Quantcast
Channel: Nasirullah Sitam
Viewing all 749 articles
Browse latest View live

Tentang Perasaan, Pantai, dan Penghuninya

$
0
0
Ada semacam perasaan yang berbeda dikala aku menikmati senyapnya telinga dari keriuhan kendaraan bermesin. Duduk termenung sendiri di tenda, atau saat menikmati malam yang riuh dengan teriakan orang-orang melepas segala kepenatan. Kegaduhan yang biasanya didominasi suara kendaraan mesin bersahut-sahutan dijalanan, gemuruh suara pesawat yang ingin take off maupun landing, atau dentuman musik keluar dari sound system anak kos berganti dengan keriuhan yang lainnya. Saat malam, aku mencoba berjalan sendirian di tepian pantai. Lanjut menghidupkan senter tenda, mengambil buku kecil yang selalu aku bawa, dan mulai mencoret-coret kertas kosong. Aku merasakan ada sesuatu yang berbeda. Ataupun saat pagi menyapa. Menikmati kesendirian ditepian pantai. Desakan hati yang terus berkata.

“Tulislah apapun yang kamu lihat saat ini, jadikan setiap apa yang kamu lihat menjadi sebuah cerita singkat. Ceritakan semuanya, agar orang yang membaca bisa merasakan apa yang ada dalam pikiranmu sekarang.”
Duduk dihamparan pasir Pantai Baru, Bantul
Duduk dihamparan pasir Pantai Baru, Bantul
Senja menyapaku, memperlihatkan betapa banyaknya mahluk hidup yang memuja dengan kalimat “Aku selalu menunggu Senja” atau dengan lirik-lirik yang melankolis. Di antara indahnya senja, tetap benda-benda lain yang disekitar patut ikut berteriak menambah semaraknya senja. Membuat senja menjadi lebih indah, tanpa terkecuali sepeda-sepeda yang terdiam di dekatku. Rongsokan besi yang mengantarku sampai di tempat ini pun tidak luput menanti senja. Bahkan tanpa meminta untuk kedua kalinya, aku mengabadikan mereka dikala senja. Senja selalu mempunyai cerita tersendiri bagi para penantinya, tanpa terkecuali sepasang sepeda besi yang setia di sampingku.
Hai Senja!!
Hai Senja!!
Hai Senja!!
Bagaimana dengan penghuni lainnya? Jauh sebelum aku menikmati desiran angin yang membuat tendaku serasa bergoyang kencang, pepohonan Cemara yang teduh sudah terlebih dulu menikmati keindahan dan ketenangan di sini. Akar yang kuat menjadi benteng terakhir yang kokoh agar batangnya tidak roboh terhempas tiupan angin laut. Dahan dan ranting saling bersatu untuk melawan kekuatan angin yang tidak teratur. Sementara daun dan buahnya silih berganti berguguran diterjang angin maupun usia. Mereka tercecer dan berterbangan mengikuti arahan angin. Kemudian tergeletak tak berdaya di pasir, suara keriuhannya bagaikan nyanyian khas pantai. Semacam seruling yang tidak pernah berhenti ditelan waktu.
Pohon Cemara
Pohon Cemara
Bagaimana dengan penghuni lainnya? Bagaimana dengan pengunjungnya? Besar, kecil, warga setempat, atau mereka yang hanya singgah?

Mereka yang hanya singgah untuk menikmati keindahan pantai di pagi hari tentu mempunyai tujuan tertentu. Salah satu tujuannya tentu mengabadikan momen saat sedang di pantai. Menikmati waktu pagi dengan mengabadikan diri bersama; agar lebih terlihat sebagai pengunjung, mereka mengenakan kaos yang sama. Tidak ketinggalan tulisan-tulisan yang ada dikaos mereka. Tentu kamu bisa baca tulisan kapital putih di kaos hitam ini. “#BukanTraveller; Cuma Tukang Pamer “ Atau kaos-kaos yang bertuliskan NatGeo, MTMA, dan lainnya. Seperti kurang kerjaan pagi ini, aku mencoba menghitung mereka yang menggunakan kaos seperti itu. Arrgghhh,mungkin otakku lagi error, seperti halnya waktu dulu menyempatkan menghitung suara Tokek berbunyi di malam yang sunyi.

“…Tujuh, Delapan, Sembilan, Sepul… Itu tadi sudah aku hitung belum ya?” Aku kebingungan sendiri.
Tulisan Bukan Traveler di kaos pengunjung pantai
Tulisan Bukan Traveler di kaos pengunjung pantai
Tidak ketinggalan mereka anak-anak kecil yang menghabiskan akhir pekan di pantai. selain bermain dengan gelombang yang menghujam garis depan pantai, berlarian ketika ada ombak besar ingin menghempaskan diri, mereka juga disibukkan bermain Layang-layang. Liukan Layang-layang layaknya seorang penari yang membuat mata ingin terus menatapnya. Mengabaikan rasa capek leher yang selalu dipaksa untuk mendongak ke atas. Aku yakin, ketika Layang-layangmu terbang membumbung tinggi, ada rasa kepuasan yang tak ternilai. Bisa jadi momen itu akan menjadi cerita dalam seminggu ke depan di sekolah. Dengan teriakan lantang dan puas kita bilang;

“Minggu kemarin, aku main Layang-layang di pantai,” Dengan penuh semangat. Sementara teman-teman kita hanya melongo mendengar cerita kita.
Mari bermain layang-layang di pantai
Mari bermain layang-layang di pantai
Keriuhan para anak-anak yang berusaha menerbangkan Layang-layang, keceriaan para pengunjung yang ingin berpose dan mengabadikan diri dengan kamera tidak mempengaruhi para penghuni tetap. Nelayan-nelayan tetap dengan beraninya menerjang ombak besar menggunakan kapal kecilnya. Terbalut sebuah life jacketdi setiap badannya, mereka melaut untuk menangkap Ikan. Begitu pun dengan penduduk setempat yang ingin menjaring ikan. Tatapan penuh makna dan harap lurus mengamati pola gelombang. Insting sebagai pelaut diuji untuk memprediksi di mana Ikan itu berada, bagaimana agar jaring ini bisa dengan mulus terbentang di perairan. Mereka terus menunggu sampai waktunya tiba, membentangkan jaring sendirian di antara keriuhan para pengunjung yang berada disekitarnya.
Menatap samudra
Menatap samudra
Sementara aku? Tidak serta merta aku hanya duduk termangu seraya berkhayal tak jelas di tenda. Sesekali aku beranjak ke pantai, menginjakkan kaki dipanasnya pasir hitam. Aku tidak sedang bermain air, tidak juga sedang bermain pasir. Namun aku bermain dengan penghuni lainnya. Sekelebatan Kepiting pasir yang dapat melesat dengan kencang serta pandai mengubur diri dipasir kukejar. Kepiting kecil ini berlarian ketika ada orang sedang mendekatinya, jika dirasa mengancam jiwanya; dia langsung sembunyi diliang-liang yang bersebaran di pasir pantai. Akhirnya aku dapat menangkap satu, mencoba mengabadikannya; lalu kembali melepaskannya ke alamnya.
Penghuni pasir yang berlarian
Penghuni pasir yang berlarian 
Ada banyak hal yang terlewatkan kali ini, mencoba mengingat satu demi satu secara acak. Kemudian menulisnya jika ada kesempatan. Ketika setiap kata sudah tersusun agak rapi, hati ini menjadi gelisah; apa judul yang tepat untuk tulisan yang acak seperti ini? Jenis tulisan apa yang sedang aku buat sekarang? Masih banyak lagi pertanyaan yang bermunculan dikepalaku. Baiklah, aku putuskan untuk menulisnya saja, urusan judul nanti belakangan saja. *Kalimat-kalimat ini tersusun saat berada di dalam tenda pada buku kecil saat camping 26-27 September 2015 di pantai Baru, Bantul.
Baca juga tulisan lainnya 

Pembalasan Sariman Bagian Kedua

$
0
0
Lagi-lagi Sariman bikin ulah. Kalau bulan kemarin aku pernah menceritakan dosa-dosa Sariman saat melakukan pembalasan dengan kami berhubungan dengan perut/makanan. Kali ini Sariman kembali bikin ulah. Sebenarnya Sariman ini jenius sih, hanya saja kejeniusannya tidak bisa dimaksimalkan. Alhasil dia sering merasa teraniaya oleh teman-teman kos. Walau aku tak menampik kata “menganiaya” Sariman, tapi ya mau gimana lagi. Sariman kan paling kangen dikerjai sama anak kos
.
“Karma pasti berlaku, bang. Tunggu pembalasanku (selanjutnya),” Itulah kalimat yang sering Sariman ucapkan ke kami. Kami pun hanya menanggapi ancaman Sariman layaknya kentut, baunya sesaat saja, setela itu hilang terbawa angin. Namun tidak dengan Sariman, dia selalu mempunyai rencana yang kadang tidak kami ketahui. Raut wajah antara polos dan pura-pura lugu pun kadang kami lupakan.
Ini pembalasanku!!
Ilustrasi: Ini pembalasanku!! (gambar: http://izismile.com/)
Pernah suatu malam kami kelaparan, dan sepeda motor dipakai Sariman keluar. Kami pun berinisiatif mengirimkan pesan ke Sariman untuk dibelikan makanan saat dia pulang. Dia pergi sejak sore, ini artinya waktu tengah malam adalah saat dia balik kandang kos.

“Man, belikan kami empat bungkus nasi Ayam, ya. Nanti uangnya aku ganti,” Kukirim ke Sariman.

Tak lama kemudian, dia membalas. “Sori bang, tulisan pesanmu ngeblur. Nggak bisa terbaca,” Jawabnya ditambah ikon jawah sedang tertawa.

Kuabaikan jawaban Sariman, mungkin dia sedang ingin bercanda. Mana mungkin kirim pesan WA kok tulisannya ngeblur, nggak terbaca. Kecuali kalau Sariman tidak bisa baca, baru aku nggak perlu kirim pesan. Selang setengah jam, Sariman pun datang.

“Mana nasi kami, Man?” Todongku.

“Kan aku bilang, Bang. Tulisannya ngeblur, nggak terbaca. Mungkin karena efek uangku habis,”Jawabnya tertawa tanpa dosa.

“Behgggghhhh!!”Pengen rasanya kami mutilasi itu anak.
*****

Cerita pembalasan Sariman pun berlangsung beberapa minggu kemudian. Kali ini Tambor kebingungan motornya dipakai Sariman. Sementara pagi ini dia harus berangkat ke kampus. Melihat motor tidak digarasi, dan dari dinihari dipakai Sariman ke Warnet buat download film. Tambor pun menelpon ke Sariman.

“Woe, Man. Cepat balik, motor mau aku pakai kuliah pagi.”

“Sori bang, suaramu nggak kedengeran, speakerku rusak,” Jawab Sariman lalu dimatikan teleponnya.

Mendengar jawaban Sariman, Tambor pun menulis pesan di WA. Tak lama kemudian, Sariman membalas pesan.

“Sori bang, nggak bisa balas pesanmu. Pulsaku habis,” Jawab Sariman via WA.

Jawaban tersebut membuat Tambor mencak-mencak. Kami yang pagi itu duduk santai di depan kamar Mius tak bisa menahan tawa membaca jawaban Sariman. Kejam banget kau, Man. Balas pesan kok bilang nggak ada pulsa.
*****

Itulah sedikit dosa-dosa pembalasan dari Sariman ke kami. Bisa dibayangkan siapa sebenarnya  Sariman. Sosok yang menyamar menjadi anak kos sok lugu, padahal kalau membalas, balasannya jauh lebih kejam ke kami. Ada ide dari kalian bagaimana caram membalas dendam ke Sariman? Aku dan anak kos siap menampung ide tersebut. Tunggu pembalasan dari kami, Man!!
Baca juga cerita lainnya 

Nikmatnya Wedang Asem Panas

$
0
0
Aku sempat menulis tentang Buah Asam di blog ini bulan lalu. Banyak banget yang berkomentar, rata-rata mereka mengingat masa kecil ketika sedang mengambil/memakan Buah Asam. Sampai ketika di acara bersepeda, aku mendapatkan informasi kalau di lokasi tujuan bersepeda nantinya ada wedang yang spesial. Yakni Wedang Asam, aku pun bersemangat mengikuti acara bersepedanya. Sesampai di warung tersebut, aku langsung mengincar Wedang Asem + Gula Jawa. Gula Jawa ini adalah Gula Merah yang terbuat dari Aren, aku pernah mengulas tentang Gula Jawa waktu berkunjung ke Purworejo.

Di dalam warung sudah banyak yang antri untuk menikmati Wedang Asam-nya. Aku ikut mengantri di belakang. Kusempatkan untuk mengabadikan bahan baku yang akan digunakan untuk membuat Wedang. Gula Jawa yang sudah dipotong tipis-tipis terletak berdampingan dengan segumpal Buah Asam yang sudah dikupas.
Gula Merah dan Asam Jawa
Gula Merah dan Asam Jawa
Gula Merah dan Asam Jawa
“Yang pesan Teh di sana, di sini yang pesan Wedang Asam,” Kata seorang pemuda yang dikerumuni pemesan minuman.

Seorang pelayan warung terlihat sibuk merancik wedang tersebut. Diambilnya beberapa sendok Gula Jawa, kemudian sedikit Buah Asam dan dimasukkan ke dalam gelas. Kemudian diberi air putih panas. Warna air pun berubah menjadi seperti warna Teh.
Mas-nya sibuk banget dikerubuti membeli Wedang Asem
Mas-nya sibuk banget dikerubuti membeli Wedang Asem
“Mas, Asamnya nggak ditambah lagi? Biar lebih banyak,”Celetuk salah satu pemesan Wedang Asam.

“Jangan banyak-banyak, mas. Takutnya perut njenengan malah sakit,” Jawab pemuda yang merancik wedang.

Setelah menunggu sedikit lebih lama, akhirnya Wedang Asam pun aku dapatkan. Kulangkahkan kaki ke deretan kursi dan meja yang kosong untuk menikmati wedang ini. Air panas membuat Asam di dalam sedikit demi sedikit terlarur. Sengaja kuaduk biar Asamnya terkikis, sehingga tinggal semacam kulit yang menempel dibiji Asam. Sensasi Asam dan manis menyatu dalam lidah. Wedang Asam panas ini cukup segar dan membuatku agak hangat.
Menikmati segelas Wedang Asem panas pagi hari
Menikmati segelas Wedang Asem panas pagi hari
Menikmati segelas Wedang Asem panas pagi hari
Ya, sudah tentu kita sedikit susah untuk mendapatkan wedang Asam seperti ini. selain tempat yang jual susah, untuk mendapatkan Asam pun tidaklah mudah. Jika di kampung-kampung dengan mudah kita mendapatkan dan bisa membuat sendiri, tapi di beberapa sudut kota; tentu berbeda. Wedang Asam ini sangat cocok dinikmati kala pagi/malam hari.
Baca juga kuliner lainnya 

Rak Buku Unik di Perpustakaan Taman Pintar Yogyakarta

$
0
0
Perjalanan siang ini berlanjut, selepas mengunjungi Shopping, dan Musem Anak Kolong Tangga, aku mencari musholla untuk menunaikan sholat Dzuhur. Menapaki trotoar depan Shopping, akhirnya mataku tertuju pada musholla  Taman Pintar Yogyakarta yang ada di sisi kiri jalan. Tanpa panjang, aku langsung mengambil air wudhu dan menunaikan sholat di sana. Beruntunglah, di sana ada kumpulan Sarung yang bisa kukenakan.

Sholat empat rakaat sudah kutunaikan siang ini, aku termangu di selasar musholla. Bingung mau menuju ke mana lagi untuk dapat dikunjungi dan mengisi blog. Sampai akhirnya aku mendapatkan ide lumayan menarik, bagaimana kalau aku berkunjung ke Perpustakaan Taman Pintar saja? Aku langsung menghubungi teman yang PPL di sana, dan mendapatkan informasi bahwa perpustakaan buka hari sabtu. Dia mendapatkan tugas piket jaga hari sabtu. Dari informasinya, aku tahu lokasi perpustakaannya ada di lantai dua. Bergegas aku menuju lokasi tersebut.
Depan Taman Pintar Yogyakarta
Depan Taman Pintar Yogyakarta

“Kalau ke perpustakaan beli tiket dulu mas di bagian tiket, karena hari sabtu dianggap sebagai pengunjung biasa. Untuk melewatinya, mas nanti sekalian menyusuri wahana-wahana dari sini,” Terang petugas pintu.

Aku pun menuju tiket masuk dan membeli tiketnya. “Berapa mbak masuk ke perpustakaan?”

“Perpustakaan di lantai dua, nanti masuknya lewat sana. Tiket 18 ribu, mas. Tapi saya coba hubungi dulu apakah perpustakaannya buka atau tidak,” Jawab bagian tiket.

“Aku sudah hubungi teman yang PPL, mbak. Dia sedang jaga di perpustakaan sekarang,” Jawabku.

Tiket sudah ditangan, aku pun menyusuri jalanan yang ada. Aku tidak bertanya lebih, apakah kalau hari biasa orang yang ingin berkunjung ke perpustakaan melalui jalan yang sama atau ada jalan lainnya. Namun biarlah, toh aku juga menikmati setiap pemandangan yang disajikan selama perjalanan. Dimulai dari patung Dinosaurus besar, serta Manusia Purba di lantai satu, lalu masuk ke ruangan lobi besar. Tepat di dekat tangga terdapat stand “Zona Cuaca, Iklim, dan Gempa Bumi”. Menapaki tangga yang melingkar menuju lantai dua, di setiap dinding berjejer poster mengenai benda-benda antariksa bersampingan dengan sosok-sosok manusia jenius seperti Einstein.

Jalanan kecil membuatku sedikit memperlambat laju langkah. Ada banyak zona yang tidak ingin kulewatkan. Ini adalah bonus ketika aku akan mengunjungi perpustakaannya. Kulewati sebuah tulisan Jembatan Sains, melihat keterangan Angkasa di monitor, melihat stand Biologi, Fisika, sampai akhirnya mendapatkan lorong yang berisi mozaik para tokoh-tokoh besar Indonesia. Balutan warna cat merah dan lorong sedikit sempit ini membuat suasana agak gelap, ditambah remangnya sinar lampu yang sudah diatur sedemikian rupa. Aku terus berjalan mencari lokasi perpustakaannya.
Gambar tiap dinding menuju Perpustakaan Taman Pintar
Gambar tiap dinding menuju Perpustakaan Taman Pintar
Sampai akhirnya aku berhadapan dengan pintu yang temboknya dibalur cat warna merah. Tulisan besar terpampang “Perpustakaan”, aku memasuki pintu tersebut bareng dengan rombongan keluarga kecil. Tak kutemukan petugasnya, aku sudah dikabari melaui pesan telepon kalau di sedang sholat dulu. Kutulis namaku dibuku tamu, kemudian disusul rombongan keluarga kecil yang menulis dibuku tamu tersebut. Di dalam buku itu bertuliskan nama, alamat, serta jumlah pengunjung yang masuk. Dari buku tamu inilah, pihak perpustakaan akan tahu berapa pengunjung yang datang setiap harinya. Walau kadang anak-anak kecil yang silih berganti keluar masuk perpustakaan tanpa menulis buku tamu. Mereka itu biasanya semacam tersesat, dikiranya perpustakaan ini adalah stand wahana seperti sebelumnya. Namun tidak sedikit pula yang memang sekeluarga tujuannya adalah berkunjung ke perpustakaan.
Pintu masuk Perpustakaan Taman Pintar
Pintu masuk Perpustakaan Taman Pintar
Pintu masuk Perpustakaan Taman Pintar
Aku mengelilingi ruangan perpustakaan seraya menunggu petugas yang jaga. Ruangan yang cukup luas dengan berbagai bentuk meja. Warna-warni cat meja, tembok, serta rak membuat ruangan ini sangat betah bagi anak-anak kecil. Di dekat deretan meja dan kursi yang diapit rak-rak buku, terdapat sebuah panggung. Panggung Boneka Taman Pintar, panggung ini digunakan para anak-anak dalam kegiatan tertentu. Bisa jadi mereka menggunakan untuk menari atau sedang ada event tertentu di Taman Pintar, khususnya di ruangan perpustakaan. Kuarahkan kaki menuju sebuah monitor yang berguna sebagai Katalog Online. Dari komputer ini, kita dapat mengakses/mencari buku apa yang ingin kita baca. Otomasi Perpustakaan yang digunakan di sini adalah SLIMS, salah satu software Open Source yang dapat kita download dan install sendiri. Aku tidak asing dengan SLIMS, karena dulu pernah ikut pelatihan waktu masih kuliah.
Ruangan di Perpustakaan Taman Pintar Yogyakarta
Ruangan di Perpustakaan Taman Pintar Yogyakarta
Ruangan di Perpustakaan Taman Pintar Yogyakarta
Koleksi buku di sini tidak banyak, namun juga tidak hanya diperuntukkan anak-anak saja. Di sini semua koleksin ada, dalam klasifikasinya mulai dari 000 -900 (Baca; Dewey Decimal Classification/ e-DDC) lengkap. Aku kira awalnya perpustkaan ini hanya khusus untuk anak-anak saja, namun apa yang kupikirkan selama ini salah. Jejeran rak berwarna hijau dan keterangan klasifikasi jelas terpampang di atas. Aku mencoba melihat satu persatu koleksi di rak yang berwarna hijau. Walau tidak banyak, tapi cukup bagus juga perpustakaannya.
Salah satu rak berisi koleksi di Perpustakaan Taman Pintar Yogyakarta
Salah satu rak berisi koleksi di Perpustakaan Taman Pintar Yogyakarta
Ada yang menarik bagiku, terutama dua rak yang berbeda tempat. Rak pertama adalah di kelas 800an, yakni koleksi yang berkaitan dengan “Kesusastraan”. Rak yang berisi koleksi seperti novel fiski dan lainnya ini berbentuk seperti anak tangga. Sebuah inspirasi yang bagus bagi kita yang punya rumah lebih dari satu lantai, jadi di bawah tangga nanti bisa didesain sebagai rak buku seperti ini. Benar-benar unik kan? Tentu kekagumanku tak berhenti di sana saja. Aku malah dibikin sedikit geleng-geleng saat membaca bagian Referensi. Koleksi yang berisi Ensiklopedia ini lebih unik lagi. Rak kotak berisi susunan buku, namun di bagian tengah didesain seperti kursi untuk setengan berbaring dengan kaki selonjoran. Agar tidak keras bersandar pada kayu, dibagian lekukannya dilapisi matras tebal. Sehingga bagi pengunjung yang ingin membaca seraya selonjoran/bermalas-malas ria dapat di sini. Aku pun mencobanya, dan kuakui ini sangat kreatif.
Rak-rak unik di Perpustakaan Taman Pintar Yogyakarta
Rak-rak unik di Perpustakaan Taman Pintar Yogyakarta
Beranjak dari tempat tidur rak buku, aku kembali berkeliling ke bagian sudut lainnya. Di bagian dekat rak terdapat berjejeran monitor yang hidup dan dapat digunakan oleh pengunjung. Di sini aku melihat seorang bapak sedang menemani anaknya mengakses koleksi yang ada di dalam komputer. Tepat di temboknya dua boah poster besar bertuliskan “Ensiklotepi & E-Library” terpajang. Di sini ada banyak konten yang berkaitan dengan anak-anak. Pembelajaran mengenai planet dengan animasi lucu. Atapun keterangan mengenai sebuah planet, lengkap dengan keterangan secara detail. Ada banyak konten video yang berisi animasi berbahasa Inggris yang bisa kita putar. Aku yakin, anak kecil pasti tertarik dengan video-video tersebut, di sini kita bisa menjadikan tempat ini sebagai bermain sekaligus belajar.
Fasilitas yang ada di Perpustakaan Taman Pintar Yogyakarta
Fasilitas yang ada di Perpustakaan Taman Pintar Yogyakarta
Fasilitas yang ada di Perpustakaan Taman Pintar Yogyakarta
Fasilitas yang ada di Perpustakaan Taman Pintar Yogyakarta
Terakhirnya, aku menuju paling ujung ruangan perpustakaan ini. Kuambil sebuah novel yang ada di rak untuk kubaca di kursi yang tak kalah unik. Kursi yang gabung dengan meja sekaligus berbentuk agak melingkar dengan baluran cat berwarna cerah. Sebuah kaca etalase transparan tepat di sisinya. Di sini, aku mencoba melahap beberapa bab isi novel. Sejenak aku menikmati waktu selama berada di perpustakaan. Selama aku duduk, silih berganti rombongan anak-anak kecil keluar masuk. Mereka kadang langsung keluar, ada yang menyempatkan mengakses komputer lalu keluar, ada yang sempat singgah di rak buku, melihat sejenak, membuka, dan kemudian kembali keluar karena rombongan lainnya berteriak-teriak mencari kawannya.
Ayo ke Perpustakaan
Ayo ke Perpustakaan
Hampir dua jam aku di sini, aku memang tidak sempat menyelesaikan bacaan yang ada ditanganku. Namun, aku merasa senang karena suasana dan desain ruangan yang sangat tepat untuk anak-anak. Warna cerah, banyak tempat yang luas, rak buku tidak tinggi, atau bentuk rak yang menarik perhatian para anak kecil. Terima kasih untuk teman yang PPL di sini karena memberikan ide untuk berkunjung ke perpustakaan. Oya, selain ada tiga adek kelas yang PPL di sini (bulan Oktober 2015), salah satu staf perpustakaannya pun ternyata adek kelasku waktu kuliah. Sepertinya akan menjadi ide yang menarik jika aku bisa berkunjung ke perpustakaan-perpustakaan lainnya di Jogja/luar kota Jogja. *Kunjungan ke Perpustakaan Taman Pintar ini pada hari Sabtu, 24 Oktober 2015.
Baca juga cerita lainnya 

Pantai-pantai Wajib Dikunjungi di Jepara dengan Sepeda

$
0
0
Liburan selalu membuat kita mempunyai banyak agenda untuk bermain ataupun mengunjungi tempat-tempat wisata. Ada banyak pilihan yang bisa kita ambil, mengunjungi pantai, mendaki gunung, atau berkunjung ke kota-kota besar lainnya di Indonesia. Bagi kalian yang berkunjung ke Jepara dan suka bersepeda, serta pengagum pantai, ada beberapa pantai yang dapat kalian kunjungi dengan bersepeda selama seharian. Intinya, masih banyak pantai yang dapat dikunjungi selama di Jepara. Berikut pantai-pantai yang pernah aku kunjungi selama di Jepara.

Pantai Bandengan
Pantai Bandengan ini jaraknya kurang lebih 6km dari Pusat kota Jepara. Menyusuri jalanan yang sudah beraspal dan cukup mudah dijangkau, kalian bisa berkunjung  ke pantai tersebut dengan bersepeda. Pantai Bandengan ini akan terasa lebih indah kalau kita datang pagi hari. Masih sepi dan kita bisa main sepuasnya. Kalau hari sudah siang maupun sore, pantai Bandengan ini akan dikunjungi banyak wisatawan. Kebersihan pantai sangat terjaga, pasirnya pun putih dan halus. Dari sini kalian juga bisa menyeberang ke pulau Panjang kalau lagi luang. Ada tiga ulasanku mengenai pantai Bandengan ini (Edisi Sunset, edisi bersepeda, edisi liburan keluarga)
Pantai Bandengan, Jepara
Pantai Bandengan, Jepara

Pantai Pungkruk
Hanya berjarak 2km dari pantai Bandengan, kalian bisa mengayuh pedal menuju pantai Pungkruk. Pantai ini identik dengan berjejeran rumah makan. Kalian bisa menikmati pagi seraya sarapan di salah satu rumah makan yang tersedia. Pantai Pungkruk tidak terlalu ramai seperti pantai Bandengan, tapi cukup seru juga kalau kalian kunjungi dengan bersepeda. Pantai ini tidak ada hamparan pasir putih, melainkan karang-karang kecil. Namun suasana yang masih sepi membuat kalian akan betah berlama-lama. Sayangnya pantai ini beberapa bulan lalu sedang dalam proses perobohan tempat hiburan. Baca selengkapnya di sini
Pantai Pungkruk, Jepara
Pantai Pungkruk, Jepara

Pantai Blebak
Pantai Blebak ini ada di daerah Sekuro, Jepara. Pantai ini baru dikenal oleh wisatawan beberapa tahun terakhir. Pantai yang lumayan luas dan berpasir putih membuat wisatawan tertarik untuk mengunjunginya. Pantai yang bersih dan dibeberapa sudut tumbuh pohon Pandan akan membuat kalian terkesima dengan keindahannya. Pantai ini pengunjungnya lebih sedikit daripada pantai Bandengan. Jika kalian ingin mengajak keluarga dan bermain pasir, salah satu tempat yang cocok dalah pantai Blebak. Baca selengkapnya di sini
Pantai Blebak, Jepara
Pantai Blebak, Jepara

Pantai Pailus
Tidak jauh dari pantai Blebak, ada juga satu pantai yang bisa kalian kunjungi dengan bersepeda. Nama pantainya adalah Pailus. Pantai ini berlokasi di Karanggondang, Jepara. Berjarak kurang lebih 19km dari pusat kota. Pantai Pailus cukup asyik dikunjungi layaknya pantai Blebak. Selain masih lumayan sepi, di pantai ini airnya pun cukup jernih. Selain itu ada beberapa pohon besar yang tumbuh, sehingga membuat kalian dapat berteduh di bawahnya. Baca selengkapnya di sini
Pantai Pailus, Jepara
Pantai Pailus, Jepara

Pantai Empu Rancak
Masih di Karanggondang, Jepara. Satu pantai yang mencuat namanya adalah pantai Empu Rancak. Pantai ini juga dibilang dengan sebutan “Mpurancak”. Di pantai ini sudah banyak warung-warung makan yang tersedia. Kalian bisa menikmati hidangan khas Jepara seperti Pindang Serani ataupun lainnya. Pantai Empu Rancak cukup asyik untuk bermain bersama keluarga. Banyak juga pohon Pandan yang membuat pinggiran pantai menjadi lebih teduh. Kalian bisa menikmati keindahan pantai seraya menikmati menu yang ada disepanjang warung dekat pantai. Aku pernah menulis dua tulisan di pantai ini; Edisi bersepeda& Edisi sunset.
Pantai Empu Rancak/Mpurancak, Jepara
Pantai Empu Rancak/Mpurancak, Jepara

Pantai Ombak Mati
Pantai selanjutnya adalah Pantai Ombak Mati, Bondo. Pantai ini lumayan sepi juga, dan pasirnya pun cukup lumayan putih. Beberapa pohon Ketapang di tepian pantai membuat kalian betah berlama-lama di sini seraya menikmati semilirnya angin. Jika kalian hobi mancing, di salah satu sudut pantai ini biasanya digunakan warga setempat untuk memancing. Dari sini kita juga bisa melihat menjulangnya PLTU Tanjung Jati. Baca selengkapnya di sini.
Pantai Ombak Mati Bondo, Jepara
Pantai Ombak Mati Bondo, Jepara

Pantai Teluk Awur
Sebenarnya tidak jauh dari pantai Kartini ada sebuah pantai yang lumayan bagus juga. Namanya Pantai Teluk Awur. Di pantai ini sudah ada beberapa resort yang dapat kita datangi dan menginap. Pantai Teluk Awur pada umumnya ramai menjelang sore dan pada akhir pekan. Banyak warga setempat menikmati suasana sore di dekat pantai seraya menunggu sunset. Baca selengkapnya di sini.
Sepanjang Pantai Teluk Awur, Jepara
Sepanjang Pantai Teluk Awur, Jepara

Pantai Semat
Pantai yang terakhir adalah Pantai Semat, berjarak kurang lebih 2 km dari Pantai Teluk Awur. Pantai ini memang tidak begitu ramai dibanding pantai-pantai lainnya yang ada di Jepara. Namun pantai ini mempunyai sebuah jembatan kecil, tidak semua pantai di Jepara mempunyai sebuah jembatan. Dari sini pandangan kita dapat melihat tumbuhan Mangrove, juga menjadi salah satu pantai alternatif melihat sunset. Baca selengkapnya di sini.
Pelabuhan kecil Pantai Semat, Jepara
Pelabuhan kecil Pantai Semat, Jepara
*Tulisan 8 pantai di atas pertama kali dimuat oleh blog Traveliodengan judul 8 Pantai Wajib Dikunjungi di Jepara dengan Bersepeda (ditambah beberapa tambahan kalimat oleh penulis).

TAMBAHAN

Pantai Kartini
Siapa yang tidak kenal dengan pantai Kartini. Pantai yang identik dengan “Kura-kura Raksasa” ini sangat menarik bagi wisatawan lokal. Tidak hanya itu, keramaian pantai Kartini akan lebih terasa jika pada saat ada kapal penyeberangan ke Karimunjawa berlangsung. Pantai ini bagus untuk menunggu sunset bareng keluarga maupun orang tercinta. Aku pernah mendapatkan sunset yang cukup bagus di sini. Baca selengkapnya di sini.
Landmark di Pantai Kartini, Jepara
Landmark di Pantai Kartini, Jepara

Pantai Benteng Portugis
Pantai Benteng Portugis adalah pantai terkenal di Jepara yang lokasinya jauh dari kota Jepara. Pantai yang bercirikan dengan gerbang bertuliskan “Benteng Portugis” menjadi salah satu tempat wisata pantai yang paling dibandrungi para pengunjung. Dari sini kita dapat melihat pulau Madalika, atau bahkan jika ingin menuju pulau tersebut pun bisa dengan menyewa kapal setempat. Akhir pekan kemarin sih ke sini, namun naik kendaraan bermesin. Rencananya tahun depan (tahun 2016) aku ingin bersepeda ke pantai ini. Ada yang mau ikut?
Pantai Benteng Portugis, Jepara
Pantai Benteng Portugis, Jepara
Jadi tidak ada salahnya untuk menyusuri pantai-pantai yang ada di Jepara pada saat liburan. Sangat menyenangkan jika bisa mengunjungi setiap pantainya, mengabadikan diri di pantai, dan tentunya mendapatkan banyak cerita yang berbeda di setiap tempat.
Baca juga tulisan pantai yang lainnya 

Mengenang Masa Kecil di Museum Anak Kolong Tangga

$
0
0
Keriuhan suara anak-anak terdengar kencang dari lantai dua, aku bergegas menaiki anak tangga menuju sumber suara. Di sana, ada lebih dari sepuluh anak kecil sedang bernyanyi dipandu seorang perempuan dewasa. Aku termangu untuk sesaat, kemudian terlarut dengan dendangan lagu Jawa yang dinyanyikan serempak. Hanya sesaat kunikmati suara dendang lagu tersebut, kemudian mereka bergegas pergi. Bahkan, aku sendiri belum sempat mengabadikan mereka.
Museum Anak Kolong Tangga Yogyakarta
Museum Anak Kolong Tangga Yogyakarta
Museum Anak Kolong Tangga Yogyakarta
“Mbak bayarnya berapa?” Kutanya pada perempuan yang menjaga pintu masuk sendirian.

“Empat ribu, mas. Mas mau sekalian memotret di dalam?” Perempuan tersebut balik tanya melihatku memegang kamera pocket.

Aku menganggukkan kepala, “Kalau sekalian memotret, dikenai biaya lima ribu, mas. Jadi totalnya Sembilan ribu.” Ujar beliau seraya menunjukkan sebuah peraturan pada kertas yang terlaminating di meja.

Kuberikan uang Sepuluh ribu. “Pas kan aja jadi sepuluh ribu, mbak,” Jawabku seraya tersenyum.

Perempuan yang menjaga pintu depan pun tersenyum, dikasihnya aku karcis masuk sekalian satu bungkus kecil souvenir yang berisi dua buah kelereng dan stiker. Sebuah karcis yang bertuliskan “Tiket Masuk Museum Pendidikan & Mainan Kolong Tangga” termasuk nominal 4000 (15 tahun keatas). Ya, kali ini aku menyempatkan diri untuk memasuki Museum Anal Kolong Tangga yang berada di Gedung Taman Budaya Yogyakarta lantai II. Lokasi ini masih di Jalan Sriwedari No. 1 Yogyakarta.

Memasuki dalam museum, terlihat di setia sudut terdapat banyak pajangan. Aku meruntuti satu demi satu setiap pajangan yang berada di dinding. Pandangan pertama tertuju pada miniatur kendaraan. Dimulai dari Sepeda jaman dulu, Dokar, Delman, Motor Vespa. Kemudian pada bingkai selanjutnya miniatur kapal laut. Phinisi, Kano, Rakit, bahkan mainan Kapal Klotok pun terpajang di sini. Bayangku tentu terpikir masa kecil yang sering bermain Kapal Klotok, takjub dengan suara dan laju kapal saat diberi Kapas + Minyak Kelapa, kemudian dibakar. Benar-benar seperti menyusuri lorong waktu menembus masa kecil yang menyenangkan. Aku tertawa sendiri jika mengingat masa itu.
Miniatur yang terpajang rapi
Miniatur yang terpajang rapi
Miniatur yang terpajang rapi
Di tengah-tengah ruangan terdapat tiga mainan yang terlihat usang. Sepeda Kayu (yang ditemukan di desa kecil dekat Magelang tahun 1992; sesuai keterangan), Gokar yang ditemukan terbengkalai di dekat Alun-alun (ditemukan tahun 1998). Keusangan mereka tampak bahwa umurnya sudah sangat lama. Tampak juga miniatur dua kendaraan yang beda jaman. Kendaraan semacam Dokar (ditarik dengan Sapi) dan juga Kereta Api. Dua kendaraan yang jaya pada masanya.
Berbagai miniatur alat transportasi
Berbagai miniatur alat transportasi
Berbagai miniatur alat transportasi
Berbagai miniatur alat transportasi
Sementara dibingkai yang lain terdapat mainan terbuat dari tanah maupun keramik. Dimulai dari peralatan dapur, sampai patung-patung kecil menghiasi setiap sudut. Warna-warni yang mencolok membuat kita akan terasa gatal untuk memegangnya. Namun, kuatkan hati selama di sini. Karena semua benda di sini terdapat tulisannya “Jangan Disentuh”. Abaikan sejenak hasrat untuk memegang, biarkan memoriku saja yang melanglang kembali ke masa silam. Masa dimana aku tidak asing dengan berbagai benda yang ada diruangan ini.
Berbagai kerajinan dari keramik
Berbagai kerajinan dari keramik
Museum Kolong Anak Tangga ini tidaklah luas, namun sedikit memanjang. Menyesuaikan dengan kondisi ruangan, sehingga benda-benda di dalamnya pun ditata sedemikan rupa, sehingga terlihat lebih bagus dan tidak mengganggu para pengunjung. Terbagi menjadi tiga sekat ruang yang besar, dan setiap sekat terdapat banyak mainan serta miniaturnya yang membuat kita dapat mengenang masa lalu.
Area ruangan di Museum Anak Kolong Tangga
Area ruangan di Museum Anak Kolong Tangga
Aku menatap lama miniatur yang terpajang disalah satu bingkai. Di sini banyak miniatur orang, hewan, maupun senjata yang berdiri. Aku pastikan setiap anak kecil pernah memiliki mainan seperti ini. Aku teringat ketika masih kecil, tidak pernah sekalipun orangtuaku membelikan miniatur orang seperti gambar ini. Namun, jangan salah. Aku mempunyai maina seperti ini lebih dari satu karung. Aku dapatkan mainan seperti ini dari laut. Jika musim-musim tertentu, banyak barang yang hanyut akibat kapal tenggelam ataupun sampah yang sudah dibuang terdampar di pantai. Sebagai anak pantai, aku dan yang lainnya selalu mengais barang-barang tersebut untuk dijual. Jika mendapatkan mainan seperti ini akan aku simpan, dan aku jadikan teman dikala sedang tidak sekolah.
Pasti dulu punya mainan seperti ini
Pasti dulu punya mainan seperti ini
Pasti dulu punya mainan seperti ini
Memasuki ruang terakhir, di sana ada terpajang semacam Wayang. Seru juka kalau misalnya diperbolehkan untuk memainkan, namun lagi-lagi aturan itu tidak berlaku. Jika setiap pengunjung diperbolehkan memegang/memainkan, bisa jadi dalam waktu sebentar barang tersebut rusak. Aku hanya membaca keterangan yang ada ditulisan bawahnya saja. Jangan kira museum ini hanya dipenuhi koleksi mainan tradisional, ada juga rak yang di dalamnya banyak boneka robot. Hayo pengen yang mana? Kalau aku sih pengen semua *rakus. Dari sekian banyaknya mainan robot, waktu kecil aku hanya punya satu. Yakni salah satu dari Power Ranger yang merah. Itu pun hasil dari mengais di pantai, dan tangannya tinggal satu yang kanan saja.
Main Wayang atau Robot?
Main Wayang atau Robot?
Main Wayang atau Robot?
Katanya, tidak afdol rasanya jika mengunjungi suatu tempat tanpa mengabadikan diri. Minimal sebagai bukti bahwa kita pernah berkunjung di sana. Aku pun memanfaatkan Tripod Mini yang selalu kubawa kemanapun aku pergi. Jemari ini sudah hapal bagaimana menaruh kamera pada sudut tertentu, agar bidikannya tepat dan seakan-akan ada yang memotret. Hasilnya pun seperti di bawah ini. Lumayan kan? Namanya juga foto sendiri.

Bergegas aku keluar melalu pintu yang berbeda. Aku tidak serta merta meninggalkan museum ini, kembali aku menuju bagian pintu masuk menemui perempuan yang menjaga. Aku sedikit mengais informasi mengenai pengunjung yang datang ke sini. Jawaban dari perempuan tersebut membuatku miris. Dalam hari biasa “Selasa – Kamis (Senin tutup),” pengunjung rata-rata antara 3-10/orang perhari. Sementara Jum’at – Minggu biasanya lebih banyak. Pengunjung akan lebih banyak lagi jika ada rombongan anak kecil yang sengaja diajak berkunjung ke sini. Di sini juga terdapat secretariat yang berguna bagi para pengunjung untuk bertanya-tanya.
Duduk tenang mengamati dan diabadikan
Duduk tenang mengamati dan diabadikan
Duduk tenang mengamati dan diabadikan
Jika ada waktu luang, ada baiknya mengajak anak kecil (adik atapun keponakan) untuk mengunjungi museum ini. Di sini, kita dapat mengajarkan pada anak kecil bagaimana rasanya pernah hidup dengan mainan-mainan tradisional. Menikmati waktu tanpa harus bergantung pada barang elektronik. Berkreasi tanpa mengeluarkan banyak uang, dan tentunnya membuat kita akan terlarut pada memori masa kecil. Masa di mana kita pernah hidup dan bermain dengan benda-benda yang ada dihadapan kita. *Kunjungan ke Museum Anak Kolong Tangga ini pada hari Sabtu, 17 Oktober 2015.
Baca juga kunjungan lainnya 

Tour de Mantan bareng Sariman

$
0
0
Ada saja kegilaan Sariman saat sedang di kos. Kali ini kami sedang membahas tentang piknik. Tahu sendiri, kos kami paling fakir kalau masalah piknik bareng. Kesibukan anak kos yang tak ada luangnya. Bagaimana mau luang kalau tiap pagi, siang, sore, malam kerjaannya adalah main game di kamar. Bahkan kalau ditanya, ke kampus kapan pun mereka pada lupa.
Kandidat sticker untuk Tour de Mantan bareng Sariman
Kandidat sticker untuk Tour de Mantan bareng Sariman

“Iya. Kapan ya aku terakhir ke kampus.” Itulah kalimat yang sering kudengar.

Niat kami sebenarnya ingin jalan-jalan yang dekat. Mumpung musim hujan, jadi mencari curug/air terjun di daerah Kulon Progo bisa menjadi salah satu alternatif liburan yang menyenangkan.

“Ngomong-ngomong Kulon Progo, kok aku jadi ingat mantanku di sana,” Ujar Sariman sedikit curhat.

“Kau pernah punya pacar orang sana juga, Man? Hebat ya,” Sahut Mius seraya mengacungkan kedua jempolnya.

“Emange koe, bang. Rak tau duwe pacar.”

“Aku sih manut,” Jawab Mius yang tidak paham bahasa Jawa.

Aku, Tobing, Ritonga, dan Tambor pun tertawa kencang mendengar obrolan mereka berdua. Seperti inilah obrolan yang tak pernah nyambung. Mereka sok saling paham, padahal Mius sama sekali tidak tahu kalau dirinya sedang diejek Sariman.

“Aku ada ide!!”Teriak Sariman keras.

“Woeee bocah, kami ini nggak tuli!!” Balas Mius nggak mau kalah keras.

“Apaan?”

“Mending kita mainnya sekalian mampir ke rumah mantan,” Ujar Sariman tertawa.

“Kita data saja, kan anak kos sini sudah pernah pacaran kecuali Mius. Tuh bang Tobing mantannya orang Bantul, Bang Tambor mantannya orang Sleman, Bang Ritonga mantannya orang Gunungkidul, bang Rulla mantannya orang Jogja. Tambah mantanku orang Kulon Progo,” Terang Sariman.

“Jadi Maksudmu?” Aku masih belum paham.

“Wehh bang Rulla iki nggak nyambung, toh. Kita bikin saja pikniknya Tour de Mantan. Jadi kita main-main ke rumah mantan. Keren toh!?”

Apes bener kali ini, baru sekali ini aku dibilangin nggak nyambung sama Sariman. Tapi idemu keren kok, Man. Jarang-jarang loh ada yang kepikiran kayak kamu. Apa mungkin berani Tour de Mantanini berlanjut? Lah sms mantan saja sampai sekarang nggak berani kok apalagi disuruh main ke rumah mantan. Njuk piye iki!?
Baca juga cerita lainnya 

Menyantap Ingkung Ayam di Gubuk Sawah

$
0
0
Sebulan yang lalu, aku dan teman-teman main merencanakan untuk kuliner Ingkung Ayam di salah satu tempat. Ingkung Ayam adalah sajian ayam penuh yang tinggal dihidangkan. Akhirnya akhir pekan kemarin, rencana yang sudah kami rencanakan terlaksana. Minggu pagi, aku dan rombongan menuju Dusun Plumbungan, Desa Putat, Patuk, Gunung Kidul. Dusun ini terletak tidak jauh dari Embung Nglanggeran, atau malah lebih dekat lagi dari tempat wisata yang sempat ngehitstahun lalu, Kedung Kandang. Mengendarai motor, rombonganku menyusuri jalanan Patuk, dan sedikit tersendat di area Bunga Amarilis yang sedang booming dan rusak.

Perjalanan sampai pada pertigaan yang belok kiri menuju Gedangsari, Nglipar, dll. Aku dan rombongan membelokkan motor ke kiri, dan sekitar 20 meter kembali belok kiri. Di sisi kiri terdapat SMA 1 Patuk, aku dan rombongan menyusuri jalanan lebih kecil. Sampai akhirnya perjalana berhenti di sebuah hamparan sawah yang bertuliskan “Kampung Emas Plumbungan”. Hamparan sawah di sisi kiri pun dihiasi dengan gubuk-gubuk di tengah sawah. Sementara itu di tepian berjejeran orang-orangan sawah yang berjejer rapi. Tepat di tengah sawah terdapat sebuah kincir buatan petani yang berputar dan berbunyi ketika terkena hempasan angin.
Orang-orangan sawah dan hamparan sawah usai panen
Orang-orangan sawah dan hamparan sawah usai panen
Orang-orangan sawah dan hamparan sawah usai panen
Sepeda motor kuparkir di tepi jalan, sebelah kiri sebuah lapangan bola voli dikelilingi jaring-jaring. Sementara di jalanan masuk sudah berkumpul bapak-bapak sedang kerja bakti.

“Selamat pagi, pak. Mau tanya, kalau pesan Ingkung Ayam di sini dengan siapa ya?” Tanyaku seraya menyalami bapak-bapak di sana.

“Di sini, mas. Sama pak Karanto,” Jawab salah satu bapak seraya menunjuk bapak lainnya diujung.

Aku pun terlarut obrolan ringan dengan pak Karanto membahas rencanaku esok siang ingin makan siang di tempat ini. Tepatnya di tengah-tengah sawah. Untuk meyakinkan beliau, aku menitipkan uang muka sebesar 50% dari harga yang sudah dipaparkan. Urusan selesai, aku berpamitan dengan bapak-bapak di sana.
*****

Sudah kusepakati kemarin kalau nantinya rombongan kami akan menikmati Ingkung Ayam di sebuah gubuk yang berdiri di tengah sawah. Ada banyak gubuk-gubuk kecil, aku sudah memilih gubuk yang di dekat jalan karena lebih besar. Aku dan rombongan berjalan menuju pematang sawah, dan menunggu hidangan Ingkung Ayam yang sudah diolah, tinggal dibawa ke gubuk untuk kami santap. Disela-sela menunggu hidangan makan siang, aku pun mengabadikan momen kumpul bersama. Rombongan ini berjumlah Sembilan orang.
Makan di tepian sawah
Makan di tepian sawah
Makan di tepian sawah
Gelak tawa silih berganti terdengar dari gubuk kami, candaan teman-teman main membuat suasana menjadi lebih santai. Embusan angin digubuk sawah membuat suasana semakin cair. Ini adalah sensasi tersendiri bagiku saat menyantap makan siang di tepian sawah. Sayangnya hujan belum terlalu sering mengguyur area sini, dan sawah-sawah pun selesai dipanen, sehingga tidak terdengar bisikan helai daun/batang padi yang terkena hembasan angin.
Ingkung Ayam, Tempe Goreng, hemmm :-D
Ingkung Ayam, Tempe Goreng, hemmm :-D
Ingkung Ayam, Tempe Goreng, hemmm :-D
Satu persatu hidangan sudah disajikan, Satu Ingkung Ayam, Tempe Goreng, sedikit Gudangan (semacam urapan), Dua Kendi Kecil Wedang Serei, Satu Kendi Besar Air Putih, Satu Teko Es Teh. Tidak ketinggalan juga Sambel dan Rempeyek. Tidak perlu menunggu lama, aku dan teman-teman pun melahap sajian kali ini serasa tetap bersenda gurau.

Untuk makan, sajian di sini tidak menggunakan piring. Namun membuat anyaman dari dauh pohon Kelapa yang dianyam seperti sebuah piring. Di bagian atasnya pun dilapisi daun Pisang, sehingga suasana desanya pun sangat kental. Ingkung Ayam ini kami makan sebanyak Sembilan orang, namun kami tidak habis. Nikmat rasanya bisa menikmati sajian dengan suasana perkampungan. Oya hampir lupa, nasinya bukan nasi liwet, namun nasi yang gurih. Hemmm, jadi pengen menyantap kan?
Mari kita makan Ingkung Ayam
Mari kita makan Ingkung Ayam
Mari kita makan Ingkung Ayam
Dari informasi yang aku gali selama di sini, konsep desa wisata kuliner ini sedang dalam tahap pembangunan. Saat aku ke sini, sebuah gazebo (rumah panggung) besar sedang dalam proses pembangunan. Dari salah satu pelaku wisata desa, pembangunan desa wisata ini memang akan dimulai awal tahun 2016. Nantinya tidak hanya untuk kuliner saja, namum konsepnya akan seperti tempat outbond. 
Gazebo panggung yang belum jadi
Gazebo panggung yang belum jadi
Jika nantinya dibuat outbond memang bagus, karena lokasinya di sawah dan ada aliran sungai kecil. Untuk menikmati satu paket Ingkung Ayam (beserta Wedang Serei & Air Putih Kendi) dan tambahan Es Teh, aku hanya merogok kocek sebesar Rp 220.000,- saja, dengan rincian Paket Ingkung Ayam (porsi besar) Rp. 200.000,-. Terima kasih untuk teman-teman yang  menyempatkan waktu untuk ikut kumpul, bulan depan kita cari lokasi lain lagi ya. *Kuliner ini di Dusun Plumbungan, Desa Putat, Patuk, Gunung Kidul pada hari Minggu, 29 November 2015.
Baca juga kuliner lainnya 

Mengenal Konsep Rumah Barrataga di Museum Gempa Yogyakarta

$
0
0
Tepat pukul 06.00 wib, aku mengayuh sepeda menuju Jalan Magelang. Meski awal pekan, namun sepanjang jalan belum ramai pengendara berlalu-lalang.  Lebih dari 30 menit, akhirnya aku berhenti tepat di depan sebuah kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sleman. Di sini aku disambut seorang  bapak yang sedang menyapu halaman. Tidak lama kemudian kembali seorang bapak menghampiriku seraya menyapa.

“Mas Rullah, ya? Saya pak Waskita”

“Benar, pak.”Kami berjabat tangan serambi tersenyum.

“Saya jemput yang lain dulu, mas. Silakan tunggu di sini,” Ujar beliau berlalu.

Satu jam aku bersantai di kantor Disbudpar Sleman seraya menunggu yang lain. Satu demi satu peserta Famtrip berdatangan, tidak ketinggalan juga sapaan saling mengenalkan diri dan berjabat tangan. Tanpa menunggu lama, rombongan pun mulai berjalan menuju bus yang terparkir di depan Lapangan Tenis.

“Tujuan pertama kita adalah Museum Gempa Prof. DR. Sarwidi di area Kaliurang,” Terang pak Waskita setelah memperkenalkan diri.

Bus melaju ke arah utara menuju Kaliurang. Selama di dalam bus, sebagian para peserta Famtrip memperkenalkan diri, termasuk aku. Candaan pagi terlontar dari setiap peserta yang hadir, seperti tanpa ada sekat dan membaur semua. Aku merasa satu dengan lainnya sangat cepat akrab. Tanpa terasa, bus berhenti di destinasi pertama. Sebuah jalan kecil membuat bus sedikit berhati-hati untuk parkir, aku dan rombongan pun turun menuju halaman yang lumayan luas. Ini adalah lokasi yang dituju pertama, Museum Gempa Prof. DR. Sarwidi.
Menuju Museum Gempa Prof. Dr Sarwidi Yogyakarta
Menuju Museum Gempa Prof. Dr Sarwidi Yogyakarta
Menuju Museum Gempa Prof. Dr Sarwidi Yogyakarta
Rombongan pun berjalan menuju museum, namun tidak langsung masuk ke dalam. Banyak di antara teman-teman rombongan yang mulai mempersiapkan kamera dan membidik target yang diinginkan. Aku sendiri sudah mempersiapkan kamera pocket yang ada disaku. Beberapa kali membidik, lalu berjalan mendekat ke teras museum. Satu persatau rombongan melepas sandal sebelum masuk, dan tidak lupa juga menulis buku tamu yang telah disediakan oleh petugas. Sebuah buku tamu yang nantinya bisa mengetahui berapa statistik pengunjung yang datang setiap hari.
Menulis data di buku tamu
Menulis data di buku tamu
Menulis data di buku tamu 
Masuk ke dalam museum, cahaya sedikit agak gelap. Ruangan yang tidak terlalu besar pun dipenuhi rombongan kami. Salah satu petugas museum menjelaskan mengenai kontruksi bangunan yang kuat dan tahan dengan gempa. Sesekali beliau mendongakkan kepala seraya menjawab setiap pertanyaan yang dilontarkan oleh rombongan kami. Serambi mendengarkan keterangan petugas, aku menyempatkan untuk mengabadikan beberapa miniature banguan yang terpajang di setiap sisi museum.
Miniatur bangunan yang ada di dalam museum
Miniatur bangunan yang ada di dalam museum
Miniatur bangunan yang ada di dalam museum
Ada ilmu baru yang aku dapatkan di sini, di Museum Gempa ini telah mengembangkan bangunan yang tahan gempa dengan menggandeng pihak terkait dari Jepang. Bangunan rumah ini berkonsep Barrataga; Bangungan Rumah Rakyat Tahan Gempa. Rumah-rumah ini sudah dibangun disekitaran Bantul pada saat sebelum tragedi gempa 2006 di Yogyakarta. Dari sini aku juga mengtahui konsep Rumah Dome (Rumah Teletubies) yang ada di Berbah pun dibangun oleh pihak yang sama.

Tepat di depan pintu masuk museum, sebuah banguan miniatur rumah yang berkonsep Barrataga dipajang. Setiap sisi timur & barat terdapat sebuah pegangan berwarna biru, sementara bangunannya pun berpondasi semacam bekas botol plastik. Miniatur ini dapat kita mainkan dengan menggerak-gerakkan pegangan, sehingga miniatur rumah tersebut bergoyang layaknya terkena gempa.
Konsep rumah Barrataga yang dikembangkan di Indonesia
Konsep rumah Barrataga yang dikembangkan di Indonesia
Konsep rumah Barrataga yang dikembangkan di Indonesia
Usai sudah petugas mempresentasikan konsep rumah Barrataga, kami pun duduk manis melihat video dokumenter mengenai gempa. Video ini mengilustrasikan mengenai Bumi, sampai dengan Gempa. Ada beberapa kategori yang menyebabkan gempa, bahkan getaran Skala Richter. Dimulai dengan skal rendah antara 1-2 SR yang kadang tidak dirasakan, 3-4 yang mulai terasa dan menyebabkan sedikit kerusakan, 5-6 kerusakan sedang dan dirasakan hampir semua orang, sampai dengan skala yang lebih tinggi. Skala tersebut yang pada akhirnya meluluhlantahkan setiap bangunan yang menjulang tinggi.
Melihat video dokumenter mengenai gempa
Melihat video dokumenter mengenai gempa
“Sebenarnya bukan hanya masalah seberapa besar skala gempa itu yang menyebabkan korban/bangunan rusak, namun seberapa kokoh bangunan yang dibuat untuk tahan gempa,”Itulah sedikit pesan yang aku dapatkan setelah menonton video dokumenter. Ya, kasus gempa 2006 di Yogyakarta memang membuka mata setiap orang, rumah-rumah yang hancur pada dasarnya tidak memperhatikan seberapa kokoh bangunan tersebut.

Kunjungan ke destinasi yang pertama kali ini pun berakhir, seluruh rombongan mengabadikan diri di depan museum. Seperti yang biasa kulakukan, dibekali Tripod Mini, aku mulai mengatur setelan kamera dengan bidikan dalam durasi 10 detik. Hasilnya pun tidak mengecewakan, walau tidak bagus karena agak miring, namun sudah mewakili sebagai dokumentasi.
Foto bareng di depan Museum Gempa Yogyakarta
Foto bareng di depan Museum Gempa Yogyakarta
Belum banyak orang yang mengenal Museum Gempa ini, lebih banyak para pengunjung yang ke Jogja mengenal Museum Gunung Merapi untuk dikunjungi. Museum Gempa ini bisa jadi salah satu alternatif pilihan wisata bagi para guru& siswa yang menuju Jogja. Selain mengunjungi wisata Kaliurang, bisa sekalian menyempatkan untuk mengunjungi Museum Gempa karena lokasinya dekat. Perjalanan pun dilanjutkan ke destinasi wisata lainnya yang tidak jauh dari lokasi pertama. *Famtrip ini difasilitasi oleh Disbudpar Kab. Sleman tanggal 30 November 2015 dengan menggandeng Travel Blogger & Admin Sosial Media.
Museum Gempa Prof Dr Sarwidi (MGS 02)
Alamat: Jl. Malangyudo No. 25 Kota Wisata Kaliurang
Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia

Baca juga perjalanan lainnya 

Selamat Pagi Kota Kretek

$
0
0
Jum’at malam, sebuah tas ransel kecil sudah kupersiapkan sedari sore. Rencananya dinihari nanti aku pergi ke Kudus. Di sana ada acara keluarga, jika waktunya memungkinkan, aku dapat menyempatkan diri singgah di Menara Kudus ataupun Museum Kretek. Pukul 01.00 wib aku menuju Janti, berlanjut naik bis arah Surabaya, dan turun di Kartosuro. Lebih dari setengah jam menunggu bis arah Semarang, akhirnya aku sudah bersandar di salah satu kursi bis Taruna menuju Semarang. Waktunya sepanjang perjalanan bertemankan dingin dan mimpi yang tak teringat lagi.

Tepat pukul 05.00 wib, aku sudah menginjakkan kaki di pertigaan arah masuk Terminal Terboyo, Semarang. Perjalanan masih berlanjut menuju Kudus. Aku memilih deretan bus yang berderetan di tepi jalan, satu demi satu kucari tulisan Kudus. Tepian jalan yang tergenang air pun kuterabas demi masuk ke dalam bus.

“Kudus!! Kudus!! Pati!! Pati!!” Teriak seorang kondektur kencang.

Sekali loncat, aku sudah menaiki bus walau kaki basah terkena genangan air. Kembali kurebahkan badan dikursi seraya melanjutkan tidur yang tertunda. Dari jendela bus terlihat kilauan sinar mentari yang terbit namun tertutup oleh awan menggumpal.

“Turun mana, mas?” Tanya kondektur ke arahku.

“Terminal Kudus, pak.” Jawabku seraya menyodorkan uang lima puluh ribuan.

Sepanjang perjalanan tidak ada yang istimewa menuruku. Penumpang silih berganti naik turun, aku masih menatap hambaran sawah yang terbentang antara jalan Demak – Kudus. Sampai akhirnya aku turun di Terminal Kudus. Dengan sigap aku turun, dan mencari Angkot jurusan Kaliwungu, lebih tepatnya arah ke Terminal Jetak.
Angkot menuju Terminal Jetak
Angkot menuju Terminal Jetak

“Jetak, pak?”

Beliau menganggukkan kepala. Aku bergegas naik angkot bertuliskan “Kudus Semarak – Terminal Bus – Sub Termpinal Jetak PP”. Kumasuki angkot dan bergabung dengan penumpang lain. Seorang bapak dan anak yang ingin menuju Menara Kudus, dua orang ibu menuju pasar, serta seorang siswi SMA. Sementara aku masih duduk termangu di dekat jendela dengan adek sepupuku Antok.
Suasana di dalam angkot
Suasana di dalam angkot

Sepanjang perjalanan pagi, aku sedikit mengabaikan gambar sebelum keiling Kudus. Sebuah taman yang ditengahnya semacam patung Adipura kulewati disisi kananku. Berlanjut jalanan semakin ramai dan banyak orang berlalu-lalang pagi hari. Suatu saat, waktu tepat menurutku adalah mengabadikan sekelompok siswi yang bersepeda. Mereka menunggu jalan agak luang agar dapat menyeberang jalan. Salut dengan siswa/siswi di Kudus. Masih banyak di antara mereka yang menggunakan sepeda sebagai alat trasportasi ke sekolah. Benar-benar pemandangan yang menyenangkankan menurutku.
Aktifitas pagi di salah satu sudut kota Kudus
Aktifitas pagi di salah satu sudut kota Kudus
Aktifitas pagi di salah satu sudut kota Kudus

Perjalanan semakin panjang, kulewati jantung kota, melewati kawasan Matahari Kudus, lanjut terus sampai bertemu dengan pasar. Angkot pun berjalan lebih lambat, sang sopir sengaja memperlambat laju angkot agar tahu jika ada penumpang yang ingin naik. Aku mengabadikan sekali lagi satu momen kesibukan di pasar pagi ini.
Kesibukan di pasar
Kesibukan di pasar

Pagi yang cukup membuatku antusias menghabiskan waktu, berharap urusan keluarga berjalan lancar, kemudian ada banyak waktu untuk menyusuri sedikit lokasi wisata di Kudus. Kesibukan warga di Kudus pun membuatku tanpa sengaja menyapa Kota Kretek ini “Selamat Pagi Kudus”.

Berikut pengeluaran yang aku keluarkan selama perjalanan sampai lokasi di Kudus; Jogja – Kartosuro 10k, Kartosuro – Semarang (Bus Taruna) 25k, Semarang – Kudus 10k, Terminal Kudus – Lokasi tujuan (naik angkot) 6k. Total pengeluaran 51k. waktunya untuk menikmati akhir pekan di Kota Kudus. *Catatan perjalanan ini pada hari sabtu, 21 November 2015.
Baca juga cerita perjalanan lainnya 

Menyusuri Aliran Air Goa Watu Joglo Gunungkidul

$
0
0
Musim hujan di Jogja sudah mulai datang, sesekali hujan mengguyur sebagian wilayah Jogja. Pada musim seperti ini, banyak orang-orang berencana untuk mencari curug-curug di sekitar Jogja. Aku pun tidak luput dari rencana seperti itu. Minggu kemarin, aku sempat berkumpul dengan teman kulineran Ingkung Ayam, dan tidak jauh di sana ada destinasi wisata alam yang tidak boleh dilewatkan. Goa Watu Joglo namanya, sebuah goa yang dialiri sungai kecil tersebut membuatku ingin mengunjunginya.

Bertempatkan di Desa Putat, Patuk, Gunungkidul, Goa Watu Joglo ini dapat diakses dari tiga tempat. Dari dusun Kepil, Plumbong, ataupun dari dusun Bubong. Selesai makan Ingkung Ayam, perjalananku berlanjut bermain air di Goa Watu Joglo. Dari dusun Plumpong kendaraan kami arahkan ke arah dusun Kepil, di sana ada pintu masuk dengan jalan cor. Hari minggu ini tidak ada yang menjaga, kami langsung mengarahkan kendaraan menuju area parkir. Di sana ada warga yang bertugas mengurusi parkir dan mengantarkan kami menu jalan ke Goa Watu Joglo. Untuk masuk di area sini, setiap orang dikenai biaya 5ribu, sudah termasuk parkir.

Sesuai dengan arahan warga setempat yang mengantarkan rombongan kami sampai ke jalan setapak arah ke Gua Watu Joglo, beliau pun meminta ijin kembali ke rumah.
Jalanan menuju Goa Watu Joglo melalui Dusun Kepil, Putat.
Jalanan menuju Goa Watu Joglo melalui Dusun Kepil, Putat.
Jalanan menuju Goa Watu Joglo melalui Dusun Kepil, Putat.
“Saya antar sampai sini ya, mas. Itu jalannya,” Kata beliau seraya menunjuk anak tangga yang menurun.

Kami pun mengucapkan terima kasih, lalu melihat arah bawah. Sebuah tangga yang tepinya dibatasi pagar terlihat menurun, tidak ketinggalan sebuah gubuk kecil tempat beristirahat ada di sisi kiriku. Perjalanan pun dilanjutkan, aku dan teman-teman menuruni anak tangga yang sedikit curam namun aman karena ada pegangan pagar. Di salah satu satu sudut pagar, terdapat sebuah plang petunjuk arah jalan menuju Goa Watu Joglo.
Plang petunjuk jalan
Plang petunjuk jalan
Saat jalan menapaki anak tangga selesai, perjalanan kali ini berubah sebuah jalan tanah setapak. Seraya berhati-hati aku menuruni jalan tesebut. Untungnya tidak musim hujan, jika sedang musim hujan, jalanan seperti ini identik dengan licin. Rombonganku langsung ke bawah menuju Goa, sementara aku malah tertarik dengan bongkahan batu-batu besar yang ada di area sini. Aku pun mencoba menaiki salah satu batu besar dan mengabadikan diri saat duduk bongkahan batu besar. Aku memandang lepas bongkahan batu lainnya, sedikit hutan yang hijau, dan aliran sungai kecil dipenuhi bebatuan.
Memandang bebatuan dan rimbunnya pohon
Memandang bebatuan dan rimbunnya pohon
Memandang bebatuan dan rimbunnya pohon
Puas memandangi alam hijau, kaki-kaki ini menapaki jalan bebatuan turun ke gua. Di sana sudah ada teman-temanku dan orang lain. Masih sangat sepi siang ini, hanya ada kami berenam, ditambah satu keluarga tiga orang, dan sepasang muda-mudi yang asyik memotret. Bongkahan batu besar menjulang tinggi, inilah Goa Watu Joglo yang aku tuju. Sejenak aku bersantai seraya menikmati suara aliran sungai yang menyusuri sampai ke dalam goa, berunding sejenak dengan teman, akhirnya aku putuskan untuk berbasah-basahan seraya memasuki goa. Sementara teman yang lain tidak ikut basah-basahan, mereka hanya mengabadikan diri sejenak dan bersantai di depan pintu goa.

Berhubung debit air belum melimpah, aliran air pun tidak terlalu deras. Aku bermain air di depan pintu goa, tanah di dalam air pun semacam lumpur yang lembut. Suara gemericik air terdengar jelas saat di dalam goa, goa ini tidak gelap banget, karena di atasnya bongkahan batu ada yang terbuka dan membuat cahanya menerobos ke dalamnya. Aku mengabadikan diri saat di dalam goa dengan latar belakang pintu goa. Semacam foto sileut di dalam goa, asyik kan?
Menyapa goa dengan gaya berfoto aneh lagi
Menyapa goa dengan gaya berfoto aneh lagi
Menyapa goa dengan gaya berfoto aneh lagi
Masih di dalam goa, aku yang memang memutuskan untuk main air pun mulai beraksi. Ada semacam kolam kecil yang ada di dalam goad an berisi air penuh. Aku memasukkan diri dalam air, kedalamannya sepinggang. Aku pun asyik bermain air dengan merendamkan kepala ke dalam air. Seperti sedang di dalam goa sendirian, orang-orang yang berkunjung lainnya asyik dibebatuan, sedangkan aku tanpa terganggu sedikit pun bermain air di dalam Goa Watu Joglo. Asyik banget, walau debit air belum melimpah, namun sudah membuat diri ini terlarut dalam kegembiraan bermain air. Cuaca yang panas di atas pun hilang dalam waktu sesaat, resapan-resapan air membuat badan ini menjadi lebih sejuk.
Mari bermain air dulu
Mari bermain air dulu
Mari bermain air dulu
“Mas, masuk ke dalam saja. Itu tembus ke ujung sana kok,” Terang seornag bapak warga setempat yang pulang dari mengambil rumput.

“Beneran, pak?”Tanyaku antusias.

Beliau menganggukkan kepala seraya menerangkan arah jalan. Dari beliau, aku tahu kalau goa in tidak panjang. Hanya beberapa meter saja, dan mengikuti aliran air. Aku pun meminta ijin teman-teman yang berfoto untuk menyusuri goa tersebut dan janjian ketemuan di atas. Menyusuri goa ini memang tidak butuh waktu lama, namun terkadang aku salah jalan. Salah satunya saat aku ingin keluar dari goa melalui jalur yang dipakai untuk menyusuri goa, sampai akhirnya aku mentok di arah yang salah. Tawa teman-teman melihat polahku salah jalan pun terdengar jelas, aku kembali menuju tempat aliran air dan menyusuri aliran air. Di sini jalan pun benar, bongkahan batu-batu dapat kulewati. Cukup seru juga walau harus berbasah-basahan sendiri di dalam goa.
Menjelajah bagian dalam Goa Watu Joglo
Menjelajah bagian dalam Goa Watu Joglo
Menjelajah bagian dalam Goa Watu Joglo
Selesai merangkak sedikit, kali ini jalannya sedikit lebih sempit. Di tiap dinding lembab basah. Kulalui jalanan tersebut. Jalan ini adalah jalan air, jika sednag melimpah, pastinya luapan air di sini lebih besar. Jadi kalau nantinya musim hujan, aku sarankan saat berkunjung dan menyusuri goa ini jangan sendirian. Kedalaman air hanya setinggi betis, kemungkinan jika musim hujan kedalamannya bisa lebih dalam. Aku sejenak berdiam sendiri di dalam jalanan goa. Menikmati ketenangan di dalam goa, di sini aku merasakan bagaimana ketenangan sebuah goa (walau kecil), jauh dari hiruk-piyuk keramaian pengunjung, dan tentunya masih asri.

Puas bersantai dibongkahan batu dan mengabadikan sedikit gambar, aku berlanjut menyusuri sungai. Tepat sebelum bongkahan batu yang terlihat gubuk di atas tadi, kali ini kedalaman air lebih dalam sedikit. Setinggi pinggang orang dewasa, dan tentunya tanah-tanah lumpur saat terinjak menjadikan air keruh. Asyik hampir selesai juga sungai ini aku susuri, walau tidak panjang tapi lama. Lama karena aku sengaja menikmati waktu rehat di dalam goa yang sunyi.
Menyusuri aliran air di dalam goa
Menyusuri aliran air di dalam goa
Menyusuri aliran air di dalam goa
Perjalanan yang tidak lama ini pun hampir berakhir, tepat selesai melewati rute yang airnya hampir sepinggang, di atas sana sudah terlihat gubuk. Kali ini harus dengan sabar merangkak di antara bebatuan agar bisa sampai di atas. Di atas sana, aku sudah ditunggu teman-teman yang sudah terlebih dulu sampai di area parkir. Seorang warga pun memberikan kami sebotol air mineral dingin dan dua buah gelas.
Merangkak naik di antara bebatuan
Merangkak naik di antara bebatuan
“Terima kasih, pak,” Ujar kami hampir bersamaan.

Destinasi wisata Goa Watu Joglo ini termasuk baru berkembang, sehingga belum banyak yang berkunjung ke sini. Pada dasarnya, destinasi ini bagus untuk kita yang suka trekking, menyusuri goad an bermainan air. Jika musim hujan, dan debit air melimpah, tempat ini bisa dijadikan salah satu tujuan untuk bermain air. Selain bermain, di sini kita juga bisa membeli Jambu Biji, dengar-dengar sekilonya seharga Rp15.000 (berisi antara 4 biji). Jika memang terus bersolek, semoga akses jalan dari dusun Kepil diperbaiki lagi, terlebih setelah anak tangga habis, bisa jadi diberi semacam pagar/tambatan tali agar pengunjung bisa berpegangan pada saat berjalan. Apalagi kalau musim hujan yang kemungkinan bisa licin, dengan adanya tali/pagar; secara tidak langsung bisa dijadikan pegangan. Semoga Goa Watu Joglo tetap indah, tetap bersih, dan pengunjung & warga bisa saling menjaga keasrian tempat ini. Ada yang minat main air di sini? *Perjalanan ke Goa Watu Joglo pada hari Minggu, 30 November 2015.
Baca juga perjalanan lainnya 

Itu Ide Sariman, Bu! Sumpah!

$
0
0
Sekali lagi, bukan hanya aku, teman kos, dan para mantannya saja yang pernah dikerjai Sariman. Ibu & bapak kos pu tak luput terkena imbas Sariman. Beruntunglah ibu kos kami orangnya sedikit lebih baik hati dengan anak kos, kalau tidak, entah sudah berapa teman kos yang diusir beliau. Mungkin salah satu orang yang diusir ibu ks pertama kali adalah Sariman. Dia sering bikin ulah dan banyak nunggak kalau bayar kos.

Beberapa waktu lalu, sebelum memasuki musim penghujan, kami seluruh anak kos kerja bakti membuat kursi dan meja di bawah pohon Alpukat. Letak pohon Alpukat tersebut memang srtategis, karena di tengah-tengah halaman kos.
Ngambil es-nya di kulkas bu kos saja, gratis!
Ilustrasi: Ngambil es-nya di kulkas bu kos saja, gratis! (sumber: www.123rf.com + diedit penulis) 
“Minum es teh ini enak kalau siang-siang,” Celetuk Sariman.

“Beli sana, Man.”

“Nggak ada uang, bang.

“Kami juga sama, makanya dari tadi di sini nggak ada es sama rokok,” Balas teman lainnya.

Namanya juga Sariman, dia memang membantu, tapi tetap saja mulutnya ngoceh sendiri. Baginya, kalau tidak ada minuman yang segar-segar bakalan lama selesainya bikin meja dan kursi.

“Tempatku ada Teh, Gula, dan Air. Tinggal cari Teko sama Es-nya,” Kataku.

“Woo, siap bang. Aku ambil Teko bentar di kamar,” Balas Sariman cepat.

Selang berapa menit, Sariman sudah keluar dari arah kamarnya. Dia membawa Teko lengkap dengan tiga plastik Es Batu di tangan kirinya.

“Loh, Man, katanya ngak punya uang. Itu kok kamu beli Es Batu!?” Tanya Mius keheranan.

“Nganu, bang. Esnya ngambil dari Lemari Es ibu kos. Tadi lewat pintu dapur ngambilnya,”Jawabnya polos.

*Dyarrrr tenan toh, Man!! Pokoke seng duso, Sariman!
Baca juga cerita lainnya 

Banyak Kenangan di Angkringan KR Jogja

$
0
0
Sebagai pendatang yang sudah delapan tahun hidup di Jogja, banyak tempat yang menurutku meninggalkan kenangan indah. Salah satunya ada di Angkringan KR Jogja. Ya, kami dulu sering berkumpul dengan teman-teman di tempat ini, walau dulu hanya sekedar menikmati Es Tape ataupun Tape Susu Panas. Malam ini kembali aku mengunjungi Angkringan KR bersama teman-teman blogger. Tujuan kami hanyalah menikmati suasana Angkringan selepas merasakan pedasnya Ongseng-ongseng Mercon Bu Narti.

Ide ini muncul ketika teman-teman blogger macam Duo Insan Wisata, Kidsay, dan Om Cumi sedang menikmati malam dan menginginkan untuk sekedar menikmati Angkringan. Kami pun dalam satu mobil menuju Angkringan Batas Kota yang ada di Monjali, namun sampai di sana suasana sudah ramai. Akhirnya kami memutuskan untuk berbalik arah, terlebih di sana parkir mobil agak susah mencarinya. Sampai akhirnya kami memutuskan untuk berhenti di Angkringan KR yang notabene-nya ada tempat parkir. Manusia-manusia di dalam mobil pun turun, dan sejurus kemudian sudah terlarut dengan memilih menu makanan masing-masing.
Angkringan KR Yogyakarta
Angkringan KR Yogyakarta
Angkringan KR Yogyakarta
Tidak banyak yang ingin kami lahap, perut kami sebenarnya sudah disesaki makanan. Akhirnya kuputuskan untuk mengambil beberapa sate telur, ditambah teman yang lain mengambil gorengan secukupnya.

“Hanya ini saja?” Tanya Om Cumi ke arah kami.

“Cukuplah itu, om. Lagian perut juga masih kekenyangan,” Jawabku.

Tanpa menunggu banyak waktu, kami pun menuju kasir. Di sini, kita mengambil makanan dan memesan minuman terlebih dahulu. Sebelum kita bawa ke tempat makan, kita harus ke kasir dan membayar menu yang sudah kita pesan. Seperti itulah prosesnya; sebuah proses yang tidak penting kali untuk aku ceritakan. Yang paling penting sebenarnya adalah, aku gratis dan tidak membayar sepeser pun. *Itu info yang amat sangat penting.
Mengabadikan menu dan yang membayar :-D
Mengabadikan menu dan yang membayar :-D
Mengabadikan menu dan yang membayar :-D
Sebelum menuju tikar yang terbentang luas di sekitar teras bangunan Kantor Koran Kedaulatan Rakyat, aku mencoba mengabadikan menu yang tersedia di sini. Banyak jenis nasi yang disiapkan, setiap nasi pun ada label menerangkan nasi apa yang ada di dalamnya. Nasi Sambal, Nasi Jamur, Nasi Rames, dan lainnya. Tidak ketinggalan pula menu lauknya. Dimulai dari Sate Kerang, Sate Keong, Telur Tusuk, Baceman, Gorengan, sampai Ceker Ayam pun ada. Jadi kalian bisa memilih menurut selera masing-masing. Tentu yang tidak boleh ketinggalan adalah minumnya, aku sendiri memesan Susu Tape Panas, salah satu minuman yang selalu kupesan jika sedang nongkrong di sini.
Selalu pesan minum Tape Susu
Selalu pesan minum Tape Susu
Seperti pada awal tadi, Angkringan KR adalah salah satu sudut kuliner yang tidak pernah sepi dari pengunjung. Hampir tengah malam ini, sudah banyak orang yang duduk santai seraya menikmati makanannya. Tikar-tikar yang digelar pun sudah penuh dengan para penghuni, mereka berbaur menjadi satu membentuk kelompok kecil. Suara tawa terdengar beriringan dengan nyanyian para pengamen jalanan. Tidak ketinggalan pula orang yang berlalu-lalang seraya mengharapkan koin diberikan kepadanya.
Para pengunjung duduk lesehan
Para pengunjung duduk lesehan
Para pengunjung duduk lesehan
Seperti inilah salah satu sudut Kota Jogja, keramaian Angkringan KR selaras dengan ramainya para pengunjung yang menikmati akhir pekan di Jogja. Mereka menikmati waktu selama singgah di Jogja. Dan Angkringan KR ini pun menjadi salah satu tempat yang tidak pernah sepi. Tempat yang selalu dikunjungi para wisatawan ataupun mahasiswa yang ingin menikmati kuliner khas Angkringan. Belum pas rasanya jika sudah sampai di Jogja, tapi belum pernah mencicipi makanan khas Angkringannya.
Baca juga kuliner lainnya 

Membidik Patung-patung di Omah Petruk Sleman

$
0
0
Kunjungan ke destinasi selanjutnya pun berlanjut. Usai foto bareng dengan petugas di depan Museum Gempa, bus yang kami naiki menuju Omah Petruk. Lokasi Omah Petruk ini berada di Karang Kletak, Hargobinangun, Pakem, Sleman, DI. Yogyakarta. Melewati jalanan yang tidak terlalu lebar, bus menuju jalan searah ke Museum Gunung Merapi. Berhubung perjalanan dari arah Kaliurang, bus hanya melewati Museum Gunung Merapi yang berada di sisi kiri. Tidak jauh dari sana, bus berbelok ke kanan (jika diruntut dari arah kota Jogja, jalan ke Omah Petruk sebelum Museum Gunung Merapi, belok kiri) tetap di pertigaan yang ada plang tulisan Omah Petruk.

Secara perlahan, bus terus menyusuri jalanan kecil yang terlihat asyik jika dilalui dengan sepeda. Tidak jauh dari sana, bus membelokkan ke sebuah joglo yang halamannya cukup lebar. Joglo yang dikelilingi pepohonan hijau nan sunyi. Aku menuruni bus, dan mataku tertuju pada satu patung besar yang menjulang tinggi di tepian jalan. Patung sepasang kaki yang tidak asing lagi bagiku. Ya, patung ini sempat menjadi salah satu ikon dan penghuni KM Nol Jogja. Berdiri di antara kursi-kursi permanen, menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengunjung. walau pada akhirnya patung ini tergantikan oleh patung sekawanan Gajah, yang lambat laun juga tergusur keberadaannya dari KM Nol Jogja. Di sini, patung Kaki tersebut berdiri megah di antara pepohonan berwarna hijau.
Patung di Omah Petruk Yogyakarta
Patung di Omah Petruk Yogyakarta
Patung di Omah Petruk Yogyakarta
Kakiku melangkah ke area Omah Petruk yang luas, dan berhenti di sebuah patung Banteng yang terbuat dari lempengan seng. Aku masuk lebih dalam, di sisi Patung Banteng yang ingin menanduk, terdapat dua rumah Joglo. Dua rumah Joglo yang mirip ini hanya aku abadikan sekali saja. Joglo yang pertama kulalui dengan sekali bidikan, namun tidak dengan Joglo yang kedua. Tepat di teras Joglo terdapat dua patung lelaki (Satu dewasa dan satu anak-anak). Patung ini menjadi pusat perhatian rombongan kami dengan selingan candaan. Ya, patung anak kecil yang hanya mengenakan kaos dan terlihat pusar serta kelaminnya. Sedangkan di dalam, terdapat patung yang dilihat secara kasat mata seorang wanita setengah bugil berbaringan dengan perut yang besar. Sebuah seni tentu mempunyai makna yang berbeda bagi setiap orang memandang. Bahkan, salah satu temanku berceletuk.

“Eh, belum disunat,” Tawa pun terdengar riuh rendah.
Joglo dan Patung penghuninya
Joglo dan Patung penghuninya
Joglo dan Patung penghuninya
Tepatnya di samping rumah Joglo ini terdapat berjejeran patung topeng yang tertanam pada  susunan tembok batu. Ada sekitar delapan jenis topeng muka yang terpampang di sini. Setiap topeng muka tersebut disanggah dengan sebuah besi yang sudah ditanamkan pada tanah dan diberi semen sehingga kuat menahan beban. Pandanganku menuju belakang Joglo di sisi lainnya, terdapat patung perempuan setengah bugil dengan tangan menengadah. Uniknya di patung ini yang terlihat adalah bagian atas (payudara) perempuan yang berjumlah banyak. Aku mengabadikannya.
Patung di sudut lain Omah Petruk
Patung di sudut lain Omah Petruk
Patung di sudut lain Omah Petruk
Ada banyak spot yang menarik dan sudah tentu menyesal untuk kulewatkan. Banyak patung-patung karya seniman tertata sedemikan rupa, sehingga aku sulit menentukan mana yang ingin aku bidik. Lokasi yang cukup luas dan rindang ini membuat konsep Omah Petruk menjadi semacam wahana tanpa sekat. Setiap orang bisa mengabadikan patung-patung tersebut secara bebas, namun tentunya dengan tidak mengubah posisi patung-patung tersebut. Aku menjelajah lebih dalam lagi, menuju barisan patung orang-orang yang duduk rapi di sebuah pelataran. Tepat di depannya terdapat semacam tumpeng dan sesajen. Tidak jauh dari sana juga terdapat banyak patung kepala yang semuanya mirip. Patung-patung tersebut tersebar di satu titik dengan menghadap ke arah yang hampir sama, hanya ada beberpa yang berbeda arah. Dan lebih jauh lagi, pemandangan patung unik pun kudapati. Patung seeokor Sapi yang berbaring dengan kaki sedikit mengangkang dan dikerubungi lima patung anak. Dua patung anak merangkak ingin minum susu langsung ke Sapi, dan tiga lainnya dari arah berbeda membawa tempat penampungan (Teko & Dirigen) yang akan digunakan untuk menampung air susu Sapi.
Masih tentang patung-patung lagi
Masih tentang patung-patung lagi
Masih tentang patung-patung lagi
Masih tentang patung-patung lagi
Lebih ke belakang, terdapat beberapa Rumah Panggung dan Joglo yang tersebar berdekatan. Rumah-rumah ini bisa dipergunakan untuk menginap. Dalam satu rumah, bisa menampung 15 orang, hal ini dikarenakan dalam rumah tidak ada sekat kamar. Langsung seperti aula. Konsep ini sengaja dibuat agar setiap rombongan dapat berinteraksi, berbincang, dan bersantai menjadi saling kenal. Dari pengelola Omah Petruk, aku dapat informasi jika ingin menginap di rumah-rumah ini (yang berkapasitas 15/rumah)  setiap orang dikenai biaya 150/hari. Tidak mahal, karena makan sudah ditanggung oleh pengelola.
Rumah-rumah yang bisa ditempati untuk menginap
Rumah-rumah yang bisa ditempati untuk menginap
Rumah-rumah yang bisa ditempati untuk menginap
Sedikit aku dan rombongan mendapatkan informasi dari pengelola, tujuan Omah Petruk ini dibangun adalah menggabungkan lima unsur agama dan berbasis budaya. Jadi di sini ada seperti Musholla, dan lainnya. Dihari-hari tertentu, ada kegiatan yang rutin dilakukan di tempat ini. tentu aktifitasnya tidak jauh-jauh dari kebudayaan; latihan gamelan dilakukan seminggu sekali, kemudian Wayang semalam suntuk dilakukan awalnya rutin sebulan sekali, namun karena masalah biaya, sehingga kali ini Wayang pun dilakukan hanya tiga bulan sekali, tepatnya setiap Selasa Kliwon (penanggalan Jawa). salah satu kegiatan yang besar kala itu adalah saat memperingati tiga tahun erupsi Merapi, di sini diadakan acara dengan membuat 1000 tumpeng.

Kami pun terlarut dengan obrolan santai bersama pengelola. Di sini sekitar ada 6 petugas yang mengelola Omah Petruk, walau hanya enam orang, namun setidaknya tempat ini cukup terawat dengan baik. Rimbunnya pepohonan serta Bambu membuat suasana di sini cukup seru. Aku pikir, ini adalah salah satu tempat yang tepat untuk bersantai dan menikmati waktu akhir pekan. Tidak terasa waktu sudah menjelang siang, kami pun berpamitan untuk menuju destinasi selanjutnya. Sebelum meninggalkan Omah Petruk, aku dan rombongan menyempatkan dulu berfoto dengan pengelola Omah Petruk di depan salah satu pendopo. Padahal, kala itu masih banyak patung-patung yang tidak terabadikan oleh kamera pocketku. Semoga aku bisa menuju ke sini untuk kali keduanya. Sehingga sedikit lebih banyak bisa mengabadikan patung-patung di sudut lainnya.
Melihat setiap pating di Omah Petruk
Melihat setiap pating di Omah Petruk
Foto bersama di depan salah satu aula
Foto bersama di depan salah satu aula
Pada kenyataannya, Omah Petruk menjadi tempat berkreasinya pada seniman-seniman di Jogja. Mereka membuat karya, dan memajangnya di sini. Hasil karya mereka pun sering dijadikan pameran patung di Omah Petruk, jika terjual, maka koleksi di sini pun berkurang. Namun menurut pengelola, tetap akan ada banyak hasil karya seniman-seniman yang datang ke sini. Jika sewaktu-waktu kalian berkunjung ke kawasan Kaliurang, tidak ada salahnya untuk mengunjung Omah Petruk ini, tidak ada retribusi ketika kita masuk ke area sini, yang ada hanya membayar parkir saja. Ada banyak patung yang terpajang di sini, mereka seakan-akan membuat kita agar terus mengabadikannya, menikmati setiap hasil karya para tangan-tangan seniman Jogja. *Famtrip ini difasilitasi oleh Disbudpar Kab. Sleman tanggal 30 November 2015 dengan menggandeng Travel Blogger & Admin Sosial Media.
Baca juga kunjungan lainnya 

Berkunjung ke Pasar Apung Jepara

$
0
0
Rencana menyusuri sedikit sudut kota Kudus tak terlaksana. Selesai acara di Kudus, aku ikut keluarga ke Jepara. Alasannya sangat sederhana, lebih baik mengorbankan kepentingan pribadi demi berkumpul dengan keluarga, toh jarang-jarang ada waktu bisa berkumpul dengan keluarga di Jepara (bukan di Karimunjawa). Kuhabiskan akhir pekan ini bermain di Jepara, bersenda gurau dengan saudara seraya bercerita hal-hal yang lucu. Menjelang tengah malam, aku pun mempunyai rencana untuk mengabadikan keramaian pasar saat pagi. Pasar yang tidak jauh dari tempatku menginap.

Menjelang dinihari, alarm hpku berdering. Bergegas aku bangun dan menunaikan sholat subuh. Pagi ini pun aku sedikit sibuk membangunkan teman yang sudah janji mengantarku ke pasar. Tujuanku kali ini adalah mengabadikan keramaian Pasar Apung Pesajen, Jepara. Sebuah pasar yang terletak di Pesajen. Aku dan Riki (temanku) mengendarai motor menuju lokasi. Benar saja, saking masih paginya, aku dapat mengabadikan sunrise yang terlihat menyapa di antara kesibukan orang di pasar.
Sunrise di area Pasar Apung Jepara
Sunrise di area Pasar Apung Jepara
“Selamat pagi Jepara, selamat pagi pasar apung, selamat beraktifitas,” Sepertinya itu kalimat yang aku tulis di sosmed.

Pasar ini disebut dengan Pasar Apung karena bangunannya tepat di atas air laut. Aliran air laut dijadikan semacam kanal untuk lalu-lalang perahu nelayan setempat. Di bawah bangunan pun berjejer perahu nelayan yang ditambatkan pada seutas tali panjang dan tiang-tiang kecil. Tepat di atasnya itulah berjejeran bangunan stand lahan yang dipergunakan untuk pasar. Transaksi pagi hari ini cukup ramai, hilir-mudik orang yang menuju ke pasar berbaur menjadi satu. sementara itu, aku asyik berdiri di atas jalan jembatan seraya mengabadikan banguan pasar tersebut. Tiang-tiang cor kokoh layaknya pondasi yang kuat menahan bangunan di atas air ini agar tidak roboh, sementara di bawahnya maupun di sekelilingnya banyak terdapat perahu nelayan yang tertambat.
Kesibukan di Pasar Apung Jepara
Kesibukan di Pasar Apung Jepara
Kesibukan di Pasar Apung Jepara
Namanya Pasar Apung yang letaknya di tepian laut, tentu pemandangan pertama yang dapat terlihat adalah penjual ikan yang berjejeran. Banyak jenis ikan yang mereka pajang agar setiap calon pembeli tertarik untuk menawar dan membelinya. Aku memasuki area Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dan melihat bagaimana kesibukan para penjual ikan. Ada banyak jenis ikan yang dijual, Ikan Tongkol, Ikan Kakap, bahkan Ikan Baronang pun ada di sana. Hampir semua ikan yang dijual masih segar. Jangan kaget jika menuju pasar ini nantinya kalian mendapati sebuah becak yang berisi penuh berbagai jenis ikan. Becak-becak tersebut mengangkut ikan dari nelayan yang ada di pelabuhan, dan mengirimkan seluruh ikan ke TPI, kemudian dijual pada pembeli. Kalimat-kalimat yang kudengar adalah,

“Sekilo ini berapa harganya?”
Ikan-ikan segar diperjualbelikan
Ikan-ikan segar diperjualbelikan
Ikan-ikan segar diperjualbelikan
Tidak hanya ikan saja yang ada di Pasar Apung ini. Tepatnya di dekat jejeran kendaraan, terdapat lapak kecil yang berjualan sayuran. Tidak banyak memang, tapi aku dapat melihat ada yang menjual daun Bayam, Bawang Merah, Seledri, Kol, Kacang Panjang, dan sayuran lainnya. Tidak ketinggalan juga ada Pisang dan Nangka yang juga dijual. Terdengar jelas keriuhan obrolan tawar-menawar antara pembeli dan penjual.
Sedikit penjual sayuran
Sedikit penjual sayuran
Aku pun terlarut dengan suasana pasar, dengan cepat aku memasuki area dalam Pasar Apung, di sana aku membeli beberapa makanan pasar dan nasi untuk sarapan. Dari semalam aku sudah merencanakan untuk membeli sarapan di pasar, dan akhirnya dengan uang tidak banyak, aku sudah membungkus beberapa jajanan pasar dan empat porsi nasi untuk sarapan. Jangan kaget kalau aku beli empat porsi, selain aku dan Riki, masih ada dua temanku yang menginap satu rumah (Antok & Dedi). Jadi karena itulah, aku membeli nasi empat porsi.
Selamat Pagi Pasar!!
Selamat Pagi Pasar!!
Selamat Pagi Pasar!!
Usai sudah perjalanan pagi ini menuju Pasar Apung. Lumayan juga main ke sini, paginya mendapatkan pemandangan indah sunrise, lanjut berbaur dengan penghuni pasar, melihat banyak hasil tangkapan laut, sampai membeli jajanan pasar dan sarapan di pasar. Memang benar adanya, pasar selalu menyajikan suasana yang berbeda. Ada semacam keunikan tersendiri saat menginjakkan kaki di pasar. Selamat pagi Jepara, waktunya menyantap makanan yang baru aku beli dari pasar. *Catatan perjalanan ke Pasar Apung Pesajen, Jepara pada tanggal 22 November 2015.
Baca juga perjalanan lainnya 

Para Penunggang Sepeda Tua

$
0
0
Sejak subuh mulai menyapa, aku sudah mengayuh pedal sepeda menuju Jembatan Siluk, Bantul yang jaraknya lebih jauh daripada Makam Raja-raja Imogiri. Sesuai dengan prediksiku, lebih satu jam kukayuh sepeda agar sampai di Jembatan Siluk sebelum pukul 06.00 wib. Sebenarnya tujuan bersepedaku adalah Pantai Ngunggah, dan kumpulnya adalah di sekitar Jembatan Siluk, kemudian berangkat bersama tepat pukul 06.00 wib. Sementara aku, pukul 05.20 wib sudah berada di salah satu sisi Jembatan Siluk.

Serambi menunggu yang lain, aku memanfaatkan waktu yang masih panjang ini beristirahat. Sesekali meneguk air mineral di dalam botol. Sebuah pemandangan cukup bagus pagi ini, sang mentari terlihat jelas muncul di ufuk timur. Aku tidak menyia-nyiakan pemandangan tersebut, dalam hitungan menit, sudah ada lebih dari lima file dokumentasi sunrise pagi ini. Sang mentari mulai terlihat terang, cahayanya pun berpendar dan sedikit menyilaukan mata bagi yang melihatnya. Aku masih termangu di ujung Jembatan Siluk menunggu teman.
Morning Jogja!!
Morning Jogja!!
Morning Jogja!!
Selain sunrise, ada pemandangan yang membuatku tergerak untuk mengabadikannya. Sepanjang perjalanan, mulai dari Jalan Imogiri sampai Siluk, ada banyak warga yang masih menaiki sepeda. Rata-rata yang menaiki sepeda adalah orang-orang yang sudah tua. Bahkah, waktu aku duduk seraya menyeka keringat dengan handuk kecil pun, masih banyak orang-orang yang menaiki sepeda. Tanpa sengaja, aku mengabadikan sebagian kecil dari orang yang berlalu-lalang menaiki sepeda.

Bidikan kamera pocket pun mulai mengarah pada setiap pengguna sepeda yang berlalu-lalang. Dari sudut tengah antara dua jalan, aku mengabadikan dua bapak yang menggunakan sepeda dan bertopi. Kayuhan sepeda tersebut pelan, dua bapak tersebut seperti sedang ingin menuju sawah atau ladang. Di boncengan belakang, tampat karung plastik, dan juga terselip sebuah sabit. Mungkin beliau akan membabat rumput untuk makan ternaknya. Bisa jadi seperti itu. aku berjalan menuju sisi lainnya, tepat sampai ujung, dua sepeda kembali melewati depanku. Kali ini lelaki paruh baya dengan perempuan paruh baya. Beliau masih terlihat sehat dengan mengayuh pedal sepeda. Melakukan aktifitas seperti biasanya.
Para pesepeda di pagi hari
Para pesepeda di pagi hari
Para pesepeda di pagi hari
Pemandangan para pengguna sepeda pun mulai beragam. Kali ini seorang ibu menggunakan kebaya, jarik, dengan kerudungnya. Sebuah topi anyaman ditanggalkan pada bagian depan stang sepeda. Beliau mengayuh pedal sepeda melewatiku seraya tersenyum. Jika kita berada diperkotaan, tentu pemandangan seperti ini akan sulit didapatkan. Kemudian ada seorang perempuan tua sedang menuntun sepeda. Beliau seperti sedang menuju pasar. Sepedanya penuh dengan kantong-kantong plastik yang sesak dengan isi di dalamnya. Di boncengan belakang pun bergelantungan plastik yang besar. Semangat bu, semoga tetap sehat dan terus kuat mengayuh sepeda.
Semangat simbah putri
Semangat simbah putri
Semangat simbah putri
Apakah pengguna sepeda di sini hanya mereka yang paruh baya? Orang-orang yang mungkin tidak lagi berminat menggunakan kendaraan bermesin karena terlanjut tua? Sama sekali tidak, di sini memang warganya masih banyak yang menjadikan sepeda sebagai alat transportasi yang baik. sesekali tampak para siswa yang menuju sekolah dengan menggunakan sepeda, atau seperti kali ini. Seorang anak lelaki kecil menikmati kayuhan sepeda mininya, sementara sang ibu menemani dia dengan menaiki sepeda motor. Aku yakin, kamu pasti menikmati pagi ini, dek. Embusan udara pagi, kayuhan sepedamu membuat pikiranmu hanya ada rasa senang. Senang pagi ini bisa bersepeda. Tak berapa lama kemudian, di belakangnya juga ada remaja putri yang menaiki sepeda. Ini sebagai bukti bahwa sepeda di sini merupakan transportasi yang masih sangat diminati.
Selamat berakhir pekan, mari bersepeda
Selamat berakhir pekan, mari bersepeda
Selamat berakhir pekan, mari bersepeda
Tentu, setiap jepretan para pesepeda di sini lebih banyak orang-orang paruh baya. Aku kembali menuju parkiran sepedaku, seraya duduk kamera ini masih terus hidup. Kuabadikan punggung-punggung para pengguna sepeda pagi ini. perempuan baya pertama, beliau masih menggunakan kebaya dan jarik. Diboncengan terdapat anyaman bambu yang dijadikan tempat/wadah. Di dalamnya berisi makanan. Ya, bisa jadi semacam Tape dan sejenis lainnya, kupastikan itu jajanan pasar. Berlanjut ke perempuan paruh baya selanjutnya. Ikatan melingkar dan bantalan plastik yang berisi kerupuk diboncengnya. Dengan cara sedemikian rupa sehingga dapat mengikat dan membawa bantalan kerupuk lebih banyak. Disusul perempuan yang ketiga, beliau tampak lebih ringan karena tidak ada beban diboncengannya.
You'll Never Bike Alone
You'll Never Bike Alone
You'll Never Bike Alone
You'll Never Bike Alone
Iringan para perempuan paruh baya menggunakan sepeda pun berlanjut. Kali ini dua perempuan kuat paruh baya menaiki sepeda. Beban sepeda penuh, namun beliau dengan santainya menikmati setiap kayuhan. Jalanan yang sedikit menanjak membuat di antara merak kadang harus turun dan menuntun sepeda. Kemudian menaiki kembali dikala jalanan sudah kembali rata. Setiap jengkal, setiap kayuhan tentu dinikmati mereka. Tidak peduli berapa jam sampai lokasi, mereka tentu sudah memperkirakan sebelumnya. Sama sepertiku, memprediksi berapa lama harus mengayuh peda, kemudian sejauh mana tenaga ini kuat mengayuh pedalnya.
Bike to Work
Bike to Work
Bike to Work
Jangan kalian tanyakan, apakah ceritaku ini benar atau salah. Aku hanya mencoba mendeskripsikan dari sisiku, mencoba menceritakan apa yang aku lihat dan sempat kuabadikan. Melihat mereka yang sudah paruh baya menaiki sepeda, penuh dengan beban, namun tetap bersemangat. Terbesit di dalam hati berpikir, mereka lah yang layak disematkan gelar “Bike to Work”. Dengan sepeda tua, menggunakan kebaya, serta sepeda seadanya, bahkan kadang lupa kapan terakhir diservis, mereka tetap bersepeda. Mereka tak pernah mendengar teriakan/kampanye di sosial media untuk bersepeda, mereka tidak pernah menganggap rutenya terlalu jauh, mereka tidak pernah menganggap bersepeda di jalanan adalah hal yang membahayakan. Mereka adalah orang-orang pilihan, semoga mereka terus sehat, terus kuat mengayuh pedal sepeda, dan menginspirasi para pesepeda lainnya untuk terus menggunakan sepeda, selama mampu. *Foto-foto ini penulis abadikan di area Jembatan Siluk, Bantul pada tanggal 24 Oktober 2015 pukul 05.20 wib – 07.00 wib.
Baca juga perjalanan bersepeda lainnya 

Memanfaatkan Kesempatan ala Sariman

$
0
0
Sariman termasuk orang yang pintar memanfaatkan waktu dan kesempatan. Dengan cara seperti itulah, dia sering membalas mengerjai teman-teman kos. Ya, semarah-marahnya anak kos ke Sariman, anak kos tidak pernah mau mengutuk Sariman menjadi batu. Malah kadang mengutuk Sariman agar tobat *nggaya
Aku punya ide bagus!!
Ilustrasi: Aku punya ide bagus!! (sumber gambar: www.123rf.com)
Hebatnya Sariman, saat dia mentok tak berdaya pun kadang masih saja bisa melepaskan masalahnya dengan cara yang tak terpikirkan oleh kami (anak kos lainnya). Sedikit cerita tentang Sariman yang berkaitan dengan ibu kos. Pastilah kalian tahu urusan apa Sariman dengan sang Empu kos.
*****
“Man, bayar kos!” Teriak ibu kos pagi ini.

“Nanti siang bu, uangnya belum dikirim orang rumah.”

“Beneran yo, nanti malah ngilang kayak kemarin.”

“Ngilang? Ibu saja yang nggak di depan warung waktu aku keluar. Masa aku harus ijin ibu kalau mau keluar kos?

*Mana ada anak kos kok berani seperti Sariman? Kalau nunggak sih banyak, tapi berani berdebat dengan ibu kos? Baru Sariman yang berani.
*****

“Man!! Sini bentar,” Kali ini bapak kos yang berteriak.

“Iya, pak.” Secepat kilat Sariman ke depan pak kos.

“Bantu nyiram halaman depan, Man. Debu halaman rumah banyak, tolong siram ya. Pakai selang ini.” Ujar bapak kos.

Sariman pun melaksanan perintah bapak kos dengan khusyuk. Lebih dari setengah jam, Sariman menyirami halaman depan rumah pak kos disambi dengan BBM-an.

“Sudah selesai pak,” Sariman laporan ke bapak kos yang jaga warung.

Dilihatnya seluruh halaman sudah disirami Sariman. Bahkan bunga-bungan yang gersang di depan pun sudah sedikit segar terkena siraman air. Sariman memang hebat.

“Masa nggak dikasih rokok, pak. Lah itu kolamnya juga aku kuras loh,” Tunjuk Sariman ke arah kolam ikan kecil depan taman.

“Oya? Bagus, Man. Ambil satu bungkus saja,”Jawab bapak kos senang.

*Tuh kan Sariman, apa saja bisa dijadikan kesempatan. Tuhan memang maha adil.
*****

Dua dulu saja ya cerita Sariman dengan ibu/bapak kos. Pokoknya Sariman itu pintar banget, kadang kelakuan dia ke ibu kos nggak pernah terduga. Arrrggghhh!! Sama ibu kos saja dia berani, apalagi sama sesama teman kos?
Baca juga cerita Sariman lainnya

Sarapan Sebungkus Nasi Urap di Jepara

$
0
0
“Besok pagi kita sarapan apa?” Celetukku malam ini seraya menonton TV.

“Kita beli Nasi Urap saja di pasar, besok sama aku, kak ke sananya,” Jawab Riki seraya menoleh ke arahku.

Baiklah, malam ini aku lanjut bergadang menonton bola sampai dinihari. Malam ini aku berkumpul dengan saudara-saudara Karimunjawa yang berada di Jepara, saudara-saudara ini juga yang tadi setengah hari bersamaku di Kudus. Tepat pukul 02.30 wib, aku memejamkan mata. Teman-teman lainnya juga sudah terbuai dalam mimpi.

Subuh pun merangkak, aku segera membangungkan Riki yang berjanji menemaniku ke pasar untuk mengabadikan keramaian pasar. Tidak lupa dengan rencana semalam yang ingin sarapan Nasi Urap. Tidak lama kemudian, aku sudah di pasar; awalanya mengabadikan suasana pasar sampai akhirnya menyusuri tiap petak di dalam Pasar Apung. Di sini aku dan Riki menuju ke arah simbah-simbah yang berjualan di salah satu sekat. Beliau berdua menjajakan makanannya.

“Mbah, Nasi Urapnya empat, nggeh,” Kata Riki ke arah salah satu simbah.

“Iyo, leh,”Jawab beliau.
Nasi Urap di Jepara
Nasi Urap di Jepara
Nasi Urap di Jepara
Tangan simbah cepatan menata dua helai daun Pisang dan daun Jati yang masih hijau. Kemudian mengambil nasi dan urapan yang kami beli. Kulihat satu persatu yang beliau masukkan. Ada Kecambah, Rumput Laut yang kecil, serta cacahan Daun Pepaya yang sudah direbus dan sedikit dicampur dengan parutan Kelapa dicampur garam. Di panci terdapat Tahu dan Tempe Gembus yang sudah diolah dengan aroma daun Salam & sedikit aroma Petai.

“Papat toh, leh? (Empat kan, Nak?” Simbah sedikit menegaskan.

“Inggih, Mbah.”

Beliau kembali menata bungkusan Nasi Urap. Satu-persatu dimasukkan ke dalam lembaran bungkus daun. Aku masih mengabadikan aktifitas simbah dengan sesekali mengabadikan. Pagi ini beliau lumayan sibuk, tidak hanya aku dan Riki; banyak orang lain yang di dalam pasar ini menunggu agar dibuatkan Nasi Urap.
Simbah penjual Nasi Urap
Simbah penjual Nasi Urap
Simbah penjual Nasi Urap
Seperti inilah Nasi Urap yang aku nikmati saat sarapan. Nasi dicamur dengan urapan Daun Pepaya dan lainnya, ditambah dengan Tahu/Tempe Gembus, Gimbal Ikan, dan tidak lupa sambal. Rasa antara pedas, asin, dan pahitnya daun Pepaya menjadi satu. Nasi Urap seperti ini menjadi sarapan yang jauh menyenangkan dan mengenyangkan bagiku.

“Pinten, mbah; Sego Urap e’ sekawan? (Berapa, mbah; Nasi Urapnya empat bungkus?)”

“Wolongewu, leh. (Depalan ribu, nak.)”
Sebungkus Nasi Urap
Sebungkus Nasi Urap
Murah sekali bukan? Satu Nasi Urap hanya dihargai Rp.2000 saja. Padahal Nasi Urap ini sudah menggunakan beberapa lauk. Selain itu porsi nasinya pun banyak, aku terkaget dan mencoba memastikan bahwa yang aku beli itu empat porsi. Namun memang benar, hanya Rp.8000 untuk empat porsi. Aku segera membayar kemudian tidak langsung bergegas pulang, namun membeli beberapa makanan lainnya di samping tempat simbah yang berjualan Nasi Urap. *Kuliner ke Jepara (Pasar Apung) ini pada hari Minggu, tanggal 22 November 2015.
Baca juga kuliner lainnya 

Replika dan Patung Penghuni Jalan Mangkubumi Jogja

$
0
0
Libur nasional tengah pekan kemarin aku gunakan untuk bersepeda menuju sekitaran kota Jogja. Di tengah ramainya Pilkada, aku malah asyik menikmati waktu libur bersepeda, ya Pilkada tahun ini Jepara (tempatku) tidak sedang pemilihan Bupati, jadi yang lain pada nyoblos, aku bersantai ria. Tujuanku hanyalah bersantai di Tugu Jogja, menikmati pagi seraya mengabadikan beberapa gambar. Di sana tidak sengaja bertemu dengan teman-teman dari Keong (Klub Sepeda Road Bike) yang nggak asing lagi di Jogja, juga bertemu dengan teman-teman Jogja Folding Bike, aku pernah ikut acara JFB saat menuju Sesek Mangir.

Asyik bersantai dan ngobrol dengan teman-teman sepeda, aku pun melanjutkan perjalanan. Kali ini sengaja aku sempatkan untuk mengabadikan patung-patung yang ada di pinggiran jalan. Dalam beberapa bulan terakhir, di sepanjang jalan Mangkubumi/jalan Margo Utomo terdapat hasil karya seni pada seniman yang dipajang di sana. Aku sendiri sudah beberapa waktu ingin mengabadikan, baru hari ini bisa terlaksana.
Plang Jalan Mangkubumi Yogyakarta
Plang Jalan Mangkubumi Yogyakarta
Di salah satu sudut bangunan, tepatnya tidak jauh dari Tugu Jogja, sebelah kanan terdapat sebuah replika mobil berwarna hijau sedang terikat pada tiang beton. Tidak ketinggalan juga semacam lakban yang digunakan untuk mengikat agar replika mobil tersebut tidak jatuh. Tentu objek ini menjadi salah satu daya tarik para pengguna jalan untuk sekedar berhenti dan mengabadikan diri bersama replika mobil. Aku pun mengabadikan replika mobil tersebut, lalu menaiki sepeda menuju replika lainnya.
Replika Mobil terikat
Replika Mobil terikat
Tepatnya di depan Halte Trans Jogja, terdapat juga hasil karya seni yang coraknya beragam. Seperti sebuah tempat PDAM yang menyemburkan air. Bukan air, ini yang disemburkan adalah layaknya cairan cat yang berbagai warna. Warna yang mencolok antara lain merah, kuning, dan hijau. Sepertinya hasil karya ini menjadikan jalanan lebih berwarna. Asyik juga mengabadikan hasil karya seni para seniman. Mereka benar-benar menjadikan jalanan Mangkubumi menjadi lebih berwarna.
Hidup penuh warna
Hidup penuh warna
Salah satu spot replika yang paling diminati oleh para pengunjung adalah berpose dengan Motor Vespa ini. Jika motor Vespa ini hanya terpajang layaknya sebuah motor sedang terparkir, mungkin tidak begitu heboh. Seniman pun sadar akan hal itu, makanya motor Vespa ini dipajang layaknya sedang terjatuh pada kubangan. Ban depan tidak terlihat, dan posisi motor agak jumping ban belakangnya. Banyak wisatawan yang mengabadikan diri di sini dengan berbagai gaya. Ada yang seakan-akan sedang menaiki motor tersebut, bahkan ada yang rela tidur terkapar layaknya korban yang jatuh dari motor. Benar-benar bagus.
Vespanya kenapa ini?
Vespanya kenapa ini?
Melajukan sepeda lebih jauh lagi, di sana akan terpajang replika pensil besar. Replika pensil besar yang terbuat dari kayu jati ini mempunyai makna yang mendalam. Sebuah pesan yang ditulis seniman pada tulisan di bawahnya adalah “Pada intinya adalah bergesernya makna Yogyakarta dari Kota Pelajar menjadi Kota Wisata”. Pesan dan kritikan yang ditangkan para seniman untuk mengembalikan identitas Kota Jogja sebenarnya.
Pensil HB
Pensil HB
Dari kejauhan aku mengabadikan sebuat Sepeda dengan Terompet Raksasa di depannya. Sayang aku tidak bisa membaca secara langsung pesan yang ditulis dan ingin disampaikan. Namun setidaknya ini juga sebuah hasil karya yang bertujuan mengingatkan tentang transportasi, tentang sepeda. Bukan tentang kebisingan kota karena klakson, Jogja menjadi kota yang nyaman bagi pesepeda. Semoga pesannya seperti itu, karena dalam beberapa tahun terakhir ini; kota Jogja sudah mulai macet, dan kehadiran sepeda di jalanan umum tidak mendapatkan tempat yang memadai.
Sepeda vs Terompet
Sepeda vs Terompet
Sebelum sebuah sepeda dan terompet, sebenarnya ada semacam taman yang berbukit. Bertuliskan “Terasa ditarik”. Itulah yang menjadi tema replika ini, berbahan dari Sabut Kelapa, Besi, Rumput, dan Media Tanam Pakis; seniman mengkritisi tentang meningkatnya suhu kota karena pencemaran udara yang semakin mengkhawatirkan ditambah lahan hijau terbuka menyempit. Ya, kita tahu bahwa mencari lahan hijau di kota Jogja sulit sekali, bahkan taman kota pun tidak ada.
Taman kota mana?
Taman kota mana?
Tidak kalah menariknya menurutku adalah sebuah timbangan yang terdapat di salah satu sudut jalan. Timbangan ini seakan-akan terangkat oleh sebuah balon yang berwarna merah. Menjadi lebih unik lagi, timbangan tersebut kuat mengangkat pot bunga menjadi posisi miring. Apakah timbangan ini berkaitan dengan sebuah keadilan? Bisa saja.
Timbangan itu biasanya simbol keadilan
Timbangan itu biasanya simbol keadilan
Sebuah keranjang belanja dipenuhi macam replika botol dan peralatan lainnya. Bahan dasar semua benda ini adalah batu. Kalau kita biasa melihat batu-batu tersebut identik dengan Akik, di sini bebatuan tersebut disulap menjadi berbagai botol dan peralatan lainnya. Pesan yang disampaikan apa ya? Mungkinkah berkaitan dengan masyarakat yang konsumtif? Bisa jadi seperti itu.
Keranjang belanja?
Keranjang belanja?
Dari keseluruhan replika dan patung, patung satu inilah yang menjadi ikon paling menarik dan kadang harus bergantian mengabadikan diri. Ya, patung Spiderman yang sedang makan nasi terbungkus dengan daun pisang. Dia terlihat menikmati makanan walau harus duduk di antara karung-karung sampah. Ada yang bisa mengartikan pesan dari patung ini? Kadang kala kita sendiri dapat melihat orang-orang yang kurang mampu hanya bisa menikmati nasi bungkus dan melahapnya di tempat yang kurang layak.
Spiderman-nya lagi makan nasi bungkus
Spiderman-nya lagi makan nasi bungkus
Tidak semua patung dan replika tersebut dapat aku ketahui pesannya, namum bagi orang awam yang hanya singgah sejenak di Jogja; karya seniman tersebut menjadikan jalanan lebih indah. Sehingga akan lebih banyak lagi orang yang mengabadikannya, seperti yang aku lakukan. Mengabadikan setiap hasil karya, dan menulisnya menjadi sebuah tulisan. Tulisan yang nantinya mungkin hanya aku baca sendiri, ataupun orang lain.
Mengabadikan diri dulu
Mengabadikan diri dulu
Mengabadikan diri dulu
Bagi para seniman, hasil karya tersebut didedikasikan untuk pemimpin yang ada di Jogja, ini adalah cara para seniman dalam mengkritik setiap kebijakan yang ada di Jogja. Dan bagi orang seperti aku, salut untuk para seniman; karena karyamu benar-benar mengena. Caramu menyampaikan dengan media seni membuat orang paham jika ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk menyampaikan pesan atau mengkritiki sebuah kebijakan. Jogja benar-benar kota yang penuh kejutan, kota yang masyarakatnya kritis dengan kebijakan. Jogja memang istimewa!!! *Foto-foto ini penulis abadikan pada hari Rabu, 09 Desember 2015.
Baca juga tulisan lainnya 

Serunya Melahap Durian Langsung dari Pohonnya

$
0
0
Menjelang siang, aku masih terpaku di di kamar, berbincang santai dengan teman-teman Jepara. Hingga saat Riki mengatakan kalau dia akan ke Pati sekitar pukul 10.00 wib. Aku langsung merespon untuk ikut, lagi pula waktuku balik ke Jogja masih lama. Rencananya aku balik ke Jogja pukul 16.00 wib.

“Ayo kak, siap-siap,” Seru Riki ke arahku.

Bergegas aku mengambil jaket, tas kecil, dan memasukkan kamera pocket kesayanganku ke dalam tas. Tanpa membuang waktu, kami pun sudah mengendarai motor matic menuju Pati. Tujuan kami adalah Dusun Bundopurwo, Sendangrejo, Tayu, Pati. Kalau aku lihat sih lokasinya masih dekat dengan perbatasan Jepara. Lebih dari dua jam perjalanan sampai akhirnya kami sampai di rumah simbahnya Riki. Kami pun beristirahat, bersantai melepas lelah seraya menikmati hidangan. Rumah sederhana yang dindingnya terbuat dari anyaman bambu, bagian dalam rumah masih tanah. Ya, suasana desa sangat kental di sini. Pekarangan rumah pun tak kalah luasnya, bahkan di depan pun rimbun dengan berbagai pepohonan. Mataku menatap jejeran pohon yang tidak asing menurutku.
Pohon Durian yang sudah mulai berbuah
Pohon Durian yang sudah mulai berbuah
Pohon Durian yang sudah mulai berbuah
“Itu pohon Durian?” Celetukku sedikit bertanya.

“Benar, mas. Wah baru ingat, tadi pagi ada yang jatuh. Ayo dibelah saja Duriannya,” Jawab Sepupu Riki.

Gayung pun bersambut, aku dan Riki bergegas membelah Durian yang baunya sudah menusuk hidung. Sementara itu, di pohon yang berjejeran, banyak buah Durian masih kecil. Sebagian besar buah Durian tersebut diikat agar saat masak tidak langsung jatuh ke tanah. Namun di bagian ujung pun banyak yang tidak sempat diikat menggunakan tali rafia. Sementara aku dan Riki asyik mengabadikan momen bersama Durian. Mungkin seperti ini yang dapat diistilahkan “keberuntungan”.

“Durian ini baru tahun ini berbuah, dan yang kamu pegang itu adalah buah pertamanya yang masak,” Terang sepupu Riki lagi.
Duriannya siap=siap dieksekusi
Duriannya siap=siap dieksekusi
Duriannya siap-siap dieksekusi
Sebuah Durian berukuran sedang sudah siap dibelah, Riki pun membelah Durian tersebut. Bau harumnya Durian kembali menusuk hidung, membuat selera ingin cepat melahapnya. Delapan biji Durian terbungkus dagingnya begitu menggoda. Aku dan Riki hanya bisa tersenyum seraya menikmati Durian tersebut. Keberuntungan pun kembali menaungi kami, selama menikmati Durian di halaman rumah, tanpa sengaja Riki melihat buah Durian yang ikatannya tersangkut pada ranting pohon Rambutan. Ternyata Durian tersebut juga sudah masak, namun tidak jatuh ke tanah karena terkena ranting-ranting pohon Rambutan. Tidak perlu pikir panjang, Riki langsung memanjat pohon Rambutan tersebut. Di ambilnya buah Durian yang tersangkut, dan langsung membelah kembali untuk kami nikmati.
Nyam-nyam :-D
Nyam-nyam :-D
Nyam-nyam :-D
Bagi penduduk setempat di sini, Durian sudah menjadi buah yang biasa. Setiap bulan November – Januari mulai masuk musim Durian. Menurutnya mereka sudah bosan makan Durian, warga di sini biasanya mengolah Durian tersebut menjadi Bubur, sehingga tidak melulu harus dimakan secara langsung. Aku sedikit kaget, mungkin karena saking banyaknya pohon Durian, sehingga Durian pun bukan menjadi buah yang mahal bagi warga di sini. Terima kasih simbahnya Riki, karena saat kami di sana dijamu dengan Durian, pengen deh rasanya besok-besok main lagi kalau pas musim Durian. Siapa tahu bisa seharian nunggu Durian jatuh. *Perjalanan ini pada hari Minggu, 22 November 2015.
Baca juga perjalanan lainnya 
Viewing all 749 articles
Browse latest View live