Quantcast
Channel: Nasirullah Sitam
Viewing all 750 articles
Browse latest View live

Pengalaman Menginap di Tengah Kebuh Teh Wonosari Lawang, Malang

$
0
0
Dua mobil beriringan menyibak keramaian Malang. Jalan yang ditempuh pun relatif lebih kecil. Senja tak dapat kulihat, hanya gelap karena hujan baru reda. Mendung menggeliat berarakan terlihat dari berbagai sisi. Kumandang magrib pun kudengar diperjalanan. Kali ini perjalanan kedua kendaraan yang membawa rombonganku menuju lereng Gunung Arjuno. Di sana nantinya kami akan mengingap di salah satu penginapan yang lokasinya di tengah-tengah Kebuh Teh Wonosari. Perjalanan  lumayan lama dari Batu ke daerah Perkebunan Teh yang ada di daerah Lawang.

Mobil mulai memasuki kawasan Kebun Teh, hawa sedikit lebih dingin agak terasa. Sebuah portal yang dijaga tiga petugas terbuka, mobil pun menyusuri jalan tidak luas di antara hamparan kebun teh yang terlihat menghijau karena terkena sinar lampu. Lebih dari 10 menit dari portal, kami berhenti di depan sebuah wisma yang dijaga seorang perempuan. Aku mendapatkan kamar nomor 9. Dan kami pun melangkah menuju kamar masing-masing. Sedikit syok bagi rombonganku, karena kamar yang diharapkan tidak sesuai dengan apa yang mereka pikirkan. Aku sendiri tetawa-tawa di grup WA; Kasur satu, bantal 2, TV Tabung jaman dulu tanpa remote, lemari terbuat dari anyaman bambu, kamar mandi pun hanya biasa (sabun saja tidak ada pasta gigi). Semacam penginapan di Kaliurang, mungkin lebih bagus di Kaliurang.
Perkebunan Teh Wonosari, Lawang
Perkebunan Teh Wonosari, Lawang
“Selamat menikmati suasana survival di sini,” Begitulah ucapan salah satu rombongan kami yang ibu-ibu. Beliau bercerita di kamarnya ada Cicak nempel di dinding dan lainnya yang membuat kami tertawa bareng-bareng. Menjelang pukul 10 malam, aku masih asyik menonton film di laptopmu. Kubiarkan lampu hidup, TV hidup juga, karena tidka ada remote dan malas jalan kaki menuju depan untuk mematikan TV.

Duarrrr!! Duarrr!! Duar!! Letupan kembang api kencang dari salah satu sudut banguan membuatku sontak berdiri dan kaget. Tidak hanya aku, hampir semua yang deretan kamarnya sebaris denganku bangun dan beranjak keluar. Aku dan beberapa penghuni kamar lain menuju tempat penjaga. Lalu sedikit protes karena mengganggu malam kami. Petugas langsung mencari arah sumber suara, dan menegurnya.

Pagi harinya aku sedikit terlambat bangun. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 05.25wib. bergegas aku sholat subuh, dan langsung menyambar kamera untuk melihat sunrise. Ternyata dari sini sunrise sudah tinggi, aku hanya mengabadikan dua kali dengan mengatur pencahayaan kamera menjadi lebih gelap. Tak terlihat hamparan teh yang kuabadikan kali ini, karena mentari sudah tinggi dan aku berada di dataran tinggi. Sedangkan di bawah hamparan tumbuhan teh terlihat segar. Dedaunannya terkena tetesan embun yang sedikit berkilau ketika ada cahaya yang meneranginya.
Bermain pencahayaan paling gelap kamera Mirroless Nikon 1J 3
Bermain pencahayaan paling gelap kamera Mirroless Nikon 1 J 3
Beranjak aku menuju hamparan kebun teh. Pagi ini belum ada kegiatan keliling kawasan kebun. Aku berjalan menyusuri jalan setapak, jauh di sana ada puncak gunung yang terlihat tinggi. Bisa jadi itu adalah puncak Gunung Arjuno. Karena lokasi perkebunan teh ini berada di lereng Gunung Arjuno, bahkan dari beberapa sumber dari sekitaran kawasan ini pun ada jalur pendakiannya. Kombisani tumbuhan teh berbaur dengan pepohonan lain yang tinggi. Hampir berjarak beberapa meter terdapat pepohonan tinggi.
Hamparan perkebuna Teh
Hamparan perkebuna Teh
“Rul! Kita keliling perkebunan naik mobil!” Teriak temanku dari ujung jalan.

Setengah berlari aku menuju tempat kumpul. Di sana ternyata rombongan sudah siap, tinggal aku saja yang belum kumpul. Menaiki sebuah mobel yang sudah dimodif dengan menambahi dua kursi panjang di bak belakang, kami pun menyusuri jalanan arah lain melihat perkebunan teh. Jalan yang awalnya aspal berubah menjadi tanah liat. Goncangan mobil membuat kami harus sedikit mengangkat pantat agar tidak terlalu sakit.
Mengabadikan diri dulu
Mengabadikan diri dulu
Mengabadikan diri dulu
Sepanjang perjalanan ini aku mengabadikan banyak moment. Tidak hanya hampran teh yang hijau, namun juga orang-orang yang merawat tanaman tersebut. Sekelompok orang menggunakan helm lengkap dengan sepatu boat, dan juga menggendong alat penyemprot hama pun kami jumpai. Mereka berbondong-bondong jalan kaki menuju mobil tangki yang terparkir di luar. Lalu dengan sigap mereka menyemprot tanaman tersebut agar tidak termakan hama. Di sudut lain pun terdapat dua orang ibu-ibu yang sedang memetik daun teh. Ciri khas para pemetik daun teh adalah topi dan sebuah karung yang melilit ditubuhnya. Kedua tangan cekatan sekali memetik mana daun teh yang harus dipetik, dan mana yang sudah tua ditinggal. Suasana cerah membuat para pemetik daun teh dapat bekerja dengan maksimal. Sayangnya hanya sedikit orang-orang yang memetik daun teh pagi ini.
Selamat pagi, Selamat bekerja
Selamat pagi, Selamat bekerja
Selamat pagi, Selamat bekerja
Mobil yang kami naiki menuruni jalan sedikit terjal yang dihimpit tanaman teh. Dari sini terlihat hamparan perkebunan teh membentang jauh sampai ke ujung sana. Sementara itu di belakang kami sebuah puncak gunung megah tanpa tertutupi awan. Sang sopir pun menurunkan kami di sini, dan mempersilahkan kami berfoto di antara sela-sela kebun teh.

“Ada ularnya tidak, pak?” Pertanyaanku membuat para pengunjung lain saling berpandangan.

“Aman, mas. Kalaupun ada Ular, pasti Ularnya akan lari terlebih dahulu ketika mendengar suara kaki,” Jawab bapak sopir.

Jawaban bapak tersebut kukira hanya gurauan pagi saja. Aku menyibak di antara pohon teh yang rimbun. Nasibku kurang mujur karena membawa kamera, sementara rombongan lain sengaja meninggalkan kameranya di kamar. Jadilah aku hari ini fotographer dadakan. Melayani setiap rombongan yang ingin berpose disela-sela tumbuhan teh. Aku pun harus menerima pekerjaan, bagaimana mungkin menolak saat bos bilang, “Ayo mas, kami difoto.”
Foto bersama, aku hanya jadi tukang fotonya
Foto bersama, aku hanya jadi tukang fotonya 
Baiklah, seraya mengabadikan satu persatu, kemudian perkeluarga, berlanjut seluruh rombongan (minus aku) karena tidak bawa Tripod. Disela-sela para rombongan asyik mengabadikan diri menggunakan hp masing-masing, aku mendekat salah satu teman dan meminta untuk diabadikan juga.
Akhirnya difoto juga
Akhirnya difoto juga
Mobil yang membawa kami ke sini sudah jalan terlebih dahulu menuju ujung depan jalan. Kami berjalalan kaki sekitar 200 meter sambil menikmati suasana pagi yang tentu udaranya masih sejuk. Sesampai di dekat mobil, kami kembali naik mobil dan pulang menuju area kumpul tadi melalui jalur yang berbeda. Dari sini akhirnya aku tahu kalau di dalam perkebunan teh ini ada kampung. Di sana ada sebuah sekolah dasar, kemudian rumah para warga yang berkerja sebagai karyawan di perkebunan teh ini; rumah-rumah mereka bentuknya sama semua, hanya di depannya terdapat tulisan nama orang yang mendiami. Satu jam perjalanan pun berakhir, pagi ini kami akan melanjutkan mengunjungi Pabrik Pembuatan Teh yang lokasinya dekat dari tempat menginapku semalam, hanya beberapa puluh meter saja. *Menginap di perkebunan teh Wonosari Lawang, Malang ini pada hari Senin – Selasa; 28-29 Desember 2015.
Baca juga perjalanan lainnya 

Mengayuh Pedal Sepeda dan Mengingat Memori Masa Kecil di Kampung

$
0
0
Berkali-kali aku menatap layar besar di bandara Ahmad Yani Semarang. Sudah sedari tadi tepatnya pukul 11.00 WIB aku di dalam bandara. Menurut informasi dari Airfast, rencananya pesawat yang berkapasitas 11 penumpang ini akan terbang ke Karimunjawa pukul 11.00WIB. Sampai pukul 12.00WIB masih belum ada tanda-tanda pesawat yang kutunggu tiba. Akupun menghubungi pihak Airfast, dari sana aku mendapatkan informasi jika kembali delay karena pesawat masih perjalanan dari Karimunjawa ke Semarang dinaiki Dirjen dan pesawatnya harus menunggu di sana. Jadi aku harus menanti sampai pukul 13.00WIB.
Waktu sedang bersepeda di Karimunjawa
Waktu sedang bersepeda di Karimunjawa
“Nanti diumumkan bapak, kalau tidak kami nanti akan menelpon bapak ke nomor ini jika pesawatnya akan berangkat,” Suara dari seberang telpon seorang petugas Airfast meyakinkanku sekaligus meminta maaf.

Tak pelak aku sudah terlanjur di dalam bandara menghabiskan waktu dengan membaca buku. Selain itu juga kuambil charger dan mengisi baterai disalah satu slot listrik yang tersedia di kursi tunggu. Tepanya pukul 13.30WIB suara panggilan penerbangan ke Karimunjawa terdengar. Aku bergegas memanggul ransel dan menuju pintu pertama. Di sana sudah ada penumpang lain yang menunggu perintah naik ke pesawat. Pesawat kecil tersebut terparkir di ujung, dan kami harus jalan cepat (bahkan sedikit berlari) melewati maskapai Garuda yang mesinnya memekakkan telinga. Satu persatu kami menaiki pesawat. Aku mendapatkan tempat duduk nomor satu. Tepat berada di jendala sisi kiri dan di belakang Pilot. Kursi pesawat ini beraturan sisi kiri satu dan kanan berisi dua kursi. Sedangkan paling belakang digunakan untuk barang penumpang. Sebelas kursi penuh, kami saling bercanda dan bertegur sapa selama di dalam pesawat. Kurang lebih setengah jam nanti, kami menikmati penerbangan sampai di Bandara Dewadaru Karimunjawa; sepanjang perjalan pula kami akan disuguhi pemandangan laut. Aku bisa menyaksikan Karimunjawa dari atas, seperti waktu menaiki Pesawat Susi Air.

Suara mesin pesawat Airfast membuat telinga sedikit sakit. Aku memasang penutup telinga yang diberikan bersamaan dengan snack. Begitu pukul 14.00WIB, pesawat Airfast sampai di Bandara Dewadaru Karimunjawa. aku bergegas keluar dari terminal mencari sepupu yang sudah menungguku. Sebelumnya aku sempat menyapa kakakku yang bertugas di Bandara, dan juga menyapa teman-teman petugas Bandara. Hampir seluruh petugas Bandara aku kenal akrab. Aku pun langsung meluncur ke rumah. Sesampai dirumah aku beristirahat sebentar dan makan siang. Sorenya, aku mempersiapkan sepeda yang terparkir digarasi, lalu mengambil jersey Jogja Gowes yang sudah kupersiapkan saat di Jogja. Aku memutari beberapa ruas jalan di dekat rumah.

Jalur yang kupilih keliling sepeda menjelang sore tak jauh dari rumah. Awalnya aku mengarahkan sepeda ke Pantai Pohon Cemara. Di sana ada tetangga sedang menebang pohon kelapa menggunakan mesin penebang pohon. Aku nimbrung dengan tetangga lain yang menunggu sampai kelar. Karena pohon Kelapa yang ditebang hanya satu, tak lama sudah selesai. Aku tak langsung pulang, tapi mengikuti jalan menuju mangrove. Ini bukan trekking mangrove yang berada di antara Legon Nipah (Kemujan) – Legon Cikmas (Karimunjawa). Hanya jalur Mangrove yang di dekat rumah. Terakhir pulang ke sini, jalan sangat rusak. Hampir sepanjang jalan di sini berlubang. Beruntunglah pemerintah tanggap, berbarengan dengan pembangunan bandara Dewadaru; jalan di sini sekalian diperbaiki. Sangat mulus dan tampak lebih luar. Aku hanya berkeliling bolak-balik di area mangrove ini saja.
Jalannya kembali mulus, nggak berlubang kayak tahun kemarin
Jalannya kembali mulus, nggak berlubang kayak tahun kemarin
Jalannya kembali mulus, nggak berlubang kayak tahun kemarin
Sebuah jembatan kecil terhubung di sini. Di bawahnya liran air yang mengalir sampai pantai. Mangrove atau hutan Bakau di sini cukup luas. Bisa dilihat, batang-batang Mangrove menjulang tinggi, sementara akarnya juga tak kalah melengkung membentuk semacam setengah lingkaran sebelum tertanam di lumpur. Mangrove di sini umurnya sudah tua, sejak aku lahir tempat ini menjadi perbatasan antara dusunku (Jelamun) dengan dusun sebelah (Kemujan). Jadi kalau mau ke sini harus menyeberangi rawa dengan jembatan bambu kecil. Aku masih ingat ketika waktu pembangunan jalan di Karimunjawa tahun 1994; serambi membangun jembatan penghubung ini, masyarakat yang ingin lewat harus menyeberangi jembatan sementara yang terbuat dari papan-papan.

Tiap minggu dulu tempat ini menjadi favorit para anak untuk memancing. Mangrove yang ada kubangan seperti kolam biasanya ikannya melimpah. Ada ikan Gabus, Mujair, dan lainnya. Tapi yang paling banyak adalah ikan Gabus. Aku dulu sering ikut mancing, tapi belum pernah makan Ikan Gabus. Maklum, ikan laut bagiku jauh lebih menggugah selera. Di mangrove ini juga banyak kawanan Kera. Kalau berangkat sekolah sore (TPA) biasanya kawanan Kera tersebut mengganggu perjalanan kami. Alhasil sering bolos sekolah karena takut diserang kawanan Kera. Rerimbunan pohon Bakau awalnya tak serapat ini. Awalnya dari tengah-tengah pohon Bakau ada jalur kecil yang bisa dilewati sampan untuk sampai ke laut. Namun setelah bertahun-tahun tak dipakai dan ada anjuran dari BTN jika merusak pohon Bakau (digunakan untuk kayu masak dll) merupakan pelanggaran dan didenda. Akhirnya masyarakat pun mematuhi. Mereka juga mendapatkan ilmu jika biota laut ini banyak yang berkembang biak di tanaman bakau.
Rerimbunan Pohon Bakau di Karimunjawa
Rerimbunan Pohon Bakau di Karimunjawa
Rerimbunan Pohon Bakau di Karimunjawa
Seperti yang tadi kubilang, di sini sebenarnya tak ada objek yang dapat kusaksikan selain rimbunnya pohon bakau. Aku mengambil kamera dan memasang Tripod kecil. Mirroless Nikon 1 J3 milikku segera kusetel dengan aturan jepretan 10 detik. Aku mulai mengabadikan diri di tempat ini. Beruntunglah, selama aku bermain-main di jalan,hanya ada satu motor yang lewat. Jadi bisa tahu seperti apa sunyinya desaku jika sedang lengang. Dari sebuah papan yang terpajang di sini, aku mendapatkan informasi mengenai Hutan Mangrove yang berada didekat rumahku seluas 10,5 hektar and ditumbuhi 9 jenis tanaman. Tak ketinggalan tulisan imbauan untuk melestarikan hutan demi masa depan.
Ayo sepedaan di Karimunjawa
Ayo sepedaan di Karimunjawa
Ayo sepedaan di Karimunjawa
Karimunjawa memang dikelilingi pantai, ada bukit yang lumayan menjulang tinggi. Bukit itu sering disebut warga setempat dengan nama “Gunung Gendero”. Selain itu Karimunjawa merupakan bagian dari Balai Taman Nasional Indonesia. Dan tentunya hamparan mangrove ini adalah tempat yang dilindungi dan terus dijaga agar tak dirusak oleh segelintir orang yang tidak paham tentang manfaat hutan mangrove. Aku termenung sesaat, mengingat memori panjang masa kecil yang tiap hari melewati tempat ini. Ketika masih jalan tanah sampai sudah diaspal. Mengingat bayangan bagaimana takutnya anak kecil berangkat sekolah naik sepeda bareng teman yang dicegat kawanan Kera. Atau menyaksikan Biawak sedang menyeberangi jalan, dan burung-burung Bangau sedang asyik berdiri satu kaki saat berburu mangsa. Semoga hutan mangrove di Karimunjawa tetap rimbun, dan tetap terjaga kelestariannya. Aku bergegas mengayuh sepeda kembali ke rumah. Waktu menunjukkan pukul 16.30WIB, sepertinya berburu sunset ini bagus. *Bersepeda kali ini pada hari Jum’at; 25 Maret 2016.
Baca juga tulisan tentang gowes lainnya 

Obrolan Pagi di Pelataran Candi Barong

$
0
0
Tak terasa, kuhabiskan waktu lama duduk di kursi Spot Riyadi. Rombongan yang tadinya ramai bercanda sudah terlebih dahulu berkemas pulang. Tiga mobil yang tadinya juga terparkir di depanku sudah kosong. Lahan pekarangan itu dijadikan empat anak kecil bermain bulutangkis. Bergegas aku menuju dapur untuk membayar teh hangat, serasa tak sabar ingin melanjutkan perjalanan menuju Candi Barong.
Candi Barong kala pagi hari
Candi Barong kala pagi hari
“Berapa, pak? Teh hangat satu,”

“Tiga ribu, mas.”

Kusodorkan uang lima ribuan, uang pun berganti dua ribu rupiah di tanganku. Kuambil sepeda dan melanjutkan perjalanan menuju destinasi selanjutnya, Candi Barong. Di sini (Spot Riyadi), kulihat ada dua orang pemuda sedang menikmati kopi di teras serta sesekali mengabadikan pemandangan dari atas bukit. Kami hanya saling sapa dengan senyuman. Hingga kami kembali bertemu dengan kedua pemuda ini di sebuah Sendang yang digunakan warga setempat untuk memandikan Sapi.

Untuk menuju Candi Barong, aku menuju jalan yang tadinya kulewati. Tepat di perempatan kecil, sepeda kuarahkan belok kiri. Jalanan menurun, kemudian sedikit landai. Dan tiba-tiba turunan lagi. Kucoba naiki hati-hati, tapi jalan cor ini licin. Beberapa kali ban tergelincir kala aku menekan rem. Demi menghindari hal yang tidak kuinginkan (jatuh), lebih baik kutuntun sepeda sampai jalanan agak landai. Memang jalan cor yang penuh lumut ini cukup licin, jangankan naik sepeda, jalan kaki saja aku harus berhati-hati.
Jalan alternatif menuju Candi Barong
Jalan alternatif menuju Candi Barong
Jalan ini memang bukan jalan utama ke Candi Barong, hanya jalan alternatif saja. Tapi justru itu malah menyenangkan. Tak ada saingan kendaraan yang lewat di sini. Jalannya memang lebih rusak, tapi cukup asyik dilalui oleh sepeda. Kuikuti jalan terus sampai akhirnya aku sampai di Candi Barong. Candi ini berlokasi Dusun Candisari, Sambirejo, Prambanan. Di sini aku bertemu dengan dua pesepeda yang sudah berkunjung dari Candi Barong.

“Sendirian, mas?” Sapa mereka.

“Iya, mas. Lanjut ke mana?” Tanyaku seraya bersalaman.

“Pengennya lanjut Candi Ijo, tapi kayaknya nggak kuat tanjakannya, mas.”

“Nanti barengan aku saja, kalau nggak kuat dituntun bareng-bareng,” Usulku.
Bertemu dengan kedua pesepeda di parkiran Candi barong
Bertemu dengan kedua pesepeda di parkiran Candi barong
Sepertinya kedua pesepeda ini membatalkan niatnya untuk melibas tanjakan menuju Candi Ijo. Aku sendiri memarkirkan sepeda, kemudian berjalan menuju tempa pos petugas. Beliau menyodorkan buku tamu. Kutulis nama, hari, pekerjaan, dan tujuan apa aku ke sini. Oya, untuk memasuki Candi Barong, kita tidak dikenai biaya masuk. Jadi hanya menulis saja, lalu bisa dengan leluasanya masuk melalui pintu di antara pagar yang melingkar.

“Mohon jaga kebersihannya ya, mas. Tidak boleh mencoret-coret dan memgotori kawasan candi,” Kata bapak petugas saat aku menulis buku tamu.

“Baik pak, terima kasih,” Jawabku.

Pintu menuju candi terbuka separoh. Aku berjalan di atas rumput yang terhampar luas. Sebagian rumput tersebut becek, mungkin karena efek hujan sehingga sebagian rumput ketika diinjak langsung sedikit membenamkan sandal. Dari pintu masuk, aku berbelok kanan mencari tangga ke atas pelataran candi. Sepertinya memang bertangga, kutapaki tangga-tangga yang naik. Di atas pun terhampar luas halaman sebelum sampai masuk ke pintu gerbangnya.

Candi Barong ini menurut literatur merupakan Candi Hindu. Di sini terdapat dua bangunan yang sama. Candinya tidak besar, tapi area candi ini sangat luas. Terdapat relief-relief di tiap dinding candi. Aku bersantai di salah satu sudut candi, kemudian mengabadikan candi tersebut. Selain aku, pagi ini candi sudah dikunjungi anak-anak warga setempat. Mereka berbondong-bondong ke sini dengan naik sepeda. Gelak canda terdengar riuh kala pagi ini.
Sampai di pelataran Candi Barong
Sampai di pelataran Candi Barong
Sampai di pelataran Candi Barong
Memang tak banyak yang berkunjung pagi ini. Kuhitung tak lebih dari 20 pengunjung. Sebenarnya pagi bukan lah waktu yang tepat berkunjung ke sini. Kita bisa berkunjung ke sini sore hari, dan bisa menikmati sunset. Kunjungan ke tiap candi yang ada di perbukitan ini lebih banyak sore hari, orang-orang pastinya berburu keindahan sunsetdari atas bukit.

“Dulu candi ini belum dipagari semua, mas. Hanya beberapa saja yang dipagari,” Kata salah satu pemuda yang juga bersepeda padaku.

“Aku baru pertama ke sini, mas. Dulu tahun 2013 mau ke sini waktu habis dari Candi Banyunibo, tapi karena capek ya kami batalkan,” Jawabku.

Kami berbincang lama, mengulas tentang hobi yang sama-sama suka bersepeda, tentang seputaran pekerjaan, dan juga mencari sedikit tambahan informasi mengenai rute menuju Tebing Breksi & Candi Ijo.

“Wah kalau ke sana tanjakannya mantap, mas,” Terang mas tersebut seraya mengacungkan jempol tangan.

Bayanganku tentu sudah jelas, bagaimana sebenarnya tanjakan ke Candi Ijo. Tak perlu kubayangan, toh nanti aku juga lewat dan merasakan sendiri. Aku berkeliling dulu di sekitaran Candi Barong, mengabadikan diri di dua sudut yang berbeda.
Halo Candi Barong
Halo Candi Barong
Halo Candi Barong
Benar saja, dari sini terlihat jelas Gunung Merapi yang ada di utara. Sementara di sisi barat tampak jelas daratan lebih rendah. Pastinya akan sangat menyenangkan jika ke sini sore dan berburu sunset. Memang tempat ini cukup ideal untuk berburu sunset. Mungkin lain kali aku bisa ke sini saat sore hari, tapi tak pakai sepeda. Bukan karena takut, tapi meminimalisir kalau sampai pulang kemalaman. Toh nggak baik juga magrib-magrib balik dari candi yang di atas bukit, gelap, dan sendirian pula. Hemmmm, aku pun beranjak dari Candi Barong menuju tempat parkir sepeda. *Kunjungan bersepeda ke Candi Barong ini pada hari Minggu, 14 Februari 2016.
Baca juga kunjungan budaya lainnya 

Memotret Anak-anak di Dalam Pasar Gede Hardjonagoro Solo

$
0
0
Sampai kapan pun, kehadiran pasar tradisional tetap dibutuhkan. Pasar yang menjadi perputaran uang tiap orang yang mencari rejeki di dalamnya. Tak hanya mereka yang berjualan, tapi lebih dari itu. pasar tradisional menjadi tempat yang menghasilkan uang bagi mereka yang berprofesi sebagai pengayuh becak, jasa panggul, dan lainnya.”
Becak-becak di depan pasar Gede, Solo
Becak-becak di depan pasar Gede, Solo
Kereta Api Prameks sebentar lagi tiba dari arah Stasiun Tugu. Aku dan mas Iqbal masih menunggu Gallant di Stasiun Lempuyangan. Hari ini kami bertiga menuju Solo untuk mengikuti Workshop yang diadakan oleh Natgeo Indonesia. Tak berapa lama, Gallant sudah menghampiri kami. Bergegas kami memasuki Rel B dan antri masuk gerbong. Akhir pekan ini tak terlalu ramai penumpang. Kami bertiga sengaja berdiri sampai di Stasiun Purwosari, lanjut jalan kaki menuju Omah Sinten Heritage Hotel & Resto yang terletak di jalan Diponegoro, Ngarsopuro. Di sana kami sudah ditunggu oleh mas Halim.

Di depan Omah Sinten Heritage Hotel & Resto sudah ada banner acara yang kami kunjungi. Bergegas kami menuju lantai dua untuk registrasi, dan mengikuti acaranya. Kali ini acaranya adalah workshop tentang “Human Interest” dan berlanjut Photo Hunting di Pasar Gede, Solo. Kedua pemateri workshop kali ini adalah Yunaidi (Fotografer National Geographic Indonesia) dan Firman Firdaus ( Editor Fotokita.net).
Banner di jalan menuju lantai dua
Banner di jalan menuju lantai dua
Paparan dari mas Firman Firdaus (Editor Fotokita.net)
Paparan dari mas Firman Firdaus (Editor Fotokita.net)
“Kapan terakhir ke pasar tradisional?”

Sebuah pertanyaan terlontar dari Yunaidi (Fotografer National Geographic Indonesia) kala kami bersua dengannya di acara Workshop Natgeo di Solo akhir pekan kemarin. Ya, beragam jawaban menanggapi pertanyaan tersebut. Sementara aku dengan pasti menjawab.

“Akhir pekan kemarin, aku sengaja menuju pasar Demangan.”

Lebih dari 1 jam kedua pemateri ini menyampaikan materi bagaimana memotret di tempat umum, apa yang harus kita lakukan, dan seperti apa kita harus berinteraksi. Usai pemaparan materi, rombongan kami langsung diajak menuju Pasar Gede. Pasar ini terletak di jalan Jenderal Sudirman arah ke Jalan Urip Sumoharjo. Terdapat 25 becak yang disediakan untuk menuju ke pasar, sementara sisanya mereka menaiki kendaraan pribadi. Aku sendiri menaiki becak bersama dengan Mas Anno; salah satu blogger senior yang ada di Jogja. Sampai di dalam pasar, kami menyebar mengabadikan tiap momen yang menurut kami harus diabadikan. Untuk mengetahui sejarah Pasar Gede; berikut aku cantumkan sejarah mengenai pasar Gede di Wikipedia.
Naik becak ke Pasar Gede, Solo
Naik becak ke Pasar Gede, Solo
Memasuki pintu gerbang Pasar Gede, di sana sudah banyak hilir-mudik orang-orang yang ingin menuju ke dalam pasar. Menjelang sore ini pasar sudah agak sepi, tapi tetap saja di dalamnya masih riuh. Para penjual silih berganti menyapa kami dan menawari barang dagangannya. Layaknya pasar lainnya, penjual mayoritas ibu-ibu pun tersenyum seraya berbincang dengan calon pembeli. Di sinilah aku dapat melihat bagaimana interaksi para pembeli dan penjual ketika terjadi tawar-menawar barang dagangan. Benar-benar menyenangkan bisa menyaksikan momen seperti ini. Sementara itu, rombongan kami sudah menyebar mencari bidikannya; aku masih berdiri di jalan menuju lantai dua. Melihat sekelilingku yang ramai.
Berbagai barang yang di jual di dalam pasar Gede
Berbagai barang yang di jual di dalam pasar Gede
Kali ini aku tertarik mengabadikan seberapa banyak anak-anak yang berada di pasar. Sebenarnya konsep acara kami adalah bertemakan interaksi sosial; jadi sebisa mungkin kita harus memotret momen yang pas ketika penjual dan pembeli saling menawar atau membayar dengan uang tunai. Lantai satu didominasi para penjual sayuran. Tapi entahlah, dari awal aku menuju ke sini, aku tertarik mengabadikan anak-anak yang ada di dalam pasar. Bidikan pertamaku adalah seorang ibu yang menggendong bayinya dan menyuapi makanan. Sambil mengitari tiap ruas kios, ibu ini senantiasa sabar menyuapi anak kecil.
Momong anak di dalam pasar
Momong anak di dalam pasar
Menyusuri jalan menuju lantai dua, aku masih mencari-cari suara anak yang ada di dalam pasar. Di sini aku bertemu dengan dua anak kecil. Salah satunya sedang asyik menonton tv, dan satunya lagi sedang bermain sepeda. Dia berbagi jalan dengan para pengunjung untuk menaiki sepeda dan memutari beberapa blok kios. Lantai dua ini salah satu sudutnya untuk warung makan, sementara di sudut lain adalah tempat berjualan ikan.

“Dimas, itulah difoto mas-mas. Naik sepedanya dari arah sana saja,” Teriak seorang bapak yang melihatku mengabadikan anaknya bersepeda.
Dimas naik sepeda, sementara temannya asyik nonton TV
Dimas naik sepeda, sementara temannya asyik nonton TV
Kuabadikan beberapa kali tapi tak pernah bagus, biarlah yang penting aku sudah mengabadikan. Sebelum meninggalkan lantai dua, aku menuju bapak tadi dan menyalaminya. Dari sini aku tahu kalau Dimas (anaknya) sedang berlatih naik sepeda. Kalau di jalan besar katanya takut karena belum lancar.

Masih dilantai dua, tepatnya di bagian ikan; aku melhat dua anak berlarian di antara lorong-lorong. Kuikuti terus dia sampai di dekat tangga. Di tempat berjualan ikan ini sudah sepi, bisa jadi ramainya di sini ketika masih pagi. Aku mengabadikan dua anak kecil yang berlarian. Dia mengetahui kalau sedang aku potret, sejenak dia berhenti di jalan turun dan berpose. Aku tertawa dan mengabadikannya, foto itu tidak aku upload di sini karena aku ikutsertakan di dalam lomba.

“Aku sudah tidak takut difoto loh, mas,” Ujarnya ke arahku.
Dua anak yang sedang tadi berlarian di los pasar Gede lantai dua
Dua anak yang sedang tadi berlarian di los pasar Gede lantai dua
Dua anak yang sedang tadi berlarian di los pasar Gede lantai dua
Aku tersenyum mendengar pengakuannya. Ibunya berkata kalau awalnya dia takut difoto. Tapi sudah beberapa minggu ini dia mulai berani dan malah senang saat difoto. Anak kecil cewek dan cowok ini pun turun di temani kakaknya yang sudah lebih besar. Dia pulang ke rumah bareng kakaknya.

Aku menuruni tangga lagi dan berputar. Di sini sempat mengabadikan salah satu momen ibu dan anak cowok. Foto tersebut salah satu yang terbaik menurutku dan kembali aku ikutsertakan lomba. Selain itu aku juga mengabadikan anak-anak lainnya yan berada di los lantai satu. Kedua anak ini sama-sama setia menunggu ibunya berjualan, dia tetap tenang dan sabar ikut menemani ibu. Menikmati setiap waktu berada di sisi ibunya.
Menemani ibu di pasar
Menemani ibu di pasar
Menemani ibu di pasar
Menjelang pukul 16.00WIB, aku dan mas Anno lebih dulu balik ke Omah Sinten Heritage Hotel & Resto. Di sini kami memilih tiga foto yang diikutsertakan pada lomba, selain itu juga diumumkan pemenang lomba Instagram. Ups, selamat untuk mas Halim (yang punya kawasan Pasar Gede, Solo) berhasil memenangkan lomba tersebut. Selesai acara kami tak langsung bubar, rombongan Travel Blogger Jogja berfoto bareng kedua pemateri. Di foto ini minums mas Halim, karena dia asyik ngobrol dengan temannya di depan.
Foto bareng travel blogger dan kedua pemateri dari Natgeo Indonesia & Fotokita.net
Foto bareng travel blogger dan kedua pemateri dari Natgeo Indonesia & Fotokita.net (Sumber: Mas Iqbal Kautsar)
Malam minggu ini kami habiskan untuk perjalanan pulang. Sebelumnya, rombongan kami dari Jogja sengaja menikmati makan malam bersama Mas Halim. Kami menyusuri jalanan berjalan kaki. Makan malam bareng, menelpon taksi; mengantarkan mas Halim pulang dulu, dan lanjut ke Terminal Tirtonadi. Sesampai di sini, kami langsung naik bus arah ke Jogja. Pukul 22.45WIB, aku sudah sampai kos (Jogja). Terima kasih atas kebersamaannya teman-teman Travel Jogja dan juga untuk Mas Halim di Solo. *Foto-foto anak yang kuabadikan di Pasar Gede pada hari Sabtu; 30 April 2016 (di acara Photo Hunting bersama National Geographic Indonesia & Fotokita.net) mendapatkan ijin dari pihak yang terkait untuk aku abadikan.
Baca juga tulisan lainnya 

Senja Menggelayut di Ufuk Barat Karimunjawa

$
0
0
Kapan terakhir menantikan senja di tepian pantai? Kapan terakhir menikmati sunyinya pantai tanpa banyak hiruk-pikuk teriakan para pengunjung dan lalu-lalang orang berjalan di sekelilingmu? Ahhh tentu kamu merindukan waktu seperti itu. Berharap bisa menikmati segala kesunyian pantai kala senja menggelayut, merayu setiap pasang mata yang bersabar menantinya.”
 Senja di pantai Karimunjawa
 Senja di pantai Karimunjawa
Kulongokkan kepala melalui jendela menatap luar. Langit sangat cerah, aku mengganti kaos lalu mengayuh sepeda menuju rumah teman yang jaraknya 500 meter dari rumah. Di sana temanku (Riki) sedang duduk santai. Kuparkirkan sepeda dipekarangan depan rumah, lalu nimbrung ngobrol. Sepertinya dia paham kedatanganku, tanpa pikir panjang kami langsung menaiki sepeda motor menuju pantai. Pantai manapun tak masalah, intinya dari tepian pantai itu bisa terlihat sunset.

“Dermaga Gelaman atau mana?” Tanya Riki kearahku.

“Jangan dermaga Gelaman, di tepian pantai Telaga saja.”

Jalan penghubung antar dusun sudah bagus walau masih saja tak rata. Kami menaiki kendaraan motor santai. Dari sini terlihat tempat landas pacu bandara Dewadaru di sisi kiri, sementara berjejeran rumah ada di sebelah kanan. Sesekali hanya terlihat pohon Kelapa. Atau samar-samar terlihat pantai yang jarak dari jalan tak lebih dari 150 meter.

Melintasi jalan Telaga yang dipenuhi pohon Jambu Mete (Jambu Moyet), kami menuju jalan bekas perempatan yang kini menjadi jalan buntu akibat perpanjangan Bandara. Tujuanku adalah pantai di Dusun Telaga. Pantai ini sebenarnya tempat singgahnya nelayan, di sana cukup teduh karena ada pohon Ketapang besar yang rimbun. Namun di sana sudah ada banyak penduduk setempat yang ramai menunggu nelayan pulang. Kami putuskan mencari tempat yang sepi.

Tempat kedua pun juga sedikit ramai, ada lebih dari lima penduduk setempat menunggu nelayan datang. Kami mengendarai motor berlahan, tepat perbatasan antara Gelaman – Telaga (yang dibatasi sebuah gorong-gorong kecil) kami berhenti di dekat tanaman Jati yang masih kecil-kecil. Ada jalan setapak menuju pantai, motor kami parkirkan di tepi jalan dan berjalan kaki ke bibir pantai. tak jauh sih, mungkin hanya berjarak 50 meter saja dari jalan cor sampai di bibir pantai. Aku sengaja memilih tempat ini lantaran sepi. Dari ujung jalan besar seorang bapak menuju ke arah kami. Beliau tersenyum menyapa kami.
Masih menantikan senja di pantai
Masih menantikan senja di pantai
Masih menantikan senja di pantai
Masih menantikan senja di pantai
“Kok nggak di dermaga saja, mas? Kan lebih bagus ada jembatannya.”

“Di sini saja pak, mungkin besok ke sana,” Jawabku membalas keramahan beliau.

Bagiku di manapun sudut kalau kita ingin memotret sunset yang terpenting adalah tak ada halangan pepohonan atau bukit. Kalau ditutupi awan sih sudah resiko. Kuambil kamera dan mengabadikan laut lepas, tak ada ombak, tak ada hempasan angin kencang. Sangat sunyi, hanya saja mendung tebal tepat berada di ufuk barat, di mana sang mentari ingin membenamkan tubuhnya. Sebuah kapal terjangkar di dekat pantai, dan pemiliknya sedang asyik menguras air.

Nampaknya senja ini aku tak beruntung menyaksikan sang raja siang terbenam. Mendung tebal bukannya berarakan pergi, malah semakin mengumpul dan melebar. Alhasil, cukuplah aku menikmati senja bergelayut awan yang tergantung. Tak perlu disesali, walau tertutup mendung, tetap saja cahayanya masih dapat kuabadikan. Aku bahkan pernah merasakan gagal melihat sunrise yang lebih parah ketika sedang di Jepara; kala itu gagal melihat sunset di Pantai Teluk Awur. Walau sebenarnya sore ini sangat cerah, tapi mendung tebal tepat diperaduannya matahari membuatku harus urung diri menahan sesal.

“Gagal lihat sunset, kak?” Celetuk Riki.

“Tapi nggak gagal menikmati senja, kan?” Balasku terkekeh.

Sunset memang tak terlihat, tapi tetap ada banyak objek yang dapat diabadikan. Tepian pantai yang segaris dengan Dermaga Gelaman ini ada beberapa kapal yang tertambat di tengah laut. Masyarakat setempat tak semuanya melabuhkan kapalnya di pelabuhan/dermaga, banyak di antara mereka yang membuat pancang (batang kayu sebesar betis kaki dan ditancapkan ke dalam pasir) untuk menambatkan kapal. Biasanya, diujung depan tali diikatkan pada tonggak kayu tersebut, sementara di bagian belakang ditahan dengan jangkar. Jadi ketika ada ombak atau angin kencang, kapal bisa tetap tenang tak terombang-ambing. Mereka menuju daratan menggunakan sampan kayu. Jika mendapatkan ikan banyak pun tetap menggunakan sampan untuk mengangkut sampai ke daratan/pesisir.

Tepat di depanku, sebuah kapal sedang dipindahkan tempat. Tak perlu menggunakan mesin, cukup sebuah galah bambu dijadikan dayung. Ditancapkannya ujung galah bambu itu ke dalam pasir, kemudian ditekan oleh nelayan sehingga kapal bergerak sesuai arahan nelayan. Tak sulit jika kita sudah terbiasa melakukannya, karena di sini arus tak terlalu kencang. Orang yang memindahkan kala adalah bapak yang tadi menyapaku. Di ujung lainnya, terlihat samar seorang nelayan sedang mendayung sampan. Nelayan itu tak pulang dari mancing, tapi dia sedang memeriksa lahan Rumput Lautnya. Terbentang di sekitarnya ada berserakan pelampung kecil dari busa/gabus atau bekas botol air mineral. Setiap hari masyarakat yang mempunyai Rumput Laut pasti memeriksa kondisi Rumput Laut. Jika sedang panen, akan ada banyak Rumput Laut yang bawa ke daratan. Sementara di angkasa terlihat secercah cahaya menguning. Senja mulai merangkak, membuat tempat ini sedikit lebih gelap.
Suasana senja di pantai Karimunjawa
Suasana senja di pantai Karimunjawa
Suasana senja di pantai Karimunjawa
Senja tak pernah ingkar tentang keindahannya. Terlepas dari gumpalan awan tebal berwarna gelap di ufuk barat, cahaya mentari berpendar di angkasa. Dapat kulihat warna jingga menggelayut di angkasa. Tak henti-hentinya aku menatap dan sesekali mengabadikannya. Sebuah pemandangan indah tepat di hadapanku. Kapal, keramba, dan senja di tepian pantai. Kombinasi yang indah sebenarnya, terlebih duduk di pesisir pantai nan sepi.

Tak ada yang menampik keindahan warna jingga yang terlihat di angkasa. Guratan cahaya itu terlihat lebih elok menjelang magrib. Langit sore ini akan jauh lebih indah jika mentari tak tertutup mendung. Semoga esok aku bisa melihat yang lebih indah lagi dan pesisir pantai sini. Kalaupun tidak di sini, ya segaris dengan pantai tak bernama ini. Bisa jadi di Dermaga Gelaman.
Halo guratan cahaya senja
Halo guratan cahaya senja
Halo guratan cahaya senja
Tanpa disadari gelap pun menutupi menjadi pemandangan setelah senja berlalu. Hanya ada sedikit cahaya yang terlihat berwarna jingga, selebihnya hanya temaram cahaya yang akan menajdi gelap gulita. Aku dan Riki bergegas meninggalkan pesisir pantai tak bernaman ini. Menyusuri jalan cor Telaga menuju dusunku. Dari sini terdengar nyaring suara adzan magrib; suara nyaring itu keluar dari corong toa masjid Telaga. Masjid yang dimana kukunjungi kala sholat jum’at bareng bapak. *Berburu sunset di pesisir tak bernama kawasan Gelaman pada hari Jum’at; 25 Maret 2016.
Baca juga tulisan pantai lainnya 

Bermain Air di Aliran Kali Boyong (Green Kayen) Jogja

$
0
0
Mendadak dalam satu minggu ini, aliran kali Boyong yang ada di Dusun Kayen, Condong Catur memenuhi tiap linimasaku. Aku tertarik mengunjunginya, terlebih tempat ini tidak jauh dari kota. Atau hanya beberapa kilometer saja dari tempat kosku. akhir pekan libur panjang ini pun kumanfaatkan waktu senggang menuju lokasi yang banyak orang bilang dengan sebutan Green Kayen.”
Green Kayen terletak di Condong Catur, Sleman, Yogyakarta
Green Kayen terletak di Condong Catur, Sleman, Yogyakarta
Mataku masih tertuju pada objek yang akan kuabadikan, jauh di sana bangunan Candi Plaosan terlihat megah terkena cahaya pagi. Aku berkali-kali mengabadikan sampai puas. Kulihat arloji yang tak sering melekat dilengan kiriku. Pagi ini sudah pukul 07.30WIB, aku harus bergegas menuju desitinasi selanjutnya. Dari area Candi Plaosan, aku mengayuh pedal sepeda menuju jalan Kaliurang. Kembali melintasi jalan yang nyaris sama, hanya saja berbalikan arah.

Rute kali ini adalah menyusuri Selokan Mataram, sampai akhirnya sampai Gejayan. Berlanjut menuju Jalan Kaliurang KM 7. Kayuhan sepeda sedikit melambat melewati Ringroad, lalu sepasang mata ini fokus ke arah kiri jalan mencari toko cat Wawawa. Tetap di plang tulisan toko cat, aku membelokkan sepeda ke arah kiri. Kususuri jalan yang akan mengarahkanku ke aliran Kali Boyong. Di sini, tempat pemandian baru mulai hits, mereka menamakannya dengan sebutan “Green Kayen.” Green Kayen ini berada di dusun Kayen, Condong Catur, Sleman, Yogyakarta.

“Pokoknya toko cat wawawa; belok kiri sampai mentok, nanti ketemu tugu belok kanan. Lurus sampai ketemu beringin kecil belok kiri, lurus lagi nanti ketemu lapangan. Tanya warga di sana, pasti langsung ketemu,” Itulah rute yang kudapatkan dari teman pesepeda yang bernama mas Prasetya Rachmad.

Sampai di beringin aku masih bisa paham, tapi tak kutemukan lapagan bola. Beruntung warga di sana ramah-ramah. Aku pun diberi arahan jalan sampai akhirnya ketemu lokasi yang kutuju. Dari jalan setapak ini kulihat sudah ada empat motor yang terparkir. Suara gelat tawa dan teriakan orang di bawah terdengar kencang. Bergegas aku memarkirkan sepeda dan langsung menurun jalan setapak. Semoga ke depannya diberi plang petunjuk arah, sehingga pengunjung lebih mudah mencari lokasi.
Aliran sungai Boyong, lokasi Green Kayen, Condong Catur
Aliran sungai Boyong, lokasi Green Kayen, Condong Catur
Aliran sungai Boyong, lokasi Green Kayen, Condong Catur
Di sini sudah ada delapan remaja yang berenang. Mereka semua berasal dari Jember, dan menyempatkan waktu luang berenang di Green Kayen. Lokasinya sangat dekat dari kota, dan tak susauh menemukannya. Mereka juga mengetahui lokasi ini dari instagram yang beberapa kali diunggah akun-akun Jogja. Aku bergabung dengan mereka, namun tak ikut mandi. Aku hanya main-main air saja, entahlah, sepertinya kali ini aku hanya suka mengabadikan saja. Bisa jadi jika bareng-bareng teman, aku pasti sudah berendam di dalam air.

Ada beberapa titik Green Kayen, menurut warga setempat; tempat ini baru saja diresmikan satu minggu yang lalu. Tapi titik peresmiannya tidak di tempat yang kukunjungi ini, tapi di aliran yang atasnya. Di sana ada bendungan kecil dan terdapat wahana Flying Fox. Di sana juga ada tempat pemandiannya. Namun aku lebih suka yang di sini, selain masih sepi, airnya pun tak kalah jernih. Walau sebagian tak terlalu dalam, tapi di titik-titik tertentu juga kedalamannya lumayan. Jadi tetap waspada jika berenang di sini.

Gemericik aliran air ini membuatku nyaman. Aku bermain air dan duduk di atas batu. Kali Boyong ini membuatku betah berlama-lama di sini. Kedelapan remaja dari Kediri yang kuliah di kampus-kampus Jogja ini tak kalah asyiknya. Mereka tak merasa terganggu karena aku bergabung dengan mereka. Candaan khas Jawa Timuran pun terdengar di telingaku, tentunya sesekali mereka berucap menggunakan bahasa Madura. Ya, sedikit aku paham bahasa Madura, karena ada sedikit darah Maduraku dari ibu.
Berenang di Green Kayen
Berenang di Green Kayen
Berenang di Green Kayen
“Kayaknya loncat dari atas asyik. Kayak waktu di Blue Lagoon dan Pindul,” Celetuk salah satu remaja.

Ada tiga remaja yang menaiki jalan, dan menuju tebing. Ketinggian tebing ini sekitar tujuh meter. Aku hanya mengamati saja, dan salah satunya terjun dari atas. aku tak siap membidiknya, namun beruntunglah, reaksi cepatku berhasil mengabadikannya walau gambarnya terlihat goyang saat aku membidik. Kuhitung keseluruhan dari mereka meloncat 6x, satu di antaranya tak jadi loncat karena kurang yakin.

“Kalau loncat jangan terlalu jauh, mending pas di tengah-tengah saja yang agak dalam,” Teriak remaja yang loncat pertama kali.
Pengunjung loncat dari atas tebing
Pengunjung loncat dari atas tebing
Pengunjung loncat dari atas tebing
Aku tertarik menyusuri aliran Kali Boyong ini, sejenak kutinggalkan rombongan yang sedang asyik berenang. Kususuri Kali Boyong mengikuti aliran air, ada banyak cekungan yang dapat digunakan untuk berendam, tapi tak selebar yang di atas tadi. Bergegas aku menaiki jalan menuju tempat parkiran, kali ini tujuanku adalah mengabadikan aliran air di atasnya tempat rombongan berenang. Di sana gemericik air terdengar deras, dan sayup-sayup terdengar suara anak-anak bermain. Dari informasi bapak-bapak yang mengelola tempat ini, itu adalah suara anak-anak sedang berenang di dekat bendungan yang ada Flying fox-nya.

“Tempat ini baru ramai sekitar seminggu yang lalu, mas. setelah peresmiannya,” Tutur bapak-bapak yang menggunakan kaos seragam berwarna orange-hitam dan membawa HT.

Oya, tepat di tebing dekat tempat pemandian Green Kayen ini, ada pemandangan yang kurang mengenakkan. Limbah plastik banyak dibuang tepat di tebing. Memang tidak sampai ke aliran sungai sih, tapi tetap menjadi pemandangan yang kurang sedap. Semoga setelah diresmikan, Green Kayen secepatnya bersolek menjadi lebih baik dan bersih. Tak mustahil tempat ini bakalan menjadi destinasi andalan Condong Catur, apalagi Kabupaten Sleman menurutku paling maju dalam urusan membuat konsep desa wisata.
Aliran Kali Boyong area Green Kayen
Aliran Kali Boyong area Green Kayen
Aliran Kali Boyong area Green Kayen
Rombongan yang berenang pulang duluan, tinggal aku duduk santai sendiri di Green Kayen. Kuambil Mirroless Nikon 1 J3 dan memasangnya di tripod. Sesekali kuabadikan diri di tepian alirang sungai. Ya, akhirnya aku bisa mengabadikan tempat ini kala sepi. Walau tak terlalu luas, tapi tempat ini layak dijadikan tempat mandi alternatif selama di Jogja. Apalagi para mahasiswa di Jogja banyak yang suka berenang di sungai.
Bermain air di Green Kayen
Bermain air di Green Kayen
Bermain air di Green Kayen
Pukul 09.45WIB, aku rasa sudah cukup berlama-lama di sini. Aku bergegas menaiki jalan menuju tempat parkir. Sebelum sampai di tempat parkir ini, aku bertemu dengan bapak-bapak yang menginformasikan mengenai tempat ini. termasuk mengenai peresmian Green Kayen yang kutulis di atas. Semoga tempat ini menjadi lebih ramai, dan tetap terjaga kebersihannya. Tak sempat aku kunjungi bendungan tempat anak-anak bermain Fying Fox, aku hanya sempat berpapasan dengan pemuda (pengelola) Green Kayen yang mengendarai motor dan membawa banyak life jacket. Bisa jadi akhir pekan ini Green Kayen banyak dikunjungi, dan lambat laun tempat ini menjadi salah satu tujuan wisata keluarga waktu akhir pekan. *Bersepeda ke Green Kayen pada hari Kamis; 05 Mei 2016.
Baca juga tulisan alam lainnya 

Nikmatnya Menu Cumi Kuah Hitam dan Cumi Tumis Kecap

$
0
0
Kapan terakhir kamu makan seafood Cumi-cumi segar? Selama di Jogja, aku tak pernah merasakan nikmatnya lauk Cumi-cumi yang masih segar. Sementara setiap aku balik ke Karimunjawa, pasti hampir tiap hari aku bisa menikmati lauk yang masih segar. Tentu nikmat menu Cumi-cumi, ditambah dengan racikan bumbu ibu.”
Cumi-cumi hasil tangkapan bapak
Cumi-cumi hasil tangkapan bapak
Menjelang malam, aku duduk santai di teras rumah. Letupan suara mesin diesel terdengar lantang, tak terdengar suara derik Jangkrik yang biasa kudengar. Sudah beberapa minggu tempatku mati lampu. Proses pembangunan listrik sedang berlangsung, sementara mesin PLTD yang biasa hidup sering eror. Jadi terpaksa orang rumah menghidupkan mesin diesel. Malam menjadi lebih larut, tak terlihat bintang. Sesekali terlihat kilat di langit. Benar saja, menjelang tengah malam hujan deras. Aku tidur lelap sampai pagi.

Bangun pagiku agak terlambat. Pukul 05.45WIB aku baru keluar dari kamar, dan menuju kamar mandi. Seusai sholat subuh kepagian, aku melongok ke dipan yang ada di luar dapur. Bapak sedang ngobrol bareng kakak perempuanku. Ternyata semalam waktu hujan, bapak berangkat mancing malam. Alhasil, beliau mendapatkan tujuh Cumi-cumi segar ditambah dengan beberapa ekor ikan. Aku bersorak gembira; ini artinya hari ini menunya adalah Cumi-cumi. Dimasak apapun kalau Cumi-cumi pasti nggak nolak.
Hasil tangkapan semalam *abaikan orang yang difoto
Hasil tangkapan semalam *abaikan orang yang difoto
Hasil tangkapan semalam *abaikan orang yang difoto
“Pak aku dipoto ya. Nanti pencet yang tombol ini ya,” Rengekku.

Anak macam apa aku ini? Bapak bukannya diajak foto bareng malah aku mintai tolong untuk memotretku bareng hasil pancingannya. Beliau tak merasa kesulitan mengabadikanku, dan tentunya hasilnya nggak kalah keren.

“Nanti ditumis saja Cuminya. Tapi kepalanya di masak hitam ya,” Usul bapak.

Aku langsung mengangguk setuju saja. Toh yang masak bukan aku, tapi mbakku dan ibu. Tugasku nanti adalah makan. Tak banyak kuketahui apa bumbu yang digunakan untuk membuat lauk Cumi-cumi ini jadi tumis kecap, dan Cumi Kuah Hitam. Aku juga tak tanya ke ibu mengenai bahan-bahan yang dibutuhkan. Yang kulalukan pagi ini adalah jogging dan pulang-pulang semua sudah siap saji.

“Cumi tumisnya di wajan yang di dapur. Kalau Cumi Hitamnya di atas kompor,” Terang ibu yang melihatku berjalan ke dapur.

“Iyek mak (Iya Bu)” Jawabku memakai bahasa Bugis.
Cumi Tumis Kecap buatan Ibu
Cumi Tumis Kecap buatan Ibu
Cumi Kuah Hitam buatan Ibu
Cumi Kuah Hitam buatan Ibu
Kuambil Cumi-cumi yang sudah dimasak. Pertama yang kuambil adalah Cumi Tumis Kecap. Cumi ini bahannya sama seperti saat kita membuat tumis, hanya saja lumuran kecapnya tak banyak. Sudah tentu menggoda selera. Sedangkan untuk Cumi Kuah Tinta ini lebih simpel bumbunya. Yang kurasakan saat menyicip kuah hitam (tinta Cumi-cumi) itu terasa irisan bawang merah dan aroma daun serai/sereh. Untuk diketahui saja, banyak orang sini bilang kalau Kepala Cumi-cumi itu paling enak dimasak Kuah Hitam. Oya, hitamnya kuah ini berasal dari tinta Cumi-cumi yang sengaja tidak dibuang.

Tak perlu berlama-lama, aku sudah siap sarapan pagi. Pagi ini sarapanku sangat menggoda. Sajian Cumi Tumis Kecap, Cumi Kuah Hitam, dan Ikan Bakar. Ini adalah menu yang paling spesial, terlebih makanan ini adalah masakan ibu. Masakan yang aku selalu kangeni selama di Jogja. Nikmat banget kan? Ada yang mau?
Banyak lauknya daripada nasinya
Banyak lauknya daripada nasinya
Tiap bulan Maret – Mei hampir dipastikan Karimunjawa sedang musim Cumi. Jadi jangan kaget kalau banyak nelayan yang mendapatkan banyak Cumi-cumi kala mereka memancing. Di sini harga Cumi-cumi segar perkilo seharga Rp.20.000 saja. Sangat murah kan? Baiklah, waktunya menikmati sarapan pagi. Ups lupa, dulu waktu teman-teman kuliah tahun 2011 ke Karimunjawa juga diberi menu Cumi-cumi. Kalau tidak salah teman-teman ke Karimunjawa bulan April 2011 *Sarapan menu Cumi-cumi ini pada hari Sabtu; 26 Maret 2016 saat sedang pulang ke Karimunjawa.
Baca juga kuliner lainnya 

Ikon-ikon Menarik Difoto Selama di Karimunjawa

$
0
0
Lupakan sejenak pantai, karena di Karimunjawa tak melulu tetang pantai. Ada tempat yang cukup menarik dikunjungi para wisatawan, tempat di mana para wisatawan dapat mengabadikan diri dengan berbagai gaya, membuat orang lain tahu kalau di sedang berada di Karimunjawa. tempat itu adalah bukit yang dekat dari Bukit Love dan Joko Tuo.”
Mengabadikan diri di Bukit Joko Tuo Karimunjawa
Mengabadikan diri di Bukit Joko Tuo Karimunjawa
Tempat selanjutnya yang akan aku kunjungi adalah bukit berisi ikon-ikon menarik yang berada di dukuh Jati Kerep, Karimunjawa. Lokasi tempat tersebut tidak jauh dari Karimunjawa, hanya berjarak sekitar 1.5 kilometer saja. Dari arah Pantai Annora, jalan Karimunjawa hampir semuanya sudah mulus, tapi jalan Legon Cikmas – Nyamplungan masih parah. Jalanan berlubang dan tak bisa dipilih harus kami libas memakai motor matic.

Sepanjang perjalanan sisi kiriku adalah perbukitan. Tepat di belakang rumah-rumah warga, di sana terlihat barisan bukit yang tak pernah kujamah. Barisan bukit (Gunung Gendero) memang terlihat gagah. Jangan pernah mengira jika Karimunjawa itu hanya daratan tak berbukit. Karena di sini ada perbukitan yang lumayan mencolok. Tak lebih dari 15 menit kami sampai di kawasan tersebut. Bukit ini satu tempat dengan tulisan Bukit LOVE. Dari tulisan LOVE ada jalan menuju atas, di sanalah tempat ikon-ikon menariknya. Portal kecil terbuka, kami menaiki motor sampai diparkiran.
Bukit Love Karimunjawa
Bukit Love Karimunjawa
Portal memasuki kawasan Joko Tuo Karimunjawa
Portal memasuki kawasan Joko Tuo Karimunjawa
Sudah ada satu motor di sini. Kulihat plat motor tersebut dari provinsi Jawa Timur. Sisi kanan sudah terbangun kios-kios yang menjajakan kaos Karimunjawa dan cinderamata lainnya. Bukit ini tak luas, ikon-ikonnya tersebar di beberapa tempat yang sedikit terjal. Tepat di belakang parkir sepeda motor, sebuah pohon besar diberi tempat semacam lorong/goa yang terbuat dari ranting-ranting diatur sedemikian rupa. Unik juga ya, ranting-ranting ini malah terlihat seperti goa di atas pohon. Di dalamnya juga cukup luas. Untuk menaiki tempat tersebut disediakan tangga. Hanya saja perlu kehati-hatian saat naik, tangga yang tersandar itu tak diikat. Jadi sedikit bergerak-gerak kala kalian naik ke sana.
Goa atau Rumah Pohon?
Goa atau Rumah Pohon?
Salah satu ikon yang sering kulihat di sosmed selama ini adalah tulisan Karimunjawa. Tulisan ini cukup sering terlihat dilinimasaku. Aku mengabadikan tulisan tersebut, bahkan aku sempat foto bareng di samping tulisan. Tak sedikit orang yang berfoto di sini, wisatawan ataupun warga setempat seperti aku. Bahkan ada beberapa foto yang mengabadikan tempat  dengan berpose menurutku norak. Mereka (orang yang berfoto) menaiki tulisan dan berdiri di atasnya. Memang kuat dan kokoh sih tulisan ini, tapi sepertinya tak perlu kita berfoto seperti itu. Cukuplah kita mengabadikan sewajarnya saja.
Tulisan Karimunjawa yang sering dijadikan tempat berfoto
Tulisan Karimunjawa yang sering dijadikan tempat berfoto
Meruntut sedikit tentang banyak ikon di sini. Bukit ini dalam tiga tahun terakhir memang sengaja dibuat sedemikian indah. Ada banyak ikon-ikon yang dibuat agar terlihat seperti taman. Bagus sekali konsepnya. Sewaktu aku masih sekolah di SMP; tempat ini merupakan salah satu jalur membelah perbukitan untuk menuju Legon Lele. Dulu, aku pernah berjalan ke Legon Lele lewat sini. Yang aku ketahui adalah di tengah-tengah perbukitan ada tower tinggi. Entah sekarang masih ada bangkainya atau sudah hilang diambil para perongsok.

Lokasi ini berdekatan dengan Bukit Joko Tuo; bukit yang bisa digunakan untuk trekking dan melihat tulang ikan besar. Joko Tuo; penamaan yang tak asing bagi orang Karimunjawa. Entah benar atau tidak, sedari kecil nama Joko Tuo identik dengan ikan besar. Atau waktu aku kecil membayangkan Joko Tuo adalah sosok ikan raksasa yang menunggu di perairan Karimunjawa. Tak kuketahui seperti apa bentuk ikannya, tapi setiap ada tulang-tulang/bangkai ikan besar yang hanyut sampai pantai, banyak orang bilang seperti ikan Joko Tuo. Tulang ikan pun besar, bahkan setiap ruasnya seperti putaran kipas angin duduk tulangnya. *Nanti kalau waktu masih banyak kukunjungi Bukit Joko Tuo yang hanya sepelemparan batu dari sini.

Di depanku sebuah hasil karya berbentuk Love menghadap ke pantai, warnanya yang meriah pun membuat salah satu ikon ini cukup bagus. Tak hanya itu saja, sebuah patung Ikan besar pun juga dibuat. Apa ini ikan Joko Tuo? Entahlah, ikan ini sih salah satu ikan karang kalau tidak salah. Ikan yang sering terperangkap di bubu nelayan (perangkap ikan terbuat dari kawat ataupun anyaman bambu). Menarik banget kan? Ayo kalau ke Karimunjawa sempatkan ke sini.
Ikon-ikon lain yang ada di bukit Joko Tuo Karimunjawa
Ikon-ikon lain yang ada di bukit Joko Tuo Karimunjawa
Ikon-ikon lain yang ada di bukit Joko Tuo Karimunjawa
“Dari mana mas?” Tanyaku pada dua orang yang duduk di kursi seraya memandang lautan lepas.

“Dari Madiun, mas. Lah mas sendiri?” Tanya salah satu dari mereka.

“Saya asli warga sini, mas.”

Kami berjabat tangan dan ngobrol santai. Kedua wisatawan dari Madiun ini sudah tiga hari di Karimunjawa, mereka tidak ikut paket wisata. Mereka cukup menikmati Karimunjawa dan menjelajah dengan kendaraan pribadi yang dibawa.
Wisatawan dari Madiun yang berbincang denganku
Wisatawan dari Madiun yang berbincang denganku
Bebatuan di bukit ini lumayan gersang. Aku harus mencari tempat untuk berteduh. Ada beberapa kursi yang dikonsep seperti taman. Dari sini dapat terlihat laut lepas. Bahkan dari sini kita bisa menyaksikan sunset. Sepertinya kalau aku balik ke Karimunjawa bulan Puasa besok mending berburu sunset di sini juga.

Seperti yang terlihat dari tulisan Love, di sini memang lebih tinggi dan tak terhalang banyak pepohonan. Pulau-pulau yang ada di barat Karimunjawa terlihat jelas. Atau kapal yang berlayar tak jauh dari perairan Karimunjawa juga dapat terlihat. Lautan berwarna biru, dan beberapa titik berwarna lebih gelap. Bisa jadi itu adalah tempat kumpulan karang (takak). Kulihat sisi kanan; deretan hijau hutan Mangrove Karimunjawa membuat mata takjub. Juga terlihat sedikit bukit kecil yang merupakan daratan. Sementara sisi kiri banyak rumah-rumah dan kapal bersandar. Itu adalah Pelabuhan Karimunjawa Lama. Pelabuhan yang dekat dari kantor Syahbandar; bukan Pelabuhan untuk sandar kapal Jepara – Karimunjawa. Dua tower menjulang tinggi, dan di seberang sana terlihat jelas juga Pulau Menjangan Besar. Salah satu pulau yang sering dikunjungi wisatawan selama di Karimunjawa.
Memandangan indah dari atas Bukit Joko Tuo
Memandangan indah dari atas Bukit Joko Tuo
Memandangan indah dari atas Bukit Joko Tuo
Aku tertarik mengabadikan diri di anyaman ranting mirip goa di atas pohon. Bergegas kunaiki tangganya, sedikit bergoyang; tapi tak masalah. Dari atas pohon, aku meminta Dedi memotretku. Cukuplah untuk dokumentasikan saja.

Hasilnya agak blur kak, diulangi ya?

“Nggak usah, yang penting kan ada dokumentasinya,” Jawabku seraya menuruni anak tangga yang terbuat dari batang kayu.
Lagi-lagi mengabadikan diri
Lagi-lagi mengabadikan diri
Bukit ini dalam beberapa waktu terakhir ini terus bersolek. Aku balik ke Jogja sudah ada ikon baru lagi di sini. Nanti aku tambahkan jika pulang ke Karimunjawa bulan Juli. Harapanku untuk tempat ini semoga lebih bagus lagi saat bersolek. Jika bis; setiap sudut ditanami bunga sehingga terlihat seperti taman. Dan juga pohon-pohon agar lebih teduh. Ya, tempat bukit ini didominasi bebatuan, tapi kemungkinan bisa ditanami bunga disisi-sisi yang potensial. Pastinya, aku tak sabar kembali ke sini bulan Juli 2016; duduk santai di kursi dan menunggu senja, mengabadikan sunset indah. Berharap tempat ini tetap terawat kebersihannya, dan bisa menjadi pilihan alternatif wisatawan untuk menikmati senja. *Kunjungan (Pulang) ke Karimunjawa pada hari Sabtu; 26 Maret 2016.
Baca juga perjalanan lainnya 

Watu Tekek: Spot Menarik untuk Berfoto di Kulon Progo

$
0
0
“Tak henti-hentinya perbukitan Menoreh menarik perhatian. Barisan bukit hijau membuat mata senang menatap jauh. Bahkan beberapa orang mempunyai ide menjadikan tempat tersebut sebagai ikon/tempat menarik untuk berfoto. Salah satunya adalah Watu Tekek. Tempat yang menarik dikunjungi untuk berfoto di atas gardu pandang kecil.”
Spot Watu Tekek di Kulon Progo
Spot Watu Tekek di Kulon Progo
Kendaraan berlalu-lalang membuat jalan solo padat merayap. Libur panjang pagi ini, aku tak ada rencana ke mana-mana. Namun ajakan teman sepeda (walau naik motor) menuju Watu Tekek di Kulon Progo membuatku segera bergegas. Pagi ini rencananya aku akan memotret destinasi Watu Tekek yang berada di Madigodo, Sidoharjo, Samigaluh, Kulon Progo. Motor yang kami naiki ikut merayap ikut merayap di tengah kemacetan sepanjang jalan menuju arah Godean. Tiga hari sebelumnya, aku dan mas Febri sudah berkomunikasi merencanakan ke sana. Tujuan ke sana adalah survei lokasi untuk bersepeda. Siapa tahu ke depannya bisa bersepeda ke arah sana dan bareng teman-teman yang lebih banyak.

Menurut Google Maps, lokasi yang aku kunjungi ini searah jalan menuju Suroloyo; puncak yang sudah banyak teman pesepeda kunjungi. Aku sudah mencatat rutenya, berharap nantinya tak nyasar. Rute pun tak sulit, dari arah Jogja motor melaju melewati Godean, beranjak melewati Sendangsono – nanjak arah Suroloyo. Tepat setelah Kedai Kopi pak Rohmat, ada pertigaan belok kiri (turun ke Watu Tekek) sementara naik ke atas menuju Suroloyo. Ada banya jalur untuk sampai ke sini. Intinya, jika kita ingin ke Suroloyo, hampir dipastikan lewat jalur ini.

“Bu, Watu Tekek itu di mana ya?” Aku bertanya pada seorang ibu yang jalan kaki memanggul kayu bakar.

“Ini mas, dekat sini. Nanti ketemu pertigaan belok kiri yang turun. Arah ke masjid.”

Benar sekali rute yang ibu berikan, ada plang petunjuk arah turun ke bawah. Jalan cor setiap sisi adalah rumah warga, rutenya memang masuk ke dalam gang. Jadi jangan kaget kalau nanti melewati halaman rumah warga dan mengarah ke dekat masjid. Seorang anak kecil mengarahkan kami agar pakir motor di atas. Di sana sudah ada dua motor yang terparkir.
Petunjuk arah ke Watu Tekek, Kulon Progo
Petunjuk arah ke Watu Tekek, Kulon Progo
Petunjuk arah ke Watu Tekek, Kulon Progo
“Rp.8.000 ya mas,” Seorang anak perempuan kecil menyodorkanku dua tiket masuk.

Setiap tiket bertuliskan (Masuk: Rp.3000 & Parkir Rp.2000). Karena kami hanya menggunakan satu motor, jadi membayar Rp.8000 saja. Kuambil dua tiket dan menyerahkan uang ke anak tersebut. Gapura kecil tepat di depanku, ini adalah jalan yang mengarahkanku ke atas. Aku segera menaiki jalan yang naik ke atas. Puluhan anak tangga terbuat dari tanah kujejaki sampai atas.

Nasib kurang mujur kualami, sampai di sini mendadak lensa kameraku yang 10-30mm error tak mau dipakai, sehingga aku terpaksa menggunakan yang 30-110mm. Padahal jika lensa tak error, sangat bagus untuk mengabadikan beberapa pemandangan di sini. Jadi selama di sini, aku fokus mengabadikan lokasinya saja. Pasrah saja, toh mau gimana lagi.

Di Watu Tekek ini ada beberapa tempat yang asyik untuk berfoto. Sebuah gardu pandang yang terpasang di pohon besar, bangunan kayu semacam tempat nongkrong dengan beberapa anak tangga, serta memanfaatkan tebing agak tinggi diberi gazebo. Untuk menaikinya aku harus menaiki anak tangga terbuat dari kayu. Selain itu juga ada tempat untuk bersantai seraya menikmati kopi. Ya, Bukit Menoreh ini ada banyak kopi yang ditanam.
Area Spot Watu Tekek Kulon Progo
Area Spot Watu Tekek Kulon Progo
Area Spot Watu Tekek Kulon Progo
Dari keseluruhan tempat ini, spot yang paling menarik untuk berfoto adalah gardu pandang. Di sini ikon pohon besar tak berdaun inilah yang menjadi terlihat bagus. Sehingga aku harus rela mengantri agak lama. Walau di sini hanya berenam, tapi keempat pengunjung yang sudah terlebih dulu datang ke sini belum puas berfoto. Aku sabar menunggu sambil mengabadikan tempat yang lainnya. Eits, aku baru sadar ternyata pohon ini tak berdaun karena kulit batangnya dikupas. Apakah ini sengaja? Mematikan pohon untuk gardu pandang? Aku tak paham tujuannya, tapi yang kutahu memang sengaja dikupas kulitnya. Semoga ke depannya pohon-pohon tersebut tak dimatikan. Hanya sebuah usulan saja.

Watu Tekek adalah menamaan yang cukup unik sebenarnya. Diruntut dari bahasa Jawa; Watu berarti Batu, sementara Tekek adalah Tokek. Menurut informasi yang aku terima, penamaan Watu Tekek ini karena tempat tersebut ada banyak Tokek. Percaya atau tidak, waktu aku ke sini dan duduk-duduk, dari arah belakang terdengar suara Tokek. Iseng-iseng aku hitung, suara tersebut 11 kali. Aku pun tertawa sendiri, sempat-sempatnya kuhitung suaranya.

Nah ini baru namanya Watu Tekek. Kan ada suara Tokek-nya,” Celetuh salah satu dari keempat remaja yang asyik berfoto.
Inilah gardu pandang Watu Tekek, Kulon Progo
Inilah gardu pandang Watu Tekek, Kulon Progo
Inilah gardu pandang Watu Tekek, Kulon Progo
Agak lama aku menunggu seraya mencoba lensa yang error. Ternyata hasilnya nihil, lensa benar-benar tak mau dibuka. Keempat remaja tersebut sudah pergi, tinggal kami berdua di sini. Aku mengabadikannya di gardu. Ya, masih disesali sebenarnya kenapa pohon ini dimatikan. Aku tak bertanya lebih banyak, karena yang jaga di sini hanya anak kecil saja. Untuk pemandangannya, tempat ini tak bisa melihat sunrise atau sunset, karena keduanya terhalang oleh bukit-bukit lain. Hanya saja, memang tujuan banyak orang ke sini untuk berfoto. Aku sendiri sengaja ke sini karena banyak orang yang mengupload di Instagram tapi masih sedikit yang menulisnya di blog. Bergantian dengan temanku, aku mengabadikan diri di sini. Tak lama kemudian, kami pun beranjak pulang.

“Ini mas kembaliannya Rp.2000,” Anak cewek tadi yang memberikan tiket masuk menyodorkan selembaran dua ribu padaku.

“Oh, terima kasih,” Aku baru ingat tadi menyodorkan uang Rp.10.000. Terima kasih buat adek yang menjaga tiket atas kembaliannya.
Berfoto di Spot Gardu Pandang Watu Tekek, Kulon Progo
Berfoto di Spot Gardu Pandang Watu Tekek, Kulon Progo
Berfoto di Spot Gardu Pandang Watu Tekek, Kulon Progo
Berfoto di Spot Gardu Pandang Watu Tekek, Kulon Progo
“Jadi kita lanjut ke mana?” Tanya temanku.

Dari sini aku dan temanku pun kebingungan mau ke mana. Kami hanya menyusuri jalanan turun, dan berhenti di tempat yang bertuliskan kedai kopi. Sepertinya akan ada ide di tempat ini, bisa jadi seraya minum Kopi terus ada ide tujuan selanjutnya. Yang pasti kami tak berniat naik ke Suroloya, kami memutus kan pergi ke tempat lain. Untuk ke Suroloyo, nanti kami datang naik sepeda (berharap dan berdoa kuat sepedaan ke sini). *Kunjungan ke Watu Tekek ini pada hari Jum’at; 06 Mei 2016.
Baca juga tulisan alam lainnya 

Berkunjung ke Pabrik Teh Wonosari Lawang, Malang

$
0
0
“Habis ini kita nanti langsung menuju pabrik teh yang di depan,” Ujar pemandu yang ada di Hotel Rolas.

Rombongan kami yang diajak keliling Kebun Teh pun berkumpul menjadi satu di depan lobi. Kami bercengkerama, ngobrol seru menceritakan bagaimana rasanya tidur semalam. Segala kelucuan pun terucap, namun topik kembang api menjadi hal yang paling seru. Aku hanya tertawa saja melihat mereka pada heboh.
Pabrik Teh Wonosari Lawang, Malang
Pabrik Teh Wonosari Lawang, Malang
“Aku kira semalam trafo listrik meledak,” Begitulah komentar-komentar yang terdengar pagi hari.

Seraya menunggu briefing pagi para petugas pabrik teh yang terlihat berdoa bersama berlanjut dengan sedikit arahan dari pimpinan. Kami mendengarkan keterangan dari pemandu. PT Perkebunan Nusantara XII mempunyai banyak perkebunan teh tersebar di Jawa Timur, salah satunya adalah yang ada di Lawang ini. Pertama kali kebun teh dibuka pada masa pemerintahan Belanda tahun 1901. Bahkan pohon teh yang pertama pun masih ada dis udut dekat kami kelilingi tadi pagi, di sana memang ada tulisan tahun 1901; serta di sampingnya pohon tinggi ternyata Teh. Tak sempat kuabadikan tadi, tapi aku melihat pohon itu menjulang tinggi.

Usai sudah briefing yang dilakukan para pegawai, kami pun diperbolehkan masuk. Di sana kami disuruh melepaskan alas kaki dan menggunakan sandal yang sudah disediakan. Sebuah anak tangga kunaiki, sampai akhirnya di depan pintu. Di depanku semacam besi untuk menggantungkan daun teh hasil petikan para pemetik yang nantinya akan ditimbang sebelum dijemur. Kuamati alat timbangan yang menganggur, dan berlanjut masuk ke dalam proses selanjutnya di dalam ruangan. Ruangan ini agak kurang terang, di depanku berjejer-jejer daun teh yang sudah dipetik dijemur agar kering.
Timbangan dan tempat penjemuran daun teh
Timbangan dan tempat penjemuran daun teh
Timbangan dan tempat penjemuran daun teh
“Berapa jam bu sampai nanti ini dilanjutkan ke proses selanjutnya?” Tanyaku pada ibu yang bertugas di sana.

“Delapan jam, mas.”

“Kalau musim hujan apa waktunya sama?” Tanyaku kembali memastikan.

“Sama mas. Kalau tidak diproses selanjutnya bakalan menumpuk. Apalagi setiap musim hujan biasanya pemetikan daun teh jauh lebih banyak daripada musim kemarau,” Jawab beliau dengan logat khas Jawa Timuran.

Puas aku melihat tempat penjemuran daun teh, masih di ruang yang sama terlihat seorang ibu yang sibuk memasukkan daun teh ke dalam penggilingan. Di sini daun teh yang sudah dijemur selama delapan jam kemudian digiling dengan mesin. Nantinya akan menguraikan daun menjadi lembut dan memisahkan dengan yang masih kasar. Dengan penuh ketelitian, tangan ibu ini cekatan membongkar daun-daun untuk dimasukkan ke dalam mesin. Di dalamnya terdapat semacam parut besar yang langsung menggiling dedaunan. Sementara diujung sana terdapat dua wadah yang berbeda, satu wadah untuk menampung hasil parutan yang lembut, dedangkan satunya adalah dipenuhi dedaunan yang belum sepenuhnya hancur terkena parutan. Nantinya yang masih terlihat seperti daun itu dikembalikan ke atas dan diparut kembali.
Mengurai daun teh yang akan dilebur
Mengurai daun teh yang akan dilebur
Mengurai daun teh yang akan dilebur
“Satu karung ini beratnya berapa kilo, ya bu?” Tanyaku lagi ke ibu yang bertugas menguraikan daun agar dapat terparut.

“Lebih 50kg, mas.”

“Kalau nyetor tiap pagi ya, bu?” Aku terus mengorek informasi.

“Nyetornya dalam satu hari dua kali, mas. Pukul 11 siang sama pukul 5 sore. Sekarang yang minat memetik daun sudah berkurang, mas. Rata-rata hanya ibu-ibu saja, pemudanya lebih suka kerja di pabrik/tukang di luar daerah daripada jadi buruh petik.”

“Kan kerja pabrikan jauh lebih besar gajinya daripada metik daun teh,” Lanjut ibu ini.

Lama aku berbicang dengan ibu ini, beliau sudah lama juga bekerja di sini. Aku pun meminta ijin pamit mengikuti rombongan yang naik ke lantai tiga. Mesin yang digunakan ada yang baru, tapi sebagian juga peninggalan masa Belanda. Memasuki pabrik Teh rasanya kita berada di gudang yang sedikit pengap dan bising oleh suara mesin. Ruangan ini terbuka semua, yang membedakan tiap lantainya hanya anak tangga serta jalan kecil saja. Sedangkan pandanganpun dapat melihat samai ujung lantai satu.

Tibalah aku pada ruangan yang menyediakan jenis sampel teh, mulai dari teh hijau sampai teh lainnya. Semua teh ini nantinya kalau sudah dikemas menggunakan nama Roollas; diambil dari angka XII pada pabrik teh tersebut. Sampel teh ada di dalam toples kecil yang berjejeran, di bawahnya tertera jenisnya. Selain itu aku melongok ke arah ruangan lain yang tertutup. Di sana ada beberapa orang yang bekerja seperti meracik teh.

“Kalau ruangan itu orangnya ngapain, pak?” Tanyaku pada pemandu.

“Oh, itu ruangan tester, mas. Jadi beliau yang di dalam bertugas mencoba teh di sini.”

“Boleh kami masuk?” Tanyaku lagi.

“Mohon maaf mas, untuk ruangan tersebut tidak sembarangan orang boleh masuk. Bahkan tidak semua orang juga yang diperbolehkan meracik teh di sini,” Jawabnya.
Berbagai jenis teh dan testernya
Berbagai jenis teh dan testernya
Berbagai jenis teh dan testernya
Candaan pun terlontar dari kami, kami pun bilang kalau kami juga bukan rombongan sembarangan sehingga kami mungkin bisa diperbolehkan untuk meracik teh sendiri. Hanya semacam intermezo pelipur saja. Tidak perlu ditanggapi dengan serius, cukup dengan tertawa bareng kala lontaran ucapan tersebut keluar dari sebagian besar lisan kami.

“Kita lanjut ke ruang sebelah, di sana nanti adalah gudang untuk menyimpan hasil teh yang sudah dikemas.”

Rupanya ruangan itu hanya di depan kami. Sebuah pintu kecil dibuka, dan di sana ruangannya luas di bawah. Kami hanya bisa melihat dari atas tangga saja. Tumpukan kemasan sebesar semen pun tertata rapi lengkap dengan nama dan sudah ditutupi menggunakan plastik. Ini adalah hasil teh yang nantinya diperjualbelikan oleh pihak pabrik ke dunia luar. Teh-teh tersebut sudah tembus daratan Asia, Eropa, dan Amerika. Jadi sudah benar-benar dikenal.
Teh siap diekspor ke Luar Negeri
Teh siap diekspor ke Luar Negeri
Teh siap diekspor ke Luar Negeri
“Jadi ruangan ini semua untuk menampung teh yang sudah dikemas, kemudian nanti kita akan bawa hasil kemasannya untuk dikirim ke luar negeri.”

Kami pun hanya mangut-mangut saja. Kunjungan ke pabrik teh selesai, pemandu mengantarkan kami ke luar pabrik dan mengenakan sandal masing-masing. Tujuan kali ini adalah bangunan yang ada di samping pabrik. Di sini kita dapat melihat hasil teh yang diperjualbelikan, ternyata tidak hanya teh; di sini juga dijual kopi.

“Di ruangan itu pegawai yang bertugas membuat kemasan tehnya,” Kata pemandu seraya menunjukkan pintu samping.

“Boleh masuk?”Tanyaku kembali.

“Tidak boleh, mas.” Jawab beliau tersenyum.
Melihat produk Teh Rolas
Melihat produk Teh Rolas
Tidak hilang akalku untuk mengabadikan orang-orang yang bertugas membuat kemasan teh. Aku keluar bangunan dan menuju jendela. Dari jendela terlihat jelas di dalam ada lima orang perempuan yang sedang bekerja. Aku pun memasukkan lensa kamera ke dalam salah satu jendela yang terbuka, lalu mengabadikan aktifitas beliau. Di dalam sana terdapat beberpa alat yang digunakan dalam proses mengemas. Aku hanya mengamati bagaimana kerjanya saja, kemudian berjalan kembali menuju ke dalam toko, melihat-lihat hasil dari pabrik Teh yang dijual.
Mengintip pekerja membungkus teh
Mengintip pekerja membungkus teh
Pada pajangan yang dijual, rata-rata harga teh dan kopinya adalah Rp.60.000 untuk ukuran sedang, sedangkan ada juga di sini yang menjual dalam bentuk toples seperti sampel yang kulihat saat di pabrik tadi. Aku hanya mengabadikan saja, kemudian berlalu keluar. Sementara teman rombongan pun ada yang membeli teh asli pabrik Rolas.
Produk Teh Rollass
Produk Teh Rollass
Produk Teh Rollass
Sebelum rombongan kembali ke dalam kamar, kami pun dikumpulkan kembali oleh pemandu. Kemdian pemandu membawa bungkusan yang berisi Teh Rolas. Ahaaa, teman-teman sudah membeli teh yang sama, eh malah ditambah dengan yang gratis. Beruntunglah aku yang tadi tidak beli akhirnya mendapatkan juga. Kalau yang lain mempunyai dua bungkus (satu beli dan satu gratis); aku cukup satu saja dan itu gratis. Terima kasih Pabrik Teh Rolas atas bingkisannya. Keliling pabrik teh selesai, aku kembali menuju kamar, sebelumnya aku menuju kamar teman minta pasta gigi (karena aku tidak membawa pasta gigi, hanya membawa sikat gigi saja). Di sini aku mandi, dingin banget; sama seperti di Kaliurang, pokoknya sejuk. *Kunjungan ke Pabrik Teh Wonosari Lawang, Malang ini pada hari Selasa, 29 Desember 2015.

Baca juga tulisan lainnya 

Gereja Burung Merpati Magelang Mulai Bersolek Kembali

$
0
0
“Film bisa membuat tempat yang dulunya hanya dibilang biasa menjadi luar biasa. Film bisa mengubah tempat yang dulunya sunyi menjadi ramai. Film bisa menjadi salah satu cara mempromosikan wisata dengan caranya sendiri. Karena film (selain sosmed), semua bisa berubah dengan secepatnya. Membuat orang-orang ingin berkunjung, mengabadikan dititik tertentu, dan berkata; aku sudah ke tempat itu.”
Gereja Burung Merpati, Magelang, Jawa Tengah
Gereja Burung Merpati, Magelang, Jawa Tengah
Sebenarnya mengunjungi Gereja Burung ini bukanlah termasuk rencana libur panjang. Sebelumnya aku hanya merencanakan selama empat hari libur kugunakan sepenuhnya bersepeda. Tapi rencana itu mendadak harus berubah karena ajakan teman berkunjung ke Menoreh; mengunjungi Watu Tekek dengan alasan survei lokasi yang nantinya akan kami kunjungi naik sepeda dilain waktu. Banyak orang menyebut Gereja Burung itu dengan sebutan Gereja Ayam. Tapi sebenarnya bentuk Gereja tersebut adalah Burung; ada yang bilang itu Burung Merpati.

“Pernah ke Gereja Ayam?” Celetuk temanku seraya menyeruput Kopi Jahe Menoreh di kedai Mbak Mar.

“Belum pernah. Dulu sepedaan hanya sampai Punthuk Setumbu saja. Katanya sih tempatnya tidak jauh dari sana,” Jawabku.

“Kita ke sana saja.”

Lontaran ajakan teman ini menjadi awal perjalanan ke  Gereja Burung. Ya, kami memang berada di dekat Puncak Suroloyo, hanya membutuhkan waktu tak lama sampai di Borobudur. Baiklah, toh aku hanya mbonceng, jadi aku manut saja. Menyusuri jalan alternatif ke Magelang, menyeberangi jembatan gantung, jalanan dekat Candi Mendut sampai Candi Borobudur macet. Beruntunglah sepeda motor dapat berjalan dengan agak tersendat. Tak seperti mobil yang harus rela berhenti lama, menunggu kemacetan dapat sedikit terurai.

“Lewat sini bisa mas, tapi nanti melewati sesek (jembatan kayu). Tapi kalau pengen lebih mudah, ambil yang tikungan itu ke kiri,” Kudengar baik-baik informasi dari seorang bapak di dekat sawah arah ke Punthuk Setumbu.

Sebenarnya ada beberapa jalan alternatif yang bisa dilalui menuju Gereja Burung; rute yang kulalui adalah Borobudur – Arah ke Punthuk Setumbu – Pertigaan sawah belok kiri (kalau lurus ke arah Setumbu) – Ikuti jalan mentok sampai jalan raya, ambil kiri – sebelum jembatan kecil belok kiri tepat ditulisan “Bukit Rhema” – Ikuti jalan sampai mentok.” Jalan kecil ini mengantarkan kami sampai di tempat parkir kendaraan. Kami berhenti di tempat parkir dan meminta karcis parkir. Lokasi Gereja Burung ini di Gombong, Kembanglimus, Borobudur, Magelang.
Berjalan menuju Gereja Burung Magelang
Berjalan menuju Gereja Burung Magelang
“Dua ribu parkirnya, mas. Bayar nanti saja kalau balik,” Terang pemuda tanggung padaku.

Menjelang siang ini sudah banyak kendaraan yang terparkir. Sementara itu dari arah atas sudah beberapa kali mobil Jeep naik-turun membawa penumpang. Mobil ini adalah jasa angkut bagi yang tidak ingin capek-capek jalan kaki ke atas. aku dan temanku jalan kaki menuju lokasi. Sesampai di sana, aku hanya duduk di bawah rindangnya pohon; kulihat sudah sangat ramai lokasi ini. Mereka berfoto di depan Gereja Burung.
Pengunjung ramai yang datang ke Gereja Burung Magelang
Pengunjung ramai yang datang ke Gereja Burung Magelang
Dari bawah sini aku dapat melihat antrinya orang masuk ke dalam. Aku sendiri masih berkutat mencoba memasang lensa 10-30mm yang sedang error, dengan harapan bisa terpasang dan mengabadikan tempat ini. Sayangnya, lensa tetap error sehingga aku harus memaksimalkan lensa 30-110mm untuk membidik objek dari jarak dekat. Hasilnya pun tak maksimal, aku gagal mengabadikan seutuhnya bentuk Gereja Burung ini. Tak apalah, toh masih bisa mengabadikannya.

“Kita masuk saja,” Ajak temanku yang ikut berdesakan diantrian masuk.
Inilah Gereja Burung Merpati Magelang yang sekarang sedang ramai dikunjungi
Inilah Gereja Burung Merpati Magelang yang sekarang sedang ramai dikunjungi
Inilah Gereja Burung Merpati Magelang yang sekarang sedang ramai dikunjungi
Baiklah, aku pun ikut antri. Sesampai di dalam tiap pengunjung yang ingin naik ke atas dikenai tiket Rp.5000/orang. Temanku menyodorkan uang Rp.10.000, setelah itu dia tak langsung naik tapi mengabadikan di dalam sini. Pada postingan orang-orang sebelumnya, di dinding ini ada banyak coretan (vandal), tapi sekarang hampir setiap sudut dinding tembok sudah bersih. Bangunan tahun 1989 ini kembali dipugar oleh beberapa pihak. Selama aku di sini, temboknya disemen kembali, dan dibuatkan tangga permanen. Di antara pengunjung yang bersesakan, terlihat lebih dari empat pekerja bangunan yang bekerja.

Tepat di atas, bukan yang laing puncak; kami sudah antri. Sebagian pengunjung antri tepat dibagian paruh burung. Dari sini terlihat orang yang ada di bawah. Untuk naik ke atas (jambul), dibatasi maksimal 10 orang. temanku sudah lebih dahulu naik, dia sangat antusias. Sementara aku sengaja membiarkan orang di belakangku untuk naik lebih dulu. Aku ingin mengorek informasi dari petugas yang mengatur antrian menuju paling atas.
Bagian ekor Gereja Burung Magelang
Bagian ekor Gereja Burung Magelang
“Pengunjung dalam beberapa minggu terakhir membludak, mas. Kalau perkiraanku lebih dari 100% jumlah dari jumlah pengunjung bulan-bulan sebelumnya.”

“Efek film AADC2 ini, mbak,” Celetukku tertawa.

“Bisa jadi mas. Mas guide ya? Kok tidak naik ke atas? Apa tamunya sudah naik?” Tanya mbak yang jaga.

“Wah nggak mbak, saya hanya menemani temanku yang sudah di atas. Dulu pernah mau ke sini tahun 2014, tapi nggak tahu jalan dan sendirian juga. Baru sekarang kesampaian,” Jawabku.

Geli juga dikira guide; usut punya usut, ternyata ada beberapa agen travel yang mulai menyertakan tour mengunjungi spot-spot yang ada di film AADC2. Salah satu spot yang paling digandrungi adalah Gereja Merpati ini, terlebih mereka ingin berfoto tepat dipaling atas. Dari mbak-mbak ini juga aku mendapatkan informasi jika Gereja Burung ini memang dalam proses pemugaran. Rencananya akan dibuat semacam galeri lukisan. Konsepnya mungkin seperti Rumah Kamera yang ada tak jauh dari sini. Destinasi yang sempat kukunjungi naik sepeda tahun lalu.

“Empat orang boleh naik!” Teriak mbak yang jaga antrian.

Aku bergegas naik ke atas melalui tangga yang lumayan tegak. Tangga ini mengingatkanku saat naik keMercusuar di Pantai Bantul. Di atas cukup sesak, tepat sekecil ini disesaik 11 orang. Sepuluh pengunjung plus satu petugas. Aku melihat sekelilingku, perbukitan Menoreh cukup rimbun, dan menyenangkan. Sayangnya terik siang ini membuatku ingin secepatnya kembali turun. Sementara temanku dan yang lainnya asyik berfoto menggunakan Tongsis masing-masing. Aku sekali mengabadikan tempat untuk memandang Gereja Burung ini, kalau diruntut itu adalah sebelah lain dari Punthuk Setumbu. Sepertinya asyik ke sana, melihat Gereja Burung dan Candi Borobudur. Tak lebih dari 5 menit, aku bergegas turun ke bawah.
Salah satu sudut dari arah jalur Punthuk Setumbu
Salah satu sudut dari arah jalur Punthuk Setumbu
Jarum jam tepat pukul 11.00WIB, aku masih menunggu temanku yang berada di dalam Gereja Burung. Aku sendiri sudah asyik duduk di bawah pepohonan, sesekali menerima permintaan pengunjung yang ingin berfoto bareng menggunakan kamera mereka. Kayaknya buka jasa foto laku di sini (batinku). Tak lama berselang, temanku turun. Kami pun menuju area tempat parkir. Dari sini terdengar suara rekaman Qiroah dari salah satu masjid. Ya, ini hari jum’at, jadi kami pun harus bergegas menuju masjid. Dekat tempat parkir, kulihat seorang bapak menggunakan peci dan sarung, pasti beliau ingin ke masjid.

“Pak, masjid terdekat sini mana ya?” Tanyaku seraya menjabat tangan beliau.

“Itu mas, perempatan kecil itu nanti belok kanan. Dekat kok,” Jawab beliau mengarahkan.

Bergegas aku dan temanku menuju masjid tersebut. Sebuah masjid yang sedang dalam proses renovasi, kami memarkirkan kendaraan tepat di depan rumah warga (samping masjid). Empu rumah tak kalah ramah, kami dipersilakan masuk dan menitipkan tas di dalam rumah. Di sini juga aku dan temanku ganti pakaian (temanku membawa baju koko), dan aku membawa sarung. Tanpa terasa kami berdua sudah berada d dalam masjid, menikmati suasana sholat jum’at di kawasan Magelang; serta mendengarkan ceramah menggunakan bahasa Jawa Kromo Inggil. *Kunjungan ke Gereja Burung Magelang pada hari Jum’at; 06 Mei 2016.

Baca juga perjalanan lainnya 

Menepi Sesaat di Air Terjun Kembang Soka Kulon Progo

$
0
0
Baru kali ini aku menginjakkan kaki di Air Terjun Kembang Soka bareng dengan teman. Aku kira kami sama-sama baru kali pertama berkunjung ke sini. Tapi ternyata tidak, ada salah satu temanku yang sudah pernah ke sini jauh sebelumnya. Bahkan dia paham dengan seluk-beluk mengenai jalur masuk ke sini, titian bambu (jembatan bambu); dan tentunya sebuah kenangan yang hanya disimpan, tak pernah tuntas diceritakan.”
Air Terjun Kembangsoka/Mbangsoka Kulon Progo
Air Terjun Kembangsoka/Mbangsoka Kulon Progo
Bisa jadi aliran mata air dari Sungai Mudal mengalir sampai ke bawah. Menelusup di antara dataran rendah membentuk sungai mengalir jauh sampai pada batasnya. Perbukitan Menoreh yang kami kunjungi kali ini tak hanya mengenalkan alamnya dengan jernihnya Sungai Mudal saja. Tepat satu arah ke bawah, ternyata juga kami temui Air Terjun Kembang Soka, dan tempat yang tak kalah ngehits tahun ini Kedung Pedut. Dua tempat yang sudah lebih dikenal oleh wisatawan daripada Sungai Mudal.

Rombonganku pun berhenti di depan gerbang masuk yang bertuliskan “Air Terjun Kembang Soka”. Tak ketinggalan alamat lokasi terpampang di sana, Gunung Kelir, Jatimulyo, Girimulyo, Kulon Progo. Gapura yang di sampingnya terdapat pos kecil dihuni bapak-bapak mengatur jalan. Mereka sibuk mengatur lalu-lalang wisatawan yang ingin masuk dan keluar dari arah bawah (parkiran). Kami langsung mengarahkan kendaraan ke bawah, jalan turunan yang luamyan curam tapi tak panjang. Di sana sudah ada banyak sepeda motor yang berjejer. Malah, di pondokan (rumah) dekat tempat pembelian tiket sudah ada rombongan seperti habis outbond.

Sebuah pokso kecil tempat membayar tiket masuk tak ramai, aku dan rombongan bergegas menuju tempat tersebut. Temanku langsung menyodorkan uang, kulihat di kertas tiket masuk seharga Rp.3000. Setelah itu rombonganku menapaki jalan tanah menuju air terjun.

“Lumayan jauh loh tempatnya,” Seloroh Temanku yang membayar tiket.

Aku tertawa mendengar selorohannya, dalam batinku pasti dia sedang bercanda. Toh dia tak pernah ke sini. Tapi temanku terus bicara semacam merancau, dia bilang nanti melewati Jembatan Bambu dan lainnya. Masih kuanggap angin lalu, sampai akhirnya di depanku sebuah jalan dua arah. Satu bisa melewati jembatan, satunya menyusuri tepian tanah setapak. Benar juga apa yang dikatakan tadi. Aku keheranan sendiri.
Jalan menuju Air Terjun Kembang Soka Kulon progo
Jalan menuju Air Terjun Kembang Soka Kulon Progo
Tepat di ujung Jembatan Bambu, sisi kiri bawah terdapat aliran curug lumayan deras. Aku menuruni jalan setapak menuju arah aliran air. Dari sini kulihat air ini mengalir sampai jauh ke sana. Dari kejauhan di bawah terdapat semacam kolam yang digunakan berenang. Kolamnya mirip yang ada di Curug Mudal. Dari atas terlihat jelas ada banyak titian jembatan bambu yang dibuat, hampir setiap jembatan saling terhubung.

Aku mengabadikan air terjun pertama Kembang Soka, lalu teman-teman pun bergantian minta difoto. Mereka bergantian berdiri di sebuah batu yang berada tak jauh dari Air Terjun Kembang Soka yang pertama.

“Beruntunglah, kita ke sini pas deras airnya,”Celetuk temanku lagi.
Air terjun pertama di kawasan Kemabang Soka
Air terjun pertama di kawasan Kemabang Soka
Dari sini, aku mulai berpikir kalau dia pasti pernah ke sini. Tapi kapan? Padahal sejarahnya kalau dia main-main itu hampir 98% bareng kami. Sebuah pertanyaan kecil menghinggapi pikiranku. Tak hanya aku, beberapa teman lain pun memberi isyarat padaku, kalau mereka juga merasa keheranan.

Kuikuti jalanan yang sebagian besar terbuat dari bambu. Di sini sudah ramai. Ada banyak tempat gazebo dipenuhi wisawatan. Maklum, akhir pekan seperti ini, tempat mana pun pasti menjadi ramai(walau tempat ini tak terlalu ramai menurutku). Beberapa titik terdapat kios yang berjualan air mineral. Aku terus berjalan seraya melihat arah aliran air. Mataku tertuju pada air terjun yang jauh lebih besar di bawah. Namun untuk sementara waktu aku tahan tak ke sana. Di bawah guyuran air terjun sudah ada lebih dari empat orang bermain air dan memotret. Kutunggu mereka sampai puas, sementara temanku menyebar entah ke mana. Bisa jadi mereka pun mengabadikan diri dengan kamera ponsel masing-masing.
Pemandangan dari atas (jalan masuk menuju Air Terjun Kemabang Soka)
Pemandangan dari atas (jalan masuk menuju Air Terjun Kemabang Soka)
Tak lama kemudian orang-orang yang berfoto sambil berguyur air terjun pindah. Aku langsung mengabadikan tempat ini selama masih sepi. Tah hanya itu, kupasang tripod tepat di aliran air dan mengabadikan diriku sendiri. Agak riskan sebenarnya, jika alirannya lebih deras lagi; tak ayal tripodku bakan jatuh dan kamera hanyut terbawa aliran air. Air terjun Kembang Soka memang sudah dikelola lebih baik daripada Curug Mudal yang baru berbenah. Dimulai dari akses jalan, sampai konsep di Air Terjun sudah bagus. Titik-titik yang strategis untuk duduk diberi kursi kayu, serta pepohonan menyokong tempat ini menjadi teduh. Di sini ada beberapa curug, tapi yang sekarang di depanku adalah yang paling besar dan deras.
Air Terjun Kembang Soka, ini yang paling besar dan deras
Air Terjun Kembang Soka, ini yang paling besar dan deras
Air Terjun Kembang Soka, ini yang paling besar dan deras
Aku tertarik pada tempat pemandian (kolam) yang ada di bawah. Di sini ada beberapa orang sedang asyik berenang. Tak lupa mereka mengenakan pelampung (ban dalam mobi) yang dapat disewa. Dari warnanya yang biru, dipastikan kolam alami ini cukup dalam. Jadi kalian yang tak bisa berenang amat sangat diwajibkan menggunakan pelampung. Tepat di sekeliling kolam yang dipakai untuk berenang, terdapat jalan titian bambu. Ada semacam tempat untuk melompat, tak tinggi sih; hanya saja cukup lah untuk orang/pengunjung yang ingin bervariasi melompat dan menyeburkan diri ke dalam kolam alami ini. Hiruk-pikuk empat cewek berteriak sepuasnya terdengar ditelingaku. Sementara teman yang lainnya duduk seraya mengabadikan dengan sebuah kamera.

Air Terjun Kembang Soka memang lebih ramai daripada Curug Mudal, tapi keramaiannya kali ini masih sewajarnya; bahkan terlihat tak ramai. Bisa jadi sebagian besar sudah terlebih dahulu naik dan istirahat di rumah (pondokan) dekat area parkir. Untuk beberapa saat, aku dapat menikmati suara gemericik aliran air, sesekali teriakan cewek yang melepaskan beban saat akhir pekan, dan sesekali suara jebretan kamera. Aku benar-benar menikmati walau tak ikut merendamkan badan di dalam air. Teman-teman yang lainnya pun sama, mereka hanya duduk manis, bersantai, dan menikmati akhir pekan.
Pemandian di Air Terjun Kembang Soka, Kulon Progo
Pemandian di Air Terjun Kembang Soka, Kulon Progo
Pemandian di Air Terjun Kembang Soka, Kulon Progo
Menuju tempat yang di atas lagi, arah jalan keluar/pulang; terdapat sebuah Air Terjun juga yang tak terlalu tinggi dan lumayan deras. Jika kuruntut dari atas, ini adalah air terjun ketiga di satu kawasan Air Terjun Kembang Soka.

“Aku foto dari sana ya,” Teriak Charis ke arahku.

Charis sudah berdiri gagah di jembatan bambu, di belakangnya berlatarkan air terjun yang ketiga. Sementara aku dari bawah dekat tempat pemandian pun membidiknya. Ya, walau hasilnya tak maksimal tapi cukuplah untuk dijadikan dokumentasi. Toh kami ke sini juga atas idenya dia yang merencanakan dari awal. Cukup lama kami bersanta di sini, kemudian sepakat meninggalkan Air Terjun Kembang Soka.
Charis, teman yang mengajak main ke sini
Charis, teman yang mengajak main ke sini
Memang kami tak bermain air layaknya di Curug Mudal, karena kami sudah puas mandi air di sana. Toh teman-teman males ganti baju lagi. Jadi kami ke sini murni ingin menuntaskan penasaran bagaimana indahnya Air Terjun Kembang Soka. Ya, air terjun ini bisa dijadikan tujuan wisata bagi kalian yang menuju Kulon Progo (khususnya Perbukitan Menoreh). Air Terjun Kembang Soka lebih sepi dari pada sampingnya (Kedung Pedut) yang sangat digandrungi oleh wisatawan. Kami menuju tempat parkir dari jalan yang berbeda sesuai araha Aripin. Teman yang sedari tadi kukirah hanya berseloroh dan merancau saja. Satu penggal kalimat yang kuingat sampai sekarang adalah “Kapan kita Ngojay lagi?”
Ini air terjun yang ketiga, dekat pintu keluar
Ini air terjun yang ketiga, dekat pintu keluar
Ngojai/ngojayadalah bahasa Sunda, jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia artinya “Renang”. Jika dia bilang ngojai itu artinya kode buat main-main akhir pekan. Sedikit tenaga terkuras menapai jalan setapak yang agak tinggi. Dari atas kembali terlihat air terjun Kembang Soka. Air terjun ini terlihat lebih indah dari sudut yang berbeda. Aku pun mengabadikannya sekali, sebagai salam perpisahan pada akhir pekan ini.

Bagaimana dengan cerita teman yang sudah ke sini lebih dulu? Ya Aripin ternyata sudah pernah ke sini beberapa tahun silam. Bisa jadi tempat ini menjadi kenangan tersendiri, karena ada beberapa sudut yang dapat ia ceritakan secara detail, tapi di sudut lain dia hanya mengatakan sebuah kiasan. Entahlah, sebuah cerita yang tersimpan di Air Terjun Kembang Soka. Ups, jangan sampai lupa, jika ke sini ada baiknya pada musim penghujan; karena hampir sebagian besar air terjun di Kulon Progo adalah air terjun musiman. Sehingga dapat mengantisipasi saat berkunjung pada waktu yang tak tepat.

Rombongaku yang berjumlah tiga motor menyusuri likuan dan menuruni perbukitan Menoreh. Hanya sekian menit kami sampai depan pintu masuk Kedung Pedut, sangat ramai kendaraan yang berjejeran antri masuk. Kami tidak ikut antir masuk, melainkan parker di dekat sebuah masjid kecil depan pintu masuk. Di sini kami secara gantian sholat dhuhur. Selesai sholat, perjalanan pulang kami lanjutkan; melewati jalan sampai ke Clereng (mengingatkanku saat bersepeda menuju Kalibiru) – Sentolo – Jogja. Untuk kesekian kalinya kami menyempatkan main bersama, meluangkan waktu untuk kumpul bersama teman.*Kunjungan ke Air Terjun Kembang Soka, Kulon Progo pada hari Minggu; 20 Maret 2016.
Baca juga tulisan alam lainnya 

Segelas Kopi Hangat di Perbukitan Menoreh

$
0
0
“Hampir sebagian besar masyarakat Indonesia pasti menyukai Kopi. Dalam segala situasi; Kopi menjadi teman terbaik bagi mereka yang ingin bercerita panjang semalaman, mengusir rasa dingin kala di puncak pegunungan, bermain gitar bareng teman di kos, atau kumpul santai dengan mitra di kafe. Kopi layaknya minuman yang wajib dihidangkan, ketika kita sedang terbelenggu rasa mentok tak bisa mendapatkan ide.”
Menikmati Kopi di perbukitan Menoreh, Kulon Progo
Menikmati Kopi di perbukitan Menoreh, Kulon Progo
Sebelum sampai ke Gardu Pandang Watu Tekek, kami melewati ruas jalan yang dipenuhi Kedai Kopi. Salah satu kedai Kopi yang sudah dikenal tentunya Kedai Kopi Pak Rohmat yang ada di Menoreh. Namun, sepulang dari Watu Tekek; kami tak mampir di sana. Aku iseng memilih Kedai Kopi yang bertuliskan “Warung Kopi Mbak Mar”, hanya beberapa meter saja dari tempatnya Pak Rohmat. Kedai kopi ini berada di Madigondo, Sidoharja, Samigaluh, Kulon Progo.

Motor kami arahkan ke jalan menuju warung Kopi Mbak Mar. Pagi ini cukup lengang, tak kulihat aktifitas orang dari depan rumah. Aku bergegas mengetuk pintu samping rumah. Selang berapa menit, seorang ibu keluar dari sisi kiriku; beliau menyapaku dengan ramah.

“Sudah buka bu?” Tanyaku lebih dulu.

“Sudah mas. Silakan ke dalam dan pilih kopi yang akan dipesan.”
Warung Kopi Mbak Mar di Kulon Progo
Warung Kopi Mbak Mar di Kulon Progo
Warung Kopi Mbak Mar di Kulon Progo
Kami berdua mengikuti ibu masuk ke dalam warungnya. Ini adalah kedai kopi beliau, seraya mencari jenis kopi yang ingin dipesan, aku sedikit mengorek informasi mengenai tempat ini. ibu Marwiyah, itulah nama beliau yang sehari-hari dipanggil dengan nama “Mbak Mar”. Beliau membuka warung Kopi ini pada tahun 2007. Tepat di dinding terdapat banyak foto yang dipajang, salah satu yang kukenal adalah Bupati Kulon Progo. Aku pernah bersua dengan beliau (Bupati Kulon Progo) kala mengisi seminar terbuka di Fakultas Kedokteran UGM Tahun 2015.

Sebuah kertas yang sudah dilaminating ada di depanku. Kulihat menunya, ada beberapa menu yang tersedia di sana lengkap dengan harganya. Kopi Moka Robusta, Kopi Ceng Robusta, Kopi Arabika, Kopi Jahe Menoreh, dan Kopi Luwak Robusta.
Menu Kopi di Warung Kopi Mbak Mar
Menu Kopi di Warung Kopi Mbak Mar
“Kopi Jahe Menoreh dua bu,” Ujarku ke arah Bu Mar.

“Baik mas.”

Beruntunglah, aku diperbolehkan masuk ke dalam rumah Bu Mar. Di belakang rumah sudah ada seorang perempuan lebih muda sedang menyangrai Kopi. Menggunakan alat seperti tabung, alat penyangrai (roaster) ini terbuat dari stainless. Tangan beliau memutar terus pegangan alat untuk menyangrai seraya menahan hawa panas.

“Berapa lama proses sangrai kopinya, bu?”

“Satu jam mas. Ini kerja target jadi pakainya stainless, biasanya kalau mau lebih baik pakainya periuk.”
Proses sangrai kopi di tempat mbak Mar
Proses sangrai kopi di tempat mbak Mar
Dari sini aku menjadi lebih tahu jika Kopi ini didapatkan dari kebun petani setempat. Di Kulon Progo ada banyak petani Kopi. Mereka nanti menyetorkan hasilnya ke Koperasai atau menunggu pembeli dari luar. Untuk kawasan perbukitan Menoreh, Kopi Moka menjadi kopi khasnya. Jika ingin membeli yang premium harganya mahal, sekitar 130 ribu.
Kopi Moka Menorh Kulon Progo
Kopi Moka Menorh Kulon Progo
Aku masih mengikuti Bu Mar yang memasak air untuk dua gelas Kopi Jahe Menoreh yang kami pesan. Perlu diketahui, Kopi Jahe Menoreh ini sajiannya tidak Kopi lalu dicelupkan jahe ketika sedang disajikan. Tapi jahenya sudah dijadikan satu bersamaan waktu menyangrai Kopi.

“Ukurannya jelas mas. kalau Kopinya itu 1 kg yang disangrai. Jahenya harus 3 ons, jadi tidak asal mencampurkan. Biar rasanya tetap ada dan tidak berlebihan.”

Cekatan sekali Bu Mar merancik Kopi. Aku terus berbincang selama beliau membuatkan dua gelas kopi. Seperti orang kampung semestinya, kopi yang dibuat tak menggunakan alat-alat modern. Cukup air panas, penyaring, dan Kopi. Selesai membuatkan kopi, beliau melangkah keluar. Ke arah warung/kedai tempat untuk menikmati kopi panas di sini. Hawa dingin menoreh cukup terasa ketika masih pagi, tapi kehangatan kopi kurasa bakalan mengusir rasa dingin. Yang ada hanyalah rasa sejuk dan menghirup udara yang masih bersih.
Mbak Mar sedang menyaring ampas kopi
Mbak Mar sedang menyaring ampas kopi
“Silakan diminum kopinya mas. Kalau terasa terlalu pahit, itu di toples ada gula. Gula pasir dan Gula Jawa (gula merah).”

Dua buah toples transparan ini ternyata berisi gula. Satu gula pasir, dan satunya yang berwarna lebih gelap adalah gula jawa yang digerus. Jika kalian tidak terlalu suka kopi pahit, kalian bisa menambahkan gula agar terasa lebih manis. Tapi bagi pecinta kopi, aku rasa sudah terbiasa dengan pahitnya kopi. Karena di sanalah kita bisa merasakan kopi itu sebenarnya.
Sudah siap menikmati kopi di perbukitan Menoreh
Sudah siap menikmati kopi di perbukitan Menoreh
Dua gelas kopi panas sudah di depanku, asap mengepul tanda kopi masih sangat panas. Tak apalah, aku mulai menyeruput Kopi tersebut. Kulihat raut wajah teman yang memang tak suka kopi pahit. Dia mengaku kalah, dan harus menuangkan gula agar bisa dinikmatinya. Pagi ini aku menikmati cita rasa pahitnya Kopi Menoreh. Benar-benar nikmat, suasana yang sunyi dan sejuk ditambah kopi panas. Bisa jadi akan banyak orang yang mengatakan “Nikmat mana yang kau dustakan.” Ahhh, sebuah kalimat yang sering dilontarkan orang-orang kala sedang bersyukur.

Bu Mar ikut bergabung dengan kami, beliau cerita banyak bagaimana pertama kali membangun kedai kopi sampai sekarang. Kedai kopi memang sudah lumayan banyak di perbukitan Menoreh. Suatu pangsa pasar yang menjanjikan. Di tempat yang sejuk, dan jalur menuju Puncak Suroloyo; Kedai Kopi menjadi tempat yang pas saat wisatawan ingin rehat sejenak.

“Kalau akhir pekan, biasanya pengunjung itu 20an mas,” Tutur Bu Mar.
Mari kita minum kopi
Mari kita minum kopi
Foto bareng pemilik warung kopi Bu Mar
Foto bareng pemilik warung kopi Bu Mar
Obrolan pagi ditemani kopi membuat aku betah berlama-lama di sini. Tapi kami sadar, masih ada beberapa tempat yang harus kukunjungi. Benar saja, ide itu muncul kala kopi sudah mengenai lidah. Dari sini kami akan menuju tempat yang kembali bergeliat ramainya pengunjung. Tempat yang pernah sedikit terlupakan, namun kali ini menjadi salah satu destinasi yang wajid dikunjungi bagai orang-orang yang sudah menonton film Ada Apa Dengan Cinta II. Ahhh, walau lensa kamera kit satu rusak, tak apalah; cukup ikut datang dan mengabadikan seadanya saja nanti. Oya, jika kalian berkunjung ke Puncak Suroloyo; ada baiknya menyempatkan singgah di kedai kopi perbukitan Menoreh. Selain bisa menikmati pahitnya kopi, kalian juga akan merasakan keramahan warga setempat. *Kunjungan ke Kedai Kopi Mbak Mar di Perbukitan Menoreh pada hari Jum’at; 06 Mei 2016.
Baca juga tulisan kuliner lainnya 

Mereka yang Berlibur di Karimunjawa

$
0
0
“Ada yang bilang, mengabadikan diri di suatu tempat adalah hal yang mutlak dilakukan. Terlepas apakah mereka hanya berniat selfie, atau memang sebagai bukti kalau mereka sudah pernah singgah/mengunjungi tempat tersebut. Tak ada yang salah, selama apa yang mereka lakukan tak menyalahi aturan. Ya, abadikanlah dirimu di tempat-tempat yang kamu kunjungi; maka suatu saat dokumentasi itu berharga, penuh makna disertai cerita panjang.”
Selfie di Gapura Karimunjawa
Selfie di Gapura Pelabuhan Karimunjawa
Suatu ketika, aku pernah duduk termangu menatap lautan. Bersandarkan dinding bangunan usang, aku terus menatap ke arah laut lepas. Berharap pandanganku menemukan titik kecil yang ada di ujung samudra, dan lambat laun menjadi besar; terlihat jelas bentuknya. Kapal penyeberangan Jepara – Karimunjawa, itulah alasannya kenapa aku masih menunggu di sini. Sebuah penantian yang cukup unik sebenarnya, aku tidak sedang menantikan seseorang turun dari kapal, lalu dia mencari-cariku dan tersenyum ketika menatapku. Aku hanya ingin melihat kapal sandar saja, melihat keriuhan para wisatawan yang menjejakkan kaki di Karimunjawa untuk kali pertama. Melihat ekspresi mereka ketika kapal sudah sandar, dan tentunya mengabadikan wajah-wajah bahagia setelah 2 jam mengarungi utara laut Jawa. Raut wajah yang menunjukkan rasa capek serta bahagia.

“Kapalnya sudah telihat, kak!” Seru adik sepupuku.

Aku sedikit terkejut, buyar semua yang ada dalam lamunanku. Bergegas kuambil kamera dan mengabadikan dari kejauhan. Ya, inilah kapal cepat Bahari yang rutenya Jepara – Karimunjawa yang kutunggu sedari tadi. Seperti yang kukatakan dari awal, kapal itu mulanya terlihat laksana titik kecil di tengah bahtera, lalu membesar, and terlihat jelas bentuknya. Tak lama berselang, kapal bersandar di dermaga kecil. Tempat yang hanya beberapa mete saja dari sandaran Kapal Siginjai.
Kapal Cepat Penyeberangan Jepara - Karimunjawa
Kapal Cepat Penyeberangan Jepara - Karimunjawa
“Satu-satu keluarnya, mohon yang di belakang jangan mendorong!!” Seperti itulah suara ABK Kapal seraya menertibkan penumpang yang keluar.

Hilir-mudik para penumpang turun sedikit berdesakan. Pintu kecil sisi kanan kapal hanya bisa dilewati satu-persatu penumpang. Lebih dari 300 penumpang harus bersabar turun. Sebagian dari mereka masih asyik menunggu di dalam kapal, tapi sebagian lagi sudah berdiri antri di arah pintu sebelum kapal sandar. Aku dulu pun melakukan hal yang sama, sambil menggendong ransel berukuran sedang, aku ikut jejer antri (kala menaiki kapal). Kali ini aku membidik wisatawan yang berasal dari manca. Sesekali kuabadikan mereka yang tak luput dari pandanganku.
Salah satu wisatawan manca yang ke Karimunjawa
Salah satu wisatawan manca yang ke Karimunjawa
Salah satu wisatawan manca yang ke Karimunjawa
Salah satu wisatawan manca yang ke Karimunjawa
Para wisatawan manca ini beragam. Ada yang datang sendirian, berdua, bahkan berombongan lebih dari tiga orang. Bawaannya pun tak kalah banyak; yang sepasang mereka memanggul dua ransel besar, ditambah tas kecil di depan; mereka yang berombongan ada yang menggeret koper. Mereka langsung mengikuti arah dermaga ke terminal pelabuhan. Namun, di antaranya malah berhenti tepat di pinggiran jembatan. Mata mereka menatap ke bawah, bisa jadi mereka takjub akan kejernihan laut Karimunjawa.

Tak kuabadikan bagaimana air di Pelabuhan Karimunjawa ini; tapi aku masih ingat jelas tepat di tempat ketiga bule itu berhenti dan menatap ke bawah. Pandangannya tentu tertuju pada sedikit terumbu karang dan dikelilingi Bulu Babi. Sementara di bagian permukaan air laut ada banyak ikan-ikan kecil yang hidupnya bergerombolan. Ya, seperti itulah kenyataannya. Apabila mereka menatap di sisi kiri. Di sana akan terlihat pelabuhan lama Karimunjawa; tempat yang sekarang digunakan warga setempat untuk melabuhkan kapalnya.
Wisatawan Manca melihat ke bawah jembatan
Wisatawan Manca melihat ke bawah jembatan
Aku masih saja asyik mengabadikan dari balik pagar besi. Tak kuhiraukan teriknya matahari siang ini. Kulihat adik sepupuku pun masih asyik duduk di salah satu kursi seraya memainkan hp. Aku yakin dia pasti sedang memainkan COC; cara yang tepat baginya daripada suntuk tak ada kerjaan karena hanya menungguku. Sesekali aku melemparkan pandangan ke arah gapura. Biasanya, tempat itulah yang sudah pasti ramai digunakan para wisatawan untuk mengabadikan diri. Jalan di gapura itu masih sangat ramai, sesak; sehingga sulit bagiku mengabadikan mereka yang berbondong-bondong mengabadikan diri.

Jika wisatawan bule lebih tertarik melihat laut di bawah pelabuhan, atau mereka langsung jalan kaki menuju penginapan yang dituju. Berbeda dengan wisatawan lokal. Mereka berbondong-bondong antri berfoto di bawah tulisan “Selamat Datang di Karimunjawa”. Setiap sudut jalan mendadak sesak dipenuhi mereka yang ingin berfoto. Tak jarang kendaraan yang ingin keluar dari area pelabuhan harus tersendat, becak-becak yang berlalu-lalang pun membunyikan belnya untuk meminta para wisatawan memberi sedikit jalan.

Tongsis menjadi barang yang sangat dibutuhkan kala di bawah gapura. Dari sudut manapun yang penting terlihat tulisan gapura Karimunjawa, adalah sesuatu yang menyenangkan. Silih berganti mereka mengabadikan diri. Aku jadi ingat di Tugu Jogja; para wisatawan silih berganti mengabadikan diri dengan latar belakang tugu. Bedanya, di sini dengan latar belakang gapura warna putih dan biru.
Foto bareng di Gapura Pelabuhan Karimunjawa
Foto bareng di Gapura Pelabuhan Karimunjawa
Foto bareng di Gapura Pelabuhan Karimunjawa
“Sudahkah kalian berfoto di sini?” Kiranya seperti itu pertanyaan yang akan terlontar bagi para wisatawan.

Cukup sederhana sekali gapura ini, tak istimewa memang bangunannya. Tak ada ukiran panjang yang megah di atasnya seperti Gapura Selamat Datang di Ngabul dan Senenan Jepara, atau bentuk seperti kapal yang ada di gapura Pelabuhan Pantai Kartini. Tapi gapura sederhana ini menjadi tempat yang paling banyak diincar para wisatawan untuk berfoto selain berfoto di tepian pantai. Gapura ini menjadi semacam ikon yang harus diabadikan, sebagai bukti jika mereka pernah ke Karimunjawa.

Lagi-lagi aku tersenyum seraya membidik tingkah mereka. Kelompok-kelompok kecil tiap wisatawan pun sabar menantikan waktu lengang untuk berfoto, jika mereka tak ada yang mengabadikan; cukuplah meminta bantuan guide yang dengan senang hati membantu memotret.
Foto bersama teman dan keluarga
Foto bersama teman dan keluarga
“Bisa minta tolong kami dipotretkan, mas? Pakai kamera saya,” Pinta wisatawan sekeluarga padaku.

Tanpa berpikir lebih lama, aku langsung mengabadikan sekeluarga tersebut tepat di bawah gapura. Seingatku, ada lebih empat jepretan yang kuambil. Mereka pun puas dan berujar terima kasih, lalu berjalan meninggalkan gapura.

Aku kembali melihat bagaimana keriuhan pelabuhan sesaat. Selang satu jam setelah ini, kembali pelabuhan Karimunjawa menjadi lengang. Hanya tinggal para ABK Kapal yang membersihkan kapal dan sesegera mungkin berkemas meninggalkan kapal menuju rumah. Ya, sebagian besar ABK Kapal adalah warga Karimunjawa, jadi mereka bisa menyempatkan diri berkumpul dengan keluarga. Aku menuju terminal pelabuhan, duduk di antara jejeran kursi yang mulai sepi. Melihat hasil-hasil jepretanku, lalu beranjak menuju tempat parkir.

“Ayo balik, sore nanti kita nyari sunset di Dermaga Gelaman saja,” Ujarku ke adik sepupu. *Jepretan foto-foto ini di Pelabuhan Karimunjawa pada hari sabtu; 26 Maret 2016.

Menatap Merapi Dari Atas Tebing Breksi Jogja

$
0
0
“Mas, ikuti saja jalan ini. Selesai tanjakan nanti ada pertigaan kecil, ambil kanan sampai mentok ketemu pertigaan besar jalan aspal. Nanti ambil kiri yang nanjak, dari sana Tebing Breksi dan Candi Ijo sudah dekat,” Begitulah keterangan warga setempat yang sedang mancing di Sendang tempat pemandian Sapi.
Tebing Breksi Prambanan, Yogyakarta
Tebing Breksi Prambanan, Yogyakarta
Aku ucapkan terima kasih dan berpamitan untuk melanjutkan perjalanan pagi ini. Jalan yang kuambil adalah jalan alternatif menuju Candi Ijo, jalan ini dilalui dari CandiBarong. Cukup menyenangkan sebenarnya, walau sebagian besar masih cor dan sebagian lagi rusak (bebatuan). Sesampai jalan aspal, benar kata teman yang tadi di Candi Barong kalau rutenya menanjak. Tapi aku menikmati tanjakan ini, kurasa masih sanggup mengayuh, masih kejam tanjakan yang menuju kawasan perbukitan Menoreh. Kaki terus mengayuh pedal, gir sudah mentok ambil paling kecil; lambat namun pasti laju sepeda pun konsisten. Tak berapa lama, aku sampai juga di jalan masuk ke Tebing Breksi.

Truk-truk bergantian keluar-masuk area Tebing Breksi, aku hanya berhenti di tepi jalan. Kuambil air mineral dan meneguknya, rasa dahaga sejenak hilang. Jalan sedikit berdebu, tebing di depanku menjulang tinggi. Guratan-guratan alat berat mengikis tiap tebing membentuk lekukan berpola. Sementara itu di depannya sudah ada lingkaran semacam panggung berbentuk setengah lingkaran. Akan tampak bagus jika dilihat dari atas tebing. Jalanan tanah agak lebar membawaku sampai di dekat tebing. Tebing Breksi, tebing yang berlokasi di desa Sambirejo, Prambanan ini mulai dikelola oleh pemerintah dijadikan Geo Heritage. Pernah sekali ada event yang diadakan di sini tahun 2015.

Kutuntun sepeda menuju dekat tebing, memotretnya sebentar dan memarkirkan lagi di tepian jalan. Sebuah tulisan “Kendaraan Dilarang Masuk” membuatku harus menghormati aturan tersebut. Aku melihat orang-orang pekerja sibuk dengan aktifitasnya. Hanya menoleh sekali ke arahku, dan kemudian bekerja lagi. Mereka tentu sudah sering melihat pesepeda yang berfoto ria di depan tebing ini. Dentuman kencang terdengar, benturan alat berat, Palu, dan sebagainya terdengar saling bersahutan. Alat-alat berat itu mereka gunakan untuk mengikis salah satu sisi tebing.

“Boleh motret di sini, mas?” Tanyaku pada sekelompok pekerja yang duduk melepas lelah di salah satu ujung.

“Silakan mas, sepedanya juga nggak apa-apa kok taruh di sini. Daripada di sana kepanasan,” Jawab bapak yang lebih tua.

“Wah aku kira nggak boleh pak, itu ada tulisan larangannya,” Balasku seraya menyalami satu-persatu.

“Wooh itu tulisan biar nggak asal parkir mas, kan banyak kendaraan keluar-masuk.”

Aku berbincang santai dengan pekerja yang di sini. Tempat yang mereka bongkar nantinya akan dibuat tangga ke belakang. Jadi semacam tangga istana yang megah. Benar saja; beberapa waktu lalu tangga itu sudah jadi, dan sangat indah tempatnya. Aku tertarik mengabadikan gambar yang ada di tebing. Dua gambar tokoh pewayangan tampak saling berhadapan. Sayangnya aku tidak tahu itu tokoh siapa namanya. Ya, walau aku terlahir di Jawa dan mengikuti budaya Jawa (notabenenya aku suku Bugis), mengenal cerita dan masa kecil pernah melihat pertunjukan Wayang, tapi aku tak bisa membedakan mana Gatotkaca, Werkudara, atau bahkan Arjuna, dan lainnya. Tak hanya sosok pewayangan, di depan tadi juga ada gambar orang memegangi alat pembelah batu. Entah ini buatan siapa.
Gambar-gambar yang ada di Tebing Breksi
Gambar-gambar yang ada di Tebing Breksi
Gambar-gambar yang ada di Tebing Breksi
“Boleh saya naik ke atas, pak?” Tanyaku pada para pekerja.

“Boleh mas, lewat belakang sana.”

Kulewati para pekerja yang sibuk memecah bongkahan batu menuju belakang. Di belakang ternyata juga ada banyak pekerja yang sibuk dengan aktifitasnya masing-masing. Dari sini untuk menuju atas Tebing Breksi disediakan tuas tali untuk naik. Jalan setapak tepat di tepian yang agak landai. Aku memegang tali dan mulai naik ke atas. Di atas Tebing Breksi cukup rimbun sebenarnya, rumput-rumput liar masih subur. Di paling ujung terdapat tiang dan Bendera Sang Merah Putih. Bentangan tali mengelilingi tiap ujung tebing, tali ini sebagai pembatas agar orang tak melewati garis. Dari sini aku melihat ke bawah, sebuah panggung kecil hampir dikelilingi bangku permanen panjang terlihat dari atas. Indah bukan?
Panggung di Tebing Breksi terlihat dari atas
Panggung di Tebing Breksi terlihat dari atas
Kupandang lepas ke arah utara, di sana tampak gagah Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Aku baru sadar jika dari sini bisa melihat indahnya pemandangan di Jogja. Aku tersenyum sendiri melihat hijaunya pepohonan, dan merasakan sepoinya angin. Tak seperti di bawah yang terasa panas. Di atas Tebing Breksi cukup sepoi-sepoi. Terlebih ada beberapa pohon yang lumayan membuat tempat ini menjadi lebih teduh.

“Hari yang cerah!!”
Pemandangan dari atas Tebing Breksi
Pemandangan dari atas Tebing Breksi
Ada yang menarik untuk kupandangi berlama-lama aku di sini. Ini bukan melihat gagahnya dua gunung yang ada di utara, tapi melihat lainnya. Hamparan rumput hijau di atas Tebing Breksi membuatku terpana pada Kupu-kupu. Ya, tumbuhan liar di sini menyebabkan ada puluhan Kupu-kupu yang berterbangan di dekatku. Aku tak ingin menangkapnya, hanya ingin bermain-main saja. Sesuatu yang menurutku spesial sekali; di sini aku bisa melihat puluhan Kupu-kupu hilir-mudik berterbangan tanpa merasa terusik olehku.
Ada banyak Kupu-kupu di sini
Ada banyak Kupu-kupu di sini
Bunga-bunga dari tumbuhan liar ini membuat Kupu-kupu banyak yang datang. Seperti anak kecil yang kegirangan. Aku berlarian seakan-akan ingin menyergap rombongan Kupu-kupu, lalu mereka berterbangan. Aku menertawakan kekonyolanku sendiri dan menyaksikan bagaimana Kupu-kupu itu berterbangan ingin menyelamatkan diri. Padahal, aku tak ada niat ingin menangkapnya, namun dia tetap terusik tingkahku.

Aku duduk di dekat salah satu tumbuhan kecil yang berbunga berwarna ungu, sengaja bersabar menunggu Kupu-kupu hinggap. Tak perlu waktu lama, banyak Kupu-kupu yang hinggap, aku bergegas mengabadikannya. Walau hanya menggunakan lensa biasa; Mirroless Nikon 1 J3 yang kupegang cukup bagus juga hasilnya. Tak hanya itu, aku juga sempat mengabadikan Kupu-kupu yang menyerap sari di bunga lainnya.
Hai Kupu-kupu
Hai Kupu-kupu
Hai Kupu-kupu
Puas rasanya mengabadikan banyak Kupu-kupu, aku bergegas meninggalkan atas Tebing Breksi. Melewati jalan tadi, aku sampai juga di bawah. Tak lupa kuabadikan sepeda tepat di depan tebing. Hanya sebagai tanda kalau aku sudah bersepeda ke sini. Mentari cukup panas, memang hari ini sangat cerah. Padahal jam tangan masih menujukkan pukul 09.20WIB. Jadi aku harus bergegas meninggalkan Tebing Breksi menuju tempat selanjutnya yang katanya tinggal beberapa ratus meter saja (jalannya nanjak) dari Tebing Breksi. Tujuan selanjutnya adalah Candi Ijo, candi yang lokasinya berada di perbukitan dan termasuk candi tertinggi di Jogja.
Sepeda kesayangan Monarch 1
Sepeda kesayangan Monarch 1
Seraya terus mengayuh pedal sepeda, aku masih tak menyangka dapat melihat puluhan Kupu-kupu di atas Tebing Breksi. Sebuah kejutan tersendiri bagiku, bisa melihat banyak Kupu-kupu di Jogja. Amat sangat jarang kutemui tempat di Jogja yang ada banyak Kupu-kupunya. Namun, aku agak gusar; jika seandainya pembangunan Tebing Breksi itu juga sampai atas, ke mana Kupu-kupu itu akan berterbangan dan berpindah tempat? *Bersepeda menuju Tebing Breksi pada hari Minggu; 14 Februari 2016.
Baca juga tulisan bertema alam lainnya 

Naik Kuda Keliling Kebun Teh Wonosari Lawang, Malang

$
0
0
Agenda pagi ini berjalan dengan lancar. Dimulai dari berkunjung ke PabrikTeh, lanjut mengelilingi Kebun Teh naik mobil. Aku menuju kamar, merebahkan badan yang lumayan capek. Walau tidak banyak aktifitas, tapi rasa capek tetap terasa. Agenda selanjutnya adalah menunggang Kuda keliling kebun Teh. Rencananya rute keliling kebun Teh naik Kuda tidak panjang, hanya mengelilingi kompleks perumahan/penginapan yang ada di area kebun Teh. Serambi rebahan, aku menunggu sampai kuda-kuda tersebut sudah siap ditunggangi. Sebenarnya tadi pagi sudah keliling sih jalan kaki. Namun tawaran keliling naik Kuda tak mungkin aku tolak begitu saja.

“Kudanya hanya ada empat. Jadi nanti giliran ya naiknya,” Terang salah satu penduduk yang membawa kuda.
Sudah gagah belum? Tinggal bawa tongkat sama pedang
Sudah gagah belum? Tinggal bawa tongkat sama pedang
Kuhitung pengunjung yang ingin berkuda, ada 12 orang termasuk aku yang antri naik kuda. Aku mendapatkan jatah giliran yang kedua, jadi bisa santai sejenak sambil menunggu giliran naik kuda. Kuda-kuda ini berukuran kecil, menurut keterangan dari penduduk yang menyiapkan kuda; kuda ini berasal dari Sumbawa. Keempat kuda ini bergegas jalan mengikuti arahan bapak yang memegang tuas tali. Kulihat dibagian belakang terdapat semacam cap/tanda di setiap kuda. Cap tersebut bertuliskan angka yang mengidentifiksi kuda tersebut.

Rombongan pertama adalah teman-temanku bersama keluarganya. Aku mendapatkan mandat dari teman untuk mengabadikan mereka. Sesekali kuabadikan teman yang naik kuda, setelah itu aku kembali duduk santai seraya melihat hasil-hasil dokumentasiku. Rombongan pertama mulai berjalan, suara tapal kuda terdengar berderap di tanah. Kuda-kuda tersebut mengikuti jalanan sambil dikendalikan warga. Selang 15 menit kemudian, dari arah berlawanan rombongan pertama sudah sampai. Cepat sekali muternya?

“Kok cepat, mbak?” Tanyaku pada teman rombongan.

“Cuma muter kompleks ini saja kok, mas,” Jawabnya seraya menunjukkan arah jalan kecil.

Aku bergegas memilih kuda berwarna kecoklatan. Tanpa menemui kesulitan, aku sudah berada di atas punggung kuda. Kedua tangan memegang tali pengendali, sementara bapak yang bertugas mengendalikan kuda malah asyik ngobrol santai dengan bapak lainnya.

“Mas ganti kuda yang agak kehitaman itu aja, lebih gagah,” Celetuk temanku yang bersiap mengabadikanku.

“Oya? Baiklah,”Jawabku seraya turun dari punggung Kuda.

Untuk kedua kalinya aku menaiki kuda tanpa kesulitan. Kuda-kuda ini sudah terlihat jinak, mereka tak bergerak agresif walau disekelilingnya ramai. Tiba saatnya aku berkeliling naik kuda. Jalan yang kulewati adalah paving. Kuda-kuda berjalan santai, aku meraya digoyang-goyang. Sedikit perlu penyesuaian agar bisa duduk senyaman mungkin. Jujur saja, ini kali pertama aku naik Kuda. Dulu sih pernahnya naik di atas Sapi (waktu kecil), itupun harus menerima terjangan kaki belakang Sapi sebelumnya.
Rute naik Kuda di Kebun Teh Lawang
Rute naik Kuda di Kebun Teh Lawang
Rute naik Kuda di Kebun Teh Lawang
Kuda yang kunaiki diurutan paling belakang. Seraya memegang tali kendali, aku berbincang santai dengan bapak yang mengendalikan Kuda.

“Ini umurnya berapa, pak?”

“Sekitar 8 tahun, mas.”

“Oh. Ada berapa Kuda yang dimiliki warga sini, pak?”

“Sebenarnya ada sekitar 10an mas. Tapi yang lainnya sedang keluar, yang tersedia pagi ini hanya empat saja.”

“Mau saya lepas talinya, mas? Bapak tersebut menawariku seraya tersenyum.

“Oke, pak. Tapi kalau nanti Kudanya nanti agak ngamuk dipegang ya, pak?” Jawabku tertawa.

Bapak itupun tertawa. Tak menunggu aba-aba, tali yang sedari tadi dipegang beliau pun dilepaskan. Kali ini aku sendiri yang harus bisa mengendalikan Kuda agar tidak liar atau jalan salah jalur. Ketika jalanan lurus sih mudah-mudah saja, dibiarkan pun Kudanya jalan sesuai rute. Sedangkan waktu jalan agak terjal dan berbelok, aku harus bekerja lebih keras agar Kuda tidak salah jalur. Kalau sekiranya tidak memungkinkan, aku tinggal teriak ke bapak yang di belakangku. Beliau dengan sigap langsung mengendalikan arah kuda.

Ada sedikit insiden yang membuatku agak panik waktu berkuda. Saat itu jalanan yang kami lalui cukup bagus, namun disekitar taman (dekat kamar-kamar penginapan tengah kebun) ada banyak anak kecil. Mereka heboh ketika ada Kuda yang berjalan didekatnya. Ada yang berteriak kencang, ada yang mendekati ingin memegang, ada yang membawa dedauan dan diarahkan ke mulut Kuda dengan harapan Kuda tersebut makan. Sialnya, Kuda yang kunaiki agaknya sedikit kaget dengan polah anak-anak kecil. Kuda tersebut memberontak, sementara bapak yang mengendalikan kuda di belakang. Sontak aku kebingungan, dan kamera ditangan terlepas. Untung saja tali kamera kukalungkan dileherku. Melihat Kudanya agak ngamuk, bapak yang di belakang langsung berlari dan memegang kendali Kuda.
Pokoknya motret, entah yang kena potretan itu apa
Pokoknya motret, entah yang kena potretan itu apa
“Jangan diganggu, nak,” Seperti itulah ucapan bapak kepada anak-anak dalam bahasa Jawa.

Benar saja, sekitar 15 menitan; aku sudah sampai ditempat awal. Dengan mudah aku dapat turun dari punggung Kuda. Rombongan ketiga tidak langsung berangkat, Kuda-kuda tersebut sengaja diistirahatkan beberapa menit sebelum kembali keliling dengan rute yang sama. Bagiku, sensasinya sebenarnya bukan keliling kebun Tehnya, tapi mencoba menaiki Kuda untuk kali pertamanya. *Pengalaman keliling kebun Teh naik Kuda ini pada hari Selasa, 29 Desember 2015 di Perkebunan Teh Wonosari Lawang, Malang.
Baca juga tulisan seru lainnya 

Memandang Gereja Burung dan Candi Borobudur dari Punthuk Setumbu

$
0
0
“Punthuk Setumbu menyajikan pemandangan yang indah. Setiap orang biasanya rela bangun subuh, melihat sunrise indah berpadu dengan kemegahan Candi Borobudur, mengabadikan setiap rekaman mata yang tak ingin terpejam walau sedetik. Punthuk Setumbu laksana tempat yang asyik untuk melihat keromantisan sang Surya dengan Candi termegah di Indonesia.
Gereja Burung Magelang terlihat dari Punthuk Setumbu
Gereja Burung Magelang terlihat dari Punthuk Setumbu
Rupanya Gereja Burung buka menjadi tujuan terakhir kami selama di Magelang. Usai sholat jum’at, kami berbincang bareng empu rumah yang ada di dekat masjid. Di sini beliau menceritakan bagaimana keramaian kala syuting film AACD2 di area Gereja Burung. Katanya, warga setempat bak mendapatkan durian runtuh. Semua warga sekitar mendapatkan penghasilan lebih, ada yang ikut langsung di saat syuting atau hanya menjadi juru parkir untuk banyak mobil.

“Kalau ke Punthuk Setumbu bisa kok lewat jalan dekat Gereja Burung, mas. kalau ke Gereja itu belok kanan, mas-nya ambil yang lurus turun ke bawah,” Terang bapak tersebut.

“Nggak enak pak, kan sebelum Gereja Burung sudah dicegat parkir. Jadi mending lewat jalan yang mutar tadi saja,” Jawabku.

Beliau mangut-mangut memahami apa yang kami ucapkan. bergegas kami meminta ijin pergi dan mengucapkan terima kasih. Kami pun melintasi jalan menuju Punthuk Setumbu, dan hanya selang berapa menit kami sudah diparkiran. Tiket masuk masih Rp.15.000/orang, kami berjalan menapaki tiap tangga sampai atas. Di sana sudah banyak pengunjung yang duduk-duduk seraya mengabadikan diri. Gereja Burung hanya terlihat menjembul sedikit, namun Candi Borobudur terlihat jelas. Aku mengabadikan candi tersebut, tak ketinggalan mengabadikan pengunjung yang asyik bercengkerama dengan teman-temannya.
Candi Borobudur Magelang terlihat dari Punthuk Setumbu
Candi Borobudur Magelang terlihat dari Punthuk Setumbu
Mereka yang bercanda dengan teman-temannya
Mereka yang bercanda dengan teman-temannya
Kulihat pemandangan sekitar, dari awal naik sampai lokasi melihat Candi Borobudur sudah ada banyak tambahan bangunan. Tepat di tangga setelah tempat loket, ada bangunan rumah tinggi. Di sana mereka menjajakan spot berfoto di atas, semacam rumah pohon. Untuk sekali foto mereka harus merogoh uang sebesar Rp.5.000. Tak hanya itu saja, tepat di tempat memandang sunrise ada banyak warung. Seperti halnya Rumah pohon yang di bawah tadi, di sini juga memberikan jasa foto semacam di teras kedai dengan tarif yang sama.

“Itu jalan baru toh, pak?” Tanyaku pada bapak warga setempat yang melepas lelah di dekat kedainya.

“Iya mas belum ada satu tahun. Dari jalan ini bisa sampai ke Gereja Burung. Paling jalan kaki antara 10 – 15 menit, mas,” Terang beliau.

Menurut bapak yang sedang membangun kedai ini, dalam satu tahun ini banyak Rumah Pohon dibuat selain kedai kopi. Setiap warga yang membangun adalah warga yang tanahnya ada di sana. Jadi mereka tak mengontrak tanah. Aku juga mendengarkan beliau kalau ke sini lebih baik pas Waisak. Jadi bisa melihat lampion yang ada di candi dari atas.
Rumah Pohon di area Punthuk Setumbu Magelang
Rumah Pohon di area Punthuk Setumbu Magelang
“Kalau mau kemping di sini juga boleh, mas. Tiap orang nanti dikenai biaya Rp.30.000.”

Temanku tertarik menyusuri jalan yang mengarahkan menuju Gereja Burung. Banyak pengunjung yang menuju arah sana, kami pun berjalan menapaki jalan setapak. Tak jauh dari sana ada semacam tempat yang bisa digunakan untuk melihat Gereja Burung dari atas. Kami memang tak berniat jalan ke Gereja Burung, niatnya hanya ingin melihat Gereja Burung dari ketinggian. Dari rerimbunan hijau pohon, aku dapat melihat kepala Gereja Burung yang terlihat jelas.

Dari sini sudut belakang Gereja yang terihat. Seandainya pepohonan itu tak ada, tentu bentuk gereja dapat terlihat dengan jelas. Tempat ini nyatanya menjadi salah satu spot yang dituju pengujung. Mereka tak berniat menuju Gereja, hanya ingin mengabadikan dari jarak yang lebih dekat. Aku membidik objek kepala Gereja Burung, dari sini kelihatan tak ada orang yang di atas.
Gereja Burung dari sudut lain di Punthuk Setumbu, Magelang
Gereja Burung dari sudut lain di Punthuk Setumbu, Magelang
Gereja Burung dari sudut lain di Punthuk Setumbu, Magelang
Tak hanya itu saja, tepat jauh di belakang sana juga tampak jelas Candi Borobudur. Jika dari Punthuk Setumbu keduanya terlihat bersampingan walau Gereja hanya terlihat sedikit. Di sini keduanya tampak jelas. Sekali mengabadikan dapat terlihat keduanya, Candi Borobudur dan Gereja Burung Merpati, Magelang. Hanya berselang beberapa menit saja, puncak Gerejasudah ada pengunjungnya. Bisa jadi tadi belum dibuka, terlihat dari sini ada banyak pengunjung yang di atas. Yang jelas maksimal mereka 10 orang, sama seperti yang tadi waktu aku naik ke atas. Ternyata mereka ada 9 orang, dua di antaranya sedang mengabadikan diri menggunakan tongsis.
Gereja Burung dan Candi Borobudur terlihat dari Punthuk Setumbu
Gereja Burung dan Candi Borobudur terlihat dari Punthuk Setumbu
Di sampingku sekelompok pemuda asyik mengabadikan diri dengan pose menunjuk Gereja Burung. Dari logatnya mereka sudah jelas berasal dari Sumatera Utara, aku pun menyapa mereka. Benar saja, kelima pemuda tanggung ini berasal dari Sumatera Utara yang kuliah di Univesitas Atma Jaya (Fakultas Hukum) yang berada di Mrican. Lokasi yang hanya sepelemparan batu dari kosku.  Sama kayak mereka, aku memasang Tripod dan mengatur posisi agar terlihat membelakangi kamera dan memandang ke arah gereja. Cukup menggunakan timer, akhirnya aku bisa mengabadikan di sini. Sementara itu temanku sudah sedari tadi asyik polah sendirian dengan hp-nya.
Memandang Candi Borobudur dan Gereja Burung dari kejauhan
Memandang Candi Borobudur dan Gereja Burung dari kejauhan
Langit mulai mendung, terdengar gemuruh petir dari kejauhan. Menurut teman yang ada di Jogja, sekarang hujan lebat. Nasib, aku tak membawa jaket apalagi jas hujan. Kami bergegas menuju gardu pandang Punthuk Setumbu, rehat beberapa menit dan turun ke bawah. Jika kalian ingin berkemah di Punthuk Setumbu, seperti yangkubilang tadi, di sini menyediakan tempat. Jangan khawatir mengenai MCK, di sini ada lengkap; bahkan listrik pun disediakan. Seru juga kalau diagendakan kemping di sini pada musim kemarau, sehingga bisa menyaksikan sunrise berpadu dengan Candi Borobudur. Semoga ke depannya bisa diagendakan bareng teman-teman. Kami pun pulang, benar saja sampai di Jogja hujan turun deras; dan kami menyerabas lebatnya hujan sampai kos. *Kunjungan ke Punthuk Setumbu Magelang pada hari Jum’at; 06 Mei 2016.
Baca juga tulisan alam lainnya 

Sensasi Minum Susu Kambing Etawa Langsung Tanpa Dimasak

$
0
0
“Pernah minum Susu Kambing yang langsung dari perahan tanpa dimasak terlebih dahulu? Sepertinya banyak orang membayangkan bau amisnya. Tapi nyatanya tidak semua amis. Aku bahkan menghabiskan satu gelas tanpa berhenti setiap tegukan di sini. Kalaupun ada dua gelas lagi, aku pasti habiskan sendiri.”
Menuguk Susu Kambing Etawa (foto: Charis Fuadi)
Menuguk Susu Kambing Etawa (foto: Charis Fuadi)
Laju dua motor agak kencang menyusuri jalan Palagan. Akhir pekan ini tak banyak kulihat sepeda yang mengarahkan kayuhannya ke Warung Ijo Pakem, tempat para pesepeda berkumpul. Aku dan temanku masih menyusuri jalan menuju Desa Wisata Nganggring, Girikerto, Turi, Sleman. Tujuan kami adalah mengunjungi salah satu lokasi kelompok tani di sana. Lebih tepatnya malah tempat perah Susu Kambing Etawa yang bernama Etawa Gunung Merapi. Berhubung kami hanya mengandalkan GPS, kami pun berhenti di salah satu pertigaan.

“Permisi pak. Mau Tanya kalau arah ke desa Nganggring mana ya?” Tanyaku pada seorang bapak yang sedang menunggu sitrinya membli sayur di dekat jalan.

“Mau ke tempat peternakan kambing? Ini mas jalan lurus sampai mentok nanti ketemu tugu lurus lagi sekitar beberapa meter belok kanan. Pokoknya ada patung kambingnya, mas,” Jawab bapak tersebut.

Benar banget dugaan bapak ini, ternyata Nganggring sudah dikenal dengan peternakan Kambing Etawa. Kami melanjutkan perjalanan. Memasuki desa Nganggring, kami pun kebingungan di mana lokasinya. Sampai akhirnya seorang bapak yang sedang membersihkan halaman menujukkan kami jalan untuk terus naik. Yang aku ingat beliau menyebutkan nama pak Tamto. Kata bapak ini beliau yang mengurusi Peternakan Kambing Etawa. Begitu sampai di dekat lokasi, aku sudah melihat beberapa teman Blogger Jogja yang sudah terlebih dahulu sampai. Kami pun berkumpul dan menyempatkan mengabadikan kandang-kandang yang berjejeran.
Sampai di lokasi tujuan di Nganggring
Sampai di lokasi tujuan di Nganggring
Sampai di lokasi tujuan di Nganggring
Kami masuk ke dalam semacam pendopo, di sana pak Tamto dan beberapa warga setempat memaparkan tentang Susu Kambing Etawa. Tahun 1995 di daerah sini pertama kali produki, untuk keberadaan Kambing Etawa di Indonesia sudah ada sejak dulu, bisa jadi sejak masa penjajahan. Dari segi nutrisi, Susu Kambing Etawa mempunyai kandungan mendekat ASI. Jadi kita menjadi tahu seberapa besar manfaatnya. Ada banyak manfaat susu kambing yang jarang kita tahu, di sinilah banyak hal baru yang kudapatkan. Termasuk mengetahui jika susu kambing Etawa ini lebih lecap dicerna oleh manusia daripada susu lainnya. Selain itu beliau juga menceritakan tentang Kelompok Tani yang terlibat di Etawa Gunung Merapi.

“Untuk mendapatkan hasil yang baik sudah tentu budidaya secara organik harus baik juga. Faktor lingkungan serta iklim sangat mempengaruhi. Untungnya iklim di pegunungan Merapi ini cocok untuk membuat perkembangan Kambing Etawa” Ujar pak Tamto.

“Sebelum tahun 1995 susu Kambing Etawa belum banyak diketahui oleh warga. Setelah tahun itu, mulailah susu kambing Etawa terkenal. Akhirnya bisa menjadikan mata pencaharian dan merangkul banyak orang untuk terlibat di dalamnya,” Tambah pak Tamto.

Kegiatan selanjutnya adalah melihat bagaimana cara memerah susu kambing. Kami di ajak menuju bangunan yang tidak jauh dari pendopo. Di sana seorang warga mengambil salah satu kambing dari kandang. Kambing tersebut tidak serta-merta langsung diperah. Sebelumnya  ditempatkan ditempat yang bersih, lalu kambing dimandikan terlebih dahulu, kemudian bagian puting kambing juga harus dibersihkan. Memerah susu kambing harus dilakukan dengan benar agar kambing tidak stres. Petugas yang memerah sengaja menggunakan botol kecil untuk menampung hasil perahan. Alasannya jika menggunakan ember hampir rata-rata baunya amis. Sedangkan jika menggunakan alat penampung lebih kecil tidak akan amis.
Memerah susu kambing etawa
Memerah susu kambing etawa
Memerah susu kambing etawa
Disela-sela memerah susu, pak Tamto dan rekannya memberi keterangan mengenai pemilihan bibit yang baik. Bibit yang baik itu cukup sulit ditemukan. Sedikit cara memilih bibit yang baik adalah dilihat dari postur tubuhnya, berlanjut bagaimana nanti perawatannya. Kandang kambing harus bersih dan makanan harus terjamin (kandungan proteinnya). Oya, kambing yang siap perah harganya relatif mahal banget. Berkisar antara 6-7 juta perekor. Kambing yang siap perah itu ketika sudah melahirkan, dan pada saat kambing birahi adalah waktu yang tepat saat memerah.

Kegiatan selanjutnya adalah mengunjungi tempat produksi membuat susu bubuk. Di sini pak Tamto dan warga sudah mengolah sendiri dari susu perahan menjadi susu bubuk. Dari informasi yang kudapat, susu kambing tidak hanya dari lokasi pak Tamto sendiri. Rata-rata warga yang mempunyai kambing perahan menyetorkan hasil perahannya ke pak Tamto. Di sana terpampang tulisan “Rp.15.500/liter”.

“”Setorannya beragam mas. Ada yang satu liter dan ada yang lebih. Kalau satu kambing antara 1.5-2 liter mas hasil perahannya.”

Dari pintu samping kami memasuki ruangan yang dipergunakan untuk menyimpan susu. Susu-susu tersebut membeku. Sementara di ruangan sebelahnya ada empat ibu yang mengaduk-aduk wajan. Kulihat isi dalam wajan, di sana ada susu yang masih cair dan ada juga tumpukan susu bubuk. Setiap satu orang mengurusi dua wajan. Seperti inilah produksi tiap harinya.
Susu yang disimpan agar tetap terjaga
Susu yang disimpan agar tetap terjaga
Kegiatan di dalam ruangan produksi susu bubuk
Kegiatan di dalam ruangan produksi susu bubuk
Tak hanya satu ruangan itu saja, menyusuri ruangan yang lain juga aktifitas yang sama dilakukan dua orang ibu. Mereka mengaduk-aduk isi wajan. Kulihat di samping sudah ada banyak susu bubuk yang berada dipenampungan. Satu ruangan kecil yang transparan terlihatd ari luar. Dua orang lelaki tanggung berpakain lengkap dan tertutup menuangkan susu bubuk ke dalam penampungan. Di mesin itu, susu bubuk teraduk secara rata oleh mesin.

“Ini proses pencampuran komposisinya, mas,” Begitulah jawaban beliau.
Pencampuran komposisi di dalam susu bubuk
Pencampuran komposisi di dalam susu bubuk
Selepas asyik melihat cara pengolahan menjadi susu bubuk, kami diantar pak Tamto masuk lebih dalam. Melewati ruangan yang dipenuhi kardus dan berbagai macam sampel susu bubuk. Di sini kami dipersilakan melihat bagaimana proses pengemasannya. Ada tujuh perempuan yang bertugas mengemas. Mereka tak merasa terganggu saat kami ke sini. Kami pun dengan sigap silih berganti mengabadikan. Salah satu produk andalan Susum Kambing Etawa EGM ini adalah “Etawa Plus Kolostrum Premium”.

“Susu bubuknya baru sekitar 3 tahunan kami mulai, mas. Kami juga sudah ditinjau pemerintahan dalam pengolahannya. Bahkan, kami sudah bekerja sama dengan LIPI dalam proses keseluruhan peternakannya.”
Membungkus kemasan susu bubuk kambing etawa
Membungkus kemasan susu bubuk kambing etawa
Membungkus kemasan susu bubuk kambing etawa
Sebelum berpamitan, kami mendapatkan bingkisan Susu Kambing Etawa bubuk. Wah, terima kasih pak. Siapa tahu berat badanku cepat bertambah karena minum susu kambingnya. Ups, sebelum pulang foto dulu bareng salah satu kambing yang tadi susu perahannya aku minum. Kata teman “Kambing aja cuek, apalagi manusia?” Duh nasib toh.
Niatnya mau mengabadikan abreng kambing, tapi kambingnya cuek aja
Niatnya mau mengabadikan abreng kambing, tapi kambingnya cuek aja 
Susu kambing EGM ini pemasarannya malah banyak di luar Jawa. Sumatera menjadi pangsa pasar tersendiri dari Susu Kambing EGM. Jika di Jawa sementara pemasarannya ada di Semarang dan Solo. Untuk kawasan Jogja hanya sebagian besar kedai-kedai biasa yang menginginkan stok Susu Kambing EGM. Ada yang berminat untuk membeli atau malah menjual produk Susu Kambing EGM? Kalian bisa menghubungi di kontak yang tertera.
Susu Kambing Etawa "Etawa Gunung Merapi (EGM)"
Fanspage: Susu Kambing EGM
IG & Twitter: @susukambingegm
Website: susukambingettawa.com

Warung Kopi Klotok Pakem dengan Suasana Desa

$
0
0
“Menjadi hal yang menyenangkan jika kita bisa menikmati santapan pagi/siang di tempat yang nyaman. Menghadap ke arah hijau hamparan sawah, agak jauh dari keriuhan lalu-lalang kendaraan bermesin. Yang ada hanya suara gelak tawa para pengunjung yang bercengkerama dengan keluarga, atau malah suara dentingan sendok & garpu yang mengenai tepian piring.”
Kopi Klotok dan Pisang Goreng
Kopi Klotok dan Pisang Goreng
Jauh sebelum aku akhirnya mengunjungi Warung Kopi Klotok yang berada di Pakem, Sleman ini, aku sudah sering melihat sajian menu ataupun foto-foto teman yang sudah ke sini terlebih dahulu. Aku mengenal Kopi Klotok Pakem ini karena teman-teman pesepeda yang mempostingnya di sosmed. Tak jarang grup WA membahas kapan bisa kumpul di sini sambil menikmati kopi maupun camilan lainnya.

Hingga akhirnya akhir pekan lalu sepulang dari acara menyambangi tempat produksi Susu Kambing Etawa di Nganggring, Turi, Sleman kusempatkan berkunjung ke sini. Jika rute dari arah kota Jogja, kalian melewati sepanjang jalan Kaliurang akan melihat tulisan “Kopi Klotok” besar di sisi kanan, tepat sebelum SMP 4 Pakem. Ikuti jalan itu terus, hingga sampai di parkiran. Lokasi Warung Kopi Klotok ini berada di Pakem Binangun, Pakem, Kabupaten Sleman. Dari luar, sudah terlihat pelayan Kopi Klotok yang sedang bertugas di dapur.
Lokasi Kopi Klotok Pakem
Lokasi Kopi Klotok Pakem
Lokasi Kopi Klotok Pakem
Bangunan rumah berbentuk joglo ini ternyata luas. Dari parkiran motor, kulangkahkan kaki menuju pintu terdekat. Di dalamnya ternyata sudah ramai. Aku berjalan menepi dekat tempat dua pelayan yang sedang menggoreng Pisang. Kuabadikan kesibukan mereka. Sepertinya Pisang Goreng menjadi jajanan yang paling banyak diminati oleh pengunjung. Terlihat di dapur ini hampir setiap sudut dapur yang ada buah Pisang yang tergelantung, siap untuk digoreng.

Pemandangan lainnya yang terasa unik adalah konsep warung ini dalam menyajikan makanan. Pengunjung antri mengambil piring sendiri dan memilih langsung menu apa yang dia inginkan. Saat-saat siang seperti inilah warung Kopi Klotok ini ramai. Apalagi aku ke sini akhir pekan, jadi kulihat semua tempat meja dan kursi penuh. Ya, walau Kopi Klotok di Pakem ini dibuka pada akhir tahun 2015, tapi sepertinya tempat ini cepat sekali dikenal dan sering dicari oleh pecinta kuliner.
Pelayan sedang menggoreng Pisang
Pelayan sedang menggoreng Pisang
Antri makan siang di Kopi Klotok
Antri makan siang di Kopi Klotok
Beruntungnya aku ke sini niatnya memang hanya ingin menikmati kopi dengan jajanan. Jadi aku tak perlu antri mengambil nasi ataupun sayur dan lauk yang sudah tersedia. Kususuri ruangan lain dari satu pintu yang mengarahkanku ke ruangan lebih luas. Di sini tersebar beberapa meja dan kursi banyak, sementara sisi kananku adalah tempat kasir. Sebelumnya, aku melihat pajangan foto beserta tulisan kesan para pengunjung yang sudah pernah ke sini. Hampir semua yang dipajang adalah orang-orang familiar kita lihat di TV. Kalaupun tidak, mereka adalah orang-orang penting di pemerintahan.
Banyak juga yang pernah berkunjung ke sini
Banyak juga yang pernah berkunjung ke sini
Percaya atau tidak, ketika aku di sini seraya menunggu pesanan. Seorang lelaki tanggung di belakangku asyik makan siang. Kulihat sejenak, dia benar-benar mirip komedian. Tapi aku lupa siapa namanya. Temanku pun mengatakan kalau dia memang mirip komedian. Hingga kuposting di Sosmed. Sebuah komentar mengatakan dia adalah bang Ence Bagus, akupun menandai beliau di Instagram. Benar saja, bang Ence Bagus membalas dikomentar jika itu yang difoto memang dia. Setelah kulihat di sosmednya, bang Ence Bagus memang sedang syuting salah satu film di Jogja. Wohh, ketemu komedian juga aku di sini. Harusnya pajangan di dinding tadi nambah satu tulisan dan foto lagi.
Jika kalian kira Warung Kopi Klotok ini hanya semacam kedai yang menyajikan kopi saja, itu salah besar. Di sini daftar menunya cukup beragam. Menu-menunya pun sangat sesuai dengan kalian yang ingin menikmati menu makanan desa. Sayuran seperti; Lodeh Tempe Lombok Ijo. Lodeh Kluweh, Lodeh Terong, dan Sayur Asem dapat kita ambil sepuasnya dengan harga yang murah. Termasuk mau mengambil nasi berkali-kali pun diperbolehkan selama stok masih ada. Tak ketinggalan di sini juga ada paket makan nasi sepuasnya hanya membayar Rp.11.500 saja.
Daftar menu di Kopi Klotok Pakem
Daftar menu di Kopi Klotok Pakem
Siang ini setiap meja sudah dipenuhi para pengunjung. Mereka terlihat seperti kelompok keluarga besar yang mengitari meja seraya menikmati makan siang. Aku dan temanku bergegas menuju bagian luar, mencari kursi yang kosong. Namun tak ada satupun yang kosong, aku sengaja duduk di kursi bambu yang ada di pelataran halaman joglo. Di sini aku duduk santai dan menunggu pesanan datang.

Hilir mudik pelayan menghampiri sudut meja seraya membawa nampan besar. Kaos hitam bertuliskan “Kopi Klotok” membuat kita dengan mudah membedakan mana pelayan dan mana pengunjung. Ya, akhir pekan seperti ini Warung Kopi Klotok menjadi tujuan favorit para pengunjung yang ingin makan siang seraya menikmati suasana nyaman khas desa.
Suasana di Warung Kopi Klotok, Pakem
Suasana di Warung Kopi Klotok, Pakem
Suasana di Warung Kopi Klotok, Pakem
Tak hanya di dalam tiga ruangan besar, di area pekarang joglo ini pun sudah dipenuhi orang. Beberapa kursi mengelilingi satu meja berwarna putih sudah ditempati pengunjung. Mereka menikmati makan siang di luar ruangan, tepatnya di dekat sawah yang hanya dibatasi tanaman bunga. Halaman yang luas menjadi daya tarik sendiri bagi anak-anak kecil. Tanpa merasa takut, anak-anak berlarian di atas rumput halus. Banyak di antara mereka yang menjadikan kesempatan untuk megabadikan diri. Sebuah sangkar dan ada dua kursi di halaman ini menjadi tempat yang tepat untuk berfoto. Tak ketinggalan juga sebuah sepeda tua yang dipajang di salah satu sudut luar tempat ini.
Suasana di pekarangan Kopi Klotok Pakem
Suasana di pekarangan Kopi Klotok Pakem
Suasana di pekarangan Kopi Klotok Pakem
“Kopi tiga, pisang gorengnya satu porsi ya, mas?” Tanya seorang pelayan dihadapanku.

“Iya mas, benar. Terima kasih.”

Berhubung perut kami sudah kenyang, kami pun memutuskan untuk memesan Pisang goreng dan kopi klotok saja. Tentu menjadi hal yang menyenangkan bukan dapat menikmati kopi di tempat yang nyaman, memandang hamparan sawah seraya ngobrol santai.
Mari menikmati hidangan di Kopi Klotok
Mari menikmati hidangan di Kopi Klotok
Mari menikmati hidangan di Kopi Klotok
Tak terasa lebih dari dua jam aku dan teman duduk santai di sini. Warung Kopi Klotok bisa menjadi tempat yang asyik bagi kalian yang suka dengan suasana desa. Menikmati menu-menu yang berbeda dengan warung lainnya. Jika berkunjung ke kawasan Kaliurang, bisa jadi warung ini menjadi tujuan kalian saat ingin menikmati makan siang. *Kuliner siang di Warung Kopi Klotok Pakem pada hari sabtu; 28 Mei 2016.
Baca juga kuliner lainnya 

Jembatan Kayu Hotel Asri Karimunjawa Kala Siang Hari

$
0
0
“Kiranya salah satu tempat yang bisa membuat kita nyaman untuk menghabiskan waktu adalah pantai. Siapa orang yang merasa bosan duduk santai di jembatan kayu, menatap lautan nan teduh. Sementara di belakangnya rerimbunan hutan Bakau yang subur dengan akar menjalar serta timbul di permukaan air. Aku bisa menghabiskan banyak waktu hanya duduk di sini. Menikmati suasana yang jauh dari keriuhan kendaraan bermesin.”
Jembatan Kayu Asri Karimunjawa
Jembatan Kayu Asri Karimunjawa
Aku sudah berkali-kali menatap dermaga/jembatan kayu yang ada di tepian jalan antara Legon Boyo - Legon Goprak, Karimunjawa. jembatan kamu mungil yang berada di belakang barisan penginapan ini menggodaku untuk dikunjungi. Awalnya aku hanya mengamati saja waktu mengendarai kendaraan menuju Karimunjawa. Namun hati ini mendesak untuk singgah walau saat menjelang sore. Sampai akhirnya, setelah iseng membidik para penumpang kapal yang bersandar di Karimunjawa, aku putuskan nanti untuk singgah.

“Nanti berhenti di Jembatan Kayu yang ada penginapannya ya, Ded,” Ujarku ke Dedi.

Dia hanya mengangguk tanpa melihat ke arahku, sepertinya sinyal yang melimpah membuatnya asyik bermain COC. Jam tangan tepat mengarahkan pukul 13.00 WIB, kami beranjak pulang dan merencanakan akan melanjutkan menuju lokasi lain seraya menanti sunset di dermaga Mrican. Tak selang 15 menitan, aku sudah sampai di jalan dekat dermaga kecil tersebut. Dermaga ini berada di belakang barisan penginapan. Tulisannya adalah “Asri Karimunjawa” bisa jadi ini penginapan Asri namanya. Seorang bapak sibuk membersihkan rumput liar yang menjalar di area penginapan. Aku menyapa beliau seraya menapaki jalan kecil menuju dermaga. Jarak antara jalan dengan dermaga tak lebih 200 meter. Tepat di ujung dermaga, tertambat sebuah sampan kecil yang catnya sudah usang.
Jembatan Asri dari dekat, terdapat sampan tertambat di tepian
Jembatan Asri dari dekat, terdapat sampan tertambat di tepian
Jembatan Asri dari dekat, terdapat sampan tertambat di tepian
Kutapaki ujung jembatan kayu ini. Di sekitar jembatan, rerimbunan pohon Bakau menjadi lebih indah dan teduh. Sebuah gapura kecil yang bertuliskan “Asri Karimunjawa” dengan lambang ikan tepat di depanku. Mataku menatap sebuah benda kecil yang terikat di ujung kanan. Di sana ada tulisannya “Masuk 5000”. Entah ini hanya untuk wisatawan atau semua orang yang ingin menginjakkan kaki di dermaga ini, aku mengambil uang pas dan memasukkannya sebagai syarat. Intinya, tanpa dengan ijin secara langsung kepada pemiliknya; aku tidak melanggar aturan masuk tanpa membayar. Ini bukan hanya dermaga kecil, tapi di ujung sana ada bangunan rumah yang bisa digunakan menginap. Tempat ini bagian dari penginapan yang ada di atasnya. Kebayang bagaimana serunya bisa menginap di atas laut seperti ini kan? Siapa tahu ke depannya aku bisa ditawari menginap di sana.

Pandanganku kali pertama di sini bukanlah menatap ke barat. Percuma kutatap arah barat, hari ini masih sangat terik. Kusapukan pemandangan menatap sisi utara dan selatan. Dari sini bentangan pohon bakau terlihat menghijau di setiap bibir pantai yang memanjang. Pasir pantai di sini bercampur lumpur, sehingga tak bisa dibuat untuk bermain pasir karena langsung ditumbuhi tanaman Bakau. Pastinya tempat seperti ini adalah surga bagi biota laut. Sudah tentu ada banyak Kepiting dan Kerang di area pantai seperti ini. Malahan yang aku ingat, agak jauh dari dermaga ini ke arah selatan dulunya banyak tambak udang yang kali ini terbengkalai. Hampir semua bekas tambak udang itu sudah dipenuhi pohon Bakau. Tambak Udang dan Ikan Bandeng tak berlangsung lama di Karimunjawa. hanya dalam rentang antara tahun 1999 – 2003 saja bertahannya.
Rimbunnya Pohon Mangrove di pesisir pantai
Rimbunnya Pohon Mangrove di pesisir pantai
Rimbunnya Pohon Mangrove di pesisir pantai
Aku tak lama di dermaga ini. Hanya menikmati sesaat, lalu mengambil buku untuk mengabadikan diri. Jangan salah, selain benar-benar berfungsi sebagai bacaan; buku juga bisa dijadikan properti dalam berfoto. Aku rasa bagi kalian yang suka membaca dan memotret juga pernah melakukan hal yang sama. Walau hanya sebentar tapi aku bisa merasakan suasana tenang di sini. Yang paling terasa adalah sepoinya angin laut. Gemericik suara ombak terdengar halus membuat aku makin terlena ingin berlama-lama. Terkadang suasana seperti ini melupakan diri kalau saat ini aku sedang berada di bawah teriknya mentari.

“Sepanas apapun tempat itu, jika kita datang dan bisa menikmati pemandangan serta suasananya; maka kita tak pernah merasakan panasnya mentari. Yang ada hanya kesenangan dan kepuasan diri.” Bisa jadi ungkapan itu berlaku untuk siapapun yang dapat menikmati suasana pantai hanya dalam waktu sesaat. Hingga akhirnya kita akan sadar bahwa kulit kita sedikit lebih gelap. Atau malah kemerahan, seperti terpanggang dalam rentan waktu yang lama.
Hai Dermaga Kayu...
Hai Dermaga Kayu...
Mengenai dermaga kecil ini, ada waktu yang tepat untuk berkunjung ke sini. Jika kalian memang menginap di penginapan ini, tentu akan mudah kapan saja menikmati waktu bermain di menuju dermaga. Untuk orang yang hanya lewat, waktu yang tepat ke sini sebenarnya saat senja. Berhubung dermaga ini mengarah ke barat, kalian bisa dengan leluasa menikmati pemandangan sunset di sini. Aku yakin sunset bakalan terlihat indah di antara gugusan pulau yang terlihat di barat. Terlebih tidak ada penghalang lain seperti bukit di sana. Akan lebih menyenangkan lagi jika momennya berbarengan dengan hilir mudik kapal nelayan di tengah pantai.

Selain senja, waktu yang menurutku tepat ke sini adalah malam hari. Sehari setelah mengunjungi dermaga ini, malamnya aku kembali ke Karimunjawa malam hari. Kulihat waktu malam di sepanjang dermaga terdapat lampion yang menerangi sepanjang dermaga dari ujung sampai di rumah di atas sana. Ini artinya suasana malam hari pasti menyenangkan dapat melihat kelipan cahaya dari kapal yang berlayar. Atau malah sekedar menikmati cuaca malam yang cerah. Kita bisa dengan leluasa memandangi bintang. Sayangnya aku tak sempat mengabadikan suasana pemandangan dermaga ini waktu malam. Oya, jika ke sini malam hari, ada baiknya ijin dulu pada penjaga penginapan untuk memastikan diperbolehkan atau tidak kalau malam hari.

Ya, memang banyak tempat yang mulai merias diri. Memanfaatkan pantai yang dekat dengan penginapan, lalu membangun dermaga untuk dapat dinikmati tamu yang menginap. Tak hanya penginapan asri, di tempat lain pun demikian. Mereka tidak membangun dermaga tapi merias pantai yang ada dekat area hotel untuk dapat digunakan para pengunjung hotel/penginapan bersantai. Semoga tempat-tempat ini tetap diperkenankan bagi warga setempat untuk mengunjunginya. *Santai di Dermaga Kayu Penginapan Asri Karimunjawa pada hari Sabtu; 26 Maret 2016.
Viewing all 750 articles
Browse latest View live