“Karena Hutan Mangrove itu fungsinya banyak; sebagai pencegah abrasi pantai dan juga sebagai tempat tinggal biota laut. Kalian bisa melihat banyak Kepiting, Ikan, ataupun Udang di sini. Itulah sedikit kalimat yang aku ingat kala mendapatkan mata pelajaran Balai Taman Nasional pada mapel Muatan Lokal semasa SMP.”
![]() |
Pengunjung berselfie di Mangrove Congot, Kulon Progo |
Enaknya bergabung disebuah grup sepeda (Facebook) adalah mengetahui banyak informasi yang dibagikan tiap anggota. Salah satunya sebuah postingan yang akan mengunjungi Mangrove di Pantai Congot, Kulon Progo. Berbagai komentar pun ditulis, aku terus memantau postingan tersebut; pada akhirnya keputusan berangkat ke sana hari Sabtu dengan titik kumpul pertama di Tugu. Paginya aku segera mengayuh sepeda menuju Tugu, di sana menunggu anggota lain yang ikut kumpul di Tugu. Aku, Mas Febri, dan ketiga pesepeda lainnya segera berangkat menuju titik kumpul kedua di Demak Ijo. Di sana sudah ada lima pesepeda lainnya yang menunggu.
Tak hanya di Demak Ijo, teman pesepeda lainnya juga menunggu di area sebelum Sentolo. Rombongan terakhir adalah komunitas tuan rumah (Kulon Progo) yang menjadi marshal sekaligus menentukan rute. Kejutan yang diberikan teman-teman Kulon Progo membuatku antusias, rute tidak melalui jalan raya, namun menyusuri arah rel melintasi daerah Kaligintung, Temon, memasuki Kokap juga dan akhirnya kami sampai ke jalan besar. Jalan ini ternyata sudah di Kabupaten Purworejo. Sekitar 300 - 500 meter dari gapura perbatasan DIY – Jateng. Mengesankan sekali. Apalagi melihat antusias teman-teman pesepeda untuk mengabadikan diri di gapura pembatas kedua kabupaten yang berbeda provinsi.
![]() |
Rombongan pesepeda menyusuri jalan di Kulon Progo |
![]() |
Sampai di Gapura perbatasan Kulon Progo - Purworejo |
Jembatan Gantung Watukuro
“Kami sengaja lewatkan rute kampung ini agar lebih nyaman, mas. Kalau lewat jalan raya saingannya bus, truk dan kendaraan besar lainnya. Kalau lewat sini memang lebih jauh, tapi tetap teduh dan jalannya lebih sepi,” Terang om Agung (pesepeda dari Kulon Progo).
Kebersamaan berlanjut, usai mengabadikan diri di gapura, kami menyusuri jalan menuju arah pantai Congot. Rute ini sengaja dipilih teman-teman pesepeda Kulon Progo untuk menyenangkan kami. Tak jauh dari gapura pembatas, kami membelokkan arah ke kanan dan memasuki jalan kampung cor dua tapak. Lokasinya ternyata masih kawasan Purworejo. Suasana nyaman dan tenang ini membuatku semakin bersemangat. Tak lama mengikuti jalan, sampailah kami disebuah Jembatan Gantung. Ini Jembatan Gantungnya, wahhhh tahu banget kalau aku suka motret Jembatan Gantung. Aku bergegas menyeberangi jembatan tersebih dulu, kemudian mengabadikan teman-teman yang beriringan menyeberangi jembatan tersebut. Jembatan ini berada di desa Watukuro, Purwodadi, Purworejo. Nama jembatannya adalah Jembatan Gantung Watukuro.
“Jembatan Gantung Watukuro ini lokasinya di Purworejo, mas,” Ujar bapak pesepeda menjawab pertanyaanku.

![]() |
Jembatan Gantung Watupuro, Purworejo |
Trekking Mangrove Pantai Congot
Sebelum melanjutkan ke Mangrove pantai Congot, rombongan berhenti di pasar yang lokasinya tak jauh dari Jembatan arah jalan ke Pantai Congot. Sebagian membeli bekal makan, bahkan ada yang membeli pisang dan dibagi-bagikan. Terima kasih atas pisangnya, pak. Mentari sudah agak terik walau awan menutupi sebagian sinarnya. Kami mengayuh pedal sepeda menuju tujuan pantai Congot. Selang beberapa menit, kami sampai diparkiran pantai Congot, salutnya lagi sudah ada banyak pesepeda yang menunggu kami di sini. Inilah pesepeda, satu postingan digrup menjadi viral dan mereka tak segan-segan menyambut sesama pesepeda yang menuju ke destinasi di daerahnya.
Hutan Mangrove pantai Congot ini sebenarnya sudah dikelola dalam kurun waktu lama. Sekitar enam tahun silam, para penduduk menanami Mangrove di pantai ini. Selain itu salah satu komunitas pesepeda dari Jogja pun pernah baksos di sini beberapa tahun silam. Bahkan, ada mangrove yang ditanam pada tahun 1989an. Informasi ini aku dapatkan dari bapak yang bertugas mengelola Mangrove. Bentangan jembatan bambu membentang tiap sudut mangrove dijadikan titian para pengunjung yang ingin menyusuri kawasan mangrove. Jika di Karimunjawa jalan untuk hutan mangrovenya terbuat dari titian papan, di sini semi permanen dari bambu.


![]() |
Area Hutan Mangrove di Pantai Congot, Kulon Progo |
Satu hal yang harus kita ketahui di sini, berhubung jembatannya terbuat dari bambu; usahakan ketika berhenti di satu titik tak lebih dari 10 orang. Takutnya jembatan tersebut goyang, lebih baik pengunjung berurutan jalan dan jika ingin berhenti harus mencari titik-titik tertentu yang di bawahnya ada sanggahan kayu. Jembatan bambu ini baru selesai dibuat 1.5 bulan lalu, jadi masih sangat kuat. Karena jembatan trekkingnya dari bambu lah banyak pengunjung yang ingin melihat dan mengabadikan diri di sini. Selama aku di sini, sudah ada banyak pengunjung yang datang dan mengabadikan bersama-sama. Di salah satu sudut jembatan ini terdapat sampan, juga ada aktifitas para pemancing. Mereka tak merasa terganggu dengan kedatangan kami.
Karena sudah sampai tujuan, kami (rombongan pesepeda) segera menyebar. Jalur trekking mangrove di pantai Congot tak ditentukan satu jalur, ada semacam tiga jalur. Jalur yang lurus itu menyeberangi sungai, jalur yang ke kiri itu sampai mentok di ujung sekitar 100 meter. Jadi kalian harus putar balik ke titik awal untuk kembali. Jalur yang paling panjang adalah yang belok kiri (dari arah parkiran). Di jalur ini kita bisa mengelilingi sebagian mangrove dan menuju area parkir melalui jalur yang berbeda.
Aku mengabadikan teman-teman yang menapaki tiap jalur jembatan bambu. Suara batang bambu berderit kala kaki kami menginjak batangnya, terlontar guyonan para pesepeda menanggapi suara tersebut. Mereka tertawa membayangkan jika di antara teman-teman ini ada yang terpeleset dan jatuh. Berbagai ragam komentar membuat kami tertawa.
“Paling aku foto dan kumasukkan digrup facebook kalau kamu yang jatuh ke sini,” Seloroh mereka.
Tak hanya mengabadikan teman-teman, aku pun mengabadikan diri sendiri menggunakan Tripod. Selain itu, aku juga mengabadikan dua cewek yang sedang berkunjung ke sini. Oya, aku sudah ijin terlebih dahulu pada kedua cewek ini. Bahkan karena sejalur arahnya, kami pun ngobrol santai dan menyusuri jalur trekking mangrove ini bersama. Mereka berdua adalah Nonny (berjilbab) dan Zetty. Dua pengunjung dari Pengasih.


![]() |
Menikmati waktu di Hutan Mangrove Pantai Congot |
“Katanya ada Goa Mangrovenya di sini,” Celetuk Zetty.
“Kayaknya yang arah sini. Kita cari aja,” Jawabku.
Kami berempat menyusuri Jembatan Bambu sampai mentok. Jalan tersebut mengarahkan kami ke rerimbunan pohon Cemara. Tepat di salah satu dahan pohon Cemara terdapat plang menunjukkan rute menuju Goa Mangrove. Sebuah jalan setapak dan jembatan kecil menyeberangi aliran sungai kecil. Jalan setapak di sini terlihat lebih indah, sisi kiri tumbuhan rindang dan kanan sebuah suangi kecil. Arah jalurnya mengantarkan kami di Goa Mangrove. Jangan berpikiran di sini ada goa ya, Goa Mangrove hanyalah jalur dengan jalan setapak yang diberi pondasi puluhan karung berisi pasir di tengah-tengah tumbuhan Mangrove. Rute trekking di Goa Mangrove ini tidak panjang, kurang dari 100 meter; tapi cukup asyik untuk dilalui.

![]() |
Ini yang disebut Goa Mangrove di pantai Congot |
Berhubung tempatnya sangat rekomendasi untuk diabadikan dua cewek yang kuculik tadi. Mereka aku suruh bergaya layaknya model. Asyikkan dapat model gratisan dan cantik pula. Selang beberapa saat aku pun bergegas mengatur setelan kamera dan memasangnya di Tripod. Kali ini kami berempat foto bareng. Biar ada dokumentasinya.
Oya seperti yang aku bilang tadi diawal, aku mengajak dua pengunjung untuk kupotret. Di sini mereka kubebaskan bergaya seperti apa yang penting kuabadikan. Aku sertakan beberapa hasil membidik dua cewek tersebut di sini. Benar-benar kuucapkan terima kasih untuk dua cewek yang mau aku culik selama di mangrove.
Oya seperti yang aku bilang tadi diawal, aku mengajak dua pengunjung untuk kupotret. Di sini mereka kubebaskan bergaya seperti apa yang penting kuabadikan. Aku sertakan beberapa hasil membidik dua cewek tersebut di sini. Benar-benar kuucapkan terima kasih untuk dua cewek yang mau aku culik selama di mangrove.

![]() |
Tetap jaga kebersihan ya, mas :-D |
“Nanti aku ditag kalau diupload di Instagram ya, mas,” Pinta keduanya.
Aku mengiyakan seraya mengajaknya kembali menuju parkiran. Tanpa kusadari, seluruh jalur di Mangrove pantai Congot ini sudah kulalui. Mulai dari rute jembatan bambu yang melintang panjang di tepian mangrove sampai pada jalur menuju ke dalam tumbuhan mangrove (Goa Mangrove). Ada beberapa hal yang harus kalian ketahui jika berkunjung ke Hutan Mangrove di Pantai Congot; pesepeda tak dikenai retribusi (terima kasih untuk pengelola yang menggratiskan kami) untuk motor dikenai parkir saja, gunakan lotion untuk menghindari gigitan nyamuk selama di mangrove (khususnya musim tertentu biasanya di area trekking mangrove banyak nyamuk), tetap menjaga kebersihan area mangrove, patuhi tiap peraturan dan berinterasilah dengan warga setempat.

![]() |
Yakin nggak mau ke Mangrove Pantai Congot? |
Kunjungan rombongan sepeda ke pantai mangrove ini sangat menyenangkan, aku tak hanya mendapatkan dokumentasi yang banyak, tapi juga mendapatkan informasi yang cukup dari warga setempat. Semoga Mangrove Pantai Congot ini bisa bersolek menjadi lebih baik, dan pengunjung lebih banyak. Tentunya jika keduanya bisa berkembang dengan baik, secara tak langsung perekonomian warga setempat menjadi lebih baik.
Bayar Tiket Masuk Pantai Glagah - Pantai Congot
Tak terasa hari sudah sangat siang, perjalanan lebih dari 50km kami tempuh dalam beberapa jam. 22 pesepeda secara bergantian pamit meninggalkan area Mangrove Pantai Congot. Kami beriringan menyusuri jalan yang dikelilingi pohon kelapa menuju pantai Glagah. Ada beberapa jalan yang dapat mengarahkan kami dari pantai Congot ke Pantai Glagah, teman-teman dari Kulon Progo sudah mencarikan rute yang paling mudah kami susuri. Selang beberapa menit kami sudah sampai di portal pintu masuk pantai Glagah (arah dari pantai Congot).
“Berapa orang, mas?” Tanya salah satu petugas pada rombongan kami.
Kami pun kebingungan, lantas menghitung jumlah pesepeda yang ke ingin menyusuri pantai Glagah.
“22 orang, pak. Bayar ya, pak?” Tanya salah satu rombongan.
“Ya bayar mas. Satu orang 4ribu, berarti bayar 88 ribu, mas.”
Sebenarnya tak jadi masalah sih kami membayar, hanya saja ini kali pertamaku disuruh membayar petugas kala menaiki sepeda. Tak hanya aku, seluruh pesepeda (rombongan kami) pun sedikit kaget, walau tak lama uang sejumlah 88 ribu sudah terkumpul. Sedikit hal yang kupahami; selama aku bersepeda (mungkin juga teman-teman lainnya) jika menuju destinasi wisata alam/pantai hanya dikenai parkir saja. Di sepanjang pantai Selatan, selama bersepeda kami tak pernah dikenai uang masuk; naik ke Kaliurang pun tak dimintai retribusi, di Canting Mas dan Waduk Sermo pun kita gratis, kalau di Kalibiru memang bayar karena memang beda konsep.

![]() |
Sementara itu di TPR Pantai Glagah... |
“Kita sama-sama menghargai mas, mas masuk ke sini ya bayar,” Terang petugas tersebut.
“Bagaimana kalau kalian cukup bayar 50ribu saja, nanti tiketnya aku kurangi,” Malah petugasnya menawari kami.
“Tidak pak. Bapak tadi bilang kami harus menghargai, kami bayar penuh dan kami minta 22 tiketnya,” Jawab kami tegas.
Menarik memang kalau melihat ini, apalagi waktu aku meminta ijin ingin mengabadikan proses pembayaran teman-teman pesepeda. Salah satu dari bapak tersebut keberatan untuk kuabadikan. Aku pun berkilah apa salahnya aku abadikan, toh ini sebagai bukti kalau kami masuk ke sini bayar, pak. Tiket sudah ditangan, kami melanjutkan perjalanan menyusuri jalan besar. Sebenarnya kami tak ada yang ingin singgah atau memotret di jembatan/penghalang ombak pantai Glagah. Kami hanya lewat jalan tersebut sampai tembus di pintu TPR satunya kemudian berpisah.
Tepat di sudut jalan raya (lampu merah) seluruh rombongan berkumpul dan menepi. Di sini kami berpisah sesuai rute jalan yang dekat pulang ke Jogja. Sebagian besar melalui jalan Wates, sementara enam (termasuk aku) menyusuri jalan lewat Bantul. Salam hangat perpisahan sangat terasa, pada momentum seperti inilah kita mendapatkan banyak teman/saudara. Terima kasih dan angkat topi untuk teman-teman Kulon Progo yang tak bisa kusebut satu-persatu; untuk om Z Triyono yang sempat memperbaiki sepedaku, untuk Mbak Dea (cewek satu-satunya), untuk teman-teman yang lewat Wates. Kami berenam (Aku, Mbah Kung Endy, Mas Febri, Om Sembung + temannya, dan Mas Novi) melalui menyusuri jalan Srandakan. Sebelumnya kami menyempatkan sholat dhuhur di salah satu musholla, kemudian terkena insiden ban bocor (punya bapak temannya om Sembung), terkena hujan deras selama dari jalan Paris, dan sempat salah satu mas yang kram. Terima kasih semuanya, aku sampai kos pukul 16.45 WIB. Rasa capek ini cukup membuatku terlelap saat tidur malam. *Bersepeda ke Mangrove Pantai Congot pada hari Sabtu, 05 Maret 2016.
Baca juga cerita alam lainnya