Quantcast
Channel: Nasirullah Sitam
Viewing all 756 articles
Browse latest View live

Menjadikan Buku sebagai Teman Seperjalanan

$
0
0
Bagi orang yang sering melakukan perjalanan jauh, terutama menaiki transportasi umum, tentunya pernah merasakan bosan sepanjang perjalanan. Jika kita berpergian dengan teman, aku rasa kebosanan tersebut akan sedikit hilang. Tapi jika kita berangkat sendirian, tentu dalam kurun waktu yang tidak lama, rasa bosan hinggap diotak kita. Ada –ada saja yang kita lakukan untuk mengusir rasa jenuh sepanjang perjalanan, bisa dengan berbincang dengan teman dekat bangku, bermain gadget, tidur, atau malah membaca buku. Ya, bukan suatu hal yang langka; banyak sebagian dari kita selalu membawa buku dikala sedang melakukan perjalanan jauh. Kita bisa meluangkan waktu untuk membaca pada saat-saat tertentu.
Buku Dewa Ruci di tepian pantai Pulau Panjang Jepara
Buku Dewa Ruci di tepian pantai Pulau Panjang Jepara
Tanpa kusadari, aku pun melakukan hal yang sama ketika sedang berpergian. Lebih benarnya lagi tidak hanya ketika sedang keluar kota, tapi kalau pulang kampung ke Karimunjawa. aku pasti membawa minimal dua buku untuk kubaca selama di perjalanan atau saat di Karimunjawa. Dalam dua pekan terakhir, akhir Desember 2015 dan awal Januari 2016; aku melakukan dua perjalanan yang berbeda. Malangdan Jepara, dan aku pun menyempatkan untuk membawa buku.

Tidak tahu kenapa, ketika aku sedang menaiki kendaraan; seperti yang aku lakukan pada saat naik kereta api dan bis, kusempatkan waktu untuk membaca buku. Aku merasa, membaca buku ketika dalam suatu perjalanan adalah hal yang menyenangkan. Terlepas, apakah nanti kita bisa berinteraksi dengan samping bangku kita atau tidak. Jika sedang berinteraksi, aku tutup buku dan ngobrol santai. Namun saat samping bangku capek dan tidur, aku kembali membaca. Buku memang menjadi teman seperjalanan yang baik.
Ditemani Buku Dewey saat perjalanan ke Malang
Ditemani Buku Dewey saat perjalanan ke Malang
Ditemani Buku Dewey saat perjalanan ke Malang
Berlalu dari menikmati perjalanan dengan membaca buku. Coba kita cermati selama menginap di hotel/penginapan, tapi tidak ada kegiatan. Jika kita sendirian, tentu akan sedikit bosan jika hanya menonton TV atau menghidupkan laptop dan menikmati fasilitas Wifi. Kadang kita perlu suasana baru, dengan membawa buku, kita dapat secara tidak langsung menikmati waktu senggang dengan membaca. Terkadang mood membaca di tempat beda membuat kita semakin menikmatinya.

Bukan hanya menjadi teman yang baik dikala sendirian diperjalanan atau di kamar. Buku juga mempunyai fungsi lain dikala kita sendiri. Seperti yang aku lakukan ketika mengunjungi Pulau Panjang dan Simpang 7 Kudus. Aku jadikan buku yang sedang kubaca sebagai model/objek jepretanku. Kadang kala ada saja ide yang unik dan lucu kalau kita menjadikan buku sebagai objek jepretan. Ya, buku memang teman seperjalanan yang tidak membosankan bukan?
Bersama buku Dewa Ruci saat di Jepara dan Kudus
Bersama buku Dewa Ruci saat di Jepara dan Kudus
Bersama buku Dewa Ruci saat di Jepara dan Kudus
Atau seperti akhir pekan lalu. Aku sengaja membawa sebuah buku saat diajak teman bermain di kawasan Jogja. Tepatnya di Gunung Ireng, Gunungkidul. Sebuah buku yang bertema tentang sepeda pun tak luput dari tanganku. Semacam sebuah pencitraan mungkin, tapi mencoba menjadikan sebuah buku sebagai properti ketiga berfoto bukanlah sesuatu yang salah. Apalagi buku tersebut bukan hanya sebagai bahan properti aja, tapi juga dibaca pada saat sedang melakukan perjalanan. Mengusir kebosanan ketika malas memegang gadget.
Berteman buku dan kabut di Gunung Ireng Gunungkidul
Berteman buku dan kabut di Gunung Ireng Gunungkidul
Ya, membawa sebuah buku ketika dalam suatu perjalanan, membacanya saat berusaha membunuh waktu dan rasa kejenuhan, dan menjadikannya sebagai objek jepretan hanyalah segelintir dari manfaat buku itu sendiri bagi kita. Seperti yang aku alami, terkadang dengan membaca suatu buku; aku mendapatkan ide ataupun inspirasi untuk menulis. Bahkan sekarang, aku berusaha membeli sebuah buku untuk dibaca ketika ingin berpergian ke luar kota. Apakah kalian juga mengalaminya?
Baca juga ulasan lainnya 

Kesampaian juga Memotret Menara Kudus

$
0
0
Sepulang dari Pulau Panjang, aku seharian beristirahat di Jepara. Beberapa agenda yang aku rencanakan tidak berjalan dengan lancar, aku habiskan sabtu siang sampai sore untuk bersantai; ngobrol bareng dengan seseorang. Menjelang malam, aku melanjutkan baca tiap lembar buku Dewaruci sampai tengah malam. Beruntunglah aku tidak membawa laptop, jadi hampir sampai tengah malam, aku terbuai alur tulisan Cornelis Kowaas.

Terbesit niat esok pagi tidak langsung pulang ke Jogja. Aku mulai merencanakan untuk singgah sebentar di Kudus. Cukup simpel alasanku, aku ingin menuntaskan misi beberapa bulan lalu yang gagal (Mengabadikan Menara Kudus). Kadang kita rela hanya berhenti sejenak untuk mengabadikan, lalu meninggalkan tempat tersebut dengan perasaan puas dan bersyukur. Tidak banyak waktu yang bisa kita nikmati, tapi berhasil menuntaskan misi adalah hasil dari proses panjang. Walau sebenarnya misi tersebut cukup mudah bagi orang lain.

Kumandang adzan subuh terdengar keras tidak hany dari satu penjuru. Di tempatku tidur ini, ada sekitar 3 mushola yang berdekatan. Setiap gang mempunyai musholla, sehingga adzan pun terdengar sangat lantang. Merdu sekali rasanya. Pagi harinya kulangkahkan kaki menuju terminal Jepara dan langsung naik bis jurusan Kudus. Aku merogoh kocek 10ribu untuk sampai di Kudus, tepatnya sampai Terminal Jetak. Dari Terminal Jetak, aku menaiki angkot berwarna Ungu menuju Menara Kudus.

“Nanti turunnya barengan saya saja, mas. Saya juga turun di dekat Menara,” Begitulah kata seorang ibu yang kutanyai mengenai lokasi Menara Kudus.

Mobil angkot kecil ini disesaki penumpang, aku menghitung seluruh penumpang di dalam angkot. Total penumpang berjumlah 17 orang, dan aku satu-satunya penumpang laki-laki. Sesak sekali rasanya di dalam angkot, namun apa daya; aku mencoba menikmati bagaimana pengapnya angkot ini. Lebih dari 15 menit, akhirnya ibu tadi turun seraya mengajakku untuk segera turun dari angkot. Segera kubayar angkot ini sebesar 5ribu.

“Ikuti jalan ini, mas. Di sana Menaranya.”

“Terima kasih, bu.”
Jalan tidak luas yang dipenuhi pengunjung ke Menara Kudus
Jalan tidak luas yang dipenuhi pengunjung ke Menara Kudus
Jalan yang tidak terlalu besar ini disesaki orang yang berlalu-lalang. Tidak hanya rombongan orang lengkap menggunakan peci maupun perempuan yang berkerudung sedang berjalan kaki, banyak kendaraan motor, sepeda, bahkan becak saling berbaur menjadi satu. Setiap sisi jalan terlihat banyak toko yang buka. Mereka tidak hanya berjualan cinderamata seperti peci, sajadah, ataupun makanan terkenal Jenang Kudus. Tapi banyak sekali yang dipajang untuk dijual. Hanya berjalan beberapa puluh meter saja, aku sampai di depan Menara Kudus.

Aku berdiri diseberang jalan, tepat di depanku sebuah Menara Kudus yang terkenal ini berdiri megah berdampingan dengan sebuah masjid. Banyak pengunjung yang mengabadikan diri di depan menara tersebut. Mereka rata-rata adalah penziarah yang ingin berziarah ke makam Sunan Kudus. Lokasinya pun di area menara ini. Bahkan di sini menara pun terdapat sebuah pintu masuk untuk menuju Makam Sunan Kudus. Suasana yang seperti di Demak pun terasa. Silih berganti para penziarah lewat depanku dengan berbagai pakaian, dan tentunya obrolan-obrolan mereka yang bersyukur sudah bisa sampai di Kudus untuk berziarah ke Makam Sunan Kudus.
Menara Kudus sangat megah dan indah dari sudut ini
Menara Kudus sangat megah dan indah dari sudut ini
“Ayoo buk foto, hanya sepuluh ribu. Langsung jadi, bisa diambil sehabis ziarah,” Beberapa orang yang berprofesi sebagai photografer merayu segerombolan penziarah agar mengabadikan diri depan menara.

Terang saja, selama aku berdiri termangu menatap Menara, ada banyak rombongan ibu yang akhirnya menerima tawaran foto. Kemudian mereka mendapatkan bingkisan berupa cetakan foto dengan latar belakang Menara Kudus. Aku sendiri mencoba mengabadikan beberapa kali Menara Kudus dari berbagai sudut. Percaya atau tidak, ini adalah kali kedua aku berkunjung ke Menara Kudus. Tepat sepuluh tahun lalu, tahun 2006 (semasa aku kelas 3 SMA); aku pernah ziarah ke sini, waktu itu berurutan dari Makam Kadilangu– Sunan Kudus – dan Sunan Muria. Aku juga masih ingat bagaimana menggeber motor Matic untuk naik ke Muria (Makan Sunan Muria), bersaingan dengan kendaraan lain yang lebih kuat. Kenangan yang tak mungkin terlupakan saat itu.

“Mas, bisa minta tolong fotokan kami?” Pinta seorang lelaki seraya menyodorkan hp-nya.

Bisa pak,” Jawabku menerima hp tersebut. Bergegas aku memotret keluarga kecil itu menggunakan kamera hp. Seingatku, aku memotret beliau tiga kali. Setelah selesai, kukembalikan hp pada bapak tersebut.

Beranjak aku mengelilingi Menara Kudus. Masuk melewati jalan Masjid, aku berjalan ke arah menara. Ada banyak orang yang mengabadikan diri dekat Menara dari dalam. Tidak ketinggalan anak-anak kecil bermainan di dekat menara. Bahkan seorang ibu pun terlihat bersemangat momong kedua anaknya yang duduk di semacam selasar Menara.
Para pengunjung di depan Menara Kudus
Para pengunjung di depan Menara Kudus
Para pengunjung di depan Menara Kudus
Aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan selama di sini. Bergegas kukeluarkan Tripod dari dalam tas. Kemudian memasangnya di tepian jalan. Sebelumnya, aku sudah mengganti lensa mirrolesku. Setelah itu, aku langsung mengatur setelan kamera bidikan timer sepuluh detik. Alhasil, aku pun sukses mengabadikan diri di sini. Oya, aku memang menggunakan celana pendek kalau sedang berpergian; namun di dalam tas selalu membawa sebuah sarung jika sewaktu-waktu aku harus menunaikan sholat saat sedang dalam perjalanan.

Seperti yang kukatakan diawal, sebuah kepuasan tersendiri ketika aku berhasil menuntaskan misi yang sempat terbatalkan beberapa kali memotret Menara Kudus. Aku bersyukur bisa menyelesaikannya dengan baik, dan mungkin sekarang langkahku semakin ringan. Semakin santai karena tidak ada tuntutan dari hati akan mengunjungi mana lagi hari ini. paling kalaupun ada adalah sesuatu yang spontan dan mumpung dekat dengan lokasi sebelumnya. Usai sudah mengunjungi Menara Kudus, rencana yang beberapa bulan sempat tertunda pun sudah berhasil kuselesaikan. Kulihat jam tangan menjelang siang, aku kembali menuju jalan tempat aku turun dari angkot. Mencari informasi jalan ke Alun-alun Kudus untuk berfoto ditulisan Simpang Tujuh.
Mengabadikan di area Menara Kudus
Mengabadikan di area Menara Kudus
“Pak kalau jalan ke Alun-alun jauh tidak ya?” Tanyaku pada bapak juru parkir.

“Kira-kira satu kilo, mas. Arah sana,” Jawab Bapak tersebut seraya menunjuk ke arah perempatan di depan.

“Matur nuwun, pak.”

Aku bergegas jalan kaki menuju Alun-alun Kudus. Beberapa kali angkot berwarna ungu mencoba mendekatiku, namum aku tolak. Entahlah, kali ini aku sengaja ingin jalan kaki saja. *Kunjungan ke Menara Kudus pada hari Minggu, 10 Januari 2016.
Baca juga postingan yang lainnya 

Memotret Sunrise dan Siluet Candi Prambanan

$
0
0
Di tahun 2016 ini aku mulai latihan memotret, berbekal kamera mirroles Nikon J3; aku mencoba mencari tempat-tempat yang sejatinya bisa dijadikan objek berfoto. Tidak banyak pengetahuanku tentang dunia fotografer, hanya sekedar mengabadikan dan kemudian menjadi kepuasan sendiri saat berhasil memotret. Apapun itu hasilnya hasilnya, jelek, lumayan, bagus, itu nggak kupikirkan.

“Waduh jam 5,”Ujarku sendiri agak kelabakan. Padahal hari ini aku rencananya ingin mengabadikan sunrise di sekitar Candi Prambanan. Aku sudah menghitung waktu yang akan kutempuh jika naik sepeda, sekitar 35 menit dari kos. lima belas menit pertama aku gunakan untuk mengumpulkan tenaga, menghilangkan rasa kantuk dan sholat subuh. Tepat pukul 05.15 wib, aku menyusuri jalan Solo yag sedikit gelap menuju Prambanan. Kulihat gumpalan awan tidak terlalu tebal, namun cukup cerah pagi ini. Sehingga semakin bersemangat aku mengayuh pedal sepeda. Dari kejauhan rona kemerahan mulai tampak dari balik bukit. Aku mulai mengatur ritme kayuhan karena kaki mulai merasakan capek.

Lokasi tujuan sudah dekat, aku di area Candi Sari terus mengayuh sepeda, berkejaran dengan waktu agar dapat mengabadikan sunrise. Cahaya keemasannya semakin jelas, dan ini menandakan sebentar lagi cahaya tersebut berpendar diikuti mentari terbit. Sepeda kubelokkan ke arah kiri, menyusuri sepanjang jalan dekat Ramayana Ballet; terus melaju sampai di Jembatan yang menghadap ke Candi Prambanan. Perkiraanku salah, ternyata mataharinya tidak tepat di atas candi, malah tertutup oleh dedaunan sisi kirinya.
Moment sunrise di area Candi Prambanan
Moment sunrise di area Candi Prambanan
“Pak, kalau mau masuk ke sana lewat mana, ya?” Tanyaku ke seorang bapak yang berjualan Angkringan dekat Jembatan.

“Lewat Ramayana Ballet, mas.”

Aku berputar balik menuju arah Ramayana Ballet. Sebelumnya mengucapkan terima kasih pada bapak yang berjualan Angkringan. Di sekitar tanah lapang dekan jembatan ini ada sekelompok siswa yang sedang berkemah. Keriuhan pun terdengar sampai sisi jalan. Setibanya di pintu masuk Ramayana Ballet, pagar pintu hanya terbuka sedikit. Aku menuntun sepeda, dan menghampiri petugas yang berjaga meminta ijin masuk.

“Silakan, mas,”Jawab bapak dari atas motornya.

Aman, bergegas aku sedikit melaju kencang di dalam area ballet ini. masih sepi, hanya aku sendirian saja. Belum ada orang lain yang bermain di sini. Sepeda kuarahkan ke sisi kiri melewati jejeran pepohonan dengan jalur setapak. Sampai akhirnya pada hamparan rumput hijau di antara pepohonan yang rindang. Dari sini tampak Candi Prambanan dengan jelas berwarna siluet karena di belakangnya cahaya mentari sedang ingin merangkak naik. Kubidik beberapa kali gambar seraya memainkan pencahayaan kamera. Membuat sang bidikan menjadi lebih terlihat siluetnya. Tidak hanya itu, cahaya mentari pun masih terlihat kekuningan. Warna khas ketika mentari ingin terbit. Sangat indah untuk terus dipandang.
Memainkan cahaya pencerahan dan membidik sunrise di Candi Prambanan
Memainkan cahaya pencerahan dan membidik sunrise di Candi Prambanan
Memainkan cahaya pencerahan dan membidik sunrise di Candi Prambanan
Lambat laun mentari mulai naik, cahaya kekuningan mulai pudar. Dari kejauhan Candi Prambahan malah lebih eksotis. Terlihat lebih gagah karena dari belakang terpancar cahaya terang mentari. Namun gumpalan awan membuat mentari tak bisa leluasa memperlihatkan bentuknya. Hanya kilauan warna yang menerobos di antara gumpalan awan tipis. Cahaya tersebut menerobos sampai ke bumi. Aku beranjak dari tempat dudukku, bergeser lebih dari lima langkah, mencari tempat yang membuat mentari tepat di belakang candi. Dari sini sebuah pemandangan yang indah kudapatkan. Aku rasa, aku bisa memotret siluet dengan bagus di sini. Mentari tertutup awan tipis, dan sinarnya terhalangi oleh candi. Mainkan, jepret! Jepret!
Siluet Candi Prambanan
Siluet Candi Prambanan
Siluet Candi Prambanan
Beruntunglah pagi ini lumayan cerah, sehingga aku dengan leluasa dapat memotret moment sunrise (walau agak terlambat). Aku diam duduk dihamparan rumput bersandarkan batang pohon. Sesekali harus mengusir semut kecil yang menggigit kulit kakiku. Tanah yang lembab membuat para Semut berkeliaran dan merasa terganggu tapak kakiku, sehingga mereka beramai-ramai menggigit kakiku. Kulihat tidak jauh di sana kesibukan anak-anak yang sedang berkemah, dentangan lagu dangdut memecah kesepian; sesekali diselingi teriakan salah satu Pembina yang mengharapkan para peserta kumpul dan senam pagi bersama.

Aku masih asyik duduk sendirian melihat hasil bidikan kamera, terdengar suara sepeda motor mendekatiku. Beliau ternyata petugas yang berjaga, aku menahan nafas, berusaha santai dan tersenyum seraya menyapa bapak tersebut. Selang berapa menit, beliau kembali. Hembusan nafas panjang itu tandanya semua baik-baik saja. Kuraih tas dan mengambil lensa bawaan yang lebih kecil, aku ingin mengabadikan Candi Prambahan dengan lensa lebih kecil sehingga terlihat lebih jauh. Begitu siap mengabadikan, terdengar suara Pesawat yang terbang di atas. Kucari pesawat tersebut, menahan tombol sampai pesawat tersebut lewat atas candi baru kuabadikan. Benar saja, dari kamera terlihat pesawatnya namun kecil, tanpa pikir panjang langsung abadikan. Beruntung walau kecil tapi terlihat kalau ini adalah sebuah pesawat, terlalu tinggi sih, tapi tidak masalah. Bisa jadi yang terbang ini adalah pesawat pada penerbangan jam pertama di pagi hari. Aku mulai bergeser sejenak, kemudian mengabadikan lagi candi dengan samping sebuah lampu penerangan yang berbentuk bulat.
Selamat Pagi Candi Prambanan
Selamat Pagi Candi Prambanan
Selamat Pagi Candi Prambanan
Siluet selalu menggoda untuk diabadikan, bukan kah seperti itu kenyataannya? Dalam beberapa waktu kurun terakhir, aku suka sekali mengabadikan diri saat sedang siluet. Kombinasi warna hitam han putih membentuk lekukan objek yang secara kasat mata dapat kita lihat bahwa ini sebuah bangunan; manusia, atau benda besi macam sepeda. Tidak hanya itu saja, kita tentu bisa berkreasi sepuasnya tanpa harus tampil rapi, nyentrik, atau apalah. Kan semuanya hanya ada warna gelap dan terang (hitam & putih).

Aku menancapkan tripod di tanah, sesekali memutar lensa agar objeknya pas tidak terlalu kecil maupun besar. Kemudian mengatur pencahayaan, kalaupun tidak seperti itu; aku tancapkan Tripod ini pada kaki yang terpendek, sehingga hanya setinggi 25cm saja, lalu mendongakkan kamera agar objek terlihat dari bawah ke atas, sehingga cahaya semakin gelap, namun langit tetap saja terlihat terang. Beruntungnya, pagi ini awan tidak merata menyelimuti langit; awan membentuk gumpalan-gumpalan kecil yang terpisah, hanya di beberapa sisi mereka lebih tebal dan pekat. Kuatur setelan kamera 10 detik, lalu mengayuh sepeda dari sini kiri secara perlahan seraya menghitung sampai angka 10. Jika lebih peka, aku mendengar suara jepretan kamera dari jarak tidak lebih 5 meter. Berkali-kali aku lakukan kegiatan seperti ini dari kedua sisi, sampai akhirnya merasa puas dengan dua hasil gambar siluetku bersama sepeda dan berlatar belakang candi.
Siluet bareng sepeda di area Candi Prambanan
Siluet bareng sepeda di area Candi Prambanan
Siluet bareng sepeda di area Candi Prambanan
Usai sudah waktu berburu siluet dan sunrise di area Candi Prambanan. Aku mengemasil tripod dan kamera, memasukkan ke dalam tas. Lalu menuju sepeda dan menaikinya menuju arah tadi saat aku masuk. Di sini (area Ramayana Ballet); banyak orang yang menikmati akhir pekan seaya jogging, sepedaan, atau sekedar duduk bareng keluarga/teman. Aku berhenti dan memarkirkan sepeda di salah satu sudut; bergabung dengan dua orang pesepeda juga yang berasal dari Jangkang & Mutihan, tidak lama kemudian bergabung bapak-bapak warga Bogem ikut gabung, kami ngobrol tentang sepeda, rute, destinasi sepeda, dan lainnya. Tepat pukul 08.00 wib, aku ijin pulang lebih dahulu; target sebelum jam 9 sampai kos pun berjalan dengan baik. “Selamat datang, akhir pekan!”. *Bersepeda mencari sunrise di area Candi Prambanan ini pada hari Sabtu, 23 Januari 2016.
Baca juga tulisan alam lainnya 

Soto Bathok Kebun Ayam Kampung Berbah, Sleman

$
0
0
Perjalanan setengah hari mengelilingi candi-candi yang aku ikuti bareng Jogja Women Cyclist dan tadi terakhir berhenti di Lava Bantal, rombongan sepeda pun terus berjalan untuk makan siang. Sudah dirundingkan kali ini makan Soto; sehingga kami pun menyusuri jalan Berbah yang arahnya ke Ringroad  dan Blok O. Mendekati pertigaan yang belok kanan ke Prambanan, kami berhenti di salah satu warung soto. Warung soto ini sepertinya belum lama dibuka. Terpampang tulisan merah bergaris tepi hitam dengan spanduk yang berwarna kuning “Soto Bathox Kebon Pitik Jowo”. Sepeda mulai menepi dan parkir disekitar area Warung Soto.
Soto Bathok Berbah
Soto Bathok Berbah
“Diparkir dalam juga nggak apa-apa,” Ucap seorang perempuan dari dalam warung.

Kami pun mencari parkiran sepeda yang sekiranya tepat. Banyak sepeda yang disenderkan di salah satu dinding atau tiang warung. Lebih dari 20 sepeda yang diparkir menyebar, menumpuk seperti kelompok kecil.

“Sotonya berapa porsi ya?” Kali ini koordinator rombongan sibuk menghitung pesanan.

Bergegas aku menuju tempat meracik soto, seperti namanya Soto Bathok; soto ini tidak menggunakan mangkuk kaca seperti biasa, namun menggunakan Batok Kelapa sebagai mangkuk. Soto Bathok ini sama seperti yang ada di daerah Sambisari (dekat Candi Sambisari). Dulu aku pernah menulisnya. Berbekal rasa penasaran mengenai penamaan yang mungkin sama karena pemiliknya satu orang.

“Ini sama soto Bathok yang di Sambisari sama, mbak?” Tanyaku pada mbak yang berjilbab dan menyuruh kami parkir sepeda di dalam.

“Beda, mas. Ini baru warungnya, dan saya pemiliknya,” Kata Mbak tersebut.
Pemilik Soto Bathok Berbah sedang meracik soto
Pemilik Soto Bathok Berbah sedang meracik soto
Pemilik Soto Bathok Berbah sedang meracik soto
Mbak Yaya, itulah nama pemilik warung Soto Bathok Berbah. Aku tidak tahu alamat lengkapnya, tapi beberapa kali aku tanya mbak Yaya; dia selalu bilang kalau ini adalah Jalan Berbah km1. Warung soto Bathok ini berdiri pada bulan September 2015. Jadi sekarang berjalan hampir lima bulan. Mbak Yaya dibantu dengan dua perempuan lainnya yang mengiris daging ayam serta meracik soto, serta dua lelaki yang bertugas memawa hidangan ke pemesan.

“Warungnya belum terlalu ramai, mas. Mungkin karena masih baru,” Ujar mbak Yaya.

Aku berkeliling warung melihat sekitar, sebelumnya aku sudah minta ijin pada beliau kalau nantinya aku akan tulis soto ini di blogku dengan harapan tempat ini bisa menjadi lebih ramai. Tepat di belakang sebuah tempat yang tidak terlalu lapang, terdapat enam meja besar dengan kursi memanjang. Setiap meja ini bisa mencapai 6 orang duduk berkelompok. Serta ada beberapa kursi di dekat kasir yang bisa menampung sekitar 5 orang. Tidak hanya itu saja tempatnya, di sisi kiri juga ada tempat yang lumayan lebih luas. Di sana juga ada banyak kursi dan meja berjejer. Lokasinya pun teduh karena konsepnya tidak memotong pepohonan, namun membiarkan pohon tersebut ada di dalam bangunan semi permanen dari bambu. Mungkin karena pepohonan ini suasana tidak terlalu manas walau atapnya adalah asbes.
Suasana di Soto Bathok Berbah
Suasana di Soto Bathok Berbah
Suasana di Soto Bathok Berbah
“Ini mas sotonya,” Kata pelayan yang membawakan tiga porsi soto untuk kelompokku.

“Makasih, mbak. Oya, minta irisan jeruk dan sambalnya, ya?” Pintaku.

Selang berapa menit kembali mbak tersebut menuju mejaku seraya membawa irisan jeruk dan sambal. Seperti inilah sotonya, hampir sama dengan soto ayam lainnya. Hanya yang membedakan mungkin mangkuknya saja. Untuk rasa pun cukup nikmat. Irisan daging ayam lumayan banyak, sehingga terlihat menggumpal di bagian atas. Untuk sesaat, aku diam khusuk menikmati soto tersebut. Tepat di depanku (kasir) terdapat tuksian besar mengenai harga soto dalam satu porsi; satu porsi soto ini dihargai Rp.6000. Untuk minumannya dihargai Rp.2000. Sangat terjangkau bukan?
Ini Soto Bathok Berbah
Ini Soto Bathok Berbah
Ini Soto Bathok Berbah
Selesai makan bersama, rombongan pun foto bareng pemiliknya. Aku kembali bertugas sebagai seski dokumentasi. Di sini pun muncul saran-saran yang diberikan pada pemilik spot (Mbak Yaya). Saran dari para rombongan adalah; selain hanya menyediakan kerupuk, ada paiknya mbak Yaya membuat gorengan (Tempe goreng, Bakwan dll) untuk menambahi menu di sini. Ada juga saran dari salahs atu ibu yang bilang secepatnya tempat sholat dan MCK segera dibuat, agar pengunjung bisa menggunakan jika sedang memerlukan.
Pesepeda pun berfoto bareng pemiliknya
Pesepeda pun berfoto bareng pemiliknya
Lumayan banyak saran dari para rombongan, namun yang pasti mereka pasti akan mampir ke warung ini jika sedang sepedaan ke daerah ini. Cukup strategis sekali tempatnya; jika kita dari Blok O, secara otomati melewati tempat ini, sehingga kita bisa mampir sejenak untuk menikmati Soto Bathok Ayam Kampung-nya mbak Yaya. Oya, aku pu senang saat di sini; karena waktu habis makan ternyata sudah dibayari oleh koordinasi rombongan. Wah, berkah anak kos sepertinya masih berlaku untukku. *Kuliner ke Soto Bathok ini berbarengan dengan Jogja Women Cyclistpada hari Minggu, 17 Januari 2016.
Baca juga kuliner lainnya 

Taman di Alun-alun Simpang Tujuh Kudus

$
0
0
Berhubung sudah niat jalan kaki dari Menara Kudus menuju Alun-alun Kudus, aku menyusuri trotoar sepanjang perjalanan. Ada kalanya aku berhenti untuk memastikan bahwa aku tidak salah arah menuju Alun-alun Kudus. Berkali-kali pula aku menggelengkan kepala saat angkot menawariku untuk naik. Namun angkot-angkot tersebut tetap berjalan pelan seakan-akan terus mendekatiku sampai di perempatan, seluruh angkot membelokkan ke arah kiri.

Panasnya kota Kudus ini sedikit tertutupi berbagai pepohonan yang agak rimbun. Aku berjalan di bawah pepohonan agar tidak terkena langsung sengatan matahari. Bukan karena takut kulitku semakin legam, tapi tidak kuat panasnya saja. Tanpa terasa aku sampai di salah satu sudut Alun-alun Kudus. Siang ini tidak banyak orang berkunjung, tapi di beberapa kursi permanen terdapat sedikit muda-mudi yang melepas lelah seraya menikmati suasana kota Kudus.
Alun-alun Kota Kudus
Alun-alun Kota Kudus
Alun-alun Kota Kudus
Bergegas aku menuju salah satu bangku kosong. Di sana aku melepas lelah, menyeka keringat dengan handuk kecil yang selalu kubawa. Tidak lupa juga aku mengabadikan beberapa jepretan. Setelah itu, aku kembali menyandarkan punggung di bangku dan menikmati rasa capek sehabis jalan kaki. Suasana Alun-alun yang berdekatan dengan mall membuat tempat ini selalu ramai dan bisa jadi dijadikan pusat tongkrongan yang menyenangkan. Pengunjung mall silih berganti masuk, kemudian ada yang keluar seraya membawa belanja. Selain itu, siang ini pun terlihat sedikit anak remaja yang menaiki sepeda bersama teman-temannya. Mungkin karena hari ini libur sehingga mereka menyempatkan akhir pekan dengan teman naik sepeda keliling kota.

Ada yang menarik di Alun-alun ini, aku melihat di sudut lain ada semacam taman. Bergegas aku melangkah menuju taman kecil yang menghiasi Alun-alun Kudus. Benar saja, berbagai bunga tertata rapi dalam pot besar yang dipondasi memanjang. Ruang publik ini dikonsep semacam taman di tengah kota. Ada banyak bunga berbagai jenis ditata rapi, diselingi dengan bangku-bangku, serta tidak lupa beberapa tempat sampah di sampingnya, dan tentunya tiang yang diberi lampu sehingga saat malam akan memberikan cahaya terang di sini.
Taman di Alun-alun kota Kudus
Taman di Alun-alun kota Kudus
Taman di Alun-alun kota Kudus
Bisa jadi karena inilah ada remaja-remaja yang mengisi waktu libur ke Alun-alun. Selama aku duduk santai seraya mengamati taman kecil, ada sekitar delapan remaja putri bergantian mengabadikan diri di sini. Ya, dengan konsep taman dibatasi dengan semen, tentunya para remaja yang ingin berfoto selfietidak merusak bunga. Mereka hanya bisa berdiri seraya berpose dengan latar belakang bunga atau berfoto berdampingan dengan pot bunga. Ide menarik yang bisa ditiru oleh kota-kota lain sehingga tatanan Alun-alun bisa menjadi lebih indah.

Ternyata bukan hanya taman saja yang menjadi tempat favorit para remaja berfoto. Di tepian taman terdapat tulisan “Simpang 7 Kudus”. Di sana juga menjadi salah satu tempat favorit para pecinta foto untuk mengabadikan diri. Dari berbagai literatur yang pernah aku baca; dinamakan Simpang Tujuh karena di Alun-alun ini terdapat tujuh jalan utama. Jalan-jalan tersebut terdapat diberbagai sudut Alun-alun Kota Kudus. Di sini juga terletak Masjid Agung Kudus, Kantor Bupati, dan juga Pusat perbelanjaan. Tepat di samping Alun-alun berdiri megah sebuah Mal. Lagi-lagi aku bergegas antri foto di tulisan ini. Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya akupun bisa mendapatkan kesempatan berfoto di sini. Kuambil Tripod, dan memasang kamera; berlanjut mengatur timer­-nya. Dan pastinya langsung berpose. Sudah sah mengunjungi kota Kudus walau hanya sebentar. Sebenarnya ingin rasanya mengunjungi lokasi-lokasi lainnya di Kudus jika ada kesempatan, termasuk mendaki ke puncak di Gunung Muria. Semoga nanti ada kesempatan ke sana, *amin.
Foto ditulisan Simpang Tujuh Kudus
Foto ditulisan Simpang Tujuh Kudus
Foto ditulisan Simpang Tujuh Kudus
Lucunya, selama proses mengabadikan diri ini, aku menjadi seperti tontonan para pengguna jalan. Di sudut yang sama, ruas jalan ini ada lampu merahnya. Jadi bisa dibayangkan bagaimana orang yang menunggu lampu hijau menyala melihat polahku. Biarlah, toh aku tidak menyalahi aturan, dan kuanggap mereka yang tersenyum oleh tingkahku adalah suatu hiburan bagi mereka sendiri. Puas menikmati suasana Alun-alun Kota Kudus, mengabadikan beberapa sudut di sini. Aku beranjak berjalan menuju dekat Mall. Di sana aku menunggu angkot yang arahnya ke Terminal Kudus. Awalnya berniat jalan kaki, tapi aku merasa ini terlalu jauh. Jadi kuputuskan untuk menaiki angkot saja.

“Pak, angkot ke terminal lewat sini, ya?” Tanyaku pada bapak juru parkir.

“Iya, mas. Nanti naik angkot warna hijau,” Jawab beliau seraya menata motor yang sedang parkir.

Tidak berselang lama, angkot berwarna hijau lewat depanku. Bergegas aku masuk dan duduk di angkot. Untungnya, angkot ini tidak penuh sesak seperti saat aku naik dari Terminal Jetak menuju Menara Kudus. Sekitar 15 menit perjalanan, akhirnya aku sampai di Terminal Kudus. Dari sini aku menaiki bus Kudus – Semarang – Lasem menuju Terminal Terboyo Semarang dikenai biaya 10k, dan selanjutnya naik bus Patas Semarang – Jogja dan turun di terminal Jombor biaya 45k. Total pengeluaran dari Kudus – Jogja adalah 55K (Rp.55.000,-)*Kunjungan ke Kudus ini pada hari Minggu, 10 Januari 2016.
Baca juga perjalanan lainnya 

Bermain Rakit di Mangrove Pantai Baros Bantul

$
0
0
“Besok pagi aku mau ke sini, siapa yang mau ikut?” Sebuah pesan dari Mas Febri di grup WA Gowes Hore.

Terlihat gambar dua orang yang sedang naik rakit menyusuri hutan Mangrove dan mengabadikannya dengan sebuah tongsis dari belakang, foto tersebut memperlihatkan dua orang berdiri dengan pemandangan mangrove. Pemandangan hijau serta air melimpah membuatku tertarik, berhubung sabtu memang tidak ada kegiatan; aku pun menanggapi ajakan mas Febri.

“Aku ikut, om,”Balasku di grup.

Panggilan om sudah melekat bagi kami para pesepeda, walau belum pernah saling ketemu secara langsung; kami pun tak segan memanggil dengan sebutan “om”. Biasanya setelah ketemu, nanti panggilan itu akan berubah menjadi “mas” karena ternyata seumuran. Kami janjian ketemu di dekat perempatan Jalan Parangtritis esoknya.

Sabtu pagi aku bergegas menyusuri jalan Timoho – Kusumanegara – Taman Siswa- Sisingamangaraja- sampai tembus di ringroad, di sana aku menunggu mas Febri. Serambi menunggu, beberapa kali aku berjumpa dengan pesepeda yang melintas di depanku. Salah satu yang lewat adalah Mbah Kung Endy; beliau kusapa. Kulihat arah beliau pun menuju Jalan Parangtritis. Tak lama berselang mas Febri pun datang, dan kami langsung melewati jalan Parangtritis menuju lokasi Mangrove pantai Baros. Pantai ini pernah kukunjungi saat aku nebeng teman yang hobi mancing malam hari, di sana aku dan teman-teman mendirikan tenda.

Rute yang biasanya lewat jalan arah Srandakan, kali ini berbeda. Aku dan mas Febri melewati jalan paris km 22, tepat di perempatan pasar Tegalsari sepeda kami belokkan ke kanan. Jalanan di sana lebih lengang dan menyenangkan. Hamparan sawah terlihat luas, kemudian kami melewati jalanan rumah warga yang setiap sisi rimbun karena banyak pepohonan. Mengikuti arah plang Hutan Mangrove, serta sesekali bertanya pada warga, akhirnya kami sampai diparkiran Hutan Mangrove. Di sini tidak ada penjaga, kami menunggu seorang ibu yang lewat dan bertanya apakah sepeda boleh dibawa, beliau menganggukkan kepala seraya menunjuk jalan setapak yang nantinya kami lalui.

“Terima kasih, bu,” Jawab kami.
Blusukan melewati jalan setapak di area Hutan Mangrove Pantai Baros
Blusukan melewati jalan setapak di area Hutan Mangrove Pantai Baros
Blusukan melewati jalan setapak di area Hutan Mangrove Pantai Baros
Kuikuti jalanan setapak yang setiap sisinya sawah. Jalanan semakin sempit, hamparan rumput semacam lahan tak dirawat pun kami lalui. Sesekali kami berhenti menentukan arah jalan yang mana dipilih. Sampai akhirnya kami sampai di dekat pantai, semacam bendungan yang sering digunakan orang mancing. Kami sepakat mengayuh sepeda dibibir pantai. semakin ke depan, aku tidak asing dengan tempat ini. Di sana ada gubuk kecil.

“Ini tempatku kemping dulu,” Ujarku ke Mas Febri.

Kami berhenti dan sibuk mengabadikan sepeda dengan latar belakang perahu. Tempat ini kalau malam ramai banget orang yang mancing, di tanah lapang belakangku juga sudah dibuatkan semacam gubuk yang dapat digunakan para pemancing untuk memarkirkan kendaraannya. Berhubung aku membawa tripod, aku mengajak mas Febri berfoto bareng. Ini kok kemistrinya dapat ya? Tuh tanpa janjian, kaos yang kami gunakan sama-sama merah. Selain itu celana pun dominan warna hitam. Benar-benar kompak kan? Berkali-kali kami berusaha foto sambil loncat, namun empat kali kami mencoba dan selalu gagal. Tak apalah, minimal sudah foto bareng.
Mengayuh sepeda di bibir pantai
Mengayuh sepeda di bibir pantai
Kompak banget kan? Sama-sama merah
Kompak banget kan? Sama-sama merah
“Lanjut cari Mangrove yang ada rakitnya?” Tanyaku.

“Iya, kita cari,” Jawab mas Febri.

Kami keluar dari rerimbunan pohon pandan yang daunnya penuh duri. Di sini ada semacam jembatan kecil terbuat dari bambu. Sebagian bambunya tidak lagi terikan dengan baik, jadi kami harus ekstra hati-hati menyeberanginya. Untung jembatan darurat ini tidak panjang, hanya sekitar 4 meter saja. Di depan sana terdapat lima ibu yang sedang membersihkan lahannya. Kami menyapa beliau sekaligus bertanya mengenai Mangrove yang ada rakitnya.

“Lewat sini, mas. Ada jalannya kok, ikuti saja. Mau nyusur Mangrove?” Tanya salah satu di antaranya.

“Mau main-main saja, bu. Terima kasih.”
Rutenya mengasyikkan loh
Rutenya mengasyikkan loh
Rutenya mengasyikkan loh
Jalan setapak dengan sisi kanan hamparan sawah terbentang. Sedangkan sisi kiri pepohonan yang membatasi mangrove. Sesekali aku turun dari sepeda karena jalanan terdapat lubang atau terhalang dengan pohon yang menjorok ke arah jalan setapak. Lucunya, ban sepedaku terperosok ke dalam liang yang tertutup rumput, untung tidak dalam. Aku pun memutuskan untuk menuntun saja.

Jalan setapak ini menuju sebuah gubuk kecil yang berdiri di atas aliran air bendungan yang membatasi air laut, semacam muara yang airnya terlihat tenang namun alirannya sangat kuat. Gubuk kecil terbuat dari susunan bambu dengan atap berwarna hitam menjadi tujuanku. Awalnya di sana ada seorang bapak yang duduk seraya memandang ke laut lepas. Kami bergabung dengan beliau, lalu menanyakan perihal menyusuri mangrove dengan rakit. Kulihat di sini ada 3 rakit yang tertambat, dan sebuah papan kecil bertuliskan spidol hitam “Dilarang bemain & berenang menggunakan rakit”. Ini sebuah pesan dari warga setempat agar rakitnya tidak digunakan pengunjung seperti kami tanpa ijin.
Gubuknya ehemmm, asyik buat santai seraya ngobrol
Gubuknya ehemmm, asyik buat santai seraya ngobrol
Sementara di tengah-tengah sana terlihat seorang bapak sedang menarik jaring. Menurut bapak di samping, bapak di atas rakit tersebut sedang mengambil Jaring yang dipasang sambil mengambil perangkap kepiting. Perangkap tersebut seperti bobo; jika bobo di ada yang terbuat dari anyaman bambu; di sini menggunakan rangkaian kawat. Selain itu di sudut lain juga ada bapak-bapak yang sibuk berjalan di lumpur. Beliau membawa kantong kecil yang isinya adalah kerang. Kaki bapak tersebut terbenam lumpur setinggi betis, dengan teliti beliau mengambil kerang yang terendam di lumpur.
Kesibukan warga setempat
Kesibukan warga setempat
Kesibukan warga setempat
Kami bertanya tentang menyusur mangrove. Mataku tertuju pada rerimbunan mangrove yang ada di sisi kiri. Semacam ada jalan yang teraliri air laut dengan aliran air yang lumayan kencang. Sekumpulan Bebek asyik berurutan berenang di dekat mangrove. Suaranya pun ramai, memecah kesunyian pagi ini. Di dekatku berjejeran bibit mangrove yang terikat dengan penyanggah. Sementara itu tanah yang ada di sekitaran mangrove pun terkena abrasi. Nantinya mangrove inilah yang menjaga tepian pantai dari abrasi sekaligus sebagai tempat bekembangbiaknya biota laut seperti ikan, kepiting, maupun udang.

“Wah sekarang lagi surut, mas. Biasanya kalau mau nyusur itu harus saat air pasang. Pasti kandas kalau kalian naik rakit.”

“Jam berapa pak kalau pasang?” Tanya mas Febri yang penasaran karena terpaksa tidak bisa menyusuri mangrove naik rakit.

“Mungkin jam 10an, mas. Setiap harinya itu terlambat 2jam. Itupun bulan-bulan ini. Tidak tentu, mas,” Jawab bapak lagi.
Airnya sedang surut, jadi rakitnya nggak bisa lewat
Airnya sedang surut, jadi rakitnya nggak bisa lewat
Airnya sedang surut, jadi rakitnya nggak bisa lewat
Kami saling memandang, ya kali mau tidak mau kami tidak bisa memaksakan diri untuk menyusuri mangrove dengan rakit. Memang benar kata bapak di sampingku, air yang mengalir ke arah mangrove sangat surut. Bahkan di satu titik terlihat endapan lumpur yang menandakan airnya dangkal.

“Kalau dipaksakan tetap tidak bisa, mas. Itu air hanya sebetis saja. Kalau kalian turun; takutnya lumpur itu terlalu dalam, jadi malah menyusahkan mas.”

“Kalau mau naik rakit saja nggak apa-apa, mas. Tapi mendayungnya melawan aliran air. Jadi mas tidak ke mangrove,” Kata bapak tersebut yang melihat kami penasaran dengan rakit.

“Boleh, pak?”Tanya kami bersamaan.

“Boleh, mas. Tapi jangan ke arah muara sana ya? Cukup melawan aliran ke sini, nanti kan biar mudah menambatkan rakit lagi di tiang ini,” Kata bapak sambil mengijinkan.

Kami pun kembali bersemangat, bergegas menuruni gubuk ke rakit melalu tangga darurat. Kemudian dengan galah bambu panjang aku dan mas Febri mendayung rakit melawan aliran air. Berat banget ternyata, walau sudah sangat lama kurasa, tapi rakitnya hanya bergeser beberapa meter saja. Walau aku terlahir sebagai anak laut, sudah biasa mendayung sampan di pantai; tapi ini beda. Tetap saja harus belajar dari awal. Galah bambu menancap di lumpur, lalu kutekan dari belakang, sementara mas Febri mengatur arah rakit biar tidak mutar balik dengan galah bambu juga. Semacam kerjasama yang baik, rakit pun berjalan sesuai arah, dengan cepat mas Febri memasang kamera di tongsis lalu mengabadikan. Aku sempat mengabadikan dengan mirroles, tapi hasilnya tidak terlihat rakitnya. Kuputuskan fokus mendayung saja, sementara nanti foto bisa aku ambil dari kiriman mas Febri. Matur nuwun mas Febri, fotonya aku comot dua ya untuk bukti kerja keras kita mengendalikan rakit hahahahhah.
Pokoknya sudah sah!! *Dokumentasi & Edit mas Febri
Pokoknya sudah sah!! *Dokumentasi & Edit mas Febri
Pokoknya sudah sah!! *Dokumentasi & Edit mas Febri
Lebih dua puluh menit kami bergulat menahan rakit agar tidak mengikuti aliran menuju laut. Bapak yang tadi mengijinkan pun pamit pulang, ahhhh sayang sekali aku tidak sempat berfoto dengan beliau. Namun ucapan terima kasih untuk beliau yang telah mengijinkan kami memakai rakit, dan tetap mematuhi arahan beliau agar tidak keluar dari aliran air. Puas bermain rakit, kami berdua naik kembali ke atas gubuk, tidak lupa menambatkan rakit dan membersihkan kaki yang penuh lumpur. Kami beristirahat sejenak sebelum kembali menuju Jogja. Oya, untuk menikmati menyusur Mangrove menggunaka rakit hanya bisa dilakukan saat air pasang, jadi jangan kecewa kalau ke sini pas lagi airnya surut ya. Terima kasih untuk mas Febri yang sudah mengajakku bersepeda ke Pantai Baros, dan mengabadikan foto saat sedang di rakit. Jangan kapok ngajak aku lagi ya hehehheehe. Ditunggu ajakan selanjutnya loh, mas. Terima kasih juga untuk teman-teman grup Gowes Hore yang selalu ramai dengan ide-ide rute bersepeda tiap akhir pekan, semoga makin kompak saja. *Bersepeda ke Mangrove Pantai Baros ini pada hari Sabtu, 30 Januari 2016.
Baca juga perjalanan lainnya 

Berbagai Jenis Kendaraan di Museum Angkot Malang

$
0
0
Tepat pukul 12.00 wib, aku dan rombongan check out dari hotel Kusuma Agrowisata. Siang ini kami makan di salah satu warung makan yang tidak jauh dari Museum Angkot. Menikmati santapan Sate Kalkun dan Iga Bakar; tidak lupa kami menunaikan sholat di mushola tempat makan. Agenda selanjutnya adalah mengunjungi Museum Angkot; dan tiket untuk ke sana sudah di tangan. Menurut yang antri, tiket tersebut seharga 80ribu (selain itu juga tiket terusan untuk ke Museum Topeng yang tidak jauh dari sana sekitar 30ribu). Baiklah, lagi pula tidak serupiah pun uang itu keluar dari dompetku.

Satu jam waktu untuk makan siang dan sholat, dua mobil kembali menuju ke Museum Angkot. Gerimis sempat mengguyur perjalanan kami. Akhir desember ini, kota Malang cenderung gerimis. Perjalanan berlanjut, sampai akhirnya kami parkir di atas. Di sana ada jalan menuju museum, kami melewati Pasar Apung. Pasar ini menjajakan banyak cinderamata, antrian mengular tak terelakkan. Aku segera memegang tiket dan menunjukkan pada petugas yang berlalu-lalang.
Museum Angkot dari parkiran
Museum Angkot dari parkiran
“Bagi yang belum bawa tiket, mohon berbaris di samping sini. Utamakan yang sudah membawa tiket untuk masuk,” Ujar petugas.

Sesekali petugas juga menggendong anak kecil yang ingin masuk, peraturan di semua tempat ini adalah; jika anak tingginya lebih dari 75 cm; makan dikenai biaya masuk. Jadi setiap anak kecil pasti diukur tinggi badannya. Tiba aku di depan karcis, seorang petugas merekatkan gelang tiket ke tangan kananku. Aku beriringan ke depan seraya mencari tempat pembayaran kamera. Aku memang membawa kamera Mirroles dan Pocket.

“Untuk kamera 30 ribu, mas. Kami boleh periksa tasnya?” Ujar petugas sekaligus bertanya ke arahku.

Uang sudah kupersiapkan sedari tadi, kusodorkan uang pas 30 ribu ke petugas. “Silakan, mbak. Ini di tas hanya buku, kamera pocket, lensa dan jas hujan,” Jawabku seraya membuka isi tas.

Kamera Mirrolesku pun dibeli label khusus penanda khusus jika sudah membayar tiket kamera. Aku bergegas keluar dari uraian antri yang mengular. Di depanku sebuah mobil klasik menjadi objek paling banyak didokumentasikan para pengunjung. Akhir pekan ini pengunjung membludak, efek liburan natal. Dengan sigap mataku memandang sekelilingku, di atas tergantung ada beberapa pesawat kecil, sementara di lantai satu ini ada banyak jenis mobil klasik yang tak kalah indah. Ahhh, aku hanya mengabadikan beberapa saja; terlalu banyak orang berkunjung sehingga sulit untuk bergiliran foto.
Mobil-mobil di lantai satu Museum Angkot Malang
Mobil-mobil di lantai satu Museum Angkot Malang
Mobil-mobil di lantai satu Museum Angkot Malang
Masih di lantai satu, aku melihat beberapa sepeda terpajang rapi. Pemandangan ini tidak terlalu banyak yang berpose di sepeda. Aku bisa dengan leluasa mengamati sepeda tersebut satu-persatu. Semua jenis koleksi sepedanya benar-benar menggoda. Tidak ketinggalkan kendaraan roda dua. Berjejeran motor klasik berbagai jenis pun ada di sini. Bagi pecinta otomotif, pasti kalian akan menelan ludah melihat koleksi kendaraan di sini. Dijamin ingin rasanya berlama-lama melihat koleksi kendaraannya.
Sebagian koleksi sepeda
Sebagian koleksi sepeda
Sebagian koleksi sepeda motor
Sebagian koleksi sepeda motor
Aku tidak mau terpaku di lantai dasar, segera kuikuti rute jalan menuju lantai dua. Ada dua cara ke lantai dua, bisa melalui tangga dan lift. Kulihat antrian dari lift sangat panjang, jadi aku melenggang mulus dengan maiki anak tangga. Sesampai di sana, alat transportasi semacam Becak banyak bergelantungan. Ada juga beberapa miniatur kapal, kereta api, onderdil mesin, dan lainnya.
Becak bergelantungan di lantai dua
Becak bergelantungan di lantai dua
Tepat di dekat sisi tangga menuju lantai tiga, sebuah mobil yang sedikit rusak salah satu bagiannya menjadi tontonan para pengunjung. mobil berwarna merah ini menjadi objek yang paling banyak dilihat pengunjung. aku menyeruak di antara keramaian melihat mobil tersebut. Ternyata ini adalah mobil yang digunakan pak Dahlan Iskan, kemudian terkena musibah kecelakaan. Semoga mobil listrik Indonesia bisa lebih baik. jadi ingat mobil listrik Selo yang berwarna kuning waktu melihat di UGM.
Mobil Listrik
Urutan lantai pun sampai ke lantai tiga, di sini sudah banyak orang bersantai seraya mengabadikan pemandangan. Kejauhan terlihat museum Topeng, juga pegunungan yang berdiri megah. Tidak lupa di setiap sisi pagar lantai tiga ada banyak bendera Negara-Negara lain yang berjejeran terpasang bersampingan dengan bendera Sang Merah Putih.
Bendera berbagai negara berkibar
Bendera berbagai negara berkibar
Di lantai tiga ini ada beberapa alat transportasi udara. Seperti yang tertancap pada tulisan Mesum Angkot adalah badan dari pesawat Boing. Sementara ini jika ingin berfoto di dalam pesawat, bisa masuk ke pesawat Cesna yang berisi dua orang di atas. Di bawah juga terapat Heli dan pesawat Amfibi. Sebenarnya akan lebih indah lagi kalu misalnya Amfibinya di letakkan di aliran yang ada di Pasar Apung. Jadi pengunjung bisa membedakan mana pesawat Cesna dan mana pesawat Amfibi. Dengar-dengar sih ini koleksi baru museum angkot; bapak-bapak yang bertugas di Pesawat Cessa berbincang denganku sejenak ketika aku bertanya mengenai tahun pembuatan pesawat Cesna yang berwarna orange.
Transportasi udara
Transportasi udara
Transportasi udara
Puas berburu foto dari lantai tiga, aku kembali meniti anak tangga menuju lantai dua. Dari ini masih ada banyak rute selanjutnya yang harus aku kunjungi. Menyusuri jaan lantai dua yang bertanda anak panah; melewati semacam jalan kecil turun yang di salah satu tikungan terdapat lonceng. Entah siapa yang memulai; sebagian besar pengunjung yang lewat mengayunkan tuas tali dan membuat lonceng tersebut berdentang kencang. Mirip Pencinan; dan ternyata benar adanya, lokasi setelah anak tangga ini adalah lokasi Pecinan; di atas banyak lampion-lampionnya. Seraya berdesakan, aku menikmati setiap sudut Pecinan. Tidak sampai berapa lama, sampailah aku pada dekorasi yang menggambarkan Sunda Kelapa masa lampau.
Suasana di Pecinan
Suasana di Pecinan
Pengunjung saling berdesakan selama di area Pecinan dan Sunda Kelapa; kembali aku mengikuti jalur yang ada di dalam. Tidak lagi terbuka seperti tadi, di sini koleksi mobil pun berjejeran. Tidak hanya mobil saja, sepeda, dan juga motor pun banyak berjejeran di sini. Amat sangat bagus-bagus koleksinya. Ruangan yang didesain agak remang-remang ini setiap sudutnya memantulkan cahaya mengkilap dari mobil aataupun kendaraan lain. Kuikuti terus jalan, akhirnya aku sampai di tanah terbuka.
Masih tentang kendaraan
Masih tentang kendaraan
Masih tentang kendaraan
Masih tentang kendaraan
Roma, Paris, Berlin, London, seperti itulah tulisan yang terjang di salah satu rambu-rambu lalu-lintas. Jalanan didesain sedemikian rupa mirip dengan lokasi di luar negeri. Mobil-mobil klasik berjejeran terparkir. Di tepian jalan banyak dekorasi seperti cafe, dan sudut-sudut lain yang menandakan kita sedang berada di eropa. Sebuah zebra cross terbentang rapi di tengan jalan menjadi salah satu tempat yang paling sering dipakai untuk berfoto. Ya, ingat The Belatles yang pernah covernya berjalan di Zebra cross? Di sini banyak orang yang menirunya. Dari kejauhan tampat tulisan jelas Gangster Town.
Sudut jalan semacam di Eropa
Sudut jalan semacam di Eropa
Sudut jalan semacam di Eropa
Sejenak kesenangan berubah, jalan-jalan yang tadinya ramai mendadak sepi. Hujan deras mengguyur di sini. Semua orang pun berteduh, dan berusaha mencari payung yang disediakan petugas. Aku sendiri aman dan menikmati hujan karena sudah membawa jas hujan dari awal. Sedikit bermain hujan-hujan serta membantu membagikan payung, akhirnya perjalananku berlanjut menuju Paris. Sebuah replika menara Effiel di depan; berlanjut ke Inggris yang tentunya tidak lengkap tanpa tulisan “Keep Calm and Carry On – The Beatles”. Berlanjut menyusuri lokasi selanjutnya dengan hujan-hujanan; aku sampai juga di ruangan yang luas. Sebuah bus khas London berwarna merah menjadi daya tarik para pengunjung untuk berfoto di atasnya.
Nuansa Inggris di sini
Nuansa Inggris di sini
Nuansa Inggris di sini
Sementara aku? Seperti yang aku bilang tadi, aku pun mengabadikan diriku tidak banyak. Hanya di beberapa sudut saja selama di Museum Angkot. Namun begitu, aku sangat puas karena sudah mengunjungi museum ini. Pertama, aku mengabadikan diri di salah satu stand koleksi mobil; dan kedua tentunya di jalanan yang berguyur hujan deras. Dikala yang lain sibuk berteduh, aku malah asyik bermain dengan air hujan. Benar-benar seru bisa bermain hujan di sini. Lucunya, ketika aku memakai jas hujan; banyak yang mengira aku adalah salah satu petugas dari museum. Jadi mereka memintaku untuk mencarikan payung. Akupun berjalan mencari payung yang disediakan oleh pihak museum lalu membagikannya pada pengunjung yang berlindung di teras bangunan.
Halo Museum Angkot Malang
Halo Museum Angkot Malang
Halo Museum Angkot Malang
Berakhirlah kunjungan di Museum Angkot Batu, Malang. Sebuah museum yang wajib dikunjungi ketika kita sedang berkunjung ke Malang; khususnya para pecinta otomotif, tempat ini menjadi sangat aku rekomendasikan bagi kalian. Ada banyak koleksi kendaraan yang bisa kalian abadikan. Bagi orang keluarga pun tempat ini menjadi sangat wajib dikunjungi; memanjakan anak-anak dengan sudut-sudut kota yang indah, berbagai mobil, dan tentunya bisa berfoto dengan kendaraan yang disukai. Aku berjalan keluar dari Museum Angkot menuju tempat lain yang masih satu kawasan di sini untuk mengabadikan beberapa sudut indahnya. Kunjungan ke Museum Angkot Batu, Malang pada hari Minggi, 27 Desember 2015.
Baca juga perjalanan lainnya 
Taman di Alun-alun Simpang Tujuh Kudus
Asyiknya Memetik Buah Apel di Malang
Gemerlap Lampu di Batu Night Spectacular Malang
Selamat Pagi Jogja, Selamat Sore Malang
Susur Selokan Mataram – Ancol – Candi Borobudur

Sejuknya Suasana Hutan Pinus Setro Batealit di Jepara

$
0
0
Minggu dinihari hujan deras masih mengguyur Jepara. Sesekali terlihat kilat disertai suara petir kencang. Aku meraih jam tangan di meja, jarum jam menunjukkan pukul 03.30 WIB. Sudah pasti jika hujan masih mengguyur sampai pagi, niatku yang ingin memotret sunrise di Jembatan Cinta gagal. Sampai pagi hujan tak sedikit pun reda, hanya intensitas guyurannya berkurang. Usai sholat subuh, aku masih menunggu cuaca di luar. Serambi menunggu hujan reda, kubuka laptop dan mencari-cari destinasi wisata yang bisa kukunjungi pagi nanti jika sudah reda. Tujuanku tertutu pada Hutan Pinus di Setro Batealit, Jepara. Jarak antara kota ke Batealit sekitar 15km. di sana juga terdapat beberapa air terjun yang mungkin bisa kukunjungi jika waktunya memungkinkan. Tidak lupa kucatat beberapa destinasi air terjun di buku kecil, lalu kumasukkan ke dalam tas.

Kesabaranku menunggu hujan reda berhasil. Pukul 06.45 WIB guyuran air hujan berhenti. Aku bergegas mempersiapkan kamera dan sarung kumasukkan ke dalam tas. Kuambil topi putih yang bertuliskan “Jateng Gayeng” kiriman dari Dinas Pariwisata Jawa Tengah tempo hari. Pagi ini aku mengayuh sepeda menuju Batelaet; rute yang kulalui adalah Tanah Abang (Kauman) – Panggang – Senenan – Tahunan – Pekalongan – Bawu – Batealit. Menyusuri jalanan Batelait sangat menyenangkan. Setelah di jalan raya bersaingan dengan bus dan truk, di sini lebih lengang. Aku tertarik mengabadikan salah satu jalur jalanan di Batealit yang teduh. Kiri kanan jalan dipenuhi pepohonan rindang. Pagi yang tanahnya masih basah berkombinasi dengan pepohonan serta aspal yang basah cukup bagus. Suasananya benar-benar menyejukkan.
Jalannya bikin nyaman dan sejuk
Jalannya bikin nyaman dan sejuk
Jalannya bikin nyaman dan sejuk
Ruas jalan yang halus kulalui sampai habis. Aku kali ini mengayuh sepeda di jalan yang berlubang. Sedari awal, jalan ini sebenarnya nanjak, hanya saja tidak terlalu kelihatan jika menaiki kendaraan bermesin. Kalau menggunakan sepeda cukup terasa. Sesekali aku bertanya pada warga mengenai Hutan Pinus ataupun mengenai air terjun yang baru booming“Dung Paso”.

“Ikuti jalan ini terus mas, nanti ketemu Tines-nya. Kalau air terjung Dung Paso masih jauh, mas. Jaraknya seperti dari sini sampai Tines, mas,” Terang seorang bapak yang kutanyai.

“Jalannya nanjak nggak, pak?” Tanyaku kembali.

“Nanjaknya biasa, mas. Namanya juga daerah gunung.”

Aku paham maksud bapak tersebut. Segera kuucapkan terima kasih lalu bergegas mengayuh sepeda. Tanjakan sedikit lebih terasa, tapi masih bisa aku lewati. Sekitar seratus meter dari tempat kubertanya pada bapak terdapat sebuah plang yang menunjukkan arah Hutan Pinus Setro. Oya, Hutan Pinus Setro lebih dikenal oleh warga setempat dengan sebutan Tines. Jalan lebih parah, selain menanjak, jalannya hanya bebatuan yang tertata tak beraturan. Aku harus menuntun sepeda sampai atas. Di sana terdapat sebuah gubuk kecil. Beratapkan anyaman daun kelapa dengan dinding sebagian terbuka, sebagian lagi ditutupi dengan bekas spanduk. Ternyata ini adalah warung yang sekaligus sebagai tempat parkir bagi orang yang ingin ke Hutan Pinus tapi takut dengan jalan terjal. Aku beristirahat di sana sekalian ngobrol dengan penghuninya. Dua orang bapak dan seorang simbah perempuan yang jualan kopi.
Papan Plang petunjuk arah dan Gubuk kecil
Papan Plang petunjuk arah dan Gubuk kecil
Papan Plang petunjuk arah dan Gubuk kecil
“Pinusnya masih jauh, pak?” Tanyaku berbahasa Jawa Kromo Inggil.

“Itu loh mas, yang daunnya kering,” Jawab salah satu bapak seraya menunjuk pepohonan yang daunnya kering berwarna kuning.

“Kalau air terjun Dung Paso, pak?”

“Oh, masih lumayan jauh, mas. Jalannya searah, tapi segini. Jalannya rusak lagi,” Terang bapak sambil merenggangkan kedua tangannya sebagai perumpamaan jalan yang nantinya aku lewati.

Sangat jelas yang diterangkan bapak di warung, jalannya tentu setapak dan licin. Aku berpamitan pada ketiga orangtua yang di warung, mengayuh sepeda sejenak. Kemudian memutuskan menuntun saja. Sengaja aku tuntun karena tadi sempat terpeleset dan jatuh di jalan tanah yang licin. Beruntunglah sepeda, badanku, maupun kameraku aman. Hanya saja pakaian menjadi belepotan. Di tengah-tengah perjalanan aku berhenti lagi seraya menenggak air mineral yang kubawa. Kumakan juga sepotong roti untuk mengganjal perut. Semilir angin di sini sangat menyejukkan, jauh dari keramaian. Dari arah atas kulihat seorang bapak memanggul rumput untuk ternaknya menyapaku.
"Hutan Pinus Batealitnya tinggal dikit lagi, mas," Ujar seorang bapak memberi semangat
"Hutan Pinus Batealitnya tinggal dikit lagi, mas," Ujar seorang bapak memberi semangat
“Sedikit lagi jalannya landai, mas. Sendirian, mas?”

“Iya pak, terima kasih.

Benar kata bapak yang membawa rumput tadi, sekitar 50 meter dari tempatku istirahat jalan relatif landai. Walau tetap saja aku tidak bisa memilih jalan halus, semuanya bebatuan. Doaku selama perjalanan berharap sepeda tidak rewel dan ban tidak bocor. Maklumlah, sepeda ini tidak pernah dipakai oleh pemiliknya (sepupuku); hanya aku yang menggunakan ketika sedang ke Jepara. Tidak lama kemudian aku sudah sampai di Hutan Pinus Setro Batealit, Jepara.

Sunyi, tenang, nyaman, dan sejuk. Itulah gambaran yang kurasakan pagi ini. bagaimana tidak sejuk, selama semalaman Hutan Lindung ini diguyur hujan, serta sisa-sisa tanah dan dahan basah masih melekat. Apalagi pagi ini mentari dari pagi tidak terlihat dihalangi awan. Perjalanan 2.5 jam naik sepeda disertai istirahat yang tak terhitung berakhir di destinasi yang pertama. Hutan Pinus atau Tines ada dihadapanku. Hutan yang sudah dikenal oleh warga Jepara karena keindahannya pun di depanku. Gubuk kecil dan plang bertuliskan jagalah hutan, jagalah kebersihan terpampang jelas. Tempat ini juga sering digunakan untuk kegiatan berkemah. Beruntunglah kali ini tidak ada yang kemping, sehingga benar-benar sepi.
Sejuk banget kan? Damainya di sini
Sejuk banget kan? Damainya di sini
Sejuk banget kan? Damainya di sini
Ratusan pohon Pinus menjulang tinggi. Setiap batangnya terdapat guratan kulit pohon karena diambil getahnya. Hampir semua batang Pinus di sini ditempeli lumut, sehingga warna batang terlihat hijau. Tentunya batang-batang ini licin jika dipegang. Aku mengabadikan kesejukan di Hutan Pinus. Untuk beberapa saat, aku merasa sangat menikmati ketenangan dan kesejukan selama di sini. Bagaimana tidak, sepagi ini aku di hutan pinus sendirian; ya, sebenarnya ada beberapa warga setempat, tapi beliau berada di sawah yang jaraknya sekitar ratusan meter. Tak ada suara bising mesin. Ingin rasanya berlama-lama di sini.

Tak kusia-siakan momen di Hutan Pinus. Kuambil Tripod dan memasangnya di jalan setapak. Lalu aku mengatur setelan timer di kamera. Kemudian seperti biasa, kuabadikan diri menaiki sepeda tepat di tengah-tengah hutan pinus. Puas aku berlama-lama di sini, mendapatkan hasil dokumentasi yang bagus. Kukemasi kamera dan Tripod, berlanjut memutari jalan setapak yang ada di tengah-tengah hutan Pinus. Walau semalaman terguyur hujan, aku dapat melihat di beberapa jalan setapak terdapat bekas ban motor yang lewat. Bisa jadi motor ini milik warga yang sedang ke ladang.
Ini di Jepara loh. Iya Jepara...
Ini di Jepara loh. Iya Jepara...
Ini di Jepara loh. Iya Jepara...
Oya hampir lupa, aku mengambil topi yang dari tadi kupakai. Seperti rencana awal, aku sengaja membawa topi ini sebagai bukti pada Dinas Pariwisata Jateng kalau hadiah yang diberikan ke aku berguna. Rencananya, setiap aku berkunjung ke destinasi di Jateng, topi ini tetap aku bawa. Tidak berapa lama, terdengar suara motor yang mendekat. Tidak satu, tapi ada beberapa suara motor. Salah satu di antaranya cukup menggeber-geber knalpot. Aku bergegas menuju tepian jalan yang berbatu. Ternyata ada empat motor, dua di antaranya motor matik yang dinaiki oleh tujuh remaja (malah masih anak-anak mungkin kalau dilihat lebih lama). Mereka berhenti di dekat are Hutan Pinus. Kemudian berfoto di sisi lain, tepatnya malah di tebing yang latar belakangnya adalah bukit. Kami bertegur sapa, kemudian kuajak mereka berfoto bareng di tempat yang sama. Ketujuh remaja ini adalah Tabah, Faiz, Hakim, Majib, Robi, Eko, dan Dila. Mereka sebagian besar dari desa Bawu.
#JatengGayeng Ayo ke Jateng
#JatengGayeng Ayo ke Jateng
Bersama teman baru, paling tua sendiri :-D
Bersama teman baru, paling tua sendiri :-D
Cukup lama aku ngobrol santai dengan ketujuh remaja ini, tidak butuh waktu lama, aku berbaur akrab dengan mereka semua. Oya, jika ingin mengunjungi Hutan Pinus Setro, kalian mencari arah Batealit; lalu ikuti jalan terus sampai mentok. Usahakan untuk bertanya pada warga setempat jika merasa kesulitan. Ada lagi yang harus diperhatikan jika mengunjungi Hutan Pinus, gunakan kendaraan yang sehat, serta usahakan jangan ke sana saat hujan. Jalan akan menjadi lebih licin. Kalian juga harus waspada, karena banyak truk yang lewat jalan sini. Dan jika sudah di Hutan Pinus, jangan pernah mengotori dan merusak di sini. Tetap jaga kebersihan Hutan Pinus dari sampah plastik, dan semoga tetap sejuk. Yang pasti akses jalannya. *Bersepeda ke Hutan Pinus Batealit ini pada hari Minggu, 6 Februari 2016.
Baca juga perjalanan lainnya 

Mengayuh Sepeda ke Curug Goa Kebon Kulon Progo

$
0
0
Mereka menjadikan sepeda sebagai pilihan untuk berolahraga dan menyesapi keindahan alam. Sepeda yang mereka pakai kebanyakan adalah sepeda gunung – Kutipan Buku Jelajah Sepeda Kompas; Melihat Indonesia dari Sepeda.”

Sebuah postingan di grup eNTe Jogja tengah pekan kemarin menggerakkan niatku untuk ikut gabung bersepeda akhir pekan. Sebuah komentar kusisipkan di bawah postingan tersebut, respon dari teman-teman eNTe pun tak kalah ramai, penuh kehangatan. Kulingkari hari minggu depan untuk bersepeda menuju destinasi yang ada di Kulon Progo; Curug Goa Kebon yang berlokasi di Krembangan, Panjatan, Kulon Progo.

Menjelang subuh, aku bergegas mengenakan kaos warna putih. Rencananya pagi ini aku akan berkumpul dengan teman-teman eNTe di KM Nol. Mendadak aku kebingungan, ban belakang ternyata kempes. Aku memeriksa ban, alhasil ban tersebut bocor. Kusambar hp dan mengabari salah satu senior eNTe kalau aku batal ikut bersepeda. Mungkin sedang kurang beruntung, selama aku mempunyai sepeda sejak tahun 2012, baru kali ini ban sepedaku bocor. Kulihat jam dinding sudah pukul 06.15 WIB, aku menuntun sepeda menuju jalan Solo seraya berharap ada tambal ban yang sudah buka. Beruntungnya dekat Sungai Gajah Wong (samping Museum Afandi), tambal ban baru buka. Bergegas bapak tersebut mulai membuka ban sepedaku.
Di tambal ban dekat Kali Gajah Wong
Di tambal ban dekat Kali Gajah Wong
Lebih dari 15 menit aku menunggu seraya berbicang santai, sampai akhirnya ban sepedaku sudah ditambal. Kulirik jam tangan menunjukkan pukul 06.45 WIB. Aku sedikit lebih cepat mengayuh pedal sepeda menuju Kulon Progo. Harapanku kali ini adalah bertemu dengan salah satu rombongan eNTe yang menuju tempat sama. Sayangnya sampai masuk Kulon Progo tak kutemui kawan eNTe yang searah. Aku bertemu dengan mas Widi (eNTe) yang balik ke arah Jogja. Bermodalkan arahan di FB, aku mencari jalan menuju Curug Goa Kebon Panjatan. Rutenya pun cukup mudah; dari arah Jogja, aku sampai di pertigaan Pensil Kulon Progo, jalan lurus sampai bertemu dengan pertigaan yang arah kanan ke kota dan arah serong kiri ke Purworejo. Ambil arah Purworejo sekitar 50 meter ada pertigaan belok kiri melintasi pematang sawah dengan jalan yang mulus. Jalanan ini cukup menyenangkan, karena aku tidak berpapasan atau disalip kendaraan roda empat. Sesekali aku bertanya pada warga setempat mengenai lokasi curug tersebut.
Jalan panjang area Panjatan, Kulon Progo
Jalan panjang area Panjatan, Kulon Progo
 “Ikuti jalan besar ini terus mas. Nanti ada tanjakan naik terus. Pokoknya ikuti arah jalan yang paling besar, sampai nanti ada turunan. Lah tepat di penghabisan turunan itu ada belokan ke kiri (jalan besar) nanti ambil yang lurus. Di sana ada plangnya,” Terang bapak-bapak yang ada di pematang sawah.

Jalan relatif bagus, dan benar saja ada tanjakan yang lumayan menjadi bonus kala sudah mendekati area curug. Selepas itu pun turunan, aku menekan rem agar laju sepeda tidak kencang seraya menoleh arah kanan jalan mencari plang. Tidak jauh setelah turunan terdapat plang petunjuk menuju goa. Kuikuti jalan tanjakan kecil tersebut, sampai di depan rumah warga; terdapat portal kecil terbuat dari bambu. Aku minta ijin masuk membawa sepeda, kukayuh sepeda sampai di dekat curug. Di sana sudah ada rombongan dari Kulon Progo yang juga menunggu eNTe, kalau tidak salah dari Panic Kulon Progo.

Sambil menunggu rombongan, aku mengabadikan curug Goa Kebon. Sayangnya curug musiman ini airnya tidak banyak, sehingga lebih terlihat sebagai goa daripada sebuah curug. Ya bisa jadi penamaan Curug Goa Kebon ini karena aliran air tersebut menghempas tepat di bawah goa kecil. Biarpun airnya tidak melimpah, tetap saja aku bisa bermain air di sekitar sini. Di depan goa terdapat kubangan air sedalam pinggang, dan tepat di depan goa curahan air dari atas pun mengguyur walau tidak deras. Kususuri area atas yang berbentuk seperti kolam bertingkat, sedangkan di bawah adalah aliran air sungai. Rata-rata di Kulon Progo curugnya adalah curug musiman. Sehingga jika kita ke sini tidak pada saat musim hujan, maka alirannya tidak akan banyak. Untuk kawasannya pun mulai dikelola oleh warga setempat, terdapat tempat parkir sepeda motor, dan di dekat curug terdapat kursi-kursi yang terbuat dari papan.
Debit air di Curug Goan Kebon sudah sedikit
Debit air di Curug Goan Kebon sudah sedikit
Debit air di Curug Goan Kebon sudah sedikit
Teman-teman eNTe yang kami tunggu mulai berdatangan, hilir mudik para pesepeda yang mencintai tanjakan pun melibas tanjakan sebuah tanjakan yang curam walau tidak terlalu panjang. Jalanan cor semen tersebut menjadi favorit para anggota eNTe. Mereka pun antri melibas tanjakan tersebut. Aku sendiri yang datang lebih awal tidak punya nyali untuk melibasnya, melihat saja lututku sudah bergoyang. Cukuplah sepedaku terparkir di bawah, dan aku mengabadikan tiap aksi mereka. Benar-benar pecinta tanjakan, banyak di antara mereka tidak hanya menanjak satu kali, bahkan ada yang kurang puas. Mereka berkali-kali melibas tanjakan tersebut. Itu kaki mereknya apa ya? Puas melibas tanjakan, para teman-teman eNTe berkumpul di dekat curug. Sebuah banner besar diikat pada dua pohon. Sebuah tulisan “Satu Sepeda Seribu Saudara” terpampang jelas. Keriuhan para pesepeda berlanjut. Kali ini ada semacam kuis yang berhadiah topi eNTe, ahhh sayangnya aku nggak bisa jawah satupun dari pertanyaan yang ditanyakan. Siapa tahu besok-besok dikasih topi gratis *eh.
Teman-teman eNTe emang jos!!
Teman-teman eNTe emang jos!!
Teman-teman eNTe emang jos!!
Aku berbaur bersama seluruh pesepeda, jujur saja ini kali ketiga aku ikut bersepeda dengan teman-teman eNTe. Tapi yang kedua sebelumnya tidak sebanyak ini, hanya dengan beberapa anggota saja; pada saat menuju Puncak Widosaridan Pantai Ngunggah. Kali ini hampir sebagian besar anggota eNTe hadir, menurut om Jonet ada 55 pesepeda yang ikut, ini artinya ada lebih dari 60 sepeda jika digabung dengan aku dan teman dari Panic. Ketika acara bebas, aku penasaran dengan kedalaman goa tersebut. Menurut warga setempat yang aku tanyai, goanya tidak dalam. Bergegas aku masuk ke dalam goa, benar saja goanya tidak dalam. Hanya sekitar 1.5 meter saja, itu pun sebagian tertutup olehStalakmit/Stalaktit.

Di dalam goa ini terdapat endapan bebatuan yang tinggi. Aku tidak tahu apakah ini Stalaktit atau Stalakmit karena antara dasar bawah dan atas sudah menyambung. Goa ini tidak tinggi, jadi aku harus agak membungkuk ketika di dalamnya. Sementara di dinding-dinding atas lainnya terlihat Stalaktit yang meruncing ke bawah, disela-selanya air menetes ke bawah. Pemandangan yang indah walau tidak besar. Endapan Stalaktit dan Stalakmit menyerupai patung. Sebuah mahakarya yang diciptakan oleh alam. Aku berharap di dalam sini tidak akan ada coretan tangan-tangan jahil para pengunjung. Karena di bagian luar, terdapat coretan yang mencolok.
Pemandangan dari dalam goa
Pemandangan dari dalam goa
Pemandangan dari dalam goa
Masih dari dalam goa, aku mengamati sekelilingku. Sesekali harus menghindar dari tetesan air yang tepat mengenai kamera. Di depan goa berjejeran anak-anak yang menikmati libur di curug ini, curahan air yang sedikit ini tidak mengurangi keriangan mereka. Bahkan sebagian malah sengaja menyiramkan air pada temannya yang tidak ingin berbasah-basahan. Lucu juga melihat tingkah mereka.

“Mas aku difoto ya. Sekali saja,” Salah satu  di antara mereka berteriak ke arahku.

“Iya mas! Iya mas!” Sahut yang  lainnya.

Raut wajah mereka yang riang tak mampu membuatku menolak. Kubidik mereka dari dalam goa. Mereka asyik menikmati guyuran air yang tidak seberapa, namun sangat antusias. Celotehan mereka membuatku tersenyum sendiri. Selain mengabadikan mereka, aku juga sudah terlebih dulu mengabadikan diri saat masih sepi. Aku sengaja berdiri di depan goad an mengatur setelan kamera.
Main air walau hanya sedikit curahannya
Main air walau hanya sedikit curahannya
Main air walau hanya sedikit curahannya
Bagaimana dengan teman-teman eNTe? Mereka pun sangat antusias. Kebersamaan inilah yang membuat mereka menjadi lebih kompak dan lebih erat. Sebelum berpisah dan melanjutkan berbagai tujuan perjalanan selanjutnya, kami pun berfoto bareng. Untung aku membawa tripod kecil, sehingga aku bisa mengabadikan bersama. Kami berkumpul di tanah lapang depan goa, lalu membentuk barisan dan mengabadikan diri. Banner di belakang tertutup oleh kami, tapi dua bendera yang dibawa terbentang tanpa ada penghalang.
Foto bareng Komunitas eNTe Jogja
Foto bareng Komunitas eNTe Jogja
Selesai berfoto, aku meminta ijin pulang terlebih dahulu. Rombongan berpisah di sini, ada yang melanjutkan sepeda ke destinasi lainnya, ada yang pulang menyusuri jalan Srandakan, dan aku sendiri menyusuri jalan Wates. Jalan yang tadi aku lewati saat menuju Curug Goa Kebn. Untuk diketahui saja, jika ingin berkunjung ke curug ini, lebih baik kalian memastikan debit airnya. Debit air akan melimpah jika hujan berturut-turut di sini, jika tidak; kalian akan seperti kami. Walau tidak ada debit air yang melimpah, kalian tetap bisa menikmati keindahan Stalaktit dan Stalakmit di dalamnya. Terima kasih untuk teman-teman eNTe yang sudah memperbolehkan aku bergabung, semoga kalau ada acara sepedaan lagi aku disenggol. *Bersepeda menuju Curug Goa Kebon ini pada hari Minggu, 31 Januari 2016 bareng Komunitas eNTe Jogja.
Baca juga perjalanan lainnya 

Bakmie Unik “Mbak Pur” Berbahan Dasar Ketela Pohon di Bantul

$
0
0
Sebuah postingan di sosmed tentang informasi adanya Bakmie berbahan dasar dari Ketela Pohon yang berada di daerah Pundong, Bantul membuatku penasaran. Terang saja, aku menyimpan gambarnya dan mengirimkan di salah satu grup WA.

“Sepertinya ke sini enak,” Tulisku di grup dengan melampirkan gambar Bakmie tersebut.

“Ini dekat rumahku, mas,” Jawab Mbak Dwi yang langsung merespon.

Dalam sekejap, grup WA yang hanya berisi enam personil blogger ramai. Diskusi kecil merencanakan berakhir pekan seraya menikmati Bakmie Pedes yang di Pundong mengerucut. Hasilnya, kami putuskan jum’at sore ke sana. Mau cuaca hujan atau tidak, pokoknya ke sana dan bermalam di rumah mbak Dwi.

Jum’at sore langit lumayan mendung namun belum hujan. Dua motor (aku, Gallant, dan Mbak Aqied) menyusuri jalan Parangtritis. Sayangnya personil kami kurang lengkap karena duo Insan Wisatasedang banyak agenda. Menjelang magrib, kami sampai di Pundong, lalu melaksanakan sholat di SPBU sebelum Rumah Sakit Rahmah Husada (Jalan Parangtritis km 16). Sholat magrib sudah kami tunaikan, kami melanjutkan perjalanan menuju Bakmie unik tersebut, lokasinya searah ke rumah mbak Dwi. Rutenya cukup mudah ditemukan; Jalan Parangtritis km 16 (dari arah kota Jogja) – Rumah Sakit Rahmah Husada – Pertigaan SMA 1 Pundong belok kiri – lurus terus sebelum perempatan pasar Pundong kanan jalan. Sesampainya di sana belum banyak yang memesan makanan di sana, aku bergegas menuju ke dalam untuk memesan menu.

Sebelumnya di depan warung terdapat tulisan “Warung Bakmie Miedes Boomber Mbak Pur”. Di sana juga terdapat nomor telepon serta dapat menerima pesanan. Kembali ke dalam, aku meminta ijin ibu dan bapak di dalam agar diperbolehkan mengabadikan beliau sedang sibuk menyajikan Bakmie untuk pembeli. Di sini ada tiga orang yang melayani pembeli, dua orang ibu dan seorang bapak.
Miedes Boomber Mbak Pur Pundong, Bantul
Miedes Boomber Mbak Pur Pundong, Bantul
Miedes Boomber Mbak Pur Pundong, Bantul
“Sudah berapa lama bu membuka warung Bakmie ini?” Tanyaku seraya terus mengabadikan beliau.

“Waduh, sudah lama, mas. Sekitar tahun 1960an, jaman simbah,” Jawab ibu seraya mengaduk mie yang ada di wajan.

“Dulu ini satu-satunya Bakmie dari ketela, mas. Sekarang sudah ada banyak yang membuatnya,”Tambah beliau.

Dari obrolan singkat dengan beliau, ditambah informasi dari mbak Dwi; aku mulai paham mengenai Bakmie Ketela tersebut. Bakmie ini bahan dasarnya terbuat dari Ketela Pohon (Singkong). Proses pembuatannya memang membutuhkan waktu yang lumayan lama. Dimulai dari seluruh Singkong diselep/parut, diambil airnya, dan diendapkan. Pada waktu tertentu endapan tersebut disaring dan dibuang airnya. Dari saringan itu menghasilkan endapan seperti tepung (kalau tidak salah namanya Tepung Tapioka). Dari bahan itulah nantinya mie yang digunakan.

Masih terus di dapur dan mengabadikan, aku melihat bumbu yang digunakan meracik Bakmie. Ada yang berbeda di sini, setiap mie yang akan disajikan ditimbang terlebih dahulu. Ini adalah tugas bapak untuk menimbang, berbalutkan plastik; tangan beliau mengambil mie dan menimbangkannya sebelum diangkat kembali.
Menimbang Mie-nya agar takaran porsinya sama
Menimbang Mie-nya agar takaran porsinya sama
Menimbang Mie-nya agar takaran porsinya sama
“Kenapa ditimbang, pak?”

“Biar sama beratnya, mas. Jadi setiap porsinya bisa pas,” Jawab bapak tersenyum.

Puas mendapatkan informasi yang lumayan lengkap dari empunya, aku beranjak menuju teras. Di sana tidak hanya rombongan kami yang menunggu. Tanpa terasa sudah mulai banyak yang memesan bakmie. Saranku sih jika ke sini lebih baik jangan terlalu malam, takutnya kehabisan. Selain itu waktu yang digunakan untuk menyajikan setiap pesanan pun relatif agak lama, tapi tak perlu dipermasalahkan karena penyajian dilakukan untuk yang terbaik. Warung bakmie ini tidaklah besar, di dalam enam meja dengan kursi-kursi panjang, sedangkan di luar terdapat dua meja besar dan beberapa kursi panjang tanpa meja yang digukana untuk menunggu pesanan.
Meja-meja untuk pembeli
Meja-meja untuk pembeli
Lebih dari setengah jam kami menunggu bakmie, akhirnya bakmie goreng yang dipesan Gallant terlebih dahulu disajikan. Tak berapa lama kemudian tiga bakmie rebus/kuah pun diantarkan. Sebelum melahapnya, aku mengabadikan terlebih dulu. Satu porsi bakmie ukurannya pas. Walau sudah bilang kalau pedasnya sedang, namun bagi ketiga temanku masih saja merasa kepedasan. Oya, rasanya hampir sama dengan bakmie lainnya, yang membedakan memang mienya lebih legit dan agak kenyal. Ini karena mie-nya terbuat dari Ketela.
Satu Porsi Bakmie Goreng
Satu Porsi Bakmie Goreng
Satu Porsi Bakmie Godog
Satu Porsi Bakmie Godog
Satu porsi bakmie ini hanya seharga Rp. 7000,- saja. Keseluruhan yang kami keluarkan untuk membayar 4 porsi bakmie, empat minum es jeruk, empat kerupuk sebesar Rp. 40.000,- saja. Sangat terjangkau kan? Mungkin jika kalian sedang berlibur ke Jogja dan mengunjungi Pantai Parangtritis, saat kembali ke kota bisa terlebih dulu mengagendakan untuk menyantap makan malam di Bakmi Mbak Pur. *Kuliner Bakmie Pedes Mbak Pur di Pundong, Bantul pada hari Jum’at, 12 Februari 2016.
Baca juga kuliner lainnya 

Derasnya Guyuran Air Terjun Sumenep Dukuh Setro Batealit Jepara

$
0
0
Bisa jadi pertemuanku dengan rombongan anak-anak dari Desa Bawu di dekatHutan Pinus Setroadalah keberuntungan tersendiri untukku. Kami berbincang santai di pinggir jalan, saling berjabat-tangan layaknya bersua dengan teman lama. Ngobrol ringan diselingi canda tawa. Bagiku perbedaan umur kali ini tak berpengaruh. Bahkan kami juga sempat berbagi pin bbm serta nomor hp.

“Mas naik sepeda dari mana?” Tanya salah satu di antara mereka.

“Dari Tanah Abang, dekat pantai Kartini,” Jawabku.

“Jauhnya!!”Mereka terkejut.

Diamati sepedaku, dia melihat ada bekas gumpalan tanah yang masih menempel di ujung stang kanan. Gumpalan kecil tanah tersebut diambilnya.

“Habis jatuh, mas?”

Aku menganggukkan kepala seraya memperlihatkan tanganku yang sedikit lecet. Aku masih ingat bagaimana tadi proses terjungkalnya sepeda karena roda depan masuk ke dalam lubang kecil di tengah jalan. Tanpa membutuhkan waktu lama, sepeda tersebut langsung terjerumus dan membuatku hilang kendali. Aku tak bisa mengendalikan diri lalu ikut terjatuh, beruntungnya hanya lecet sedikit dan sepeda masih bisa digunakan seperti biasa.

“Mas mau lanjut ke mana?”

“Aku mau ke Dung Paso,” Jawabku seraya melihat catatan di buku kecil memastikan nama air terjun yang akan kukunjungi.

“Ayo barengan, mas.”

Empat sepeda motor itu dihidupkan, lantas mereka dengan lihainya melibas jalan terjal. Tak terlihat kaku saat mereka memilih jalan terjal tersebut, seakan-akan mereka sudah terbiasa melewatinya. Aku mengikuti di belakang. Jalan kali ini tidaklah menanjak. Sedikit lebih landai daripada jalan sebelum ke Hutan Pinus. Namun tetap saja jalanan didominasi oleh bebatuan, walau sesekali hanya tanah yang licin karena di tengahnya terdapat kubangan bekas ban motor. Kiri kanan tetaplah hutan, tak ada rumah penduduk. Sampai akhirnya ada dua jalan yang berbeda, satu belok kiri dan satunya lurus. Anak-anak tersebut mengambil jalan yang ke kiri dan sedikit menanjak. Lalu berhenti di pertigaan kecil jalan setapak. Motor dimatikan, mereka setia menungguku atas. Jarak antara Hutan Pinus dengan parkiran ini sekitar 700 meter saja, tapi jalannya tetap sama; Rusak! Terjal!

“Kita ke Air Terjun Sumenep dulu, mas. Ini jalannya. Kalau yang lurus itu ke Dung Paso. Lewat sini juga bisa ke Dung Paso,” Terang Majib. Dia benar-benar paham dengan lokasi di sini.

“Wah!!! Siap! Aku pernah baca mengenai air terjun itu, katanya ada tiga air terjun ya?.” Jawabku sangat antusias.

“Benar, mas. Nanti kita kunjungi semuanya.”

Benar-benar sebuah kejutan untukku. Tak sedikitpun terbesit dipikiran akan mengunjungi Air Terjun Sumenep, namun akhirnya aku akan mengunjunginya karena bertemu dengan anak-anak ini. Sepeda kuparkir berjejer dengan motor tanpa ada kunci. Kami berjalan mengikuti jalan setapak menuju ke Air Terjun Sumenep. Cukup lama juga kami berjalan menyusuri jalanan setapak. Jalanan menurun, kemudian melewati kebun dipenuhi pohon Mahoni. Lalu kembali jalanan menurun serta licin. Dari kejauhan tampaklah Air Terjun Sumenep. Ketiganya terlihat jelas, namun ketika kuabadikan dengan kamera, tidak jelas. Ini adalah salah satu Air Terjun yang ada di Setro, Batealit. Bergegas aku menuruni jalan kecil, menyeberangi sedikit pematang sawah; dan akhirnya sampai di Air Terjun Sumenep yang pertama. Benar-benar indah. Guyuran air yang melimpah tumpah ruah dari atas. Aku sejenak terpaku.
Tiga air terjun dari kejauhan
Air terjun Sumenep Batealit dari kejauhan
Air terjun Sumenep Batealit dari kejauhan
“Wooouuoowww!!!” Teriakku riang.

Bagaimana tidak, aku tidak menyangka kalau air terjunnya seperti ini indahnya. Sepanjang jalan tanpa ada plang petunjuk arah, jika tak ada anak-anak ini; mustahil aku menginjakkan kaki di sini. Aku merasakan ketenangan di tengah kesunyian alam. Hanya ada suara air yang menderu-deru terhempas dibebatuan. Debit air kala musim hujan menjadikan Air Terjun ini melimpah, memang waktuku kali ini amat sangat tepat. Lokasi air terjun yang jauh dari rumah penduduk membuat aku merasa berada di tempat pribadi. Bergegas aku mengambil kamera, mengabadikan air terjun ini dari berbagai sudut. Sementara anak-anak yang bersamaku sudah sibuk berfoto ria menggunakan kamera pocket.

“Ini di Jepara!!” Mungkin seperti itulah aku teriakanku pada diriku sendiri kala mengabaikan air terjunnya. Bayanganku awal, air terjun Sumenep ini tidaklah besar. Ternyata dugaanku salah, air terjunnya setinggi hampir 15 meter dan airnya amat sangat melimpah. Kuambil Tripod, lalu mengabadikan diri di air terjun ini sendiri, kemudian foto bareng rombongan.
Air Terjun Sumenep Batelait Jepara, Ini curug yang paling bawah (pertama)
Air Terjun Sumenep Batelait Jepara, Ini curug yang paling bawah (pertama)
Air Terjun Sumenep Batelait Jepara, Ini curug yang paling bawah (pertama)
“Kita mandinya di air terjun yang atas saja, mas,” Ujar Majid lagi.

“Ke atas?”

“Iya. Ayo lewat sini.”

Majid benar-benar menguasai medan. Aku mengorek informasi darinya, ternyata ini sudah kesekian kalian dia mengunjungi Air Terjun Sumenep. Hampir tiap akhir pekan dia main ke sini. Kami menyusuri jalan yang tertutup Ilalang. Jalan kembali menanjak dan licin. Nasib sial dialami oleh Tabah; berkali-kali anak yang paling gempal ini terpeleset jatuh. Teman-teman yang lainnya pun malah tertawa melihat temannya harus belepotan terjerembab. Berbeda dengan Tabah, nasib sial juga dialami Dila. Si bocah pendiam ini badannya bentol-bentol dan gatal; ternyata dia terkena Ulat. Tapi semuanya baik-baik saja. Memang akses jalan yang harus menerabas ilalang serta belukar kecil membuat apapun bisa terjadi, termasuk rela terkena Ulat gatal.

Jika air terjun yang paling bawah membentuk tiga aliran besar, di sini terdapat dua aliran besar dan setiap aliran terbelah oleh bebatuan membentuk aliran kecil. Jika dilihat dari dekat seperti ada dua aliran besar dan dua aliran kecil. Tidak kalah menakjubkan dengan air terjun yang paling bawah, di sini alirannya juga melimpah. Tepat dibawahnya terdapat kubangan yang penuh dengan air dan tidak dalam. Aku langsung membuka kaos dan menikmati guyuran air terjun di sini. Di sini juga aku mengajari Faiz untuk memotret menggunakan kamera mirrolessku, dari kejauhan aku mengarahkan dia agar memotret aku saat asyik bermain air. Kemudian aku mengabadikan sebagian anak-anak yang mandi di air terjun. Tanpa ada komando, semuanya membuka baju dan mandi. Kami berteriak sekencang-kencangnya sebagai pelampiasan kegirangan.
Air Terjun Sumenep Batealit yang nomor dua/tengah
Air Terjun Sumenep Batealit yang nomor dua/tengah
Air Terjun Sumenep Batealit yang nomor dua/tengah
Air Terjun Sumenep Batealit yang nomor dua/tengah
Puas rasanya kami bermain air, mandi dan memotret di Air Terjun yang kedua; kami kembali melanjutkan perjalanan menuju air terjun yang paling atas. Lagi-lagi Majid memimpin rombongan, jika dari air terjun paling bawah ke nomor dua itu sekitar 10 menitan dan akses jalannya tidak terlalu miring, untuk kali ini menuju air terjun paling atas jalan lebih miring dan licin. Awalnya jalanan cukup santai diterabas anak-anak, tapi menjelang dekat dengan air terjun, jalan mempunyai kemiringan yang lebih. Sehingga harus berpegangan pada batang belukar. Oya, jangan salah pegang, takutnya keliru pegang tumbuhan berduri. Belukar yang melengkung dan batangnya tidak besar di sini ada durinya, jadi harus hati-hati.
Pemandu-pemandu kecil menyusuri jalan ke Air Terjun Sumenep yang paling atas
Pemandu-pemandu kecil menyusuri jalan ke Air Terjun Sumenep yang paling atas
Pemandu-pemandu kecil menyusuri jalan ke Air Terjun Sumenep yang paling atas
Proses untuk sampai air terjun yang paling atas ternyata tidak hanya menanjak, tepat sebelum air terjun ternyata kami harus menuruni jalan yang ketinggiannya sekitar 2.5 meter. Tanah yang licin menjadi pijakan kaki, tangan pun harus mencari pegangan. Seperti halnya di air terjun sebelumnya, di sini air terjunnya juga melimpah dan cukup tinggi. Jika aku lihat dari samping mirip Air Terjun Jurang Nganten di Tanjung,akses jalannya pun mirip. Jika waktu hujan, aku tidak merekomendasikan untuk mengunjungi air terjun yang paling atas.

Di sini, aku kembali memanggil Faiz untuk mengabadikanku; dia menjadi Photograferku selama di sini, sebelumnya aku sudah mengabadikan beberapa kali air terjun ini. di saat kami sedang bersantai, dari atas terdengar suara rombongan yang ke sini. Mereka juga pemuda setempat yang ingin menikmati akhir pekan bermain air. Kami terlibat obrolan panjang di sini, aku juga mengeluarkan bekal yang kubawa. Faiz dan Tabah langsung menikmati guyuran air terjun.

Air Terjun Sumenep Batealit yang paling atas
Air Terjun Sumenep Batealit yang paling atas
Air Terjun Sumenep Batealit yang paling atas
Air Terjun Sumenep Batealit yang paling atas
Dari kiri gambar" Faiz & Tabah di bawah guyuran air terjun Sumenep yang paling atas
“Mas, aku difoto ya!!” Teriaknya.

Aku mengabadikan mereka berdua, tak lama kemudian kupanggil mereka untuk mendekat; kubuka bekal makanan yang ada di dalam tas.

“Sampahnya jangan dibuang ya, masukkan ke dalam tasku,” Pintaku pada anak-anak. Takutnya sampah dari roti yang kubawa mereka buang sembarangan.

Hampir setengah jam aku di sini, kunikmati setiap waktunya. Puas rasanya hati bisa berkunjung ke tiga titik air terjun Sumenep. Aku menunggu aba-aba dari Majid untuk bergegas pulang dan melanjutkan perjalanan menuju Air Terjun Dung Paso. Namun sepertinya Majid masih ingin berlama-lama di sini, tidak hanya Majid; teman-teman lainnya pun sama. Raut wajah keletihan tak terlihat, yang ada hanya raut kegembiraan. Termasuk raut wajahku.
Foto bareng pemandu-pemandu kecil
Foto bareng pemandu-pemandu kecil
#JatengGayeng
#JatengGayeng
Air Terjun Sumenep Setro, Batealit berhasil membuatku takjub. Suasana alam yang masih sepi dan tenang membuat aku benar-benar bisa menikmati bagaimana rasanya mandi air terjun tanpa berdesakan dengan puluhan orang. Semoga tempat ini bisa bersolek lebih baik, akses jalan diperbaiki; dan diberikan plang petunjuk arah. Kegigihan warga setempat tidak akan bisa menjadi lebih baik tanpa ada dukungan dari pemerintah setempat (Kabupaten dan Propinsi). Semoga pihak yang terkait bisa membantu akses jalan sehingga pariwisata di Batealet, Jepara ini bisa berkembang. Potensi alam di Batealit ini bisa menunjang ekonomi warga setempat, semoga Air Terjun Sumenep makin banyak pengunjung dan tetap terjaga kebersihannya. Untuk menuju Air Terjun Sumenep ini kalau dari Kota Jepara: Kota Jepara - Pekalongan - Bawu - Batealit - Hutan Pinus Setro - Ikuti jalan setapak ke atas sampai bertemu pertigaan ambil kiri, kalau lurus ke Dung Paso *Perjalan ke Air Terjun Sumenep Setro Batealit, Jepara ini pada hari Minggu, 07 Februari 2016.
Baca juga perjalanan lainnya 

Spot Riyadi: Tempatnya Para Fotografer di Jogja

$
0
0
Di awal pekan, ada salah satu artikel dari portal online yang membahas tentang Spot Riyadi. Di sana diulas dengan detail mengenai spot tersebut. Semacam viral dikalangan para pesepeda, dalam sehari aku menghitung lebih dari delapan orang teman yang membagikan artikel tersebut di linimasaku. Aku tertarik mengunjunginya, akhirnya kuputuskan akhir pekan ini harus bersepeda ke sana. Berbekal informasi dari banyak tulisan, aku mulai menentukan rute mana yang udah kuakses untuk sampai di sini.

Minggu pagi, walau mendung menggelayuti langit, aku mengayuh sepeda menyusuri jalan Solo. Sesampai di lampu merah pasar Prambanan, sepeda kuarahkan ke kanan. Sejenak aku berhenti tepat diportal Rel Kereta Api, sebuah Kereta Api sedang lewat. Begitu portal terbuka, aku langsung mengayuhkan sepeda kembali mencari rute ke arah Spot Riyadi. Untuk mencari Spot Riyadi, sebuah kafe Abhayagiri menjadi patokanku. Rute yang kuambil pun paling mudah; menyusuri jalan Prambanan – Piyungan, aku belok ke kiri tepat setelah Jembatan (setelah Kantor Desa Bokoharjo). Jalan cor serta melewati aliran air kecil di depan rumah warga. Dari sana kuikuti jalan terus sampai menemukan jalan aspal. Aku mengambil rute yang belok kanan (nanjak) arah ke Abhayagiri – Candi Barong, dll. Di salah satu tanjakan, aku bertemu dengan dua pesepeda yang berhenti di tepian jalan.
Jalan cor setelah jembatan kantor desa Bokoharjo
Jalan cor setelah jembatan kantor desa Bokoharjo
“Kenapa rantainya, mas?” Tanyaku seraya menghampiri beliau.

“Nggak apa-apa, mas. Tadi rantainya lepas saja.”

Kulihat sepedanya sudah tidak masalah, aku ijin terlebih dahulu melanjutkan perjalanan. Sementara kedua pesepeda itu melanjutkan perjalanan menuju Candi Barong. Tanjakan sedikit mengular sampai di Abhayagiri. Aku berhenti lagi seraya melihat pemandangan dari atas. Sangat indah, di sampingku sudah ada beberapa orang yang bersantai seraya menikmati pemandangan ke bawah. Perjalanan kulanjutkan, dari pintu masuk Abhayagiri ada jalan cor yang ke selatan. Alur jalan nanjak tersebut yang kuambil. Walau hanya sedikit tapi lumayan juga tanjakannya. Sampai di atas terdapat perempatan kecil yang di sampingnya ada plang. Lurus ke Candi Barong, belok kanan ke Jalan Prambanan – Piyungan, belok kiri ke dusun Dawangsari/ Dawang Sari.

“Pak, Spot Riyadi arahnya yang mana ya?” Tanyaku menggunakan bahasa Jawa halus.

“Belok kiri ini, mas. Nanti mentok belok kiri lagi, terus pas tikungan itu tempatnya.”

Roda-roda sepeda melaju di atas jalan cor. Benar kata bapak tadi, aku menemukan pertigaan lalu belok kiri. Tak jauh dari sana jalan sedikit menurun, dan sampailah aku di pekarangan rumah Pak Riyadi. Di sana bertuliskan “Spot Riyadi” beralamatkan di Jalan Candi Miri km.3.5 Dawang Sari, Prambanan.
Sampai di pekarangan rumah pak Riyadi (Sopt Riyadi)
Sampai di pekarangan rumah pak Riyadi (Sopt Riyadi)
Pagi ini sudah banyak orang yang duduk menikmati pemandangan di bawah. Aku menuju ke dalam dapur dan memesan minuman.

“Teh hangat satu, mbak.”

Sebuah kursi panjang yang kosong menjadi tujuanku. Tepat di dalam bangunan kecil sudah dipenuhi orang-orang yang membawa peralatan kamera lengkap. Kamera yang ditentengnya pun tak main-main. Semua terlihat berharga mahal. Di antara banyak orang, aku mengenal salah satu orang tersebut. Mereka ternyata rombongan dari Insan Nusantara. Kukeluarkan kamera dan memotret sekali. Setelah itu, aku menikmati hangatnya teh seraya memandang pemandangan yang disuguhkan. Jauh di sana gunung Merapi tampak gagah, di samping kirinya juga tampak Gunung Sumbing. Tak terlihat Gunung Merbabu, dia tertutupi oleh Gunung Merapi.
Tempat duduk seraya menunggu sunrise/sunset di Spot Riyadi
Tempat duduk seraya menunggu sunrise/sunset di Spot Riyadi
Kabut tipis membuat pemandangan menjadi lebih berwarna. Dari perbincangan para fotografer/photographer yang menginap di sini, mereka tidak mendapatkan sunrise karena awan menutupinya. Tapi hasil menunggunya dari semalam tak sia-sia, mereka mendapatkan pelangi di antara gunung Merapi. Aku sempat diperlihatkan sebentar pelangi tersebut dari kamera hp. Benar-benar indah.

“Gunung yang terlihat dari sini apa saja, pak?” Tanyaku ke pak Riyadi saat ingin membayar segelas teh.
Pemandangan dua gunung dari spot Riyadi
Pemandangan dua gunung dari spot Riyadi
“Kalau yang tengah itu Gunung Merapi, mas. Sedangkan yang sisi kiri, itu Gunung Sindoro&Sumbing. Sedangkan yang sisi kanan itu gunung Lawu.”

Aku kembali keluar, kemudian mengabadikan tiga gunung gagah yang menyapaku pagi ini. Terang saja, ketiga gunung itu tampak menjulang tinggi di antara daratan lainnya. Jika saja aku bisa ke sini lebih pagi dan cuaca mendukung, bukan hal yang mustahil aku dapat menyaksikan keindahan sunrise dari spot Riyadi. Di kesempatan lain, aku berkesempatan ngobrol santai dengan dua orang Fotografer dari Kalasan. Beliau menceritakan banyak hal padaku tentang spot Riyadi.
Gunung Merapi dari Spot Riyadi
Gunung Merapi dari Spot Riyadi
Gunung Sumbing dari Spot Riyadi
Gunung Sumbing dari Spot Riyadi
Gunung Lawu dari Spot Riyadi
Gunung Lawu dari Spot Riyadi
“Spot Riyadi ini mulai dikenal tahun 2007an, mas. Salah satu photographer senior yang mengenalkan spot ini. Hanya saja baru tahun ini mulai dikenal khalayak umum. Tapi kalau pesepeda itu sudah banyak loh mas yang ke sini,” Terangnya di tempat yang berbeda.

Aku mengangguk seraya mencatat setiap keterangan darinya. Sayang aku lupa bertanya siapa nama kedua fotografer tersebut; intinya terima kasih informasi yang mas berikan saat kita bareng-bareng memotret Sapi di sendang. Informasi tentang Spot Riyadi ini sangat membantuku. Penasaran dengan keindahan Spot Riyadi? Aku berikan sedikit hasil dokumentasiku mengenai spot ini. Hanya dengan kamera Nikon Mirroless 1 J3, aku mengabadikan dua candi yang tampak cerah dari sini. Yang paling dekat adalah Candi Sojiwan, sedangkan yang jauh adalah Candi Prambanan. Lalu aku mengabadikan lagi khusus Candi Prambanan. Ketika aku posting di Instagram, foto ini mendapatkan liketerbanyak selama aku mempunyai akun Instagram.
Candi Sojiwan dan Candi Prambanan terlihat dengan jelas
Candi Sojiwan dan Candi Prambanan terlihat dengan jelas
Candi Prambanan dari spot Riyadi
Candi Prambanan dari spot Riyadi
Bagaimana tertarik untuk menikmati pagi hari di Spot Riyadi? Di sini kalian akan menemukan banyak orang photographer yang rela menginap semalaman untuk mendapatkan hasil gambar yang indah dan terbaik. Jika kalian ke sini, jangan sungkan bertegur-sapa, berbincang dengan sesama pengunjung, menikmati hangatnya wedang jahe/ teh/ atau menyantap gorengan yang disajikan pak Riyadi. Tetap santun ketika berkunjung, dan tentunya tidak pula mengotori/merusak meja dan kursi yang sudah disediakan. *Kunjungan bersepeda ke Spot Riyadi ini pada hari Minggu, 14 Februari 2016.
Baca juga postingan alam lainnya 

Mampir Sebentar di Pasar Apung (Area Museum Angkot) Malang

$
0
0
Semenjak aku bersantai di lantai tiga Museum Angkot, beberapa kali tidak sengaja mataku memandang ke bawah. Tidak jauh di bawah sana terlihat sebuah gerbang seperti rumah adat Padang berwarna kekuningan bertuliskan Pasar Apung dengan zebra croos warna kuning pula. Aku membidik gambar tersebut di antara orang berlalu-lalang menyeberang jalannya. Jelas, Pasar Apung tersebut masih satu kawasan dengan Museum Angkot; tadi waktu aku masuk ke museum pun melalui pasar apung tersebut.
Gerbang Pasar Apung dari Museum Angkot
Gerbang Pasar Apung dari Museum Angkot
Puas rasanya mengitari Museum Angkot, rintikan hujan kembali berjatuhan. Aku dan rombongan berlarian kecil mencari tempat teduh. Tujuanku selanjutnya adalah Museum Topeng yang ada di dekat Pasar Apung. Berhubung masih gerimis, aku pun sejenak melupakan Museum Topeng. Aku asyik beristirahat di area pasar apung. Di sini ada banyak cinderamata yang dijajakan, sesekali orang yang berlalu-lalang menawar cinderamata, ketika mereka bertransaksi membayar, tidak langsung ke kios tersebut namun ke kasir yang ada di paling ujung. Setiap pembeli membawa semacam kupon yang ditujukan pada kasir, sehingga selesai membayar; baru barang tersebut diserahkan ke pembeli.

“Bayarnya di ujung sana ya, bu,” Kata penjual yang berada di salah satu stand.

Konsep Pasar Apung ini adalah deretan stand cinderamata. Lokasinya dibelah oleh sungai kecil. Aku tidak tahu ini sungai asli atau buatan, namun dengan adanya aliran air ini membelah kawasan Museum Angkot, tentu terlihat lebih bagus. Jangan khawatir, jika kalian ingin menuju stand yang ada diseberang tidak perlu menaiki sampan/perahu. Cukup berjalan meniti jembatan-jembatan kecil yang terbuat dari bambu. Jembatan ini kokoh walah harus dilewati banyak orang. Sebuah tulisan larangan membuang sampah di sungai pun terlihat jelas di berbagai sisi. Beruntungnya, salama aku di sini, tidak terlihat  ada sampah yang mengapung di sungai.
Sungai di area Pasar Apung Malang
Sungai di area Pasar Apung Malang
Sungai di area Pasar Apung Malang
Sementara itu, di setiap sisi sungai terdapat stand berbentuk perahu. Di sana dijajakan banyak makanan yang ingin kita beli. Berbagai makanan dapat kita lahap di sini, penjualnya duduk santai di atas perahu yang tertambat menunggu pembeli. Aku mengabadikan salah satu perahu yang berada tidak jauh dariku. Dalam satu perahu; mereka menjajakan tidak satu jenis makanan saja. Seperti perahu ini, mereka menjajakan; Tahu petis, Tetel Bakar, dan  Dorayaki dengan tarif sama, 8ribu/porsi.

“Ayo mas/mbak dibeli, murah kok,” Suara pedagang menyapa setiap pengunjung yang berlalu-lalang.

Selain itu, di perahu lain yang tidak ada penutup untuk berteduh, terdapat sayuran yang dijual di atas perahu. Sayuran-sayuran tersebut merupakan hasil bumi seperti Pepaya dan lainnya. Yang unik adalah, sampan-sampan tersebut tidak ada penghuninya. Hanya ada barang dagangannya saja, aku pun mencoba mencari dimana penjualnya. Namun, sampai aku beranjak dari tempat berteduh, tidak ketemukan dimana penjualnya. Bisa jadi yang jualan memantau dari kejauhan, atau sedang berteduh di tengah gerimis halus.
Para penjual jajana di Pasar Apung
Para penjual jajanan di Pasar Apung
Para penjual jajanan di Pasar Apung
Para penjual jajanan di Pasar Apung
Hujan sedikit reda, pengunjung pun kembali melanjutkan atifitasnya. Mereka berlalu-lalang ada yang masuk ke Museum Angkot, ada juga yang berjalan kelaur menuju parkiran. Aku sendiri berjalan santai melewati Pasar Apung menuju Museum Topeng. Kuperiksa tiket terusan yang ada di dalam saku, takut tiket masuk museum topeng terlupakan. Gerimis kembali sedikit kencang, aku bergegas masuk ke Museum Topeng untuk melihat koleksi di dalamnya. *Singgah di Pasar Apung Malang pada hari Minggu, 27 Desember 2015.
Baca juga perjalanan lainnya 

Air Terjun Dung Paso Batealit Jepara yang Tersembunyi di antara Tebing

$
0
0
Perjalanan menuju parkiran sedikit tersendat, rombonganku harus berbagi jalan dengan para pengunjung yang mulai berdatangan menuju Air TerjunSumenep. Sebagian banyak di antaranya adalah remaja perempuan. Aku lupa berapa kali melihat pengunjung terpeleset dan terjerembab di jalan. Mereka menggunakan sepatu layaknya berkunjung ke mal. Tidak jauh dari parkiran, aku dan rombongan anak kecil ini membersihkan badan di pancuran.

“Sudah ada yang jaga parkir!?” Kata Majid keheranan.

“Empat motor dan satu sepeda, berapa pak?” Tanyaku.

“20 Ribu, mas. Sepeda tidak usah bayar parkir.”

Kusodorkan uang 50ribuan, dan mengambil kembalian. Anak-anak desa setempat tak mengira akan dikenai parkir pun bernapas lega.

“Sepedanya tinggal sini saja, mas. Kita naik motor bareng ke Dung Paso,” Usul Faiz.

“Oke, tapi aku nggak berani di depan. Jalannya menakutkan,” Ujarku angkat tangan.

Kuambil sepeda dan kembali menitipkan pada bapak yang jaga parkir. Kami berdelapan melanjutkan perjalanan menuju Air Terjun Dung Paso yang tidak jauh dari Air TejunSumenep, Air Terjun Dung Paso ini berada di dukuh Kedawung, Somosari, Batealit. Jarak dari tempat parkir menuju Air Terjun Dung Paso sekitar 1km, tapi jangan salah; walau hanya segitu namun harus ditempuh rentang waktu lebih lama. Jalan setapak, rusak, licin, berlubang; dan jika ada dua motor berpapasan harus berhenti salah satu menjadi kendala sendiri. Untuk sampai di tempat parkir yang telah disediakan, banyak kendaraan yang harus terperosok di lubang, atau malah jatuh berkali-kali seperti motor yang dikendarai Tabah & Faiz.
Ini jalan utama ke Air Terjun Dung Paso Batealit, Jepara
Ini jalan utama ke Air Terjun Dung Paso Batealit, Jepara
Ini jalan utama ke Air Terjun Dung Paso Batealit, Jepara
Selama perjalanan aku berhenti, mengangkat sepeda yang rodanya terperosok dan tidak bisa jalan, bahkan dua kali mengangkat berbarengan motor Tabah yang terjatuh. Tak terelakkan tanah merah berlumpur mengotori kaosku. Sepanjang perjalanan banyak wisatawan yang sengaja berjalan kaki menghindari insiden seperti yang terjadi pada kami. Bahkan di sini juga aku harus merelakan sandalku putus. Sehingga sampai balik ke Jogja aku harus memakai sandal yang rusak.

Air Terjun Dung Paso Somosari, Batealit dalam satu bulan terakhir ini sedang booming. Ini sebabnya aku menyempatkan berkunjung ketika sedang di Jepara. Sesampai diparkiran; di sana sudah banyak motor. Sebuah jembatan kecil terbuat dari bambu menjadi jalan penyeberangan. Aku melihat di aliran sungai sudah banyak orang yang mandi/bermain air. Sementara di tepian juga beberapa pengunjung yang duduk santai seraya menikmati suasana alam yang masih asri. Air masih sangat bening, sehingga tak sungkan orang merendamkan badannya untuk mandi di sini. Teman serombonganku tak mau kalah; sebagian masih berdebat akan mandi di bawah atau di sini, sebagian lagi sudah membuka baju dan mandi seperti yang dilakukan oleh Faiz.
Aliran sungai yang digunakan untuk bermain air
Aliran sungai yang digunakan untuk bermain air
Aliran sungai yang digunakan untuk bermain air
“Jangan ke tengah, Iz. Dalam itu,” Teriakku dari atas bebatuan.

“Tenang, mas. Faiz bisa renang kok,” Sahut lainnya.
Faiz berennag di aliran air yang agak bawah
Faiz berennag di aliran air yang agak bawah
Debat antar serombongan kecilku berakhir, kami memutuskan untuk mandi di air terjun yang ada di bawah. Menyusuri jalan darurat yang hanya setapak, kami sampai di ujung tebing. Dari atas terdengar teriakan orang-orang di bawah sedang main air. Kulongokkan kepala seraya memegangi salah satu batang kayu, sebuah air terjun yang diapit dinding tebing terlihat. Tak kulihat orang di bawahnya, tapi suaranya sangat riuh. Sementara banyak orang di atas tebing yang memandang ke bawah.
Air Terjun Dung Paso yang diapit dua tebing
Air Terjun Dung Paso yang diapit dua tebing
Hati-hati aku menuruni tebing, ada batang kayu yang sudah mati dipakai sebagai titian turun, selain itu kaki juga harus bisa memilih mana batu yang tidak licin. Sedangkan di bawah aliran air sangat deras. Sampai di bawah, aku berada di antara dua tebing panjang yang lebarnya hanya sekitar 3 meter. Air di sini setinggi paha, aku harus menginjak bebatuan agar tidak terjerembab ke dalam air yang lebih dalam karena membawa kamera. Dari sinilah asal muasal teriakan orang yang terdengar di atas, para pengunjung berkumpul menjadi satu di tebing-tebing. Secara bergantian mereka loncat ke tengah. Menurut warga setempat, kedalaman yang di tengah lebih dari lima meter. Sedangkan di ujung sana air terjun terlihat deras, di atasnya adalah tempat pemandian yang tadi aku abadikan. Benar-benar indah pemandangannya di sini.

“Kalau di sini hanya sedalam pinggang saja, mas. Kameranya dibungkus plastik saja biar tidak basah,” Seorang pemuda setempat memberi saran padaku.

Aku mengiyakan, tas dan kaos kutaruh di tepian sungai bersatu dengan tas pengunjung lain. Dari teman-teman baru inilah, aku mendapatkan informasi mengenai perihal ditemukannya Air Terjun Dung Paso. Aku melangkah mendekati pengunjung yang bergantian meloncat seraya memegang akar yang menjulang dari pohon. Sekilas mereka melakukan seperti aksi yang sering dilakukan oleh Tarzan. Dari tebing bebatuan, dipegangnya tuas akar alami tersebut, lalu mereka meloncat ke tengah dan melepaskan pegangan. Air Terjun Dung Paso memang menyuguhkan pemandangan yang indah. Tebing-tebing bebatuan tampak mengkilap basah. Sementara itu para pengunjung masih antusias antri agar bisa bergelantungan serta menghempaskan tubuhnya ketika sudah di tengah.
Bergelantungan tuas akar pohon/dahan
Bergelantungan tuas akar pohon/dahan
Bergelantungan tuas akar pohon/dahan
Tidak hanya itu saja, ada pengunjung yang lebih ekstrim lagi. Dari atas, tempat kami lewat untuk sampai di bawah sini terdengar teriakan agar pengunjung yang di bawah tiak bergelantungan dulu. Dalam sekejab kulihat orang terjun bebas dari ketinggian antara 7 meter. Byurrrr!!! Tubuhnya menghujam ke bawah mirip anak panah disertai teriakan panjang. Untuk sejenak aku terhenyak tanpa bisa mengabadikan momen yang cepat tersebut. Belum selesai kagetku, kembali dari atas ada lagi yang terjun bebas tanpa menggunakan pengamanan life jacket.
Ada yang berani? Hemm mendingan jangan deh :-D
Ada yang berani? Hemm mendingan jangan deh :-D
“Gilak!! Nekad banget, kalau aku sudah pasti tidak berani,” Ujarku pada pengunjung sebaya denganku di samping.

“Main gelantungan itu sudah mainstream, mas. Di sini orang-orang sudah terbiasa terjun seperti tadi.” Jawabnya tertawa.

Bagi pengunjung yang sudah terbiasa terjun bebas ke bawah itu merupakan sensasi yang laur biasa. Tapi jangan sekali-kali kalian coba bagi yang belum lihai berenang, atau sudah lihai berennag tapi kurang mantap. Lebih baik urungkan niat, dan main berenang seperti yang aku lakukan saja. Sesaat kemudian aku menaiki tebing dan mengabadikan mereka yang sedang antri main gelantungan. Aku menghampiri Didin, salah satu rombonganku yang tadi ketemu di Hutan Pinus. Kukalungkan kamera yang masih terbungkus plastik padanya.

“Tolong aku nanti dipoto ya, pas lagi main air,” Ujarku seraya menunjukkan tombol yang nantinya ditekan.

“Siap, mas.”
Akhirnya main air lagi, basah lagi :-D
Akhirnya main air lagi, basah lagi :-D
Aku menuju aliran air yang dalamnya setinggi dada. Kemudian berenang ke dekat Didin yang siap mengabadikanku. Didin tak merasakan kesulitan untuk mengabadikanku. Di sini, aku bermain air sepuasnya. Kembali berenang, tapi tidak berniat untuk ikut bergelantungan seperti yang kebanyakan pengunjung lakukan. Nyaliku terlalu lemah dalam hal-hal seperti itu. Walau aku bisa berenang, dan anak pantai; namun aku tak terbiasa berenang di air tawar. Kalaupun berenang di air tawar itu pasti di kolam renang.

Lama aku menikmati suasana di Air Terjun Dung Paso. Berbincang dengan pengunjung lain yang sebagian besar juga baru kali pertama mengunjungi destinasi wisata ini, lalu bergantian memakai pelampung (ban dalam mobil) yang disewakan. Tanpa lupa, aku pun mengabadikan diri bareng teman-teman kecilku ataupun dengan teman yang tadi sempat ngobrol panjang lebar denganku di sini.
Bersama rombongan kecil lagi di aliran sungai
Bersama rombongan kecil lagi di aliran sungai
Ini teman-teman baru yang ngobrol di Air Terjun Dung Paso
Ini teman-teman baru yang ngobrol di Air Terjun Dung Paso
Disadari atau tidak, Jepara mempunyai destinasi wisata yang beragam. Dari pantai, goa, bahkan air terjun. Dung Paso adalah air terjun yang baru dikenal, akses jalan untuk ke sini pun sangat sulit. Bukan masalah jarak yang jauh; tapi jalan yang terjal serta setapak. Jika musim hujan, jalan ini bakal lebih licin dan sangat susah dilewati kendaraan bermotor. Semoga warga setempat dapat membangun jalan dengan bantuan pihak yang terkait. Jika akses jalan bisa lebih baik, bukan mustahil Air Terjun Dung Paso, Air TerjunSumenep, dan air terjun lainnya yanga da di Batealit bisa menjadi objek wisata alam seperti halnya Air Terjun Songgolangit yang sudah lebih awal dikenal. Harapannya juga tempat ini tetap bersih dan tidak berserakan sampah. Oya, akan lebih menarik jika di Air Terjun Dung Paso dibuat untuk berkanyoning. Karena tebing-tebinh bebatuan yang menghimpit air terjunnya cukup tinggi dan layak dipergunakan untuk berkanyoning.

Dengan berat hati, aku meninggalkan Air Terjun Dung Paso. Kami bergegas meninggalkan tempat ini karena melihat langit mulai mendung. Takutnya, kalau terkena hujan, motor yang dikendarai oleh anak-anak rombonganku kesulitan untuk dinaiki. Terima kasih untuk anak-anak (Tabah, Majid, Robi, Dila, Eko, Hakim, dan Faiz) yang sudah menjadi pemanduku dadakan selama di Batealit. Mengantarkanku sampai bisa melihat keindahan Air TerjunSumenep dan Air Terjun Dung Paso. Terima kasih untuk teman-teman lainnya yang selama di Dung Paso berbagi cerita denganku; dan tentunya terima kasih pada sepupuku yang telah menyediakan sepeda tiap aku ke Jepara. Semoga wisata di Jawa Tengah makin Gayengseperti slogan Jawa Tengah “Jateng Gayeng”. *Kunjungan ke Air Terjun Dung Paso, Somosari, Batealit, Jepara ini pada hari Minggu, 07 Februari 2016.

Potret Pagi di Jembatan Soka Pundong Bantul

$
0
0
Menjelang isya, kami serombongan sudah tiba di rumah mbak Dwi. Sambutan keluarga beliau membuat kami (Aku, Gallant, dan Mbak Aqied) sangat terkesan. Terlebih di sana disajikan makanan kesukaanku; Pisang Rebus dan Kacang Rebus, beserta buah-buahan. Sebelum berangkat ke Pundong, aku sudah mempunyai lokasi yang nantinya akan kami kunjungi selama di Pundong. Salah satu lokasi tentunya Jembatan Kecil Soka; atau warga setempat sering menyebutnya dengan nama “Jembatan Suko”.

“Memangnya kenapa mas Sitam pengen  motret Jembatan Suko?” Tanya Mbak Dwi penasaran.

“Pengen saja, mbak. Dulu tahun 2008 aku pernah lewat sana. Lumayan takut juga menyeberang pakai motor,” Jawabku.

Semacam mengulik memori panjang mengenai desa Srihardono. Waktu itu ada dua perjuangan yang mempunyai hasil berbeda tahun 2008. Ketika aku menginjakkan kaki di Jogja (kuliah tahun 2007); tahun 2008 aku pernah mampir di Srihardono karena kakak iparku (sekarang) KKN di sini. Selain itu teman kosku yang senior pun juga pacarnya KKN di sini juga. Kala itu, aku masih melihat banyak sisa-sisa bangunan yang roboh terkena dampak gempa 2006 yang pusatnya di sini juga. Bahkan rumah yang dijadikan basecamp KKN juga masih dalam keadaan sebagain rusak.

“Semoga tengah malam nanti hujan, biar paginya agak berkabut dan segar,” Harap Gallant seraya merebahkan badan.

Doa Gallant dikabulkan, tepat pukul 02.00 WIB, hujan mengguyur Pundong. Tapi menjelang adzan subuh sudah reda. Aku dan Gallant mengikuti simbah perempuan yang berjalan menuju Mushola tidak jauh dari rumah Mbak Dwi. Pagi menyapa dengan segala kesejukannya, suara burung bersahutan dengan kokokan ayam di kandang. Langit sedikit berbalut awan tipis, kami melajukan kedua motor menuju Jembatan Soka. Jembatan tersebut cukup bagus diabadikan kala pagi hari.

"Ini yang mau aku tunjukkan pada kalian," Ujar mbak Dwi sebelum kami berangkat.

Depan rumah mbak Dwi ada banyak tanaman. Tak hanya itu, di setiap jarak berdekatan ada dua kolam kecil. Dia memelihara ikan dan Kura-kura. Namun yang ingin ditunjukkan pada kami semalam adalah rambatan pohon Anggur di depan rumah. Pohon tersebut sudah berbuah, ada banyak Anggur yang bergelantungan, namun belum bisa dipanen karena masih muda.

Tatkala sampai di Jembatan Soka, kami sibuk mengabadikan jembatan dari berbagai sudut. Aku sesekali mengganti lensa kamera. Sementara teman yang lainnya sudah membidik jembatan dengan berbagai gaya. Jembatan Soka ini awalnya dijadikan salah satu jalan penyeberangan alternatif warga setempat sebelum di sampingnya dibangun jembatan permanen baru yang bisa dilewati segala kendaraan. Jembatan ini menghubungkan antara desa yang dipisahkan oleh sungai Opak; Srihardono dengan Seloharjo. Jembatan ini sudah jarang dilewati oleh warga setempat, karena aksesnya lebih mudah menyeberangi jalan melalui jembatan yang lebih besar. Setahuku, Jembatan ini beralih fungsi bagi para pecinta fotografer untuk mengabadikan setiap sudutnya, tak ketinggalan kadang beberapa orang sengaja ke sini untuk berfoto.
Jembatan Soka Pundong, Bantul
Jembatan Soka Pundong, Bantul
Jembatan Soka Pundong, Bantul
Suara aliran sungai terdengar deras. Hanya saja, karena sering hujan menjadikan warna aliran air sangat coklat. Aku beranjak menuju jembatan besar dan mengabadikan Jembatan Soka ini dari arah yang berbeda. Warna cat besi jembatan yang kuningnya mulai pudar dan kusam berkombinasi dengan aliran sungai Opak yang keruh, kontras dengan pemandangan hijau pepohonan sepanjang bukit di belakangnya. Dari kejauhan sini juga tampak jelas dua penyanggah jembatan yang di bawahnya menjadi tempat singgahan sampah yang tertahan dan tak bisa hanyut. Kabut tipis masih menggelayut manja di antara pepohonan. Tampak sejuk, apalagi semalam diguyur hujan. Dari kejauhan juga terlihat burung Bangau berwarna putih berterbangan, ada kalanya dia hinggap di dahan tertinggi salah satu pohon.

"Sebenarnya aku pengen sekali mengabadikan burung Bangau tersebut." Kembali mbak Dwi memecah keheningan.

“Kita ke ujung saja, yuk?” Ajak mbak Aqied.

“Oke!!”
Jembatan Soka dari sudut lain
Jembatan Soka dari sudut lain
Jembatan Soka dari sudut lain
Kaki-kaki kami menapaki setiap jengkal papan jembatan. Berjalan beriringan dengan jarak sekitar 2 meter. Jembatan terasa bergoyang-goyang, tanpa berhenti di tengah; kami terus berjalan sampai ujung seberang. Tak ada orang lain yang di jembatan ini selain kami, sehingga dengan bebas kami berfoto di sini tanpa mengganggu orang lain ingin menyeberang.

“Huahuahua jembatannya bergoyang,” Aku sedikit berteriak.

“Hati-hati, mas. Di dekat seberang sana banyak papannya rusak. Jadi berlubang,” Teriak mbak Dwi mengingatkan.

Ya, mbak Dwi kan tuan rumah. Jadi beliau paham di mana titik-titik jembatan ini yang rusak. Semakin dekat dengan ujung seberang memang ada papan yang sudah hilang. Lubang menganga di jembatan. Kedua mata diharuskan konsentrasi melihat ke bawah. Walau di bawahnya lagi masih ada penyanggah besi, tapi tetap saja wajib waspada. Takutnya tetap bisa terperosok jika tidak berhati-hati. Berhasil sampai ujung, aku menyiapkan Tripod dan berfoto bareng di sini.
Pagi Pundong :-D
Pagi Pundong :-D
Formasi lengkap dari kiri: Mbak Dwi (berdiri) Aku (duduk), Mbak Aqied (berdiri) Gallant (duduk)
Formasi lengkap dari kiri: Mbak Dwi (berdiri) Aku (duduk), Mbak Aqied (berdiri) Gallant (duduk)
Sebenarnya, tidak jauh dari jembatan Soka ini juga ada satu jembatan kecil lagi. Jembatan ini ada di Nangsri, malahan jembatannya masih digunakan oleh warga setempat untuk menyeberang. Kami sebenarnya sempat menyeberangi juga, tapi karena waktu itu kamera sudah di dalam tas, serta banyak yang menyeberang membuatku mengurungkan niat untuk berhenti dan mengabadikan. Takutnya gara-gara kami berhenti di tepian jembatan membuat para penyeberang lain sedikit terganggu.

Kebiasaan kami setiap di suatu tempat seperti ini selain berfoto adalah iseng membaca coretan para pengunjung yang tak mengenal etika. Ada banyak coretan dari spidol di setiap cor penyanggah atau di besi. Bahkan beberapa menulis di papan jembatan. Tulisan seperti; Jauh di mata dekat di hati, Kutunggu balasan pesanmu, atau tulisan norak seperti aku sayang kamu (menyebutkan nama) tersebar di mana-mana. Serambi membaca, kami bersantai di ujung jembatan. Celetukan dan derai tawa panjang kadang keluar dari kami, entahlah antara miris karena banyak coretan tak bertanggungjawab di tambah kalimat yang menggelitik membuat kami tertawa. Apa daya, tak semua orang dasar jika mencoret-coret seperti ini bukan sesuatu hal yang baik. Tapi kenyataannya hampir di setiap tempat tetap saja tidak luput dari coretan orang tak bertanggungjawab. Mentari mulai terlihat di ufuk timur bersamaan dengan kami yang meninggalkan Jembatan Soka Pundong. *Memotret Jembatan Soka Pundong pada hari Sabtu, 13 Februari 2016.
Baca juga cerita lainnya 

Kuliner ala Crispy di HotHotCrispy Jogja

$
0
0
Diskusi kecil beberapa waktu lalu di WA yang merencanakan untuk kumpul bareng sambil makan sore mengerucut. Kami sepakat menikmati makan sore ala Crispy. Sore ini aku menuju ke lokasi kumpul di HotHotCrispy yang berlokasi di Jalan Kasuari No.1 Demangan Baru, Yogyakarta. Lokasi tersebut hanya beberapa ratus meter saja dari kosku. Di tengah aspal masih basah, aku mengayuh pedal sepeda menuju lokasi.

Tak butuh waktu lama, aku sampai di HotHotCrispy. Memasuki HotHotCrispy  lewat pintu samping, aku disambut oleh para pelayan HotHotCrispy. Di sana sudah ada Hanif (Insanwisata), kami berbincang santai sambil menikmati suguhan yang tersedia. Setengah jam kemudian anggota grup kami sudah lengkap. Kami langsung memilah-milah menu yang ingin kami nikmati. Semua menu ala Crispy, namun tetap ada menu-menu lain seperti Nasi Goreng, dll. Tujuan kami ke sini adalah menikmati menu Crispy-nya.
Menu Crispy yang disajikan
Menu Crispy yang disajikan
Selamat datang di HotHotCrispy Jogja
Selamat datang di HotHotCrispy Jogja
Sebenarnya ini bukan kali pertamanya aku makan di HotHotCrispy. Tepatnya tahun 2015, lebih tiga kali aku ke sini. Bersama teman main, juga bareng teman-teman kantor. Bahkan di HotHotCrispy aku mempunyai tempat favorit untuk duduk. Aku lebih suka duduk dipojokan yang bersofa merah. Waktu aku ke sini, tempat tersebut sudah ada yang menempati. Jadi aku dan teman-teman memilih sofa lainnya. Kusapu kembali seluruh ruangan yang lumayan luas. Kursi dan meja dominan berwarna merah membuat ruangan ini terasa cerah, dan di beberapa sudut juga dihiasi dengan lampion-lampion layaknya tempat yang ikut meriah menyambut Imlek tahun ini. Ya, aku ke sini memang pertengahan Februari; masih sangat kental dengan suasana Imlek.
HotHotCrispy Jogja
HotHotCrispy Jogja
HotHotCrispy Jogja
“Minum apa kalian?” Celetukku ke teman-teman.

“Favoritnya apa?” Tanya yang lainnya.

“Di sini favorit minuman Es Teler,” Jawab salah satu pelayan.

Obrolan kecil kembali berdiskusi mengenai minuman. Dua teman mencoba Es Teler, sementara aku minum lainnya. Oya, seperti yang tadi aku bilang; kami di sini ingin menikmati setiap menu Cripsy-nya. Tak hanya itu, karena di sini juga menyediakan macam-macam saus sebagai pelengkap Crispy; kami pesan semua saus yang tersedia. Ada tujuh saus, namun sore ini yang tersedia hanya enam. Tak masalah, pokoknya pesan semua. Enam dari tujuh saus disajikan; Saus Lada Hitam, Saus Asam Manis, Mayonese, Madu Pedas, Saus Sambal, dan H2C. Sementara yang tak tersedia kali ini adalah Saus Manalagi. Untuk makanannya, kami kembali berebutan memesan menu. Gurame Katsu, Onion Ring, Gurame Crispy, Ayam Crispy, Udang Crispy, dan Cumi Crispy menjadi pilihan kami. Ada juga tambahan beberapa menu lainnya.
Sajian makanan dan minuman sudah di meja
Sajian makanan dan minuman sudah di meja
Sajian makanan dan minuman sudah di meja
Semua menu kami lahap, di sini aku merasakan hampir semua Saus dan menu Crispy yang disediakan. Dari semua ini, hampir seluruh teman sepakat kalau Gurame Katsu menjadi yang paling cepat dilibas (bisa jadi yang paling menarik untuk cepat dilibas daripada diambil teman terlebih dulu). Sementara untuk sausnya, kami semua menikmati kombinasi antara Cumi Crispy dengan Saus Lada Hitam. Bahkan tanpa ragu kami pun memanggil pelayannya untuk minta tambahan Saus Lada Hitam.
Menunya menggugah selera
Menunya menggugah selera
Menunya menggugah selera
Perasaan tadi aku sempat mengabadikan foto bareng sebelum menikmati seluruh menu. Tapi tak lama kemudian menu dihadapan sudah libas. Aku sendiri menikmati Nasi Merah + Gurame Katsy + Onion Ring + Tempe Crispy + Tahu apa itu ya? Hemmm, pokoknya kalau sudah dilumuri dengan Saus Lada Hitam semuanya pasti langsung libas.

“Mas Sitam cepat banget makannya,” Celetuk Reza.

“Laper, maklum anak kos,” Jawabku asal.

Gelak tawa panjang di antara jeda melahap seluruh menu. Sepertinya pesanan kami cukup banyak, namun ya hanya beberapa menit saja untuk membersihkan seperti piring kosong sebelumnya. Ini lapar atau apa ya?
Formasi Lengkap anggota grup WA
Formasi Lengkap anggota grup WA
Menunya langsung abis dimakan
Menunya langsung abis dimakan
Kami bersantai di sofa sampai magrib, bergegas secara bergantian kami sholat di mushola yang telah disediakan oleh HotHotCrispy. Tepat di belakang, ada sebuah ruangan yang cukup luas untuk menunaikan sholat magrib bagi yang muslim. Selama menunggu gantian sholat, aku menikmati fasilitas wifi yang disediakan. Nggak hanya menikmati wifi, aku dan teman pun menyempatkan untuk foto di tulisan “HotHotCrispy”. Seru kan santai di sini?
Salah satu sudut HotHotCrispy
Salah satu sudut HotHotCrispy
Salah satu sudut HotHotCrispy
HotHotCrispy tak hanya melayani makan di sini saja. Jika kalian ingin menikmati menu crispy-nya HotHotCrispy dan berada di area Jogja, kalian bisa telpon dipesan antar. Nanti dari pihak HotHotCrispy akan mengantar pesanan yang kalian pesan. Siapa tahu ada yang ingin menikmati makan dengan menu crispy bareng teman, keluarga, atau mitra kerja. Salah satu lokasi yang ada di kota dan terjangkau harganya salah satunya adalah HotHotCrispy. Aku yakin kalian pasti akan menikmati menunya, tepat seperti slogannya “Crispynya Memang Beda”. *Kuliner ke HotHotCrispy Demangan pada hari Sabtu, 20 Februari 2016.
HotHotCrispy
Pesan Antar: 544020
Alamat: Jalan Kasuari No. 1 Demangan Baru, Yogyakarta
Sosial Media: hothotcrispy (FB) & @hothotcrispy(Twitter)

Gagal Melihat Sunset di Pantai Teluk Awur Jepara

$
0
0
Menjelang pukul 15.00 WIB aku terbangun, rasa capek di kedua kaki berangsur menghilang. Perjalanan lumayan jauh kutempuh dengan jalan kaki tadi siang agaknya menguras tenaga. Dari Kanal – Perpusda Jepara – Alun-alun kota Jepara – Sentra Ukir & Pantung Mulyoharjo – berlanjut jalan kaki lagi ke rumah saudara di dekat pantai Kartini. Aku mulai mempersiapkan kamera, untuk berburu sunset. Sore ini langit lumayan mendukung, seharian tadi sangat cerah; jadi aku berharap sore harinya pun dapat mengabadikan sunset yang pertama di akhir pekan. Tujuan sunset kali ini adalahpantai Teluk Awur. Pantai yang jaraknya tidak lebih 5km dari Pantai Kartini, Jepara.

“Kita pakai motor ini saja, kak. Motor matiknya aku pakai kalau sekolah saja,” Kata adek sepupu seraya mengeluarkan motor Ninja 250cc.

Kuambil helm yang tersimpan di rak dekat TV. Tak berapa lama, aku dan Faris (nama adek sepupuku) sudah menunggangi motor gahar tersebut membelah jalanan Jepara. Kami sengaja mengambil rute yang sedikit lebih jauh, melewati Alun-alun Jepara, memutari jalan arah ke Saripan, berlanjut arah ke Kanaldan melewati perempatan Mantingan, baru ke Teluk Awur. Sampai di Teluk Awur masih pukul 16.15 WIB, masih lama waktu menunggu mentari terbenam sore ini.
Senja di sudut Pantai teluk Awur Jepara
Senja di sudut Pantai teluk Awur Jepara
Sepanjang pesisir pantai Teluk Awur sebenarnya bisa digunakan untuk melihat sunset. TapI tidak semua pesisir tersebut dikunjungi para pengunjung; spot yang paling favorit dikunjungi pengunjung adalah yang dekat gerbang tulisan Teluk Awur. Lokasinya beda dengan tempat yang waktu itu aku sambangi naik sepeda. Jika dari gapura tulisan Teluk Awur (tikungan), ambil yang lurus. Jaraknya hanya beberapa puluh meter saja sudah pantai. Tanah pasir lapang dihadapanku, tak hanya pasir saja; setiap sisi kiri dan kanan juga sudah banyak pohon Waru yang membuat teduh, di bawahnya ada bangku panjang terbuat dari bambu yang bisa digunakan untuk duduk santai seraya menunggu sunset

Bulan Februari cuaca cenderung tak menentu. Ombak dan angin pantai agak besar membuat air di sini tidak bersih, tampak keruh. Selain itu juga banyak sampah/limbah kiriman dari laut yang terdampar di sini. Maklum, namanya juga pantai tak bertuan, hanya sebagian kecil saja sampah yang dibersihkan oleh warga setempat. Di pesisir pantai masih banyak sampah yang terbengkalai. Walaupun seperti itu, animo pengunjung tak patah arang. Banyak pengunjung yang sebagian besar adalah warga Jepara sendiri bermain air. Di tengah juga ada anak-anak berenang. Tentunya pengunjung ini menarik para warga setempat untuk menyewakan pelampung. Di sisi kiri yang tak jauh dari tempatku duduk terdapat jembatan kecil. Di sana ada beberapa sampan yang tertambat.
Menunggu senja di Pantai Teluk Awur Jepara
Menunggu senja di Pantai Teluk Awur Jepara
Menunggu senja di Pantai Teluk Awur Jepara
Aku dan Faris duduk di bawah pohon Waru. Di sini kami berbincang santai, untuk kali pertamanya aku main bareng dia. Biasanya aku hanya menginap di rumahnya, menggunakan sepedanya sesuka hati dari pagi sampai sore, lalu esoknya pamitan balik ke Jogja. Sesekali aku mengeluarkan kamera dari tas kecil. Berjalan ke dekat laut, mengabadikan segala aktifitas para pengunjung pantai yang bermain air.

“Airnya keruh ya, kak. Nggak seperti di Karimunjawa,” Kata Faris padaku.

“Musimnya lagi kurang bagus, Ris,” Jawabku.

“Oya, enak di sini ombaknya tidak besar. Jadi anak kecil bisa bebas main air laut. Kalau di Jogja (pantai selatan), kamu bakalan melihat ombak besar yang menggulung-gulung, dan pasirnya berwarna hitam,” Tambahku seraya membidik anak-anak yang bermain air.
Tetap semangat main air laut
Tetap semangat main air laut
Tetap semangat main air laut
Arakan awan kecil mulai mengumpul, sore yang tadinya cerah menjadi mendung. Tapi masih jauh dari tanda-tanda akan turun hujan. Mentari yang ada di barat tak lagi terlihat sinarnya. Gumpalan awan membuat wujudnya tak terlihat, hanya ada sinar samar-samar saja.

“Sepertinya gagal lihat sunset, Ris. Mendung,”Ujarku.

“Kita tunggu dulu, kak. Siapa tahu nanti bisa dapat walau sedikit.”

Tak ada salahnya mengikuti sarannya. Aku pun kembali meraih kamera dan mengabadikan sudut lain Pantai Teluk Awur. Jauh di sana terlihat mercusuar, lalu tepat di daratan yang menjorok ke laut sebuah jembatan panjang tampak jelas. Ada semacam gazebo di sana, juga sebuah boat berdampingan dengan perahu-perahu lain yang tertambat. Langit di sana terlihat cerah, kontras dengan langit yang di barat. Gumpalan awan semakin tebal dan meyakinkanku bahwa sunset tidak terlihat dari sini.

Jam tangan sudah menunjukkan lebih dari pukul 17.45 WIB, walau masih terang tapi sudah dipastikan kami tidak bisa melihat sunset. Awalnya aku berniat ingin memotret siluet, tapi juga gagal karena kurang cahaya. Aku beralih mengabadikan orang-orang yang menikmati waktu senggang bermain air pantai. Bidikanku tertuju pada dua orang remaja yang sedang sibuk berfoto. Aku mengabadikan salah satu di antaranya yang berpose karena dipotret temannya. Semaki sore, semakin gelap. Aku melangkah ke sisi kanan menuju bongkahan kayu yang dijadikan sebagai kursi. Di sana ada empat remaja cewek yang bersantai.
Halo merah...
Halo merah...
“Boleh kufoto?”Tanyaku seraya tersenyum.

“Boleh, mas,”Jawab mereka seraya tertawa.

“Siapp terima kasih, tapi aku pengennya kalian menghadap ke pantai. terus aku foto dari belakang,” Pintaku kembali.

Sontak mereka tertawa beriringan. “Kirain dari depan,” Seloroh salah satu di antara mereka yang kemudian duduk berjejer menghadap ke pantai.
Punggung para penunggu senja
Punggung para penunggu senja
Sunset berlalu tanpa ingin kami lihat, atau kami abadikan keindahannya. Rona merah tersirat di antara gumpalan awan. Langit pun tak lagi terlihat biru, yang ada hanya cahaya gelap saja. Aku mengabadikan gumpalan awan tipis yang terpantulkan cahaya mentari. Hanya kemerahan sedikit, tap luas dan tak terang seperti saat sedang cerah. Ahhh, sayang sekali mentari tidak terlihat. Jika cuaca sedang cerah, dapat dibayangkan keindahan senja ini bakalan mengagumkan.
Segaris cahaya senja di ufuk barat
Segaris cahaya senja di ufuk barat
Segaris cahaya senja di ufuk barat
Senja berlalu dengan sendirinya. Kumandang magrib sudah terdengar sedari tadi, aku dan Faris memutuskan untuk pulang dengan harapan dapat sholat magrib di rumah. Laju kencang motor membuat kami hanya beberapa menit saja dari Teluk Awur sampai rumah. Bergegas aku mengambil wudhu dan sholat magrib. Ya, walau gagal; setidaknya hari ini aku dapat melihat segores rona merah di sudut barat dari pantai Teluk Awur. Siapa tahu ke depannya aku bisa ke sini lagi disaat yang tepat. Saat cuaca mendukungku untuk melihat panorama senja yang mengagumkan. *Kunjungan ke Pantai Teluk Awur pada hari Sabtu, 06 Februari 2016.

Baca juga tulisan pantai lainnya

Memotret Aktifitas Warga Memandikan Sapi Tiap Minggu Pagi

$
0
0
Aku kira akan ada rasa penasaran yang menggelayuti pikiranku kalau hari ini rencana bersepeda ke Tebing Breksi dan Candi Ijo kubatalkan. Obrolan dengan teman baru di sekitaranCandi Barong atau dengan ibu penjaga parkir di Candi Barong yang mengatakan masih jauh dan jalan menanjak membuatku sedikit ciut. Tak apalah, kalaupun nantinya tanjakannya tinggi, toh aku masih bisa nuntun sampai atas. Lagipula aku sudah terbiasa nuntun sepeda tiap berpergian jauh. Tak perlu malu, toh memang kenyataannya seperti itu.

Jalan aspal (alternatif) dari Candi Barong ke Candi Ijo yang kulalui sedikit bagus, tapi di beberapa titik juga berlubang. Tak ada teman, aku mengayuh pedal sepeda santai. Rerimbunan pohon tiap sudut jalan membuatku tak merasa kepanasan walau sudah menjelang siang. Aku berhenti rehat beberapa menit di tepian jalan, menyantap bekal yang kubawa. Sesekali juga meneguk air mineral untuk melepas dahaga. Tanpa kusadari, aku melewati semacam sendang/bendungan yang airnya keruh. Di sana ada dua jalur, satu belok kanan (jalan lebih besar), satunya lurus tapi jalan lebih kecil. Kuhentikan  sepeda di tepi jalan, lantas aku menuruni jalan kecil dan menghampiri salah satu orang yang sedang asyik mancing.
Sendang antara Candi Barong ke Candi Ijo
Sendang antara Candi Barong ke Candi Ijo
“Mas mau tanya, kalau ke Candi Ijo lewat mana ya?” Tanyaku seraya menyalami orang tersebut.

“Belok ini, mas. Nanti naik terus ketemu pertigaan belok kanan. Nanti ada pertigaan lagi ambil kiri, terus ketemu pertigaan lagi ambil kanan.” Terangnya seraya menunjuk jalan yang besar.

“Pokoknya ambil kanan – kiri – kanan,” Jawabnya mantap.

“Terima kasih, mas.”

Aku naik ke atas dan mengarah ke sepeda. Tak jauh dariku ada seseorang fotografer yang tadi bertemu denganku di Spot Riyadi. Dia terlihat sibuk memotret ke arah seberang. Dari kejauhan kulihat ada tiga ekor sapi yang dimandikan. Aku jadi tertarik mengabadikannya.
Dua ekor Sapi sedang dimandikan
Dua ekor Sapi sedang dimandikan
“Orang bilang ini sendang/bendungan Barong, mas,” Itulah jawaban dari mas-mas yang mancing kala kubertanya mengenai nama bendungan/sendang ini.

Tak banyak informasi yang kudapat mengenai nama/penamaan sendang ini. Bahkan waktu ada teman memposting foto di FB pun aku tanya mengenai nama sendang/bendungan, mereka tak bisa menjawab. Lokasi sendang ini memang tak luas, tapi setiap sudutnya hampir sebagian besar adalah rerimbunan pohon. Sangat kontras sekali warna coklat air dengan hijaunya pepohonan. Tak hanya ada satu orang yang mancing, di sudut lain ada orang-orang yang menyalurkan hobi mancing di sini. Kuhitung, tak kurang dari tujuh orang yang mancing. Pokoknya lokasinya antara Candi Barong ke Candi Ijo.

“Sendang ini digunakan warga setempat untuk mancing dan juga memandikan Sapi, mas,” Ujar salah satu fotografer padaku.

“Tiap hari, mas?” Tanyaku dengan tetap membidik.

“Tidak mas, hanya pada hari minggu pagi. Warga di sini biasanya memandikan tiap minggu pagi jam delapan pagi. Biasanya jam segini banyak yang memandikan, mas.”

“Wah semacam ritual tiap akhir pekan,” Celetukku.

Sengaja aku zoom lensa kameraku, tak hanya orang tua. Di sana juga terlihat anak kecil yang serius mengamati salah satu Sapi yang dimandikan. Tampaknya dia teratrik dengan aktifitas yang dilakukan seorang bapak yang menggosok punggung Sapi. Sapinya juga tampak tenang, seakan-akan paham kalau dirinya sedang dibersihkan. Satu demi satu kutu yang menempel dibulu Sapi tentu diambil pemiliknya, kemudian dengan kedua tangannya si pemilik Sapi mengguyur badan Sapi.
Aktifitas memandikan Sapi di sendang
Aktifitas memandikan Sapi di sendang
Selang beberapa menit, kembali ada dua warga yang datang seraya menari sapinya. Kedua sapi tersebut menuruni jalan menuju sendang. Agaknya Sapi ingin berontak saat melihat air, sang pemilik langsung turun terlebih dulu dan menarik Sapi agar menurut. Tak dalam, hanya sedalam pinggang orang dewasa yang ditepian. Tiga warga mulai mengguyur badan Sapi dan menggosok punggungnya. Sebuah pemandangan yang menurutku sangat langka di Jogja. Di sini, aku dapat menyaksikan secara langsung bagaimana tiap warga sangat perhatian dengan hewan peliharaannya.
Sapi-sapi lain pun berdatangan ke sendang
Sapi-sapi lain pun berdatangan ke sendang
“Jangan lama-lama gosok kulitnya, nanti kulit Sapi-nya lecet,” Sayup-sayup obrolan warga setempat dengan bahasa Jawa kudengar. Mereka tak merasa terganggu oleh kami bertiga yang mengabadikan tiap kegiatannya.

“Kamu tadi yang di Spot Riyadi, kan?” Tanya fotografer lain yang dari Kalasan.

“Benar mas, tadi mas yang ngopi di teras kan?” Timpalku seraya berjabat tangan.

Kami ngobrol santai dengan tetap membidik tingkah Sapi yang dimandikan. Mas-mas ini bercerita mengenai Spot Riyadi serta sendang ini. Begitu aku bilang kalau aku suka nulis di blog, beliau pun antusias.

“Aku harap kamu mau menulis kegiatan memandikan Sapi ini di blog, agar tempat ini bisa jadi alternatif main bagi anak-anak yang ingin melihat Sapi dimandikan. Jarang loh mas lihat yang seperti ini,” Kata mas yang dari Kalasan tersenyum.
Sapi dan para pemiliknya
Sapi dan para pemiliknya
Sapi dan para pemiliknya
benar juga kata mas ini, sekarang di mana kita bisa melihat aktifitas warga memandikan Sapi-nya? Kalau di kota sudah tentu cukup mustahil. Kalaupun ada Sapi biasanya di pedesaan, itupun belum tentu dimandikan. Kalau di sendang ini, tiap akhir pekan (hari minggu) selalu ada ritual memandikan Sapi. Tempat ini bisa dijadikan sebagai tujuan wisata bagi keluarga yang sudah mempunyai anak kecil. Tak ada salahnya mereka dikenalkan dengan hewan peliharaan seperti Sapi. Bahkan siapa tahu malah anak-anak antusias ingin ikut memandikan Sapi-sapi tersebut. Terima kasih khusus untuk dua fotografer yang sudah memberikan banyak informasi tentang Spot Riyadi sekaligus informasi tentang ritual memandikan Sapi di sendang Barong ini. *Dokumentasi memandikan Sapi di Sendang pada hari Minggu, 14 Februari 2016.
Baca juga tulisan lainnya 

#WonderfulEclipse Jogja Menyaksikan Gerhana Matahari

$
0
0
“Siapapun tak akan mau melepaskan kesempatan untuk melihat fenomena alam (Gerhana Matahari) tahun ini. Sebagian besar dari mereka telah melewatkan momen tersebut pada tahun 1983, dan kita akan menyaksikan momen yang sama lebih dari 30 tahun mendatang.”
Mulai Gerhana Matahari terlihat dari Tugu Jogja
Mulai Gerhana Matahari terlihat dari Tugu Jogja
Dunia mencatat sejarah hari ini; Rabu, 09 Maret 2016 fenomena alam Gerhana Matahari dapat disaksikan jutaan pasang mata. Indonesia sendiri menjadi tempat yang paling strategis untuk menyaksikan Gerhana Matahari. Berbondong-bondonglah para ilmuan berkunjung ke  Indonesia, mereka tersebar di beberapa tempat yang paling berpotensi melihat Gerhana Matahari Total. Dari ujung Sumatera sampai ujung Timur Indonesia, para pengunjung berlomba-lomba ingin mengabadikan fenomena tersebut. Bahkan di Ternate menjadi tepat paling lama untuk melihat Gerhana Matahari Total yang berdurasi sekitar 3 menit 17 detik.

Gegap-gembita Gerhana Matahari juga disambut oleh seluruh masyarakat di Indonesia, termasuk salah satunya di Jogja. Walau Gerhana Matahari sekitar 80an%, namun animo masyarakat ingin menyaksikan sangat besar. Di semua titik yang strategis pun dipenuhi para pengunjung. Aku sendiri tak ketinggalan, kukayuh pedal sepeda menuju Tugu Jogja, berbaur dengan ribuan orang yang tujuannya sama. Sama-sama ingin melihat secara langsung Gerhana Matahari. Sang mentari mulai merangkak naik, cahaya kuning keemasan menjadi objek bidikan para fotografer yang sedari subuh sudah menancapkan Tripod dan memasang kameranya masing-masing. Berbagai komunitas tumpah-ruah membuat Tugu Jogja dibanjiri para pengunjung. Aku mngabadikan momen ini dengan kameraku.
Pagi hari di Tugu Jogja
Pagi hari di Tugu Jogja
Salah satu potografer mempersiapkan kameranya
Salah satu potografer mempersiapkan kameranya
“Gerhana Mataharinya sudah mulai,” Teriak salah seorang pemandu menggunakan pengeras suara.

Suara riuh-rendah terdengar menggema tatkala sang raja diang ini mulai gelap bagian atas. Sang mentari mulai terkikis sedikit demi sedikit, bentukknya melengkung bagian atas menjadi objek bidikan para potografer. Aku menyaksikan fenomena alam ini tak kuasa menahan rasa takjub. Dari berbagai ujung ungkapan kekaguman atas fenomena ini terdengar lirih namun jelas. Beberapa kali aku coba mengabadikannya. Walau harus berdesakan dengan pengunjung lain, aku harus bisa bersabar untuk mendapatkan momen yang tepat.
Mulai terlihat gerhana mataharinya
Mulai terlihat gerhana mataharinya
Mulai terlihat gerhana mataharinya
Sejenak kualihkan pemandanganku. Sengaja aku menatap para pengunjung yang sibuk mengabadikan momen ini. Ratusan kamera DSLR, bahkan  Kamera HP mulai membidik. Ada juga yang tak berminat mengabadikan, mereka sangat puas menikmati Gerhana Matahari itu dengan memandanginya menggunakan alat yang sudah dibawa. Bahkan ada juga komunitas di sini yang rela berjalan dan menghampiri pengunjung yang penasaran ingin melihat fenomena tersebut tapi mereka tak membawa alat. Perempuan-perempuan berseragam hitam dengan sigap menghampiri lalu menawarkan melihat dengan metode lain, memanfaatkan kardus.

“Lewat lubang yang ini bu, tapi tidak bisa diabadikan dengan kamera,” Terang perempuan tersebut menerangkan pada seorang ibu.

“Mohon pada pengunjung untuk tidak melihat langsung tanpa menggunakan alat,” Himbauan dari atas panggung pun tak kalah lantang.
Pengunjung menyaksikanGerhana Matahari
Pengunjung menyaksikanGerhana Matahari
Pengunjung menyaksikan Gerhana Matahari 
Semua pengunjung terpukau oleh fenomena alam di sini. Sepasang turis manca pun tak mau ketinggalan. Mereka berkomunikasi dengan orang di sampingnya agar bisa meminjam filter untuk Handycam-nya. Cukup dengan bahasa isyarat saja, pengunjung domestik di samping langsung paham dan meminjamkan ke turis. Sementara itu tepat di belakangku, sekeluarga kecil sudah mempersiapkan diri dari awal untuk menyambut Gerhana Matahari. Tiga buah Tripod dilengkapi dengan kamera mirroless yang ujung lensanya sudah dilengkapi filter siap membidik. Anaknya sangat antusias, dan sesekali meminta bantuan ke ayahnya agar mengatur posisi yang pas untuk melihat Gerhana Matahari.
Masih fokus melihat Gerhana Matahari
Masih fokus melihat Gerhana Matahari
Masih fokus melihat Gerhana Matahari
Di Tugu Jogja, Gerhana Matahari tak hanya disambut dengan ungkapan rasa takjub, jepretan kamera, atau sebuah Drone yang mendengung dan berputar di atas saja. Di ruas jalan yang hanya berjarak 5 meter dari Tugu Jogja sudah disediakan tempat untuk melaksanakan sholat Gerhana Matahari.

“Bagi yang ingin menunaikan sholat Gerhana Matahari, silakan berwudhu di jalan Mangkubumi. Panitia sudah menyediakan tempat untuk mengambil air wudhu,” Terang panitia pelaksanaan Sholat Gerhana Matahari.
Sholat Gerhana di kawasan Tugu Jogja
Sholat Gerhana di kawasan Tugu Jogja
Drone yang mengabadikan dari atas Tugu Jogja
Drone yang mengabadikan dari atas Tugu Jogja
Ya, ini adalah kesempatan baik bagi para masyarakat yang beragama muslim untuk menunaikan Sholat Gerhana Matahari. Hari yang benar-benar spesial, sebagian besar masyarakat muslim menyambut Gerhana Matahari ini dengan sholat Gerhana; dan saudara-saudara kita yang beragama Hindu pun dihari yang sama sedang merayakan Hari Nyepi.

Aku masih setia menunggu proses sampai Gerhana Matahari itu mencapai titik maksimal. Berkali-kali pula kuabadaikan melalui kamera mirroless Nikon 1 J3. Hasilnya sangat memuaskan, aku mendapatkan banyak dokumentasi tentang Gerhana Matahari hari ini. Semakin lama, sang mentari tertutup seperti Bulan Sabit. Titik maksimal di Jogja pada pukul 07:23:31,7 WIB. Teriakan lantang menghitung mundur terdengar disertai sorakan yang berbarengan dengan suara jepretan kamera. Setelah itu, matahari mulai sedikit membesar.
Dokumentasi selama Gerhana Matahari berlangsung
Dokumentasi selama Gerhana Matahari berlangsung
Dokumentasi selama Gerhana Matahari berlangsung
Dokumentasi selama Gerhana Matahari berlangsung
Sebuah fenomena alam yang menakjubkan. Segala ungkapan dan decak kagum atas ciptaan Yang Maha Kuasa terdengar dari setiap lisan para pengunjung. Aku sendiri masih berdiri di tengah jalan. Melihat kerumunan pengunjung di Tugu mulai memudar. Mereka meninggalkan Tugu Jogja dengan perasaan puas. Mungkin tak hanya di Jogja, di setiap tempat di Indonesia, keberkahan atas adanya Gerhana Matahari begitu terasa. Di setiap sudut destinasi wisata Indonesia dipenuhi para wisatawan yang menyaksikan. Ya, hari ini kita sudah menyaksikan Gerhana Matahari, dan akan menyaksikan kembali sekitar 30 tahun mendatang. Saat 30 tahun mendatang kala Gerhana Matahari terlihat, kita akan ingat hari ini. Ingat di mana kita berpijak pada tahun 2016. *Mengabadikan Fenomena Alam Gerhana Matahari pada hari Rabu, 09 Maret 2016 di area Tugu Jogja.

Kunjungan Perdana di Perpustakaan Daerah Jepara

$
0
0
Tengah malam, aku mengemasi sedikit kaos dan membawa secarik kertas berisi tujuan destinasi wisata di Jepara yang nantinya akan kukunjungi. Libur panjang tanggal 06 - 08 Februari 2016 membuatku tertarik ke Jepara (balik ke kota kelahiran, tapi tidak pulang kampung). Seminggu sebelumnya, aku sudah melihat-lihat akun twitter Jepara yang menyebarkan berbagai foto dari tempat wisata seperti Air Terjun Sumenep, Air Terjun Dung Paso, bahkan sampai Air Terjun Papasan. Kucatat satu persatu destinasinya, lalu kucari di internet tempatnya. Menjelang dinihari aku kembali menaiki bus Jogja – Surabaya, berhenti di Kartosuro dan naik bus arah Semarang.

“Jepara… Jepara!!” Teriak kondektur ketika aku turun dipertigaan jalan raya arah masuk Terminal Terboyo.

Aku naik bus arah Jepara, duduk di kursi dekat pintu agar dapat terkena udara pagi. Pagi ini bus melaju kecepatan sedang, tak tahu berapa kali harus berhenti menaikkan para siswa dan guru yang sudah siap di pinggir jalan. Lebih dua jam aku menaiki bus, sampai akhirnya berhenti di Kanal. Di Kanal aku istirahat di rumah ibu kos waktu SMA; tak lupa membantu beliau menggoreng Mendoan, Pisang Goreng, dan Bakwan untuk dijual di Kanal bersatu dengan Pisang Molen. Pukul 09.00 WIB aku ijin untuk jalan ke Perpustakaan Daerah Jepara yang jaraknya tak jauh dari Kanal.

Berjalan kaki di trotoar sepanjang jalan Jepara bagiku menyenangkan. Tak banyak sisi yang harus dirampas dengan jualan atau PKL, bisa jadi karena berada di kawasan kota. Melintasi Kantor Polisi, kulihat para Polisi sedang apel pagi. Setelah itu aku melintasi dua sekolah; SMAN I JEPARA & SMEA. Tujuanku kali ini adalah mengabadikan patung RA. Kartini yang ada di tengah jalan. Tak keperdulikan beberapa pasang mata yang menatapku dengan penuh tanda tanya, aku tetap cuek dan mengabadikan patung tersebut.
Selamat Pagi Jepara Bumi Kartini
Selamat Pagi Jepara Bumi Kartini
Iseng-iseng aku menuju salah satu SMP yang katanya di sana adalah tempat Museum Ukir Nusantara. Tak banyak informasi yang kudapat dari internet mengenai museum ini, tapi dari banyak tulisan; katanya sementara museum di taruh di SMP sebelum nantinya akan ditaruh di dekat Museum RA. Kartini.

“Dek, Museum Ukirnya buka nggak?” Tanyaku pada siswa yang keluar dari sekolahan.

“Nggak tahu mas,” Dia pun bingung menjawab. Ditanyai teman lainnya pun ikutan geleng kepala.

Oke fix kucoret agenda yang menuju ke Museum Ukir Jepara. Aku balik arah jalan kaki lagi ke Jalan Hos. Cokroaminoto Jepara. Tujuanku kali ini adalah Perpustakaan Daerah Jepara. Kembali aku berjalan di trotoar jalanan kota, lumayan teduh karena sepanjang tepian jalan banyak pohon rindang. Setelah melewati Hotel Jepara Indah, aku berhenti di bangunan yang bertuliskan “Kantor Perpustakaan Daerah” bersampingan dengan reklame besar bertuliskan “Buku, Buka, Baca, Bisa; Ayo ke Perpustakaan!!!”
Bangunan Perpustakaan Daerah Jepara
Bangunan Perpustakaan Daerah Jepara
Bangunan Perpustakaan Daerah Jepara
“Perpustakaannya dilantai dua, mas. Lewat sini nanti ada tangga,” Kata seorang yang kutanyai di dekat tempat parkir.

Aku menaiki tangga ke lantai dua, sesampai di lantai dua, aku langsung meminjam loker untuk menaruh ransel dan jaket.

“Mas, boleh aku masuk pakai celana pendek?”Tanyaku pada petugas jaga.

“Boleh mas,” Jawab beliau tersenyum.

Aku memperkenalkan diri, dan meminta ijin untuk mengabadikan suasana perpustakaan kala akhir pekan. Ternyata yang bertugas pada hari sabtu ini mengenaliku di FB, beliau adalah mas Rois. Kami pun berbincang santai sebelum kuputuskan berkeliling ke tiap sudut di lantai dua. Di depan mas Rois terdapat tiga monitor, aku melihat salah satu di antaranya adalah presensi (buku tamu) dan satunya adalah OPAC: untuk menelusuri koleksi yang kita inginkan. Perpustakaan Daerah Jepara menggunakan Otomasi Perpustakaan PustakaPRO.
Mas Rois bertugas di hari sabtu
Mas Rois bertugas di hari sabtu
Pengunjung melakukan pencarian koleksi di OPAC
Pengunjung melakukan pencarian koleksi di OPAC
Puas berbincang dengan mas Rois dan bapak petugas lainnya, aku melangkahkan kaki ke sisi kanan dari arah pintu masuk. Di sana ada banyak meja dan kursi yang disediakan untuk pemustaka. Di meja ini tak banyak pemustaka, mungkin karena masih pagi. Kulihat ada tiga pemustaka yang duduk di kursi panjang. Dua di antaranya sedang asyik membaca buku, sementara satu lagi pemustaka sibuk mengoperasikan laptop, di sampingnya tumpukan buku lebih dari 5 eksemplar. Bisa jadi dia sedang mengerjakan tugas kuliah. Aku mengelilingi tiap rak yang ada di sini.

Mataku tertuju pada seorang cewek yang asyik memilih koleksi di salah satu rak buku. Aku mendekatinya dan meminta ijin untuk boleh mengabadikannya. Senyum simpulnya menandakan aku boleh mengabadikannya.
Ruang koleksi perpustakaan daerah Jepara di lantai dua
Ruang koleksi perpustakaan daerah Jepara di lantai dua
Ruang koleksi perpustakaan daerah Jepara di lantai dua
“Sering ke perpustakaan ini, mbak?” Tanyaku sedikit menggali informasi darinya.

“Sering, mas.”

“Kuliah di mana, mbak?”

“Di STAIN Kudus. Ini juga sudah semester akhir kok,” Jawabnya masih asyik memilih-milih buku.

“Loh, bukannya di Kudus ada Perpusda-nya?”

“Ada mas, tapi kalau sabtu tutup. Jadi aku balik ke Jepara dan sekalian menyempatkan ke sini buat nyari bahan skripsi.”

Aku pun berbincang santai dengan mbak pemustaka ini. Beliau memang kuliah di STAIN Kudus mengambil jurusan PAI, namun berasal dari Bugel. Semoga skripsinya cepat kelar, mbak. Terima kasih sudah kuganggu beberapa menit. Ya, di Jepara hanya ada satu universitas yang besar. Unisnu; sedangkan selebihnya setahuku belum ada lagi kampus di Jepara. Tak seperti di Jogja yang hampir tiap sudut ada banyak kampus.
Mencari literatur di rak koleksi
Mencari literatur di rak koleksi
Mencari literatur di rak koleksi
Puas berkeliling tiap ruas rak dari ujung, aku melangkahkan kaki menuju ruangan lainnya. Ruangan ini cukup luas dan tak banyak rak koleksi buku yang berjejeran. Hanya ada beberapa rak koleksi buku referensi. Konsep tempat ini dipergunakan untuk pemustaka yang ingin mendapatkan ruang lebih. Di sini banyak meja dan kursi yang ditata sedemikan rupa sehingga tiap kusrsi ada sekat dinding kecil. Di ruangan ini ada lebih banyak pemustaka yang asyik membaca buku, membuka laptop dengan mencolokkan charger di slot listrik. Tepat di tengah juga ada meja bundar dikelilingi kursi, di sana ada sekeluarga pemustaka yang asyik membaca majalah dan Koran.

Tepat di sudut ruangan ada banyak Koran yang tertata di sini. Tak lama aku di sini, aku lebih tertarik pada deretan komputer yang dipenuhi oleh pemustaka. Beragam para pemustaka yang menggunakan akses komputer, ada orang tua, anak kecil, bahkan seorang balita pun asyik mengamati monitor ditemani ibunya. Perpustakaan Daerah Jepara cukup mengerti dan memberikan pelayanan yang mumpuni untuk pemustaka yang ingin menggunakan komputer selama di sini.
Ruangan untuk pemustaka, disediakan juga beberapa komputer
Ruangan untuk pemustaka, disediakan juga beberapa komputer
Ruangan untuk pemustaka, disediakan juga beberapa komputer
Usai sudah kunjunganku ke Perpustakaan Daerah Jepara; walau aku asli orang Jepara, tapi ini kali pertama aku berkunjung di Perpustaan Daerah Jepara. Kulangkahkan kaki menuju lantai satu. Sampai di bawah aku tak langsung menuju jalan raya, mataku malah tertuju pada lokasi belakang bangunan ini. Sebuah tanah lapang dan ada ayunan serta bangunan di ujungnya. Diayunan pun sudah ada dua anak yang asyik membaca buku.
Nyaman juga baca buku di sini
Nyaman juga baca buku di sini
Cukuplah, aku kembali berjalan kaki keluar. Kali ini tujuanku ke Alun-alun Jepara. Ada satu tempat di sana yang ingin kukunjungi juga. Sedikit penilaianku tentang Perpustakaan Daerah Jepara; untuk koleksinya sudah lumayan banyak, bahkan mirip dengan Perpustaan Kota Jogja banyaknya rak buku. Selain koleksi buku, ruangan khusus untuk pemustaka yang ingin menulis ataupun berdiskusi pun ada di ruang sebelah yang luas tadi. Sudah dipastikan setiap perpustakaan kali ini juga diwajibkan menyediakan fasilitas Wifi, Colokan Listrik, dan Ruang Luas; ketiganya menunjang kenyamanan para pemustaka untuk berlama-lama di perpustakaan. Terima kasih untuk Mas Rois yang kuganggu aktifitasnya selama di perpustakaan; terima kasih juga untuk bu Ratna & Mas Ridho yang sampai sekarang belum pernah bertemu secara langsung, semoga nantinya bisa bersua kalau aku ke Jepara lagi. Semoga Perpustakaan Daerah Jepara menjadi tempat yang nyaman bagi pemustaka. *Kunjungan ke Perpustaan Daerah Jepara pada hari Sabtu, 06 Februari 2016.
Viewing all 756 articles
Browse latest View live