan jika di antara teman-teman ini ada yang terpeleset dan jatuh. Berbagai ragam komentar membuat kami tertawa.

“Paling aku foto dan kumasukkan digrup facebook kalau kamu yang jatuh ke sini,” Seloroh mereka.

Tak hanya mengabadikan teman-teman, aku pun mengabadikan diri sendiri menggunakan Tripod. Selain itu, aku juga mengabadikan dua cewek yang sedang berkunjung ke sini. Oya, aku sudah ijin terlebih dahulu pada kedua cewek ini. Bahkan karena sejalur arahnya, kami pun ngobrol santai dan menyusuri jalur trekking mangrove ini bersama. Mereka berdua adalah Nonny (berjilbab) dan Zetty. Dua pengunjung dari Pengasih.
Menikmati waktu di Hutan Mangrove Pantai Congot
Menikmati waktu di Hutan Mangrove Pantai Congot
Menikmati waktu di Hutan Mangrove Pantai Congot
Menikmati waktu di Hutan Mangrove Pantai Congot
“Katanya ada Goa Mangrovenya di sini,” Celetuk Zetty.

“Kayaknya yang arah sini. Kita cari aja,” Jawabku.

Kami berempat menyusuri Jembatan Bambu sampai mentok. Jalan tersebut mengarahkan kami ke rerimbunan pohon Cemara. Tepat di salah satu dahan pohon Cemara terdapat plang menunjukkan rute menuju Goa Mangrove. Sebuah jalan setapak dan jembatan kecil menyeberangi aliran sungai kecil. Jalan setapak di sini terlihat lebih indah, sisi kiri tumbuhan rindang dan kanan sebuah suangi kecil. Arah jalurnya mengantarkan kami di Goa Mangrove. Jangan berpikiran di sini ada goa ya, Goa Mangrove hanyalah jalur dengan jalan setapak yang diberi pondasi puluhan karung berisi pasir di tengah-tengah tumbuhan Mangrove. Rute trekking di Goa Mangrove ini tidak panjang, kurang dari 100 meter; tapi cukup asyik untuk dilalui.
Ini yang disebut Goa Mangrove di pantai Congot
Ini yang disebut Goa Mangrove di pantai Congot
Ini yang disebut Goa Mangrove di pantai Congot
Berhubung tempatnya sangat rekomendasi untuk diabadikan dua cewek yang kuculik tadi. Mereka aku suruh bergaya layaknya model. Asyikkan dapat model gratisan dan cantik pula. Selang beberapa saat aku pun bergegas mengatur setelan kamera dan memasangnya di Tripod. Kali ini kami berempat foto bareng. Biar ada dokumentasinya.

Oya seperti yang aku bilang tadi diawal, aku mengajak dua pengunjung untuk kupotret. Di sini mereka kubebaskan bergaya seperti apa yang penting kuabadikan. Aku sertakan beberapa hasil membidik dua cewek tersebut di sini. Benar-benar kuucapkan terima kasih untuk dua cewek yang mau aku culik selama di mangrove.
Tetap jaga kebersihan ya, mas :-D
Tetap jaga kebersihan ya, mas :-D
Tetap jaga kebersihan ya, mas :-D
“Nanti aku ditag kalau diupload di Instagram ya, mas,” Pinta keduanya.

Aku mengiyakan seraya mengajaknya kembali menuju parkiran. Tanpa kusadari, seluruh jalur di Mangrove pantai Congot ini sudah kulalui. Mulai dari rute jembatan bambu yang melintang panjang di tepian mangrove sampai pada jalur menuju ke dalam tumbuhan mangrove (Goa Mangrove). Ada beberapa hal yang harus kalian ketahui jika berkunjung ke Hutan Mangrove di Pantai Congot; pesepeda tak dikenai retribusi (terima kasih untuk pengelola yang menggratiskan kami) untuk motor dikenai parkir saja, gunakan lotion untuk menghindari gigitan nyamuk selama di mangrove (khususnya musim tertentu biasanya di area trekking mangrove banyak nyamuk), tetap menjaga kebersihan area mangrove, patuhi tiap peraturan dan berinterasilah dengan warga setempat.
Yakin nggak mau ke Mangrove Pantai Congot?
Yakin nggak mau ke Mangrove Pantai Congot?
Yakin nggak mau ke Mangrove Pantai Congot?
Kunjungan rombongan sepeda ke pantai mangrove ini sangat menyenangkan, aku tak hanya mendapatkan dokumentasi yang banyak, tapi juga mendapatkan informasi yang cukup dari warga setempat. Semoga Mangrove Pantai Congot ini bisa bersolek menjadi lebih baik, dan pengunjung lebih banyak. Tentunya jika keduanya bisa berkembang dengan baik, secara tak langsung perekonomian warga setempat menjadi lebih baik.

Bayar Tiket Masuk Pantai Glagah - Pantai Congot
Tak terasa hari sudah sangat siang, perjalanan lebih dari 50km kami tempuh dalam beberapa jam. 22 pesepeda secara bergantian pamit meninggalkan area Mangrove Pantai Congot. Kami beriringan menyusuri jalan yang dikelilingi pohon kelapa menuju pantai Glagah. Ada beberapa jalan yang dapat mengarahkan kami dari pantai Congot ke Pantai Glagah, teman-teman dari Kulon Progo sudah mencarikan rute yang paling mudah kami susuri. Selang beberapa menit kami sudah sampai di portal pintu masuk pantai Glagah (arah dari pantai Congot).

“Berapa orang, mas?” Tanya salah satu petugas pada rombongan kami.

Kami pun kebingungan, lantas menghitung jumlah pesepeda yang ke ingin menyusuri pantai Glagah.

“22 orang, pak. Bayar ya, pak?” Tanya salah satu rombongan.

“Ya bayar mas. Satu orang 4ribu, berarti bayar 88 ribu, mas.”

Sebenarnya tak jadi masalah sih kami membayar, hanya saja ini kali pertamaku disuruh membayar petugas kala menaiki sepeda. Tak hanya aku, seluruh pesepeda (rombongan kami) pun sedikit kaget, walau tak lama uang sejumlah 88 ribu sudah terkumpul. Sedikit hal yang kupahami; selama aku bersepeda (mungkin juga teman-teman lainnya) jika menuju destinasi wisata alam/pantai hanya dikenai parkir saja. Di sepanjang pantai Selatan, selama bersepeda kami tak pernah dikenai uang masuk; naik ke Kaliurang pun tak dimintai retribusi, di Canting Mas dan Waduk Sermo pun kita gratis, kalau di Kalibiru memang bayar karena memang beda konsep.
Sementara itu di TPR Pantai Glagah...
Sementara itu di TPR Pantai Glagah...
Sementara itu di TPR Pantai Glagah...
“Kita sama-sama menghargai mas, mas masuk ke sini ya bayar,” Terang petugas tersebut.

“Bagaimana kalau kalian cukup bayar 50ribu saja, nanti tiketnya aku kurangi,” Malah petugasnya menawari kami.

“Tidak pak. Bapak tadi bilang kami harus menghargai, kami bayar penuh dan kami minta 22 tiketnya,” Jawab kami tegas.

Menarik memang kalau melihat ini, apalagi waktu aku meminta ijin ingin mengabadikan proses pembayaran teman-teman pesepeda. Salah satu dari bapak tersebut keberatan untuk kuabadikan. Aku pun berkilah apa salahnya aku abadikan, toh ini sebagai bukti kalau kami masuk ke sini bayar, pak. Tiket sudah ditangan, kami melanjutkan perjalanan menyusuri jalan besar. Sebenarnya kami tak ada yang ingin singgah atau memotret di jembatan/penghalang ombak pantai Glagah. Kami hanya lewat jalan tersebut sampai tembus di pintu TPR satunya kemudian berpisah.

Tepat di sudut jalan raya (lampu merah) seluruh rombongan berkumpul dan menepi. Di sini kami berpisah sesuai rute jalan yang dekat pulang ke Jogja. Sebagian besar melalui jalan Wates, sementara enam (termasuk aku) menyusuri jalan lewat Bantul. Salam hangat perpisahan sangat terasa, pada momentum seperti inilah kita mendapatkan banyak teman/saudara. Terima kasih dan angkat topi untuk teman-teman Kulon Progo yang tak bisa kusebut satu-persatu; untuk om Z Triyono yang sempat memperbaiki sepedaku, untuk Mbak Dea (cewek satu-satunya), untuk teman-teman yang lewat Wates. Kami berenam (Aku, Mbah Kung Endy, Mas Febri, Om Sembung + temannya, dan Mas Novi) melalui menyusuri jalan Srandakan. Sebelumnya kami menyempatkan sholat dhuhur di salah satu musholla, kemudian terkena insiden ban bocor (punya bapak temannya om Sembung), terkena hujan deras selama dari jalan Paris, dan sempat salah satu mas yang kram. Terima kasih semuanya, aku sampai kos pukul 16.45 WIB. Rasa capek ini cukup membuatku terlelap saat tidur malam. *Bersepeda ke Mangrove Pantai Congot pada hari Sabtu, 05 Maret 2016.
Baca juga cerita alam lainnya 

Berbagai Topeng di Museum Topeng Batu, Malang

$
0
0
Puas rasanya berkeliling di Museum Angkot, lalu berhenti sejenak melepas lelah di Pasar Apung; aku pun melanjutkan perjalanan masuk ke dalam Museum Topeng. Hujan rintik menemaniku memasuki sebuah gerbang bertuliskan “Museum d’topeng Kingdom”. Keriuhan orang di dalam pun tak terlelakkan, aku menyusuri stand-stand cinderamata berbagai jenis. Tanpa memperhatikan plang anak panah tanda masuk museum, aku asal melangkahkan kaki menuju lorong sebelah kiri. Alhasil, tulisan “Exit” pun terpampang jelas di depanku.
Masuk ke dalam Museum Topeng gdi area Museum Angkot, Malan
Masuk ke dalam Museum Topeng di area Museum Angkot, Malan
“Lah pintu masuk museumnya mana, mbak?” Tanyaku kepalang basah seraya mencari-cari plang arah jalan.

“Mas balik lagi, nanti masuknya belok kanan mas. Kalau dari sini lurus terus ya. Ini pintu keluar,” Jawab mbak-mbak petugas seraya tersenyum. Senyuman penuh makna, antara geli melihatku salah jalan atau karena  melihat polahku kayak anak ayam kehilangan induk semang.

Bergegas aku memutar balik arah jalan, keriuhan para penjual menawarkan dagangannya pun seakan-akan tak kudengar. Benar saja, di depan tertulis sebuah plang tanda masuk ke dalam museum. Sebuah pintu kecil bertutupkan gorden terbuka, ruangan sedikit lebih kecil penuh sekat tepat di depanku. Ada banyak topeng yang terpajang di dalamnya. Juga tidak lupa beberapa patung ukiran di sana. Bergegas aku mengambil kamera dan membidiknya, di sini banyak topeng berbagai jenis dan bentuk yang dapat kita lihat. Sekilas topengnya lucu-lucu, tapi ada juga beberapa topeng yang menurutku agak menakutkan. Namun sayang jika aku lewatkan begitu saja.
Berbagai koleksi  dalam museum d'topeng
Berbagai koleksi  dalam museum d'topeng
Berbagai koleksi  dalam museum d'topeng
Tidak hanya topeng saja di dalamnya. Ada banyak juga peninggalan seperti periuk, perhiasan dan lainnya. Jika sekilas aku lihat, isi museum ini hampir sama dengan apa yang aku lihat di Museum Sonobudoyo. Hanya saja, di Museum Sonobudoyo lebih luas dan lebih variatif koleksinya. Di sini juga ada kain  tenun dari berbagai propinsi, juga tidak ketinggalan patung-patung seperti punya orang suku Dayak, maupun suku di Papua. Tidak ketinggalan juga sebuah kepala barongan, kepala kerbau terbuat dari kayu, dan banyak lagi patung lainnya. Ada juga naskah kuno yang bertuliskan Arab Pegon dengan gambar pewayangan.
Berbagai koleksi  dalam museum d'topeng
Berbagai koleksi  dalam museum d'topeng
Ada naskah kuno juga di sini
Ada naskah kuno juga di sini
Ruangan di museum ini tidaklah luas, hanya memanjang penuh sekatan. Setiap sekat pun jalan masuknya tidak lebar. Walau begitu banyak juga yang masuk ke sini. Bisa jadi mereka yang masuk sepertiku, membeli tiket terusan dari Museum Angkot. Di sini ada ruangan yang menurutku paling luas. Di dinding berjejeran macam topeng yang terpajang. Ada banyak topeng yang terpajang di dinding, sebagian besar pun ada keterangan di bagian bawah topeng. Tepat di bawahnya sebuah kursi panjang berjejer di tembok.
Deretan koleksi topeng
Deretan koleksi topeng
Lantunan lagu terdengar kencang dari dalam museum ini. Ternyata para musisi yang notabene-nya orang-orang sudah tua berkumpul menjadi satu. lantunan lagu satu demi satu terdendangkan. Aku berhenti sejenak menikmati setiap lantunan lagu yang beliau dendangkan. Suara serak sedikit parau terdengar di telingaku. Sesekali aku mengabadikan beliau, kemudian mengeluarkan uang lembaran dan menaruhnya pada tempat uang yang terbuat dari kaca di dalamnya. Di dalam tersebut sudah banyak uang lembaran yang diisikan. Aku menikmati dua buah lagu di sini, kemudian beranjak menuju pintu keluar.
Mendengarkan lantunan lagu di dalam museum
Mendengarkan lantunan lagu di dalam museum
“Mau foto pakai topengnya, mas? Silakan pilih pakai topeng mana?” Ujar mbak penjaga menawariku. Berbagai jenis topeng yang dapat kita gunakan berfoto terkait di tembok. Rupanya setiap pengunjung baik perempuan atau pun laki-laki disediakan beberapa topeng untuk berfoto di sini.

“Kameraku mati, mbak. Hp juga mati, pengen sih foto. Bayarnya berapa?” Tanyaku tertarik. Sayangnya hp dan kamera yang kubawa mati. Aku lupa kalau di dalam tas ada kamera pocket cadanganku.

“Gratis, mas. Mungkin bisa pakai kamera hp temannya?” Usul mbak penjaga.

Bergegas aku mencari rombonganku yang masuk ke sini. Ada salah satu teman yang masuk dan dia membawa hp. Aku pun meminta mengabadikanku seraya memegang topeng. Yap, akhirnya aku berhasil juga mengabadikan diri dengan topeng.
Halo Topeng :-D
Halo Topeng :-D

Tak lupa kuucapkan terima kasih pada teman rombongan yang akhirnya mengirimi file fotoku via WA. Aku pun mengucapkan terima kasih pada mbak penjaga pintu keluar museum karena menawariku berfoto dengan topeng. Selesai itu, aku keluar menuju ppintu keluar dan meninggalkan Museum Topeng Batu, Malang. Ya, walau museum ini tidak luas, namum koleksi topeng-topengnya pun tidak sedikit. Ada banyak topeng yang dipajang di sini, dan tentunya kita pun bisa berfoto dengan topeng dengan latar belakang tulisan Museum D’Topeng Kingdom. *Kunjungan ke Museum D’Topeng Kingdom Batu Malang (Kawasan Museum Angkot) ini pada hari Minggu, 27 Desember 2015.
Baca juga tulisan lainnya 

Mendung Pagi Menggelayut di Ufuk Timur Jembatan Cinta Jepara

$
0
0
Langkah kakiku menapaki aspal yang basah di sudut tepian Jepara. Jika biasanya aku ditemani sepeda, pagi ini aku hanya menenteng tas kecil berisi kamera saja. Hujan dinihari tadi membuat hampir sebagian besar kota Jepara basah. Rumput-rumput di tepian jalan masih terasa seperti disiram air. Lalu-lalang warga tak seramai kala siang hari. Sesekali aku berpapasan dengan becak yang membawa banyak barang. Bahkan, ada juga yang menawariku agar menaiki becak menuju dermaga Jepara. Ya, senin pagi ini kapal ekonomi Siginjai akan berlayar ke Karimunjawa.
Subuh di Jembatan Cinta Ujung Batu Jepara
Subuh di Jembatan Cinta Ujung Batu Jepara
“Pantai Kartini, mas?” Seorang bapak pengayuh becak menawariku.

“Nggak pak, saya hanya olahraga,” Kilahku menuju arah Jembatan Cinta.

Dari Tanah Abang, arah menuju Jembatan Cinta dan Pelabuhan Kartini sebenarnya berbeda, tapi namanya juga dengan profesi pengayuh becak. Bagaimanapun beliau berusaha untuk menawarkan jasanya. Tujuanku kali ini adalah mengabadikan sunrise dari atas Jembatan Cinta. Walau aku agak pesimis, sedari malam hujan mengguyur deras, dan pagi pun mendung masih terus menggelayuti angkasa. Dia tak ingin merangkak pergi agar bumi bisa menikmati hangatnya mentari.

Cahaya terang lampu rumah warga Jepara di sekitaran Jembatan Cintamenjadi pembeda kala pagi, lantunan ayat-ayat suci Alquran masih terdengar di tiap mushola/masjid walau sholat subuh sudah ditunaikan. Di sini ketika fajar menyingsing, aku dapat mendengarkan lantunan ayat Alquran sampai pagi. Suara-suara yang merdu membuatku sedikit terbuai. Tak hanya itu, acapkali suara mesin kapal juga menderu-deru mengikuti sang pengemudi kapal yang menarik tuas gas. Dentangan kencang suara mesin seperti sedang menyalak, memecah keheningan pagi; membuat aku tersadar bahwa sekarang berada di tempatnya para pelaut/nelayan.
Pagi di Jembatan Cinta Jepara
Pagi di Jembatan Cinta Jepara
Pagi di Jembatan Cinta Jepara
Nasibku memang tak semujur suasana yang sedikit teduh ini, dari ufuk timur hanya membesitkan cahaya silau kekuningan. Awan sebenarnya mulai merangkak pergi, namun cahayanya tetap tak sempurna. Sang mentari tertutup gagahnya Gunung Muria, sehingga aku hanya dapat mengabadikan kilauan cahayanya saja. Tak kulihat bentuk sang mentari pagi ini. tahu-tahu, dia sudang menyingsing di atas. Cahaya memendar menyilaukan mata, aku harus memicingkan mata agar bisa menatapnya, kitupun hanya sepersekian detik saja.

Selalu ada rencana yang tak terduga ditiap perjalanan. Di sisi barat Jembatan Cinta terdapat sebuah jembatan panjang. Tampak juga sebuah mercusuar yang tidak terlalu tinggi. Aku bergegas melangkahkan kaki ke arah jembatan tersebut. Tak hanya berjalan santai, aku malah berlari-lari kecil seraya memegang kamera. Ada jalan yang mengarahkanku pada sebuah portal dan pos penjaga. Portal ini terbuka tanpa ada penjaga. Tulisan merah menyala di atas gapura “Pelabuhan Jepara”.

Pelabuhan Jepara? Ada yang mengeritkan dahi? Memang ini adalah Pelabuhan Jepara. Pelabuhan yang digunakan para nelayan untuk bersandar kala pulang dari melaut. Bahkan diseberangnya pun banyak ibu-ibu yang menjual/membeli ikan hasil tangkapan para nelayan. Aku berjalan melewati sekumpulan ibu-ibu yang berbincang di tepian pelabuhan. Masih tetap menenteng kamera, dan sesekali kuabadikan sebuah bangunan yang di depannya terdapat tulisan besar “Pelabuhan Jepara” dengan latar belakang Mercusuar. Mercusuarnya tak tinggi, bisa jadi hanya sekitar 15 meter saja.
Selamat Pagi Pelabuhan Jepara
Selamat Pagi Pelabuhan Jepara
Selamat Pagi Pelabuhan Jepara
Tanggul-tanggul dan beton menyapaku di bawah basuhan air hujan. Beberapa titik di pelabuhan ini tetap ada air yang menggenang. Setiap sisi kanan dan kiri pelabuhan banyak kapal yang bersandar. Beragam warna, namun paling dominan adalah warna biru dan merah yang sudah kusam. Tiap kapal juga banyak tiang-tiang yang diujungnya sebuah bendera sang Merah Putih. Para nelayan bahkan warga setempat sedang asyik bercengkerama dengan kenalannya. Menikmati pagi seraya berbincang mengenai hasil tangkapan, atau hanya sekedar menyapa saja. Tak sedikit di antara mereka sibuk menguras air dari dalam kapal, menyulam kembali jaring dan mendengarkan lagu dari sebuah pemutar musik. Lagunya sudah tentu Dangdut Koplo.

Berlalu-lalang kapal bersandar di pelabuhan. Kapal yang berukuran besar akan sedikit membutuhkan waktu lebih lama untuk dapat bersandar dan tak membenturkan sisi kapalnya cukup keras pada tepian pelabuhan. Dentangan mesin mereka terkadang memekakkan telinga. Corong-corong knalpot menyeluarkan kepulan asap hitam yang membumbung tinggi. Sementara kipas kapal di dasar laut terus berputar membuat air yang tak terlalu dalam ini menjadi lebih keruh. Teriakan para awak kapal saling bersahutan; mereka berusaha memberi aba-aba sang nahkoda agar dapat merapat dengan baik. jika diperlukan, tiap sisi ditugaskan seorang awak kapal memegang galah bambu panjang yang ditancapkan ke dalam dasar air. Tujuannya untuk menahan laju kapal dan berbelok arah.

Tak hanya itu, bagi kapal-kapal nelayan kecil. Mereka dengan leluasa mengikuti aliran muara air laut ke area pemukiman warga. Kapal-kapal ini dengan mudahnya lewat bawah Jembatan Cinta yang tingginya lebih dari lima meter dari permukaan air. Sebuah mesin terlihat jelas di sisi kiri, tak lupa bendera dan tentunya awak kapal yang berjumlah lebih dari empat orang. Mereka pulang dari melaut, dan ingin bergegas kembali ke rumah dengan membawa hasil lautnya semalam. Seperti inilah rutinitas tiap pagi dan sore di Pelabuhan Jepara. Sebuah gambaran tentang kehidupan masyarakat pantai.
Aktifitas nelayan di Pelabuhan Jepara
Aktifitas nelayan di Pelabuhan Jepara
Aktifitas nelayan di Pelabuhan Jepara
Memang aku tak mendapatkan sunrise, tak melihat keindahan sang mentari yang di ufuk timur; tapi aku mendapatkan banyak gambar mengenai rutinitas pada nelayan di sini. Tak banyak orang luar Jepara yang mengetahui Pelabuhan Jepara ini, padahal dari sini bisa jadi kita dapat melihat sunset. Dapat memandang jelas pulau Panjang yang hanya berjarak beberapa mil saja. Bahkan, di sini sebenarnya banyak digunakan para pembawa jorang untuk memancing. Kalau kalian yang berkunjung ke Jepara dan ingin mengunjungi Pelabuhan ini namun tidak tahu lokasinya; rutenya cukup mudah, dari arah kota silakan menuju arah stadion Gelora Bumi Kartini, lalu ambil rute jalan ke pantai Kartini, pasti sampai. Atau lebih mudahnya tanya sama warga, “Pelabuhan Jepara yang di dekat Jembatan Cinta Ujungbatu mana ya pak/bu?” *Dokumentasi kapal-kapal di Jembatan Cinta dan Pelabuhan Jepara ini pada hari Senin, 08 Februari 2016.
Baca juga tulisan tentang pantai lainnya 

Nyanyian Ombak di Pantai Greweng Gunung Kidul

$
0
0
Lupakan sejenak rutinitas kerja; akhir pekan waktunya untuk berkumpul dengan teman, membahas rencana ingin main ke mana, atau malah langsung mengeksekusi rencana yang baru dibicarakan semalam. Yakinlah, setiap ide yang direncanakan seketika waktu kita menyeruput kopi biasanya lebih cepat terlaksana dibanding sebuah rencana panjang dengan banyak masukan. Satu hal yang pasti, rencana mendadak itu rata-rata berkunjung ke destinasi wisata yang tak jauh dari lokasi kita tinggal. Misalnya berakhir pekan ke pantai bareng teman yang jarang berkumpul.
Halo pantai Greweng; pakai jersey Liverpool merah lagi
Halo pantai Greweng; pakai jersey Liverpool merah lagi
Obrolan malam ini terfokus pada kerjaan. Aku, Charis, Ipin, dan Wandi yang dulu kuliah sekelas dan bekerja di tempat yang berbeda asyik menertawakan setiap keluhan yang terlontar dari mulut-mulut kami. Tak berapa lama kemudian, kami menjadi sibuk sendiri memegang hp. Semacam kumpulan tak berarti kalau hanya kumpul dan sibuk sendiri-sendiri.

“Kumpul kok megang hp masing-masing. Mana asyiknya,” Sindir Ipin seraya tertawa.

“Ke pantai yuk akhir pekan. Aku kangen main air,” Celetuknya lagi.

Setengah berteriak, kami bertiga mengiyakan. Bergegas hp diletakkan kembali pada lantai. Kami mulai mencari pantai mana yang ingin dikunjungi.

“Oke, nanti mandinya di Pantai Wediombo yang ada Lagunanya, tapi sebelumnya kita main ke Pantai Greweng. Aku baca pantai ini searah ke Wediombo dan Jungwok,” Ujar Charis.

Kesepakatan kali ini disetujui kami berempat. Aku menulis agenda akhir pekan tersebut di Grup WA. Namanya juga dadakan, jadi hanya satu tambahan teman yang ikut gabung. Sementara yang lainnya sudah ada acara lainnya terlebih dahulu.
*****
Menjelang subuh, pemberitahuan di WA sangat banyak. Salah satunya adalah grup kami yang berencana ke pantai Greweng. Pantai Greweng ini berlokasi di Jepitu, Girisubo, Kabupaten Gunung Kidul. Masuknya melalui posko TPR Pantai Wediombo. Aku segera menyiapkan kamera dan tas kecil seraya menunggu jemputan. Tepat pukul 09.00 WIB kami berenam menyusuri jalan Jogja – Wonosari. Tepat sampai di Desa Karangrejek hujan mengguyur. Kami berhenti di Warung untuk sarapan seraya menunggu hujan reda. Hujan tak deras, ketiga motor melalu jalan ke arah Tepus. Sampai akhirnya sampai di TPR Pantai Wediombo. Di sini kita bisa memasuki banyak pantai antara lain; Pantai Nampu, Pantai Wediombo, Pantai Jungwok, Pantai Greweng, dan Pantai Sedahan.

Arah pantai Greweng sejalur dengan pantai Jungwok, jadi kami mengikuti jalan bertanah liat dan bebatuan. Berbeda dengan di Wonosari tadi sempat diguyur hujan, di sini masih gersang. Tak terlihat tanda-tanda habis hujan. Motor kami parkirkan di salah satu rumah yang menyediakan area parkir tidak jauh dari plang arah pantai Greweng dan pantai Sedahan.
Simbah sedang menunjukkan rute ke pantai Greweng
Simbah sedang menunjukkan rute ke pantai Greweng
“Nanti ikuti rute ini ya mas. Setiap pertigaan jalan setapak pasti ada plangnya. Jadi nanti ikuti plangnya,” Terang simbah-simbah yang jaga parkir dengan berbahasa Jawa.

“Tidak jauh kok, hanya sekitar 500 meter saja,” Tambah beliau.

Rute jalan setapak kami lalui, di sana kami bertemu dengan mbah Soro yang sedang membawa pikulan. Beliau rencananya mengambil air untuk persediaan di rumahnya.

“Di sini sudah seminggu nggak hujan, mas,” Begitulah tanggapan beliau saat aku mengatakan kalau di jalan tadi sempat diguyur hujan.
Foto bareng mbah Soro dilang pertama
Foto bareng mbah Soro di plang pertama
Kami berjalan berbarengan dengan mbak Soro yang mengambil air di sendang kecil. Tepat di dekat kandang kambing/sapi, mbah Soro ijin belok kiri. Kami terus berjalan mengikuti jalan setapak yang lebih besar. Benar kata simbah yang jaga parkir kalau setiap ada pertigaan jalan setapak, pasti ada tanda/plang petunjuk arahnya. Jalanannya pun sedikit bervariasi, tak melulu melewati jengkalan sawah, namun juga berkali-kali bertemu dengan kandang-kandang Sapi. Di sini ternyata banyak Sapi yang di kandang jauh dari perumahan.

Karena jalan menuju Pantai Greweng itu membelah beberapa bukit, jadi di titik-titik tertentu kami harus sedikit menuruni jalan terjal. Bagi yang biasa jalan kaki tak jadi masalah. Tapi akses jalan tersebut akan menimbulkan masalah lain bagi yang tak bisa berjalan kaki. Sepanjang perjalanan, aku kira hanya rombonganku saja yang ke pantai Greweng. Dugaanku nyatanya salah besar. Di depanku ada lebih dari 10 orang yang berjalan berurutan. Rata-rata dari mereka adalah cewek-cewek yang sudah siap dengan topi lebar serta kacamata hitam serta menggunakan alas kaki seadanya. Dan tentunya tiap perjalanan, aku acapkali mendengarkan keluhan dari salah satu rombongan tersebut.
Sedikit akses jalan ke Pantai Greweng
Sedikit akses jalan ke Pantai Greweng
Sedikit akses jalan ke Pantai Greweng
“Dikit lagi sampai kok,” Candaku kala mendengar cewek-cewek rombongan lain yang mengeluh.

Gemericik suara air mengalir di antara bebatuan menuju ke laut. Ini adalah air tawar yang dimanfaatkan warga setempat. Sebuah tuas tali rafia panjang dibentangkan pada sisi kiriku, terdapat tulisan larangan untuk mengotori sampah di sini. Pantaslah tiap beberapa puluh meter di sepanjang jalan pasti kiri atau kanan jalan ada kandang hewan peliharaan (Sapi). Tak hanya itu, rerimbunan Pandan seakan-akan menyapa kami; menandakan jika tujuan kami (pantai) sudah dekat. Hembusan angin pantai mulai terasa, dan benar saja; pandanganku kali ini adalah pasir putih terhampar di antara dua tebing. Di sisinya juga terdapat aliran air tawar mengalir ke laut. Tebing-tebing batu berwarna legam berkombinasi dengan tumbuhan di atasnya yang hijau.

Seperti inilah suasana pantai Greweng pada siang hari, dibalik rerimbunan pohon Pandan sudah ada dua warung yang menyediakan segala minum dan makanan. Tepatnya di tebing yang jauh dari air namun beralaskan hamparan pasir putih terdapat dua dome/tenda berdiri. Orang-orangnya sedang duduk seraya menggelar tikar berteduhan tebing. Sudut kanan yang dialiri air kulihat dua remaja sedang berusaha memasang Hammock. Ya, akhir-akhir ini semakin banyak para pecinta alam/pantai yang menggunakan Hammock. Bahkan, aku sendiri berniat untuk membeli pada bulan depan. Siapa tahu ada yang berkenan untuk membelikan Hammock.
Pantai Greweng diapit dua tebing, seperti pantai-pantai lain di Gunung Kidul
Pantai Greweng diapit dua tebing, seperti pantai-pantai lain di Gunung Kidul
Pantai Greweng diapit dua tebing, seperti pantai-pantai lain di Gunung Kidul
Pantai Greweng tidaklah luas, tapi lokasinya strategis untuk berkemah. Menjulang tinggi dua tebing di sisi kanan dan kiri. Selepas hamparan pasir, tak langsung ombak pantai menghempas ke pasir. Ombak tersebut bergulung-gulung dan pecah terhempas karang di tengah. Barulah air tersebut sampai ke pasir. Seperti sebagian besar pantai di Gunung Kidul, pantai Greweng bukanlah pantai yang aku rekomendasikan berenang. Bisa dilihat, ombak menggulung dan besar, kemudian menghempaskannya ke karang. Jika hanya bermain air di tepian bisa. Aku berjalan menuju bagian salah satu tebing di sisi kiri. Air di pantai Greweng siang ini agak surut, sehingga hamparan karang di air dangkal terlihat jelas. Sesekali karang-karangnya terkena sapuan sisa ombak dari tengah.

Tujuanku ke sisi kiri adalah untuk melihat bagaimana ombak yang menerjang tiap tebing, khususnya tebing di sudut kanan yang lebih menjorok ke laut. Selang beberapa detik bergantian ombak besar menerjang, hempasannya menimbulkan bulir-bulir air yang berhamburan ke atas tersapu angin. Tebing terlihat seperti memutih, sesekai terdengar semacam desiran angin tertangkap telingaku. Inilah nyanyian alam. Ombak, tebing, dan angin membuat dendangan seperti sebuah lantunan arasemen musik.
Ombak menerjang tebing pantai
Ombak menerjang tebing pantai
Ombak menerjang tebing pantai
Aku rasa puas mengabadikan tiap terjangan ombak. Ombak-ombak yang menyadarkan kita jika tak seharusnya bermain-main dengannya pada batasan tertentu. Bermainlah air di tempat yang aman, dan nimkatilah setiap sisa deburan ombak. Mungkin seperti itulah pesan yang disampaikan ombak pada sosok-sosok yang bercengkerama di air dangkal. Sekitar tujuh remaja sedang menikmati sisa deburan ombak. Teriakan panjang diselingi tawa terdengar sampai di tempatku berdiri. Mereka sangat asyik, dan bisa menjaga ego agar tetap di zona aman, tak hanya itu; jika dirasa ombak agak lebih besar, mereka bergegas lari ke tepian pantai.

Kuambil sebuah perahu kertas yang memang kubawa dari kos teman. Lalu sengaja kubiarkan dia mengikuti arus untuk berlayar. Aku mengabadikan kapal kecil ini beberapa kali sebelum rusak.
Main airnya ditepian saja ya, biar aman
Main airnya ditepian saja ya, biar aman
Mau berlayar ke mana?
Mau berlayar ke mana?
“Woo pantes tadi bingung ngelipat bikin kapal kertas,” Celetuk salah satu teman ke arahku.

Sebenarnya permainan seperti ini tak asing bagiku. Dari kecil aku sudah terbiasa main air laut, membuat kapal-kapal kecil dari berbagai bahan; Pelepah Pisang. Sabut Kelapa, Kertas, bahkan Kayu. Kalau musim hujan biasanya membuat perahu kertas seperti ini. Namun pagi tadi, aku lupa bagaimana cara melipat agar terbentuk seperti sampan kecil ini. Terlalu lama aku tidak membuatnya. Kulihat terus perahu kecilku, dan akhirnya rusak karena air. Kupungut kertas tersebut dan kumasukkan kembali ke dalam tas.

Terik siang semakin panas, membuat kami harus cepat beranjak pindah. Beberapa teman sudah tak sabar ingin mandi di Laguna Pantai Wediombo. Kami pun mengabadikan diri dulu sebelum meninggalkan pantai Greweng. Beruntunglah aku membawa Tripod, jadi aku bisa mengabadikan diri bersama-sama tanpa meminta bantuan orang lain untuk memotret.
Formasi lengkap walau hanya berenam saja
Formasi lengkap walau hanya berenam saja
Formasi lengkap walau hanya berenam saja
“Sekali lagi ya!!” Teriakan teman-teman masih asyik berpose.

Aku kembali berlari ke arah kamera, mengatur setelan 10 detik, dan berlari lagi ke arah teman. Nasib sebagai seksi dokumentasi, jadi harus bekerja lebih keras agar ikut terdokumentasikan. Pokoknya foto-foto ini bakalan dibagikan pada grup WA, sehingga menyedot banyak respond an komentar dari teman yang dulu kuliah bareng.

Ada yang menarik di antara tebing di pantai Greweng, sebuah tebing yang agak menyerupai goa kecil dan tidak dalam dibatasi seutas tali yang dililitkan pada tiap ujung. Tak cukup hanya itu saja, di sana juga ada plang yang menghimbau agar pengunjung tak diperkenankan untuk memasuki goa tersebut. “Dilarang Masuk; Batas Suci Goa Pertapaan”, begitulah tulisan yang dapat dibaca tiap pengunjung. Berbekal informasi dari mbak Soro, ceritanya dulu goa tersebut adalah tempat pak Karno (Presiden Soekarno) mencari ketenangan. Di goa tersebut beliau seperti sedang bertapa. Itulah segelintir cerita yang mbah Soro katakan pada kami saat berjalan menuju pantai Greweng.
Goa pertapaan yang dilarang masuk ke dalam
Goa pertapaan yang dilarang masuk ke dalam
Tak hanya goa tersebut yang menarik perhatianku. Di sampingnya, masih tebing yang sama, terdapat beberapa coretan berwarna biru dan abu-abu. Entahlah ini perbuatan siapa, namun sudah tentu hal yang seperti ini tak boleh dilakukan. Coretan vandal yang dilakukan segelintir oknum ini terlihat jelas kala kita berkunjung ke pantai Greweng, semoga coretan itu tak bertambah ke depannya. Cukuplah kita menikmati suasana pantainya, tanpa harus meninggalkan bekas semacam itu.
Coretan di bebatuan/tebing pantai
Coretan di bebatuan/tebing pantai
“Ayo Rul balik, teman-teman sudah jalan duluan,” Teriak Wandi di ujung jalan setapak.

Aku bergegas menyusul teman-teman yang sudah jalan duluan. Tiap pijakan kaki dipasir sangat terasa hangatnya, memang agak menyengat pasirnya, tapi tak semenyengat pasir di pantai Parangtritis. Siang ini, aku meninggalkan pantai Greweng yang mulai ramai dikunjungi. Sepanjang jalan ke arah parkiran; kami berpapasan dengan kelompok lain yang ke arah pantai Greweng, tak jarang merekat bertanya.

“Masih jauh, mas?” Tanya salah satu di antaranya dengan nafas tak beraturan.

“Sedikit lagi, tepat dibalik rerimbunan pohon Pandan itu,” Jawabku sambil menunjuk pohon-pohon Pandan yang rimbun. *Kunjungan ke pantai Greweng ini pada hari Minggu, 21 Februari 2016.
Baca juga perjalanan ke pantai lainnya 

Kuliner Malam Sup Merah di Jogja

$
0
0
Sepulang daripantai Greweng, aku dan rombongan sepakat makan malam di Jogja saja. Tujuan kuliner kali ini adalah Sup Merah. Aku lupa kapan terakhir ke sini, sudah lama sekali. Kami pun bergegas menuju lokasi. Sampai dilokasi, Warung Sup Merah sudah disesaki pembeli. Aku mendapatkan tempat duduk teras warung. Di sini kami berbagi meja dengan pembeli lainnya. Dari teras, aku dapat melihat bagaimana suasana di dalam warung. Pelayan yang bertugas membagikan pesanan siap saji berlalu-lalang membagikan pesanan.

“Pesan seperti biasa ya, minumnya Es Jeruk,” Aku ijin mampir di SPBU untuk menunaikan sholat magrib.
Pelayan di Sop Merah Jogja
Pelayan di Sop Merah Jogja
Sup Merah ini memang sudah sangat dikenal oleh para pecinta kuliner di Jogja, buka sore hari sampai malam, namun tak sampai tengah malam. Jika sudah pukul 21.00 WIB, lebih sering sudah ditutup. Lokasinya juga stragetis; tepat di pojok pertigaan Jalan Sugiyono menuju jalan Sisingamangaraja. Atau lebih mudah lagi kalau dari pusat kota Jogja, menuju Pojok Benteng Wetan, ambil jalan Sugiyono. Nanti tepat dilampu merah lihat arah kanan jalan (pojokan). Dinamakan Sup Merah karena kuahnya kemerahan (gilingan cabai merah).

Ada yang perlu diperhatikan selama di sini, kalian tak bisa langsung mendapatkan sajian makanan Sup Merah dengan cepat, karena sudah banyak orang yang antri membeli. Jadi kita cukup duduk santai seraya menunggu sajian yang kita pesan datang. Oya, selama kita menunggu, kita dapat menikmati lantunan lagu dari musisi yang sengaja menghibur kita sepanjang menikmati Sup Merah. Selagi menunggu, aku mengabadikan para pembeli yang sedang menunggu pesanannya tiba. Termasuk orang-orang yang memesan dibungkus.
Pembeli setia menunggu Sop Merah Jogja
Pembeli setia menunggu Sop Merah Jogja
Pembeli setia menunggu Sop Merah Jogja
“Ini mas pesanannya,” Dua orang perempuan membawa enam mangkuk Sup Merah dan enam piring nasi putih.

“Terima kasih bu.”

Tanpa butuh waktu lama, aku dan teman lainnya pun menikmati Sup Merah tersebut. Menunya pun cukup unik, tak hanya potongan daging ayam saja, kita bisa menambahkan ceker atau paha. Namun yang jelas tiap porsi selalu ada telurnya. Hidangan yang pas bagi pecinta kuliner. Jika kalian berkunjung ke Jogja, bisa jadi kalian mampir ke sini untuk menikmati supnya. Rata-rata harganya Rp.15.000,- saja, tergantung pilihan kita saat memesan. Cukup murah kan?
Sop Merah Siap Saji
Sop Merah Siap Saji
Sup Merah ini bisa menjadi alternatif pilihan kalian selama berkuliner di Jogja. Oya, tiap harinya warung Sup Merah ini selalu ramai, jadi kalau ingin cepat dibuatkan Sup Merah, kalian bisa ke sini sebelum magrib. Karena jam-jam ramainya pembeli adalah selepas magrib. Mumpung lagi musim hujan, kayaknya asyik menikmati Sup Merah ditengah gerimis senja.
Baca juga kuliner lainnya 

Jalan-jalan Melihat Seni Ukir dan Patung di Mulyoharjo, Jepara

$
0
0
Teriknya matahari siang terasa menyengat, sesekali kuseka wajah yang basah oleh keringat. Hawa panas siang hari cukup terasa di Jepara kala siang hari. Seperti orang yang kurang kerjaan, dari Warung Baca yang terletak di Alun-alun Jepara, aku jalan kaki menuju Mulyoharjo. Tempat yang terkenal dengan ukiran dan seni patungnya. Jaraknya pun lumayan jauh kalau jalan kaki. Siang ini kususuri jalan Alun-alun menuju Pengkol – Taman Kerang– melewati jalan yang arah ke Perumnas Kuwasharjo – dan sampailah di Mulyoharjo. Sudah lama aku tak jalan kaki jauh, jadi terasa napasku tersengal-sengal.
Salah satu patung di jalan Mulyoharjo, Jepara
Salah satu patung di jalan Mulyoharjo, Jepara
“Sampai juga di sini,” Gumanku sendiri sambil mengatur ritme napas.

Sebuah patung tiga kuda bertumpuk terlihat di ujung jalan. Pertigaan ini adalah jalan menuju sentra Seni Patung dan Ukir. Jika kita mengikuti jalan lurus, ini jalan bisa menuju pantai-pantai seperti Mpurancak dll. Selain itu jalan yang lurus ini juga bisa menuju Pati. Kuabadikan patung yang sudah kusam tersebut, tepat di dekat patung sedang dibangun masjid yang megah. Percaya atau tidak, di Jepara masjidnya sangat indah-indah. Bahkan banyak ornamen ukiran yang terpasang didinding-dinding masjid. Tak salah jika Jepara adalah Kota Ukir.

Jalan panjang yang belok kiri ini tidak beraspal, namun tumpukan paving yang tertata rapi. Tiap sisi kanan-kiri terpajang banyak hasil ukir dan patung karya warga Jepara. Bongkahan kayu yang kadang kita lihat tak berguna dapat mereka sulap menjadi hasil karya yang berharga jutaan. Hewan apa saja dapat mereka buat. Di sini aku dapat melihat banyak hasil karya warga setempat yang berbentuk kepala Rusa, burung Elang, Garuda, Kuda, bahkan patung manusia.
Sampai di Mulyoharjo, Jepara
Sampai di Mulyoharjo, Jepara
Sampai di Mulyoharjo, Jepara
Jalan ini sangat panjang, dan tentu saja yang dapat aku lihat adalah patung-patung indah. Ingin rasanya kuabadikan semua yang terlihat. Aku mendekati sebuah rumah yang di depannya ada keluarga sedang bercengkerama dengan anak kecilnya.

“Pak boleh lihat-lihat?” Tanyaku seraya menyalami beliau.

“Silakan mas. Masuk mas, kalau mau motret boleh kok.”

Tahu saja bapak ini kalau aku ingin minta ijin motret. Kalau seperti ini kan aku nggak perlu minta ijin lagi. Kumasuki teras rumah beliau yang luas. Di sini ada banyak kerajinan terpasang. Tak ditata rapi, yang penting bisa terkumpul menjadi satu. Di teras dekat jalan, sebuah karya memanfaatkan batang bambu menjadi patung miniatur orang. memasuki ke dalam, ada lebih banyak lagi patung-patung yang memanjakan mata. Sebuah patung Gajah di atasnya ada orang yang duduk seraya pegang tongkat. Di belakangnya juga ada papan-papan yang dijadikan semacam gubuk kecil.
Berbagai patung dan ukiran yang terpajang di teras rumah
Berbagai patung dan ukiran yang terpajang di teras rumah
Berbagai patung dan ukiran yang terpajang di teras rumah
Tak hanya itu saja, di atas papan besar; di sana tertata rapi patung mungil berupa orang, ikan, bahkan burung. Sangat kreatif sekali mereka yang membuat patung. Di satu batang kayu, mereka dapat membuat banyak ikan atau Kuda. Coba perhatikan kayu yang dibuat menjadi patung ikan. Satu kayu bisa membuat banyak ikan. Ada yang terlihat dari samping, depannya saja, atau hanya ekornya saja. Lengkap juga dengan duri ikan (Ikan Buntal) serta karang.

Oya, tak hanya patung kecil. Di sini juga ada patung besar seperti Rusa. Patung Rusa ini tampak seperti hewan beneran, bagaimana tanduk yang menjulang tinggi dengan warna kayu yang coklat. Mirip dengan warna bulu Rusa. Sementara di depannya juga sebuah patung Naga. Tingkat kerumitannya sangat tinggi. Namun orang-orang di Jepara menjadikan ukiran menjadi suatu pekerjaan. Walau akhir-akhir ini, ukiran di Jepara sempat mengalami masa-masa buruk, tapi aku berharap Jepara tetap sebagai Kota Ukir. Puas rasanya mengelilingi satu tempat di Mulyoharjo, aku menghampiri bapak (pemilik) dan berbincang santai.
Hasil Ukiran dan Patung Jepara lainnya
Hasil Ukiran dan Patung Jepara lainnya
Hasil Ukiran dan Patung Jepara lainnya
“Kalau di sini hanya display saja mas. Kalau buatnya malah di pinggiran. Coba mas ke Kecapi, Langon, Kodono, dan lainnya. Di sana mas bisa lihat pembuatannya seperti apa.”

“Rencananya kalau ada kesempatan juga pengen lihat di tempat lain pak. Dulu pernah lihat ibu-ibu memahat kayu di Mantingan, jadi pengen lihat lagi.” Jawabku.

Aku meminta ijin pulang. Jalan kaki kali ini cukup lebih panjang. Menyusuri jalanan lurus Mulyoharjo – Tembus jalan arah ke SMK Pertanian – Stadion Gelora Bumi Kartini – Jembatan Cinta – Tanah Abang (dekat pantai Kartini). Sangat menguras tenaga dan pastinya aku siang ini mandi keringat. Masih teringat obrolan dengan bapak tadi, beliau menceritakan jika bahan baku kayu harganya sekarang sangat mahal, para pengukir Jepara rata-rata pindah mencari pekerjaan (mengukir) di tempat lain seperti Bali dan Kalimantan. Namun di pinggiran Jepara, masih banyak orang yang membuat patung, ukiran, dan mebel untuk memenuhi kebutuhan hidup. Semoga Ukir Jepara dapat kembali menggeliat seperti tahun 2004an, kala itu, Jepara Ukiran Jepara menguasai hampir banyak tempat, bahkan tak jarang kontainer-kontainer berisi mebel Jepara diekspor ke Luar Negeri. *Kunjungan ke Sentra Ukir dan Patung Mulyoharjo Jepara pada hari Sabtu, 06 Februari 2016.
Baca juga tulisan lainnya 

Gardu Pandang dan Buku di Watu Lumbung Bantul

$
0
0
Tetesan air hujan menyatu dengan embun pagi membasahi tiap ruas besi tua Jembatan Soka Pundong. Kami meninggalkan Jembatan Pundong menuju arah Watu Lumbung. Sebuah tempat yang tahun 2015 mulai bersolek dengan konsep Kuliner, Wedangan, sambil dimanjakan pemandangan Jembatan Kretek, serta menjulang tinggi gunung yang terlihat di kala cerah. Lokasi Watu Lumbung memang masuk dalam daftar tujuanku, niatku di sini nantinya akan menikmati wedang sambil ngobrol santai.
Pemandangan dari Watu Lumbung
Pemandangan dari Watu Lumbung
“Seru kan kalau nanti di sana menyeduh teh dan makan pisang rebus,” Kataku tertawa.

Ucapanku membuat ketiga teman tersenyum. Kami lantas menaiki dua motor menuju lokasi tersebut, kedua motor melaju dengan kecepatan sedang di jalan lebar arah Siluk – Kretek, hanya memerlukan waktu tidak lama; kami sampai di jalan arah ke Watu Lumbung. Untuk menuju ke Watu Lumbung bisa ditempuh dari beberapa jalur. Jika kalian dari arah jalan Parangtritis (dari kota Jogja); tepat setelah Jembatan Kretek kalian belok kiri, melaju terus sampai ketemu plang tulisan Watu Lumbung kanan jalan. Apabila dari arah jalan Pleret, kalian ikuti jalan besar terus sampai ketemu pertigaan arah ke Goa Jepang. Terus lurus ke arah Parangtritis, nanti ketemu plang kiri jalan bertuliskan Watu Lumbung. Atau malah kalian Dari jalan raya bisa melihat rumah-rumah bambu berdiri di antara bukit kecil. Jalan menanjak serta berkelok kami libas, sampai akhirnya kami sampai di parkiran. Di sana juga aku bertemu dengan Mas Febri; temanku yang sengaja bersepeda dari Jogja ke sini. Motor kami parkir di area parkir, kemudian melangkah mencari sang empu.

“Masih sepi, ya? Kita kayaknya kepagian,” Celetuk mbak Dwi.

Ketiga temanku menyusuri jalan setapak mencari sang empu. Sebuah radio di dalam ruangan berbunyi nyaring dan melantunkan lagu. Ini artinya sang empu ada di sini. Usut punya usut, sang empu sedang tertidur lelap. Kami jadi bingung membangunkannya atau tidak, aku melangkah ke sudut lain, di sana ada beberapa piring dan gelas yang belum dibersihkan. Pasti sang empu pemilik tempat ini habis bergadang dan baru istirahat. Kami putuskan untuk bersantai saja, aku masuk ke sebuah banguan kecil yang bertuliskan “Perpus”.
Perpustakaan di Watu Lumbung
Perpustakaan di Watu Lumbung
Perpustakaan di Watu Lumbung
“Banyak juga koleksinya,” Gumanku sendiri seraya membaca.

Sebelumnya, aku meminta maaf pada pemilik tempat ini karena saat ke sini terlalu pagi dan memotret tanpa ijin. Tapi niatku hanya ingin menulis saja, tanpa berniat mengkomersilkan setiap tulisan di sini. Semoga sang empu Watu Lumbung bisa memaklumi.

“Nggak bisa pesan wedang, dong?” Celetuk Gallant.

“Minimal bisa bersantai sambil baca buku,” Seloroh kami.

Ya, Watu Lumbung memang sedang bersolek. Bagiku ini sangat menyenangkan, tak hanya tentang kuliner; di Watu Lumbung ini juga menyediakan fasilitas perpustakaan kecil yang berisi buku. Kita dapat membaca koleksi buku seraya menikmati wedang. Atau sekedar bersantai di tepian Gardu Pandang dengan membaca buku.

Pemandangan dari Watu Lumbung
Pemandangan dari Watu Lumbung
Gardu Pandang Watu Lumbung
Gardu Pandang Watu Lumbung
Kami bawa beberapa buku mengikuti jalan setapak. Di sisi kiri terdapat papan tulis dengan segala coretan kesan. Setiap pengunjung bisa meninggalkan jejak (tulisan) di sini dengan menulis nama atau inisial. Atau malah menulis kesan selama berada di sini. Dari sini aku dapat melihat indahnya Jembatan Kretek kala pagi. Kabut yang menggelayut beranjak menghilang tersapu angin. Sementara sang mentari masih malu-malu meneroboskan cahayanya. Kulihat jam ternyata masih pukul 07.25 WIB. Masih sangat pagi dan sepi, di bawah sana seorang bapak asyik membersihkan lahannya, sepertinya beliau juga mempunyai tempat untuk kuliner tepat di tikungan yang menanjak.

Aku terdiam sesaat, melihat konsep tempat kuliner yang indah. Di tanganku sebuah buku Hold Tight: Pegang Erat kulibas beberapa halaman saja. Kemudian berjalan mengelilingi tempat ini. tidak hanya gardu pandang, di sini juga ada deretan kursi bambu tepat di bawah Gardu Pandang, tak ketinggalan sebuah alat musik gamelan di gazebo. Bahkan ada beberapa sepeda tua yang terparkir di pinggir jalan.
Formasi Lengkap ke Watu Lumbung
Formasi Lengkap ke Watu Lumbung
“Lain kali ke sini agak siangan, biar bisa wedangan,” Ujarku masih penasaran pengen wedangan di sini.

“Berarti harus agak sorean. Biar sekalian bisa motret,” Timpal Gallant.

Kami berkumpul di satu tempat, kemudian aku mengabadikan teman-teman di sini.  Mbak Dwi dan Mbak Aqied foto berdua, serta Gallant (orang yang jarang pengen difoto) sendirian, setelah itu kami berempat. Sementara temanku lainnya, mas Febri masih asyik mengabadikan dirinya dengan sepeda.
Ya, kami memang gagal tak bisa menikmati kuliner pagi; karena jam buka baru pukul 09.00 WIB. Aku tetap berencana akan ke sini lagi untuk menuntaskan misi menikmati kuliner di sini. Puas bersantai, kami meninggalkan Watu Lumbung. Mengikuti arahan mbak Dwi sebagai tuan rumah. Kami tidak tahu kali ini harus ke mana lagi sebelum balik ke Jogja. Khusus untuk mengelola Watu Lumbung yang tempatnya aku jadikan objek berfoto; kami berterima kasih sekaligus minta maaf jika apa yang kami lakukan ini kurang berkenan. *Kunjungan ke Watu Lumbung Bantul pada hari Sabtu, 13 Februari 2016.

Libur Panjang di Jatim Park I Malang

$
0
0
Senja mulai menyapa kota Malang, aku dan rombongan menikmati rasa capek di dalam mobil sepulang dari Museum Angkot.Perjalanan berlanjut pindah hotel ke area dekat Jatim Park I dan II. Hotel yang aku tuju beserta rombongan adalah Hotel Klub Bunga. Salah satu hotel yang jaraknya hanya 10 menit jalan kaki ke Jatim Park I. Kunci kamar sudah ditanganku, kulihat sejenak nomor kamar 208. Selesai memeriksa voucer makan malam, voucher fasilitas lainnya seperti Bowling dan lainnya, termasuk sarapan pagi; aku pun mengangkat ransel menuju kamar untuk istirahat.

Sesaat rasa capek terkurangi. Menikmati malam seraya menyalin seluruh foto ke laptop. Paginya, aku menyusuri jalanan menuju restoran untuk mengisi perut. Agenda pagi ini adalah mengunjungi Jatim Park I. Tepat pukul 08.30, rombonganku sudah bersiap menuju Jatim Park I. Dua mobil dari hotel mengantarku sampai gerbang Jatim Park I, di sini rencananya aku dan rombongan sampai siang; sampai batas waktu check out dari hotel pukul 13.00 wib. Keramaian sudah terlihat di pintu masuk wahana. Aku mengabadikan sosok-sosok yang berselfie ria menggunakan Tongsis. Terdengar kencang suara gamelan/karawitan yang ada di salah satu selasar. Di sudut lain pun banyak orang mengabadikan diri pada replika gong perdamaian.
Jatim Park I Malang
Jatim Park I Malang
“Boleh dibuka tasnya, mas?” Pinta seorang petugas padaku.

Aku menganggukkan kepala seraya membuka tas. Di dalam tas hanya berisi satu lensa, satu kamera pocket, dua hp, dompet, dan tidak ketinggalan satu buku yang tadi kubaca di lobi hotel.

Di dalam ruangan pertama aku melihat banyak patung yang duduk di selasar. Aroma khas  Jawa pun kental, bahkan dipajangan juga tertata banyak topeng. Tidak hanya itu, di salah satu sudut langit-langit; sosok pewayangan (mungkin Gatotkaca) sedang terbang. Ada juga seperangkat alat gamelan serta patung-patung orang bertopeng. Bukan hanya itu saja, patung orang duduh bersimpuh dan sesajen pun juga ada di sini. Oya, di sutu lain pun ada semacam patung orang melakukan Tarian Saman.
Memasuki area Jatim Park I Malang
Memasuki area Jatim Park I Malang
Memasuki area Jatim Park I Malang
Menyusuri setiap ruangan di sini, awalnya ada beberapa binatang. Kemudian masuk pada koleksi budaya. Di sini ada banyak dekorasi rumah suku di Indonesia. Mulai dari Sumatera Utara, Jawa, Sunda, Dayak, sampai ujung timur Indonesia (Papua). Setiap depan rumah adat pun  tidak ketinggalan patung sepasang orang yang mengenakan pakaian adat propinsi yang diwakili. Aku mengabadikan dua sudut yang berada di dalam ruangan dan luar ruangan. Kalimantan dan Papua.
Deretan Rumah adat
Deretan Rumah adat
Deretan Rumah adat
Awalnya aku mengira Jatim Park I hanya berisi wahana air saja, ternyata bayanganku keliru. Setiap lorong sesuai dengan rute kulalui. Keluar dari Budaya, aku masuk ke dalam ruangan sains; ini lokasi mengingatkanku saat masuk ke Taman Pintar. Banyak stand yang berkaitan dengan listrik, biologi, fisika, dan lainnya. Tidak ketinggalan juga ketika aku masuk ke rute kebun dan pertanian. Tepat samping pertanian, aku menjumpai Taman Sejarah. Di sini banyak kumpul relief yang dipahat dari bebatuan. Bahkan pintu gerbangnya seperti saat berada di Bali. Tidak ketinggalan miniatur candi dan rumah-rumah lainnya. Setapak jalan kulalui terus memutar dan sedikit naik. Di sela-sela taman yang berisi pepohonan, di bawahnya juga dibuatkan miniatur kehidupan manusia purba kala itu. Masa-masa prasejarah pun dapat kuamati di sini. 
Masih disepanjang Jatim Park I
Masih disepanjang Jatim Park I
Masih disepanjang Jatim Park I
Semakin kuikuti rute, aku melewati koleksi uang jaman dulu. Sebuah stand kananku berisi macam-macam uang jaman pertama Indonesia mencetak uang. Lalu memasuki lorong kecil yang agak gelap. Di sana terpajang banyak gambar masa perjuangan Indonesia, hampir semua gambar di sini mirip dengan apa yang bisa kita lihat di Museum Benteng Vrederburg. Di sela-sela itu juga terdengar keras suara IR. Soekarno yang membacakan Teks Proklamasi Indonesia tahun 1945. Begitu keluar dari lorong tersebut pemandangan ini diarahkan pada Kerajaan-kerajaan Indonesia; seperti Keraton Mataram, Cirebon, dan kota lainnya di Indonesia. Sebuah anak suangi pun mengalir disisi kanan, aliran air berwarna agak keruh namun dibagian lain ditembok. Ada banyak bentuk-bentuk hewan yang terpajang di tembok tanggul tersebut. Di sana ternyata kumpulan Binatang Mitos. Sementara dialiran sungai kecil itu ada sekumpulan anak-anak yang menaiki sekoci dan berjalan mengikuti aliran air.
Masih di Jatim Park I Malang
Masih di Jatim Park I Malang
Masih di Jatim Park I Malang
Akhirnya langkahku pun berhenti di wahana air. Terbentang di depanku berbagai kolam yang dipenuhi anak-anak bermain air. Kolamnya tidak disesaki anak-anak, namum setiap tempat tunggu yang berbentuk payung-payung lah yang disesaki pengunjung. anak-anak kecil berteriak ceria bermain air, berjalan meniti beberapa utas tali seraya berpegangan. Jika tidak kuat dan tidak seimbang, maka mereka merelakan badannya terhempas ke kolam dengan tawa panjang. Sementara di kolam lainnya pun hampir sama, kolam yang digunakan orang dewasa pun tidak ramai. Beberapa orang main air seraya bermain voli. Ada juga yang berloncatan dari titian tinggi untuk menghempaskan tubuhnya di air.
Bermain di Wahana Air
Bermain di Wahana Air
Bermain di Wahana Air
Tidak jauh dari wahana air, masih banyak wahana lainnya yang bisa kita nikmati. Jika ingin yang sedikit harus menantang mencoba adrenalin, mungkin ada beberapa wahana yang bisa kalian nikmati di sini. Aku pun hanya mengabadikan beberapa wahana yang kulewati. Dan beberapa wahana yang aku abadikan adalah bermain dengan adrenalin yang lumayan tinggi. Kalau aku apa berani? Mentalku belum terlalu cukup untuk mencobanya. Nyaliku terlalu ciut dengan wahana-wahana seperti ini. Jadi aku cukup mengabadikan saja, itupun sudah puas bagiku.
Mau coba yang mana?
Mau coba yang mana?
Mau coba yang mana?
Mau coba yang mana?
Selama di Jatim Park I, aku pun tidak mencoba satu wahana. Walau sebenarnya tiketku sudah include dengan berbagai wahana. Aku hanya duduk santai mengamati orang-orang yang bermain di beberapa wahana; oya, aku mengabadikan beberapa diriku sebagai bukti kalau aku sudah masuk ke sini. Pertama, aku meminta cewek untuk mengabadikanku di rumah adat Papua, waktu itu aku juga gantian memotret dia dengan kameranya. Yang kedua; aku mengabadikan di ruang dua warna. Aku pun meminta sepasang orang yang sedang menikmati waktu berdua di sini untuk mengabadikanku. Sementara aku? Sepertinya aku cukup kuat berjalan sendiri tanpa pasangan di sini. *nasib.
Santai atau sendiri? Sepertinya menikmati kesendirian dengan bersantai
Santai atau sendiri? Sepertinya menikmati kesendirian dengan bersantai
Santai atau sendiri? Sepertinya menikmati kesendirian dengan bersantai
Kulihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 11.30 wib. Aku pun mengabari teman-teman untuk duluan pulang ke hotel. Berhubung jarang Jatim Park I dan Hotel Klub Bunga hanya dekat, aku sengaja jalan kaki menuju hotel. Sesampai di hotel, aku mandi dan berkemas. Kali ini aku dan rombongan akan menuju lokasi lainnya yang tidak jauh dari Jatim Park I, yakni menuju Jatim Park II sekalian check out. Malamnya aku pindah tidur di tempat lain. Serambi menunggu teman-teman yang belum check out, aku sempatkan lagi membaca beberapa halaman buku Dewey yang kubawa di lobi. *Kunjungan ke Jatim Park I ini pada hari Senin, 28 Desember 2015.

Jalan Kaki ke Simpang Lima Semarang

$
0
0
Jika setiap orang berkata tentang Semarang, pikiran kita hampir semua tertuju pada Simpang Lima, Lumpia, Wingko, Tugu Muda, Kota Lama, atau malahan sampai ke Lawang Sewu. Ya, nama-nama tersebut memang identik dengan kata “Semarang”. Walau masih banyak hal yang berkaitan dengan Semarang, tapi Simpang Lima adalah tempat di mana tiap wisatawan ingin sekedar duduk dan bersantai di sana. Termasuk aku!”
Tepat ditulisan Simpang Lima Semarang
Tepat ditulisan Simpang Lima Semarang
Sehari sebelumnya, aku mendapatkan telpon dari Airfast jika pesawat Semarang – Karimunjawa yang seharusnya berangkat pukul 06.00 WIB diundur menjadi pukul 11.00WIB karena pada paginya, pesawat disewa oleh orang Dirjen yang sedang ada keperluan di Karimunjawa. Aku pun mengubah rencana yang sudah tersusun dengan rapi. Berangkat dari Jogja pukul 02.30WIB dan paginya sudah sampai sampai di Semarang pagi hari. Sampai di Terboyo Semarang, kusempatkan sholat subuh (walau sudah agak terang), lantas sejenak rehat merenggangkan otot-otot yang tegang karena duduk dikursi bus beberapa jam.

Kurasa sudah cukup rehat serta mengumpulkan tenaga, aku menggendong ransel seraya jalan keluar Terminal Terboyo. Pagi ini aku sengaja ingin jalan kaki ke Simpang Lima Semarang. Sebenarnya ada opsi naik angkutan atau taksi, tapi aku sengaja ingin menikmati jalanan Semarang sambil jalan kaki. Toh pagi ini belum panas, jadi cukup menyenangkan untuk berjalan. Cukup lama aku mengikuti jalan raya, akhirnya Simpang Lima Semarang sudah di depan mata. Aku berjalan mengelilingi Simpang Lima, dan mengabadikan beberapa sudutnya. Tampak dua bangunan menjulang tinggi di sekitar ruas jalan lainnya, dan berjejer kursi diduduki oleh pengunjung yang bersantai. Ada banyak kursi yang bisa diduduki seraya melepas lelah.
Suasana di Simpang Lima Semarang kala pagi
Suasana di Simpang Lima Semarang kala pagi
Suasana di Simpang Lima Semarang kala pagi
Pagi ini rutinitas pengunjung berolahraga (jogging) mengelilingi Simpang Lima sangat banyak. Berkali-kali aku melihat orang berlari kecil, bermandikan keringat, dan raut wajah yang sumringah. Tak hanya berlari mengelilingi Simpang Lima saja, di sudut dalam lapangan juga terdapat lapangan Basket. Di sana ada sekelompok remaja yang asyik bermain Basket. Terlhat jelas dari sini mereka asyik mencoba berbagai trik untuk memasukkan bola. Berkali-kali gagal dan sempat juga berhasil.

Layaknya tempat tongkrongan yang menyenangkan, Simpang Lima pagi pun tak kalah ramai dibanding malam hari. Ya, jika malam banyak orang duduk santai berbincang-bincang; sekedar berkumpul melepas penat, pagi ini pun banyak orang yang berkumpul. Salah satunya sekumpulan pesepeda yang asyik bersenda-gurau dibeberapa titik. Mereka menyempatkan berfoto ditulisan Simpang Lima sebelum melanjutkan perjalanan bersepeda. Dan di tengah jalan juga hilir mudik para pesepeda yang mengelilingi Simpang Lima. Kecepatan mereka beragam, ada yang menang kencang, tapi tak sedikit yang bersantai mengayuh pedal.
Pilih mana? Basket atau sepedaan?
Pilih mana? Basket atau sepedaan?
Pilih mana? Basket atau sepedaan?
Aku duduk santai di kursi seraya menghadap ke arah lapangan. Mataku tertarik mengamati segerombolan anak-anak kecil yang bermain sepeda di dalam lapangan. Lahan lumayan luas ini memang menjadi daya tarik anak kecil. Di sini mereka bisa bebas beraksi tanpa takut mengganggu pengunjung lain. Gelak tawa panjang mereka terdengar sampai telingaku. Mereka seperti tak mempunyai beban, yang ada hanya kesenangan semata.

Berkali-kali mereka memutari lapangan, saling tukar sepeda, mengayuh dengan kencang, tentunya yang tak ketinggalan adalah beraksi layaknya sang “Freestyle Sepeda”. Tak perlu memikirkan spesifikasi sepeda yang mumpuni, yang penting bisa jumping sudah sangat bahagia. Tak hanya satu anak, tapi semua mencoba beraksi. Aku tertawa melihat tingkah mereka, sesekali aku mengabadikannya. Tentunya, waktu kita masih kecil pasti pernah melakukan hal yang sama. Hasilnya, kalau tidak terjerembab jatuh, ya sukses beraksi. Dan pastinya mencoba lagi sampai puas.
Liburan itu untuk bersenang-senang
Liburan itu untuk bersenang-senang
Liburan itu untuk bersenang-senang
Puas rasanya melihat kegembiraan para anak kecil yang bersepeda di tengah lapangan. Aku beranjak pergi dan menyusuri sudut lainnya. Tepat di tepian Simpang Lima yang tak jauh dari Lapangan Basket, terdapat fasilitas ruang bermain untuk anak anak-anak. Wahana kecil yang berwarna cerah ini menjadi magnet tersendiri bagi keluarga yang mempunyai anak kecil. Di sini mereka dapat menjaga anaknya yang sedang bermain perosotan. Asyik juga, menaiki tangga kecil lalu berselancar sampai ke bawah. Atau bermain ayunan ditemani ibu. Walau hanya sedikit fasilitasnya, tapi cukup tepat rasanya ada tempat bermain bagi anak-anak di Simpang Lima.
Tempat bermain anak-anak di Simpang Lima Semarang
Tempat bermain anak-anak di Simpang Lima Semarang
Tempat bermain anak-anak di Simpang Lima Semarang
Cukup sudah berkeliling Simpang Lima, waktunya aku kembali duduk dan beristirahat melepas lelah. Berkali-kali aku harus menyeka keringat, handuk kecil pun mulai lembab. Kulihat jam tangan, masih cukup pagi. Kusempatkan berfoto ditulisan “Simpang Lima”, niatnya ingin di tengah-tengah, tapi kubatalkan. Karena di sana ada banyak pesepeda yang berkumpul, tidak enak rasanya memasang Tripod di tengah-tengah sana. Setelah itu, aku duduk santai seraya membaca sebuah Novel yang beberapa bulan lalu kubeli. Novel yang berjudul “Penumpang Gelap - Alijullah Hasan Jusuf diterbitkan oleh Kompas.
Halo Semarang :-D
Halo Semarang :-D
Halo Semarang :-D
Lama-kelamaan asyik membaca novel, tanpa sadar perut mulai bunyi. Ahhh, ini tandanya aku harus mengisi perut dulu pagi ini; sepertinya kalau sarapan Lumpia kayaknya asyik. Bergegas aku menyeberang jalan, menyusuri jalan Pandanaran untuk berburu Lumpia. *Kunjungan ke Simpang Lima Semarang pada hari Jum’at; 25 Maret 2016.

Serunya Main Air di Grojogan Mudal Kulon Progo

$
0
0
“Setiap musim hujan datang, salah satu destinasi yang paling banyak dikunjungi adalah air terjun (curug/grojogan). Dan Kulon Progo mempunyai banyak destinasi tersebut, sepanjang Bukit Menoreh menyuguhkan keindahan alam yang mempesona, aliran sungai membuat di banyak titik terdapat air terjun/curug. Ya, curug-curug tersebut kini menjadi destinasi favorit para wisatawan, walau sebagian besar adalah curug musiman.”
Charis sedang melompat ke dalam air, seperti Batman ya :-D
Charis sedang melompat ke dalam air, seperti Batman ya :-D
Tak terasa sudah lebih dari satu bulan yang lalu aku dan rombongan (teman semasa kuliah) main bareng, waktu itu kami menuju Pantai Greweng. Tengah pekan yang lalu, salah satu teman kembali mengusulkan untuk main bareng. Dia hanya berkata “Aku sudah kangen berenang, akhir pekan kita main air yuk?” Dalam sekejap saja respon pun berdatangan, akhirnya kami memilih lokasi yang tak jauh dari Jogja. Teman-teman sepakat menuju Air Terjun Mudal yang ada di Kulon Progo. Taman Sungai Mudal ini mempunyai daya tarik tersendiri, sehingga aku dan yang lain pun menyetujui.

Tiba waktunya, akhir pekan tiga motor rombonganku menyusuri jalan Godean – menikmati tanjakan arah Goa Keskindo; dan berpapasan dengan banyak pesepeda yang suka dengan rute tanjakan. Dari arah Goa Keskindo sudah ada plang yang menuju arah Taman Mudal, lokasi yang searah ke Air Terjun Kembangsoka dan Kedung Pedut di Jatimulyo, Girimulyo. Ada dua jalur pintu ke Air Terjun Mudal, tapi temanku mengarahkan untuk lewat bawa saja. Menurutnya, di sana nanti kami langsung bisa bermain air.

“Total semua 30 ribu, mas. Sekalian untuk parkirnya,” Kata penjaga pintu masuk.

Kuberikan uang pas, lantas rombonganku menaiki jalan cor sampai ke tempat parker. Di dekat sana sudah ada satu kios jualan makanan dan minuman, kios tersebut juga berjualan kaos bertuliskan “Taman Sungai Mudal” dan celana untuk bermain air. Bergegas kami menuju air terjun yang paling bawah, seperti sedang di kola saja. Kalau tidak salah kedalamannya sekitar 2 meter.
Pemandangan di Taman Sungai Mudal Kulon Progo
Pemandangan di Taman Sungai Mudal Kulon Progo
Pemandangan di Taman Sungai Mudal Kulon Progo
Tak perlu berlama-lama, teman-teman sudah kebelet ingin berenang. Dalam hitungan detik, mereka sudah berhamburan ke air. Aku sendiri sedang kurang enak badan, jadi cukuplah main air sekedarnya saja seraya menahan rasa demam. Tiga dari enam rombonganku berenang, sebuah pelambung dari ban dalam mobil dijadikan barang rebutan dua teman. Tak ayal, tingkah mereka menjadi tontonan sendiri. Jangan salah, dua dari tiga teman yang berenang itu pas-pasan skill berenangnya. Tapi mereka cukup sadar diri dan bisa tak lepas kendali.

Mumpung masih pagi, jadi selama kami di sini hanya ada rombonganku berjumlah enam orang, ditambah empat orang dari rombongan lain. Jadi tempat pemandian di Air Terjun Mudal paling bawah ini seakan-akan menjadi milik pribadi. Aku sesekali mengabadikan teman yang bermain air, atau juga melayani permintaan teman yang tak berenang untuk diabadikan tepat di dekat air terjun. Air di sini cukup jernih, berwarna biru menandakan lumayan dalam. Walau tak luas, kalian yang ingin berenang harus tetap waspada.
Ini yang pada main air di Taman Sungai Mudal
Ini yang pada main air di Taman Sungai Mudal
Ini yang pada main air di Taman Sungai Mudal
Aku tertarik menyusuri aliran sungainya. Kata temanku di atas sana ada jembatan bambu dan juga terdapat taman. Sejenak aku turun dan menitipkan tas di warung; kami pun jalan menuju atas. Di sepanjang arah ke atas sudah dibuatkan jalan kecil menyusuri tepian sungai. Terdapat anak tangga yang bisa menjadi pijakan kala ke atas. Dari atas sini, aku dapat melihat indahnya Air Terjun Mudal yang berada di bawah tadi. Tempat yang digunakan teman-teman berenang tadi.

Benar saja, tak jauh dari lokasi paling bawah, di sini ada jembatan bambu. Jembatan Bambu ini sengaja dibuat pengelola untuk menyeberang, namun malah lebih banyak di antara mereka digunakan untuk berfoto. Dari jembatan, aku dapat melihat aliran sungai menuju bawah; airnya benar-benar jernih sekali. Rerimbunan Bambu membuat suasana menjadi lebih sejuk.
Menapaki kaki menuju bagian atas Taman Sungai Mudal
Menapaki kaki menuju bagian atas Taman Sungai Mudal
Menapaki kaki menuju bagian atas Taman Sungai Mudal
Kakiku masih menyusuri arah sungai ke atas. Sekitar beberapa puluh meter dari bawah, terdapat sebuah air terjun. Ini lokasinya dekat dengan Taman Bunga Sungai Mudal. Memang tak terlalu tinggi air terjunnya, tapi debit air sangat melimpah. Aku mengabadikan beberapa kali. Di depanku, tepatnya di air terjun tersebut terdapat tali yang menjalar dari atas ke bawah. Aku tertarik melihatnya. Sesaat aku menduga kalau air terjun ini pasti digunakan berkanyoning. Aku pun beranjak lebih ke atas. Benar saja, di sisi kiriku terdapat beberapa warga yang menggunakan helm dan lengkap dengan alat untuk berkayoning.

“Sudah lama ada kanyoningnya mas?” Tanyaku pada salah satu pemuda yang sedang beristirahat di gubuk kecil.

“Belum lama mas. Ini juga belum diresmikan. Tapi kalau misalnya mas mau mencoba ya kami layani,”Jawabnya tersenyum.

“Tarifnya berapa, mas?”

“Ini juga masih survei harga, mas,” Beliau tertawa.
Air Terjun Mudal untuk berkanyoning
Air Terjun Mudal untuk berkanyoning
Ada yang mau berkanyoning?
Ada yang mau berkanyoning?
Cukup lama kami berbincang di sini. Dari sinilah, aku mendapatkan banyak informasi mengenai rencana Taman Sungai Mudal dalam merias tempat ini. Tak sengaja, aku bertemu juga dengan dua wisatawan mancanegara. Dua turis ini berasal dari Belanda. Kami berbincang lumayan lama, walau bahasa Inggrisku agak terbata-bata, sesekali mereka juga menggunakan bahasa Indonesia. Ya, walau sama-sama tak lancar, tapi aku paham betul yang mereka ungkapkan. Mereka berdua sangat antusias ke tempat ini, dan mereka ingin menikmati suasananya lebih lama. Sekali-kali, mereka juga mengabadikan pemandangan alam ini dengan kamera Mirrolessnya.
Turis Mancanegara dari Belanda
Turis Mancanegara dari Belanda
Tak hanya di bawah tadi, di atas ini juga ada jembatan kecil yang lebih bagus. Tepat di atas jembatan dibuat semacam gubuk kecil. Jadi kita bisa duduk santai diatas seraya melihat lalu-lalang orang yang menyeberang di bawah. Oya, jangan sampai jembatan ini diseberangi secara bersamaan dalam jumlah banyak, takutnya jembatan ini tak kuat menahan berat kalau banyak orang.
Jembatan bambu lagi di Taman Sungai Mudal
Jembatan bambu lagi di Taman Sungai Mudal
Di Taman Sungai Mudal ini ada mata airnya di atas. Dekat dari sana juga disediakan tempat mandi anak-anak kecil. Jadi jika ada yang datang berkeluarga dan mempunyai anak masih kecil, tak perlu khawatir, ada tempatnya untuk anak-anak main air tanpa merasa takut. Di sini juga disediakan penyewaan pelampung. Menurut informasi mas yang tadi berbincang denganku, di atas sana adalah tempat sumber mata air yang ada di goa.
Lokasi permandian yang nyaman buat anak-anak
Lokasi permandian yang nyaman buat anak-anak
Aku dan rombongan pun berkeliling ke tamannya. Ada banyak bunga di sini. Tujuan kami ke sini adalah ingin berfoto bareng tepatnya di depan tulisan “Taman Sungai Mudal” yang berada di tebing. Oya, di atas tebing itu masih ada loh satwa liar; khususnya Kera Ekor Panjang. Jadi jangan kaget kalau misalnya mendengar teriakan kera waktu berada di taman. Sayangnya waktu aku di sini tak melihat sosok satwa penghuni atas tebing yang berekor panjang.
Sah sudah foto di sini
Sah sudah foto di sini
Masih di atas, seperti yang aku bilang tadi, ada banyak jenis bunga yang ditanam di sini. Bunga-bunga tersebut acapkali didatangi Kupu-kupu. Oya, menurut informasi yang aku dapatkan saat berbincang dengan salah satu pengelola; ke depannya Taman Sungai Mudal ini akan ditanami bunga Anggrek. Kegiatan ini akan menggandeng beberapa pihak. Semoga saja secepatnya terealisasikan, sehingga Taman Sungai Mudal tak hanya menyuguhkan air terjun, tempat berenang, tapi juga dengan taman bunganya.
Banyak bunga yang ditanam
Banyak bunga yang ditanam
Di sudut lain, masih di atas, juga sudah ada Flying Fox Outbond. Jaraknya memang tak panjang, tapi sudah lumayan banyak yang antri bermain. Setiap orang yang menggunakan Flying Fox Outbond, ketika sudah sampai pertengahan nanti berhentis enejak untuk diabadikan. Setelah selesai dilanjut sampai ujung. Seru juga kayaknya kalau ikutan.

Flying Fox, mas?” Seorang ibu-ibu berusaha menawarkan jasa Flying Fox-nya pada semua pengunjung.
Ada yang mau coba Flying Fox?
Ada yang mau coba Flying Fox?
Puas rasanya aku dan rombongan menikmati suasana di atas, kami pun mengikuti jalan keluar dari atas, kemudian mengikuti jalan menurun dan kembali ke tempat pertama di area pemandian. Di sini ternyata sudah ada beberapa pengunjung lain. Mereka adalah mahasiswi Psikologi UII. Kami berbincang santai sekaligus berkenalan. Sementara itu, teman yang tadi sudah lumayan kering pun kembali melompat ke dalam air. Mereka terlihat asyik menikmati tiap menghempaskan diri ke dalam air.
Mari beraksi lagi
Mari beraksi lagi
Mari beraksi lagi
Usai sudah kami bermain air, aku dan teman rombongan menuju warung di dekat parkiran seraya membayar sewa pelampung seharga 5ribu. Di sini, aku mendapatkan informasi dari pemilik warung jika lokasi Taman Sungai Mudal ini adalah milik warga setempat. Menurut informasi dari bapak tersebut, lokasi ini dimiliki oleh empat warga. Jika memang punya warga setempat, semoga ada kesepakatan di antara kedua belah pihak dalam mengelola lokasi ini, sehingga ke depannya tak ada permasalahan. Semoga Taman Sungai Mudal bisa bersolek, dan dapat menarik kunjungan wisatawan lebih banyak; sehingga dapat juga mendongkrak perekonomian warga sekitarnya. Oya, serunya kalau ke sini adalah tak terlalu ramai, jadi kalian bisa sepuasnya bermain air. *Kunjungan ke Taman Sungai Mudal ini pada hari Minggu; 20 Maret 2016.
Baca juga tulisan tentang alam lainnya 

Makan Malam di Angkringan Sendang Jogja

$
0
0
Waktu menikmati senja di Spot Riyadi telah usai, aku dan Charis menyusuri jalan menuju kota. Rute yang kami lewati adalah jalan lurus (Jalan Ratu Boko) yang berpangkal di depan Candi Prambanan. Tepatnya sebelum gapura Candi Prambanan. Seperti yang sudah Charis rencanakan, sejalan dengan menuju kos, kami akan berhenti dahulu mengisi perut di Angkringan Sendang. Angkringan ini berada sejajar dengan Pemancingan Sendang Ayu. Kalau dari arah Prambanan, lokasinya di kanan jalan. Lebih tepatnya lokasi ini di Jalan Solo km 15. Jadi tak jauh dari Candi Prambanan.

Sepeda motor yang kami kendarai pun sedikit berlahan, sementara itu Charis mencari jalan untuk putar balik. Begitu sudah berbalik, kami pun memarkirkan kendaraan bergabung dengan kendaraan motor lain yang sudah terparkir. Di sini ada banyak gerobak yang berjejer rapi sepanjang jalan. Bisa jadi lebih dari enam gerobak. Dan di paling ujung terdapat plang besar bertuliskan “Angkringan Sendang”. Aku mengamati tiap gerobak yang berisi makanan siap dilahap. Ada banyak menu yang dapat kita pilih, yang menarik adalah nasi di sini dibungkus dengan kertas bertuliskan Angkringan Sendang.
Sampai di Angkringan Sendang Jogja
Sampai di Angkringan Sendang Jogja
Sampai di Angkringan Sendang Jogja
Tiap angkringan tak semua dijaga, jadi kita dapat hilir mudik mengambil menu di tiap gerobak. Sudah disiapkan piring-piring dan sendok. Penjual angkringan sedang sibuk dipojokan membuatkan minuman yang dipesan pembeli. Menu pun beragam, mulai dari Nasi Teri, Nasi Tongkol, dan masih banyak lagi jenis nasi bungkus di sini. Begitupun dengan Gorengannya; kalian bisa memilih Mendoan, Tahu Goreng, Tahu Bacem, atau malah sate; bisa Sate Kikil, Telur Tusuk; juga tak ketinggalan seperti Ceker, Kepala Ayam, dan Ayam Goreng. Lengkap sudah, jadi ingin menu apa? Bisa juga kalau minta dibakar lauknya.

Angkringan ini berada di tepian jalan. Sehingga parkir kendaran motor/mobil tak mengganggu jalan. Kita bisa menikmati makan nasi angkringan dengan duduk dikursi, atau lesehan di belakang. Di belakang adalah tempat semacam bengkel/tempat cuci mobil yang dibuka dan diberi tikar. Cukup luas sih tempatnya, jadi bia buat kita bersantai. Semakin malam, angkringan ini makin ramai. Rata-rata mereka yang ingin menuju Solo dan sekitarnya berhenti di sini dan makan malam. Selain itu juga ada beberapa keluarga yang sengaja makan malam di sini.
Suasana di Angkringan Sendang
Suasana di Angkringan Sendang
Suasana di Angkringan Sendang
Berbeda dengan angkringan yang ada di tengah-tengah kota, di sini pembeli tak terlalu ramai dan berdesakan. Sehingga kita dapat ngobrol santai selama makan. Walau kadang dikira penjualnya oleh pembeli yang baru datang.

Aku dan Charis mengambil dua bungkus nasi. Kalau aku kedua bungkus Nasi Bakar, sedangkan Charis menunya Nasi Bakar dan Nasi Tongkol. Tentunya kenyang banget makan dua bungkus.

“Wehh, di sana ada tempe gorengnya,”Celetukku melihat ke gerobak lain yang tersedia Tempe Goreng.

“Ada banyak menu, jadi bingung ambil yang mana lauknya,” Balas Charis tertawa.
Ini temanku Charis yang mengajak makan di sini
Ini temanku Charis yang mengajak makan di sini
Kami pun menikmati makanan tersebut di gerobak paling ujung. Sedangkan di gerobak yang tak jauh dariku ada dua cewek yang juga menikmati makan malam, kami hanya saling menyapa sejenak lalu kembali melahap makanan yang ada dipiring. Sepertinya seluruh gerobak angkringan tersebut dikoordinasi orang yang sama, karena saat aku akan membayar, lokasi tempat kasir ada dipaling pojok. Jadi tinggal ke sana, sebutkan apa-apa yang kita makan da membayarnya. Untuk harga relatif murah kok. Jadi kalau sedang ke Jogja atau dari Jogja ingin ke Klaten dan sekitarnya bisa mampir makan malam di sini. Menunya beragam, jadi kadang sampai bingung mau milih makan apa. *Kuliner di Angkringan Sendang pada hari Kamis; 28 Februari 2016.
Baca juga kuliner lainnya 

Tips Memotret Momen Liburan Layaknya Fotografer Pro

$
0
0
Mengabadikan tiap momen selama liburan
Mengabadikan tiap momen selama liburan (sumber gambar: http://www.telegraph.co.uk/)
Memotret adalah hal yang pasti dilakukan saat liburan. Mengabadikan momen liburan akan menjadi kumpulan dokumentasi pengalaman hidupmu. Melalui potret itu, kita bisa membagikan pengalaman tersebut kepada siapa saja. Menceritakan setiap momen yang sudah kita abadikan.

Terus-menerus selfie selama liburan malah bisa membuat foto menjadi monoton karena tidak menangkap keindahan sesungguhnya dari lingkungan sekitar. Kita pun jadi tidak bisa leluasa memamerkan foto tersebut karena tidak semua orang senang melihat foto yang isinya muka si pemiliki foto saja. Oleh karena itu, kita perlu sesekali mencoba memotret dengan “niat” saat liburan.

Saat ini, kecanggihan gadget telah memungkinkan kita untuk dapat menangkap momen liburan dalam kualitas baik. Kecanggihan tersebut hendaknya kita padukan dengan cara tertentu untuk menyempurnakan hasil foto liburan kita. Jika foto liburan kita nampak berseni, tentu kita akan lebih betah memandanginya serta lebih bangga memajangnya.

Berikut ini adalah beberapa tips menarik dan mudah yang bisa kamu lakukan untuk mendapatkan hasil foto liburan layaknya fotografer profesional. Kamu tidak perlu repot-repot membeli kamera mahal. Bermodal ponsel dan kamera saku pun kamu sudah bisa menjadi fotografer travel. Tentu ada hal yang harus dipahami sebelum mengambil setiap sudut gambar.

Memilih objek yang menarik
Seorang fotografer cenderung memiliki kepekaan tersendiri. Bahkan, seorang fotografer dapat menemukan objek menarik dari apapun. Kita yang amatiran bisa memulainya dengan mengunjungi destinasi favorit yang terkenal dengan panorama indah. Carilah destinasi yang bisa memberikan banyak momen sekaligus (pemandangan alam, kota, budaya, kuliner, dan sejarah dalam satu kawasan).

Beberapa daerah di Indonesia yang menjadi tujuan favorit para fotografer travel yang bisa kamu kunjungi:
- Kawasan Kota Tua, Jakarta
- Candi Borobudur, Jawa Tengah
- Danau Situ Gunung, Sukabumi
- Danau Toba, Sumatera Utara
- Pulau Bangka Belitung
- Desa Ubud, Bali
- Raja Ampat, Papua
- Derawan, Kalimantan Timur

Kamu dapat menggunakan maskapai bujet, seperti AirAsia yang menyediakan banyak rute ke seluruh penjuru Tanah Air, untuk mengunjungi daerah-daerah tersebut. Agar mendapatkan harga termurah, sebaiknya kamu memanfaatkan Airasia booking seperti di Traveloka.

Tangkap beragam momen
Saat berlibur, janganlah memotret diri sendiri melulu. Biasakanlah untuk berbaur dan mempelajari lingkungan sekitar. Janganlah terpaku pada satu tempat saja. Eksplorasi sesering mungkin untuk menemukan momen terbaik yang bisa kamu abadikan. 
Beberapa objek menarik untuk difoto:
- Arsitektural tempat wisata
- Panorama alam
- Makanan khas/Kuliner
- Aktivitas penduduk lokal/Kearifan lokal
- Hasil kerajinan tangan penduduk
- Ikon khas daerah
- Penampakan unik; seperti hewan langka, dan fenomena alam khas daerah

Catatan penting
  • Sebelum memulai perjalanan, pastikan kamu mengisi penuh daya ponsel atau kamera saku yang akan kamu gunakan untuk memotret.
  • Jangan lupa membawa memori dan baterai cadangan.
  • Saat memotret, pastikan kamu telah mengetahui peraturan sekitar. Cari tahu apa saja yang boleh difoto dan apa saja yang tabu.
  • Bangun lebih pagi karena momen matahari terbit di setiap daerah selalu menarik untuk dipotret.
  • Maksimalkan fitur yang terdapat dalam kamera. Sebaiknya utak-atik cara penggunaannya sebelum kamu memulai perjalanan. Misalnya; selagi masih di rumah, di hotel, dan saat beristirahat.
  • Jika memotret menggunakan ponsel, cari aplikasi yang menyediakan fitur macro zoom. Macro zoom sangat berguna membuat foto objek nampak lebih detail dan berseni.
  • Kamu bisa memanfaatkan beragam efek foto untuk menambah kesan seni. Namun foto terbaik adalah yang menangkap warna asli dari objek yang dipotret.
  • Biasakan untuk memerhatikan teknis dasar seperti pencahayaan dan komposisi foto.
  • Bersikaplah ramah dengan orang sekitar. Minta izin jika ingin memotret orang atau benda/tempat milik orang lain. Apabila kamu janji untuk memberikan foto itu kepada mereka, jangan sesekali kamu lupa.
  • Ajak penduduk sekitar mengobrol untuk mencari tahu info menarik lain yang mungkin bisa menginspirasimu untuk memotret.
  • Jangan menggunakan flash/lampu kilat saat memotret orang lain.
  • Jika ingin memotret diri sendiri, cobalah pose yang lebih bercerita dibanding sekadar narsis.
  • Kemasi perlengkapan memotretmu ke dalam tas yang mudah dijangkau, tahan air, dan tahan banting.
  • Jangan terpaku pada kamera saja. Tetaplah nikmati momen liburan secara langsung. Berbaurlah dengan aktivitas di tempat tersebut karena inilah cara terbaik mengabadikan momen.
  • Potretlah objek sebanyak mungkin dan dari berbagai sudut, sehingga kamu bisa memilih foto-foto mana yang menurutmu lebih bagus.

Menapaki Setiap Sudut di Lawang Sewu Semarang

$
0
0
Benar saja, tak berapa lama dari tempat Lumpia, aku sudah sampai di kawasan Tugu Muda. Di sebelah kananku banguan mencolok Lawang Sewu, sudah ada banyak pengunjung yang masuk. Aku sendiri melepaskan lelah duduk di dekat Kantor Polisi. Kulihat jam tangan, perjalanan dari Jalan Pandanaran (Lumpia) sampai di sini sekitar 15 menit saja. Jadi lengkap sudah perjalanan pagi tadi. Dari Terminal Terboyo – Simpang Lima Semarang– Lawang Sewu. Lumayan capek juga.

Tak kuceritakan sejarah tentang Lawang Sewu, aku yakin sudah banyak di antara kalian paham dengan tempat ini. Jika belum paham, ada banyak literatur yang mengulas tempat bersejarah tersebut. Sebuah pintu kecil di antara pagar terbuka, di sana ada lebih dari 15 pengunjung yang santai seraya mengabadikan diri. Aku memasuki pintu kecil, di sana ada dua satpam yang menjaga. Diarahkan aku ke tempat tiket yang ada di sisi kiriku. Sebuah stand kecil di dalamnya hanya berisi dua perempuan.
Lawang Sewu dari seberang jalan
Lawang Sewu dari seberang jalan
“Tiketnya Rp.10.000, mas.”

Kusodorkan uang pas ke arah perempuan tersebut. Lalu diberinya aku kertas tiket masuk.

“Boleh motret di dalam?” Tanyaku seraya menunjukkan kamera.

“Boleh mas, silakan masuk lewat sisi kanan,” Jawabnya memberi arahan.

Sebuah plang petunjuk arah masuk mengarahkan anak panah ke kanan. Sementara di sudut tulisan keluar sudah ada banyak pengunjung yang menumpuk. Bisa jadi mereka ingin beristirahat sebelum pulang atau menunggu teman-temannya yang masih di dalam. Setiap sudut sudah cukup ramai rombongan, sepertinya hanya aku yang datang sendirian tanpa teman. Seraya memanggul ransel, aku mengikuti jalan yang mengantarku pada pintu portable pengecekan tiket.

“Tiketnya mas?”Tanya lelaki di dekat pintu masuk.

Kuserahkan tiket tadi, lalu dicek dan plang pintu tersebut membuka. Aku bergegas mengambil tiket dan duduk di tengah-tengah halaman Lawang Sewu. Di sana terdapat sebuah pohon Mangga besar yang rindang, sementara di bawahnya ada banyak kursi panjang. Tak ketinggalan orang yang menawarkan foto sekali jadi menyapa setiap pengunjung. Aku mengabadikan salah satu sudut yang tampak dari tempatku duduk. Belum ingin rasanya mengelilingi setiap ruas lorong pintu Lawang Sewu.
Petugas memeriksa tiket masuk ke Lawang Sewu
Di dalam area Lawang Sewu, Semarang
Di dalam area Lawang Sewu, Semarang
Sedikit yang kuketahui tentang Lawang Sewu; penamaan yang mengartikan Seribu Pintu dalam bahasa Jawa. Tempat ini memang mempunyai banyak pintu, tapi tak sampai seribu. Hanya saja bangunan jaman penjajahan Belanda ini mempunyai jendela-jendela yang panjang mirip dengan pintu. Jika kubaca beberapa literatur; orang-orang pun menamakan jendela panjang hampir seperti pintu tersebut sebagai pintu. Kutapaki satu banguan dari yang paling dekat. Di sini ada banyak pintu yang terbuka. Sejajar dengan pintu-pintu lainnya, jarak antara pintu pun hanya sekitar dua meter saja. Pintu-pintu seragam berwarna gelap, dan modelnya pun sama. Tempat inilah yang paling banyak digunakan para pengunjung berfoto. Semacam ikon tempat Lawang Sewu. Satu pintu kupegang dan coba kugerakkan, terdengar suara berderit. Pintu-pintu ini memang sudah sangat lama.

Sementara itu, aku masuk ke dalam ruangan di sisi lainnya. Di sini tak terlihat jejeran pitu. Hanya jalan teras semacam lorong panjang dan pondasi menjulang tinggi. Jalannya tak lebar, hanya sempit tapi tinggi. Ornamen bata tersusun tiap pondasi, dikombinasikan dengan cat putih serta lantai agak coklat.  Ditambah lagi suasana hening menjadikan tempat ini cukup sunyi. Padahal ada banyak pengunjung yang berdatangan, tapi tetap saja suasana sunyi tak terelakakkan.
Memasuki sudut-sudut ruangan di Lawang Sewu
Memasuki sudut-sudut ruangan di Lawang Sewu
Memasuki sudut-sudut ruangan di Lawang Sewu
Kumasuki ruangan yang tersekat tiap tembok dan pintu. Tanpa sengaja aku memasuki ruangan yang di dalamnya ada sekeluarga menonton video yang menceritakan tentang Kereta Api. Jejeran kursi panjang dan meja bulat tak dipenuhi pengunjung, hanya sekeluarga itu saja duduk manis melihat ke arah monitor. Si kecil terdiam menikmati setiap tayangan yang dilihatnya. Berbeda dengan sekumpulan anak-anak SMP, mereka berlari ke sana-kemari tanpa tujuan, asal masuk ruangan, teriak-teriak bareng temannya dan keluar lagi. Cukup ramai kalau sedang bersua dengan segerombolan anak tersebut.

Masih diruangan yang sama, di sini ada miniatur Kereta Api yang dipajang. Sebuah tulisan dilarang menyentuh pun terpampang jelas. Ada banyak jenis miniatur Kereta Api pada masanya. Bisa jadi si kecil tersebut sangat antusias karena melihat video Kereta Api. Menyenangkan sekali rasanya mengenalkan sikecil dengan informasi-informasi penting seperti ini, Lawang Sewu bisa menjadi salah satu tempat berlibur anak-anak.
Asyik melihat video Kereta Api
Asyik melihat video Kereta Api
Miniatur Kereta Api terpajang di dinding
Miniatur Kereta Api terpajang di dinding
Kurang puas rasanya duduk di sini, aku melangkah menyusuri tiap sudut ruangan di lantai satu. Pintu-pintu terbuka di tengah ruangan, setiap ruangan serasa tembus ke ruangan lain jika seluruh pintu dibuka. Beberapa pajangan lukisan pun terpampang di tembok, aku asal melangkahkan kaki sampai sudut. Di sini pun kembali aku bertemu dengan sekelompok anak tadi yang berlarian. Mereka berhamburan menyelusup di antara pintu, berpencar dengan temannya diiringi teriakan gelakan tawa panjang. Aihh, anak-anak, ceria banget kayaknya. Tak hanya pintu yang terbuka, lorong panjang seperti sisi lain tadi pun juga ada di sini. Di dalam ruangan yang sunyi. Hentakan kaki para pengunjung terdengar dari segala penjuru. Terlebih jejakan kaki anak-anak yang berlarian.

Sampailah aku diruangan lain yang agak lebih gelap. Di sini aku bertemu dengan penjaga Lawang Sewu sedang membersihkan tembok dari sarang Laba-laba. Kembali lagi sekumpulan anak kecil di belakangku. Mereka mengamati tangga yang di lantai dua dan tiga terdapat jendela berornamen. Sejurus anak-anak ingin menaiki tangga dan berfoto di atasnya.
Suasananya lengang sekali
Suasananya lengang sekali
Suasananya lengang sekali
“Jangan naik ya dek, itu ada tulisannya dilarang naik. Kalau mau ke lantai dua dan tiga lewat tangga bangunan yang sana,” Kata bapak yang membersihkan.

“Kenapa pak kok nggak boleh?” Protes anak-anak.

“Kan ada tulisannya dilarang naik,” Sahut bapak lagi.

Sepertinya anak-anak tersebut sedikit kecewa, lalu mereka meninggalkan tempat tersebut sambil menggerutu. Namanya juga anak-anak, wajarlah bila menggerutu. Sebuah plang tulisan dilarang naik memang terpajang di antara rantai-rantai yang menutupi sebagian jalan menuju tangga. Walau sebenarnya rantai tersebut masih bisa dilewati jika mau sedikit miring atau melompati rantai. Aku mengabadikan dari bawah, dan ketika aku di sana datanglah dua sejoli yang juga ingin berfoto. Diabaikannya tulisan tersebut, sang perempuan pun berfoto dari tangga naik ke lantai tiga.

Aku hanya memberi isyarat tulisan tersebut, sang lelaki hanya tersenyum dan mengabaikan saja. Dia terus memotret perempuan dengan kamera smartphone. Ternyata anak-anak jauh lebih mudah diberi tahu daripada orang dewasa yang tak paham dengan bacaan larangan tersebut. Akupun berlalu saja meninggalkan dua sejoli yang asyik berfoto.
Indah sekali ornamennya dari bawah
Indah sekali ornamennya dari bawah
Dan jika kita berkunjung di suatu tempat tanpa mengabadikan tentunya kurang lengkap. Aku menapaki anak tangga yang berada dipojokan, dekat mushola dan toilet. Dari tangga tersebut aku naik ke lantai dua. Selama menaiki tangga, sempat aku berpapasan dengan rombongan lain. Cukup sempit sebenarnya tangga tersebut, aku berhenti seraya mempersilakan mereka jalan lebih dahulu. Di lantai dua bentuknya tak jauh beda dengan lantai pertama. Jejeran pintu menjadi tempat yang harus diabadikan, aku mengambil Tripod dan memasang Kamera Mirroless Nikon 1 J3. Tak lupa sebuah buku yang memang menjadi teman seperjalananku selama akhir pekan ini.
Halo Lawang Sewu...
Halo Lawang Sewu...
Halo Lawang Sewu...
Puas rasanya mengelilingi sebagian besar lokasi Lawang Sewu, aku pun turun ke bawah. Yang kutinggalkan adalah lantai paling atas, aku menuruni anak tangga dan keluar. Di luar dekat toilet terdapat tempat rak sepeda yang unik, tempat tersebut seperti menggantungkan sepeda. Tempat ini peninggalan dari Belanda. Tak hanya itu, di area halaman depan juga terdapat dua lokomotif. Di sini anak-anak mengabadikan diri bareng Kereta Api. Aku hanya duduk santai di kursi di bawah pohon mangga. Saat aku duduk santai, terlihat empat orang duduk santai di dekatku. Mereka terlihat berbeda dengan pengunjung lainnya, keempat orang tersebut memanggul carrier ukuran besar. Kami pun bertegur sapa.

“Habis ngecamp di mana?” Tanyaku mengawali sapaan sambil berjabat tangan.

“Merbabu mas. Mas sendiri?”

“Aku hanya main-main sini saja.”

Obrolan santai berlanjut, keempat orang ini adalah teman-teman dari Bogor, Banten, dan dua dari Jakarta. Mereka meminta ijin keliling Lawang Sewu, karena Kereta Api yang dinaiki nanti berangkat pukul 14.00WIB. Aku kembali duduk di kursi, kemudian datanglah pak polisi yang mengantarkan rombongan ibu dari Polda Jateng. Kami kembali ngobrol santai, membahas tentang liburan. Sangat supel bapak polisi satu ini, beliau bertugas di Semarang Tengah, tak lama berselang beliau ijin keluar terlebih dulu karena rombongan Ibu Polda melanjutkan ke Sam Poo Kong. Oya, aku sempat berfoto dengan empat teman yang tadi ngobrol. Senang kenal dengan kalian.
Bertemu dengan teman baru
Bertemu dengan teman baru
Tepat pukul 10.00WIB, aku keluar dari Lawang Sewu. Bergegas aku mencari taksi menuju Bandara Ahmad Yani Semarang. Rencananya pukul 11.00WIB aku terbang ke Karimunjawa menaiki Pesawat Airfast. Pesawat ini menggantikan Susi Air yang sempat melayani penerbangan Semarang – Karimunjawa. *Kunjungan ke Lawang Sewu Semarang pada hari Jum’at; 25 Maret 2016.
Baca juga tulisan budaya lainnya 

Sunrise Cantik dari Jembatan Layang Janti

$
0
0
Akhir pekan kembali menyapa, aku melewati hari sabtu dengan lembur di kantor. Pekan depan bakalan menjadi pekan yang sibuk, ada banyak agenda kantor yang waktunya bersamaan. Sejenak kulupakan tentang pekerjaan, minggu pagi ini aku luangkan waktu berkumpul dengan teman-teman sesama pesepeda yang mengadakan kopdar Jogja Gowes #6. Pagi yang cerah, hanya ada segumpal awan tebal di ujung timur. Tepatnya menghalangi mentari jika nantinya terbit.
Sunrise dari atas Jembatan Layang Janti
Sunrise dari atas Jembatan Layang Janti
Cahaya kekuningan berpendar diufuk timur, sebentar lagi mentari akan muncul. Pemandangan sunrise yang tak boleh terlewati sebenarnya. Namun aku masih bingung, dimana lokasi yang tepat untuk melihat sunrise dengan senggang waktu tak lama. Aku teringat jalan jembatan layang Janti, lokasi yang kemarin hari rabu; saat Gerhana Mataharikatanya disesak orang untuk melihat gerhana. Bergegas aku mengayuh sepeda menuju jembatan layang Janti. Memang tak membutuhkan waktu lama, hanya beberapa menit saja, aku sudah sampai di jembatan tersebut. Dari ufuk timur, mentari mulai merangkak.

Dari atas jembatan layang Janti, aku dapat melihat leluasa pemandangan. Sebenarnya ini bukan tempat yang diperbolehkan untuk menghentikan kendaraan, tepat di atas jembatan ini ada dua rambu-rambu lalulintas yang melarang tiap pengendara berhenti di sini. Ya, aku melanggar aturan tersebut, pagi ini aku dan sepedaku berhenti di tepian jalan. Aku baru sadar, berarti selama ini banyak orang yang melanggar aturan karena berhenti di atas sini. Setiap pagi (dulu) kalau aku bersepeda, seringkali kulihat ada motor yang berhenti di atas dan menunggu sunrise. Lampu belakang sepeda kubiarkan hidup, dan menepikan sepeda tepat bersandar dinding jembatan.
Menantikan Sang Surya dari atas Jembatan Layang Janti
Menantikan Sang Surya dari atas Jembatan Layang Janti
Menantikan Sang Surya dari atas Jembatan Layang Janti
Dari atas jembatan, aku dapat melihat panjangnya rel kereta api. Berharap pas sunrise terlihat jelas ada kereta api yang lewat. Tepat diujung rel jauh sana, cahaya kekuningan masih terlihat jelas. Hanya saja, gumpalan awan tebal menutupi sang mentari. Aku mengabadikan ditengah keremangan cahaya pagi. Walau masih agak gelap, tapi besi-besi rel kereta api bisa dilihat dengan jelas.

Kuabadikan beberapa kali sebelum lanjut berkumpul di titik kumpul 2 acara kopdar. Tak lebih dari lima menit, aku di sini. Begitu kamera kumasukkan ke dalam tas, aku mendengar suara sirine yang berbunyi di bawah. Sirine yang menandakan sebentar lagi ada kereta api yang akan lewat. Portal di jalan bawah jembatan pun menutup, kuurungkan niat memasukkan kamera. Kembali kuambil dan mencari dari arah mana kereta api ini melaju.

Dari ujung rel barat terlihat lampu yang menyorot ke depan. Ini artinya kereta api melaju dari arah Stasiun Lempuyangan menuju arah Solo. Kutunggu kereta api ini sampai melewati bawah jembatan Janti, dan memotretnya pada saat berada di timur. Tentu bakalan indah, kala sunrise ini tak hanya tentang cahaya dan rel saja, tapi ada kereta apinya. Waktu yang tepat untukku, sebuah keberuntungan bisa mengabadikan sunrisedengan gerbong-gerbong kereta api yang melaju di rel. Walau gerbongnya hanya terlihat mengkilap dan panjang, aku sangat puas mengabadikannya. Dua kali jepretan, aku kembali memasukkan kamera ke dalam tas, dan meninggalkan jembatan Janti. Oya, selama di atas jembatan Janti aku agak gemetaran, ketika ada truk/bus lewat, rasanya seperti bergerak jembatannya. Nggak kebayang waktu tahun baru atau pas Gerhana Matahari kemarin, lalu-lalang kendaraan banyak disertai kumpulan orang berhenti di sini.
Selamat Pagi Kereta Api
Selamat Pagi Kereta Api
Selamat Pagi Kereta Api
Kopdar Jogja Gowes #6
Bisa jadi aku sepuluh menitan di atas Jembatan Janti, melanggar aturan selama sepuluh menit itu menjadi beban tersendiri. Kalau bisa jangan ditiru ya!! Aku menunggu rombongan yang start dari Keraton menuju Blok O (Tikum kedua), di sini ada banyak pesepeda yang menunggu rombongan kopdar. Aku berbaur dengan pesepeda lain, saling berjabat tangan dan menyapa. Inilah serunya kopdar sepeda, aku bisa berkenalan dengan berbagai pesepeda yang profesinya beragam.

Tujuan destinasi pertama adalah Lava Bantal. Puluhan sepeda berurutan menyusuri jalan Berbah. Lebih dari 50 pesepeda dari berbagai jenis sepeda dan komunitas. Sampai di Lava Bantalbanyak yang berfoto, mereka mengabadikan diri berkelompok. Sementara aku asyik memotret teman-teman secara acak. Di grup WA, teman grup sudah mewanti-wanti aku untuk mengabadikan pas kopdar. Inilah resiko potografer amatiran, pokoknya asal jepret saja. Intinya kan ada dokumentasi yang bisa aku bagikan di Grup WA & FB. Di sini aku tertarik mengabadikan pesepeda senior, beliau sangat dikenal oleh pesepeda di Jogja, bahkan di luar Jogja. Dengan mengendarai sepeda Federal lengkap dengan paniernya, aku membidik Mbah Kung Endy.
Pesepeda senior Mbah Kung Endy sedang mengabadikan gambar
Pesepeda senior Mbah Kung Endy sedang mengabadikan gambar
Puas bersantai dan mengabadikan di Lava Bantal, rombongan kopdar berlanjut ke Spot Riyadi. Tahu kan Spot Riyadi? Ituloh  lokasi yang indah bagi kita yang ingin mengabadikan sunrise pagi hari. Berbagai insiden sempat terjadi selama bersepeda, ada yang ban sepedanya bocor, bahkan meledak sehingga tak melanjutkan perjalanan ikut Kopdar. Atau ada yang partnya rusak, beruntunglah sepedaku sampai saat ini masih waras.

Tanjakan arah ke Abhayagiri menjadi sarapan pagi bagi pesepeda. berlanjut lagi tanjakan jalan cor menuju destinasi kedua. Sesampai di lokasi, ternyata sudah banyak teman pesepeda yang sampai duluan. Aku memang agak terlambat karena menunggu teman yang di belakang. Di sini aku menyapa Pak Riyadi yang menyambut kami. Entah ini sudah keberapa kali aku singgah di sini. Tapi ada banyak pesepeda yang baru pertama kali sini.

Spot Riyadimemang menarik untuk diabadikan, setidaknya mengabadikan sepeda berlatar belakang sawah, gunung, dan candi. Aku mencari posisi yang agak jauh dari warung pak Riyadi, sengaja menunggu para pesepeda yang ingin berfoto. Sengaja aku ingin mengabadikan mereka tanpa diketahui, biar terlihat candid. Banyak hasil bidikanku dari sini. Salah satu bidikan yang sengaja kuposting adalah Mbah Supono yang masih kuat dan tangguh dengan Sepeda Tuanya. Beliau adalah sosok pesepeda yang sangat disegani, ke lokasi manapun tingginya; beliau tetap menggunakan sepeda tersebut. Selain itu, aku juga tertarik mengabadikan salah satu peserta kopdar yang berfoto dengan sepedanya menghadap ke utara. *Duh sepedanya bikin mupeng aja.
Mereka yang menyempatkan waktu bersepda bareng
Mereka yang menyempatkan waktu bersepda bareng
Mereka yang menyempatkan waktu bersepda bareng
Namanya juga kopdar, jadi kurang lengkap rasanya kalau tidak foto bersama. Jadi kupasang tripod, dan mengatur setelan kamera untuk foto bareng. Beruntunglah para peserta kopdar sangat kompak, jadi mereka semua rela menunggu aku mengatur setelan kamera tanpa bubar. Ya, walau tak semuanya, tapi hampir 90% ikut berfoto. Usai foto bareng, aku ngobrol santai dengan Mbah Kung Endy; minggu kemarin bersepeda dengan beliau ke Mangrove Congot, dan minggu ini bareng ke Spot Riyadi. Dua kali akhir pekan berturut-turut sepedaan bareng beliau.
Ada yang lihat aku? Itu loh paling depan pakai kaos orange :-D
Ada yang lihat aku? Itu loh paling depan pakai kaos orange :-D
Terima kasih untuk semua peserta kopdar, senang bertemu teman-teman baru. Aku pastikan setelah hari ini akan banyak tambahan pertemanan di FB. Terima kasih untuk teman-teman Jogja Gowes; Mas Yuda, Mas Febri, Mas Ito, Mas Ipunk, Mbak Hastuti, Mbak Arry, Mbak Dea, dan teman-teman lainnya. Tak lupa terima kasih untuk Mbah Kung Endy yang mentraktir aku di sini. Dan terima kasih untuk semuanya, semoga kita tetap semangat bersepeda; menjelajahi sudut-sudut Jogja penuh semangat dengan bersepeda.
Baca juga cerita lainnya 

Berkunjung ke Museum Satwa di Jatim Park II Malang

$
0
0
Menjelang pukul 11.30 wib, aku sudah kembali dari Jatim Park I jalan kaki menuju Klub Bunga Hotel yang jaraknya hanya beberapa ratus meter saja. Sebelum check out pukul 13.00 wib, aku kembali mandi dan mengemasi barang. Keluar dari dalam kamar, dua tas kubawa. Sebuah ransel dan tas kecil yang aku gunakan untuk menyimpan kamera. Berjalan aku menuju lobi, menyerahkan kunci ke petugas.

“Teman yang lain belum balik kok, mas. Tunggu saja di lobi,” Ujar salah satu teman rombongan.

Aku menghabiskan waktu membaca buku yang sempat tertunda. Tanpa terasa lebih satu jam aku di sini, satu demi satu teman rombongan berdatangan dengan membawa tas/koper. Perasaan semakin banyak saja yang mereka bawa, bisa jadi mereka malas melipat pakaian dengan baik sehingga asal masuk saja ke dalam tas/koper. Tangan-tangan mereka pun menjinjing kantong plastik yang berisi pakaian juga.

“Kita makan siang, habis itu langsung ke Jatim Park II. Sorenya baru menuju penginapan terakhir di Kebun Teh Wonosari, Lawang.”

Dua buah mobil dari tadi sudah menunggu; Elf dan Avanza. Seluruh barang dimasukkan ke dalam Elf, kemudian rombonganku meninggalkan hotel untuk makan siang. Menu Iga Bakar sudah menantiku di Warung Lesehan. Sesampai di warung, aku mulai mencari sebuah kertas yang bertulis namaku. Di sana aku nantinya aku mendapatkan menu tersebut. Seraya melahap makan siang, kami pun berbincang santai. Satu jam berselang, rombongan kembali sudah di mobil, menuju Jatim Park II, dan turun di lobi Hotel Pohon Inn. Sebuah bangunan berawarna merah megah di depanku bertuliskan “Batu Secret Zoo”.
Sampai di Jatim Park II Malang
Sampai di Jatim Park II Malang
Bergegas aku dan rombongan bergabung dengan kerumunan pengunjung yang antri masuk. Awal pekan ini tidak berpengaruh bagi pengunjung yang tetap ramai masuk. Pemandangan pertama yang terlihat di sini adalah hewan-hewan. Di bawah aliran air terdapat Tikus besar, lalu di sisi kanan dan kiri ada banyak jenis Kera. Teriakannya saling bersahutan, gerakannya pun kadang mengagetkan para pengunjung. Aku semangat untuk mengabadikan beberapa kali, berebutan tempat dengan pengunjung lain.

Sepanjang kanan-kiri masih berbagai jenis Kera. Ada yang besar, dan ada juga yang kecil. Terdapat nama-nama pada kandangnya, tapi tak sempat kubaca. Bagaimana mau membaca kalau untuk berjalan saja aku kesusahan. Berdesak-desakan dengan pengunjung lain yang tak mau bergerak karena melihat berbagai jenis Mamalia tersebut. Aku menyelinap di antara keramaian, melihat hp yang penuh pemberitahuan untuk kumpul di depan tempat tadi pukul 17.00WIB.
Jangan melamun lah..
Jangan melamun lah..
Jangan melamun lah..
Keluar dari kerumunan para pengunjung yang sesak, aku berada di atas. Dari sini terlihat banyak pengunjung di bawah. Jalan yang tidak besar pun ramai pengunjung yang kepalanya melongok ke bawah. Kulihat ada satu Buaya, kemudia ikan besar. Namun aku tidak tertarik berlama-lama, masih banyak objek yang bisa aku saksikan selama di tempat ini. Jalanan pun menurun, kemudian sampailah pada sebuah pohon yang dipenuhi Kangguru, tidak ketinggalan Kura-kura yang berjalan lambat bersembunyi di celah rumah buatan.
Lagi bersantai kayaknya
Lagi bersantai kayaknya
Lagi bersantai kayaknya
Kuikuti terus jalan di depan dengan melihat tanda panah. Koleksi hewan pun kembali menampilkan Kera yang bentuknya unik, aku hanya mengabadikan beberapa saat menyusuri jembatan lagi. Di sini ada Kelelawar juga, namun begitu sampai bawah lagi aku melihat berbagai jenis burung. Di sudut pun ada tempat di mana kita bisa berfoto dengan burung yang warnanya indah serta sudah jinak. Dua pawang burung disibukkan permintaan para pengunjung yang berfoto. Aku hanya melalui saja, mataku kembali mencari burung-burung untuk kuabadikan. Ini jenis burung apa ya? Warnanya bagus merah-merah. Burung-burung ini tidak merasa terganggu sedikitpun oleh kehadiran pengunjung. Mereka tetap santai walau banyak kamera yang mengabadikannya.
Lagi bersantai juga burung-burung ini
Lagi bersantai juga burung-burung ini
Lagi bersantai juga burung-burung ini
Tatkala sedang asyik-asyiknya mengamati burung, hujan deras mengguyur. Seketika para pengunjung berhamburan mencari tempat teduh. Aku berlari menuju rute selanjutnya yang ada di dalam ruangan agak gelap. Tak kubaca ini koleksi hewan apa, yang penting terhindar dari guyuran air hujan. Ternyata aku memasuki kawasan hewan reptile. Ada banyak jenis ular di sini bercampur dengan Iguana dan Kadal. Kuganti lensa yang lebih kecil dan mengabadikan beberapa hewan melata tersebut. Kuamati satu demi satu jenis Ular yang ada di dalam, semuanya terlihat berbisa. Hanya saja di lorong agak luas terdapat seekor Piton besar melingkar.
Yang penting motret dulu
Yang penting motret dulu
Yang penting motret dulu
Masih di area yang sama, kali ini hewan yang dilihat adalah berbagai jenis ikan. Kuamati sesekali jenis ikan yang kurasa menarik untuk dilihat. Namun ada beberapa akuarium yang paling banyak dikerumuni para pengunjung; pertama adalah akuarium Ikan Nemo, di sana orang-orang enggan beranjak pergi untuk dapat mengabadikan ikan lucu yang hidup di karang tersebut. Kedua yang ramai adalah akuarium terbuka Bintang Laut. Sepertinya Bintang laut menjadi hewan yang digemari para pengunjung untuk diangkat dan dimain-mainkan. Aku sudah terbiasa melihat keduanya di laut lepas saat di Karimunjawa. Aku mengabadikan seekor ikan kecil yang terlihat mendekati moncong lensaku saat aku sedang ingin membidiknya. Lalu aku penasaran dengan akuarium semacam tabung besar yang ternyata berisi Ubur-ubur.
Cari yang nggak terlalu ramai
Haloo ikan, mau dipancing?
Cari yang nggak terlalu ramai
Ubur-uburnya banyak
Hujan masih deras ketika aku sudah sampai pintu luar. Di sini berkumpul para pengunjung menanti reda seraya melahap makanan yang disediakan di dalam. Kulihat jam tangan, sepertinya aku harus terus berjalan karena takut waktu tidak mencukupi. Secepatnya kupakai mantel yang sudah dari hari pertama kutaruh di tas kecil. Kemudian aku pun menyimpan kamera dalam tas. Tidak saat yang tepat mengabadikan gambar di tempat luar yang hujannya tak berhenti. Aku harus mengorbankan pemandangan indah sepanjang hujan, padahal di tempat luar ini berbagai jenis hewan buas. Harimau dan Singa silih berganti di hadapanku. Ingin rasanya mengabadikan, namun apa daya hujan membuatku harus mengurungkan niat.

Jarak ruang terbukanya tidak panjang, hanya saja jika mengikuti jalan harus berbelok-belok. Aku sampai di Savana Kampung Afrika. Di sini konsepnya seperti rumah penduduk di Afrika. Kubuka mantel yang basah, sesekali mengibas dan kemudian memasukkan kembali ke dalam tas. Gantian kamera kukeluarkan lagi mengabadikan berbagai hewan seperti Banteng, Jerapah, Zebra dan lainnya.
Rasa penyesalanku saat tidak bisa mengabadikan hewan buas pun luntur, aku sedikit girang karena di tempat selanjutnya aku bisa mengabadikan hewan-hewan tersebut. Sebuah kaca tebal dan tinggi dihadapanku, di dalamnya ada seekor Harimau yang sedang duduk diam. Sementara disudut lain, seekor Harimau mengamuk, dia mengejar gempalan daging yang sengaja dipancingkan oleh petugas. Tidak hanya itu saja, di kaca tebal lainnya, sepasang Singa mendekati kami. Mereka melihat kerumunan orang dari balim kaca. Sangat dekat, aku bereaksi cepat dengan mengabadikannya tepat d depanku. Sangat besar dan garang Singa yang di depanku.
Imut ya? Eh
Imut ya? Eh
Imut ya? Eh
Sepanjang perjalanan di Jatim Park I & II, selalu ada papan yang bertuliskan kuis menebak hewan. Tebakan tersebut berisi clue­-clue mengenai hewan, lau bertuliskan “Siapakah aku?” atau pengetahuan yang jarang kita ketahui seperti tulisan “Tahukah anda”. Permainan ini memikat pengunjung agar bisa menjawabnya. Sepertinya di Jatim Park II tidak hanya Zoo saja. Ada berbagai wahana yang bisa kita gunakan, atau mengunjugi tempat-tempat lain seperti Rumah Harry Porter yang didesain seperti usang. Tidak hanya itu saja, aku pun memasuk ruangan yang merupakan wahana jelajah lima benua. Antri sekitar 15 menit, akhirnya aku dan rombongan berjumlah 7 orang pun masuk. Di dalam ada berbagai kehidupan dari berbagai benua, bahkan desain seperti sedang di kutub. Ada juga banguan seperti Kingkong, dan juga Kapal Nabi Nuh. Banyak orang yang mengabadikan diri di sana.
Sementara itu di sudut lain Jatim Park II
Sementara itu di sudut lain Jatim Park II
Sementara itu di sudut lain Jatim Park II
Sementara itu di sudut lain Jatim Park II
Keluar dari ruangan Jelajah Lima Benua, aku mencari plang arah jalan keluar. Kuturuti arah tersebut membawaku ke dalam Museum Satwa. Museum ini sangat bagus bagi para siswa ataupun pengunjung yang suka dan ingin mengenal lebih detail mengenai hewan. Depan masuk sebuah rangkaian Mammont (Gajah) dihadapanku menjulang tinggi. Di sana ada juga berbagai hewan yang diawetkan; Badak, Harimau, dan hewan lainnya. Pada satu ruangan juga berbagai jenis Serangga dan Kupu-kupu. Atau di sudut lain yang membentuk akuarium dengan berbagai ikan seakan-akan sedang berenang di dalam air. Ada juga susunan tulang ikan besar, dilanjutkan sususan tulang Dinosaurus yang menjulang tinggi.
Di Museum Satwa Jatim Park II, Malang
Di Museum Satwa Jatim Park II, Malang
Di Museum Satwa Jatim Park II, Malang
Di Museum Satwa Jatim Park II, Malang
Puas melihat koleksi di Musem Satwa, aku berjalan mengikuti arah panah keluar. Sampai akhirnya aku berada di depan Hotel Pohon Inn. Kulihat hp belum ada satupun yang memberitahu kalau sudah di luar, kutunggu rombongan seraya mengabadikan kesibukan para pengunjung. Aku tertarik mengabadikan diri di sini, namun tidak mungkin mengatur setelan timer kamera karena aku tidak membawa Tripod. Kudekati salah satu mengunjung yang sedang duduk santai.

“Maaf pak, bisa minta tolong motret saya pakai kamera ini?” Pintaku.

“Baik mas, yang dipencet mana? Ini ya?” Tanya beliau seraya memegang salah satu tombol.

“Iya, pak.”
Mengabadikan diri seraya menunggu rombongan lain keluar dari museum
Mengabadikan diri seraya menunggu rombongan lain keluar dari museum
Selesai beliau memotretku, kuucapkan terima kasih. Lalu kulihat hp yang sudah berdering dari tadi. Teman rombongan sebagian besar sdauh kumpul, aku bergegas menuju tempat tadi waktu kami turun dari mobil. Terlihat teman rombongan sibuk membeli oleh-oleh di salah satu toko oleh-oleh dekat pintu masuk, sebagian lagi sedang sibuk memilih kaos yang ada disepanjang dekat jalan. Aku sendiri duduk santai melepas lelah. Jatim Park II lokasinya jauh lebih luas daripada Jatim Park I, tempat ini sangat aku rekomendasikan bagi kalian yang ingin berlibur ke Malang. Di sini, kita tidak hanya melihat koleksi satwa yang masih hidup, tapi bisa belajar banyak dari koleksi yang ada di Museum Satwa. Tidak hanya itu, ada banyak wahana lainnya yang bisa kita naiki selama di sini. *Kunjungan ke Jatim Park II pada hari Senin, 28 Desember 2015.
Baca cerita lainnya 

Memanfaatkan Waktu Luang di Warung Baca Jepara

$
0
0
“Salah satu cara yang tepat membuang rasa bosan adalah membaca buku. Ketika kita terlelap asyik menikmati setiap alur cerita di buku bacaan, tanpa disadari waktu akan berlalu dengan cepat, dan kita masih terus ingin membaca buku sampai tuntas.”
Taman Baca di Alun-alun Jepara
Taman Baca di Alun-alun Jepara
Aku tidak tahu pasti berapa panjang jarak antara Perpustakaan Daerah Jeparamenuju Alun-alun Kota Jepara. Namun aku sudah terbiasa menyusurinya dengan jalan kaki. Berbekal informasi dari mas Rois di Perpusda Jepara yang memberitahu kalau Warung Baca di dekat Alun-alun buka, aku langsung bergegas ke sana. Terik mentari siang membuatku bermandikan keringat, apalagi badanku tertutup dengan jaket tebal berwarna hitam.

Sebenarnya ke Alun-alun Jepara bisa menaiki Angkot, tapi aku memutuskan untuk jalan kaki saja. Tepat di Alun-alun Jepara, sebuah tugu menjulang tinggi tepat di tengah jalan. Patung Garuda tepat berada dipuncaknya. Dari sini disisi kanan adalah Pendopo Bupati dan Kantor Bupati, sementara sisi kiriku adalah Masjid Agung Jepara. Aku menyusuri jalan menuju arah Pecinan dan berhenti di pajangan majalah dinding yang berisi berita dari media cetak yang dipasang tiap hari.
Kawasan di sekitar Alun-alun Jepara siang hari
Kawasan di sekitar Alun-alun Jepara siang hari
Kawasan di sekitar Alun-alun Jepara siang hari
Menarik mengenai tempat ini, tak jauh dari sini sebenarnya ada bekas bioskop Jepara. Bioskop Mutiara yang entah sudah mati atau masih berjalan. Tak jauh dari sini pun banyak orang duduk santai berbincang satu dengan lainnya. Aku menuju sebuah bangunan kecil yang bertuliskan “Warung Baca Aloon-aloon Jepara”, di sini ada banyak koleksi buku yang disediakan oleh pihak Perpusda Jepara. Di dalam bangunan tak besar ini terlihat koleksi terjejer di rak yang menempel dinding sebelah barat. Sebagian besar koleksi yang disediakan adalah buku cerita.

Sementara dinding lainnya didesain model meja kursi yang merapat pada tiap dinding. Sebuah kipas angin membuat dalam ruangan tak terlalu gerah, untungnya di sini juga terdapat slot colokan listrik. Aku mengeluarkan charger hp dan mengisi baterai hp yang sudah mulai berkurang. Tepat di samping pintu masuk, ada satu petugas dari Perpusda yang menjaga Warung Baca ini secara bergiliran. Sebelumnya, aku masuk serta mengisi buku tamu yang tersedia.
Koleksi yang tersusun di rak Warung Baca Alun-alun Jepara
Koleksi yang tersusun di rak Warung Baca Alun-alun Jepara
Koleksi yang tersusun di rak Warung Baca Alun-alun Jepara
Bu Nilap, semoga saja tidak salah namanya; beliau yang bertugas jaga pada hari sabtu ini. Aku berbincang banyak dengan beliau, bahkan kita sama-sama lulus pada tahun 2006. Banyak teman bu Nilap di SMEA adalah temanku, bahkan suami beliau pun bekerja di salah satu tempat bersama temanku juga.

“Berapa banyak koleksi buku di sini, bu?”

“Duh berapa ya mas, hehheheh,” Bu Nilap tertawa.

“Sekitar seribuan eksemplar sepertinya, mas,” Ujar beliau lanjut.

Aku mengambil salah satu koleksi dan membacanya. Oya, bangunan Warung Baca ini berdiri pada tahun 2008 dan sampai sekarang masih berjalan dengan baik. Sebenarnya tak hanya Warung Baca saja, di sini juga disediakan wifi; hanya saja dalam beberapa waktu sedang rusak. Semoga pihak Perpusda dapat memperbaiki Wifi dan kembali dapat digunakan para pengunjung.

“Kalau pas wifinya hidup banyak yang berkunjung, mas,” Terang Bu Nilap.

Ya kita tahu jika fasilitas Wifi sudah menjadi kebutuhan primer para pengunjung. Seperti halnya Perpus Kota Jogja; setiap pemustaka bisa mengakses wifi dengan meminta kupon untuk login pada petugas. Cukup dengan menulis di buku, lalu pemustakan mendapatkan kupon untuk menggunakan Wifi. Yang aku tahu, beberapa tahun lalu di sini malah free, jadi kita bisa langsung login tanpa menggunakan password.

Selama kami berbincang, di dalam Warung Baca hanya ada tiga orang; aku, Bu Nilap dan seorang pengunjung yang asyik membaca Koran. Tak lama berselang  berdatangan empat siswi yang masuk ke sini. Sepertinya mereka sudah terbiasa berkunjung, selesai antri menulis di buku tamu; mereka langsung memilih koleksi yang ingin dibaca. Aku melirih salah satu koleksi bacaan yang dibawa siswi tersebut, dia membaca sebuah buku cerita.
Para pengunjung Warung Baca Alun-alun Jepara
Para pengunjung Warung Baca Alun-alun Jepara
Para pengunjung Warung Baca Alun-alun Jepara
Tak lebih satu jam aku membaca sebuah novel terjemahan, aku pun menutup novel tersebut dan berpamitan ke Bu Nilap untuk melanjutkan perjalanan. Sebelumnya, aku menuju Masjid Agung Jepara menunaikan shoat dhuhur. Masih ada satu tempat lagi yang harus aku kunjungi sesuai dengan catatan pada kertas. Seperti sebelumnya, niatku menuju tempat tersebut tetap jalan kaki. Walau lokasinya lumayan jauh dijangkau dengan jalan kaki, apalagi pada saat terik seperti ini.

Tuntas sudah rasa penasaran untuk berkunjung ke Perpusda Jepara dan Warung Baca di Alun-alun Jepara, serta menepati janji pada teman-teman di Jepara untuk berkunjung. Semoga Perpusda Jepara terus mempunyai terobosan-terobosan lebih bagus dalam menggalakkan minat baca di Jepara. Targetnya sudah jelas, anak-anak sekolah adalah ladang basah yang dapat ditulari virus membaca. *Kunjungan ke Warung Baca Jepara pada hari Sabtu, 13 Februari 2016.
Baca juga ulasan lainnya 

Deburan Ombak Memecah Kesunyian Pantai Sedahan Gunungkidul

$
0
0
“Setiap hempasan ombak ke pantai itu laksana rindu yang berkepanjangan. Suatu harapan besar yang datang dari air laut; mereka beriringan untuk cepat sampai di pantai, lalu menghempaskan dirinya ke pesisir pantai untuk melepas rindu. Walau tak semua hempasannya sampai ke pasir di tepian, tapi terkadang mereka merelakan diri menerjang tebing.”
Pemandangan dari pantai Sedahan, Gunung Kidul
Pemandangan dari pantai Sedahan, Gunungkidul
Teriknya siang membuat rombonganku acapkali berhenti untuk mengatur nafas. Tak terasa kami sampai dipertigaan yang memisahkan jalan menuju pantai Grewengdan pantai Sedahan. Gemericik suara air disela-sela bebatuan membuat kami tertarik untuk membasuh muka. Kami pun memanfaatkan waktu untuk mengatur nafas dan mengumpulkan tenaga. Air dari aliran tersebut sangat segar. Ada banyak ikan kecil yang hilir-mudik di dalam air, mereka kadang sembunyi kala melihat kepala kami melongok ke arah air.

“Lanjut ke pantai Sedahan atau langsung balik ke parkiran?” Tanya Charis meminta pendapat dari kami.

“Aku ikut yang lain saja,” Jawabku.

Selama beristirahat, kami pun berdiskusi kecil. Langsung ke parkiran atau mencoba singgah ke pantai Sedahan. Akhirnya kami putuskan bersama untuk menuju pantai Sedahan, sementara Ardian memutuskan tinggal dan menunggu kami di pertigaan tersebut. Sebenarnya Ardian juga penasaran ingin melihat pantai Sedahan, tapi dia kelelahan sehingga memutuskan untuk beristirahat saja.
Plang penunjuk arah ke pantai Sedahan
Plang penunjuk arah ke pantai Sedahan
Plang penunjuk arah ke pantai Sedahan
“Kalau aku nggak ada di sini, berarti sudah duluan ke tempat parkir,” Terangnya sambil menyeka keringat.

Kami berlima mengikuti jalan setapak membelah bukit kecil di depan. Di sisi kanan terdapat gubuk. Jalan sedikit lebih terjal, dan agak naik. Tepat di atas terdapat lagi bangunan semi permanen. Dari tulisannya, di sini bakalan dibuat semacam warung dan tempat kamar mandi untuk bilas para pengunjung pantai Sedahan. Di sini juga terdapat plang petunjuk arah ke pantai Sedahan.

Seperti jalanan tadi, setiap berapa meter terdapat kandang sapi. Kami terus mengikuti jalan sampai di dekat warung. Di sana kami bertemu dengan rombongan lain yang beristirahat di warung. Ternyata salah satu dari rombongan tersebut adalah temanku yang sama-sama pernah kerja parttime di Perpustakaan UIN Suka. Aku ijin mendahului ke pantai Sedahan yang tak jauh lagi. Jika kuruntut dari plang tempat kami beristirahat, jaraknya hampir sama dengan dari plang terakhir ke pantai Greweng. Mirip dengan lokasi pantai Greweng, di sini pun pasirnya putih bersih, dan diapit dua tebing. Yang membedakan hanyalah lokasinya jauh lebih kecil, serta pengunjungnya sangat sedikit. Waktu aku di sini tak lebih dari 10 orang di pantai, sudah termasuk aku dan rombonganku.
Pasir putih di pantai Sedahan
Pasir putih di pantai Sedahan
Pasir putih di pantai Sedahan
Seperti yang kulakukan di pantai Greweng, saat teman-teman asyik berteduh sambil menikmati pemandangan pantai Sedahan, aku sendiri berjalan ke arah tebing pantai sisi kiri. Sama dengan pantai Greweng yang sedang surut, dari sini aku membidik objek yang mirip. Hempasan ombak yang menerjang tebing bebatuan menjadi objek yang menarik bagiku. Mataku pun tertarik pada atas tebing, sebuah burung terbang tanpa sempat kuabadikan. Burung tersebut menuju tebing baliknya. Sesekali burung tersebut terbang menyambar mangsa, tapi selalu gagal.

Aku melangkah ke arah tengah di atas hamparan pasir putih. sepertinya pantai Sedahan lebih nyaman untuk dijadikan tempat berkemah, walau tak seluas pantai Greweng. Berlanjut aku menuju tebing sisi kanan. Di sana ada semacam jalur untuk air yang sedalam lutut di antara karang-karang yang tak terkena air saat surut. Jalur ini menjadi jalan bagi ombak yang menghempaskan ke tebing. Tekanannya lumayan keras, aku menghindar dengan berdiri di bebatuan seraya mencoba mengabadikannya. Buih-buih putih laksana kapas membentang dihadapanku.
Deburan ombak memecahkan kesunyian
Deburan ombak memecahkan kesunyian
Deburan ombak memecahkan kesunyian
“Berdua saja, mas?” Sapaku pada dua orang remaja yang di dekat tebing.

“Iya mas. Survey tempat untuk kemping,” Jawabnya.

Kami berbincang agak lama, aku juga menceritakan kondisi di pantai Greweng. Ternyata kedua orang yang berasal dari Solo ini survey dulu apakah nanti akan berkemah di pantai Greweng atau di pantai Sedahan.

“Kalau aku sih mendingan di sini mas, jauh lebih sepi. Tapi coba saja ke pantai Greweng dulu untuk membandingkan kalau mau berkemah. Tadi di sana ada dua dome sih,” Ujarku pada mereka.

“Kalau untuk mandi laut, mas? Apa palungnya juga seperti itu?”

“Sama saja, mas. Kalau mau main air saja bisa, tapi kalau untuk berenang, jangan. Sama seperti ini, langsung dalam dan ombak besar. Kalau mau mandi laut mending ke pantai Wediombo,” Saranku lagi.

Selesai berbicang agak lama, aku menghampiri teman-teman yang sedari tadi hanya duduk menungguku. Mereka ikut sebenarnya penasaran dengan pantai Sedahan itu seperti apa. Sementara aku memang ingin ke sini karena mumpung berdekatan dengan pantai Greweng. Selain itu, mumpung aku juga membawa kamera. Benar saja, sampai di tempat teduh, teman-teman bergegas menuju pasir dan memposisikan diri untuk difoto.

“Kelihatan toh dari sana?” Teriak Wulan.

Aku menganggukkan kepala, kembali mengambil Tripod yang ada di dalam tas, dan mengatur bidikan. Tak butuh waktu lama, kami pun mengabadikan diri di pantai Sedahan. Selesai mengabadikan diri, kami bergegas meninggalkan pantai ini. Kunjungan singkat ke pantai Sedahan ini tak membuatku menyesal. Dari sini aku tahu kalau tempat ini sangat bagus untuk berkemah, menenangkan diri, serta berkumpul dengan teman-teman, di sini juga suasananya jauh lebih sepi dibanding pantai Greweng.
Halo Pantai Sedahan, semoga tetap bersih dan sunyi
Halo Pantai Sedahan, semoga tetap bersih dan sunyi
Halo Pantai Sedahan, semoga tetap bersih dan sunyi
Langkah kakiku menapaki jalan lebih cepat dibanding teman-teman lainnya. Bergegas aku terus jalan sampai akhirnya di pertigaan tempat Ardian beristirahat. Tak kutemukan dia di sana, ini artinya dia sudah terlebih dulu ke parkiran bareng dengan rombongan yang sejalan. Aku menunggu teman yang muncul dari balik bukit dari arah pantai Sedahan.

“Kita jalan santai saja,” Ujarku pada teman-teman.

“Nggaya, tadi yang jalannya kayak dikejar setan siapa ya?” Sindir Wulan padaku.

Sontak teman-teman tertawa, kami pun berjalan menyusuri sepanjang jalan. Beberapa kali kami bertemu/berpapasan dengan pengunjung yang akan ke pantai Greweng, atau bertegur sama dengan ibu-ibu warga setempat yang ada diladang. Sampai di dekat parkiran, kulihat Ardian sedang berbincang santai dengan Mbah Soro. Simbah yang tadi bersama kami saat ke sejalan ke pantai Greweng.

Kami disuguhi sebotol besar air mineral, dan membersilahkan istirahat di gubuk beliau. Bahkan beliau menawarkan gubuknya untuk kami yang ingin menunaikan sholat dhuhur. Oya, bagi kalian yang ingin berkemah tapi tak membawa peralatan lengkap, kalian bisa menyewa perlengkapan tersebut pada Mbah Soro. Beliau mempunyai sekitar 5 tenda yang disewakan. Lebih praktis kan tidak usah bawa tenda dari rumah (bagi yang merasa ribet bawanya). Selama kami berbincang-bincang, datang rombongan berjumlah lima motor, remaja-remaja ini memarkirkan motor di tempat mbah Soro.
Duduk di teras rumah mbah Soro, beliau hanya kelihatan sedikit
Duduk di teras rumah mbah Soro, beliau hanya kelihatan sedikit 
“Kalau ke pantai Greweng jauh nggak sih mas dari sini?” Tanya cewek yang menenteng sandal yang bermerek padaku.

“Dekat kok mbak, sekitar 500 meter dari sini. Oya, sandalnya dipakai saja, takutnya nanti telaak kaki mbak sakit kena bebatuan,” Jawabku santai.

“Jauhnya!!”Ujar dia dan berlalu dari hadapan kami.

Aku, mbah Soro, berserta rombongan menahan tawa. Begitu rombongan tersebut sudah berlalu dari hadapan kami, kami pun tak kuasa menahan tawa.

“Pokoknya kalau ditanya, jawab saja dekat. Biar jadi motivasi mereka mau jalan ke lokasi, mas.” Ujar mbah Soro dalam bahasa Jawa.

Terima kasih sebesar-besarnya untuk mbah Soro yang telah memberikan minuman serta tempat untuk sholat. Maaf jika kami berenam merepotkan, mengambil air yang simbah pikul tadi untuk berwudhu, dan tidak mau menerima sedikit balasan dari kami. Semoga tetap sehat, mbah. *Singgah ke pantai Sedahan pada hari Minggu, 21 Februari 2016.
Baca juga ulasan tentang pantai lainnya 

Sarapan Lumpia di Jalan Pandanaran Semarang

$
0
0
“Lumpia!! Lumpia!! Jika kita menaiki kendaraan umum di Semarang, tak sedikit penjual berlalu-lalang di dalam yang menawarkan Lumpia. Kuliner Semarang ini ditawarkan keliling ke setiap penumpang. Ya, Lumpia menjadi salah satu jajanan yang sering dijadikan oleh-oleh untuk orang-orang di rumah.”
Lumpia di Jalan Pandanaran Semarang
Lumpia di Jalan Pandanaran Semarang
Aktifitas orang di Simpang Lima cukup beragam, aku duduk di sebuah kursi yang tak jauh dari tulisan “Simpang Lima”. Tepat di depanku adalah jalan Pandanaran. Dua orang kusir delman duduk santai berbincang di dekatku. Sesekali mereka menyapa pengunjung dan menawarkan jasa keliling Simpang Lima naik delman.

“Permisi, pak. Kalau yang jualan Lumpia di jalan pandanaran sini sebelah mana ya?” Tanyaku dengan menjabat tangan kedua kusir tersebut.

“Ini ini mas jalannya, tapi yang ujung sana. Dekat arah ke Lawang Sewu,” Jawab beliau seraya menunjuk jalan Pandanaran.

“Terima kasih pak,” Balasku lagi.

Aku menyeberangi jalan yang lumayan ramai. Di depanku sebuah plang bertuliskan Jalan Pandanaran. Kuikuti jalan tersebut, sengaja menapaki trotoar yang lumayan sepi. Sepemahamanku, jalan Pandanaran ini lumayan panjang, dan cukup capek juga kalau ditempuh dengan jalan kaki. Sempat terpikir untuk menaiki Trans Semarang, tapi kubatalkan lagi. Aku sudah berniat sengaja jalan kaki. Kalau perlu sampai Lawang Sewu.

Satu perempatan kulalui, entah berapa jarak dari Simpang Lima ke arah jalan Pandanaran yang ada tempat membeli Lumpia. Aku melihat di sisi kiri sebuah patung lumayan besar. Dan di sana bertuliskan “Taman Pandanaran”. Hanya ada sekitar delapan remaja duduk santai melepas lelah sehabis jogging. Dan juga terdapat ibu dan anak yang mengabadikan diri di tulisan tersebut. Aku terus menapaki trotoar dengan sekali-kali menyeka keringat.
Taman Pandanaran Semarang
Taman Pandanaran Semarang
Pemandangan unik kulewati di salah satu sudut Jalan Pandanaran. Di sini hampir sepanjang jalan ada banyak ibu yang berjualan bunga. Semerbak bunga berwarna-warni ini sampai ke hidungku. Tak banyak kuketahui, tapi biasanya jika ada banyak penjual bunga seperti ini, minimal dekat sini ada pemakaman. Serasa berjalan diruas lorong pasar tradisional yang sepi. Berkali-kali aku mengucapkan kata “Permisi bu” karena harus berbagi jalan dengan stand-stand penjual bunga. Rata-rata yang menjual bunga adalah ibu paruh baya.
Jualan bunga di salah satu titik jalan Pandanaran Semarang
Jualan bunga di salah satu titik jalan Pandanaran Semarang
Kembali aku menyeberangi jalan yang ada lampu merahnya. Dari kejauhan terlihat tulisan jelas “Lumpia”. Aiihh, inilah lokasi yang aku tuju pagi ini. aku pernah berhenti ke sini beberapa tahun lalu, kala itu aku dan rombongan dari Jogja membeli oleh-oleh Lumpia. Bedanya kalau dulu kami naik mobil karena sepulang dari Karimunjawa, dan sekarang aku sendirian jalan kaki. Warung-warung besar sudah dibuka, jam memang menunjuukan pukul 08.30 WIB. Tak hanya Lumpia, di sini juga ada banyak yang jualan Bandeng Presto dan Wingko. Tapi aku tetap pada rencana semula, sarapan Lumpia.

Berjejeran gerobak kecil di tepian trotoar, tepat di belakangnya bangunan besar berupa kios-kios mulai terbuka. Tak banyak orang hilir-mudik. Kulewati satu gerobak yang sudah buka. Seorang paruh baya sibuk menggoreng Lumpia pesanan pembeli. Sementara itu pembelinya masih setia menunggu di dekatnya. Aku mendekati sebuah gerobak yang dijaga dua remaja. Keduanya juga tak kalah sibuk. Satu remaja yang lebih muda memasukkan Lumpia ke dalam besek (tempat terbuat dari anyaman bambu), sementara yang lebih dewasa memasukkan isi Lumpia, dan menggulungnya.
Sampai juga di lokasi Lumpia
Sampai juga di lokasi Lumpia
Sampai juga di lokasi Lumpia
“Bisa pesan satu saja, mas?” Tanyaku seraya mendekat.

“Bisa mas,”Jawabnya. Sejenak penjual menghentikan aktifitasnya dan melayaniku.

“Satu porsi berapa?” Tanyaku lagi.

“Rp. 9000, mas.”

Aku menganggukkan kepala saja tanda setuju. Dan penjual yang menggulung Lumpia tadi langsung menggoreng satu gulungan Lumpia. Kulihat bahan-bahan yang digunakan membuat Lumpia. Dari obrolan dengan penjual, aku tahu kalau di dalam gulungan Lumpia tersebut rata-rata isinya adalah potongan dari Rebung (Tunas Bambu), Ayam, Udang, dan masih banyak lagi lainnya. Tergantung apa yang ingin dipesan oleh pembeli.

“Lah ini kok belum digoreng tapi sudah dibungkus mas?” Kulihat Lumpia di dalam Besek yang siap dibungkus.

“Kalau itu Lumpia Basah, mas. Jadi yang biasa dibuat untuk oleh-oleh itu yang basah. Sampai lokasi bisa digoreng.”
Ada yang mau pesan lumpia Semarang?
Ada yang mau pesan lumpia Semarang?
Ada yang mau pesan lumpia Semarang?
Aku mangut-mangut lagi. Aku baru ingat, jika di Jogja pun sama; ada Gudeg basah dan kering, atau Bakpia basah dan kering. Seraya menunggu pesananku disajikan, aku masih banyak tanya. Beruntunglah kedua penjual ini responnya baik. tiap pertanyaanku dijawab mereka dengan sabar.

“Ini mas Lumpianya,” Kata penjual.

Satu gulungan Lumpia panas disajikan untukku. Lumpia tersebut diiris menjadi tiga potong. Lalu diberikan juga potongan timun, sambal, dan cabai. Kuambil Lumpia yang masih panas dan mulai menikmatinya. Pagi yang indah bisa menikmati Lumpia di sudut jalan Pandanaran.
Mari sarapan Lumpia Semarang
Mari sarapan Lumpia Semarang
“Sudah lama jualan di sini, mas?” Tanyaku seraya melahap Lumpia.

“Baru mas. Saya sekitar 4 bulan di sini.”

“Wah mas supporter Liverpool ya? Itu pakai topi Bigreds,” Celetuknya lagi.

“Iya mas, aku kumpul sama teman-teman Bigreds Jogja.”

Cerita pun melebar, dan aku tahu kalau dia juga supporter Liverpool. Dia bagian dari teman-teman Kopites Ambarawa. Aihhh mas, kita sama; sama-sama ngefans sama Liverpool. Potongan Lumpia terakhir mendarat dimulutku. Kenyang rasanya sudah melahap satu porsi Lumpai pagi ini. Aku membayar dan pamitan melanjutkan perjalanan ke Lawang Sewu. Dari jalan Pandanaran sini (area Lumpia), jaraknya sudah dekat dengan Lawang Sewu. Ya, jika kalian mengunjungi Semarang dan ingin membeli oleh-oleh Lumpia. Tempat yang paling banyak adalah di sepanjang jalan Pandanaran. Kalian bisa memborong Lumpia ataupun oleh-oleh lainnya. Kadang, ada yang bilang; “jika kalian belum mencicipi Lumpai di Semarang, rasanya belum sah ke Semarang. Bisa jadi memang seperti itu!”*Kunjungan kuliner Lumpia di Jalan Pandanaran, Semarang pada hari Jum’at; 25 Maret 2016.
Baca juga kuliner lainnya 

Ayunan Kayu dan Tebing di Pantai Annora Karimunjawa

$
0
0
“Kalau biasanya kita bermain ayunan di bawah pohon besar, kali ini tuas tali hanya diikatkan pada batang-batang kayu kecil yang tertancap di pantai. tak di tepian pantai, tapi di laut dangkal. Kedalaman air tak lebih dari pinggang. Rasakan kenikmatan kala duduk di sebuah papan ayunan pantai, dan abadikanlah.”
Ayunan di pantai Annora Karimunjawa
Ayunan di pantai Annora Karimunjawa
Terlepas dari derasnya guyuran hujan semalam, pagi ini aku sudah mempersiapkan kamera dan tas kecil untuk kubawa nanti saat mengunjungi beberapa destinasi yang ada di Karimunjawa. Salah satu tempat yang kuincar adalah Pantai Annora di Kemloko/ Legon Cikmas. Pantai yang terletak sekitar tujuh kilometer dari pelabuhan Karimunjawa. Kalau dari tempatku jaraknya hampir sama. Pantai ini sebenarnya baru bersolek tahun 2015, dan sayangnya aku belum sempat menjelajahi kala bersepeda tahun lalu. Hari ini akan kutuntaskan menuju Pantai Annora. Tak menaiki sepeda, tapi menggunakan motor bareng Dedi (Sepupu yang menjemputku di bandara kemarin siang).

Dari rumahku (Kemujan), rute yang kulewati adalah menuju Karimunjawa; tepat setelah Trekking Mangrove Kemujan lurus mentok sampai pertigaan di area persawahan Karimunjawa. Pertigaan tersebut aku ambil kiri (satu arah dengan pantai Kemloko); nanti ada plang petunjuk arah, jika pantai Kemloko itu lurus, pantai Annora belok kanan ke arah SD dan belok kiri. Ikuti jalan tersebut. Jalannya berbatu dan sedikit terjal. Nanti sampailah di pintu gerbang pantai Annora yang suda bagus. Di sini ada lebih dari tiga kios, seluruh penjual masyarakat setempat. Berhubung aku kenal dengan orang-orang yang berjualan, dan aku juga warga pribumi; jadi aku tak membayar tiket masuk. Untuk wisatawan dikenai tiket masuk sebesar Rp. 5.000/perorang.

“Bayar 10.000!! Bayar Rp.10.000!!” Teriak anak-anak SD yang olahraga di area pantai mengira kami adalah wisatawan dari luar Karimunjawa.

Aku hanya tertawa seraya menyapa mereka. Dan kusapa juga penjual warung yang duduk santai di depan warungnya. Rerimbunan pohon membuat pantai ini menjadi lebih teduh, dan ada juga semacam tatanan karang di pantai. Pantai sedang surut, sehingga di tepi pantai ada Gosong kecil. Aku mengabadikan seraya mencari penjaga pantai.
Suasana pagi di Pantai Annora Karimunjawa
Suasana pagi di Pantai Annora Karimunjawa
Suasana pagi di Pantai Annora Karimunjawa
Pantai Annora dijaga oleh bapak Manding. Waktu aku ke sini, beliau sedang membersihan rumput-rumput di ujung. Aku menghampiri beliau seraya menyalami dan meminta ijin untuk mengabadikan gambar. Beliau sangat terbuka, terlebih beliau akrab dengan kakakku yang bertama (Kak Ibnu Sabil) yang mempunyai toko dekat kampungnya. Usai mendapatkan ijin, aku bergegas mengabadikan lebih banyak lagi pemandangan yang terlihat dari pantai Annora.

Pantai Annora mempunyai lahan yang luas. Lebih luas daripada pantai Ujung Gelam. Pemandangan di sini lebih indah kala pagi, kita bisa melihat sunrisejika cuaca sedang cerah. Tak hanya itu, di pantai Annora terdapat banyak ayunan yang terbuat dari kayu. Sepertinya ayunan macam ini sedang ngehits-ngehitsnya di setiap pantai yang ombaknya cenderung kecil. Kulihat ada sekitar tujuh ayunan di lepas pantai dan satu ayunan di bawah pohon rindang (dipesisir pantai). Selain ayunan, juga ada gazebo kecil yang dibuat di tengah pantai. Tempat yang asyik untuk bersantai sambil menikmati hembusan angin laut.
Ayunan, Gubuk Kecil, dan kapal di pantai Annora
Ayunan, Gubuk Kecil, dan kapal di pantai Annora
“Itu Gosong kah? Kok ramai kapal bersandar di sana?” Tanyaku ke Dedi.

“Iya kak, itu Gosong.”

Tak jauh dari sini memang terlihat Gosong yang disinggahi banyak kapal. Para wisatawan yang mengikuti paket wisata pasti diarahkan ke sana. Dituturkan pak Manding, kadang kapal-kapal itu nanti bersandar di pantai Annora. Cukup banyak juga pengunjung yang bersandar di Gosong. Jika setiap kapal minimal ada 10 penumpang, sudah pasti lebih 70 wisatawan yang bersandar di Gosong.
Jauh di sana kapal-kapal tersandar di Gosong Karimunjawa
Jauh di sana kapal-kapal tersandar di Gosong Karimunjawa
Ayunan kayu di Pantai Annora sudah terkenal di Karimunjawa. Tak sedikit orang yang datang ke sini hanya untuk berfoto di ayunan tersebut. Bagaimana tidak, tempat ini cukup instagramable dikalangan pecinta foto dan Instagram. Sebuah konsep yang menarik dilakukan pengelola pantai Annora. Mereka tak hanya mengkonsep tempat bagus untuk melihat lansekap pantai, tapi juga menjadikan titik-titik tertentu sebagai tempat yang asyik untuk berfoto.

Aku tak ketinggalan mengabadikan diri. Kali ini Tripodku tak capek memangku kamera Mirroless Nikon 1 J 3. Dedi siap menjadi potograferku seharian. Sesekali jadi model boleh toh? Namanya juga mengabadikan diri di suatu tempat. Kudekati sebuah ayunan yang tak jauh dari gosong pantai. Lantas Dedi mulai mengabadikan. Cukup bagus bukan? Siapa tahu ada yang tertarik berfoto di sini, atau mencari tempat yang ada ayunannya seperti pantai Annora.
Main ayunan di pantai Annora Karimunjawa
Main ayunan di pantai Annora Karimunjawa
Main ayunan di pantai Annora Karimunjawa
“Ded, nanti di ayunan bawah pohon juga ya?” Pintaku sedikit teriak.

Dia hanya mengacungkan jempolnya. Bisa jadi dia mendengar teriakanku, atau asal dengar saja. Kami berjalan kembali ke bibir pantai dan menyusuri hamparan pasir. Aku tak lupa mengabadikan diri di bawah pohon besar yang rindang. Tak ketinggalan juga sebuah buku yang menemaniku setiap pergi jauh; buku ini juga bisa menjadi properti saat berfoto. Multifungsi sekali kegunaan buku ini, tak hanya sebagai teman seperjalanan tapi juga jadi properti waktu sedang berfoto.
Ini hanya pencitraan saja
Ini hanya pencitraan saja 
“Kalau mau foto bagus lagi dari atas bukit itu, mas,” Kata Pak Manding sambil menunjuk salah satu bukit kecil di ujung pantai Annora.

Jarak dari pantai naik ke bukit kecil itu hanya 250 meter saja. Tapi siang ini sangat terik. Walau hanya jarak dekat dan masih cukup pagi tetap saja membuatku harus mandi keringat. Jalan yang kulalui setapak saja, tak bisa motor ke atas karena ada sebagian yang bebatuan dan tak bisa dilewati kendaraan. Di sini juga ada beberapa tempat gubuk kecil untuk istirahat, ditambah dengan tulisan “Sebentar lagi sampai lokasi”.

Jarang memang pantai di Karimunjawa yang menyuguhkan panorama indah dari atas tebing/bukit kecil. Setahuku, kita bisa melihat lansekap seperti ini ketika berada di Legon Lele(jalannya) dan di sini. Selebihnya belum ada tempat lagi. Dari atas tebing ini aku bisa melihat Pantai Annora dari ketinggian. Pantai yang membentuk lekukan mengikuti ujung daratan Karimunjawa. Sementara di belakang pantai tampak gagah bukit hijau nan rimbun. Legon Cikmas, Nyamplungan, dan Alang-alang; adalah wilayah Karimunjawa yang didominasi dengan perbukitan.
Pantai Annora dilihat dari Bukit
Pantai Annora dilihat dari Bukit
Di sudut seberang lainnya, hamparan laut luas membuatku ingin berlama-lama memandangnya. Air laut yang jernih  terlihat dari sini. Jika diruntut jalan kaki atau naik sampan, pemandangan indah ini adalah laut yang menuju daratan Pantai Kemloko, Trekking Mangrove Kemujan,dan pantai lainnya yang ada di desa Kemujan. Pantai yang sebagian besar ditumbuhi pohon Bakau. Terlihat juga keramba-keramba nelayan setempat dari atas. Sangat indah!!
Jernih sekali kan air lautnya
Jernih sekali kan air lautnya
Aku baru sadar, beberapa foto pantai yang tersebar dilinimasaku yang dipotret oleh teman-teman Karimunjawa adalah tempat ini. Aku pernah bertanya di mana lokasi tebing yang dapat melihat langsung laut, mereka hanya menjawab di Karimunjawa dan aksesnya susah. Beruntunglah hari ini aku bisa ke sini dan mengabadikannya. Kembali Dedi harus disibukkan melayani permintaanku. Hpnya di masukkan saku, sesekali dia memang membuka hp hanya untuk main COC. Aku bergegas menuju dekat tebing dan berfoto di salah satu bebatuan yang agak menjorok ke laut.

Oya, ini tempat sangat bagus dikunjungi. Aku jadi teringat pantai-pantai di Gunung Kidul yang hampir sebagian besar terdapat tebing-tebing menjulang tinggi. Di pantai Annora bukit ini tak terlalu tinggi, tapi jika ingin mengabadikan diri pun harus berhati-hati. Selain duduk di atas bebatuan, aku juga meminta Dedi mengabadikanku sedang berdiri di salah satu puncaknya. Di belakangku sebatang kayu yang telah mengering disertai sebuah galah bambu yang di atasnya berkibar sang Merah Putih. Hamparan laut lepas pun membiru disisi kananku, terlihat juga remang-remang Pulau Genting. Pulau yang dihuni puluhan keluarga dan masih ikut desa Karimunjawa.
Memandang lepas pantai
Memandang lepas pantai
Memandang lepas pantai
Puas rasanya menikmati pemandangan dari atas bukit. Aku kembali menuruni bukit tersebut melalui jalan yang sama. Di tepian pantai, aku istirahat di bawah pohon rindang yang sudah dibuatkan dipan untuk sekedar duduk santai dan tiduran. Di sini aku melihat hasil gambar yang diabadikan Dedi. Sementara Dedi melanjutkan permainan COC di hp yang sempat tertunda. Mumpung di sini terjangkau salah satu provider. Jadi dia pun asyik bermain. Aku sendiri mengabadikan sudut lain yang menurutku sayang untuk dilewatkan. Sudut pantai Annora yang tak kalah indah, tak hanya tentang pantai dan bukit, tapi konsep dalam mengatur lahannya. Sebuah jalan setapak yang berpasir di setiap sisinya dibatasi oleh bebatuan menuju pintu gerbang kecil terbuat dari batang kayu kering seakan-akan kita berada di taman dekat pantai; taman yang dipenuhi pohon Kelapa Jambu Mete, dan pepohonan lainnya yang teduh. Dan tentunya tak ketinggalan tempat-tempat seperti dipan yang tersedia dibanyak sudut.
Masih di pantai Annora Karimunjawa
Masih di pantai Annora Karimunjawa
Masih di pantai Annora Karimunjawa
Pantai Annora memang salah satu pantai yang baru di Karimunjawa, pantai yang bersolek dengan cepat dan berhasil memikat para wisatawan berduyun-duyun ke sini. Pantai yang bisa kita kunjungi tanpa harus menyeberangi laut saat di Karimunjawa. Pantai yang cukup tenang, banyak tempat teduhnya, serta pantai yang sudah dilengkapi dengan tempat sampah, warung, dan toilet. Hal yang terpenting di sini adalah, bagaimana kita menikmati suasana pantai dengan tetap ikut menjaga kebersihannya. *Kunjungan ke Pantai Annora Karimunjawa pada hari Sabtu; 26 Maret 2016.
Baca juga tulisan bertema pantai lainnya 

Memotret Candi Prambanan dari Spot Riyadi Malam Hari

$
0
0
“Banyak orang yang menantikan senja, berharap setiap momen terabadikan, kemudian dia tuangkan dalam tulisan. Acapkali tulisan senja itu berkaitan dengan keindahan, ketenangan, atau bahkan tentang kegalauan.”
Candi Prambanan terabadikan kala malam hari dari Spot Riyadi
Candi Prambanan terabadikan kala malam hari dari Spot Riyadi
Obrolan santai dengan teman menjadikan aku kembali ke Spot Riyadi. Hanya berselang beberapa hari saja, tak lebih dari seminggu; aku mengunjungi tempat tersebut untuk kedua kalinya. Kali ini tak datang pagi, sengaja ingin bersantai menikmati senja dengan secangkir kopi. Awalnya kami janjian ingin menikmati senja di salah satu sudut tempat di Jogja, tak perlu melihat sunset, yang penting bisa santai. Itulah secuil kalimat yang Charis ucapkan. Jadi aku pun mengikutinya menuju tempat ini menaiki kendaraan bermotor. Semacam kode sekedar nyeruput kopi di sana, lalu ngobrol tak jeleas. Pastinya obrolan itu di luar topik pekerjaan.

Pemandangan sore ini cukup indah, guratan cahaya kemerahan terlihat di langit. Gunung Merapi tak terlihat karena terselimut awan. Sementara itu mentari yang ingin menenggelamkan diri hanya meninggalkan sinar sedikit kemerahan. Maklum, lokasi Spot Riyadi menghadap ke utara dan timur. Sementara bagian barat tertutup rerimbunan pohon serta beberapa rumah. Kami di sini menikmati pemandangan senja bersama beberapa pengunjung lain yang terlihat asyik berfoto.
Menanti senja di Spot Riyadi
Menanti senja di Spot Riyadi
Menanti senja di Spot Riyadi
Kami berdua ngobrol santai di bawah pohon seraya menikmati suasana sore hari. Makin sore, pengunjung terus bertambah. Kali ini yang datang adalah sejoli muda-mudi. Mereka asyik bersenda gurau, sesekali mereka foto bareng. Tak lama kemudian mereka meninggalkan lokasi. Biasa jadi sudah cukup puas dengan yang diabadikan, atau sengaja mencari tempat lain yang bisa terlihat sunset.

“Tadi ramai mas, rombongan pada ke Ratu Boko. Katanya mau motret sunset” Terang Pak Riyadi seraya menghidangkan dua kopi panas.

“Iya pak, kayaknya dari sana (Ratu Boko) bakalan dapat sunset. Cerah banget sekarang,”Jawabku seraya menyeruput kopi.
Masih setia menantikan senja
Masih setia menantikan senja
Masih setia menantikan senja
Aku paham rombongan yang dimaksud pak Riyadi. Rombongan (komunitas) tersebut memang sudah tak asing dengan tempat ini. Sempat aku mengajak Chari pindah ke Ratu Boko untuk mengabadikan sunset, tapi dia tetap keukeuh di sini saja. Katanya, dia kali ini tak butuh sunset. Cuma pengen bersantai di Spot Riyadi saja. Seraya asyik menikmati segelas kopi, aku masih sempat mengabadikan beberapa pengunjung yang berlalu-lalang.

Adzan magrib terdengar berkumandang, aku secara bergantian menunaikan sholat magrib di rumah Pak Riyadi.
Malam mulai merangkak di Spot Riyadi
Malam mulai merangkak di Spot Riyadi
“Wudhunya di belakang mas, nanti sholatnya di ruang itu,” Terang pak Riyadi seraya menunjuk salah satu ruangan yang pintunya terbuka.

Kubuka pintu belakang, di sana ada kran air yang tersedia. Selesai mengambil wudhu, aku melangkahkan kaki menuju ruangan yang tadi ditunjuk pak Riyadi. Ruangan ini dikhususkan untuk sholat. Terdapat arah kiblat dan juga beberapa sarung dan sajadah. Jika kalian ke sini dan tidak membawa sarung, tak perlu khawatir. Di tempat pak Riyadi disediakan sarung untuk menunaikan sholat.

Lambat laun cahaya mentari mulai menghilang, kami masih duduk santai seraya menyeruput kopi panas. Cahaya gemerlap lampu mulai terlihat layaknya bintang. Hampir semua sudut Jogja yang terlihat dari atas bergemerlapan. Aku jadi teringat Bukit Bintang, Gunung Kidul; seperti inilah pemandangan yang dapat aku lihat kala duduk santai di jembatan. Pemandangan malam ini tak hanya gemerlap lampu saja, tapi dari sini terlihat megahnya Candi Prambana kala malam hari. Sorotan lampu membuat bangunan tinggi Candi Prambanan menjadi sosok yang terlihat megah.

“Aku difoto ya. Pokoknya latar belakangnya Candi Prambanan,” Pinta Charis.
Berlatar belakang Candi Prambanan
Berlatar belakang Candi Prambanan
Baiklah, berhubung aku lagi baik hati, jadi aku pun menuruti saja. Toh dia adalah patner mainku selama di Jogja. Hampir seluruh tempat di Jogja kalau naik motor, aku pasti dompleng dia. Maklum dia yang punya motor, sementara aku belum punya. Toh kami sudah saling kenal sejak pertama kuliah. Selain itu juga sering nongkrong bareng.

Tak salah aku menunggu sampai malam. Dari sini aku dapat menyaksikan Candi Prambanan. Berkali-kali coba membidik dengan kamera, dan tak pernah puas. Akhirnya aku pun menyerah dengan mendapatkan gambar yang seperti ini. Aku rasa ini sudah lebih dari cukup. Tak perlu menyesal, yang penting kan ada dokumentasinya.

“Selamat malam Candi Prambanan dan Candi Sojiwan.”

Sapaan untuk kedua candi tersebut mengantarkan kami berpisah. Meninggalkan Spot Riyadi menuju lokasi lain, tentunya lokasi yang berkaitan dengan urusan perut. Perutku sudah mulai keroncongan.
Megahnya Candi Prambanan ketika malam hari
Megahnya Candi Prambanan ketika malam hari
Megahnya Candi Prambanan ketika malam hari
“Kayaknya ke Angkringan Sendang enak nih!” Celetuk Charis.

Aihhh benar banget Charis, tahu sekali kalau perutku keroncongan. Kami pun bergegas meninggalkan Spot Riyadi menuju Angkringan yang diusulkan Charis. Lokasinya memang searah jalan pulang.

Akan menjadi pemandangan yang menarik dan indah jika kalian ke sini mengabadikan Candi Prambanan pada malam hari. Kilauan cahaya dari tiap bangunan menambah keindahan objek yang ingin kalian bidik. Ya, tak perlu menggunakan kamera yang bagus; kalaupun hasil dari kamera tak memuaskan, setidaknya kalian sudah menatap keindahan pemandangan dari ketinggian dengan kedua mata. Spot Riyadi akhir-akhir ini semakin dipenuhi para pemburu sunrise (dari para potografer sampai mereka yang hanya iseng-iseng ingin ke lokasi), bahkan ada yang sengaja kemping di area sini. Semoga semakin banyak yang datang, tetap saja dapat berinteraksi dengan warga setempat, dan tak membuat kebisingan. *Kunjungan ke Spot Riyadi pada hari Kamis; 18 Februari 2016.
Baca juga tulisan alam lainnya 
Viewing all 750 articles
Browse latest View live