Quantcast
Channel: Nasirullah Sitam
Viewing all 749 articles
Browse latest View live

Sepuluh Lokasi yang Sering Dikunjungi Pesepeda Jogja

$
0
0
Bersepeda merupakan salah satu caraku untuk mengunjungi beberapa tempat wisata di Jogja dan sekitarnya. Ada banyak tempat wisata di Jogja yang bisa aku kunjungi hanya dengan menaiki sepeda. Kali ini, aku coba menulis sepuluh tempat yang sering dijadikan para pecinta sepeda sebagai lokasi tujuan untuk menikmati akhir pekannya. Sebenarnya ada banyak destinasi wisata di Jogja yang bisa dijadikan tempat tujuan bersepeda, misalnya pantai, candi, museum, dan lainnya. Namun, aku ingin mengambil tempat-tempat lainnya. Semoga nantinya aku juga bisa menulis tempat-tempat lainnya di blog ini.

Warung Ijo Pakem
Bagi para pesepeda di Jogja, tentu sudah tidak asing dengan Warung Ijo, Pakem. Berlokasi di Jalan Kaliurang km 17, warung ini menjadi tempat hampir seluruh pesepeda yang sedang mengayuh pedal ke arah Kaliurang untuk berhenti. Saking terkenalnya sebagai tempat pesepeda, ditulisan Warung Ijo ini bertuliskan “Warungnya para goweser”. Jika kalian sedang bersepeda ke Jogja, ada baiknya singgah di warung ini. Kalian akan melihat banyaknya para pecinta sepeda yang rehat dan ngobrol santai di warung ini. Menu seperti gorengan ataupun Pisang rebus dapat kita temukan di warung ini. Sudah berkunjung ke Warung Ijo, minimal kita akan mendapatkan teman baru. Baca selengkapnya di sini…
Warung Ijo menjadi magnet para pesepeda di Jogja
Warung Ijo menjadi magnet para pesepeda di Jogja
Blue Lagoon Widodomartani
Selain Warung Ijo Pakem, salah satu tempat yang sering dikunjungi para pesepeda di daerah sana adalah Blue Lagoon. Berlokasi di Ngemplak, Widodomartani, Sleman, tempat ini mencuat dalam hampir dua tahun terakhir. Sebuah aliran air yang tertampung dengan kedalaman lebih dari tiga meter ini berhasil menarik minat para pesepeda maupun pengunjung lain untuk bermain air. Jika kita melewati jalan Kaliurang, nanti pada km 13 (daerah Besi) kalian menemukan pertigaan, silakan ambil kanan sampai mentok. Di sana nanti ada plang petunjuk arahnya. Di Blue Lagoon ini kita bisa berenang seraya menikmati dinginnya air. Bisa juga meloncat dari ketinggian. Oya, nanti kalian juga akan melihat segerombolan ikan kecil yang mencoba untuk menggigit kulit kalian. Seru sekali untuk bermain air di sini. Baca selengkapnya di sini…
Main air di Blue Lagoon Sleman
Main air di Blue Lagoon Sleman
Jembatan Gantung Selopamioro
Meninggalkan kawasan Sleman, kali ini tempat yang ketiga adalah sebuah Jembatan Gantung. Jembatan Gantung Selopamioro ini menjadi salah satu tujuan pesepeda pada akhir pekan. Selain lokasinya yang tidak terlalu jauh dan jalanan pun relatif landai menjadikan lokasi ini menjadi tujuan yang mudah dijangkau. Di Jembatan Gantung ini, kita dapat menikmati suara gemericik aliran sungai Oyo. Selain itu, lokasi ini menjadi salah satu yang sangat bagus untuk berfoto di antara bukit dan hamparan sawah. Ya, Jembatan Gantung yang berwarna kuning ini layaknya magnet bagi pecinta sepeda dijadikan tujuan bersepeda. Baca selengkapnya di sini…
Jembatan Gantung Imogiri, Bantul
Jembatan Gantung Imogiri, Bantul
Candi Abang, Berbah
Lebih dekat lagi dari kota Jogja, tepatnya di Berbah. Salah satu tempat yang selalu dijadikan tujuan pesepeda adalah Candi Abang. Banyak pesepeda yang menjadikan tempat ini sebagai tujuan wisata karena bukitnya yang ditumbuhi rumput hijau. Jika dilihat sekilas, bukit ini mirip sebuah “Walpaper Windows XP”. Oya, selain pagi hari, tempat ini banyak dikunjungi kala senja. Dari sini kita dapat menyaksinya sunset indah. Candi Abang menjadi salah satu pilihan jika kita ingin menikmati sunset yang tidak jauh dari kota Jogja. Baca selengkapnya di sini…
Candi Abang, Berbah
Candi Abang, Berbah
Embung Nglanggeran
Bagi pesepeda yang suka dengan jalanan menanjak, salah satu tujuan yang asyik dikunjungi adalah Embung Nglanggeran. Embung yang berlokasi di Gunungkidul ini cukup membuat para pesepeda sedikit melawan letih agar bisa sampai di sini. Namun segala capek dan letih langsung terbayarkan jika sudah sampai di embung. Bahkan tidak sedikit para pesepeda melanjutkan perjalanan sampai ke puncak Gunung Api Purba Nglanggeran. Ya, berfoto di sekitaran Embung Nglanggeran menjadi salah satu spot yang bagus dan menyenangkan. Baca selengkapnya di sini…
Embung Nglanggeran Gunungkidul
Embung Nglanggeran Gunungkidul
Gardu Pandang Mangunan
Mangunan, ya tempat ini menjadi daya tarik bagi pesepeda sekitaran Jogja. Setiap pekan tetap banyak banget yang bersepeda menuju lokasi ini. Biasanya para pesepeda yang menikmati akhir pekan ke arah Imogiri akan melanjutkan perjalanan menuju Kebun Buah Mangunan. Rute perjalanan menuju Mangunan lumayan menanjak, jadi akan menjadi sensasi tersendiri bagi pecinta tanjakan. Selain itu, tanjakan menuju Mangunan pun masih bisa dilewati bagi yang tidak kuat menanjak. Setidaknya ada sekitar empat tanjakan yang lumayan tinggi, namun tetap bisa dilewati. Dari Gardu Pandang Mangunan, kita dapat melihat hijaunnya kawasan Bantul yang berkombinasi dengan aliran sungai Oyo. Dari sini juga kita dapat melihat Jembatan Gantung Imogiri. Oya, kalau datang ke sini subuh, kita bisa menyaksikan awan yang terbentang bagus. Baca selengkapnya di sini…
Gardu Pandang Mangunan saat pagi hari
Gardu Pandang Mangunan saat pagi hari
Hutan Pinus Imogiri
Sejalur dengan Mangunan, namun pada pertigaan jalan menuju hutan Pinus belok kiri dengan tanjakan yang lumayan tajam. Hutan Pinus Imogiri menjadi tempat favorit para pesepeda untuk berburu foto bareng sepeda. Di sini kita dapat menaiki sepeda di antara pohon-pohon Pinus. Jika menuju Hutan Pinus, aku rekomendasikan pada pagi hari. Selain kita mendapatkan suasana yang masih sejuk, cahaya mentari yang menerobos di antara pohon Pinus menjadikan pemandangan lebih indah. Baca selengkapnya di sini…
Hutan Pinus Bantul
Hutan Pinus Bantul
Puncak Becici
Tidak jauh dari Hutan Pinus, hanya berjarak sekitar 1.5km ke arah perempatan Terong, di sana ada lokasi yang terdapat gardu pandang baru. Nama puncak tersebut adalah Puncak Becici. Dari atas Puncak Becici, kita dapat melihat megahnya puncak Merapi & Merbabu. Selain itu, jika kita datang pada sore hari, sunset di Puncak Becici menjadi salah satu yang difavoritkan oleh pengunjung. sekarang, Puncak Becici sudah bersolek menjadi lebih indah, aku ke sini pada saat Puncak Becici masih belum dikembangkan. Baca selengkapnya di sini…
Puncak Becici, Bantul
Puncak Becici, Bantul
Puncak Bucu/Mbucu Piyungan
Kita tahu, banyak pesepeda yang selalu mencari destinasi baru untuk tujuan sepeda. Di Jogja, ada banyak puncak yang mereka bisa kunjungi. Beberapa tahun terakhir, muncul nama Puncak Mbucu/Bucu yang lagi ngehits. Puncak yang berada di di desa Banyakan, Piyungan ini menjadi tujuan pesepeda setiap akhir pekan. Jalanan yang cukup menanjak dengan jalan yang tidak lebar menjadikan sensasi tersendiri bagi pecinta MTB. Kombinasi jalan aspal, cor, bahkan bebatuan ketika hampir sampai di area puncak. Untuk mencapai puncaknya, kita harus menggendong sepeda. Waktu aku ke sini, kawasan ini masih dipenuhi tumbuhan liar. Beruntunglah akhir-akhir ini, Puncak Bucu bersolek dan ada sebuahlandmark yang bertuliskan Puncak Bucu. Seperti puncak lainnya, Puncak Bucu juga menjadi tujuan para pecinta sunset. Baca selengkapnya di sini…
Puncak Bucu/Mbucu Piyungan
Puncak Bucu/Mbucu Piyungan
Puncak Paralayang Parangtritis
Puncak terakhir yang aku ulas adalah Puncak Paralayang Parangtritis. Berlokasi tidak jauh dari Pantai Parangtritis, dengan rute sepeda yang menanjak menjelang sampai lokasi membuat para pesepeda semakin penasaran untuk sampai ke atas. Satu hal yang aku ingat adalah tanjakan terakhir sebelum sampai di parkiran Paralayang, itu adalah tanjakan tinggi selama perjalanan sampai di lokasi. Dari Puncak Paralayang, kita dapat menyaksikan pantai Parangtritis dan lainnya dari atas. Bahkan lokasi ini setiap senja menjadi ramai karena bisa dijadikan tempat untuk berburu sunsetBaca selengkapnya di sini…
Puncak Paralayang. Jangan ditiru!!
Puncak Paralayang. Jangan ditiru!!
Pada dasarnya ada banyak tempat yang menjadi favorit para pecinta sepeda. Aku di sini hanya menuliskan lokasi-lokasi yang agak mudah disambangi para pencinta sepeda MTB. Semoga nantinya, aku bisa menulis tempat-tempat lain yang digandrungi para pecinta Downhill dll. Rata-rata tempat yang aku ulas sudah menjadi tujuan biasa para pesepeda di Jogja. Adakah lokasi lain yang direkomendasikan untuk dikunjungi bersepeda di Jogja? Nantikan tulisan lain yang berkaitan dengan Candi, pantai, atau destinasi lain yang ada di DI. Yogyakarta.
Baca juga tulisan sepeda lainnya 

#JajananPasar Menikmati Kenyalnya Cetot di Jepara

$
0
0
Aku masih belum beranjak dari tempat penjual Nasi Urap, sepasang mataku melihat simbah yang di samping. Beliau sebuk juga melayani pembeli pagi ini. Ada tiga orang dewasa yang berdiri di depan beliau, mereka berbincang-bincang seraya menunggu pesanannya selesai.

“Siapa yang tadi pesan Putu tiga bungkus? Ini Putu-nya,” Simbah tersebut berbicara agak keras ke arah ketiga orang yang berdiri di depannya. Salah satu dari ketiga orang dewasa tersebut beranjak mendekati simbah, kemudian mengambil bungkusan plastik kecil dan membayar, sesaat kemudian sudah meninggalkan simbah. Putu adalah salah satu jenis jajanan pasar yang sering aku jumpai. Selama aku di Jogja, para penjual Putu biasanya menggunakan sepeda pada sore hari, dan yang paling identik penjual Putu di Jogja adalah suara seperti sirine kecil, jika dibuka suara tersebut berhenti. Sampai sekarang aku belum tahu itu cara membuat suaranya seperti apa. Aku tertarik membeli jajanan lainnya di sana, mataku tertuju pada jajanan yang berwarna-warni di depan beliau.
Ibu penjual jajanan pasar di pasar apung Jepara
Ibu penjual jajanan pasar di pasar apung Jepara
Ibu penjual jajanan pasar di pasar apung Jepara
“Ini Cetot, mbah?” Tanyaku memastikan.

Simbah menganggukkan kepala, beliau masih sibuk membungkus pesanan lainnya.

“Aku bungkuskan 2 ya, mbah.”

Untuk kedua kalinya simbah tersebut hanya menganggukkan kepala. Aku dan Riki pun sabar menunggu antrian agar dibungkuskan jajanan pasar ini. Aku lebih bersemangat, karena pagi ini tidak hanya mendapatkan Nasi Urap saja, tapi juga berhasil secara tidak langsung kulineran jajanan pasar. Jarang-jarang aku memasuki pasar dan membeli jajanan di pasar.

Cetot adalah jajanan pasar yang terbuat dari Pati Kanji, jika dilihat secara langsung; bahan dasar Cetot mirip dengan Cenil. Bahkan secara kasat mata tidak terlihat perbedaan yang mencolok antara Cetot denganCenil. Kedua jajanan pasar ini sama-sama ditaburi parutan kelapa, namun yang membedakan tentunya parutan Kelapanya. Jika taburan parutan Kelapa diCenil itu tidak berasa, berbeda dengan Cetot. Parutan Kelapa di Cetot rasanya manis, dikarenakan parutan Kelapa tersebut dicampur dengan gula pasir.
Sebungkus Cetot hanya Rp.1000 saja
Sebungkus Cetot hanya Rp.1000 saja
“Ini mas dua bungkus Cetotnya,” Ujar Simbah seraya menyodorkan bungkusan kecil ke arahku dengan dialog bahasa Jawa.

“Berapa, mbah?”

“Dua ribu, mas,” Jawab beliau.

Lagi-lagi aku terkejut, jajanan pasar yang kenyal ini hanya dihargai Rp.1000 satu porsinya. Padahal satu porsi Cetot ini lumayan banyak isinya. Bergegas aku membayar simbah tersebut, dan dalam hati masih tidak percaya.

“Dua ribu!?”Gumanku sendiri.

*Kuliner ke Jepara (Pasar Apung) ini pada hari Minggu, tanggal 22 November 2015.
Baca juga kuliner lainnya 

Karya Seni Sepanjang Jalan Malioboro Menuju KM Nol Jogja

$
0
0
Keriuhan sepanjang jalan Malioboro selalu menjadi cerita tersendiri bagi pengunjungnya. Tidak sedikit orang ingin mengabadikan diri tepat ditulisan Jalan Malioboro. Ya, plang jalan Malioboro ini bagaikan sebuah magnet yang dapat membuat siapa saja terdorong hatinya untuk mengabadikan diri. Tidak sah rasanya jika menuju Jogja tanpa ke Malioboro, dan mengabadian diri tepat diplang tulisannya (Seperti itulah kenyataan yang dirasakan para wisatawan yang berkunjung ke Jogja). Aku yang keluar dari Perpustakaan di Malioboropun mengabadikan sekali ritual pengunjung yang berfoto.
Plang Jalan Malioboro, Yogyakarta
Plang Jalan Malioboro, Yogyakarta
Selepas itu, aku berjalan kaki menyusuri jalanan Malioboro yang mulai ramai. Memang masih pagi, namun pengunjung Malioboro diakhir pekan ini tidak mengenal waktu, mereka sudah mulai menyesaki jalanan sepanjang Malioboro seraya mencari oleh-oleh yang ingin dibeli untuk keluarga di rumah. Kaos oblong, Batik, atau sekedar cinderamata seperti manik-manik & gantungan kunci tak lepas dari serbuan pengunjung.

Bukan tanpa alasan aku sengaja berjalan kaki, sebelumnya sengaja menaiki Trans Jogja dari kos. Aku ingin mengabadikan beberapa hasil karya seni yang dihasilkan seniman-seniman pecinta kota Jogja yang berjejeran dengan jarak tak pasti. Patung-patung hasil karya mereka menghiasai jalanan Malioboro ini membuatku tertarik untuk mengabadikan. Jika aku bersepeda, maka akan sulit bagiku mengabadikan setiap karya seninya. Jadi jalan kaki adalah pilihan yang terbaik, walau kadang kala aku harus merespon tawaran para pengayuh becak yang menawarkan diri untuk mengantarkan menuju tempat pembuatan Bakpia atapun kaos Dagadu. Tepat dekat Perpustakaan Malioboro terdapat semacam karya seni Ayam, dan tidak jauh dari sana kiri jalan terdapat patung Kambing dengan tulisan China.
Patung Ayam dan Kambing
Patung Ayam dan Kambing
Patung Ayam dan Kambing
Lebih jauh aku berjalan, mata ini terus mengawasi patung-patung lainnya yang terpasang dijalanan. Terkadang harus sedikit mendongakkan kepala untuk melihat hasil karya seni tersebut. Kemudian dengan sengaja jongkok tidak jauh dari patung, aku pun mengabadikan gambar menggunakan kamera pocket yang menemaniku sepanjang perjalanan. Pertama patung semacam orang sedang menari, berlanjut patung seakan-akan terbang, dan ketiga malah terlihat sedang berpose. Semoga apa yang aku pikirkan ini sama dengan pesan yang mereka hasilkan, kalau pun beda, aku minta maaf. Karena memang di bawah tidak ada keterangan apa maksud patung ini, juga tidak tercantum siapa yang membuatnya.
Patung-patung di sepanjang Jalan Malioboro
Patung-patung di sepanjang Jalan Malioboro
Patung-patung di sepanjang Jalan Malioboro
Patung-patung di sepanjang Jalan Malioboro
Lebih jauh lagi, terdapat empat hasil karya yang tidak terlalu tinggi. Model patung masih sama dengan ketiga patung sebelumnya. Aku pun membidik satu-persatu. Lokasinya salah satunya masih di area jalan Malioboro, namun ketiga lainnya lebih jauh. Lebih tepatnya dekat dengan area KM Nol Jogja, bahkan dua yang terakhir itu di sisi kanan dan kiri dekat lampu merah KM Nol. Indah bukan? Dimulai dari patung seakan-akan tertunduk dengan sayapnya, lalu masih dengan sayap beraksi seperti sedang berlari (mirip pose patung Pancoran), patung ketiga seakan-akan ingin melepaskan diri dari beban yang ada pada dirinya, dan patung terakhir ini seperti ingin melepaskan kepalanya. Sangat penuh makna semua patung tersebut.
Masih mengenai Patung sepanjang jalan Malioboro
Masih mengenai Patung sepanjang jalan Malioboro
Masih mengenai Patung sepanjang jalan Malioboro
Masih mengenai Patung sepanjang jalan Malioboro
Masih mengenai Patung sepanjang jalan Malioboro
Di sela-sela sudut lainnya, ada satu patung yang tentunya tidak asing bagi kalian pecinta film animasi. Khusunya film Animasi Ice Age, yakin deh sosok animasi ini yang membuat kalian terpingkal-pingkal aksinya. Terutama saat berjuang mendapatkan buah yang ada di depannya ini. ada yang tahu namanya buah apa? Atau sosok hewan apa ini? Menarik kan?
Ingat hewan ini, kan?
Ingat hewan ini, kan?
Sebenarnya ada beberapa patung lagi yang di area KM Nol, namun keberadaannya sekarang sudah menghilang. Sebelumnya kita pasti melihat patung Gajah, namun awal minggu kemarin, patung tersebut dibongkar dengan alasan ingin diganti yang lainnya. Jauh sebelumnya juga ada patung Kaki menjulang tinggi, tepat di lokasi yang sama dengan patung Gajah, namun nasibnya pun sama dibongkar. Bahkan kali ini, tepat di tengah-tengah perempatan lokasi KM Nol sedang dibangun semacam batu andesit. Semoga nantinya tidak bakal dibongkar lagi, walaupun patung semacam itu bisa menjadi pemicu pengunjung untuk berpose di dekatnya. Seperti apa yang terjadi di Kawasan Tugu Jogja, banyak pengunjung yang nongkrong di tepian Tugu yang berada di tengah-tengah jalan. Semoga ini bukan menjadi bibit munculnya kemacetan di kawasan KM Nol Jogja. *Patung-patung tersebut aku abadikan pada hari Sabtu, 17 Oktober 2015
Baca juga tulisan lainnya 

Memandangi Gunung Watu Putih Jepara dari Tepian Jalan

$
0
0
Siang hari, aku dan Riki memutuskan untuk pulang. Namun sebelum pulang, rencananya kami akan singgah di Pantai Benteng Portugis. Karena arah ke pantai sejalan dengan arah kami balik Jepara. Dari Dusun Bundopurwo, Sendangrejo, Tayu, Pati; kami diarahkan melalui jalan menuju Dukuh Seti – Puncel, menurut sepupunya Riki, jaraknya lebih dekat daripada kami harus muter ke arah Kelet, Jepara. Kami pun mengikuti arahan beliau, siang ini motor kami melaju menyusuri jalanan Dukuh Seti. Pemandangan sawah dominan terlihat, sesekali juga tidak ketinggalan beberapa petak Tambak Udang/Bandeng.

Setengah jam lebih kami melaju kendaraan dengan kecepatan sedang, tanda-tanda dekat pantai pun sudah terlihat. Beberapa kali kami harus melalui tanaman bakau, setidaknya ini sudah dekat dengan pantai. Tanpa sengaja, aku melihat dari kejauhan perbukitan. Di antara hijaunya perbukitan, terdapat satu bukit yang berbeda warna. Warna bukit tersebut dominan putih. Aku tersadar, kalau sekarang aku sudah mendekati wilayah Jepara. Aku pernah membaca beberapa tulisan mengenai bukit tersebut, nama bukit tersebut adalah Gunung Watu Putih.
Gunung Watu Putih dari kejauhan
Gunung Watu Putih dari kejauhan
“Itu Gunung Watu Putih, Rik. Kita foto sebentar nanti di tepian jalan, ya!?” Pintaku girang.

Riki mengangguk saja, entah mendengar ucapanku atau kaget dengan suaraku yang kencang sekaligus girang. Gunung Watu Putih yang terletak di Clering, Donorojo ini menjadi semacam magnet bagi wisatawan yang ingin ke Pantai Benteng Portugis yang lewat daerah Clering, terutama bagi wisatawan dari kabupaten Pati, dan sekitarnya. Begitu dekat, aku langsung membidik beberapa kali gunung tersebut. Selama aku mengabadikan Gunung Watu Putih, dari sana terlihat banyak truk yang silih berganti keluar masuk. Warna putih pada gunung tersebut adalah batu padas, bahan utama yang digunakan untuk membuat keramik dan lainnya.

Aku bergantian dengan Riki saling mengabadikan gambar, kemudian tetap santai merasakan teriknya matahari seraya melihat ke arah Gunung Watu Putih. Dari ini, aku dapat berfoto dengan bebas tepat berlatar-belakang Gunung Watu Putih. Selesai mengabadikan diri, aku pun melanjutkan perjalanan ke arah pantai. Sebelumnya, aku sengaja menghentikan kendaraanku tepat di pertigaan arah masuk ke Gunung Watu Putih. Di sana sudah ada tiga orang bapak sedang duduk santai di gubuk seraya berbincang-bincang.
Foto dengan latar belakang Gunung Watu Putih, Jepara
Foto dengan latar belakang Gunung Watu Putih, Jepara
Foto dengan latar belakang Gunung Watu Putih, Jepara
“Pak, kalau ke Pantai Benteng Portugis arah mana ya?” Tanyaku serambi menyalami satu-persatu.

“Lurus saja, mas. Pertigaan itu nanti belok kiri, terus ikuti jalan terus nanti kelihatan Benteng Portugisnya.”

“Terima kasih, pak.”

Aku tidak langsung melanjutkan perjalanan, malah sedikit lama berbincang dengan bapak-bapak yang sedang bersantai. Dari sini aku tahu kalau truk-truk yang berlalu-lalang tersebut sudah beroperasi pada tahun 1980an, dan awalnya Gunung Watu Putih itu dikenal oleh warga setempat dengan sebutan Gunung Jago. Namum kali ini lebih dikenal dengan sebutan Gunung Watu Putih, mungkin karena dari kejauhan yang terlihat adalah bebatuan padas berwarna putih, kontras dengan bukit lain yang berwarna hijau, termasuk hamparan sawah di depannya. Aku pun melanjutkan perjalanan selanjutnya ke Pantai Benteng Portugis yang sudah tidak jauh dari sini. *Perjalanan ini pada hari Minggu, 22 November 2015.
Baca juga perjalanan lainnya 

Susur Candi Bareng Komunitas Pitnik Jogja

$
0
0
Sudah beberapa pekan aku tidak bersepeda sedikit lebih jauh. Terakhir bersepeda hanya keliling kota seraya mengabadikan Patung-patung di Mangkubumi. Sebelumnya, aku mengikuti rombongan ke Desa Wisata Grogol, dan jauh sebelumnya adalah awal November bareng beberapa teman eNTe ke pantai Ngunggah. Selebihnya, aku sok sibuk dikos, bersantai dengan laptop dan secangkir teh maupun kopi.

Menjelang akhir pekan kemarin, aku pun hanya santai saja. Sesekali melihat grup FB yang banyak membagikan agenda kegiatan gowes pagi, ataupun berkomentar (senda gurau) di postingan salah satu anggota grup. Aku pun memutuskan untuk mengikuti susur candi yang diadakan oleh Komunitas Pitnik. Ini kali pertamanya aku bergabung dengan komunitas tersebut. Pagi pun menyapa, aku bergegas mengayuh pedal sepeda menuju lokasi titik kumpul depan JEC.
Foto bareng di seberang JEC
Foto bareng di seberang JEC
“Sitam,”Ucapku mengenalkan diri serambi berjabat tangan.

Sudah ada lima orang yang menunggu, beliau ini adalah pentolan-pentolan Pitnik. Serambi menunggu yang lain, kami pun berbincang santai. Ya, obrolan ini tidak jauh-jauh dari sekitaran sepeda. Tidak terasa kami pun sudah berkumpul banyak orang, dan keriuahan & keakraban pun sudah terlihat dari awal. Tidak hanya aku, ada beberapa pesepeda lainnya yang baru pertama ikut kumpul.

Sebelum iringan sepeda ini melaju, kami pun berdoa bersama. Mulailah rombongan ini bersepeda menyusuri jalanan Berbah, kemudian berlanjut membelokkan arah ke area dekat Landasan Pacu Bandara. Di sini sudah banyak orang-orang yang menyaksikan atraksi pesawat TNI AU. Bahkan terjadi sebuah musibah yang menggugurkan 2 orang, kami turut berduka; semoga diterima disisiNYA.
Di salah satu  jalan sekitar Berbah
Di salah satu  jalan sekitar Berbah
Entahlah, kenapa aku suka banget lihat foto ini; sepeda ontel
Entahlah, kenapa aku suka banget lihat foto ini; sepeda ontel
Tidak lama waktu kami bersantai disekitar landasan pacu, sepeda pun kami arahkan ke Jalan Solo; menyeberang dan kemudian berlanjut ke arah Candi Sari. Ini merupakan tujuan pertama rombongan kami. Tradisi foto bareng pun berjalan dengan baik, tanpa menghabiskan banyak waktu sang koordinator pun mengomandani untuk melanjutkan ke destinasi candi selanjutnya; Candi Kedulan, sebuah reruntuhan candi yang berada di tengah sawah. Oya, di tengah-tengah perjalanan menuju Candi Sari, salah satu rantai sepeda anggota rombongan putus. Kami pun berhenti saling menunggu agak lama, sayangnya rantai belum bisa terpasang, sehingga salah satu anggota sepeda pun berinisiatif untuk memboncengkan. Salut buat kebersamaan teman-teman Komunitas Pitnik.

Meninggalkan Candi Kedulan, rombongan pun berlanjut menuju tujuan terakhir pagi ini. Candi Sambisari, kembali kami menyusuri jalan yang tidak terlalu ramai. Sesekali memperlambat laju sepeda agar yang di belakang tidak tertinggal jauh. Begitu sampai di Candi Sambisari, rombongan memarkirkan sepeda dan mulai mauk ke candi. Hampir sebagian besar masuk, hanya meninggalkan aku dengan salah satu teman dari Federal yang tidak masuk ke candi. Kami berbincang santai membahas akhir pekan yang lumayan panjang seraya menunggu rombongan selesai berfoto ria di candi.
Depan Candi Sari
Depan Candi Sari
Foto bareng di depan reruntuhan candi Kedulan
Foto bareng di depan reruntuhan candi Kedulan
Tidak terasa, jam tangan sudah menunjukkan pukul 10.00 wib, rombongan pun mulai bubar. Sebagian ijin pulang lebih dahulu, sebagian masih melanjutkan perjalanan melihat atraksi pesawat, dan aku pun ijin belok kanan pulang menyusuri Selokan Mataram. Terima kasih untuk seluruh anggota Komunitas Pitnik atas keramahannya, juga terima kasih karena sudah diberi kalender 2016. Kalendernya sudah terpajang di tembok kamar kos. Semoga ke depannya bisa ikut bergabung lagi, dan dengar-dengar bulan April 2016 ulang tahun Komunitas Pitnik ya? Semoga tetap kompak dan terus bersepeda, karena bersepeda pun juga bisa berpiknik. *Susur candi bareng Komunitas Pitnik pada hari Minggu, 20 Desember 2015.
Baca juga tulisan lainnya 

#JajananPasar Akhirnya Mencicipi Kuliner Horog-horog Jepara

$
0
0
Aku tidak serta-merta meninggalkan pasar, walau kedua tanganku sudah membawa bungkusan Nasi Urap dan Cetot. Mataku tertuju pada kesibukan simbah yang tadi membungkuskan Cetot. Beliau mengambil semacam makanan yang terbungkus rapi daun Pisang. Dibukanya bungkusan tersebut, sebuah makanan berwarna putih terlihat jelas olehku.

“Itu Horog-horog, mbah?” Tanyaku kembali dengan bahasa Jawa.

“Iya mas,”Jawab simbah masih berusaha membuka bungkusannya.

“Aku bungkuskan dua porsi, mbah,” Pintaku antusias.
Simbah yang jualan Horog-horog berdampingan dengan yang jualan Nasi Urap
Simbah yang jualan Horog-horog berdampingan dengan yang jualan Nasi Urap
Simbah yang jualan Horog-horog berdampingan dengan yang jualan Nasi Urap
Sejenak simbah berhenti membuka bungkusan Horog-horog, beliau mendongakkan kepala ke arahku dengan raut agak terkaget. Bisa jadi beliau kaget karena aku sudah membawa banyak bungkus makanan, kali ini menambah lagi dua porsi Horog-horog. Setelah beliau yakin melihatku, simbah pun cekatan mengiris Horog-horog dua porsi untukku.

Mungkin kalian yang berada di luar Jepara agak bingung dengan kuliner satu ini. Horog-horog adalah kuliner khas Jepara yang dari dulu aku cari-cari. Pernah beberapa kali aku ke Jepara, namun baru kali ini aku bisa menemukannya di pasar. Karena itu juga aku sangat antusias ketika simbah tersebut membuka bungkusnya. Bagi kalian yang kurang paham, Horog-horog ini terbuat dari Pati Aren. Setelah diolah dan jadi seperti ini, rasanya pun menjadi gurih. Terang saja tekstur makanannya tidak lembut, semacam kita sedang makan pudding. Kalau di Jepara, Horog-horog ini lebih nikmat jika dimakan dengan laut Sate Kikil. Jadi kalau bisa beli sekalian satu paket, Horog-horog dan Kikil.

“Berapa, mbah?”

“Dua ribu, mas.”
Horog-horog kuliner khas Jepara
Horog-horog kuliner khas Jepara
Horog-horog kuliner khas Jepara
Untuk kesekian kalinya aku harus terkaget tidak percaya, Horog-horog yang seporsi ini hanya dijual dengan harga Rp.1000,- saja. Aku pun menerima dua porsi Horog-horog yang dibungkus dengan daun Jati. Kemudian membayarnya, dan menggabungkan dengan bungkusan makanan lainnya. Pagi ini aku memborong 4 porsi Nasi Urap, masing-masing 2 porsi Horog-horog danCetot. Total pengeluaranku adalah Rp.12.000,- saja. Amat sangat murah kan?

Jika kalian masih penasaran dengan Horog-horog, ataupun ingin merasakan bagaimana rasanya Horog-horog yang sedikit gurih ini. Kalian bisa berburu makanan khas Jepara ini di pasar-pasar sepanjang di Jepara. Aku rekomendasikan jika sebaiknya pagi hari untuk mencarinya, kadang sore sudah jarang ada yang jualan Horog-horog di Jepara. Selamat mencoba berburu Horog-horog Jepara. *Kuliner ke Jepara (Pasar Apung) ini pada hari Minggu, tanggal 22 November 2015.
Baca juga kuliner lainnya 

Melongok Koleksi di Museum Sonobudoyo Yogyakarta

$
0
0
Ada semacam rasa puas dan gembira kala aku keluar dari Perpustakaan Taman Pintar. Kususuri jalan menuju pintu keluar, arah jalannya pun bersambung dengan Shopping. Tepatnya malah di lantai tiga. Aku menuruni anak tangga seraya melihat tumpukan buku yang dijual. Perjalanan kali ini aku tujukan ke Sonobudoyo. Niatku sebenarnya adalah mengunjungi Perpustakaan Sonobudoyo Unit I yang ada di jalan Trikora No 6. Tepatnya depan Alun-alun Utara Yogyakarta.

“Museumnya buka, mas. Bayar tiket masuknya di dalam,” Kata Satpam yang menjaga di posnya.

Aku menuju gapura yang ada di depan. Di depanku banyak tembok yang diruntuhkan, kemungkinan terbesar adalah, Museum Sonobudoyo sedang direhab. Melewati semacam gapura kecil, aku berada di sebuah pendopo luas. Kanan – kiri lengkap alat gamelan. Dan di sini kiri seorang bapak yang bertugas menjaga tiket.
Museum Sonobudoyo Yogyakarta
Museum Sonobudoyo Yogyakarta
Museum Sonobudoyo Yogyakarta
“Tiga ribu ya, mas,” Kata bapak seraya memberikan tiket.

“Baik pak. Di dalam boleh motret?” Tanyaku seraya menunjukkan kamera pocket.

Beliau menganggukkan kepala, di sini pun memotret tidak dikenai tambahan biaya. Kuberikan uang 5ribuan, dan meninggalkan kembaliannya di sana. Aku mulai mengabadikan gamelan-galeman di depan. Tanpa kusadari seorang ibu mendekatiku.

“Butuh pemandu?” Beliau menawarkan diri.

“Tidak usah, bu. Terima kasih. Oya bu, perpustakaannya buka atau tidak ya?”

“Tutup mas, perpustakaan sesuai hari kerja.”

Beliau pun tersenyum, di sini aku melihat ada beberapa orang yang duduk seraya menghadap ke laptop. Mereka adalah pemandu yang dapat memandu setiap pengunjung yang ingin mendapatkan keterangan lebih mengenai koleksi di Museum Sonobudoyo. Oya, para pemandu tersebut memang menjadi bagian dari museum, jadi kita tidak perlu menambah biaya untuk menjadikan beliau pemandu kita selama di dalam ruangan.

Memasuki ruangan pertama, aku melihat banyak pajangan di sana. Ada semacam kain, replika Andong, sampai kain seperti bendera Me rah Putih yang di belakangnya terdapat bayangan Wayang. Dijelaskan pada keterangan di bawah, bahwa ada beberapa tokoh Wayang Purwa dalam cerita Ramayana. Mereka di antaranya adalah Rama, Lesmana, dan Anoman. Selain tokoh-tokoh tersebut, tentu kita juga mengenal tokoh lain seperti Sinta dan Rahwana. Cerita ini akan terus ada jika kita sedang menyaksikan Wayang dengan tema Rama & Sinta.
Miniatur Kereta
Miniatur Kereta
Wayang dan corak Merah putih
Wayang dan corak Merah putih
Ruangan selanjutnya adalah koleksi tentang manusia purba. Di sini ada tengkorak & tulang Paha manusia. Selain itu terdapat juga alat-alat yang digunakan waktu hidup. Pada masa Prasejarah, di Indonesia ada dua jenis logam yang digunakan, besi dan perunggu. Dari keterangan tulisan yang terpampang koleksi Perunggu antara lain; Kapak Corong, Bejana Perunggu, Nekara, dan Moko. Sedangkan besi untuk Mata Panah dan Mata Tombak.

Kucoba melihat deretan lainnya, ada semacam galian yang terdapat ditengah-tengah ruangan ini. Kulongokkan kepala, di dalamnya terdapat semacam tulang manusia. Sebuah replika peti kubur batu. “Kubur yang berbentuk peti, terdiri atas enam papan batu. Di dalamnya sering ditemukan tulang manusia bersama bekal kubur seperti manik-manik, gerabah, dan alat-alat logam di situs Kajar, Gunung Kidul, bahkan peti kubur satu terbuat dari batu gamping – keterangan dari tulisan di bawahnya”
Tengkorak dan kuburan
Tengkorak dan kuburan
Tengkorak dan kuburan
Masih di ruangan yang sama namun tersekat oleh jejeran lemari berisi gerabah. Aku mengikuti arah ruangan untuk berjalan seraya mata mengamati satu demi satu koleksi yang dipajang. Jejeran guci dan koleksi dari bahan keramik pun tertata rapi. Di sudut lain, aku tertarik melihat semacam koleksi Naskah Kuno. Seperti yang aku bilang, dulu aku pernah mempelajari sedikit Filologi di Perpustakaan Sonobudoyo ini. Sayangnya perpustakaan ini hanya buka pada hari kerja saja.
Koleksi Naskah Kuno
Koleksi Naskah Kuno
Sedikit rinduku mengenai Naskah Kuno terobati, di sini ada pajangan naskah kuno dari berbagai bahan. Dua buah buku berwarna kuning kusam terpajang di dalam. Tulisan Aksara Jawa tersusun rapi membentuk sebait kata. Sayangnya, aku tidak bisa membaca tulisan tersebut. Selain itu, di atasnya juga terpajang naskah dengan Aksara Jawa. Naskah yang ditulis pada daun Lontar ini masih tetap bisa terjaga dengan baik.

Lebih dalam memasuki ruangan, sebuah ruangan lebih gelap ini menampilkan berbagai jenis batik. Tidak hanya hasil batiknya, namum juga terdapat alat dan bahan untuk pembuatan sebuah batik. Berbagai Canthing (Tembokan, Klowongan, Isen, dan Cecek) terpajang di samping Parafin, Malam, Tungku, Wajan, dan Kipas yang terbuat dari anyaman Bambu. Deretan hasil batik pun terpasang pada Maneken. Maneken-maneken tersebut layaknya patung yang dirias seperti pasangan pengantin memakai gaun batik.
Peralatan untuk membatik
Peralatan untuk membatik
Koleksi lain pun tersaji di dua ruangan lainnya. Ruangan ini lebih terang, setiap sisinya terdapat berbagai jenis Wayang. Kuamati satu demi satu seraya mencatat beberapa jenis Wayang yang terpajang. Adapun Wayangnya antara lain; Wayang Kancil (bersumber pada cerita Kancil dan Buaya), Wayang Wahyu (Karya bapak Sutadi BS Solo Tentang Kelahiran & Perjalanan Yesus), Wayang Sadat (karya bapak Suryadi B.A Trucuk, Klaten; tentang perjuangan para wali di tanah Jawa), Wayang Gedhog Solo, Simpingan Wayang Kulit Purwa Yogyakarta,  Wayang Golek Purwa Pasundan, Wayang Golek Menak Yogyakarta, Wayang Klitik, dan Wayang Dupara. Semua koleksi Wayang aku abadikan dengan kamera.
Salah satu kumpulan Wayang
Salah satu kumpulan Wayang
Beranjak menuju pintu depannya yang hanya disekat dengan sebuah gorden berwana gelap, ruangan kecil ini berisi berbagai Topeng. Ada Topeng Figura manusia (raut wajah lucu, seram, cacat mulut, cacat mulut dan mata, & cacar). Tidak ketinggalan Topeng Bali Cerita Ramayana, Topeng Yogyakarta Cerita Panji, Topeng Cirebon Cerita Mahabarata, berbagai macam Topeng Barong Bali, bahkan Topeng Sabrangan Madura. Semua koleksi Topeng di bawahnya tertulis keterangan mengenai jenis topeng dan asalnya.
Ada yang tahu ini topeng apa?
Ada yang tahu ini topeng apa?
Perjalanan berlanjut menuju ruangan lainnya yang lebih luas. Di sana terdapat berbagai karya yang berasal dari Jepara. Seperti Rana (Penyekat Ruangan), atau malah sebuah Meja yang dikelilingi beberapa Kursi. Meja dan Kursi ini terbalut dengan ukiran khas Jepara. Langkahku pun mengikuti arahan belok kiri. Di ruangan ini ada berbagai alat yang terbuat dari logam. Ada Centong Logam dari Masa Klasik, Kendi Kuningan, Ceret/Teko, Pakinangan & Kacip (tempat untuk menyimpan ramuan Kinang; sirih, tembahau, pinang muda, dan kapur). Ada juga Vas Kuningan, Blencong (alat penerangan pertunjukan Wayang masa lampau), juga Perkakas Makan (sendok, piring, garpu, juga ada pisau).
Kursi ukiran khas Jepara
Kursi ukiran khas Jepara
Berbagai hasil dari Kuningan
Berbagai hasil dari Kuningan
Keluar dari ruangan ini, aku dihadapkan pada sebuah gapura. Mirip Gapura-gapura yang ada di Bali. Kucoba melongokkan banguan di balik gapura, di sana ada Bale Gede. Tempat yang sebenarnya digunakan Upacara Daur Hidup; memandikan Jenasah dan memberi sesaji disampingnya (di Bali). Namun, tempat ini juga berfungsi untuk tempat bermusyawarah. Di dalamnya terdapat Patung yang berjejeran dan sepasang dipan.
Nampang dulu
Nampang dulu
Bale Gede
Bale Gede
Selesai mengabadikan diri di depan Gapura, aku kembali ke dalam bangunan lagi. Sebuah anak panah menunjukkan arah tujuanku. Masuk ke dalam ruangan, terjejer rapi pajangan berbagai senjata tajam. Senjata tajam seperti Pedang, Celurit, Gobang, bahkan Pisau Pengukir. Ada juga koleksi Keris (Keris Luk 3, Keris Lurus. Keris Luk 13, Keris Luk 9, Keris Luk 5, dan sebagainya). Tak ketinggalan pula Tombak dan Kujang. Ada banyak koleksi yang ada di dalam ruangan ini.

Kususuri ruangan yang lainnya. Ini seperti hampir ujung bangunan. Di dalamnya ternyata ada berbagai macam mainan tradisional. Mainan yang tidak pernah kita lupakan (bagi orang lahir 80-90an). Karena sebagian mainan tersebut pernah kita mainkan. Mainan seperti; Senapan Kayu, Othok-othok (semacam batang kayu yang direkat dengan karet dan ditengahnya diberi lidi), Yoyo, Plintheng/Ketapel, Kapal Othok-othok, Bola Kasti & Pentungan, Suling, Dakon, ataupun Gangsing. Tentu mainan tersebut sangat akrab bagi kita bukan? Tidak ketinggalan lukisan anak-anak main Dubak Sodor juga ada di sana. Benar-benar mengingatkan waktu kecil.
Berbagai jenis senjata tajam
Berbagai jenis senjata tajam
Hayoo mana yang termasuk mainanmu waktu kecil?
Hayoo mana yang termasuk mainanmu waktu kecil?
Aku melewati pintu terakhir. Kali ini langsung menuju bagian depan lagi, namun dari arah yan berlawanan. Melewati para pemandu yang asyik dengan aktifitasnyan sambil menunggu pengunjung yang membutuhkan bantuan. Aku sedikit ngobrol sejenak sebelum keluar dari Museum Sonobudoyo. Sebuah tempat yang asyik untuk dikunjungi, di sini kita dapat bermain, menimba ilmu, dan tentunya berlibur. Semoga ke depannya, setiap museum bisa menjadi tempat yang menarik bagi para wisatawan domestik maupun manca. Aku berlalu melangkahkan kaki menuju lokasi terakhir sebelum pulang ke kos. *Kunjungan ke Museum Sonobudoyo ini pada hari Sabtu, 17 Oktober tahun 2015.
MUSEUM NEGERI SONOBUDOYO
Jalan Trikora No. 6 Yogyakarta
Telp: 0274-385664
Buka: Selasa – Minggu (Senin dan Hari Besar Libur)
Harga Tiket Masuk: perorangan (dewasa)     : Rp. 3000
Rombongan dewasa   : Rp. 2.500
Perorangan anak        : Rp. 2.500
Rombongan Anak-anak           : Rp. 2000
Turis Manca    : Rp. 5000
Harga Tiket Pagelaran Wayang         : Rp. 20.000
Baca juga tulisan lainnya 

Menyapa Pulau Mandalika dari Pantai Benteng Portugis Jepara

$
0
0
Perjalanan panjang dari Jepara menuju Pati, berlanjut menikmati legitnya Buah Durian; dan sempat singgah sejenak di Gunung Watu Putih, aku dan Riki melanjutkan menuju Pantai Benteng Portugis. Sebuah jalan tidak terlalu besar kami susuri menggunakan sepeda motor yang kecepatannya sedang. Berbaris rumah warga, terkadang seekor Anjing menyeberang begitu saja. Samar-samar terlihat sisi kiri bentangan pantai, namun aku belum melihat pintu gerbang Benteng Portugis yang banyak bersebaran di berbagai sosial media.

Tanpa terasa, tujuan kami Pantai Benteng Portugis pun mulai terlihat. Sebuah gerbang berwarna kuning kokoh berdiri bertuliskan Benteng Portugis. Luasnya halaman yang sudah di paving di antara beberapa pepohonan yang ditanam. Dari kejauhan juga tampak bendera Sang Merah Putih berkibar terkena hembusan angin laut. Kami memarkirkan kendaraan di samping pintu gerbang, tepatnya di bawah pohon Ketapang yang lumayan rindang. Ya, inilah pantai Benteng Portugis yang terletak di Desa Banyumanis Kecamatan Donorojo, Jepara.
Gerbang pantai Benteng Portugis Jepara
Gerbang pantai Benteng Portugis Jepara
Gerbang pantai Benteng Portugis Jepara
“Loh, mas Riki ke sini juga?” Sapaan sekaligus pertanyaan terlontar dari seseorang cewek yang kumpul dengan rombongannya.

“Eh, kamu. Iya, ini bareng kak Rullah,” Jawab Riki.

Sedikit pun aku tidak mengenal cewek tersebut, setelah ngobrol agak lama, aku baru sadar kalau cewek ini juga berasal dari Karimunjawa yang sedang kuliah. Perbincangan memang tidak lama, aku melangkahkan kaki menuju pantai. Dari Gerbang, pantai masih sekitar 100 meter. Sebenarnya sepeda motor bisa parkir di dalam atau membawa kendaraan sampai dekat pantai, namun kami sudah memutuskan untuk memarkir sepeda di luar. Siang sudah sangat terik, tepat pukul 12.45 wib aku berada di pantai. Riki memutuskan hanya menungguku di kursi-kursi yang ada di gerbang pantai.

Sudah ada banyak warung di sini, sisi kiri juga terdapat bangunan yang mungkin bisa digunakan. Sementara tepat di depan pantai, sebuah tanggul dipasang agar ombak tidak sampai ke atas. Selain itu juga dibangun tanggul agar mencegah terjadinya abrasi. Landmark yang bertuliskan Benteng Portugis tepat di depanku. Sebuah lingkaran pondasi kecil berwarna biru menjadi warna yang kontras dengan tulisan yang mengkilap. Sementara itu, tepat di seberang, sebuah pulau kecil yang bernama Pulau Mandalika terlihat jelas. Hanya berjarak beberapa mil saja dari bibir pantai Benteng Portugis. Pasir di pantai ini berwarna hitam, namum sangat lembut. Aku mencoba menggenggam pasirnya.
Landmark Pantai Benteng Portugis Jepara
Landmark Pantai Benteng Portugis Jepara
Landmark Pantai Benteng Portugis Jepara
Puas mengabadikan di landmark tulisan Benteng Portugis, kulangkahkan kaki mengikuti jalan cor setapak yang ada di sisi kananku. Jalan ini cukup sepi, walau banyak pengunjung; mereka hampir semuanya berteduh di bawah pohon. Aku sendiri mengabaikan panasnya matahari, kususuri jalan setapak tersebut sambil mengabadikan gambar. Seraya berjalan, aku dapat melihat beberapa warung dekat pantai yang ramai pengunjung. Beralih ke tengah laut, sepasang kapal kecil nelayan tertambat di laut. Dari berbagai info yang kudapatkan, sebenarnya ada kapal warga setempat yang bisa disewa menuju pulau Mandalika, namun ada batas minimal berapa orang yang ikut atau bayar. Aku hanya menikmati pemandangan ini seraya terus melangkah.
Jalan cor dan kapal di pantai
Jalan cor dan kapal di pantai
Jalan cor dan kapal di pantai
Jalan cor setapak ini masih berlanjut, sepertinya memang dipergunakan bagi orang yang suka hiking. Aku tidak sampai mentok ke jalan setapak, justru aku tertarik pada bebatuan  yang berwarna putih dan sedikit licin di pantai. batu pantai yang agak tajam dan berwarna putih ini terlihat asyik untuk diduduki. Seraya duduk dibebatuan, aku dapat memandang daratan Jepara. Barisan bukit hijau terlihat dari kejauhan, tidak ketinggalan juga tempat di mana tadi aku mengabadikan landmark. Disela-sela bersantai, aku mengabadikan diri diatas bebatuan putih. Dua orang yang sedang memancing pun melihat tingkahku, mungkin mereka merasa lucu dengan tingkahku.
Bebatuan di salah satu sudut pantai Benteng Portugis
Bebatuan di salah satu sudut pantai Benteng Portugis
Bebatuan di salah satu sudut pantai Benteng Portugis
Oya, sebelum aku meninggalkan Pantai Benteng Portugis, kusempatkan mengabadikan diri tepat di landmark. Dua buah foto membuatku merasa sudah sah mengunjungi pantai ini, namun masih ada misi mengunjungi pantai ini dengan sepeda. Pada foto pertama, aku sengaja duduk di antara dua tulisan, sedangkan pose yang kedua ini menurutku bagus. Semacam sapaan kepada Pulau Mandalika yang ada di depan seraya berdoa semoga ada kesempatan menuju pulau tersebut di lain waktu.
Hai Pantai!!!
Hai Pantai!!!
Hai Pantai!!!
Ya, tuntas sudah perjalananku hari ini. Rencana tak terduga bisa mengunjungi Pantai Benteng Portugis pun berjalan dengan lancar. Hembusan angin laut, teriknya mentari, genggaman pasir hitamnya, dan sapaan ke pulau Mandalika sudah terlaksana. Waktunya kembali ke Jepara, dan siap berkemas balik  Jogja. Pada dasarnya, Jepara mempunyai banyak pantai yang dapat kita susuri sewaktu-waktu. Oya, daerah Donorojo ini tidak hanya terkenal dengan pantainya saja, ada banyak destinasi wisata alam seperti goa yang bisa kita eksplore. Ada keinginan untuk kembali mengeksplore daerah Jepara yang berbatasan dengan Pati ini. *Perjalanan ini pada hari Minggu, 22 November 2015.
Baca juga perjalanan lainnya 

Susur Selokan Mataram – Ancol – Candi Borobudur

$
0
0
“Mas Sitam libur lusa kemana?” Sebuah pesan Facebook kuterima siang kala itu. Aku langsung membalas cepat jika tanggal 24 Desember nanti tidak ada rencana. Aku sengaja ingin bersantai seraya menunggu haru sabtu, karena hari tersebut aku ke Malang. Obrolan pun mengerucut, ajakan bersepeda menyusuri Selokan Mataram– Ancol – Candi Borobudur pun kuiyakan. Mumpung masih belum ada rencana dan menambah teman baru.

Benar saja, Kamis pagi kami berkumpul di Bunderan UGM, lalu mulai menyusuri selokan sampai ke Ancol. Sepanjang perjalanan kami sering berhenti; ini buka karena capek, melainkan sengaja mengabadikan diri selama masih di Selokan Mataram. Pagi lumayan mendung, namun suasana tersebut makin membuat pagi menjadi lebih sejuk. Iringan sepeda yang berjumlah tujuh orang pun menikmati pagi seraya bercanda.
Iringan sepeda menyusuri Selokan Mataram
Iringan sepeda menyusuri Selokan Mataram
Dan lagi-lagi kami berhenti, kali ini godaan untuk berfoto bukan karena hamparan sawah atau aliran Selokan Mataram. Rombongan kami berhenti tepat di samping tiga Kerbau besar yang makan rumput. Tanpa menunggu waktu lama, hampir semua pesepeda pun tertarik berfoto bareng Kerbau. Hemmm Kerbaunya ada yang sok cuek, tapi juga ada yang sadar kamera loh. Ternyata yang narsis bukan hanya teman-teman rombongan, Kerbau pun juga ikutan narsis. Tanpa merasa terganggu, Kerbau-kerbau tersebut kembali melahap rumput yang ada di tepi jalan.
Gangguin Kerbau dulu
Gangguin Kerbau dulu
Gangguin Kerbau dulu
Perjalanan sedikit panjang ini akhirnya sampai di Ancol. Ya, lokasi ini menjadi salah satu favorit untuk tujuan bersepeda teman-teman Jogja. Dari sini aku dapat mengabadikan Jembatan penyeberangan. Tidak jauh dari Ancol adalah Kalibawang, tempat orang-orang berburu Durian saat musim seperti ini. Aku pernah menyusuri Selokan Mataram sampai Kalibawang untuk berburu Durian, namun kali ini misiku berbeda. Aku ingin ke Borobudurmelalui jalan selokan ini, karena dulu pernah ke Candi Borobudur melalui jalan raya.

Personil yang awalnya berjumlah tujuh orang pun bertambah menjadi Sembilan orang. Mas Yuda dan Mas Anjat sudah menunggu kami di Ancol, kami memang janjian sebelumnya. Sejenak kami beristirahat seraya mendengarkan aliran air sungai yang melimpah. Sesekali mengabadikan diri bersama sepeda, tentu tidak lupa untuk foto bersama. Bukti kalau akhir pekan ini kami bersepeda bareng; dan tentunya bakalan kami upload di FB. *bukan pencitraan loh.
Sampai juga di Ancol
Sampai juga di Ancol
Foto bareng dulu
Foto bareng dulu
Sesuai kesepakatan, kami menyusuri jalanan dari Kalibawang. Baiklah, ada beberapa titik jalan yang cukup parah. Namun dapat kami libas (bagi yang menggunakan MTB), sementara mas Yuda yang menggunakan Roadbike pun tanpa canggung mengangkat sepeda. Memang resiko pakai roadbike jika jalan hanya bebatuan. Tawa canda pun menyelingi perjalanan ini. Niatnya, kami ingin makan Ikan Wader di salah satu warung yang sudah terkenal; tapi keberuntungan belum berpihak ke kami, warung tersebut tutup. Perjalanan kami lanjutkan menuju Candi Borobudur. Akhirnya kami sarapan di area Candi Mendut, di sini kami juga bertemu dengan rombongan lain yang berjumlah tiga orang. Di sini juga kami yang sudah janjian dengan pihak Pocari Sweat, sehingga waktu akan melanjutak perjalanan kami mengambil beberapa botol Pocari serta berfoto bareng. Rombongan ini berpisah, kami ke Borobudur sementara Mas Yuda dan rombongan lain langsung balik ke Jogja. *senang bertemu dengan keluarga baru lagi (jabat tangan).
Melewati Jembatan
Melewati Jembatan
Foto bareng dulu dengan teman baru dan pocari sweat
Foto bareng dulu dengan teman baru dan pocari sweat (dokumentasi: Mas Yuda/Jogja Gowes)
Jumlah kendaraan makin banyak, selingan antara bus pariwisata, kendaraan pribadi berbagai plat luar kota Magelang, dan rombongan sepeda kami tumpah-ruah menjadi satu. Jalanan arah Candi Borobudur tersendat, kami tidak langsung berfoto ditulisan Candi Borobudur, namum mengarahkan jalan menuju arah jalan ke Punthuk Setumbu. Dari sini kami dapat melihat Candi Borobudur dengan keramaian para pengunjungnya. Kamera ditangan ini sengaja aku zoom paling jauh, mencoba mengabadikan candi agar terlihat lebih besar. Di sini rombongan kami pun mengabadikan diri, dengan latar belakang candi.
Berfoto dengan latar belakang Candi Borobudur
Berfoto dengan latar belakang Candi Borobudur
Berfoto dengan latar belakang Candi Borobudur
Di sela-sela menikmati Candi Borobudur dari kejauhan, kami juga menikmati pemandangan Delman sepanjang jalan. Pengunjung banyak yang ingin menikmati suasana kawasan candi dengan naik Delman. Hanya setengah jam kami berpanas-panas ria di sini, dengan sigap koordinator bersepeda ini mengajak kami secepatnya baik ke area tulisan Candi Borobudur untuk berfoto. Butuh kesabaran agar dapat berfoto di sini, banyak pengunjung yang juga ingin mengabadikan diri ditulisan Candi Borobudur. Aku menunggu giliran berfoto di posko polisi yang ada di samping tulisan. Di sini juga terdapat dua sepeda berwarna kuning dan bertuliskan “patroli”. Wah ada sepeda untuk polisi di sini, keren. Setelah agak lama menunggu, akhirnya giliran kami foto bareng pun tiba. Tanpa membuang banyak waktu (karena banyak yang antri), kami pun berpose dan langsung jepret-jepret.
Ketemu Delman di sini
Berkeliling naik Delman
Foto di taman Borobudur
Foto di taman Borobudur
Jam tepat menunjukkan akrah pukul 10.55 wib, kami bergegas mengayuh sepeda kembali pulang ke Jogja. Panas terik semakin terasa, walau tadi terlihat tanda-tanda akan hujan. Namun awan yang sedari tadi menutup sang mentari lambat laun bergerak terkena hembasan angin. Siang ini cukup terik, dan lumayan membuat hawa badan berubah. Di satu titik dekat area keluar kawasan Candi Borobudur kami berhenti, di sini kembali dari pihak Pocari Sweat menghampiri kami dan memberikan beberapa botol Pocari Sweat dingin untuk kami minum dan bekal selama perjalanan pulang. *Terima kasih untuk Pocari Sweat atas minumannya, rela dari Jogja sampai ke Borobudur dibawain beberapa kardus Pocari Sweat dingin dan Kalender 2016.
Lagi-lagi mengambil jatah Pocari Sweat
Lagi-lagi mengambil jatah Pocari Sweat
Pulang ini kami menyusuri jalan yang tadi kami lewati saat berangkat. Hanya saja, jalurnya tidak sama persis. Kami sengaja memilih jalan yan lebih bagus, perjalanan pun menyusuri Kalibawang menuju Godean. Menyeberangi jembatan Kreo dan pulang lewat Pasar Godean sampai ke Ringroad. Di beberapa titik kami berpisah dengan teman rombongan. Terima kasih khususnya teman-teman yang mengajakku ke Candi Borobudur pagi ini, spesial untuk Mbak Arry, Mbak Nurhastuti, Mas Imam, Mas Ito, Mas Jhoni, Mas Siroj, Mas Yuda, dan Mas Anjat; semoga nggak kapok ngajakin aku lagi kalau ada agenda bersepeda. *Bersepeda menyusuri Selokan Mataram – Ancol – Candi Borobudur pada hari Kamis, 24 Desember 2015.
Baca juga cerita bersepeda lainnya 

Selamat Pagi Jogja, Selamat Sore Malang

$
0
0
Menjelang subuh, aku sudah siap bergegas keluar dari kamar kos seraya menyandarkan satu ransel berukuran 38liter di dinding. Pagi ini aku sudah mandi lebih awal. Tidak seperti libur biasanya langsung mengayuh pedal sepeda, kali ini sepeda kesayanganku sedang terparkir manis di dalam kamar. Akhir pekan ini aku diberi kesempatan untuk bermain ke Jawa Timur, tepatnya kota Malang.

Bergegas aku berjalan menuju shelter Transjogja, kemudian menaiki bus Transjogja nomor 1A arah kota, melewati jalan Urip – Sudirman – Tugu – dan turun di KR 3 yang dekat dengan Stasiun Tugu. Dari kejauhan, Stasiun Tugu sudah ramai mobil keluar masuk mengantarkan orang yang akan meninggalkan kota Jogja menaiki Kereta Api. Aku sendiri duduk manis di dekat pintu masuk seraya menunggu rombonganku yang belum datang.
Depan Stasiun Tugu Yogyakarta
Depan Stasiun Tugu Yogyakarta
Tepat pukul 07.00 wib, aku masuk ke dalam Stasiun, kupersiapkan tiket dan KTP untuk dicek petugas. Antrian sedikit mengular karena banyaknya orang yang ingin menaiki kereta api.

“Maaf pak, ini tiket yang dari Malang ke Jogja. Mohon tiket Jogja – Malang yang dikeluarkan, pak.” Kata perempuan yang bertugas menscann barcode tiket.

Bapak yang ada di depanku pun bergegas membongkar isi tasnya, ditemukan lembaran tiket yang satu, kemudian diserahkan kembali ke petugas. Berlanjut giliranku, dan terus sampai belakang.
Ruang tunggu kereta api penuh, aku berdiri seraya menurunkan ransel. Tidak banyak pakaian yang aku bawa, namun tetap saja terasa capek kalau kelamaan membawa ransel. Terdengar lantang suara pengumuman Kereta Api Malioboro Ekspres akan berangkat. Jam di stasiun menunjukkan pukul 07.18 wib. Aku menyusuri jalan menuju gerbong eksekutif 3, lalu mencari kursi 15D.
Calon penumpang Kereta Api di Stasiun Tugu Yogyakarta
Calon penumpang Kereta Api di Stasiun Tugu Yogyakarta
Perjalanan panjang selama enam jam aku kulalui di dalam kereta. Sebenarnya waktu perjalanannya pun sama dengan perjalanan naik kapal ekonomi Jepara-Karimunjawa. Sama-sama enam jam, yang membedakan hanya transportasinya saja. Disepanjang perjalanan tidak terhitung berapa ratusan hektar sawah yang kulihat, atau suara pengumunan mengenai perhentian kereta api. Bahkan aku juga lupa berapa kali petugas muda-mudi menawarkan kopi dan nasi goreng selama perjalanan. Aku membuang waktu bosan ini dengan membaca buku yang tadi malam kubeli dari Gramedia. Buku Dewey yang mengisahkan seekor Kucing di perpustakaan membuat perjalananku tidak monoton. Baca buku, tidur, baca buku, kembali tidur; itulah yang kulakukan selama perjalanan. Kereta pun sempat molor agak lama di Blitar karena gangguan rel.
Koleksi buku teman perjalanan
Koleksi buku teman perjalanan
Molor 1.5 jam dari jadwal sebenarnya, aku sampai di Malang, tepatnya di Stasiun Kotabaru. Bergegas aku turun dan mencari musholla terdekat. Hilir-mudik orang berjalan membuatku sedikit bingung arah. Maklum, ini kali pertama aku menginjakkan kaki di Malang.

“Musholla dimana ya, pak?” Tanyaku pada petugas yang duduk diposko.

Beliau mengarahkanku menuju ujung stasion. Di sana sebuah musholla tidak ramai orang di dalamnya. Secepatnya aku menunaikan sholat. Selesai sholat, aku kembali ke rombongan dan menuju ke dua mobil yang sudah menunggu kami dari sore tadi.

“Selamat sore Malang!!” Sapaku sendiri.
Malang; Stasiun Kota Baru
Malang; Stasiun Kota Baru
Mobil yang menjemput menyibak keramaian kota Malang menuju Batu. Pemandangan taman di jalan menjadi sesuatu yang biasa di sini. Padahal tidak banyak kota yang mempunyai taman bagus disepanjang jalan. Aku terkesima dengan tatanan kota Malang. Sebuah perpustkaan umum yang berwarna cerah, di depannya taman sebegitu panjangnya tertata rapi. Benar saja, aku iri dengan taman-taman di kota Malang ini. perjalanan sedikit tersendat ketika hampir sampai di hotel, macetnya kendaraan tepat di depan Museum Angkot. Sampai akhirnya sampailah aku di depan hotel tujuan. Hotel Kusuma Agrowisata Batu, Malang hampir pukul 19.00wib. *Perjalanan ini pada hari Sabtu, 26 Desember 2015.
Baca juga perjalanan lainnya 

Pertama Kali Makan Kue Jongkong

$
0
0
Alarm hp berdering keras membuatku terbangun. Bergegas aku mandi dan menunaikan sholat subuh. Selepas itu, aku membuat Teh panas yang tersedia di kamar. Malang kali ini tidak terasa dingin olehku, kawasan Batu hawanya mirip dengan Jogja; bahkan masih dingin Kaliurang. Kulihat jam menunjukkan pukul 06.00 wib, aku keluar kamar seraya membawa voucher sarapan pagi. Sejenak aku menikmati suasana hotel yang cukup lengang. Sesekali mobil shuttle milik hotel berlalu-lalang membawa penumpang yang enggan jalan kaki ke restoran.

Seraya menikmati hawa pagi, aku jalan kaki menuju restoran. Sesampai di restoran ternyata sepi, aku melihat plang petunjuk arah sarapan pagi yang pindah. Ya, ternyata sarapannya bukan di dalam restoran melainkan di tengah lapangan sepakbola. Sesampai di lapangan bola, ternyata sudah ramai. Sebuah band musik sedang bernyanyi menghibur para penghuni hotel yang sarapan. Aku mencari makanan yang sekiranya membuatku ingin melahapnya.
Suasana sarapan pagi di area hotel
Suasana sarapan pagi di area hotel
Ada banyak stand yang berdiri, mulai dari bubur ayam, bubur ketan hitam, nasi goreng, bakso, dan lainnya. Namun aku malah tertarik mendekati stand yang berisi jajanan pasar. Kue-kue seperti Lopis dan Klepon dapat kutemui dengan mudah. Tapi ada salah satu jajanan pasar di sini yang membuatku tertarik untuk menyantapnya. Kue basah ini terlihat seperti pudding yang diiris-iris tipis dan berwarna hitam.
“Ini kue apa, mbak?” Tanyaku pada pelayan yang menyajikan kue tersebut.

“Ini kue Jongkong, pak,” Jawabnya.

“Aku buatkan satu ya, mbak,” Pintaku seraya mengambil beberapa potong kue tersebut kuletakkan di piring kecil.
Pelayan sedang menyajikan makanan
Pelayan sedang menyajikan makanan
Seraya menyajikan kue Jongkong, aku bertanya-tanya mengenai kue tersebut. Dari pelayan ini aku dapat beberapa informasi tambahan mengenai kue Jongkong. Kue ini berbahan dasar dari Tepung Beras dan Tepung Terigu, dengan proses mulai dikukus dan seterusnya sampai akhirnya ditiriskan. Kata pelayan ini pun; dulunya warna kue Jongkong terbuat dari daun pisang yang kering dan dibakar, tapi sekarang tidak lagi. Rata-rata perwarnanya menggunakan pewarna makanan yang dijual banyak di toko. Potongan-potongan kecil tersebut ditaburi parutan kelapa dan cairan gula merah. Jika sekilas cairan yang digunakan sama dengan yang untuk melumuri Lopis.

“Kue Jongkong ini asalnya dari mana, mbak?”

“Ini salah satu kue khas Malang, mas.” Ujar pelayan.
Kue Jongkong
Kue Jongkong
Kue Jongkong
Aku mulai menikmati makanan khas tersebut. Rasanya enak, teksturnya tidak kasar. Memang mirip pudding tapi lebih padat. Tentunya makanan seperti ini cocok untuk lidahku. Satu-persatu potongan kue Jongkong habis kumakan seraya melihat sekelilingku. Aku baru sadar kalau tempat lapangan bola yang disulap untuk lokasi sarapan pagi ini cukup indah. Terilhat beberapa gunung yang jauh, dan tentunya tidak kusia-siakan untuk berfoto.
Berfoto sendirian dulu
Berfoto sendirian dulu
Masih mengenai kue Jongkong; aku mencoba mencari kue tersebut di google. Dari ini, aku malah mendapatkan informasi kalau kue tersebut adalah kue khas Bangka Belitung. Bisa jadi makana ini memang sudah familiar di Indonesia, namun ini kali pertama aku menyantapnya. Dari manapun kue ini berasar, aku sangat beruntung bisa mencicipinya. Ini menandakan kuliner Indonesia benar-benar beragam. *Menyantap Kue Jongkong ini pada hari Minggu, 27 Desember 2015 di Malang.
Baca juga kuliner lainnya 

Menilik Koleksi Kereta di Museum Kareta Yogyakarta

$
0
0
Keluar dari Museum Sonobudoyo, aku termangu di tepian jalan. Jam tangan menunjukkan sekitar pukul 14.00wib. Aku memutuskan untuk kembali atau melanjutkan ke tempat lain. Sesaat kuteringat dengan sebuah museum yang tidak jauh dari lokasiku berdiri sekarang. Ya, Museum Kareta, sebuah museum yang berisikan koleksi kereta-kereta sang Sultan hanya berjarak sekitar 300 meter dari sini. Bergegas aku berjalan sedikit cepat menuju Museum Kareta.
Museum Kareta Yogyakarta
Museum Kareta Yogyakarta
Sesampai di depan museum, aku menuju ke pintu masuk yang dijaga dua orang petugas. Disodorkan aku tiket yang bertuliskan Rp.5000 rupiah.

“Sama motret nggak, mas?”

“Iya, pak,”Jawabku seraya memperlihatkan kamera pocket.

“Jadinya Rp.6000, mas.”

Selesai membayar tiket masuk, aku diarahkan untuk menuju kanan jalan. Setiap lorong berjejeran kereta kuda. Kuamati satu-persatu, dan tidak lupa juga kuabadikan beberapa gambar. Satu-persatu kubaca tulisan nama-nama kereta yang terpajang. Kareta Kyai Jongwiyat, Kareta Kyai Jolodoro, Kareta Kyai Roto Biru, Kareta Kyai Rejo Pawoko, Kareta Landower Ngabean, Kareta Premili, dan masih banyak lagi kereta lainnya yang tidak dapat kusebutkan. Aku mengamati lebih detail lagi di ruangan dalam yang terdapat beberapa kereta. Setiap kereta yang ada di sini cukup terawat dengan baik. di samping tulisan nama kereta, di sini juga terdapat tulisan himbauan agar tidak menaiki kereta. Aku sendiri masih asyik mengamati koleksi keretanya.
Koleksi Kereta di Museum Kareta Yogyakarta
Koleksi Kereta di Museum Kareta Yogyakarta
Koleksi Kereta di Museum Kareta Yogyakarta
Kususuri ruangan yang ada di tengah, di sini aku bertemu dengan pengunjung lainnya. Pengunjung (turis) ini secara seksama mendengarkan cerita dari pemandu. Sesekali pemandu tersebut menerangkan dengan gaya lebih simpel, sehingga mereka paham apa yangs edang dikatakan sang pemandu. Tidak lupa sang pemandu juga dengan sigap mengabadikan pengunjung tersebut di salah satu kereta yang besar dan megah.

Aku duduk di samping seorang abdi dalem yang menjaga. Sejenak kami berbincang-bincang. Aku berbincang dengan pak Suhardi, beliau menceritakan bahwa menjadi seorang abdi dalem sejak tahun 1979. Dari sini aku dapat sedikit informasi, jika museum ini didirikan berbarengan dengan keratin pada tahun 1756.
Koleksi Kereta di Museum Kareta Yogyakarta
Koleksi Kereta di Museum Kareta Yogyakarta
Koleksi Kereta di Museum Kareta Yogyakarta
“Di sini ada 23 kereta, yang dapat digunakan sejumlah 18,” Terang pak Suhardi.

Menurut keterangan dari beliau, kereta tertua di sini adalah Kareta Kanjeng Nyai Jimat; kereta buatan Belanda pada tahun 1750. Kereta ini ditarik delapan ekor kuda, kereta ini dipergunakan oleh Sultan Hamengkubuwono I – III. Berlanjut dengan paparan beliau, di sini juga ada Kareta Kyai Mondro Juwono. Kereta yang dipergunakan oleh Sultan HB III, juga digunakan oleh Pangeran Diponegoro. Kereta ini buatan Belanda pada tahun 1800an, ditarik dengan empat ekor kuda. Dan ada juga sebuah kereta kencana yang bernama Garuda Yekso. Kereta yang dipergunakan oleh Sultan HB VI sampai sekarang. Kereta ini ditarik dengan delapan ekor kuda.
 Kereta Kanjeng Nyai Jimat
 Kereta Kanjeng Nyai Jimat
Kereta Kyai Mondro Juwono
Kereta Kyai Mondro Juwono
Kereta Garuda Yeksa
Kereta Garuda Yeksa
Keterangan dari pak Suhardi membuatku sedikit lebih tahu mengenai museum kereta. Aku pun meminta ijin untuk menyusuri dan melihat koleksi kereta lainnya. Seperti yang aku lakukan di tempat lain, kunjungan ke museum ini pun kuabadikan. Aku mengabadikan saat berada dideretan kereta waktu masuk pertama, kemudian mengabadikan di kereta kencana yang ada di dalam ruangan lainnya.
Mengabadikan diri dulu
Mengabadikan diri dulu
Mengabadikan diri dulu
Akhir pekan yang cukup menyenangkan, secara tidak langsung, aku sudah mengunjungi dua museum. Menikmati akhir pekan yang tidak panjang ini dengan bermain sambil belajar mengetahui sedikit hal yang berkaitan dengan museum. Museum Kareta menjadikan aku paham mengenai sejarah, terutama tentang jenis-jenis kereta yang dimiliki oleh Sultan HB. Jika waktumu mengunjungi Jogja tidak terlalu lama, ada baiknya kamu menjadikan Museum Kareta sebagai tujuan berakhir pekan. Ada banyak hal yang kamu dapatkan di sini. Semoga museum-museum di Indonesia semakin terjaga dan banyak dikunjungi para wisatawan. *Kunjungan ke Museum Kareta ini pada hari Sabtu, 17 Oktober tahun 2015.
Baca juga perjalanan lainnya 

Pantai-pantai yang Wajib Dikunjungi Selama di Karimunjawa (Bagian Pertama)

$
0
0
Tidak ada bosannya aku ingin terus mengulas Karimunjawa. sudah pernah ke Karimunjawa kan? Atau belum pernah? Ada banyak hal yang dapat kita lakukan selama di Karimunjawa ketika berlibur. jika kalian ikut paketan, maka jadwal dan destinasi pun sudah ditentukan. Kalau kita tidak ikut paket, jangan khawatir; di sini aku tuliskan pantai-pantai yang bisa kalian kunjungi selama di Karimunjawa tanpa harus naik kapal lagi. Nantinya ada dua tulisan membahas pantai-pantai tersebut, kali ini aku akan mendata beberapa pantai yang ada di Desa Karimunjawa saja. Cukup dengan menyewa kendaraan, kalian dapat mengunjungi pantai-pantai di bawah ini;

Pantai Legon Lele
Jika bicara pantai di Karimunjawa, mungkin belum banyak yang mengenal pantai Legon Lele. Pantai yang tidak jauh dari Pelabuhan Karimunjawa ini sangat menarik untuk dikunjungi. Dari arah Pelabuhan Karimunjawa, untuk mencapai lokasi pantai ini menyusuri Kapuran. Nanti kita akan dimanjakan pemandangan yang menarik selama menuju pantai tersebut. Selain itu, jalana yang berupa paving menjadikan sensasi tersendiri. Pantai ini aku rekomendasikan dikunjungi saat pagi hari, karena dari sini kalian bisa melihat sunrise dengan sangat bagus tanpa ada halangan sedikitpun. Selain itu, di Pantai Legon Lele juga terdapat dermaga kecil dan tmbuhan Mangrove yang menyedapkan mata saat dipandangi. Baca selengkapnya di sini…
Pantai Legon Lele Karimunjawa
Pantai Legon Lele Karimunjawa
Pantai Legon Lele Karimunjawa
Pantai Legon Waru
Bergeser ke tempat yang tidak jauh dari Pantai Legon Lele, sebuah pantai yang berpasir putih dan tidak panjang ini pun menarik perhatian bagi yang melewatinya. Pantai ini akan kita lewati kalau kita berkunjung ke Pantai Legon Lele, nama pantainya adalah Pantai Legon Waru. Waktu aku ke sini, di salahs atu dahan pohon yang ada di bibir pantai terdapat sebuah ayunan kecil. Dari pantai ini, kita dapat menikmati kesunyian pantai. seperti pantai Legon Lele, pantai ini juga aku rekomendasikan dikunjungi saat pagi hari. Walau tidak terlalu panjang, pantai ini di setiap ujungnya terdapat bongkahan bebatuan yang menarik perhatian.Baca selengkapnya di sini…
Pantai Legon Waru Karimunjawa
Pantai Legon Waru Karimunjawa
Pantai Pancuran/Pancuran Mburi
Pantai Pancuran, atau sering disebut oleh warga setempat dengan nama “Pancuran Mburi” ini berdekatan dengan pantai Legon Waru. Untuk pemandangannya memang tidak jauh berbeda dengan kedua pantai yang aku ulas di atas. Hanya saja, di sini kita akan menemukan beberapa sampan dan kapal yang tertambat. Kalau pagi atau sore, kita bisa bercengkerama dengan warga setempat yang pulang melaut. Syukur-syukur bisa membeli ikan langsung dari nelayannya. Pantai Pancuran ini memiliki mata air tawar yang bisa kita gunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Oya, aku waktu masih SMP pernah ke sini hanya untuk mandi saja. Di ujung bibir pantai, terdapat pohon Ketapang yang rindang serta hamparan bebatuan yang asyik untuk diabadikan.Baca selengkapnya di sini…

Pantai Pancuran Karimunjawa
Pantai Pancuran Karimunjawa
Pantai Pancuran Karimunjawa

Pantai Ujung Gelam
Sedikit meninggalkan keramaian Karimunjawa, masih di Desa Karimunjawa; tepatnya di Dusun Alang-alang, di sini ada dua pantai yang wajib dikunjungi para wisatawan. Lokasinya kurang lebih sekitar 5km dari pusat Karimunjawa. Pantai pertama adalah Pantai Ujung Gelam; ya pasti kalian yang pernah ke Karimunjawa tidak asing dengan pantai ini kan? Hamparan pasir putih dan halus yang menghadap ke arah barat ini menjadi magnet tersendiri. Jangan salah, pantai ini dijadikan salah satu spot yang paling bagus untuk berburu Sunset. Aku pernah membahas pantai ini dengan dua edisi, edisi sunset & edisi bersepeda. Untuk memasuki pantai ini, pengunjung yang lewat jalan darat dikenai biaya 1k. Sangat murah kan?Baca selengkapnya di sini…
Pantai Ujung Gelam Karimunjawa
Pantai Ujung Gelam Karimunjawa
Pantai Ujung Gelam Karimunjawa
Pantai Batu Topeng
Bergeser sedikit ke sudut pantai di sampingnya, sebuah pantai yang nyaris sama keindahannya pun tersaji di sini. Pantai Batu Topeng namanya, pantai yang menjadi salah satu tempat favorit para bule untuk bersantai menikmati teriknya mentari, halusnya pasir, dan juga indahnya sunset. Pantai Batu Topeng juga tidak kalah teduh, banyak berjejeran pohon Ketapang berkombinasi dengan pohon Kelapa yang menjulang tinggi. Bayar tiketnya pu satu karcis dengan pantai Ujung Gelam. Benar-benar indah dan aku rekomendasikan untuk berkunjung ke pantai ini. Oya, di salah satu bebatuan di pantai ini yang menjorok ke laut, terdapat sebuah gubuk kecil yang bisa kita gunakan untuk sekedar bersantai ataupun berfoto.Baca selengkapnya di sini…
Pantai Batu Topeng Karimunjawa
Pantai Batu Topeng Karimunjawa
Pantai Batu Topeng Karimunjawa
Pantai Nyamplungan
Jika sebagian besar pantai di atas yang aku ulas memang sering dikunjungi wisatawan, kali ini ada pantai yang berdekatan dengan dusun Alang-alang yang sepi. Pantai ini bernama Pantai Nyamplungan, yang berada di dusun Nyamplungan. Pantai ini sebenarnya hanya digunakan warga setempat untuk menambatkan sampan/kapal. Jika kalian menginginkan sepinya pantai atau sekedar ngobrol santai dengan warga setempat, pantai ini bisa dijadikan pilihan. Dan dari sini juga kita juga bisa melihat sunset karena arah pantai menghadap ke barat. Baca selengkapnya di sini…
Pantai Nyamplungan Karimunjawa
Pantai Nyamplungan Karimunjawa
Pantai Cikmas/Kemloko
Pantai terakhir yang ada di desa Karimunjawa yang aku ulas adalah pantai Cikmas. Pantai ini berada di dusun Cikmas/Kemloko. Lokasinya tidak jauh dari Nyamplungan, pantai Cikmas ini pasirnya agak hitam dan sedikit berlumpur. Sekeliling pantai ini adalah tanaman Bakau. Namun dari sini kita dapat melihat pemandangan yang indah, ada beberapa bukit yang dapat kita lihat dari pantai ini. Bukit-bukit tersebut adalah desa Kemujan. Baca selengkapnya di sini…
Pantai Cikmas Karimunjawa
Pantai Cikmas Karimunjawa
Sementara ini aku ulas tujuh pantai yang ada di Desa Karimunjawa dulu, sebenarnya dekat pantai Cikmas ini ada satu pantai lagi yang indah bernama Pantai Annora Cikmas, pantai yang terkenal karena ada ayunannya di pantai. Berhubung aku belum sempat mengunjungi, dan tidak memiliki gambar sendiri mengenai pantai tersebut, jadi untuk sementara tidak aku cantumkan. Ya, untuk edisi selanjutnya; aku akan mengulas pantai-pantai yang ada di Desa Kemujan, desa yang dampingan dengan Desa Karimunjawa. *Foto-foto pantai ini penulis abadikan ketika menyusuri setiap pantai di Karimunjawa dengan bersepeda pada bulan April 2015.
Baca juga pantai lainnya 

Ditemani Sunset Candi Plaosan

$
0
0
Liburan panjang berturut-turut membuatku sedikit kalap. Liburan natal aku manfaatkan meninggalkan kota Jogja menuju Malang. Ya, walau kemacetan terjadi di setiap sudut jalan, tapi liburan selama empat hari di Malangcukup berkesan bagiku. Beranjak liburan tahun baru; aku manfaatkan bersantai di kos. Sampai akhirnya aku kangen dengan sunset. Kuputuskan sore hari akan berburu sunset.

Terang saja, minggu sore; aku mengayuh pedal sepeda menuju arah Prambanan. Di Candi Prambanan sore ini masih banyak pengunjung, melewati area Prambanan, aku terus melaju sepeda ke arah Candi Plaosan. Sore ini cukup banyak juga pengunjung yang ada di Candi Plaosan, tapi tidak seramai di Candi Prambanan.
Candi Plaosan Klaten
Candi Plaosan Klaten
“Pak, parkir sepeda boleh di dalam ya?” Pintaku seraya ijin masuk.

Seorang satpam menahanku, beliau menyuruhku parkir di luar; berjejeran dengan kendaraan bermesin. Aku masih keukeuh untuk nitip parkir bareng kendaraan satpam. “Biasanya kalau aku parkir di dalam, pak. Diperbolehkan sama bapak satpam yang lain,” Ujarku lagi.

“Berapa sepeda, mas?” Tanya satpam sedikit melunak.

“Hanya satu sepeda saja, pak.”

Rupanya bapak satpam tersebut melunak juga, aku pun diperbolehkan parkir di dalam. Tepat di samping tempat pembayaran. Selesai parkir, aku langsung membayar tiket masuk (hanya 3ribu), dan berkeliling di antara reruntuhan candi. Di ujung pagar, aku menatap jam tangan. Sebentar lagi sunset akan kelihatan. Aku mencari posisi yang sedikit bagus, sebenarnya ada spot yang lebih bagus; tapi sudah ada beberapa tripod dan kamera di sana.
Membidik candi menjelang sunset
Membidik candi menjelang sunset
Membidik candi menjelang sunset
Bukan hanya aku, di dalam candi banyak pengunjung yang juga menantikan senja. Mereka duduk di antara candi seraya bercanda dengan temannya. Sementara itu, di luar pagar candi yang berbatasan dengan kebun cabai. Lebih dari 15 orang seperti komunitas photographer sudah membidik sunset dari kejauhan. Mereka sengaja mengambil sunset candi dari sisi luar. Berbagai jenis kamera dan jejeran tripod pun terlihat dari tempatku menanti sunset. Tidak lama kemudian, sunset pun terlihat jelas. Arakan awan yang semula menutupi pun berlahan-lahan minggir. Aku dengan sigap mengabadikan pemandangan ini bersamaan belasan photographer yang ada di luar. Waktu sunset tidak lah lama, kalau kita lengah sedikit, bisa-bisa sang mentari sudah tenggelam di ufuk barat dan meninggalkan warna jingga.
Ditemani sunset candi Plaosan
Ditemani sunset candi Plaosan
Ditemani sunset candi Plaosan
Hanya beberapa kali jepretan yang kudapatkan; baiklah, walau ini bukan spot terbaik menurutku, tapi aku cukup puas mendapatkan sunset. Beberapa hari kemarin sempat hujan mengguyur, sehingga membuatku gagal mencari sunset. Sebenarnya, ada banyak spot cantik untuk berburu sunset di Jogja, hanya saja aku belum ada banyak waktu dan kendaraan untuk mencapainya ke lokasi-lokasi tersebut. Kupilih mencari sunset di Candi Plaosan lebih karena lokasi dari kos hanya 45 menit (naik sepeda ontel), sehingga kalau pulang pun tidak takut kemalaman.
Senjad di Candi Plaosan
Senjad di Candi Plaosan
Senja berlalu, gambar sunset pun sudah terabadikan di kamera. Aku menilik hasil jepretanku seraya tersenyum. Kemudian menyapa para sesama pemburu sunset yang di sampingku. Seraya terus mengabadikan gambar kami habiskan waktu ngobrol santai. Selepas itu, aku ijin pulang terlebih dahulu. Bersepeda pulang seraya mencari mushola/masjid yang terdekat untuk menunaikan sholat magrib. Jika kalian berkunjung di Jogja, dan bingung mencari spot sunset yang tidak jauh dari kota; aku rasa sunset di Candi Plaosan bisa jadi salah satu alternatif pilihan kalian. *Sunset Candi Plaosan pada hari Minggu, 03 Januari 2016.
Baca juga tulisan lainnya 

Gemerlap Lampu di Batu Night Spectacular Malang

$
0
0
Turun dari mobil, aku menunggu kunci kamar hotel yang belum dibagikan. Sesaat setelah mendapat kunci kamar hotel, aku berlalu meninggalkan lobi menuju kamar. Perjalanan di kereta lumayan membuatku capek, aku mandi lalu bebaringan di kasur. Selama di dalam kamar, buku yang menemaniku di kereta tak kujamah. Rasanya masih ingin bermalas-malasan di dalam kamar. Sesekali aku keluar dan mengabadikan rembulan yang sedang merangkak naik di ufuk timur.
Menyapa rembulan di Malang
Menyapa rembulan di Malang
Ada sedikit insiden menimpaku di hotel ini, mendadak kamaklu terbuka, dan seorang tamu berdiri di depan pintu. Dia pun kaget melihatku di dalam kamar;

“Loh kok ada orangnya!!?” Teriaknya keras dengan raut wajah sedikit marah.

Aku dan dia pun mencocoknya kunci kamar. Benar saja, kunci kamar yang diberikan oleh petugas kala itu sama. Kamar 218, kamar yang sudah aku masuki terlebih dahulu. Kami pun berjalan menuju lobi mencari resepsionis. Tamu tersebut marah dan membantingkan kartu/kunci kamar dihadapan resepsionis, dia merasa petugas di sini tidak professional. Aku menunggu keputusan dari pihak hotel, ada rasa sedikit mangkel juga sebenarnya; tapi sengaja aku tahan. Mungkin bakalan meletup kalo misalnya aku harus pindah kamar.

“Mohon maaf atas kesalahan sistem kami, bapak Nasirullah Sitam tetap di kamar 218,” Terang petugas padaku.

Insiden salah kamar tersebut berlalu, aku bergegas mengambil kamera dan mengajak sebagian rombongan yang ingin menuju Batu Night Spectacular. Dari hotel, perjalanan ini sebenarnya tidak lebih dari 15 menit. Namun karena macet, perjalanan tersendat menjadi 27 menit. Tiap sisi kanan-kiri jalan sudah dipenuhi kendaraan yang parkir. Aku mulai memotret gemerlap lampu yang bertuliskan Batu Night Spectacular(BNS). Mobil yang kutumpangi lurus melewati Batu Night Spectacular, dan akhirnya mendapatkan tempat parkir di belakang. Dari sini aku dapat mengabadikan gemerlap lampu dan beberapa wahana permainan yang tampak dari kejauhan.
BNS dikala malam hari
BNS dikala malam hari
BNS dikala malam hari
Tidak jauh dari parkir terdapat pintu masuk kecil. Aku menuju sana dan membeli tiket masuk; untuk tiket masuk seharga 35ribu, sedangkan tiket terusan seharga 100ribu. Aku hanya membeli tiket masuk, niatku masuk sebenarnya bukan ingin mencoba wahana-wahana yang tersedia. Aku hanya ingin mengabadikan beberapa gambar dari dalam lokasi Batu Night Spectacular. Dari kejauhan, Batu Night Spectacular mirip dengan Sekaten Jogja. Namun di sini jauh lebih lengkap dan modern.

Tiket sudah terpasang dilengan kiriku, kumasuki lorong kecil menuju ke dalam. Di sana sudah ada meja kursi tertata rapi, sebuah panggung besar ada di sisi kiriku. Sebuah band sedang melantunkan lagu di antara gebyar warna-warni cahaya menyorot dari panggung. Beberapa kursi sudah terisi, mereka menikmati lantunan lagu dengan melahap makan malam. Aku melangkahkan kaki menuju arah kanan, mengikuti plang petunjuk arah masuk ke Batu Night Spectacular.
Performa salah satu band musik di BNS
Performa salah satu band musik di BNS
Batu Night Spectacular malam ini benar-benar disesaki pengunjung. Tidak kulihat tempat yang luang dan sepi. Hampir semua wahana penuh pengunjung, antrian di beberapa sudut pun terlihat. Keriuahan pengunjung yang berlalu-lalang membuatku sedikit kebingunan mencari jalan. Kadang kala harus menyenggol pengunjung lain, atau berjalan lebih cepat agar tidak berdesakan. Benar-benar ramai malam ini, bisa jadi karena hari ini adalah rangkain dari awal libur panjang.
Pengunjung di BNS akhir pekan
Pengunjung di BNS akhir pekan
Ada banyak wahana di dalam Batu Night Spectacular, seperti Sepeda Gantung, Rumah Hantu, Rumah Kaca, atau lainnya. Tidak sedekit pula wahana yang ekstrim; wahana-wahana seperti ini yang sudah tentu aku hindari. Kalaupun gratis, aku juga belum tentu mau menaiki. Ada semacam Tower tinggi; penunggung menggunakan sabuk pengaman lalu dinaikkan ke puncak sekitar 60 meter, dan diturunkan dengan tiba-tiba. Sudah tentu detak jantung mereka bekerja lebih keras. Belum lagi semacam Kora-kora yang tidak hanya dihempaskan seperti kena ombak, namun juga diputar-putar mirip baling-baling, alhasil aku yang melihat saja sedikit mulai pusing. Selain itu, wahana ekstrim lainnya adalah Mega Mix; berbentuk bulat dan setiap yang ikut wahana tersebut diputar dan dibolak-balikan secara acak. Aku yakin perut mereka seperti dikocok, apalagi pada saat kepala ada di bawah dan diputar, aku tidak bisa membayangkan seperti apa rasanya. Permainan seperti ini bukan hal yang kau inginkan, mentalku sudah nggak kuat duluan.
Wahana yang memerlukan adrenalin tinggi di BNS
Wahana yang memerlukan adrenalin tinggi di BNS
Wahana yang memerlukan adrenalin tinggi di BNS
Wahana yang memerlukan adrenalin tinggi di BNS
Selain itu juga ada sirkuit Gokart di bawah. Aku memutari kawasan Batu Night Spectacular dan memotret saja, menikmati dinginnya Batu, Malang yang muali berkabut. Tepat pukul 22.30 wib, aku menuju mobil dan menunggu rombongan yang belum kembali. Dari kejauhan terdengar riuh-rendah suara pengunjung yang menaiki wahana ekstrim, teriakan keras dan panjang tersebut bersahut-sahutan dengan suara mesin kendaraan. Dari kejauhan juga terlihat gemerlap lampu terbagai warna. Seakan-akan mereka menyapa kami dengan kalimat “Selamat Menikmati Suasana di Batu, Malang.” *Kunjungan ke Batu Night Spectacular ini pada hari Sabtu, 26 Desember 2015.
Baca juga kunjungan ke tempat lainnya 

Merengkuh Ketenangan di Pulau Panjang Jepara

$
0
0
Sepekan berlalu rutinitas kerja awal tahun 2016, aku sudah menyusun agenda untuk bermain ke Jepara. Banyak teman bertanya kenapa aku senang ke Jepara; jawabannya simpel, aku berusaha untuk mengeksplore beberapa lokasi wisata di Jepara yang mungkin sudah banyak orang kunjungi, tapi tidak banyak orang menulisnya di blog. Berangkat dari Jogja dinihari; akhirnya aku sampai di Jepara tepat pukul 7.30 wib. Bergegas, aku menuju Pantai Kartini. Tujuanku kali ini adalah menyeberang ke Pulau Panjang, pulau yang terlihat dari ujung pelabuhan Kartini.

Pagi ini Pantai Kartini tidak terlalu ramai, bisa jadi karena hari sabtu dan juga masih terlalu pagi. Jika sore hari, aku pastikan pantai ini sangat ramai. Berbondong-bondong orang akan berfoto di tulisan Pantai Kartini, atau menantikan senja dengan segala keromantisannya. Aku menapaki jalan menuju posko tempat orang mendaftarkan diri agar bisa menyeberang ke Pulau Panjang. Di sana sudah ada empat orang muda-mudi yang juga menunggu pendaftar lain. Kapal akan berangkat jika dalam satu kapal minimal ada 8 orang. Untuk maksimal bisa mencapai 20 orang (tergantung cuaca baik atau tidak serta kapasitas kapal yang akan dinaiki).
Suasana di Pantai Kartini, Jepara
Suasana di Pantai Kartini, Jepara
Dermaga kecil untuk menyeberang ke pulau panjang
Dermaga kecil untuk menyeberang ke pulau panjang
“Lima belas ribu untuk PP, mas,” Ujar pemuda seraya menyodorkan tiket naik kapal.

Aku membayar dan menunggu anggota lain yang ingin menyeberang. Beruntunglah, pagi ini ada serombongan keluarga kecil berjumlah empat orang juga ikut. Akhirnya, rombongan berjumlah Sembilan orang naik kapal dan berlayar menuju Pulau Panjang. Pulau Panjang ini tidak jauh dari Pantai Kartini, menaiki sebuah kapal dengan mesin diesel; untuk sampai di Pulau Panjang hanya sekitar 10 menit saja. Suara knalpot menggelegar, asap kecil membumbung berbarengan dengan dentuman suara mesin. Sementara itu, di depanku terlihat Pulau Panjang sangat jelas. Hamparan pasir putihnya seakan-akan menjadi garis tepian pantai yang mencolok, dan di salah satu sisi menjulang tinggi Mercusuar.

Benar saja, kuhitung sekitar 10 menit, kapal kecil ini menyandar di salah satu pelabuhan di Pulau Panjang. Sebuah gapura bertuliskan “Dermaga Penyeberangan Pulau Panjang” seperti menyapaku untuk segera singgah dan bersantai di pulau ini. Sementara di sini lainnya juga terdapat jembatan lebih kecil dan pendek. Pelabuhan ini terbuat dari cor dengan penyanggah banyak. Sehingga jika ada ombak besar pun tetap kokoh. Ada jalan setapak yang cukup menarik untuk dilewati, dan di tiap beberapa sudut pun terdapat gazebo kecil yang bisa kita singgahi untuk melepas lelah.
Selamat Pagi Pulau Panjang Jepara
Selamat Pagi Pulau Panjang Jepara
Selamat Pagi Pulau Panjang Jepara
“Mas untuk masuk ke sini bayar tiga ribu,” Kata seorang bapak yang menunggu diujung pelabuhan.

Kembali aku mengambil uang lembaran lima ribu, lalu menerima sebuah tiket masuk dan juga uang kembalian. Kuikuti jalanan menuju ke daratan di Pulau Panjang. Di sana ada banyak stand yang menjajakan Ikan kering, cinderamata, dan juga tidak ketinggalan kaos bertuliskan Jepara. Ada juga orang yang berjualan gorengan, air mineral, sampai yang menyajikan Kelapa Muda. Aku terus berjalan, sampai akhirnya kakiku berhenti di salah satu tempat penyewaan Sepeda. Sepertinya asyik juga berkeliling di pulau ini naik sepeda.

“Berapa sewa sepedanya, pak?”

“Dua puluh ribu, mas.”
Penyewaan sepeda di pulau panjang
Penyewaan sepeda di pulau panjang
Sepeda sudah kuambil, bapak yang menyewakan sepeda bilang kalau bayarnya nanti pas selesai bersepeda. Dengan sepeda aku menyusuri jalan setapak yang sudah terbuat dari paving mengelilingi pulau ini. Sesekali aku berhenti untuk mengabadikan suasana di pantai. Jalanan di pantai sangat asri dan sejuk, banyak pepohonan yang hijau dan sangat rindang. Jadi cahaya matahari tidak terlalu menerobos ke jalanan.
Jalanan yang kunikmati selama di Pulau Panjang
Jalanan yang kunikmati selama di Pulau Panjang
Aku berhenti di salah satu spot pantai, di sini aku dapat melihat dengan jelas sebuah kapal kecil yang mengangkut penumpang. Penumpang tersebut adalah pengunjung yang akan menuju pulau ini. sebenarnya tidak hanya dari Pantai Kartini saja, untuk menuju Pulau Panjang, pengunjung bisa melalui Pantai Bandengan. Menurut bapak yang menjaga loket di ujung dermaga tadi mengatakan jika tarifnya pun sama 15k. Hanya saja, jika melewati Pantai Bandenganwaktu yang ditempuh agak lebih lama sedikit.
Kapal kecil membawa pengunjung ke pulau panjang
Kapal kecil membawa pengunjung ke pulau panjang
Oya, jangan khawatir jika nanti kalian tidak mendapatkan kapal untuk pulang ke Pantai Kartini. Di sini kapal hilir mudik dari pagi sampai pukul 16.00wib. Jadi tidak perlu khawatir jika kapal yang tadinya kalian naiki sudah tidak ada di pelabuhan. Karena kapal lain pun boleh kita naiki selama tujuannya sama. Sementara itu, di langit tampak burung-burung berterbangan. Di Pulau Panjang, kalian dapat menemui banyak burung yang hinggap di pepohonan. Suara kicauannya pun sangat ramai. Untuk mengabadikan gerombolan burung di pepohonan, kalian harus rela menyelinap di antara belukar dan juga harus bersabar.
Burung berterbangan di area pulau panjang
Burung berterbangan di area pulau panjang
Suasana sepi sangat mendukungku untuk menikmati pantai. Sabtu pagi ini pengunjung belum terlalu ramai, sehingga aku dapat secara leluasa bermain pasir di pantai. Hamparan pasir putih membuat aku teringat dengan pantai di Karimunjawa. Jangan salah, di sini pantainya pun putih. Puas menikmati pantai, aku terus mengayuh pedal sepeda menyusuri sudut lainnya. Di sini terdapat tulisan yang menjadi salah satu spot paling digandrungi pengunjung untuk berfoto. Tulisan merah putih dengan kalimat “Taman Pulau Kecil Pulau Panjang” menjadi daya tarik tersendiri para pengunjung. Berbondong-bondong pengunjung berfoto secara bergantian. Aku pun tidak ketinggalan untuk mengabadikannya. Di sisi hamparan pasir, banyak bibit Pohon Cemara yang sedang ditanam dengan sanggahan belahan bambu. Pepohonan ini pada nantinya menjadi pencegah abrasi yang mulai mengikis di beberapa sudut pantai.
Pasir putih di setiap sudut pulau panjang jepara
Pasir putih di setiap sudut pulau panjang jepara
Pasir putih di setiap sudut pulau panjang jepara
Memang menarik rasanya menikmati suasana pantai dengan bersepeda. Aku yang sedari tadi menikmati butiran pasir yang lembut kembali mengayuh pedal. Pepohonan berwarna hijau cukup rindang, jalan cor yang sangat bagus dilewati naik sepeda maupun jalan kaki menambah antusiasku untuk menyusuri setiap sudut pantai. Jangan tanyakan helm sepeda, aku tidak membawa helm; dan di sana pun tidak disediakan helm sepeda. Tujuanku kali ini adalah mencari lokasi Mercusuar. Sebuah Mercusuar menjulang tinggi di bagian lain pantai. Kulewati banguan Mushola dan ada juga makam. Ternyata yang jaga makam adalah tetanggaku dari Karimunjawa, aku pun menyempatkan bersilaturrahim dengan beliau. Menggunakan bahasa Bugis, aku bergegas menyalami. Beliau tidak mengenaliku dengan cepat, setelah kujelaskan baru beliau mengenalku.
Sejuk banget kan bersepeda di pulau panjang
Sejuk banget kan bersepeda di pulau panjang
“Kalau ke Mercusuar, bilang namaku saja,” Kata Mbak Hasniah (tetanggaku dari Karimunjawa).

Benar saja, sampai di Mercusuar, aku mengatakan kalau saudaranya mbak Hasniah, dan penunggu Mercusuar langsung memperbolehkanku untuk mengabadikan dari dalam. Sayangnya Mercusuar ini tidak diperbolehkan sembarang orang naik, jadi aku cukup puas bisa mengitari mercusuar dan mengabadikannya dari jarak dekat. Kemudian aku ijin untuk kembali bersepeda.
Mercusuar pantai Pulau Panjang
Mercusuar pantai Pulau Panjang
Jika kalian bertanya apa yang bisa dilakukan selama di Pulau Panjang; aku berikan sedikit penjelasan yang akan membuatmu ingin segera berkunjung ke sini. Di Pulau Panjang kalian bisa dengan leluasa mancing, di sini banyak orang mancing ikan. Jadi kalian bisa menyalurkan hobi memancing (jangan menginjak karang ya). Selain mancing, di sini kalian juga bisa berkemah. Jika tidak membawa tenda, ada banyak gazebo yang tersedia untuk dipakai tidur. Tinggal kalian menyiapkan sleeping bag saja. Rutinitas seperti berenang, berjemur pun dapat kalian lakukan dengan sepuasnya. Atau kalian juga bisa melihat sunrise & sunset jika menginap di sini. Tertarik untuk ke sini? Apapun nantinya yang kalian lakukan, sebaiknya ijin dulu pada penjaga pulau dan tetap menjaga kebersihan pantai.
Para penghobi mancing di pulau panjang dan hasil tangkapannya
Para penghobi mancing di pulau panjang dan hasil tangkapannya
Para penghobi mancing di pulau panjang dan hasil tangkapannya
Berlanjut lagi di tepian pantai, aku melihat jam tangah hampir menunjukkan pukul 11.00 wib. Ini artinya, aku sudah lebih dua jam di sini. Tepat di tengah laut terlihat sebuah kapal cepat berlayar di depanku. Ini adalah kapal penyeberangan Karimunjawa – Jepara yang biasa aku naiki kalau sedang pulang ke Karimunjawa. Serta-merta aku membidik kapal tersebut, terlebih di depannya juga ada kapal nelayan yang akan bersandar ke pulau Panjang. Selain itu, aku juga mengabadikan seorang nelayan sendirian yang sedang melaut. Ternyata di sini kita dapat berburu gambar kapal dengan mudah. Ada banyak kapal yang dapat kita jadikan objek bidikan kamera.
Kapal-kapal yang berlayar di dekat pulau panjang
Kapal-kapal yang berlayar di dekat pulau panjang
Kapal-kapal yang berlayar di dekat pulau panjang
Sudah tentu aku tidak akan melewatkan waktu untuk berfoto di pantai. Aku menyiapkan tripod yang beberapa waktu lalu sempat kubeli, kemudian menancapkannya di pasir. Sesekali meneliti apakah gambarnya bagus atau jelek nantinya. Dengan setelan timer sepuluh detik, aku mengabadikan diri saat sedang di tulisan Pulau Panjang dan juga di hamparan pasir putih. Oya, yang ada di tanganku adalah buku bacaan yang senantiasa menemaniku selama perjalanan. Buku berjudul “Dewaruci” tentu tidak asing bagi kalian pecinta buku. Sebagai selingan saja, KRI Dewa Ruci pada bulan Oktober 1964 (Operasi Sang Saka Jaya; Keliling Dunia tahun 1964) pernah melewati Laut Jawa. bahkan pada hari Jum’at tanggal 30 Oktober 1964, KRI Dewa Ruci melego/bersandar di tengah laut yang jaraknya sekitar 3 mil dari Kepulauan Karimunjawa. Di sana mereka bersandar selama 3 hari sebelum kembali berlayar ke Jakarta. *Sumber dari Buku Dewa Ruci Terbitan tahun 2010.
Halo pantai Pulau Panjang Jepara
Halo pantai Pulau Panjang Jepara
Halo pantai Pulau Panjang Jepara
Puas berkeliling pantai dengan sepeda, membayar sewa sepeda; aku menuju pelabuhan. Berhubung ada kapal yang akan balik ke Pantai Kartini, aku pun numpang di sana. Kapal kayu ini bukan kapal yang tadinya aku naiki, namun mereka (yang punya kapal) sudah tahu dan mengijinkan karena satu manajemen dengan kapal yang aku naiki waktu menyeberang. Pulau Panjang bisa dijadikan salah satu tujuan wisata selama di Jepara. Tidak ada salahnya mencoba menyeberangi pulau ini dan seharian bermain pasir. Jika ingin sedikit pengunjungnya, menyeberanglah ke pulau ini pada hari-hari kerja (bukan hari libur); aku pastikan pantai di sana sepi. Di pulau Panjang, kalian bisa merasakan kesunyian, ketenangan, dan benar-benar menikmati pantai pasir putih. Sedikit pengeluaran yang aku keluarakan selama menuju Pulau Panjang (HTM masuk Pantai Kartini; gratis karena aku jalan kaki, jika naik motor biasanya dikenai 5k/orang; Tiket naik kapal ke pulau Panjang 15k (PP); Tiket masuk pulau Panjang 3k; sewa sepeda 20k. Total pengeluaran adalah 38K (Rp.38.000). *Kunjungan ke Pulau Panjang pada hari Sabtu, 09 Januari 2015.
Baca juga tulisan pantai yang lainnya 

Susur Candi Bareng Jogja Women Cyclist

$
0
0
Menjelang pagi alarm kembali berdering kencang, aku bergegas bangun dan menunaikan sholat subuh. Setelah itu, aku lanjut mempersiapkan kamera, sepeda, dan meluncur ke Bunderan UGM. Jogja masih pagi, intensitas kendaraan tidak terlalu tinggi, namun begitu dekat dengan area UGM; beberapa kali aku berpapasan dengan banyak kendaraan yang akan memasang stand di Sunmor. Sesampai di Bunderan UGM masih sepi, aku berinisiatif keliling GSP menaiki sepeda, bertemu dengan Mas Imam yang menyempatkan untuk jogging  terlebih dahulu sebelum bersepeda.

Tepat pukul 06.00, aku kembali ke Bunderan. Di sana sudah ada beberapa pesepeda berempuan yang akan gabung di Jogja Women Cyclist. Saling sapa, foto bareng pun tak terelakkan. Seraya menunggu yang lain datang, seluruh peserta sepeda pemanasan terlebih dahulu. Aku hanya mengabadikan dari berbagai sudut.

“Foto bareng pakai banner,” Teriak salah satu koordinator.
Foto bareng di depan Bunderan UGM
Foto bareng di depan Bunderan UGM
Foto bareng di depan Bunderan UGM
Foto bareng mulai, berbagai kamera mengabadikan momen tersebut. Setelah itu berdoa bareng, lalu menyusuri jalan Colombo – Gejayan – Selokan Mataram.

Selokan Mataram menjadi salah satu alternatif jalan yang sering dipilih oleh pesepeda. selain sepi, kita juga disuguhkan pemandangan hijau. Hamparan sawah, aliran air, dan juga sesekali bangunan rumah. Beberapa marshal saling bersalipan menjaga ritme sepeda. Menjaga jalan ketika diperempatan, atau saat menyeberangi ringroad. Sampai di sini semua berjalan dengan lancar.

“Kita langsung ke Candi Sari,” Ujar mas Jhoni kepadaku.

Bergegas aku mendahului para pesepeda untu mengambil gambar. Jangan tanya kenapa aku ikut ya, aku di sini bertugas sebagai seksi dokumentasi. Memotret lebih dari 40an pesepeda perempuan yang terdiri dari muda maupun dewasa. Semua berbaur menjadi satu untuk menikmati akhir pekan. Sementara itu di sisi-sisi tertentu, dua photographer menggunakan sepeda motor mancari tempat yang strategis, beliau juga mengabadikan kegiatan ini.
Perjalanan di Selokan Mataram
Perjalanan di Selokan Mataram
Perjalanan di Selokan Mataram
Rute yang sedikit diubah pun berjalan dengan lancar. Saat ini kami sampai jalan Solo. Tepat di pertigaan arah ke Candi Sari, semua pesepeda belok kiri. Marshal depan dipimpin mbak Dyah, kemudian berlanjut Mas Imam, ditambah sekelompok Mbak Dea, Mbak Nurhastuti, dan Mbak Ari yang kompakan memakai jersey merah. Sedangkan di belakang adalah mas Jhoni dan Mas Rofi.

Halaman Candi Sari mendadak ramai oleh pesepeda. Ritual foto bareng wajib dilakukan. Setelah itu acara bebas selama 15 menit. Dari sini aku dapat mengabadikan berbagai aktifitas para pesepeda. Tentu yang menarik adalah mengabadikan beliau-beliau sedang wefie. Sementara itu para lelaki mulai sedikit sibuk. Bagaimana tidak, banyak hp maupun kamera yang diserahkan ke kami untuk mengabadikan. Pokoknya semangat deh.
Pokoknya wajib foto-foto
Pokoknya wajib foto-foto
Pokoknya wajib foto-foto
“Lokasi selanjutkan Candi Plaosan. Nanti kita istirahat di sana agak lama,” Kembali koordinator mulai mengarahkan pesepeda.

Menyusuri jalan arah ke Candi Prambanan melewati area lapangan dan gedung untuk Tari Ramayana; sepeda ini beriringan menuju Candi Plaosan. Tepat di pintu samping Candi Prambanan, rombongan kami bertemu dengan rombongan pesepeda dari UGM. Mereka juga mengadakan kegiatan susur candi. Dentang bel bersautan dengan sapaan serta senyuman sesama sepeda. Seperti inilah nikmatinya bersepeda, tanpa harus kenal pun kami saling menyapa.

“Foto dulu, baru lanjut ke area Candi Sojiwan.”
Di area Cand Plaosan
Di area Cand Plaosan
Di area Cand Plaosan
Candi Plaosan sudah di depan mata. Segeralah sepeda dijejerkan parkir bersusun rapi di dekat pagar. Di sini seluruh peserta menikmati konsumsi. Ada beberapa konsumsi yang kami santap pagi ini. Pisang Rebus dan Slondok. Mungkin kalian yang luar Jogja kurang paham dengan Slondok, nanti aku akan ulas di salah satu kesempatan. Di sini juga dijadikan ajang saling bersama; saling berjabat tangan bagi yang belum saling kenal, atau yang hanya berjumpa via sosmed akhirnya bertemu di kegiatan yang sama. Tidak ketinggalan minum Pocari Sweat yang menjadi bagian dari acara dengan membawakan banyak minuman.
Menikmati makanan dulu
Menikmati makanan dulu
Menikmati makanan dulu
Berlanjut ke lokasiCandi Sojiwan, kami menyusuri jalanan area Klaten. Beberapa titik jalan rusak, kemudian menuju area perumahan warga. Ada kejadian lucu di sini, tepat di salah satu jembatan kecil para pesepeda sempat terkena macet. Macet ini diakibatkan sepasang Kalkun menutup jalan, dan kadang mengejar para pesepeda. Gelak tawa tak tertahankan melihat tingkah para pesepeda menghindari Kalkun.

Rombongan tidak berfoto di dalam candi. Walau sebenarnya masuk candi sini pun gratis. Ini karena pesepeda hanya ingin berfoto dengan latar belakang candi. Bergegas seluruh pesepeda berjejer di pematang sawah yang kering. Dari kejauhan tampak jelas Candi Sojiwan gagah dan terlihat indah.
Rute terakhir adalah melewati Berbah. Awalnya direncanakan untuk mengunjungi Candi Abang, namun karena sudah agak siang, rute tersebut dibatalkan. Jadi rombongan ini langsung ke Lava Bantal. Lava Bantal ternyata sedang dalam tahap pengembangan. Ada tempat untuk parkir sepeda.
Foto dengan latar belakang Candi Sojiwan
Foto dengan latar belakang Candi Sojiwan
“Satu sepeda seribu,” Kata warga setempat yang menjaga di depan jalan masuk.

Kami baru tahu kalau sekarang sudah bayar. Salah satu ibu menyodorkan uang 50k, lalu warga pun memperbolehkan kami masuk. Ternyata di sana ada acara foto model. Pantes kok rame banget dan banyak para gadis tinggi semampai yang berpakaian ala kadarnya. Bergegas sebagian besar peserta sepeda menujuLava Bantal. Di sana sudah ada banyak mahasiswa dari salah satu kampus. Debit air lumayan banyak, para pesepeda pun menikmati gemericik aliran air sekaligus berfoto.
Santai di Lava Bantal
Santai di Lava Bantal
Sebelum bubar pulang ke rumah masing-masing, kami pun sepakat untuk makan terlebih dahulu. Kali ini kami menikmati Soto Bathok yang ada di Berbah. Warung Soto ini baru berdiri pertengahan tahun 2015. Kami langsung memesan soto dan minum. Obrolan pun berlanjut seraya menunggu Soto. Sehabis makan, kami pun foto bareng dengan pemilik warung soto. Ups tidak lupa juga aku mengabadikan sponsor minuman Pocari Sweat saat di Candi Plaosan.
Foto di Warung Soto
Foto di Warung Soto
Foto bareng Pocari Sweat
Foto bareng Pocari Sweat
Syukurlah acara gowes perdana Jogja Women Cyclist berjalan dengan lancar. Walau ada sedikit yang kecapekan, semoga tidak kapok ikut bersepeda lagi. Terima kasih untuk seluruh anggota pesepeda yang luar biasa antusias ikut acara ini. Terima untuk seluruh koordinator yang tiap hari rela mendata anggota yang akan ikut, menyempatkan membawa konsumsi, dan menjadi marshal selama kegiatan dengan baik. semoga ke depannya kegiatan ini berlanjut lebih ramai. Terima kasih atas kesempatannya untuk disertakan dalam rombongan, pokoknya salam gowes!!
Baca juga tulisan lainnya 

Asyiknya Memetik Buah Apel di Malang

$
0
0
Perut sudah kenyang, aku kembali berjalan menuju kamar. Kulihat agenda hari ini adalah memetik buah Apel. Untuk memetik kali ini lokasinya masih di area hotel. Ya, beruntungnya aku, voucher masuk ke kebun Apel pun sudah ditangan sejak semalam. Biaya menginap di sini sudah termasuk petik buah. Aku pun bergabung dengan rombongan yang menunggu jemputan mobil yang mengantarkan kami ke lokasi pemetikan.

Tak lama kemudian, kendaraan yang kami tunggu datang. Aku dan rombongan langsung masuk. Perjalanan menuju kebun Apel tidak jauh, hanya beberapa menit saja dari lobi hotel. Di sini sudah banyak pengunjung lain yang berdatangan dan antri masuk. Beberapa di antaranya juga antri membeli tiket masuk, sementara aku dan rombonganku hanya cukup menunjukkan voucer tersebut ke petugas. Di tempat tiket terpampang nominal harga untuk masuk ke dalam kebun Apel adalah 95 ribu; hanya boleh memetik dua buah/orang. Aku menuju pintu yang berbentuk Apel untuk menuju kebun Apel. Di balik pintu masuk sudah banyak pemandu yang siap mengantarkan kami ke lokasi pemetikan.
Menuju Pintu Masuk Kebun Apel
Menuju Pintu Masuk Kebun Apel
Menuju Pintu Masuk Kebun Apel
Bersama rombongan, aku ditemani seorang pemandu. Pemandu ini berseragam Hitam-Putih. Mereka rata-rata siswa SMA yang sedang magang di hotel. Selama perjalanan menuju kebun Apel, aku banyak bertanya yang berkaitan dengan Apel. Sementara itu, di jalan setapak yang aku lewati; sisi kiri yang tertutup pagar kawat terlihat perkebunan Apel yang sudah berbuah. Jauh di sana tampak gunung tinggi. Aku membidik sekali salah satu kumpulan buah Apel yang menggiurkan tersebut.

“Berapa lama waktu yang dibutuhkan dari pertama kali menanam sampai Apel berbuah, mbak?”Tanyaku selama perjalanan.

“Lima tahun, mas. Ada bibitnya sendiri yang hasil cangkokan. Jadi tidak asal menanam,” Jawabnya.

Aku hanya mangut-mangut saja, sampai akhirnya aku sampai di sebuah kebun Apel lainnya yang dijalannya terdapat portal bertuliskan lokasi pemetikan buah Apel.
Buah Apelnya banyak banget
Buah Apelnya banyak banget
Buah Apelnya banyak banget
“Untuk lokasi pemetikkannya di sini. Silakan jalan menuju paling ujung timur, nanti di sana ada petugas yang mengarahkan,” Kata pemandu lainnya yang jaga portal.

Aku masuk ke dalam kebun Apel yang buahnya bergelantungan di setiap sisinya. Kaki ini menyusuri jalan di antara pepohonan Apel. Di sini sudah banyak pengunjung yang memetik buah. Hiruk-piruk suara para pengunjung yang memetik Apel. Mereka berteriak ke temannya agar diabadikan saat memetik buah Apel. Banyak rombongan di sini adalah para keluarga, mereka sengaja mengajak anaknya untuk memetik buah.
Mari memetik buah Apelnya
Mari memetik buah Apelnya
Mari memetik buah Apelnya
“Mohon saat memetik buah jangan memegang dahannya. Cukup pegang buah yang ingin dipetik, kemudian putar ke kanan,” Suara petugas yang menggunakan pengeras suara terdengar kencang.

Berulang kali suara petugas menggunakan pengeras suara ini mengingatkan para pengunjung yang memetik buah. Selain itu himbauan agar tidak mematahkan dahan pohon Apel pun juga terdengar. Aku sendiri dengan cepat memetik dua buah Apel. Tanpa menunggu waktu lama, buah tersebut langsung aku makan. Entahlah, sedikit lupa prosedur (harusnya aku cuci terlebih dahulu).
Milih-milih dulu mana yang mau dipetik
Milih-milih dulu mana yang mau dipetik
Lebih dari satu jam aku di dalam perkebunan Apel. Usai sudah  kegiatan petik buah, aku pun menyusuri jalan menuju pintu keluar. Sesampai di luar, aku dapat menukarkan voucher yang tadi aku terima di kebun Apel untuk ditukar dengan jus. Aku pun menukarkan voucher tersebut dengan jus strawberi (ada banyak jenis jus yang tersedia). Sayangnya aku lupa, kalau di sini jusnya nggak menggunakan gula/pemanis sama sekali; jadi benar-benar buah strawberi yang langsung diblender. Alhasil, aku pun hanya menahan rasa asamnya Strawberi. Selesai semua, aku kembali ke kamar untuk persiapan check out. Pindah ke hotel lainnya, eit, sebelum check in di hotel lainnya; aku dan rombongan sudah mengagendakan menuju salah satu lokasi tempat wisata yang ada di sini. *Kegiatan memetik buah Apel ini di Hotel Kusuma Agrowisata Batu, Malang pada hari Minggu; 27 Desember 2015.
Baca juga perjalanan lainnya 

Pantai-pantai yang Wajib Dikunjungi Selama di Karimunjawa Bagian Kedua

$
0
0
Menyambung tulisan dua minggu lalu yang mengenai pantai-pantai yang wajib dikunjungi selama di Karimunjawa tanpa menyeberang pulau lagi, kali ini aku akan rangkum pantai-pantai lainnya yang belum terdaftar di sana. Pantai-pantai ini ada di desa Kemujan, sebuah desa yang berdampingan dengan desa Karimunjawa dan hanya dipisahkan oleh Hutan Mangrove. Lambat laun, desa Kemujan tidak mau kalah dengan Karimunjawa untuk bersolek menawarkan pantai-pantai indah. Pantai-pantai yang aku tulis ini adalah beberapa pantai memang sudah dikenal ataupun pantai yang tidak begitu dikenal. Berikut pantai-pantai yang ada di Kemujan dan bisa kalian kunjungi selama satu hari.

Pantai Barakuda
Pantai pertama yang aku tulis adalah Pantai Barakuda. Salah satu pantai yang berada di desa Kemujan ini cukup menarik dikunjungi. Lokasinya memang agak masuk ke dalam, jalan tidak aspal, namun cukup mudah diakses. Di pantai Barakuda, kita bisa bersantai seraya melihat beberapa pulau seperti pulau Kecil dan pulau Tengah. Pantai ini berada di depan sebuah penginapan, dan dengar-dengar; dekat pantai ini ada banyak lagi pantai yang sedang berkembang. Di pantai ini menghadap ke timur, jadi kita akan bisa melihat sunrise jika ke sini pagi hari. Baca selengkapnya di sini…
Pantai Barakuda Kemujan
Pantai Barakuda Kemujan
Pantai Barakuda Kemujan
Pantai Pohon Cemara
Pantai Pohon Cemara ini berjarak mungkin 1km dari Pantai Barakuda jika kita susuri dari tepian pantai. Jika kita melalui jalan besar, pantai ini terletak di dusun Jelamun. Nama Pantai Pohon Cemara ini diambil dari banyaknya pohon Cemara yang tumbuh di sini. Pantai ini sebenarnya bukan tujuan wisata, tapi kadang kala para wisatawan sengaja mencari pantai-pantai yang tidak dikenal untuk dijadikan tempat bersantai. Di sini kita juga bisa menyaksikan sunrise jika ke sini pagi hari. Baca selengkapnya disini…
Pantai Pohon Cemara, Kemujan
Pantai Pohon Cemara, Kemujan
Pantai Batu Putih
Pantai Batu Putih memang sering aku ulas ketika sedang sunrise ataupun pada saat seperti biasa. Pantai ini sangat dikenal bagi warga setempat, berlokasi di Jelamun (belakang MTS) dan akses jalannya pun walau setapak namun cukup bagus. Di pantai ini kita dapat menikmati hamparan pasir putih luas, bebatuan besar, dan juga teduhnya pepohonan Ketapang. Baca selengkapnya di sini…
Pantai Batu Putih Kemujan
Pantai Batu Putih Kemujan
Pantai Batu Putih Kemujan
Pantai Hadirin
Pantai Hadirin juga masih berada di dusun Jelamun, pantai ini dapat kita kunjungi dengan mudah menggunakan kendaraan roda dua maupun empat. Di pantai Hadirin, kita dapat bersantai di pelabuhan seraya melihat para nelayan sedang beraktifitas. Atau kita bisa menghabiskan waktu dengan memancing. Aku sempat menulis beberapa kegiatan di pantai ini. Baca selengkapnya di sini…
Pantai Hadirin Kemujan
Pantai Hadirin Kemujan
Pantai Hadirin Kemujan
Pantai Ujung Tong/Pantai Lomban
Pantai Ujung Tong mungkin cukup asing di telinga kalian. Ya, pantai ini berada di ujung dusun Jelamun. Pantai ini lebih dikenal warga setempat dengan sebutan pantai lomban. Seperti pantai Barakuda, di sini setiap H+7 Lebaran, pantai ini digunakan untuk berkumpul dan melakukan acara lombanan di pantai (semacam sedekah laut). Pantai ini tidak luas, tapi cukup bagus untuk bersantai. Oya, pantai Ujung Tong memang tidak termasuk pantai tujuan wisata, tapi apa salahnya jika kita sengaja mengeksplore pantai-pantai di Karimunjawa, khususnya di Kemujan.Baca selengkapnya di sini…
Santai di pantai Ujung Tong Kemujan
Santai di pantai Ujung Tong Kemujan
Santai di pantai Ujung Tong Kemujan
Dermaga Cinta
Berbeda dengan pantai lainnya, Dermaga Cinta ini berada di Jelamun juga. Tepatnya malah di belakang Bandara Dewadaru. Untuk berkunjung ke sini, aku rekomendasikan pada saat senja. Karena jika senja, kita dapat melihat keindahan sunsetberpadu dengan tenangnya air laut serta rimbunnya tanaman Bakau. Baca selengkapnya di sini…
Sunset di Dermaga Cinta Kemujan
Sunset di Dermaga Cinta Kemujan
Pantai Timo’
Berpindah ke dusun Batulawang, masih di desa kemujan yang terkenal dengan nama Kampung Bugis, ada beberapa pantai di sini. Salah satu pantai yang bisa dikunjungi adalah Pantai Timo’. Di sini kita bisa menikmati suasana pantai pada saat pagi/siang hari. Karena pantai ini seperti pantai-pantai sebelumnya yang menawarkan pemandangan indah menghadap ke timur. Di sini juga ada penginapan yang dapat kita gunakan untuk menginap jika ingin menikmati suasana pantai. Baca selengkapnya di sini…
Pantai Timo' Kemujan
Pantai Timo' Kemujan
Pantai Ujung Batulawang
Pantai Ujung Batulawang ini salah satu pantai yang masuknya berbayar. Kita akan trekking untuk sampai di pantainya. Di pantai Ujung Batulawang kita dapat merasakan deburan ombak yang cukup besar, bongkahan batu pantai yang besar, serta suasana yang cukup sunyi. Pantai Ujung Batulawang ini mempunyai banyak spot bagus yang dapat kita abadikan selama di sini, termasuk yang melegenda adalah cerita secara turun-temurun mengenai Batu Pengantin. Baca selengkapnya di sini…
Ujung Batulawang
Ujung Batulawang
Pantai Barek/Pantai Pantura
Berdekatan dengan pantai Ujung Batulawang, pantai Pantura/Barek ini menawarkan pemandangan yang cukup bagus ketika sunset. Pantai ini dipenuhi hamparan Ilalang, dan juga pasir pantai yang putih. Di sini juga kita dapat melihat aktifitas nelayan setempat. Jika sore hari, kita bisa mendapati para nelayan yang pulang dari melaut. Baca selengkapnya di sini…
Pantai Pantura
Pantai Pantura
Pantai Telaga
Bergeser ke dusun lainnya, Dusun Telaga mempunyai banyak pantai. Pantai ini dapat kita susuri dengan jalan cor yang cukup bagus. Sepanjang jalan, kita dapat berhenti dan mengabadikan di beberapa sudut pantai. Semoga pantai di Telaga ini bisa dikelola dan menjadi destinasi yang banyak dikunjungi para wisatawan. Baca selengkapnya di sini…
Sepanjang pesisir pantai telaga
Sepanjang pesisir pantai telaga
Pantai Pelabuhan Mrican
Pantai yang terakhir aku luas adalah pantai Pelabuhan Mrican. Pantai ini menawarkan keindahan pantai yang cukup bagus jika saat sunset. Mentari terbenam di antara ujung laut dan di samping Pulau Mrico. Pantai ini terletak di Dusun Mrican, salah satu dusun paling jauh dari arah Karimunjawa. aku pernah beberapa kali ke pantai ini ketika sunset maupun saat siang. Baca selengkapnya di sini…
Pelabuhan Mrican
Pelabuhan Mrican
Berikut pantai-pantai yang dapat kalian kunjungi selama seharian di Karimunjawa, khususnya di Kemujan. Dari daftar pantai di atas, setahuku baru Pantai Ujung Batulawang saja yang dikenai tarif masuk. Selebihnya kita dapat berkunjung dengan bebas, namun tetap bertegur sapa dengan penduduk setempat. Bagaimana, berminat untuk menyusuri setiap pantai di sini? *Dokumentasi pantai ini penulis abadikan ketika menyusuri pantai-pantai tersebut dengan bersepeda ataupun dengan berkendaraan mesin secara bertahap pada bulan Apri & Juli 2015.
Baca juga tulisan pantai lainnya 

Memotret Siluet dan Kabut di Gunung Ireng, Gunungkidul

$
0
0
Menjelang malam hari mendadak salah satu grup WA ramai. Obrolan kecil yang saling bersautan membahas rencana menikmati akhir pekan menjadi topik sedikit menggegerkan grup. Aku hanya memantau saja, karena esok pagi rencananya aku ingin bersepeda dengan beberapa teman menuju candi. Makin lama aku pantau, akhirnya obrolan pun mencapai kesepakatan. Rencananya pagi esok teman-teman ingin mengunjungi Gunung Ireng. Salah satu puncak yang ada di Gunungkidul, tempat tersebut pernah aku sambangi naik sepeda tahun lalu.
Siluet di Gunung Ireng Gunungkidul
Siluet di Gunung Ireng Gunungkidul
“Mas Sitam kan sudah pernah ke sana. Jadi harus jadi guide­-nya,” Usul mbak Aqied.

“Ya, wajib itu,” Dukung Gallant serta diamini teman baru grup yang bernama Dwi.

Karena aku jarang main dengan teman-teman, sedangkan esok lusa pun juga ada agenda sepedaan, aku putuskan untuk menemani mereka. Toh sesekali nggak ada salahnya aku memarkirkan sepeda.

“Baiklah, yang penting aku dijemput,” Balasku.

Sepakat kami berempat akan menuju Gunung Ireng esok subuh. Namanya juga rencana, sampai kapan pun bisa berubah karena banyak hal. Termasuk niat kumpul menjelang subuh, berbagai kendala (anak kos) pun terjadi, sampai akhirnya kami pun berkumpul di tempat janjian pukul 05.30 wib. Lupakan angan-angan semalam yang ingin mengabadikan sunrise. Laju tiga kendaraan menyusuri tanjakan di Patuk, bersaing dengan bus ekonomi yang mengepulkan asap pekat dicerobong knalpotnya. Kami pun menurunkan kecepatan agar terhindar dari asap pekat.

“Lurus mentok sampai ketemu pertigaan ada tugunya, nanti belok kanan,” Seperti itulah aku sepanjang perjalanan mengarahkan rute jalan ke Gallant. Sampai juga aku di parkiran Gunung Ireng, jalan aspal yang rusak pun masih sama. Sedangkan jalan masuk yang awalnya hanya cor dua tapak pun menjadi satu dan lebih luas. Begitu sampai parkiran, aku menghampiri bapak-bapak yang menjaga parkir.

“18ribu mas,”Kata beliau kepadaku. Tiga motor ditambah empat orang. selesai membayar, kami berjalan menuju Gunung Ireng. Di sana sudah ada dua orang yang datangnya lebih awal. Kami langsung mengeluarkan kamera masing-masing dan mengabadikan. Pagi ini kabut menyebar di segala penjuru membuat pemandangan putih semua. Aku putuskan mencoba untuk memotret siluet, dan sepertinya itu adalah pilihan terbaik seraya menunggu kabut menghilang.
Kami pun beraksi di Gunung Ireng
Kami pun beraksi di Gunung Ireng
Kami pun beraksi di Gunung Ireng
Sedikit lama aku dan teman-teman mulai sibuk saling membidik objek yang sekiranya menurut hati bagus. Sinar mentar yang tertutup oleh kabut membuat mentari terlihats eperti rembulan pada siang hari. Hanya cahaya bulat tanpa ada sinar yang hangat menerpa kulit. Serambi menunggu kabut menghilang, aku kembali bereksperimen. Memotret diri sendiri dengan menggunakan Tripod, lalu mengabadikan teman-teman yang sibuk sendiri. Ya, kabut pagi ini cukup tebal walau jam tangan menunjukkan pukul 10.30 wib.

“Mas, aku difoto ya,” Teriak Dwi padaku.

Tanpa berpikir panjang, aku mengabadikannya. Oya, ini kali pertama aku kenal dia. Mungkin mbak Aqied pun sama kali ini bertemu dengannya. Satu-satunya teman yang sudah kenal Dwi adalah Gallant. Sementara itu, di belakang sana terlihat Gallant dan mbak Aqied sibuk dengan kameranya masing-masing.
Ditemani kabut pagi
Ditemani kabut pagi
Ditemani kabut pagi
Usaha kami menunggu kabut menghilang menuai hasil. Sedikit demi sedikit kabut berangsur berarakan pergi, pemandangan hijau jauh di depan mulai terlihat. Rerimbunan pohon dibukit membuat suasana tampak lebih menyenangkan. Kabut tipis tetap menyelimuti kawasan Gunung Ireng, tapi sawah dan perumahan di bawah terlihat jelas. Keriuahan siswa-siswi sekolah yang sedang berolahraga terdengar sampai di atas. Tidak ketinggalan suara jangkrik dan kodok sedari tadi bersahutan mulai berkurang. Mungkin karena kabut mulai menghilang, sehingga kawasan sini menjadi lebih terang. Di sini, aku dapat merasakan udara bersih. Kontras dengan kepulan asap dari knalpot bus yang ada disepanjang jalan Jogja – Wonosari.
Formasi Lengkap dari Kiri; Aku, Dwi, Gallant, Mbak Aqied
Formasi Lengkap dari Kiri; Aku, Dwi, Gallant, Mbak Aqied
Seperti misi yang kuusahakan mulai akhir tahun lalu. Setiap perjalanan (dekat/jauh) berusaha membawa sebuah buku *kecuali saat bersepeda di area Jogja. Aku membawa sebuah buku yang kemarin sore kubeli. Semacam sebuah property untuk berfoto, atau mungkin lebih tepatnya sebagai teman berfoto, atau malah sebuah pencitraan. Aku mengabadikan diriku dengan buku; terlihat seolah-olah aku sedang membaca buku. Ya, aslinya aku sudah membaca buku ini sampai halaman 30an sih. Buku ini berjudul “Melihat Indonesia Dari Sepeda – terbitan tahun 2010”. Sebenarnya buku ini rencananya aku akan bawa ketika aku bersepeda di Jogja, tapi tidak apa-apa; kali ini aku bawa dan besok ketika bersepeda, kembali aku bawa. Ternyata polahku ini membuat teman-teman lain tertawa. Mereka menertawakan kesibukanku yang berlarian agar dapat terabadikan dengan pose membaca. Oya, bukan hanya aku, teman yang satu pun ikut berfoto dengan buku. Menarik kan? Pencitraan!!

Aku kembali fokus mengabadikan momen mumpung kabut agak menghilang lagi. Dari sini terlihat mbak Aqied sedang memotret sambil tersenyum. Entahlah, apa yang membuat dia tersenyum. Padahal objek yang dia potret adalah persawahan dan bangunan rumah warga & sekolah.
Karena pencitraan itu perlu, mungkin memang seperti itu
Karena pencitraan itu perlu, mungkin memang seperti itu
Karena pencitraan itu perlu, mungkin memang seperti itu
Karena pencitraan itu perlu, mungkin memang seperti itu
Lama kami asyik dengan kamera masing-masing, kemudian kami pun berkumpul di sebuah gubuk besar yang disediakan oleh pengelola tempat ini. Di gubuk terdapat colokan listrik, jadi jika sewaktu-waktu hp habis baterai bisamemanfaatkan colokan untuk mengisi baterai. Obrolan santai semalam berlanjut pagi ini sambil menikmati bekal yang kami bawa. Sampai akhirnya kami pun iseng membaca coretan-coretan yang ada diseluruh papan gubuk. Hampir setiap sudut papan penuh dengan coretan para pengunjung, sepertinya mereka belum bisa meninggalkan kebiasaan buruk.

Ada banyak tulisan lucu yang membuat kami tertawa sehabis membacanya. Tiang-tiang gubuk ada banyak tulisan sepasang nama muda mudi dengan lambang love. Tidak ketinggalan pengunjung mencoret dengan nama sekolahnya, masih banyak lagi coretan yang ada di sini. Dan yang pasti coretan kata “Forever” selalu ada di manapun berada. Sangat disayangkan sekali kelakuan para pengunjung yang tidak bisa menjaga etika di sini.
Tempat yang asyik untuk bercerita seraya mengisi perut
Tempat yang asyik untuk bercerita seraya mengisi perut
Tempat yang asyik untuk bercerita seraya mengisi perut
Sedikit tentang Gunung Ireng; jika kalian ingin mengunjungi pada subuh dan berniat berburu sunrise, aku rekomendasikan jangan pada bulan-bulan penghujan seperti ini. Kebanyakan kita tidak dapat menyaksikan sunrise karena kabut menutupi sepanjang pagi. Walau ada kalanya ketika kesempatan kalian dapat menyaksikan sunrisedengan bagus saat sedang cerah. Di sini kalian juga bisa berkemah, tempat perkemahan ada di sekitar bawah pepohonan Jati atau dekat gubuk. Ada dua gubuk yang bisa kalian gunakan bersantai, gubuk besar ada di dekat area kamar mandi, dan yang sedikit lebih kecil ada di ujung dekat tebing. Di sini juga ada beberapa tempat sampah yang disediakan. Hanya saja, beberapa kamar mandi kurang kurang terawat. Ada juga yang pintunya tidak diberi pengunci, sehingga merepotkan orang ketika sedang ingn ke kamar mandi. Semoga pengelola bisa memperbaiki dan kamar mandinya pun menjadi lebih baik. Menjelang pukul 09.30 wib, kami sepakat turun kembali ke Jogja. Terima kasih untuk teman-teman, semoga kita bisa main bareng lagi; ayo diagendakan!!*Perjalanan ke Gunung Ireng ini pada hari Sabtu, 16 Januari 2016.
Baca juga cerita tentang alam lainnya 
Viewing all 749 articles
Browse latest View live