Quantcast
Channel: Nasirullah Sitam
Viewing all 749 articles
Browse latest View live

Mengopi di Lantai Bumi Coffee and Space Jogja

$
0
0
Pesanan V60 dan Vietnam Drip di Kedai Kopi Lantai Bumi
Pesanan V60 dan Vietnam Drip di Kedai Kopi Lantai Bumi
Meski tidak jauh dari tempat kerja, kedai kopi Lantai Bumi jarang kukunjungi. Seingatku, baru dua kali aku berkunjung. Itupun pertama kali datang ke sini tidak mencicipi minumannya karena sedang puasa sunah. Datang tidak lebih dari setengah jam, menyapa kawan luar kota, lantas izin balik kerja. 

Sekian lama berselang, baru bisa menyempatkan kembali mengunjungi kedai kopi ini saat puasa Ramadan. Agenda awal ingin mencoba paket buka bersama di kedai kopi, hingga akhirnya berlanjut sampai malam hari. 

Memasuki kedai, tidak ada perubahan yang mencolok dari awal. Hanya saja di bagian tempat merokok sedang direnovasi. Hal ini mengubah lokasi musola dan yang lainnya. Bagi yang sekadar mengopi, meski direnovasi, tetap saja bisa digunakan. Mungkin ketika tulisan ini tayang, renovasi sudah selesai. 

Seorang pramusaji mengarahkan meja yang sudah kami pesan. Seperti biasa, orang yang datang lebih awal di kedai kopi adalah aku. Niat awal memang ingin sekalian menyicil pekerjaan. Menjelang buka puasa, pengunjung makin ramai. 

Di hari biasa, kedai kopi ini buka mulai pukul 08.00 WIB hingga tutup pukul 00.00 WIB. Berlokasi di Pogung Kidul, tentunya kedai ini menjadi salah satu lokasi favorit para mahasiswa UGM untuk berkumpul, kongkow, dan mengerjakan tugas. 

“Sekarang nongkrong di mana, mas?” Sapa barista cowok beranbut panjang. 

“Pindah-pindah, mas. Tergantung mood,” Jawabku tertawa. 
Pramusaji dan Barista menjadi satu di meja bar
Pramusaji dan Barista menjadi satu di meja bar
Barista ini yang dulu sempat kami temui waktu ngopi di Culturehead Coffee. Sementara kedai kopi tersebut tutup, entah sedang renovasi atau selamanya. Aku tidak bertanya lebih jauh. Intinya, seorang barista mengingat pengunjung yang lama tidak kelihatan pastinya hal yang bagus. 

Kami berbincang sesaat. Kemudian larut bersama laptop. Menulis draft yang sempat tertunda sembari menunggu kawan datang. Cukup lama di sini, sajian buka sudah habis. Kami masih bertahan. Lagi-lagi, kami memesan minuman tambahan. 

Kutilik biji kopi yang tersedia. Seingatku yang tersedia biji dari Malang dan Jambi. Aku menjajal biji kopi dari Malang. Proses pembuatannya dianjurkan barista menggunakan metode kalita. Katanya, rasanya jauh lebih muncul. Sebagai pecinta kopi dan masih awam terkait rasa, tentu aku mengangguk setuju. 

Pilihan menu minuman di Lantai Bumi beragam. Bahkan menurutku, bagi yang tidak begitu suka kopi dimanjakan dengan menu nonkopi. Kisaran harga minuman di sini mirip harga di kedai kopi Mathonos. Selama bersantai, lebih banyak pengunjung yang memesan Es Kopi Susu Adinda. 
Daftar menu dan harga di kedai kopi Lantai Bumi Jogja
Daftar menu dan harga di kedai kopi Lantai Bumi Jogja
Mungkin karena bulan puasa, menurutku di kedai ini banyak barista dan pramusajinya. Mereka berkumpul di meja bar sembari berbincang. Namun, terkadang sibuk meracik kopi yang dipesan pengunjung. 

Sepintas juga seorang barista perempuan sedang meracik kopi. Lantas merasakan hasil racikannya. Tidak ketinggalan barista dan teman yang lain ikut mencicipi, lantas mengomentari terkait rasa. Pemandangan ini mengingatkanku pada cupping kopi. 

Seorang peramu kopi (barista) meracik kopi, menyeruput, mengenali aroma rasa, menghirup bau yang keluar, hingga meneguk minumannya. Usai itu, mereka memberi pendapat terkait rasa yang keluar dari tiap seduhan. Biasanya kegiatan seperti ini dilakukan para barista, roaster, maupun orang-orang yang bergelut dengan biji kopi dengan istilah cupping
Meracik kopi pesanan pengunjung
Meracik kopi pesanan pengunjung
Bangunan yang lebih didominasi oleh kaca transparan besar ini ramai. Mumpung belum ramai pengunjung, aku memotret bagian dalam kedai kopi. Dua sofa yang dilengkapi kursi terletak di bagian ujung kedai, berbatasan langsung dengan kaca panjang sebagai jendela. 

Meja dan kursi banyak tertata rapi di dalam. Jika kita datang dengan rombongan lumayan banyak, pramusaji maupun barista memperbolehkan kita untuk menggabungkan beberapa meja menjadi satu. Di lantai pun ada colokan listrik. 

Hampir setiap kedai kopi menambah barang untuk menjadikan sudut ruangan lebih bagus dipandang. Tepat di dinding terdapat tiga gambar yang sudah dalam bingkai. Tidak ketinggalan di sisi kanan pintu masuk, terdapat rak buku serta satu sepeda fixie. 
Meja dan kursi di ruangan bebas rokok kedai kopi Lantai Bumi
Meja dan kursi di ruangan bebas rokok kedai kopi Lantai Bumi
Interior tambahan di sudut ruangan
Interior tambahan di sudut ruangan
“Makin ramai selepas isya,” Celetukku. 

Di luar, tempatnya jauh lebih luas. Pengunjung bisa menggunakan sisi kiri tempat terbuka ataupun di deretan kursi sebelum pintu masuk. Semuanya bisa ditempati selama masih kosong. Kursi permanen yang menyatu dengan tembok biasa digunakan barista bersantai kala tidak sibuk. 

Deretan sepeda motor tertata rapi, sisi yang lain ada meja yang dilengkapi dengan empat kursi. Berbeda halnya dengan sisi luar kedai yang mengarahkan kita menuju musola dan toilet. Tempatnya jauh lebih luas. Dua pohon mangga menjulang tinggi sebagai peneduh. 

Banyak kedai yang menggunakan meja kayu di ruang terbuka. Di Lantai Bumi berbeda, bagian luar kedai dibuat meja permanen panjang. Lengkap dengan kursi permanen terbuat dari semen memanjang. Setiap meja bisa digunakan duduk berkelompok, sekitar 8 sampai 10 orang. 
Pengunjung di area luar kedai kopi
Pengunjung di area luar kedai kopi
Sewaktu aku berkunjung, area luar ini belum maksimal. Masih terdapat bagian yang diperbaiki. Terutama bagian yang mendekat jalur ke musola. Selama aku di sini, area luar ini lebih didominasi muda-mudi yang sedang melakukan permainan melalui gawai masing-masing. 

Bagaimana dengan pesanan kami? Sebagian pesanan sudah kami terima. Tinggal menunggu pesanan yang lainnya beserta kudapan yang belum datang. Salah satu dari kami penasaran dengan Es Kopi Susu Adinda. Sehingga sengaja memesan satu gelas minuman tersebut. 

Terkait selera minuman, setiap lidah memang berbeda-beda. Aku sendiri sempat menyicip minuman tersebut. Bagiku sangat manis, serta ada aroma semacam keik. Mungkin lidah ini yang sensitif. Bagi pecinta nonkopi, mungkin beda lagi seleranya. 
Memotret sisa-sisa gelas kala mengopi
Memotret sisa-sisa gelas kala mengopi
Seperti yang aku bilang diawal, jika di sini kusempatkan mengerjakan beberapa tulisan yang sempat tertunda. Kalian yang menggunakan fasilitas jaringan internet, perlu diketahui tiap satu jam koneksi internetnya putus sendiri. 

Kedai kopi Lantai Bumi bagiku menarik untuk dikunjungi. Lokasi yang lumayan di dalam, tidak begitu riuh lalu-lalang kendaraan dan lumayan tenang. Bagi yang berada di sekitaran Pogung, sesekali coba mampir di Lantai Bumi. *Kedai Kopi Lantai Bumi Jogja; 18 Mei 2019

Dimanjakan Lanskap Alam Bukit Harapan Cuntel

$
0
0
Tulisan Cuntel terbuat dari ranting-ranting yang dianyam

Sejak semalam, kawan terus bercerita tentang pemandangan indah bakal tersaji saat berada di Bukit Harapan Cuntel. Aku belum sepenuhnya paham. Di pikiranku hanya sebuah gardu pandang yang menghadap ke bentangan alam. Mungkin mirip di Mangunan yang menyajikan pemandangan alam. 

Hawa dingin menyeruak. Jaket tebal yang kupakai sedikit menghangatkan. Namun, tetap saja terasa dingin untuk orang pantai seperti aku. Sesekali aku menggigil diterpa angin saat mengendarai motor. 

Jalan terus menanjak. Tidak jauh dari Taman Kopeng, motor melaju ke atas. Sebuah plang Cuntel terlihat. Petakan hutan pinus menyapa. Sekelompok remaja sedang melakukan kegiatan mancakrida. Sepertinya mereka menginap di sekitaran Cuntel. 

Sepanjang perjalanan sudah terlihat gunung di sisi kanan jalan. Motor terus melaju, tiap kiri-kanan penuh petakan kebun warga. Kebun cabai, brokoli, serta sayuran yang lainnya tersebar tiap petakan ladang. Tidak ketinggalan pemilik ladang yang mencabuti rumput liar. 

Portal Bukit Harapan Cuntel tertutup. Seorang perempuan yang melihat kehadiranku bergegas menghampiri. Diambilnya kertas karcis. Masuk gardu pandang Bukit Harapan Cuntel dikenai biaya 5.000 rupiah tiap orang. 

Sebenarnya pemandangan lebih menarik di luar gardu pandang. Hanya saja rasanya tidak elok jika tidak membayar masuk. Di sini sudah ada beberapa gardu pandang yang menghadap ke barisan gunung. 
Gardu pandang menghadap ke Gunung Sindoro-Sumbing
Gardu pandang menghadap ke Gunung Sindoro-Sumbing
Aku hanya memotret sebentar, titian kayu pada gardu pandang tidak menarik minatku. Dari tanah lapang kubidik mata lensa menghadap pada sepasang gunung yang menjulang tinggi. Sumbing dan Sindoro, dua gunung ini tampak jelas dan sangat cerah. Sayang titian kayu gardu pandang sedikit menghalangi pandangan lensa kamera. 

Cuntel sebenarnya menjadi salah satu jalur untuk melakukan pendakian ke Merbabu. Dari sini sudah terlihat puncak gunung Merbabu. Namun, pemandangan yang menarik bukan mengabadikan gunung tersebut. Jejeran Gunung Sumbing, Sindoro, Andong, dan Telomoyo yang memikat mata. 

Lahan Bukit Harapan Cuntel tidaklah lapang. Hanya sepetak tempat yang sudah dikemas warga dengan gardu pandang. Bilah bambu diikat, ditambahi papan sebagai peniti. Seperti jembatan kecil. Tidak ketinggalan latar belakang penuh figura. 

Bagi warga setempat, tempat seperti ini pasti menyenangkan untuk diabadikan menggunakan gawai. Namun, aku malah tertarik memotret di jalan sebelum sampai Cuntel. Lokasinya di tikungan. Tempat ini menurutku paling bagus memotret jejeran gunung. 
Lanskap Gunung Sindoro, Sumbing, Andong, dan Telomoyo
Lanskap Gunung Sindoro, Sumbing, Andong, dan Telomoyo
“Ke ujung jalan yang tadi saja. Lebih bagus di sana pemandangannya,” Ujarku. 

“Tikungan yang ada gubuknya?” 

Aku mengangguk dan berlalu. Di gardu pandang Bukit Harapan Cuntel, aku hanya menghabiskan waktu kurang dari sepuluh menit. Selanjutnya beranjak balik arah menuju jalan utama. Tepatnya yang di depannya ladang warga setempat. Dari sini pemandangan gunung lebih menarik. 

Motor kami parkirkan di tepi jalan. Aku meniti jalan setapak menyusuri petakan ladang warga. Cuaca cerah tanpa ada awan membuat lanskap di Cuntel sangat indah. Kabut tipis mengelilingi salah satu gunung. 

Jalan aspal yang tidak terlalu lebar ini sepi. Sedari tadi, aku hanya berpapasan dengan dua warga setempat. Satu warga mengendarai sepeda motor menuju ladang. Sedangkan warga yang satunya lagi berjalan sembari memanggul pakan ternak. 

Gubuk kecil tepat berada di tikungan menarik perhatian. Terlebih gunung Telomoyo menjulang di belakangnya. Telomoyo, bukit tersebut pernah aku sambangi sewaktu masih kuliah. Aku ingat, waktu itu jalanan masih sangat rusak. Penuh bebatuan, entah sekarang. Sudah berubah mulus atau masih seperti yang dulu. 
Puncak Telomoyo menjulang Tinggi
Puncak Telomoyo menjulang Tinggi
Di puncak Telomoyo sudah terlihat beberapa tower berdiri. Seperti pemandangan sewaktu aku melewati jalur Ngoro-oro di Gunungkidul. Aku terus mengabadikan pemandangan, mumpung waktu masih pagi, cahayanya cukup bagus untuk dipotret. 

“Menarik juga kalau kembali menyambangi Telomoyo,” Ujarku sendiri. 

Cuntel dipenuhi lahan warga setempat. Pertanian cukup subur di tempat ini. Kiri-kanan sudah banyak ladang yang diberdayakan. Suasana pagi menambah indah dengan rerimbunan hijau segala tanaman di sekitar jalan. 
Penduduk setempat memanggul pakan ternak
Penduduk setempat memanggul pakan ternak
Nun jauh di sana, jalur pendakian ke gunung Merbabu terlihat jelas. Cuntel memang menjadi salah satu jalur pendakian. Namun, tidak banyak orang yang melintasi jalur tersebut. Pendakian gunung Merbabu rata-rata melewati jalur Selo. 

Terkadang pendaki juga melintasi jalur Suwanting. Konon jalur Suwanting treknya lebih menantang. Entahlah, aku sendiri belum pernah melintasi jalur tersebut. Di bawah tadi, tepatnya di hutan pinus, ada dua orang memanggul keril besar. Kemungkinan ingin mendaki lewat jalur Cuntel. 

Pasti tidak sedikit dari kalian bertanya, kenapa aku rela berhenti di tepian jalan dibanding melihat jejeran gunung dari gardu pandang. Alasannya sangat sederhana, pemandangan lanskap dari tepian jalan jauh lebih menggoda. 
Salah satu sudut dari Gunung Merbabu
Salah satu sudut dari Gunung Merbabu
Inilah pemandangan yang disajikan. Lanskap jejeran Gunung Sumbing, Sindoro, Andong, dan Telomoyo membuat aku bergegas mengambil kamera dan mengabadikan. Langit biru menjadi nilai tambah. Berkali-kali kuabadikan pemandangan pagi hari ini. 

Ladang warga setempat yang sedang menyemi, berkombinasi dengan petakan tanah tertata rapi selepas dicangkul, lantas pemandangan jauh di sana berbaris rapi gunung dengan berbagai puncak berselimut kabut tipis. Aku yakin, kalian tidak ingin melewatkan pemandangan ini begitu saja. 

Lama aku duduk menikmati pemandangan. Sesekali mengecek hasil dokumentasi. Sekiranya ada yang kurang, aku kembali memotret untuk kesekian kali. Hawa dingin masih menyeruak, kerekatkan jaket tebal agar lebih hangat. 
Pemandangan indah dari Bukit Harapan Cuntel
Pemandangan indah dari Bukit Harapan Cuntel
“Aku mau jalan di pematang ladang. Tolong kamu abadikan ya.” 

“Tinggal pencet?” 

Kuanggukkan kepala. Sebelumnya, pengaturan kamera sudah kuatur. Semoga saja nantinya dia bisa memotret tidak miring. Garis rana sudah terpampang pada kamera memudahkannya untuk tahu hasilnya miring atau tidak. 

Untuk sesaat kubuka jaket, beruntung kaus yang kukenakan lengan panjang. Sedikit berlari, aku menuju ujung ladang sembari berharap kawan sudah mengabadikan. Kulihat ke arah dia, sesekali mengacungkan jempol. 

“Bagus kok hasilnya,” Ujarku setelah melihat gambar di kamera. 
Berjalan di pematang lahan milik warga
Berjalan di pematang lahan milik warga
Angin sedikit kencang, aku cepat-cepat mengenakan jaket tebal. Kali ini, cukup menikmati waktu pagi di tepian jalan sembari menyusun rencana selanjutnya. Mentari mulai terlihat, cahayanya menerpa dedaunan. Sedikit memantulkan cahaya dari lembar-lembar daun yang agak basah terkena embun. 

Bukit Harapan Cuntel memang menjadi tempat yang indah memotret alam kala pagi. Jika sore, tentu pemandangan lebih indah. Setidaknya, mentari terbenam di antara gunung-gunung yang berjajar. Pastinya rona jingga bakal merekah saat cerah. 

Bagi sebagian orang, Cuntel ini sedikit terlupakan. Wisatawan lebih mengenal Kopeng, Air Terjun Kedung Kayang, dan sekitarnya. Setidaknya kalau kalian datang ke sini, mungkin pemandangan seperti inilah yang tersaji. Syukur-syukur bisa mendapatkan foto yang jauh lebih bagus. *Bukit Harapan Cuntel; 08 Juli 2018.

Tilasawa Coffee Roaster Jogja, Kedai Kopi Minimalis di Demangan

$
0
0
Kedai Kopi Tilasawa Coffee Roaster Jogja
Kedai Kopi Tilasawa Coffee Roaster Jogja
“Di dekat sini ada kedai kopi baru. Namanya Tilasawa Coffee Roaster,” Ujar barista Lagani seraya menyeduh kopi pesananku. 

“Kedai kopi yang kecil itu?” Tanyaku memastikan. 

Barista tersebut mengiyakan. Aku langsung paham, karena kemarin waktu lewat jalan Rajawali, Demangan melintasi kedai kopi baru kecil yang cukup ramai. Sekilas lokasinya berjejeran dengan bekas tempat Sama Dengan Kopi (yang sudah tutup). 

Hingga sauatu ketika aku mengunjungi kedai kopi tersebut. Siang hari, Sepulang dari RS Sardjito, aku mengarahkan tujuan ke kedai kopi di Demangan. Tujuan awal adalah Kor Coffee, sayang siang ini tutup. Lantas aku menyeberang ke Tilasawa Coffee Roaster. 

Sepertinya siang ini belum ada pengunjung yang nongkrong. Mungkin lebih banyak mereka take away. Kedai kopi ini cukup kecil. Aku memasuki kedai kopi tersebut. Dua orang yang berada di luar ruangan masuk. Ternyata mereka adalah barista yang sif pagi. 
Kedai Kopi ini cukup kecil di daerah Demangan
Kedai Kopi ini cukup kecil di daerah Demangan
Luas kedai kopi ini mengingatkanku pada Kopi Ketjil, meski menurutku ruang kedai kopi ini jauh lebih sempit. Barista yang bertugas segera menyapa. Aku membuka obrolan, menanyakan menu yang tersedia sekaligus melihat daftar harga minuman. 

Seluruh daftar minuman tertulis pada papan yang berada di atas meja bar. Ada banyak kedai kopi yang mencantumkan menu seperti ini. Salah satunya adalah kedai kopi Rumah Budhe Coffee yang pernah aku kunjungi. 

Menariknya, meski tempat ini kecil, pilihan minuman sangat beragam. Ada biji kopi lokal serta manca. Layaknya di kedai kopi yang lainnya, kali ini aku ingin mencoba Single Original yang tersedia. Untuk harga, biji lokal lebih murah daripada biji manca. 

Minuman yang tersedia berkisar antara 25000 rupiah. Tentu ada yang lebih murah dan lebih mahal. Namun, rata-rata yang tersaji patokannya harga segitu. Di sekitaran Demangan, harga tersebut memang hampir sama di setiap kedai kopi. 
Daftar menu dan harga di kedai kopi Tilasawa Coffee Roaster
Daftar menu dan harga di kedai kopi Tilasawa Coffee Roaster
“Wah, biji kopinya banyak, mas,” Celetukku saat melihat berbagai beans yang tertata rapi di meja bar. 

“Lumayan, mas. Ini saja yang beans impor sudah tinggal sedikit. Padahal belum ada tiga minggu,” Jawabnya. 

Biji-biji kopi tertata rapi dalam kemasan. Ada lima biji kopi lokal dari berbagai tempat di Indonesia. Sementara biji kopi luar yang tersedia dari Kolumbia, Papua Nugini, Guatemala, dan India, dan Kenya. 

Aku tertarik menyeduh kopi yang dari Kolumbia dan India. Sempat berdiskusi dengan barista terkait rasa, akhirnya pilihanku jatuh pada biji kopi dari India (Thippanahalli). Untuk kali ini, aku meminta agar dibuatkan dengan metode Kalita agar rasanya lebih tebal. 

Harga biji kopi manca beragam. Untuk biji kopi dari India yang kupesan ini harganya 40.000 rupiah. Rata-rata biji kopi dari manca berkisar seperti dengan harga tersebut. Tidak sedikit di kedai kopi yang lain ada biji kopi yang lebih mahal.

Sembari meracik kopi, barista ini bercerita jika kedai kopi Tilasawa baru sekitar dua bulan. Artinya, pada bulan april 2019 baru buka. Sebagai pendatang baru, Tilasawa Coffee Roaster bersaing dengan kedai-kedai kopi di sekitarnya. 

Hanya berjarak kurang dari 300 meter dari tempat ini ada kedai kopi yang lainnya seperti Kor Coffee, Svarga Coffee, Lagani Coffee, Sinergi Coffee, dan Journey Coffee. Selain ini, masih ada beberapa kedai kopi yang lainnya. Memang, Demangan adalah salah satu wilayah yang sangat banyak bermunculan kedai kopi. 

Biasanya kedai kopi buka pukul 09.00 WIB. Tilasawa Coffee Roaster sendiri bula lebih awal. Kedai buka pukul 07.00 WIB, meski biasanya setengah jam pertama belum siap karena barista masih persiapan buka. Untuk last order pukul 00.00 WIB. 
Barista sedang meracik pesanan kopi menggunakan metode Kalita
Barista sedang meracik pesanan kopi menggunakan metode Kalita
“Kalau berkunjung pukul 07.00 WIB – 12.00 WIB, ada promo beli satu dapat bonus segelas lagi, mas.” 

Tentu promo ini menarik. Aku tidak hanya lebih spesifik promo ini khusus minuman tertentu atau tidak. Namun, penawaran promo tersebut sepertinya bisa dijajal lain waktu. Biasanya, kedai-kedai yang buka pagi mempunyai promo “Happy Hour” sebelum siang. 

Menurut barista, meski kedai tutup pukul 01.00 WIB, jika masih ada pengunjung yang nongkrong tetap ditunggui. Bahkan, jika memang belum sepenuhnya tutup, terkadang masih dilayani pembelian lepas dari jam buka. 

Sembari menunggu barista meramu kopi, aku meminta izin mengabadikan suasana kedai yang minimalis tersebut. Jika tidak salah, barista yang berjaga siang ini namanya Mas Beni. Aku tahu dari obrolan dia dengan temannya yang kuliah di UMY. 

Mas Beni beserta kawannya mudah berinteraksi. Kami berbincang santai sedikit membahas kedai kopi, dan bertanya berapa personil yang bekerja di sini. Dari obrolan-obrolan ringan seperti ini biasanya kita bisa menambah banyak teman baru. 

“Beruntungnya, tempat kecil seperti ini membuat pengunjung yang sendiri bisa terus bergabung ngobrol, mas. Mereka bisa saling kenalan, dan berbincang seperti kawan lama.” 

Mengunjungi kedai kopi memang banyak seperti itu. Kita bisa berbincang dengan kawan baru dan cepat akrab. Biasanya obrolan berkaitan dengan kopi, lantas merambah bertanya asal hingga kesibukan di Jogja. 

Awalnya, Tilasawa Coffee Roaster ini pelanggannya adalah lingkaran kawan barista. Belum banyak pengunjung baru yang memang menjadi pelanggan tetap. Berjalannya dua bulan ini, mulailah terlihat adanya pelanggan setia. Tetap saja, potensi lingkaran pertemanan menjadi yang utama. 

“Kami buat kedai ini untuk menyalurkan tiap ide yang pernah ada saat kami bekerja di kedai yang lain. Namun, ide tersebut tidak pernah terealisasikan,” Tambah Mas Beni. 
Ruangan dalam di Kedai Tilawasa Coffee Roaster Jogja
Ruangan dalam di Kedai Tilawasa Coffee Roaster Jogja
Tiap barista paham menangkap peluang seperti itu. Hanya saja, tiap barista tidak bisa berkreasi sesuai kehendak saat dia bekerja dalam peraturan tertentu. Mungkin, di kedai ini mereka nantinya bisa menalurkan setiap ide barista untuk menggaet pelanggan. 

Petakan kecil ruangan kedai kopi ini hanya cukup untuk 9 pengunjung. Satu meja bulat kecil yang dilengkapi dengan empat kursi berada tepat di depan meja bar. Lokasinya berbatasan langsung dengan tembok sisi bangunan. 

Kemudian, bagian depan yang menghadap ke jalan tertutup kaca. Agar lebih berfungsi, dibuatkan meja tinggi lengkap dengan tiga kursi tinggi. Serta, di dekat dinding sebelah (arah masuk ke bar) ditambahi dua kursi tinggi tanpa meja. 

Seingatku, di sini tersedia stop kontak tepat di dekat meja. Sehingga, orang yang niatnya ingin bekerja lebih santai. Aku membuka laptop, sudah ada niat sejak awal ingin menyelesaikan satu tulisan untuk bulan ini di blog. 

Usai menghidupkan laptop, aku sejenak keluar. Memotret sisi luar kedai kopi. Tepat di depan kedai, teras kecil tersebut dimanfaatkan menjadi tempat nongkrong. Sepasang meja dilengkapi empat kursi. Tidak ketinggalan colokan listrik dan asbak. 

Teras lain yang digunakan untuk mengopi adalah yang bekas bangunan Sama Dengan Kopi. Tempat yang berbatasan langsung dengan jalan menjadi tempat favorit kala malam hari. Seingatku ada empat meja yang lengkap dengan sepasang kursi. 
Smoking area di Tilawasa Coffee Roaster
Smoking area di Tilawasa Coffee Roaster
Cukup teduh tempatnya. Kalau siang hari datang ke kedai ini bersama kawan, mungkin lokasi tersebut menjadi favorit. Ditambah ada satu pohon besar yang membuat tempat itu makin teduh. Bagi yang ingin ke kamar mandi, lokasinya berada di luar kedai. Lewat tempat yang smoking area. 

Aku pernah lewat depan jalan Tilasawa Coffee Roaster saat malam hari. Sangat ramai pengunjungnya. Sebuah pertanyaan tebersit dalam pikiranku. Seberapa banyak pengunjung di kedai kopi sekecil ini? 

Banyak kedai kopi kecil di Jogja yang konsepnya hanya sebatas pembelian take away. Di Tilasawa Coffee in sendiri pengunjung meningkat saat sore hingga malam. Ketika hari masih pagi ataupun siang, lebih banyak yang take away. 

“Dalam satu haru kisaran pembeli 100, mas.” 

Es kopi susu masih menjadi minuman andalan yang dibeli para pengunjung. Khususnya mereka yang membungkus. Tak ketinggalan, mereka juga mempunyai minuman es kopi susu andalan. Sepertinya perang es kopi susu masih bergolak di tiap kedai. 

Hampir lupa, di kedai kopi ini juga menyediakan minuman coldbrew. Kalian bisa membawa pulang satu botol minuman coldbrew seharga 25000 rupiah. Sepertinya menarik beli di sini, terlebih lokasinya dekat dengan kos. 
Coldbrew dan pesanan yang lainnya
Coldbrew dan pesanan yang lainnya
“Mas, kalau AC-nya terlalu dingin, bisa dinaikkan loh,” Ujar barista. 

Aku mengucapkan terima kasih. Barista tersebut kembali berlalu, meninggalkanku yang sudah berkutat dengan laptop. Melihatku bekerja, mereka sedikit menurunkan suhu AC dan suara musik. Sepertinya dia paham dengan seleraku, musik melantun tidak kencang. 

Untuk orang sepertiku yang mencari tempat sepi kala pagi, kedai-kedai kopi menjadi tujuan. Rentang waktu pagi hingga siang adalah waktu yang pas main ke sini jika niatnya bekerja. Selain masih tenang, jaringan internet kencang, pun tidak banyak suara kendaraan berlalu-lalang. *Tilasawa Coffee Roaster; 16 Juni 2019.

Pantai Tanjung Kelayang dan Pulau-pulau Indah di Tanah Laskar Pelangi

$
0
0
Landmark Pantai Tanjung Kelayang, Belitung
Perjalanan panjang hampir usai. Rencana awal mengunjungi beberapa destinasi wisata di Sumatera mulai terealisasikan. Bertajukkan tour de Sumatera, aku awali perjalanan dari Bandara Adisutjipto di Yogyakarta hingga akhirnya sudah menginjakkan kaki di tanah Laskar Pelangi. 

Padang, Batam, Bangka, dan akhirnya Belitung. Empat pulau yang berbeda di Sumatera kusambangi dalam waktu sepekan. Penerbangan dari awal hingga sekarang lancar, tiket pun sudah aman sampai kembali balik di Jogja.

Tanpa terasa, kini aku sudah berada di tepian pantai yang bertuliskan “Pantai Tanjung Kelayang”. Konon pantai ini menjadi salah satu dari sepuluh destinasi Bali Baru yang dipromosikan Kemenpar. Ini membuktikan bahwa Belitung, khususnya pantai Tanjung Kelayang mempunyai potensi witasa yang besar. 

Pantai Kelayang ini berlokasi di Keciput, Sijuk, Belitung. Berjarak antara 32 kilometer dari bandara. Wisatawan bisa menuju ke pantai tersebut dengan mengendarai mobil atau dijemput. Aku sendiri sudah terlebih dulu menghubungi pemandu lokal untuk ditemani menjelajah sudut pulau Belitung. 

Warna-warni tulisan permanen pantai Tanjung Kelayang selaras dengan kaus yang kukenakan. Sementara waktu, aku meletakkan kamera dan mengabadikan tepat di depan tulisan tersebut. Berlanjut mengabarkan ke teman melalui media sosial jika sudah di pulau ini. 
Landmark Pantai Tanjung Kelayang, Belitung
Landmark Pantai Tanjung Kelayang, Belitung
Belitung mulai menggeliat pariwisatanya ketika novel sekaligus film Laskar Pelangi melejit di Indonesia dan dunia. Tidak dapat dipungkiri, alur cerita dan kemasan film kisah anak pulau dipadu dengan lanskap indah sudut pulau Belitung menjadikan orang-orang ingin mengunjungi setiap tempat yang ada di sana. 

Kunjungan wisatawan makin mencuat, segala informasi berkaitan dengan pariwisata Belitung makin tersebar luas. Di saat yang tepat pula, segala keindahan pulau tersebut tersebar di media sosial serta cerita perjalanan di blog. Pada akhirnya destinasi-destinasi tersebut menjadi spot andalan menggaet wisatawan. 

Puas bersantai di bawah pohon rindang dekat tulisan pantai Kelayang, aku melangkahkan kaki menuju pantai. Hamparan pantai memanjang, pasir putih dan suara riak ombak kecil. Di pasir tampak tali panjang yang melintang dan mengikat pada pancang kecil. 

Untaian tali tersebut adalah alat penambat kapal nelayan agar tidak bergeser. Sang empu pemilik kapal bersantai bersama satu orang yang menawariku untuk wisata keliling tiga pulau. Pulau Lengkuas, Pulau Batu Berlayar, dan Pulau Kelayang. Suatu tawaran yang menggiurkan. 
Hamparan pasir putih di Pantai Tanjung Kelayang
Hamparan pasir putih di Pantai Tanjung Kelayang
“450.000 rupiah, bang. Nanti langsung tiga pulau,” Ujar seorang bapak menawariku. 

Aku bersabar, menunggu rombongan yang ingin menyeberang. Harga sewa kapal penyeberangan sebesar 450.000 ini bisa lebih murah jika bergabung dengan rombongan. Plesiran ke Belitung, rasanya belum lengkap jika kaki belum menginjakkan kaki di tiga pulau tersebut. 

Nasib mujur masih menaungiku. Tidak lama kemudian ada satu rombongan yang ingin hopping island. Aku turut melobi untuk bergabung, alhasil diperbolehkan turut bersama. Bergegas aku menuju bapak yang menawari kapal, lantas menyepakati harganya. 

“Bayarnya nanti saja sepulang dari keliling pulau, bang.” 

Bapak tersebut mendatangi salah satu pemilik kapal, lantas mengarahkanku bersama rombongan untuk menuju kapal. Kapal yang kami gunakan lumayan besar untuk berlima. Bagian palka sengaja dibuat lebih rendah, tiap sisi kapal dijadikan tempat duduk permanen. 

Pemilik kapal mengeluarkan tangga, tampaknya tangga ini memang sudah disiapkan sebagai akses naik kapal. Secara bergantian, kami naik ke kapal. Aku menjadi yang pertama, lalu membantu rombongan yang lain, sesekali mendokumentasikan. 
Kapal yang menyeberangkan ke pulau-pulau di Pantai Tanjung Kelayang
Kapal yang menyeberangkan ke pulau-pulau di Pantai Tanjung Kelayang
Penyeberangan dimulai. Aku menikmati waktu penyeberangan dengan santai. Setidaknya hari ini aku sudah melakukan perjalanan darat, udara, dan laut. Destinasi pertama yang dituju adalah pulau Lengkuas. Pulau ini tadi sempat terlihat jelas dari udara, khas dengan ikon mercusuarnya. 

Perjalanan menuju pulau Lengkuas cukup menyenangkan. Meski mendung, angin tidak kencang. Pemilik kapal menginformasikan bahwa penyeberangan ini selama setengah jam. Aku duduk santai, sesekali memotret pulau-pulau yang terlewati. Berusaha untuk mengabadikan pemandangan sepanjang kapal berlayar. 

Batu-batu granit menjulang tinggi di salah satu pulau yang kami lewati. Tebersit pikiranku pada salah satu adegan anak-anak Laskar Pelangi berlarian di atas bebatuan sembari bersorak riang. Lantas mereka bermain air. Kapal kami tidak sendirian. Dari arah berlawanan, berderet tiga kapal penuh wisatawan. Sepertinya mereka sudah pulang. 

Bergantian di sisi kiri, lima kapal tertambat saling berdekatan. Puluhan orang riuh berenang. Aktivitas snorkeling memang memikat para wisatawan. Mereka menikmati pemandangan bawah laut yang beragam ikan serta terumbu karang. 
Pemandangan selama penyeberangan
Pemandangan selama penyeberangan
“Kalau sewa alatnya itu, satu paket 45000 rupiah, bang,” Ujar nahkoda kapal. 

Lagi-lagi aku mengangguk. Perjalanan kali ini memang tidak untuk bermain air. Rombongan yang bersamaku kepincut pasir putih di pantai. Sedari awal, mereka bilang ingin berfoto di hamparan pasir. Tentu ini menjadi tugasku, terlebih di sini aku membawa peralatan kamera. 

Pulau Lengkuas dan Ikon Mercusuar 

Suara mesin kapal mulai rendah, laju kapal pun melambat. Nahkoda memainkan kemudi di belakang. Menempatkan kapal agar bisa bersandar langsung di bibir pantai. Lima kapar tersandar rapi. Semuanya membawa penumpang. 

Satu persatu rombonganku turun. Mereka menyebar ke sudut pulau. Tentu berfoto bareng rombongan hingga swafoto dengan latar mercusuar. Aku serasa menjadi pemandu dadakan. Beberapa kali membantu mereka untuk foto bersama. 

Pulau lengkuas menjadi salah satu tujuan wisata yang melejit. Hamparan pasir luas bisa dijadikan area bermain pasir wisatawan. Wisatawan di sini lebih banyak bermain air, ada juga yang mengabadikan diri dengan latar bebatuan ataupun mercusuar. 
Pasir putih di Pulau Lengkuas
Pasir putih di Pulau Lengkuas
Nyiur-nyiur melambai dan menjadi salah satu tempat untuk berteduh sembari menikmati semilir angin laut. Di pulau ini sudah ada bangunan yang berdekatan dengan mercusuar. Konon, mercusuar ini adalah peninggalan masa Belanda. Dari berbagai literatur disebutkan, pembangunan Mecusuar di pulau Lengkuas pada tahun 1882. Mercusuar di pulau Lengkuas ini masih berfungsi sebagai penanda kala malam hari. 

Aku tidak mau menyia-nyiakan waktu, kuletakkan kamera dengan penyanggahnya. Lantas mengabadikan diri di atas batu, membelakangi mercusuar. Menariknya, waktu aku mengabadikan, tidak ada wisatawan yang terlihat di belakang. Mereka sedang asyik bermain air. 
Pulau Lengkuas dengan ikon mercusuar
Pulau Lengkuas dengan ikon mercusuar
Kombinasi daratan di pulau Lengkuas ini menarik, salah satu sisi pulau merupakan bebatuan granit khas Belitung. Aku berjalan menapaki bebatuan tersebut, melihat lanskap indah pulaunya. Benar-benar menarik. Pantas saja pulau Lengkuas menjadi salah satu destinasi wisata andalan di Belitung. 

Jika para rombongan anak-anak beserta keluarga bermain air tepat di hamparan pasir. Berbeda halnya dengan para remaja atau yang lebih dewasa. Mereka lebih suka berenang dibalik bebatuan granit. Airnya lebih tenang, dan tentu saja sedikit lebih dalam. Dari salah satu batu yang menjulang tinggi, aku kembali memotret. 
Wisatawan berenang di antara batu-batu menjulang tinggi
Wisatawan berenang di antara batu-batu menjulang tinggi

Bebatuan Granit di Pulau Batu Berlayar 

Meski tidak lama di pulau Lengkuas, aku tetap bisa menikmati perjalanan kali ini. Stok foto cukup banyak, sempat juga merekam untuk keperluan vlog. Rombongan kembali naik kapal menuju pulau kedua yang bernama Batu Berlayar. 

Rasanya baru sebentar nahkoda menarik tuas mesin, kapal kembali melambat. Di depanku tampak bebatuan tersebar di tengah laut, ada sedikit pasir putih yang terhampar. Sekilas ini mirip pulau Gosong. Namun unik karena didominasi bebatuan granit. 

Plang papan sederhana bertuliskan “Pulau Batu Berlayar” menjadi spot foto wisatawan. Mereka menjadikan plang tersebut sebagai penanda di mana dia sekarang berfoto. Pulau kecil ini cukup sepi, hanya ada dua kapal yang bersandar. 
Mendarat di Pulau Batu Berlayar
Mendarat di Pulau Batu Berlayar
Rombongan kapal yang sudah lebih dulu bersandar ternyata komunitas fotografer dari Jakarta. Mereka trip ke Belitung, memotret keindahan pantainya. Segala peralatan kamera lengkap berbagai lensa. Pun dengan dengungan drone yang merekam lanskap pulau ini dari atas. 

“Setelah ini kami mau ke pulau Lengkuas, mas. Motret sunset di sana pasti bagus,” Ujar salah satu rombongan fotografer. 

Aku sepakat dengan pendapatnya. Memang sunset di pantai itu indah, walau sekarang sedikit mendung menggelayut. Langkah kakiku menyusuri pulau mungil ini, menyelusup di antara bebatuan, dan memotret pemandangannya. 

Menurutku pulau Batu Berlayar ini jauh lebih indah jika diabadikan menggunakan drone. Namun tidak perlu khawatir. Kita tetap bisa menikmati berswafoto di bebatuannya. Aku mencari sudut yang pas, lalu berpose ala-ala mendorong batu besar. Padahal, tangan kiri fokus melihat gawai. 
Mengabadikan diri di Pulau Batu Berlayar
Mengabadikan diri di Pulau Batu Berlayar
Di pulau ini tidak ada aktivitas bermain air. Rata-rata pengunjung yang datang ingin berfoto di bebatuan. Mungkin kunjungan ke pulau Batu Berlayar dijadikan sebagai bonus bagi para pelaku wisata. Atau malah memang untuk mengabadikan diri dari atas pakai drone? Memang menarik sih kalau fotonya dari atas. 

Ramainya Wisatawan di Pulau Kelayang 

Dari tiga pulau yang aku kunjungi, pulau Kelayang menurutku yang paling ramai wisatawan. Mungkin salah satu faktornya adalah paling dekat dengan daratan Belitung. Waktu terus berjalan, kunjungan terakhir sebelum pulang ke pulau Kelayang. 

Di sini baru terlihat aktivitas wisatawan yang ramai. Sudut-sudut pantai riuh, anak-anak kecil bermain air bersama keluarga. Ada juga yang menyempatkan foto bersama, atau swafoto pada plang tulisan pulau Kelayang. 

Aku duduk di pasir, melihat para wisatawan yang asyik berlibur. Terkadang terdengar suara teriakan tawa panjang, mereka berlarian di pasir. Tidak mau kalah, suara jerit sambil tertawa juga terdengar dari anak-anak yang bermainan air laut. 

Pulau Kelayang meriah. Ada banyak warung kecil milik warga yang menawarkan aneka minuman. Di sudut yang lain sudah terdapat tempat sampah. Ya, semoga wisatawan yang datang juga turut andil membuang sampah pada tempatnya. Sehingga kebersihan pulau ini terus terjaga. 
Wisatawan bermain air di Pulau Kelayang
Wisatawan bermain air di Pulau Kelayang
Sembari menikmati waktu menjelang sore, aku kembali mendokumentasikan keramaiannya. Tidak ketinggalan mengambil rekaman vlog. Tujuanku tentu sebagai pelengkap tulisan dan foto yang nantinya terposting di blog. 

Tulisan pulau Kelayang di ujung daratan menarik perhatianku. Untuk sejenak aku berhenti, ada wisatawan yang lain sedang berfoto. Secara bergantian kami saling membantu mengabadikan diri di tulisan tersebut. Rombongan yang aku ikuti pun foto bersama di spot ini. 

Waktu semakin berangsur sore, kapal-kapal yang ada mulai meninggalkan pulau. Aku sudah berada di atas kapal. Menyeberang menuju daratan pantai Tanjung Kelayang. Tidak berapa lama kapal sandar, rombonganku berkumpul, dan aku turut bergabung untuk membayar share cost pengeluaran sewa kapal. 

“Tidak usah, mas. Sudah kami bayar. Cukup kirimkan foto-foto kami yang ada di kameramu,” Ujar salah satu rombongan. 

Tentu ini sebuah kabar yang menyenangkan. Lantas kusalin semua foto yang ada rombongan untuk kukirimkan. Harapannya mereka dapat menyebarkan keindahan pulau ini di media sosial pada saudara, kawan, dan sejawatnya. 
Mengabadikan diri di tulisan Pulau Kelayang, Belitung
Mengabadikan diri di tulisan Pulau Kelayang, Belitung
Aku percaya, geliat pariwisata di Belitung bisa lebih maju dengan pesat. Keindahan alamnya sudah menjadi modal utama. Tinggal faktor pendukung lainnya yang harus terus ditingkatkan. Wisata identik dengan akses transportasi, penyebaran penginapan dan pemesanannya mudah, serta kemudahan dalam mendapatkan informasi terkait destinasi. 

Selain itu, perlu juga bagi masyarakat setempat untuk aktif dalam mengenalkan event tahunan. Di Belitung sendiri sudah pernah ada Festival Tanjung Kelayang 2018 untuk mempromosikan destinasi wisata di Tanah Laskar Pelangi. Warga setempat juga harus mendukung dengan sajian kulinernya, dan juga cinderamata. Semua itu dapat meningkatkan geliat perekonomian. 

Ketika promosi sudah dicanangkan dengan baik melibatkan pimpinan, melalui semua kanal media, termasuk media sosial, serta adanya event tahunan, tentu Belitung makin menggoda para wisatawan domestik maupun manca. Ya, tidak salah jika Pantai Pulau Kelayang diharapkan menjadi salah satu destinasi andalan di kancah pariwisata Indonesia.

Medpresso Coffee and Garden, Kedai Kopi di Media Pressindo Jogja

$
0
0
Coffee Latte di Medpresso Coffee and Garden Jogja


Sedari awal berdiri, Medpresso Coffee and Garden sebenarnya sudah menarik perhatianku. Namun, aku datang ke tempat ini tidak pada saat yang tepat untuk nongkrong. Kali pertama datang, kedai kopi ini baru diresmikan, belum ada jaringan internet, dan sedang ada acara kolaborasi Cabaca dengan Lion Parsel. 

Aku menyesap kopi tepat di bawah pohon rambutan yang buahnya terlihat merah. Sesekali berbincang dengan orang-orang dari Dongeng Kopi yang bertugas di bagian registrasi. Dua hari berturut-turut, ada acara di kedai kopi ini; salah tiga pembicaranya adalah Mas Renggo (Dongeng Kopi), Irwan Bajang, dan Windy Ariestanty

***** 

Selang waktu lumayan lama. Akhirnya aku kembali mengunjungi kedai kopi ini. Sempat aku mencari tulisan terkait Medpresso Coffee, di sana sudah ada beberapa tulisan teman-teman blogger. Sepengetahuanku, memang ada komunitas yang diminta datang untuk mengulas kedai kopi tersebut. 

Berlokasi di Jalan Cempaka Putih No.8, Karang Gayam, Caturtunggal, Medpresso Coffee cukup strategis. Selain berada di sekitaran area kos, kedai ini juga tidak jauh dari hotel. Satu hal yang sedari awal aku suka tempat ini adalah tempatnya luas. 
Suasana depan meja bar Medpresso Coffee and Garden Jogja
Suasana depan meja bar Medpresso Coffee and Garden Jogja
Dari luar, tampak cahaya temaram. Kedai kopi yang sepenuhnya berdinding kaca memperlihatkan pengunjung yang ada di dalam. Satu sofa panjang sudah ditempati teman-temanku. Mereka sedari sore sudah di sini mengerjakan tugas. Ada yang mengejar deadline, ada juga yang sekadar bersantai. 

Meja barista panjang membentuk huruf L. Para barista dan pramusaji sebagian kompak mengenakan apron. Tulisan Medpresso tercetak tebal, bagian bawah baru coffee and garden mengikuti logo melingkar. Aku menyapa teman sebelum melangkahkan kaki menuju kasir. 

Beranjak aku menuju kasir, melihat daftar menu yang tersedia. Di sana tidak tersedia manual brewing. Hingga akhirnya aku putuskan memesan coffee latte. Tentu pilihan ini paling tepat bagiku. Terkait harga, di sini cukup setara dengan kedai-kedai yang tidak jauh dari sini. 

Medpresso coffee tidak hanya melirik para pecinta kopi. Bermodalkan tempat yang cukup asyik, menu nonkopi beragam. Bahkan, menu nonkopi jauh lebih beragam. Menu pun menyesuaikan pangsa pasar. Tentu ini bisa menyenangkan para pengunjung yang ingin bersantai sembari mengerjakan tugas. 
Daftar menu dan harga di Medpresso Coffee and Garden Jogja
Daftar menu dan harga di Medpresso Coffee and Garden Jogja
Setiap berkunjung di kedai kopi baru, aku seringnya menyempatkan untuk memotret kedai kopi tersebut. Di sini pun sama. Selepas meminta izin memotret, aku langsung melihat sudut-sudut kedai kopi. Meski begitu, sebisa mungkin untuk tidak mengganggu pengunjung yang lainnya. 

Medpresso Coffee and Garden mempunyai 18 staf. Satu kali sif, ada 8 orang yang bekerja. Ini sudah mencakup barista, pramusaji, dan jurumasak. Satu deret kursi sofa, selebihnya adalah kursi kayu. Meja dan kursi tersebar di dalam ruangan. Lumayan banyak, sehingga kita bisa memilih tempat yang nyaman. 

Ruangan dalam kedai kopi ini memang nyaman untuk mengerjakan tugas. Ada banyak meja yang bisa dipilih. Untuk diketahui, tidak setiap meja ada colokan listrik. Ketika niat ingin menggunakan listrik, kalian harus bisa mengecek terlebih dahulu. 

Di depanku, satu rak panjang yang berisi koleksi buku membuat makin menyenangkan. Koleksi buku ini beragam. Beberapa koleksi di sini menarik perhatianku. Ada buku The Beatles hingga koleksi buku Serat Chentini 1-12. 

“Kalau malam ramai banget, mas,” Terang barista yang sedang membuatkan minuman. 

“Kadang kalau sedang ramainya, 8 orang saja terasa kurang, mas,” Celetuk pramusaji di sampingnya. 
Meja dan kursi di bagian dalam kedai kopi Medpresso Coffee and Garden Jogja
Meja dan kursi di bagian dalam kedai kopi Medpresso Coffee and Garden Jogja
Aku tidak kaget jika tempat ini ramai. Informasi dari barista, kedai kopi ini ramai selepas pukul 20.00 WIB. Menurutnya, semua tempat yang tersedia bahkan bisa kurang jika membludak. Tentu menarik bagiku, bagaimana mungkin tempat seluas ini bisa kekurangan kursi kala ramai. 

Menjelang malam, pengunjung makin banyak. kursi-kursi yang ada di dalam mulai terisi. Tidak ketinggalan yang ada di luar. Rata-rata yang datang rombongan. Tidak sengaja juga di sini bertemu dengan barista Dongeng Kopi. Kami saling sapa, hanya saja aku lupa mengingat namanya. 

“Nanti kalau luang aku mau mampir ke atas (Dongeng Kopi), mas. Sepertinya asyik sepedaan ke sana (Kaliurang), terus mampir ngopi,” Ujarku. 

Kalian yang sering mengopi di Jogja tentu tidak asing dengan Dongeng Kopi. Kedai ini kembali menyapa para pecinta kopi, anak-anak kelas, dan pelanggan lama di sekitaran Jogja. Hanya saja kali ini lokasinya sedikit di atas. Sekitaran kaliurang. 
Pengunjung kedai kopi sedang mengerjakan tugas
Pengunjung kedai kopi sedang mengerjakan tugas
Berlalu aku menuju bagian luar kedai kopi. Area luar yang luas dimanfaatkan sedemikian rupa. Tepat di depan pintu masuk sudah ada beberapa kursi dan meja. Bahkan ada satu kursi ayunan yang biasa di pantai. Tempat ini cukup teduh. 

Tak kalah teduh di bagian belakang, halaman belakang kedai ini rindang karena ada pohon mangga dan pohon rambutan yang cukup tinggi. Tersebar kursi dan meja kayu tepat di bawah pohon rambutan. Beberapa lampu menerangi tempat ini. Sementara itu, di seberangnya, jejeran kursi dan meja juga banyak. 

Suasana seperti ini membuat banyak orang yang ingin datang dan menepi. Menurutku, jika kalian berkunjung siang hari, tempat duduk yang berada di luar bisa menjadi spot yang menyenangkan. Kalian bisa menikmati suasana teduh sembari mengerjakan tugas. 

Berhubung kedai kopi ini satu tempat dengan Percetakan Media Pressindo, untuk toilet ada di luar kedai. Lokasinya tepat pada bangunan yang di tengah. Di sana pula terdapat musola. Untuk musola sudah ada satu ruangan khusus dan besar. 
Konsep ruangan outdoor di Medpresso Coffee and Garden Jogja
Konsep ruangan outdoor di Medpresso Coffee and Garden Jogja
Aku kembali menuju sofa tempat berkumpul. Minuman yang kupesan sudah datang. Tidak ketinggalan kudapan pisang goreng. Setiap kedai kopi mempunyai minuman andalan, tanpa terkecuali di Medpresso Coffee; di sini ada Honey Sweet Coffee bagi pecinta es kopi susu. Untuk nonkopi bisa memilih Medpresso Mojito Yakult. 

Untuk Honey Sweet Coffee-nya cukup aku rekomendasikan. Menurutku ini salah satu minuman yang pas di lidahku. Jika tidak salah menggunakan takaran double shot. Minuman yang Medpresso Mojito Yakult menurutku unik. Aku sempat menyicip minuman ini, ada yakult-nya pada gelas. Sayang tidak aku abadikan. Rasanya cenderung asam-manis. 

Oya, hampir terlupakan. Sewaktu di sini, aku melihat sedotan bambu di meja kasir. Di kedai kopi ini juga menyediakan sedotan bambu, siapa tahu kalian tertarik untuk membeli. Aku jadi ingat waktu Aqied pulang dari Bali. Dia membawa cinderamata sedotan dari bambu untuk dibagikan pada kami. 
kopi dan buku di Medpresso Coffee and Garden Jogja
kopi dan buku di Medpresso Coffee and Garden Jogja
Meski kedai kopi baru, Medpresso Coffee and Garden termasuk cepat menarik perhatian pelanggan. Didukung tempat yang menyenangkan, kedai kopi ini menjadi salah satu tempat tongkrongan para mahasiswa yang ingin menepi ataupun mengerjakan tugas. 

Menurutku, kedai kopi ini bisa menjadi alternatif blogger sepertiku kala suntuk. Terkadang kita ingin menepi dan mengunjungi kedai kopi yang nyaman dan tidak jauh dari area kos. Berlokasi di Gejayan tentu masih terjangkau olehku. *Medpresso Coffee and Garden; 14 Juni 2019.

Senja di Green Village Gedangsari Gunungkidul

$
0
0
Matahari terbenam dari ujung Gedangsari
Matahari terbenam dari ujung Gedangsari
Tuntas sudah menjelajah sedikit potensi di Desa Wisata Jarum, Klaten. Sedari awal, kami memang fokus melihat geliat potensi yang bisa menjadikan tempat ini sebagai desa wisata, dan pada masanya dapat menggaet wisatawan untuk berlibur di desa wisata Jarum. 

Sudah sore, jalan makadam kami lintasi menggunakan sepeda motor. Sebagai pelengkap, kami disempatkan untuk mengunjungi Green Village Gedangsari. Desa yang berada di perbatasan Klaten – Gunungkidul. Secara administratif, Gedangsari adalah bagian dari Gunungkidul. 

Sepanjang berjalanan, aku sudah ingin turun di tepian jalan. Memotret baskara yang bulat tanpa ada awan yang menutupi. Hanya saja aku menangguhkan. Bersabar agar secepatnya sampai di tujuan. Meski aku tahu, jalan menuju spot yang dituju penuh tanjakan dengan jalan cor. 

Aku pernah mendengar cerita kawan, jika pemandangan dari Gedangsari kala senja sangat indah. Terbukti selama perjalanan ini kulihat langit cerah dengan mentari yang bulan dan menggoda. Benar kata orang kalau dataran tinggi di Gedangsari menjadi spot favorit memotret sunset

“Semoga masih terkejar, mas,” Ujar pemuda desa Jarum yang mengantarku menuju Gedangsari. 

Aku hanya mengangguk seraya menatap baskara yang menggoda. Rombongan terpisah, kendaraanku paling depan. Lamat-lamat kulihat, sepertinya keindahan sunset di Gedangsari memberi isyarat lekas berlalu. 

Jalan cukup terjal, motor meraung kencang. Kendaraan roda dua ini berusaha mencapai tanjakan terakhir. Jalan sudah datar, motor secepatnya menuju area parkir. Aku berlari menuju pintu masuk Gedangsari. Selanjutnya mengerahkan seluruh tenaga meniti tangga. 
Secuil sunset dari Green Village Gedangsari, Gunungkidul
Secuil sunset dari Green Village Gedangsari, Gunungkidul
“Belum terbenam. Belum terbenam,” Ucapku berharap. 

Sampai di atas, aku langsung memotret matahari yang tinggal separoh. Tak sempat kuatur setelan kamera. Langsung memotret, dan terus menekan tombol shutter. Tak ayal, baru beberapa kali mengabadikan, sang baskara tenggelam tanpa menghiraukan kami yang ingin mengabadikan. 

“Dapat!?” Koh Halim dan teman yang lainnya terlambat naik. 

Aku menggeleng. Kami tertawa bersama melihat perjuangan ingin memotret sunset di salah satu spot terindah di Jogja. Rombongan sudah lengkap. Kulihat raut-raut capek mengejar waktu terpancar pada semua rombongan. 

“Tadi mau berhenti di tengah jalan, tapi kok sayang karena sudah dekat,” Terang Mbak Sasa sedikit menyesal. 

Semua juga mempunyai pikiran yang sama. Namun, tidak satupun dari kami berhenti untuk sekadar mengabadikan. Justru terus mengendarai kendaraan hingga sampai di Green Village Gedangsari. 

Sepertinya hanya aku sendiri yang sempat mengabadikan momen mentari terbenam. Tadi sempat terlihat matahari hendak menghilang di ufuk barat, tepat di atas barisan bukit dan sejajar dengan dua pohon Randu. 
Sang baskara sudah hampir tenggelam
Sang baskara sudah hampir tenggelam
Meski sunset telah berlalu. Semburat cahayanya masih tetap terlihat indah. Terlebih kami berada di dataran tinggi. Nun jauh di sana bentangan sawah indah dengan warna jingga. Berkali-kali aku mengabadikan, setidaknya ada sedikit keindahan yang bisa kulihat sore ini. 

“Ini kalau jadi tulisan judulnya, terlambat memotret senja di Gedangsari,” Celetukku. 

Hari makin petang, semburat rona jingga merekah di ufuk barat. Di sudut yang lain, Gunung Merapi dan Gunung Merbabu terlihat jelas. Warna siluet ini menarik diabadikan. Benar adanya, jika tepat waktunya, di Gedangsari pemandangan senjanya menggoda. 

Sejatinya, Gedangsari adalah salah satu destinasi wisata andalan di Gunungkidul. Berbeda dengan destinasi pada umumnya di kabupaten tersebut yang identik pantai atau berkaitan dengan air. Di sini kita dimanjakan panorama senja dengan hamparan sawah. 

Siang hari, Green Village Gedangsari sangat ramai. Ada beberapa joglo serta tempat semacam spot foto. Spot foto ala-ala yang ada di sini sudah mulai rapuh, menurutku sudah harus diganti. Terutama yang menghadap ke barat. 
Pemandangan Gunung Merapi dan Gunung Merbabu kala senja
Pemandangan Gunung Merapi dan Gunung Merbabu kala senja
Salah satu yang menarik minat para pengunjung ke sini adalah adanya flying fox panjang. Konon menjadi salah satu yang terpanjang di Indonesia. Sayangnya aku tidak bisa menyaksikan pengunjung yang menaiki flying fox tersebut karena sudah sore. 

Kami duduk di salah satu gazebo kecil. Sebagian teman mengelilingi jalur jalan kaki yang sudah ada anak tangganya. Tak ada target apapun, kami hanya mengabadikan sisa-sisa semburat senja. Warnanya masih tetap bagus diabadikan. 

Tidak ada yang menyesal meski tak bisa memotret mentari kala hendak terbenam. Kami tadi memang menikmati setiap perjalanan menjelajah sudut desa wisata Jarum. Mulai dari pembuatan batik, hingga pembuatan cobek dari batu. 

Lamat-lamat, petang menggelayut. Kami hendak bergegas turun. Menariknya di ufuk timur, rembulan tampak bulat. Sekilas ini seperti bulan purnama. Kami menikmati suasana di sini, angin sedikit berembus, hawa dingin rasanya mulai menusuk. 
Semacam bulan purnama
Semacam bulan purnama
Menjelang petang, angin berembus agak kencang. Sebagian dari kami menggigil. Rombongan para pemburu sunset yang terlambat menuju musola yang ada di bawah. Kami menyempatkan salat magrib berjamaah. 

Tak terlihat tulisan Green Village Gedangsari yang besar dan sering menjadi latar ketika pengunjung berfoto. Petugas yang di sini sudah tidak banyak, mereka duduk di salah satu warung yang berada di seberang jalan. 
Ranting pohon yang meranggas dan senja
Ranting pohon yang meranggas dan senja
Tuntas mengerjakan salat, kami semua turun kembali menuju desa wisata Jarum, Klaten. Malam besok pagi ada pertunjukan wayang tepat di depan perempatan balai desa. Sebelumnya, esok pagi aku dan rombongan turut mengikuti jalan sehat bersama warga. 

Pada kenyataannya, rombongan kami memang belum beruntung mengabadikan sunset di salah satu spot terbaik di Gunungkidul. Namun, secara keseluruhan, kami menikmati perjalanan ini. Sedikit hasil dokumentasi yang kudapatkan, mungkin bisa menjadi bahan pertimbangan untuk main ke Gedangsari. *Gedangsari, Gunungkidul; 25 Agustus 2018.

Cerita ala Barista dan Mantan Blogger di Tavor Café di Sunter

$
0
0
Menyeduh Kopi di Tavor Cafe Sunter
Menyeduh Kopi di Tavor Cafe Sunter
Terkadang ada sebuah perjalanan yang tidak terencanakan. Mengopi di tempat yang jauh dari kota domisili, hingga bertemu dengan orang baru serasa reuni bersama kawan lama. Itulah sejumput cerita yang aku alami kala berkunjung di Tavor Café daerah Sunter. 

Pagi menyambut ibukota, awal pekan ini ada tugas yang mengharuskanku menyambangi ibukota. Sudah cukup lama aku tidak menginjakkan kaki di sini. Keriuhan orang di Stasiun Gambir semacam sapaan dari secuil penghuni ibukota untukku. 

Tidak banyak kuingat, gedung menjulang tinggi tersebar merata sepanjang mata menatap lepas jauh. Aku menatap sedikit lanskap kota dari jendela kamar hotel. Melihat barisan gedung dengan warna seragam. Berbalut kabut polusi. 

“Aku ingin mengopi,” Ujarku pada rombongan tatkala istirahat sore. 

Sejak diberitahu mendampingi rombongan ke salah satu instansi di Jakarta Utara, aku langsung mencari informasi kedai kopi yang tidak jauh dari tempat menginap. Ada banyak kedai kopi di sana. Aku mulai membaca ulasan tiap pengunjung di Local Guide. 
Bangunan tinggi di sekitaran Jakarta Utara
Bangunan tinggi di sekitaran Jakarta Utara
Ulasan tersebut aku tekankan pada beberapa aspek. Kenyamanan kedai kopi ataupun kafe, komentar terkait menu, jam buka kedai, serta kapan terakhir pengunjung tersebut mengulas. tentu tidak lucu kalau kita datang ke tempat tersebut tahunya sudah tutup. 

Dari sekian banyak tempat tongkrongan yang kudapatkan, aku tertarik mengunjungi Tavor Café. Tempat ini bukan sepenuhnya kedai kopi, konsepnya lebih pada kafe. Namun, pilihan minuman tersedia kopi. Tidak lupa kutilik juga di instagramnya. 

Transportasi daring mengantarku hingga depan kafe. Berlokasi di Jalan Agung Utara Raya Blok A36D No. 30, Sunter, kafe ini satu deretan dengan ruko yang lainnya. Seingatku, di depannya ada semacam sungai kecil dengan pagar kawat berduri. 

Pintu aku dorong terbuka, suasana di dalam kafe cukup tenang. Satu orang sedang sibuk menatap layar laptop. Aku berlalu saja menuju bagian meja kasir. Ada dua orang di sini, satu lagi baru masuk, dia tadi yang terlihat di depan teras pintu masuk kafe. 

“Ada kopinya, mas?” Tanyaku pada barista berkaus merah dan mengenakan apron. 
Suasana di meja bar Tavor Cafe Sunter
Suasana di meja bar Tavor Cafe Sunter
“Kami ada beberapa biji kopi, mas,” Ujar beliau seraya menunjukkan berbagai kemasan biji kopi. Tidak lupa dia menginfokan terkait rasa. 

Aku meminta untuk dibuatkan dengan metode V60. Sembari berbincang santai. Di saat ini pula, aku meminta izin untuk memotret suasana kedai kopi, pun dengan daftar menu dan harga Tavor Café yang ada di meja. 

Ditilik dari harga yang tertera, menurutku harga ini memang sudah menjadi patokan di Jakarta. Kisarannya tentu lebih mahal dibanding harga minuman kopi di Jogja. Aku sudah paham hal tersebut, bergegas kubayar satu gelas minuman seharga 35000 rupiah. 

Di Tavor Café ini, aku menyeduh kopi ditemani baristanya. Mas Handy namanya. Beliau bersama mitra sesama barista bernama Mas Brian. Dari sini, aku menjadi sedikit tahu cerita perihal dibukanya Tavor Café. Bahkan kenapa tempat ini dinamakan Tavor. 

Desember tahun 2017, kafe ini dibuka pemiliknya. Pemilik kedai sengaja menyebut sebagai kafe bukan kedai kopi dengan penuh pertimbangan. Namun jangan salah. Tempat ini menyediakan berbagai biji kopi dengan varian seduhan. 
Daftar harga dan  menu di Tavor Cafe Sunter
Daftar harga dan  menu di Tavor Cafe Sunter
Di sini menu nonkopi sangat beragam. Tidak ketinggalan keik serta makanan berat. Karena inilah Tavor disebutkan sebuah kafe, bukan kedai kopi. Kalau kedai kopi, tentu segmennya lebih spesifik ke arah kopi saja. 

Dituturkan Mas Handy, pemilik kafe ini sangat paham dengan perkopian. Beliau mengenal kopi yang digeluti sekarang dari ABCD School of Coffee. Sebuah kedai kopi yang sudah prestisius sekali di Jakarta dan sekitarnya. 

“Meski namanya kafe, pemilihan biji kopi tetap diutamakan, mas.” 

Mas Handy sendiri pertama menggeluti perkopian di Bekasi. Di sana ada salah satu kedai kopi yang mengajari orang untuk mengenal lebih dekat tentang kopi. Dia menjadi barista pertama kala Tavor Café ini dibuka. 

Hingga sekarang di Tavor Café ada dua barista, satu kasir sekaligus pramusaji, dan dua jurumasak. Satu sif dilayani satu barista. Hal ini tetap masih terjangkau karena di Jakarta kedai kopi rata-rata buka pagi hingga pukul 20.00 WIB. Di Tavor Café sendiri buka mulai pukul 09.00 WIB – 22.00WIB. 

Obrolan kami berlanjut, setelah aku mengenalkan diri sebagai blogger, obrolan makin menarik. Ternyata dia juga pernah menjadi blogger, meski sekarang lebih suka bekerja di balik layar. Sampai sekarang dia masih suka membaca blog, khususnya blog milik Windy Aristanti. 

Sayangnya sekarang dia tidak lagi menggeluti dunia tulis-menulis. Namun dia tetap beraktivitas tidak jauh-jauh dari tulis-menulis. Katanya dia suka membaca puisi di tempat-tempat tertentu. Jiwa seniman mencuat katanya. 

Ada satu perkataan Mas Handy yang menarik menurutku, khususnya ketika kami membahas profesi blog. Dia berujar kalau masyarakat Indonesia ini masih tertarik dengan cerita, jadi tulisan blog masih bakal bertahan. Bahkan sekarang orang kembali menyukai audio layaknya radio dengan berkembangnya Podcast. 
Barista sedang membuatkan kopi
Barista sedang membuatkan kopi
“Ada beberapa orang menyebutnya sebagai foodblogger, tapi dia tidak punya blog. Hanya mengandalkan Instagram. Padahal blogger harus mempunyai wadah yang namanya blog. Kalau hanya Instagram, seharusnya dia disebut foodgram.” 

Aku tertawa kencang. Tentu pernyataan di atas aku setujui. Ada banyak tema yang kami diskusikan, tidak ketinggalan terkait kopi. Untuk sesaat obrolan terhenti, ada rombongan yang datang. Aku meminta izin menjelajah tiap sudut ruangan secara menyeluruh, termasuk lantai dua. 

Jelajah ruangan kafe aku awali dari lantai satu. Tepat satu arah dengan pintu masuk, ada tiga meja kecil dilengkapi sepasang kursi. Meja-meja ini bisa digunakan pengunjung yang datang sendirian (seperti aku), atau hanya berdua. 

Di ujung ruangan, yang berdekatan dengan dinding tangga ke lantai dua, terdapat satu meja panjang dengan kombinasi kursi sofa dan kursi biasa. Meja ini cocok untuk pengunjung yang datang rombongan. 

Sewaktu aku berkunjung, di lantai satu ada beberapa pengunjung. Satu orang yang sudah kusebutkan di awal (sendirian dan menyibukkan diri dengan laptop), serta satu rombongan tujuh orang yang berada di meja panjang. 
Lantai satu Tavor Cafe Sunter nyaman buat bekerja
Lantai satu Tavor Cafe Sunter nyaman buat bekerja
Dari tempatku duduk, terlihat tujuh orang ini sedang rapat internal membahas inovasi-inovasi yang nantinya mereka terapkan di tempat kerja. Suasana yang tenang sangat mendukung untuk diskusi kecil sembari menikmati makanan yang sudah dipesan. 

Naik ke lantai dua, anak tangga ini tidak terlalu besar. Salah satu dinding dijadikan semacam jendela. Cahayanya cukup membuat terang sekitarnya. Tepat di atas, sisi kiri ada wastafel dan toilet. Ruangan di lantai dua jauh lebih luas. 

Di sini ruangan terbagi menjadi dua. Aku tidak tahu ruangan yang tertutup tersebut. Dari luar terlihat meja panjang, pot bunga di tengah, serta kursi. Mungkin ruangan tersebut bisa dipesan bagi yang ingin rapat tertutup. Dinding penyekat berupa kaca transparan. 

Deretan sofa panjang melekat pada dinding. Dilengkapi dengan meja empat bulat. Pengunjung di atas lumayan banyak. sofa panjang tersebut sepertinya menjadi tempat favorit untuk bersantai. 
Ruangan di lantai dua Tavor Cafe Sunter juga asyik untuk bersantai
Ruangan di lantai dua Tavor Cafe Sunter juga asyik untuk bersantai
Aku tidak menjelajah tiap sudut di lantai dua. Takutnya malah mengganggu aktivitas para pengunjung yang sudah duduk santai, berbincang dengan sejawat. Meja yang lainnya juga lumayan ada pengunjung, khususnya meja sedikit besar dan ditempati empat orang. 

Tavor Café paham dengan keinginan pengunjung. Konsep tempatnya memang asyik untuk menepi sembari mengerjakan tugas ataupun deadline urusan kantor. Hal ini terlihat di sudut yang lain, seorang cewek menyempatkan untuk mengerjakan tugas di sela-sela memegang gawai. 

Menurut barista, perkembangan tempat tongkrongan di Jakarta Utara tidak begitu ramai seperti di Jakarta Selatan. Di sini rata-rata pengunjung yang datang menjadikan tempat ini sebagai salah satu lokasi alternatif untuk berdiskusi/rapat. 
Menyendiri di kafe untuk mengerjakan tugas
Menyendiri di kafe untuk mengerjakan tugas
Siklus pengunjung pun tidak bisa diprediksi. Biasanya di Tavor Café akhir pekan tidak begitu ramai. Namun, akhir-akhir ini mulai ramai pengunjung yang datang tiap akhir pekan. Meski tidak semua yang datang ingin menyeduh kopi. 

Walau tempat ini berlabel kafe, Tavor Café juga menyediakan minuman andalan layaknya kedai kopi. Untuk minuman signaturenya ada dua. Es Kopi Susu Gang Senggol (menggunakan gula aren) & Es Kopi Susu Anak Komplek (menggunakan milk). 

Aku kembali menyesap kopi, minuman ini sesuai dengan seleraku yang tidak terlalu tebal. Lantunan musik pelan, interaksi barista ramah dan enak diajak berbincang, serta suasana nyaman. Aku suka dengan suasana kedai semacam ini. Oya, bagi yang mempunyai balita, di sini juga tersedia kursi khusus balita. 
Sajian kopi di Tavor Cafe Sunter
Sajian kopi di Tavor Cafe Sunter
Tidak terasa satu setengah jam aku di sini. Banyak informasi yang kudapatkan dari Mas Hardy (barista) terkait perkembangan kopi di Jakarta. Beliau bahkan menawariku untuk berkeliling kedai kopi jika berkunjung lagi di Jakarta. Sebuah tawaran yang menarik bagiku. 

“Kita tidak tahu ke depannya. Menurutku, kopi kemasan yang tinggal seduh mungkin tahun depan menjadi daya tarik tersendiri bagi pecinta kopi. Meski kita tahu, minat pecinta kopi masih pada es kopi susu,” Ujar Mas Hardy. 

Aku jadi teringat kopi siap seduh yang dulu sempat ada di meja bar Lokus Coffee. Kopi kemasan ini juga yang temanku bawa kala dia sedang melakukan perjalanan ke luar kota. Perkembangan kopi memang sedang menanjak signifikan, semoga selaras dengan kemakmuran petani kopi di Indonesia. *Tavor Café; 09 Juli 2019.

Gowes Akhir Pekan ke Grojogan Watu Purbo Bangunrejo, Tempel

$
0
0
DAM Grojogan Watu Purbo di Tempel
Tidak ada habisnya destinasi pesepeda di Jogja untuk dikunjungi. Sama halnya dengan tempat satu ini, kurun waktu beberapa bulan terakhir, bertebaran di lini masa media sosial foto semacam DAM Air bertingkat. Namanya Grojogan Watu Purbo. 

Selama ini aku hanya fokus menceritakan destinasi kala bermain di luar Jogja. Hingga ada yang mengirimkan pesan kalau menunggu tulisan yang berkaitan dengan sepedaan. Aku melihat tulisan tahun 2019, sedikit mengulas destinasi ataupun aktivitas bersepeda di Jogja. 

Di waktu yang hampir bersamaan, salah satu pesepeda ada yang mengajakku untuk blusukan bersama komunitas. Pitnik, komunitas sepeda ini sedang mengadakan gowes bersama. Mumpung akhir pekan luang, aku menyanggupinya. Sesaat aku mencari tahu nama destinasi tujuan yang ada di Tempel. 

Minggu pagi, cuaca selama sepekan di Jogja mendung. Bahkan selama dua hari ini matahari menghilang kala pagi. Lantas siang terik, dan sore kembali mendung. Pedal sepeda kukayuh dengan ritme teratur, jalanan menuju Terminal Jombor masih sepi. Aku datang awal, menunggu rombongan di tepian jalan. 
Menunggu rombongan sepeda di Terminal Jombor
Menunggu rombongan sepeda di Terminal Jombor
Cukup lama aku menunggu, berbincang dengan kawan sembari menantikan rombongan dari Tugu Jogja. Tidak sengaja di sini juga bersua dengan kawan Federal yang juga ikut gowes akhir pekan. Obrolan kami tidak jauh-jauh dari sepeda. 

Sebenarnya rute menuju Grojogan Watu Purbo gampang. Tinggal melintasi jalan Magelang hingga sampai Jembatan Krasak (Tempel), belok kanan, dan cari gapura Dusun Bangunrejo. Alamat lengkapnya di Bangunrejo, Merdikorejo, Kec. Tempel, Kabupaten Sleman. Kalau bingung, tinggal tanya warga setempat. 

Berhubung ini sepedaan bareng komunitas, jalur yang kami lewati agak melebar. Melintasi Jombor – arah Segeyan – Cebongan – hingga melintasi pasar bawah jembatan Krasak. Ritme bersepeda juga jauh lebih lambat. 

Tepat di Pasar bawah jembatan Krasak, aku berhenti. Lavin dan Andar antre menunggu kue pukis. Aku dan Mbah Kung berbincang. Kali ini obrolan kami seputar fotografi. Banyak hal yang aku serap dari obrolan terkait Human Interest. Ternyata Mbah Kung sudah sejak lama menggeluti dunia fotografi. 

Rombongan sudah jauh di depan, kami berempat menyusul. Sempat kebingungan arah, hingga bantuan warga setempat terkait lokasi destinasi. Jalur melintasi perkampungan. Pemuda desa sedang gotong-royong membersihkan jalan. Mereka menyambut persiapan Agustusan. 

Silih berganti sepeda lalu-lalang, warga setempat beraktivitas seperti biasa. Rombongan sepeda yang jumlahnya banyak orang ini membuat anak-anak kecil berdiri di depan rumah. Melihat rombongan yang berdatangan. Sesekali ada yang menyapa dengan senyuman. 

Mendekati tujuan, ada dua jalur. Jalan berubah menjadi bebatuan dan berlumpur. Sepeda yang direkomendasikan ke sini adalah MTB. Dua jalur di depan, semuanya bisa sampai lokasi. Yang lurus lewat bawah, sementara yang belok kanan melewati jalur atas. 
Rute bebatuan di sekitaran Grojogan Watu Purbo
Rute bebatuan di sekitaran Grojogan Watu Purbo
Aku melintasi jalur bawah. Turunan tidak terlalu tajam, namun elok untuk diabadikan. Bagi yang mau datang ke sini, aku rekomendasikan melintasi atas. Aku baru mendapatkan kabar jika di sana ada gelaran lapak warga setempat yang berjualan jajanan pasar. 

Mungkin kita butuh kudapan, teh hangat, dan yang lainnya. Sehingga bisa membeli ke warga. Konon belum ada warung, hanya gelaran tikar yang dipenuhi kudapan yang dibuat warga setempat. 

Jalur bawah ini menarik, ada spot-spot yang bisa dipotret. Usai turunan, jalan pun datar. Sesekali menerabas genangan air. Dari sini tampak DAM yang ramai di media sosial tersebut. Rumput Ilalang menyambut kami, pun dengan suara air mengalir. 

Musim kemarau membuat aliran Grojogan Watu Purbo ini kecil. Meski begitu, antusias pesepeda tetap tinggi. Mereka bergantian mengabadikan diri menggunakan gawai. Ada pula yang rela mengangkat sepeda mendekati aliran air. 
DAM Bertingkat Watu Purbo, Tempel
DAM Bertingkat Watu Purbo, Tempel
Debit aliran Sungai Krasak di musim kemarau
Debit aliran Sungai Krasak di musim kemarau
Aku menghitung tembok DAM. Ada lima tingkatan. Tempatnya pun jauh lebih luas. Pemandangan ini mengingatkanku pada DAM Mangunsuko yang awal tahun pernah hits. Keduanya mirip, yang membedakan tentu di sini tidak ada jembatan gantung. 

Berbeda dengan yang lain sibuk mengabadikan diri bersama sepeda dengan latar tingkatan DAM. Aku menuruni sungai, mendekat aliran air yang tidak deras. Lantas mengambil gambar. Cahaya mendung serta siang hari membuat hasil foto seadanya. 

Penambang Pasir, Pengumpul Batu, dan Pemancing Ikan 

Seorang bapak yang memecah bongkahan batu bercerita, DAM ini sudah ada sejak tahun 1992. Hingga kini menjadi cor bertingkat karena biaya dari Dana Desa. Beliau menuturkan jika sudah lama tempat ini menjadi destinasi tujuan pesepeda. 

“Baru enam bulan terakhir ini ramai banget, mas,” Terangnya sembari menyeka keringat. 

Kedatangan rombongan pesepeda membuat bapak ini menghentikan aktivitasnya untuk beberapa saat. Beliau melongok, memperhatikan para pesepeda yang berfoto. Lantas, diambil kembali penancal kecil dan palu. 

Bunyi penancal tidak menggema. Sedikit demi sedikit bongkahan batu tersebut membentuk garis retak. Ritme memalu teratur, tiap hentakan berjeda sepersekian detik. Lambat laun batu retak, dan terpisah. Aku terus mengamati aktivitas pendulang bebatuan. 

Suara seloroh dari rekannya yang hanya menemani beliau terlontar untukku. Beliau berseloroh agar aku memotret aktivitas temannya. Kurespon dengan cepat, mengambil kamera, dan mengabadikan. Lalu mendekat dan berbincang. 
Warga yang mengumpulkan batu sungai
Warga yang mengumpulkan batu sungai
Pak Budi Namanya. Beliau salah satu dari warga Tempel yang mengumpulkan bebatuan dari sungai. Sejak kelas 6 SD pada tahun 1977, beliau sudah terbiasa dengan profesi mengumpulkan batu sungai. Di sungai ini, beliau sejak tahun 2010. 

Pekerjaan yang digeluti sejak kecil ini menjadi penopang perekonomian keluarganya. Beliau berujar, bulan ini harus menghasilkan banyak batu untuk diambil mobil karena anaknya yang kuliah di UNY sudah mau membayar semester. 

Satu bak mobil Colt, bebatuan itu dihargai antara 300.000 – 400.000 rupiah. Untuk menghasilkan satu bak dibutuhkan waktu tiga sampai empat hari. Harapannya tentu hari ini beliau bisa menghasilkan banyak bongkahan batu agar pengeluaran bulan depan tertutupi. 

Beda halnya dengan Pak Budi, rekannya yang bernama Pak Hari mengumpulkan pasir. Mereka sepertinya sangat akrab. Selama di sini, entah berapa kali keduanya saling berseloroh, mengundang tawa bagi yang mendengarkan. 

“Kalau saya nggak telaten bongkah batu, mas. Saya di sini mengumpulkan pasir,” Ujar pak Hari. 

“Sama seperti Pak Budi. Dia juga nggak telaten kalau disuruh mengumpulkan pasir,”Tambah beliau. 

Selain para mengumpul batu, di sungai Krasak ini juga ada yang mengumpulkan pasir. Pagi ini, yang terlihat mengumpulkan pasir hanya dua orang, Pak Hari dan seorang simbah perempuan. Tumpukan pasir ini nantinya juga diangkut menggunakan mobil Colt. 
Mengambil pasir di aliran sungai
Mengambil pasir di aliran sungai
Harga pasir jauh lebih murah dibanding batu, begitulah yang diutarakan Pak Hari. Namun, beliau yakin jika ditekuni secara sungguh-sungguh, pasti rezeki itu datang. Aku terdiam, mengamini apa yang beliau utarakan. 

Aliran sungai Krasak ini panjang. Meski bulan kemarau, gemericik suara air tetap terdengar. Tidak jauh dari DAM, hanya berjarak kurang dari 200 meter dari tempat dua kawan mengumpulkan batu dan pasir, terlihat banyak orang yang berada di tepian sungai. 

Cekungan-cekungan di sekitar sungai tampak jelas. Air tampak tenang, tandanya cekungan tersebut airnya lumayan dalam. Eceng gondok menutupi sebagian kubangan tersebut. di sana sudah melingkar orang memegang jorang. 
Para penghobi memancing di sungai Krasak
Para penghobi memancing di sungai Krasak
Akhir pekan, banyak orang-orang penghobi memancing yang singgah di sini. Menurut mereka, ada ikan yang didapat, mesti tidak banyak. Mereka tidak datang sendirian, namun berkelompok. Mencari cekungan-cekungan yang lain, lantas menyiapkan alat pancing. 

***** 

Tidak terasa, aku cukup lama berbincang dengan dua warga setempat. Aku izin kembali berkumpul dengan pesepeda, meminta maaf karena waktu bekerja mereka tertahan. Kulihat, sebagian pesepeda sudah pulang. 

Dari bawah, aku menuju atas. Ada jalan yang bisa diakses. Sejenak aku lihat bagian atas Grojogan Watu Purbo. Ada semacam spot foto ala-ala dari bambu sederhana. Toilet, dan bekas ban sepeda motor yang dikelilingkan tiap batas area Watu Purbo. 

Tempat ini diharapkan bisa merias dir. Pihak warga setempat saling membahu untuk mengembangkan destinasi wisatanya. Sehingga bisa menggaet para wisatawan. Tidak perlu muluk-muluk, cukup untuk orang di daerah Tempel ataupun komunitas sepeda. 

Lebih baik lagi jika di sini dilengkapi dengan tempat sampah. Mungkin di atas sudah ada tempat sampahnya, namun yang di bawah masih minim. Selain itu, sangat disayangkan ada bongkahan batu yang dicat dan tertulis “Watu Purbo”. Cukup menggunakan plang papan saja. 
Pesepeda meninggalkan Grojogan Watu Purbo
Pesepeda meninggalkan Grojogan Watu Purbo
Kita tidak tahu, ke depannya tempat ini bisa ramai atau tidak. Jika dikelola dengan baik, aku percaya tempat ini bisa ramai layaknya destinasi tujuan kala musim penghujan. Debit air melimpah menjadikan pemandangan indah jika dipotret dengan kamera. 

Pun dengan pengunjung, untuk keselamatan diri sendiri, lebih baik tetap mengikuti aturan-aturan yang tertulis ataupun tidak. Pada musim tertentu, debit air melimpah, jadi harus bisa menjaga jarak dengan aliran sungai. 

Ketika destinasi ini dikelola dengan baik, fasilitas seperti toilet dan tempat sampah mumpuni, kebersihan terjaga. Pasti akan berdampak bagus untuk geliat perekonomian warga setempat. Setidaknya nantinya bakal ada warung-warung kecil milik warga setempat yang berjualan. *Grojogan Watu Purbo, Tempel; 28 Juli 2019.


Afiliasi DomaiNesia: Gabung dan Dapatkan Jutaan Rupiah

$
0
0
Di manapun tempatnya tetap cek blog
Ada banyak jenis bisnis, mulai dari yang sederhana dengan sedikit modal,hingga yang kompleks dengan modal yang tidak sedikit. Salah satu di antaranya adalah afiliasi. Afiliasi secara sederhana diartikan sebagai sebuah sistem di mana seseorang merekomendasikan ke orang lain tentang suatu produk, dengan memasang link atau banner di website. 

Dari aktivitas tersebut, kamu akan mendapat persenan jika ada orang yang memesan produk melalui banner yang kamu pasang. Berapa keuntungan atau persenan yang kamu dapat tergantung dari ketentuan penyedia afiliasi. 

Perlu tidaknya modal pun tergantung pada penyedia afiliasi, oleh karena itu kamu harus mencermati ketentuan afiliasi yang ditawarkan. Jangan sampai malah membuat kamu rugi bandar. 

Sebagian besar blogger, mendapatkan keuntungan dari afiliasi seperti ini sudah menjadi hal rahasia umum. Meski aku belum mengikutinya, namun untuk perkembangan terkait afiliasi sering aku ikuti pada seminar ataupun saat aku sedang diskusi santai bersama kawan. 
Mengopi sambil menulis draf blog
Mengopi sambil menulis draf blog
Afiliasi adalah salah satu cara bagi blogger untuk mendapatkan uang dari blog. Di mana kamu bisa menemukan perusahaan yang menyediakan kerjasama afiliasi? Ada banyak perusahaan yang menawarkan afiliasi, salah satunya DomaiNesia. 

Apa itu DomaiNesia? 

DomaiNesia adalah perusahaan penyedia layanan cek domain dan hosting terkemuka di Indonesia. Jika dirasa cocok dan tersedia, kamu bisa langsung memesan nama domain tersebut. 

Kembali ke afiliasi. Jika kamu tertarik untuk bergabung dalam bisnis afiliasi DomaiNesia, mendapatkan keuntungan dari sana, tentu kamu harus paham dulu dengan DomaiNesia. Bagaimana proses pendaftarannya, hingga tahu keuntungan yangnantinya kamu dapatkan. 
Tampilan informasi afiliasi di DomaiNesia
Tampilan informasi afiliasi di DomaiNesia


Salah satu daya tarik dari bisnis afiliasi adalah komisi yang besar. Di DomaiNesia sendiri, kamu bisa mendapatkan komisi hingga 30%. Manfaat lain yang bisa kau dapatkan dengan mendaftarkan diri ke afiliasi DomaiNesia, di antaranya;

Mendapatkan penghasilan tambahan– Ketika kamu mendaftarkan diri di Domainesia dan mereferensikan layanannya. Dari sana kamu mendapatkan penghasilan tambahan sedikit demi sedikit.

Link afiliasi khusus - Setelah mendaftarkan diri sebagai afiliasi DomaiNesia, kamu akan mendapatkan link afiliasi khusus yang bisa berfungsi sebagai pelacak penjualan yang didapat setelah kamu merekomendasikannya ke beberapa orang.

Komisi kamu bisa langsung masuk ke rekening– Komisi afiliasi bisa masuk ke rekening kamu. Jika dalam proses transfer ada biaya administrasi, akan dipotong dari komisi tersebut.

Tentukan sendiri kode promo kamu - Kamu bisa membuat kode promo sesuai keinginanmu tanpa harus mengikuti kode promo yang ada di website DomaiNesia. Jadi, kamu bisa berkreasi sendiri menentukan kode promo unik tersebut. Kode promo yang unik bisa membantu kamu memperoleh tambahan yang lebih besar.

Membeli layanan DomaiNesia dengan komisi - Hasil yang sudah kamu dapatkan dari hasil afiliasi akan masuk ke akun DomaiNesia sebagai deposit. Deposit tersebut bisa kamu pakai untuk membeli berbagai layanan yang ada di DomaiNesia, seperti membeli domain dan hosting atau bahkan membayar tagihan.

Disediakan media promosi– Di sini ada banyak pilihan banner yang menarik dan unik yang bisa digunakan. Kamu bisa memilih dan menyertakan banner tersebut di website kamu supaya pengunjung berminat membeli layanan DomaiNesia dari link afiliasi kamu.Pencairan komisi cepat - Setelah kamu melewati masa tenggat 30 hari, proses pencairan komisi bisa dilakukan dengan minimal pencairan sebesar 100.000 rupiah.

Statistik yang real time, detail, dan akurat - Kamu pasti akan penasaran dengan jumlah pengunjung dan komisi yang diperoleh. Oleh karena itu, DomaiNesia memberikan fasilitas berupa statistik yang bisa kamu akses kapan saja. Dengan adanya statistik ini kamu bisa melihat perkembangan bisnis afiliasi kamu.

Itu adalah beberapa keuntungan yang akan kamu peroleh jika bergabung dengan afiliasi DomaiNesia. Selain itu, akun afiliasi kamu tidak ada masa kadaluarsa, namun pastikan juga kamu tidak melanggar TOS Afiliasi DomaiNesia. 

Kamu bisa mendapatkan komisi untuk setiap pembelian hosting, paket hosting, dan VPS Murah DomaiNesia dengan siklus berapapun. Kamu juga bisa membuat pengaturan tentang bagaimana komisi akan dicarikan, dalam bentuk saldo atau masuk ke rekening bank. Informasi lebih lengkap bisa kamu baca di domainesia.com/afiliasi atau chat Tim Support yang siap melayani 24 jam. 

Bagaimana? Tertarik untuk mengikuti Afiliasi DomaiNesia? Sepertinya ini tawaran yang menarik bagiku. Lumayan kan untuk menambah pundi-pundi tabungan. Siapa tahu nantinya uang tersebut bisa untuk mengopi selama sebulan. *Eh. 

Geliat Kopi Lokal di Java Coffee Festival

$
0
0
Bincang kopi nusantara
Hawa dingin menyeruak. Jaket tebal yang kukenakan masih belum sepenuhnya mampu menahan rasa dingin. Untungnya semburat cahaya baskara di pagi membuat aku lebih nyaman. Meski tidak minus, suhu di dataran tinggi Dieng tetap jauh lebih dingin. 

Hilir mudik panitia beraktivitas. Mereka sudah memasang 18 stand kopi, pun dengan panggung besar di depannya. Hamparan rumput depan panggung diberi karpet. Nantinya, tempat ini menjadi area duduk para pengunjung yang ingin berdiskusi tentang kopi. 

Lamat-lamat kabut datang. Semilir angin kembali menusuk kulit. Lagi-lagi, aku merekatkan jaket. Di depan stand, kusapu pandangan, tempat ini mulai ramai pengunjung, aroma kopi, dan suara mesin penggiling biji kopi. 

Pukul 11.58 WIB, panggung depan yang bertuliskan “Java Coffee Festival” sudah ramai. Tiga pembicara bergantian cerita dengan bantuan pemantik. Ketiga pembicara ini bergelut dengan dunia kopi. Hanya saja segmennya berbeda. 
Stand-stand kopi masih dalam persiapan
Stand-stand kopi masih dalam persiapan
Dari pelantang, aku mendengar nama Pak Budi, Muhammad Aga, dan Pak Purnomo Eko. Moderator mengenalkan ketiganya. Dari sini, aku dapat menangkap informasi bahwa mereka adalah pembuat film, barista, dan pemilik kebun kopi. 

Meski aku tidak sepenuhnya mengikuti berbagi cerita pengalaman yang dikemas dengan santai. Satu hal pesan yang kudapatkan di sini. Semua orang (baik pembicara, pengunjung, dan panitia) menginginkan jika kopi tidak hanya memakmurkan kedai yang ada di kota, tapi sampai ke petaninya.

Selaras dengan keinginan panita sejak awal. Adanya stand-stand kopi yang memang sengaja dikonsep banyak kedai kopi di luar kota. Tujuannya agar mereka bisa saling mengenal, menjalin komunikasi, hingga pada akhirnya bisa menjadi mitra. 

Bincang santai tentang kopi di Java Coffee Festival 2019
Bincang santai tentang kopi di Java Coffee Festival 2019
Pada akhirnya, bincang santai yang bertajuk “Wani Ngopi Luhur Wekasane” mendapat banyak pertanyaan dari para pengunjung. Respon ini menunjukkan geliat para pengunjung untuk bisa saling berbagi cerita, kegelisahan terkait kopi, hingga menuangkan ide-ide yang awalnya hanya terendap dalam pikiran.

Aku kembali berkeliling. Menyusuri tiap stand, menyapa kawan yang bertemu di lokasi yang sama, hingga membeli kopi untuk kuseduh. Di sini, aku melihat beberapa pegiat kopi dari Jogja. Tak sempat kusapa, mereka asyik mendengarkan bincang santai siang ini. 

Pesona Kopi Bowongso Memikat Pengunjung

Pengunjung terus memenuhi tanah lapang. Aroma kopi makin menyebar dari berbagai penjuru. Suara sruputan kopi ala barista terdengar. Para barista sibuk meracik kopi, sebagian lagi menerangkan informasi tentang biji kopi kepada pengunjung stand. 

Punggung-punggung para pengunjung menutupi aktivitas barista. Gelak tawa terlontar di antara suara tawaran harga kopi. Air di dalam ketel mulai menguap, lantas berpindah pada wadah dan menyirami biji kopi yang sudah digiling. Para barista tak sempat istirahat. 
Antusias pengunjung stand di Java Coffee Festival 2019
Antusias pengunjung stand di Java Coffee Festival 2019
Di stand Wonosobo Manual Brew Competition pengunjung tak kunjung usai. Silih berganti mereka datang, bertanya-tanya terkait kopi lokal yang sudah dalam kemasan. Kopi Bowongso dan Kopi Klowoh. Dua kopi ini menarik perhatian pengunjung festival. 

Jika kita bertanya tentang kopi lokal di Wonosobo, tentu semua orang pasti bakal menyebut kopi Bowongso. Aku pun demikian, selama ini mengenal tempat tersebut begitu kondang dengan hasil kopinya. Beruntung, hari ini aku berada di lingkaran para pemerhati kopi dari Bowongso. 

Kemasan kopi yang berukuran 100 gram tandas dalam waktu singkat. Oleh-oleh kopi dalam kemasan tersebut menjadi barang yang paling direbut banyak pengunjung. Tak hanya satu bungkus, bahkan satu orang ada yang mengambil sampai Sembilan bungkus. 

Dihargai 35000 rupiah/100 gram, para pengunjung rebutan mengambil. Aku melihat bagaimana teman-teman dari Bowongso mengisi kopi ke dalam kemasan, lantas memajangnya lagi. Setiap dipajang, langsung habis. Kopi Arabika yang berasal dari Bowongso, Kecamatan Kalijajar tersebut menunjukkan pesonanya. 

“Di Bowongso, penjualan kopi hanya dari satu pintu. Mereka menanam, memanen, hingga menjual biji kopi dari satu pintu. Itu yang membuat Bowongso dikenal hingga sekarang,” Ujar salah satu baristanya. 
Kopi Bowongso dan kopi Klowoh
Kopi Bowongso dan kopi Klowoh
Benar adanya, geliat kopi di Indonesia menjadikan kopi-kopi lokal bisa menunjukkan eksistensinya. Kopi Bowongso sendiri yang sejak awal sudah tertata rapi dari petani hingga penjualannya mulai memanen rezeki. 

Seperti yang diceritakan Mas Itok, pemilik kedai Kopi Bahagia di Wonosobo. Beliau mengatakan semua stok biji kopinya diambil dari Bowongso. Selain karena sudah tahu kualitasnya, beliau juga kenal secara akrab dengan orang-orang di Bowongso. 

“Ya, saya sendiri mengambil stok kopi dari Bowongso,” Ujar Mas Itok sembari menyeduh kopi untuk pengunjung stand. 

Menurut beliau, di sekitar daerahnya geliat kopi sudah ada sejak dulu. Bahkan, di Kalibeber ada 13 kedai kopi. Separoh dari kedai tersebut ada menu untuk manual brew. Kisaran harga 12000 rupiah tiap gelas. Tentu stok diambil dari Bowongso. 

Pengenalan Pendatang Baru Kopi Klowoh 

Pamor kopi Bowongso di stand secara tidak langsung membuat kopi lokal yang lain juga naik. Satu stand terdapat dua kopi, Bowongso dan Klowoh. Kopi Klowoh ini baru dijual dalam bentuk kemasan sejak tahun 2018. 

Mas Tyas (Joyo Kopi Lokal), orang yang mengenalkan kopi Klowoh turut sibuk. Banyak juga pengunjung yang membeli kopinya dalam kemasan. Kopi Klowoh Arabika dihargai 30.000 rupiah/100 gram. Untuk yang Rubosta seharga 25000 rupiah. 

Beliau menuturkan jika ini kali kedua kopi Klowoh dipamerkan. Pertama, pada akhir bulan juli di Jogja (Ngopi di Museum V). Sedangkan kedua di Java Coffee Festival ini. Meski agak asing, tetap saja peminatnya banyak. Festival ini menjadikan Kopi Klowoh dikenal oleh khalayak umum. 

Dari sini, aku tahu tantangan kopi daerah, seperti yang dialami kopi Klowoh. Keterbatasan pengemasan, dan belum ada satu wadah yang menyatukan para petani di sana menjadikan kopi ini belum bisa maksimal. Berbeda halnya dengan Bowongso yang sudah tertata rapi setiap alurnya. 
Membantu teman di stand kopi kala mengenalkan kopi lokal
Membantu teman di stand kopi kala mengenalkan kopi lokal
“Uniknya, kopi Klowoh ini tidak pernah berhenti panen, mas. Pasti terus ada biji kopi, kelemahan kami ya dari promosi dan pengemasannya,” Ujar Mas Tyas. 

Harapannya, Kopi Klowoh bisa menyusul langkah saudara tuanya (Kopi Bowongso). Kedua kopi ini sama-sama di bawah kaki Gunung Sumbing. Sehingga nantinya para petani kopi bisa jauh lebih makmur. 

***** 

Ramainya pengunjung kedai kopi membuatku berbaur. Bahkan di sini aku ikut membantu teman-teman kedai dalam mempromosikan kopi. Layaknya bagian dari stand, tiap pengunjung yang melirik stand ini kusapa. Harapannya mereka mampir dan bertanya-tanya tentang kopi. 
Interaksi barista dan pengunjung yang bertanya tentang kopi
Interaksi barista dan pengunjung yang bertanya tentang kopi
Berinteraksi dengan pengunjung, menawarkan oleh-oleh kopi, hingga mencatat pengunjung yang memesan seduhan. Itu yang aku lakukan selama di stand. Di lain kesempatan, aku membantu menggiling biji kopi yang dipesan pembeli. 

“Mari silakan. Yang suka kopi bisa nyicip di sini,” Sapaku pada pengunjung. 

Sedikit demi sedikit ada juga yang penasaran. Mereka bertanya-tanya tentang kopi yang sudah terkemas rapi. Tatkala mereka tanya tentang kopi Bowongso, aku langsung sigap melemparnya ke Mas Itok atau yang satunya. Jika mereka tanya-tanya tentang kopi Klowoh, langsung aku lontarkan ke Mas Tyas. 

“Saya di sini tugasnya hanya menyapa pengunjung, bu,” Ujarku sembari tertawa kala seorang ibu bertanya tugasku di stand. 

Interaksi sederhana seperti ini yang menjadikan kita bisa cepat akrab. Komunikasi ringan, santai, diselingi canda membuat semuanya menyenangkan. Tidak sedikit dari mereka ingin menikmati seduhan kopi Bowongso. Lagi-lagi, Mas Itok tak berhenti mengambil air dan menakar biji kopi. 
Berbagai alat seduh yang siap di stand
Berbagai alat seduh yang siap di stand
Dua alat seduh V60 beserta sepasang ketel tak henti bekerja. Mas Itok bergantian dengan barista yang lain untuk meracik pesanan pengunjung. Satu gelas kopi ditebus seharga 10.000 rupiah. Dari sini, aku melihat peminat kopi Bowongso membludak. 

Mereka rela antre cukup lama untuk mendapatkan segelas kopi Bowongso. Sebagian dari mereka sudah tahu tentang kopi tersebut. Ada juga yang penasaran karena selama ini hanya tahu kopinya, tapi belum pernah menyesap sendiri. 

Ada juga sekumpulan cewek yang mendekati stand. Mereka bertiga ingin menyicip kopi. Untuk pemesanan pertama, dia hanya memesan satu gelas. Tujuannya adalah sebagai pelepas rasa penasaran, meski mereka belum pernah minum kopi tanpa gula. 

“Dicoba dulu mbak. Siapa tahu suka kopinya,” Ujarku. 

Dicobanya menyesap kopi. Terlihat raut wajah yang mungkin tidak biasa. Aku tertawa melihat rautnya yang menahan rasa kopi. Untuk sesaat mereka bertiga bergantian menyeduh kopi. Katanya, ini adalah pengalam pertama menyeduh kopi tanpa gula.

Bagi orang yang tidak terbiasa mengopi pasti bilang pahit. Pada dasarnya seperti itu yang terlontar sejak awal. Berbeda halnya dengan mereka yang memang suka kopi. Komentar seperti rasa tidak terlalu asam atau muncul rasa baru yang mereka ucapkan.
Pengunjung menyesap segelas kopi Bowongso
Pengunjung menyesap segelas kopi Bowongso
Mereka yang datang silih berganti. Mulai dari pengunjung lokal Banjarnegara, Temanngung, dan Wonosobo. Atau kota sekitar seperti Semarang, Jogja. Banyak lagi mereka datang dari Jakarta dan Bandung; rata-rata mereka menggunakan travel untuk acara ini hingga esok siang.

Bahkan ada yang datang dari Manado. Mereka menyeduh kopi Bowongso. Sembari menikmati segelas kopi, dia berujar nantinya ingin membuat kedai kopi di sana. Katanya, kopi di sana masih belum banyak. Mereka main ke sini sekalian bertanya-tanya tentang perkopian.

Aku tidak ketinggalan. Sebelum kopi Bowongso ini dijual pergelas. Aku sudah menikmati segelas kopi bersama Charis. Kami secara khusus dibuatkan Mas Itok. Ya, aku sendiri suka kopi yang tidak terlalu tebal rasanya. Dan yang disajikan pas bagiku. 

Bincang santai usai. Stand tidak lantas sepi, malah sebaliknya. Hingga malam tetap ada aktivitas di panggung Java Coffee Festival. Ketika selepas isya aku kembali ke stand. Di sana sudah berganti barista. 

Di stand yang lokasinya di tengah-tengah, terdapat semacam cupping. Aku melewatkan kegiatan tersebut. Namun, tetap masih bisa menikmati hasil racikan para barista yang turut. Jika tidak salah, ada 16 hasil racikan barista yang bisa kucicipi. 

Kuambil sendok yang tersedia, tiap gelas yang berisi kopi kusesap. Tiap gelas rasanya berbeda. Ada yang menurutku tebal, ada juga yang sesuai dengan seleraku. Lagi-lagi, selera orang itu berbeda, tinggal mana minat kita. Untuk keseluruhan cukup bagus. 
Cupping di Java Coffee Festival 2019
Cupping di Java Coffee Festival 2019
Tidak terasa acara Java Coffee Festival ini telah usai. Gelaran yang berada di ketinggian 2000 MDPL ini menyiratkan bahwa para pencinta kopi di Indonesia sangat bergairah. Tinggal bagaimana nanti bisa memakmurkan semua; petani hingga pebisnis di kota besar. 

Satu hal yang sangat aku sayangkan di sini. Rencana awal aku ingin membeli oleh-oleh kopi Bowongso pas di stand. Belum juga beli, sibuk mencari konten dan membantu di stand, akhirnya aku lupa bahwa stok kopi sudah habis. Untungnya aku sudah mendapatkan akun Instagram Bowongso. Nanti, jika stok kopi bubuk di kos habis, aku bisa menghubungi untuk membeli dan mengirimkan ke Jogja. 

Aku percaya, gelaran seperti Java Coffee Festival ini mempunyai manfaat yang besar. Dikemas secara epik para panitia, mereka mempunyai tujuan agar para pelaku kopi (terkhusus petani lokal) dapat makmur dan mempunyai mitra di luar sana. *Java Coffee Festival 2019; Sabtu, 03 Agustus 2019

Pengalaman Pertama Naik Kereta Api ke Bandara Soekarno Hatta

$
0
0
Jalur Kereta Api di Stasiun BNI City
Sekian lama tidak menginjakkan kaki di Jakarta, kali ini aku menjadi salah satu dari banyak orang yang menyibak jalanan kala siang. Transportasi daring mengantarku dari Kota Tua menuju Stasiun Kereta Api BNI City. Dari sana nantinya aku dan rombongan melanjutkan perjalanan menuju Bandara Soetta. 

“Berhenti di sini saja, bang,” Pintaku saat melihat ada portal akses jalan masuk. Aku ingin menyusuri jalur pejalan kaki hingga ke stasiun. 

Dari depan sudah terdapat plang petunjuk arah untuk pejalan kaki, parkir kendaraan, serta lobi stasiun. Sepanjang perjalanan di jalur pedestrian, sisi kiri terdapat parkir sepeda motor. Tidak selang lama, bus Transjakarta melintas di sisi kanan. Lantas berhenti tepat di tulisan Stasiun Kereta Api BNI City. 

Ketika ada wacana ingin menjajal kereta api menuju bandara Soetta, aku langsung tebersit untuk mengambil sedikit dokumentasi. Ingin mengulas pengalaman naik kereta api ke bandara. Sesuatu yang menarik bagi orang seperti aku. 
Menuju Stasiun Kereta Api di Stasiun BNI City
Menuju Stasiun Kereta Api di Stasiun BNI City
Menyusuri anak tangga, berlanjut dengan naik eskalator. Setiap sudut sudah lengkap petunjuk arah. Tidak ketinggalan berbagai mural yang menarik dari sorotan proyektor. Mulai dari sepeda hingga mural bangunan gedung menulang tinggi dengan berbagai warna-warni. 

Stasiun kereta api BNI City hanya melayani penumpang yang hendak ke bandara. Di satu area ini terdapat beberapa stasiun, antara lain Stasiun Sudirman dan juga Stasiun Dukuh Atas BNI. Tiap stasiun berbeda layanannya. 

Kami beranjak mencari tempat pemesanan tiket. Di stasiun kereta ini sudah ada petugas yang siap melayani dan mengarahkan tahapan demi tahapan dalam memesan tiket, hingga mencetaknya. Mesin cetak tiket berjejer di tepian, sudah ada orang yang memesan. 
Tulisan merah mencolok di depan Stasiun BNI City
Tulisan merah mencolok di depan Stasiun BNI City
Petugas langsung membantu tiap tahapannya. Kami memesan tiket sejumlah 7 lembar. Tidak ketinggalan memilih waktu keberangkatan. Berikutnya memasukkan nomor telepon. Proses masih berlanjut, sampai pada pembayaran. Pembayaran bisa menggunakan kartu debit. 

Nominal pembayaran tertera, kartu debit dimasukkan, dan memasukkan sejumlah tarif yang tertera. Ketika pembayaran sukses, mesin bekerja untuk mencetak tiket. Harga satu tiket yang kami bayarkan sebesar 60.000 rupiah. 

Tiap satu jam, terdapat dua kali jadwal kereta api menuju bandara. Aku di stasiun pukul 17.00 WIB. Jadwal yang tertera adalah 17.20 WIB dan 17.50 WIB. Pada tiket terdapat nominal harga, kode batang, kode pemesanan, hingga keterangan waktu sampai lokasi tujuan. 
Proses pemesanan dan mencetak tiket kereta api bandara
Proses pemesanan dan mencetak tiket kereta api bandara
Masih ada 20 menit untuk menunggu. Aku menyempatkan keliling beberapa sudut. Bagi yang menunggu di atas, ada tempat duduk yang melingkar untuk ditempati. Tidak ketinggalan jalur khusus untuk pengguna yang difabel. 

Fasilitas seperti musola dan tempat khusus ibu menyusui pun lengkap. Aku menjelajah menuju toilet. Toilet di sini masih sangat bersih, petugas kebersihan memeriksa secara berkala. Sewaktu aku masuk, dia sedang mengepel lantai. 

Suara pelantang menginformasikan sebentar lagi kereta api bandara datang. Kuambil tiket yang sudah tercetak, aku sedikit berlari menuju tempat pindai tiket. Ada banyak jalur untuk melewati portal dengan memindai kode batang. Lampu berwarna hijau, portal tersebut terbuka. Aku langsung melintas. 

Tidak semua calon penumpang lancar saat berusaha memindai kode batang pada kertas tiket. Ada beberapa orang yang sedikit tersendat karena mesin pindai belum mendeteksi. Kulihat warna yang muncul merah. Petugas di sana sigap, beliau langsung membantu calon penumpang tersebut. 
Proses scan (memindai) barcode tiket pada portal
Proses scan (memindai) barcode tiket pada portal
Kereta ada di bawah, tepatnya di lantai satu. Pemesanan tiket berada di lantai dua. Tersedia lift untuk turun. Bagi yang ingin jalan kaki, pun juga ada jalurnya sendiri. Sesampai di bawah, belum ada kereta apinya. Kami bersantai di tempat duduk yang sudah disediakan. 

Belum ada tanda-tanda kereta api datang. Aku berjalan di sekitaran stasiun. Plang informasi posisi kita tersemat di salah satu tembok penyanggah. Rute yang tertera bertuliskan Stasiun BNI City – Stasiun Duri – Stasiun Batu Ceper – Stasiun Bandara Soetta. 

Di sepanjang tempat tunggu, terlihat jalur khusus disabilitas dengan warna kuning. Pada jarat tertentu terdapat spot menunggu tepat di depan pintu kereta api. Secara garis besar, fasilitas seperti ini sangat bagus. Para teman disabilitas bisa tahu jalurnya. 

Lamat-lamat terdengar suara gemuruh. Ini menandakan kereta api bakal datang. Benar saja, dari ujung jalur sudah tampak kereta api yang melaju, sedikit melambat. Dari kejauhan pula terlihat petugas yang menjaga di ruang tunggu sedikit berlari, memeriksa calon penumpang yang sekiranya kesulitan naik. 
Kereta Api yang mengantarkan penumpang ke Bandara Soetta
Kereta Api yang mengantarkan penumpang ke Bandara Soetta
Pintu berderit, lantas terbuka. Aku masuk di ke salah satu gerbong. Sejak di atas, aku sudah memeriksa tiket, tidak ada nomor yang tertera. Ini artinya kita bisa duduk di manapun. Ketika sudah masuk, aku melangkah menyusuri gerbong. 

Penumpang silih berganti masuk, namun tetap sedikit lengang. Sempat kuabadikan kala gerbong lengang. Di sini pula, aku sempat mengabadikan diri kala di gerbong. Mumpung sepi. Dibantu kawan, akhirnya terabadikan. 

Sepertinya tidak hanya aku. Di belakang juga terlihat penumpang saling mengabadikan diri. Mungkin ini menjadi pengalaman pertama mereka. Sama seperti aku di sini. Posisi kursi terbagi menjadi dua arah. Ini mengingatkanku saat naik Kereta Api Wijayakusuma. Pada kursi nomor 8 dan 9, tempat duduknya saling berhadapan. 

Kursi di kereta api bandara malah lebih besar dan luas. Menarik jika kursi-kursi seperti ini terpasang pada seluruh kereta api yang ada di Indonesia. Aku menikmati pemandangan senja dari jendela kereta api. Lambat laun, laju kereta makin kencang. 
Susunan kursi di dalam kereta api bandara
Susunan kursi di dalam kereta api bandara
Berfoto di kereta api bandara kala lengang
Berfoto di kereta api bandara kala lengang
Belum begitu lama, kereta api berhenti di stasiun. Aku lupa, ini ada di stasiun mana. Suara pelantang yang menginformasikan tidak terdengarku dengan baik. Sekitar sepuluh menit berhenti, lantas kereta ini kembali melaju. 

Lucunya, laju kereta api ini berbalik. Sepertinya mengarah ke stasiun BNI City lagi. Beruntung aku duduk di kursi yang berhadapan. Sontak aku berbalik tempat duduk. Pun dengan penumpang yang ada di seberangku. Dia juga pindah kursi agar searah dengan laju kereta api, atau menghadap depan. 

Selama duduk di kursi, ada yang menarik perhatianku. Slot colokan kabel USB tersemat di antara dua kursi. Di sana terdapat dua slot colokan. Jika kalian membutuhkan listrik untuk gawai. Colokan ini bisa dimanfaatkan sementara waktu. 
Fasilitas pengisian baterai gawai di kereta api
Fasilitas pengisian baterai gawai di kereta api
Senja berlalu. Dari balik jendela sudah tampak temaram. Gemerlap lampu seperti titik-titik kecil di tengah kegelapan. Jalur kereta api menyibak daerah pinggiran. Remang-remang kulihat pesawat yang terparkir. Kereta terus melaju, belum ada tanda-tanda laju melambat. 

Hingga akhirnya mendekati bandara. Kereta api melambat. Suara pelantang menginformasikan bahwa kami sudah berada di Stasiun Bandara Soetta. Informasi lain yang disampaikan adalah terkait tiket. Jangan sampai kita menghilangkan tiket tersebut. 

Turun dari kereta api, kami melangkah mencari trasportasi bandara yang mengarahkan ke Terminal Dua. Tiket kereta api tadi kembali digunakan untuk membuka portal jalur menuju bandara. Aku bergegas menuju salah satu jalur yang kosong, dan meletakkan tiket pada alat pemindai. 

Alhasil, perjalanan singkat ini membuatku sudah ada di Bandara Soekarno-Hatta. Kami bergegas menuju tempat tunggu. Menantikan bus bandara yang mengantarkan hingga ke Terminal Dua. Aku kembali duduk santai, menunggu bus datang. 
Sampai di Bandara Soekarno-Hatta
Sampai di Bandara Soekarno-Hatta
Di bandara, kami masih sempat bersantai. Mengisi perut di salah satu tempat makan, lantas antre masuk ke ruang tunggu pesawat. Selama perjalanan, dalam angananku nantinya jika Bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA) sudah sepenuhnya beroperasi, pastinya transportasi seperti ini sangat membantu bagi calon penumpang. 

Sebuah pengharapan yang pastinya disepakati banyak orang. Adanya transportasi langsung dari pusat kota ke bandara menjadi fasilitas yang sangat vital. Terlebih jarak antara pusat kota dengan bandara baru cukup jauh. Semoga saja. *Bandara Soetta; 10 Juli 2019.

Kedai Kopi Pak Rohmat di Perbukitan Menoreh Kulon Progo

$
0
0
Kopi dan kudapan di kedai kopi Pak Rohmat
Perbukitan menoreh tidak hanya menarik perhatian para pesepeda. Kontur tanah yang dominan perbukitan menjadi cukup menyita perhatian juga bagi pecinta kopi. Deretan bukit terdapat lahan-lahan yang subur tanaman kopi. 

Kopi Lanang menjadi ikon kopi menoreh. Di sana ada beberapa kedai kopi yang sudah terkenal, salah satunya adalah Kopi Pak Rohmat. Kedai kopi ini satu jalur jika kita ingin mengunjungi Puncak Suroloyo. 

Sebagai orang yang mulai menyukai kopi, tentu menyesap kopi di perbukitan menoreh menjadi hal yang menyenangkan. Terlebih di bulan Juli ini cuaca di Jogja cukup dingin. Menjelang malam bisa mencapai 180 Celcius. Hingga pagi pun hawa dingin masih merasuk. 

Hari masih cukup pagi, cuaca di Jogja dan sekitarnya dingin. Aku bersama Ardian melintasi jalan menuju Suroloyo. Tidak banyak pengendara yang berlalu-lalang. Hawa dingin agak menyeruak kala jalan berliku dan menanjak. 

Ada beberapa jalur yang bisa dilewati menuju kedai kopi Pak Rohmat. Kami mengikuti plang yang ada di jalanan. Jalanan makin menanjak, sesekali berpapasan dengan warga setempat. Sempat sekali berpapasan dengan truk. 

“Katanya tinggal 3 KM, tapi kok jauh ya?” Celetuk Ardian sembari menarik gas motor. 

“Kalau yang membuat plang itu warga setempat pasti jaraknya lebih jauh,” Timpalku tertawa. 

Baru saja menimpali, kami langsung menemukan gerbang besar bertuliskan Kopi Menoreh Pak Rohmat. Di halaman rumah sudah ada banyak kendaraan. Motor tertata rapi tepat di depan rumah, sementara mobil ada di halaman rumah depannya. 
Depan rumah Pak Rohmat
Depan rumah Pak Rohmat
Berlokasi di Madigondo RT. 26/10, Sidoharjo, Samigaluh, Madigondo, Sidoharjo, Samigaluh, tempat ini sudah dekat dengan Puncak Suroloyo. Tinggal beberapa kilometer lagi sampai di pintu masuk Puncak Suroloyo. Pastinya jalur ini sangat membuat pesepeda kudu ekstra tenaga. 

Awalnya aku mengira kedai kopi Pak Rohmat mencolok di depan rumah. Ternyata tidak. Rumah bagian depan layaknya rumah biasa, yang membuat berbeda adalah banyaknya tempelan sticker dari berbagai komunitas. Ini tandanya mereka sudah pernah singgah di sini. 

Selain itu, di sini juga terdapat musola. Pembangunan musola mengikuti bentuk tanah. Anak tangga musola tepat di tepian, bagian bawah digunakan sebagai area parkir serta akses menuju kedai kopi yang berada di belakang rumah. 

Baru sampai teras rumah, sang empunya keluar. Beliau langsung mengenakan blangkon, dan menyapa kami. Tidak disangka Pak Rohmat sedang luang dan setia menyapa tiap tamu yang datang dan pergi. 

“Sebelumnya sudah pernah singgah di sini?” Tanya Pak Rohmat. 

“Belum pak. Ini kali pertama singgah. Dulu sempat mengopi, tapi di kopi Mbak Mar.” 

“Oalah, tempat beliau (Mbak Mar) berdekatan dengan kedai ini,” Jawab beliau sembari mempersilakan untuk masuk. 

Suara di belakang rumah sedikit ramai. Kami mengikuti Pak Rohmat menuju belakang rumah. Melintasi jejeran motor yang terparkir. Tepat di belakang rumah, sudah banyak deretan meja dan kursi. Beberapa pengunjung juga sudah menikmati minuman. 
Pengunjung di kedai kopi Pak Rohmat
Pengunjung di kedai kopi Pak Rohmat
Ardian mengutarakan tujuan datang ke sini. Kami memang ada misi untuk mengulas kedai kopi. Ardian sendiri mempunyai tujuan khusus untuk mewawancarai Pak Rohmat. Sementara aku lebih pada mengulas kedai kopi seperti yang sering aku lakukan. 

Pak Rohmat menceritakan asal muasal beliau menggeluti dunia kopi. Mulai dari mitra yang meyakinkan, hingga yang lainnya. Tanpa terasa, kini Kopi Menoreh sudah dikenal. Bahkan, Pak Rohmat sendiri mempunyai kebun kopi yang beliau tanam sendiri. 

“Kalau mau ke kebun bisa kok, mas. Nanti jalan sekitar 20 menitan dari sini.” 

Kami tertawa mendengar tawaran beliau. Tentu jaraknya lumayan untuk jalan kaki. Sebenarnya tidak perlu jauh-jauh ke lahan Pak Rohmat, untuk melihat biji kopi yang sudah merah pun bisa di sekitar rumah beliau. 

Di kesempatan yang lain, Pak Rohmat kami minta untuk berpose dengan pohon kopi yang berada di dekat dapur. Di sini ada beberapa pohon kopi dan berbuah. Proses pengambilan foto ini setelah beliau melakukan wawancara dengan Ardian. 
Pengunjung di kedai kopi Pak Rohmat
Pengunjung di kedai kopi Pak Rohmat
Pak Rohmat izin keluar terlebih dahulu, ada keperluan yang harus diselesaikan. Aku dan Ardian mulai mengelilingi kedai kopi yang sudah mulai ramai. Kedai kopi yang buka pukul 08.00 WIB ini sudah ditunggu calon pengunjung. Mereka rata-rata datang lebih awal.’ 

Ada banyak tempat duduk yang tersedia. Tiga meja panjang tepat di belakang rumah. Atau malah semacam tempat lebih luas lagi yang ada di sampingnya. Tiap tempat disekat dengan bilah-bilah bambu yang sudah dibelah. Seperti barisan pagar. 

Tempat tersebut dapat menampung rombongan yang datang lebih dari 10 orang. Tepat di tengahnya terdapat anak tangga menurun. Di bawah tempat atas, juga disediakan tempat duduk dengan luas yang lebih kecil. Semuanya sudah dilengkapi dengan stop kontak dan tikar. 

Jauh ke bawah lagi, terdapat dua meja panjang di area terbuka. Tempat ini langsung berbatasan dengan semacam jurang kecil. Selain itu, di atas kami juga ada gazebo kecil yang mencolok. Gazebo ini sepertinya menjadi tempat favorit bagi mereka yang datang lima orang. 
Gazebo kecil untuk pengunjung kopi
Gazebo kecil untuk pengunjung kopi
Seluruh bangunan di kedai kopi Pak Rohmat mengikuti kontur lahan. Beliau memanfaatkan lahan dengan baik untuk kedai kopinya. Tempat duduk kedai kopi terbagi menjadi beberapa bagian. Di atas dan bawah. Semua lokasinya terbuka. 

Usai memilih tempat, aku mencari kerta menu. Harga kopi di kedai kopi Pak Rohmat cukup murah. Memang ada dua jenis kopi yang harganya lebih mahal. Namun, secara keseluruhan cukup murah. Termasuk Kopi Lanang. 

Di sini tidak hanya untuk para pecinta kopi. Malah sebagian besar pengunjung adalah orang-orang yang belum tentu suka kopi. Kedai kopi Pak Rohmat juga menjual minuman yang lainnya, tentunya dengan menu makanan berat. Makanan ini yang sering mengundang pengunjung rombongan. 

Pagi ini, kami putuskan membeli paketan seharga 17.000 rupiah. Isi paketan tersebut adalah segelas kopi dan kudapan (geblek, kacang rebus, ubi goreng, dan tahu isi). Tentu harga yang ditawarkan sangat murah. 
Daftar menu dan harga kedai kopi Pak Rohmat
Daftar menu dan harga kedai kopi Pak Rohmat
Beruntungnya, Pak Rohmat mengizinkan kami untuk menjelajah tiap sudut kedai kopi beliau. Aku beranjak menuju dapur. Di sini, semua hidangan makanan dan minuman diracik. Empat perempuan sibuk di dapur. Untuk sesaat, aku mengabadikan aktivitas di dapur. 

Meski baru buka pukul 08.00 WIB, empat perempuan ini sudah datang lebih awal. Ada yang bertugas membuatkan kopi, menggoreng kudapan, hingga menyajikan menu untuk pengunjung. Setiap pengunjung menuliskan pesanan pada secarik kerta dilengkapi dengan nomor meja. 

Kesibukan pagi terlihat begitu luar biasa. Silih berganti pengunjung memesan makanan dan minuman, salah satu perempuan memastikan menu yang disajikan lengkap. lantas dia mencoret kertas tersebut. 

Pembuatan kopi di kedai ini sederhana. Layaknya kita membuat kopi di rumah sendiri. Air mineral dicampur dengan bubuk kopi, lantas dididihkan dalam wadah kecil. Sepersekian menit, kopi tersebut mendidih, dituangkan dalam gelas. Proses pembuatan kopi satu persatu. 
Pembuatan kopi masih sederhana
Pembuatan kopi masih sederhana
Di sini tidak tampak aturan baku pembuatan kopi. Tidak ada takaran. Perempuan yang meracik kopi sepertinya sudah tahu seberapa banyak bubuk yang digunakan. Belum juga lama, sudah beberapa kali beliau menuangkan kopi dalam gelas. 

Menurut salah satu perempuan yang di dapur, hampir tiap hari pengunjung ramai. Mulai dari pagi mereka bekerja hingga sore. Kedai tutup sore hari. Tidak ada tentu pukul berapa. Intinya, ketika pengunjung mulai sepi, mereka siap-siap membereskan dapur. 

Kopi yang sudah dituangkan dalam gelas diletakkan pada wadah terbuat dari kayu. Di sini, perempuan yang lain bertugas menata sajian. Kudapan dijadikan satu, tidak ketinggalan daun pisang sebagai alas. Lantas beliau meletakkan kopi serta gula. 

“Semua gula ini untuk kopi, bu?” Tanyaku penasaran. 

Sontak pertanyaanku mengundang tawa para penghuni dapur. Aku masih belum paham, di mana letak kesalahan pertanyaan tersebut. Pikirku, semua yang ada di dalam gelas itu gula. Siapa tahu memang untuk kopi semuanya. 
Kudapan dan kopi siap tersaji
Kudapan dan kopi siap tersaji
“Tidak mas. Gula jawa dan gula pasir ini untuk kopi. Kalau yang sudah cair ini untuk cocolan geblek dan ubi rebus,” Terang beliau. 

Aku ikut tertawa mendengar jawaban beliau. Tatanan pesanan sudah siap saji. Ibu yang bertugas mengantar menu mulai jalan. Ternyata ini adalah pesanan paketan kami. Lengkap dua paketan, satu menggunakan Kopi Lanang, dan satu gelas Kopi Arabika. 

Ritual mengabadikan menu sebelum disantap beraksi. Aku sudah dari tadi mengambil sedikit rekaman vlog, sementara Ardian masih sibuk dengan kameranya. Sembari menikmati kudapan, kami masih melihat-lihat menu. Siapa tahu nanti ingin sarapan. 

Sabtu dan minggu pengunjung di kedai kopi Pak Rohmat memang lebih banyak dibanding hari biasa. Hal ini juga mempengaruhi aktivitas beliau di kedai. Biasanya hari senin hingga jumat, ada aktivitas menyangrai (roasting) biji kopi. Sabtu dan minggu aktivitas tersebut tidak berlangsung. 
Mencari konten di kedai kopi Pak Rohmat
Mencari konten di kedai kopi Pak Rohmat
Roasting biji kopi dilakukan secara sederhana di dekat dapur. Tidak ada tempat khusus, aku juga pernah melihat proses tersebut di kedai kopi Mbak Mar. Sayang rasanya aki tidak bisa melihat proses sangrai. Padahal itu menjadi salah satu alasan kami ke sini. 

Biji kopi stok di kedai tidak hanya menggantungkan hasil kebun Pak Rohmat. Beliau juga membeli biji kopi dari petani yang lainnya. Hal ini dikarenakan belum banyak petani kopi di perbukitan Menoreh yang mempunyai kedai kopi. Mereka menjual biji kopi secara berkelompok ke orang tertentu. 

Di rak kayu depan, pun di rak kecil yang ada di dapur, terdapat bungkusan bubuk kopi kemasan siap jual. Kemasan bertuliskan Kopi Pak Rohmat berukuran 100 gram. Ada juga yang besar berukuran 250 gram. 

“Kalau yang 250 gram harganya sekitar 82.000 rupiah, mas.” Ujar Pak Rohmat. 

Ini bisa menjadi oleh-oleh yang menarik bagi kolega. Selain menikmati kopi, kita juga membeli kopi kemasan untuk dibawa pulang. Tidak hanya kopi kemasan, beliau juga menjual kaus bertuliskan kopi yang dibanderol sebesar 85.000 rupiah. 
Kopi dalam kemasan yang dijual Pak Rohmat
Kopi dalam kemasan yang dijual Pak Rohmat
Tanpa terasa, kami di sini sudah cukup lama. Usai menyeduh kopi, menyantap sarapan nasi ayam, hingga keliling kedai kopi, dan mewawancarai Pak Rohmat, kami berkemas. Perjalanan masih lumayan panjang, masih ada destinasi yang lain kami tuju. 

Tempat ini menjadi kedai kopi ketiga yang kusambangi di sekitaran perbukitan Menoreh. Pertama, aku menyeduh kopi di Kedai Kopi Mbak Mar; dan kedua menyeduh kopi di tempat Mas Nilakaca (Loe Goe Coffee). 

Semoga di lain kesempatan aku bisa mengunjungi kebun kopi milik masyarakat di sekitar Perbukitan Menoreh. Berinteraksi dengan mereka, bertukar cerita, dan tentunya menyesap kopi di bawah pohon. Sebuah pengharapan yang tidak muluk-muluk bagiku. *Kedai Kopi Pak Rohmat; 29 Juni 2019

Pantai Padang dan Monumen Merpati Perdamaian

$
0
0
Landmark Pantai di Padang
Landmark Pantai di Padang
Tengah malam pesawat yang kunaiki mendarat di Bandara Internasional Minangkabau. Dari bandara, aku memesan taksi bandara menuju hotel Amaris Padang yang berada di jalan Sudirman, lokasinya berseberangan dengan Bank Indonesia Sumatera Barat. 

Rencana awal hanya tidur sesaat, lantas bangun pagi dan salat subuh di Masjid Agung Sumatera Barat. Sayang, hingga sudah pagi, aku masih terlelap dalam mimpi. Hingga suara telepon mengusik tidurku. 

“Sudah bangun mas? Ayo main ke pantai. Saya sudah di depan hotel.” 

Bak tersengat bara api putung rokok, aku bergegas bangun, salat, dan turun menuju lobi hotel. Bang Edwin yang berasal dari Dharmasraya sedang ada dinas di Padang. Sebelum disibukkan aktivitas masing-masing, kami sepakat menikmati pagi menyusuri destinasi wisata yang dekat kota. 

Tidak banyak waktu luang pagi ini. Aku dan Bang Edwin memesan transportasi daring menuju pantai Padang. Sebenarnya pantai ini bisa kami datangi jalan kaki. Namun, tenaga belum sepenuhnya bugar, kami putuskan naik kendaraan. 
Bank Indonesia Sumatera Barat kala pagi
Bank Indonesia Sumatera Barat kala pagi
Mobil melaju pelan. Sesekali terlihat pesepeda menikmati tiap kayuhan di jalan yang masih sepi. Belum ada polisi bertugas. Becak Motor (Bentor) khas Sumatera berlalu-lalang. Tiap sudut terdapat kibaran bendera partai. Ya, awal tahun 2019 nanti kita berpartisipasi dalam pemilihan presiden. 

Sesekali Bang Edwin menanyakan destinasi-destinasi yang nantinya aku kunjungi. Aku masih buta tujuan. Intinya sampai sore di Kota Padang, aku tidak ingin mengejar jumlah destinasi kunjungan. Bahkan, hanya duduk santai seharian di hotel pun tak masalah. 

Cuaca memang sedang kurang bersahabat. Awan tebal menyelimuti Kota Padang. Semalam, ketika masih penerbangan. Dari kaca jendela terlihat jika hujan mengguyur. Hingga ketika aku sampai di pantai, tidak ada keinginan untuk memotret banyak. Cukup menikmati suasana pagi di pantai. 

Sepanjang sisi kiri jalan, bentangan pantai memanjang. Pasir pantai tidaklah putih, cenderung sedikit gelap. Mengingatkanku seperti pasir di Pantai Parangtritis, hanya saja tidak sepekat di sana. Ombak tak tinggi, cukup menyenangkan dan tampak teduh. 
Pemecak gelombang di pantai padang, Sumatera Barat
Pemecak gelombang di pantai padang, Sumatera Barat
Landmark besar bertulisan Padang berwarna mencolok. Tertulis bagian ujung “Padang Kota Tercinta”, sementara satu ujungnya sebuah nama bank di Indonesia. Menilik tiap bangunan di sini terdapat nama-nama instansi. 

Tiap jarak antara seratus meteran, selalu ada semacam tanggul pemecah ombak memanjang ke pantai. Sekilas malah seperti barisan dermaga yang terbuat dari susunan bebatuan. Pemecah gelombang seperti ini biasanya malah digunakan sebagai tempat untuk memancing. 

Kupandang bentangan samudera, terlihat beberapa pulau sedikit samar. Aku tidak bisa memastikan pulau-pulau yang tampak tersebut namanya apa. Namun, memang seperti berbaris pulau walau jaraknya berjauhan. 

Masih pagi, tak banyak orang yang bermain air. Bahkan aku sendiri belum melihat ada orang-orang berlarian di pasir. Hanya sesekali warga setempat membersihkan pantai. Menurut Bang Edwin, pengunjung bakal ramai ketika siang hingga sore. 

Berbeda dengan pemandangan yang ada di trotoar. Jalur pedestrian ini cukup ramai. Banyak orang yang berlalu-lalang olahraga pagi. Mereka jogging bersama kawan atau saudara. Beberapa kali kami berpapasan dengan orang-orang tua yang menyempatkan waktu berolahraga. 
Jalur pejalan kaki yang luas
Jalur pejalan kaki yang luas
Menarik memang, jalur pedestrian ini lebarnya hampir sepadan dengan satu ruas jalan. Amat luas, untuk sekadar bermain bola (anak-anak) pun cukup. Mereka menikmati suasana pagi ini dengan mencari keringat. 

“Seberang jembatan sana ada Monumen, mas. Kita jalan kaki ke sana,” Terang Bang Edwin. 

Sepertinya monument ini yang Bang Edwin tanyakan ke pengendara transportasi daring sewaktu kami di mobil. Aku tidak tahu obrolan secara jelas, intinya tadi pengendara mengatakan Monumen Merpati Perdamaian dan taman. 

Taman Muaro Lasak dan Monumen Merpati Perdamaian 

Kami jalan kaki melintasi jembatan, di bawahnya aliran sepertinya membelah kota Padang. Tepat di ujung jembatan tersebut sebuah taman kecil berada. Tulisan “Taman Muaro Lasak” berwarna merah berkombinasi dengan kuning. Cukup bagus untuk sekadar duduk santai. 

Ditilik dari berbagai informasi, taman ini dibuat pada akhir tahun 2013 oleh pemerintah Kota Padang. Taman ini makin lengkap dengan adanya bangunan Monumen Merpati Perdamaian yang diresmikan oleh Presiden Jokowi pada tanggal 12 April 2016. 
Siluet Monumen Merpati Perdamaian di Pantai Padang
Siluet Monumen Merpati Perdamaian di Pantai Padang
Monumen ini menurutku menarik. Awalnya aku mengabadikan dari depan, sayang mendung dan pencahayaan kurang jadinya tidak maksimal. Aku mencoba mengambil dari sudut belakang. Monumen ini terdapat simbol origami burung merpati yang hinggap pada rajutan berbentuk bulat. Semacam globe. 

Sedikit informasi yang bisa aku dapatkan dari prasasti Monumen Merpati Perdamaian. Burung Merpati melambangkan kedamaian. Ini berlaku di dunia. Origami sendiri adalah seni melipat yang dilakukan tiap tahapan agar menghasilkan karya indah. 

Dari kedua keterangan tersebut, disebutkan bahwa makna simbol Monumen Merpati Perdamaian adalah perdamaian harus dijaga sampai akhir hayat. Kita harus bersama-sama menjaga perdamaian. 

Menariknya, di sini juga ada prasasti revitalisasi monumen merpati perdamaian. Prasasti ini diresmikan oleh Angkatan Laut Indonesia. Tak pelak, pada bagian akhir prasasti monumen merpati perdamaian terdapat tulisan “Angkatan Laut selalu siap bersatu dan bekerjasama untuk menjaga perdamaian dunia.” 

Jalesveva Jayamahe! Tentu kita familiar dengan seruan yang sering diteriakkan Angkatan Laut Indonesia. Semboyan itu juga tertera pada prasasti revitalisasi. Aku melihat sekeliling, mengamati pengunjung yang beraktivitas. 
Monumen Merpati Perdamaian Muaro Lasak, Padang
Monumen Merpati Perdamaian Muaro Lasak, Padang
Lumayan menyenangkan, lahan di sini cukup luas. Anak-anak kecil bisa bermain sepuasnya. Tempat sampah sudah tertata rapi di berbagai sudut, meski masih ada tangan-tangan jahil yang membuang sampah sembarangan. 

Silih berganti pengunjung datang dan pergi. Mulai dari rombongan keluarga hingga muda-mudi. Aku menyusuri sedikit pantai, terdapat lapak-lapak jualan yang masih tutup. Terpal warung menyatu dengan tumpukan kursi. Ada juga payung-payung pantai yang belum terpasang. 

Sepanjang pantai cukup rindang. Pohon-pohon waru laut menjadi peneduh tepian pantai. Di bawahnya banyak kios yang masih tutup. Pantai Padang ini berubah menjadi ramai kala sore hari. Banyak kuliner laut yang bisa kita nikmati di sini. 

Ada pemandangan yang menarik selama di sini. Banyak orang yang berada di pantai. Mereka membersihkan sampah-sampah laut yang terkirim dari seberang. Tumpukan sampah di berbagai titik. Sampah didominasi batang-batang kayu dan plastik. 
Petugas pantai membersihkan sampah dari laut
Petugas pantai membersihkan sampah dari laut
Awalnya aku mengira mereka adalah warga setempat. Orang-orang yang tiap hari berjualan di pantai. Ternyata mereka memang petugas kebersihan pantai dari Kota Padang. Sampah yang berserakan di pantai mereka angkut ke mobil. 

Sampah laut memang menjadi permasalahan di seluruh destinasi wisata di Indonesia, terkhusus lagi wilayah pantai. Hingga sekarang, sampah-sampah tetap banyak berdatangan. Sebagai tujuan destinasi wisata, pengelola Pantai Padang dituntut untuk membersihkan setiap saat. 

Banyak tempat, khususnya pantai yang aku kunjungi. Ini menjadi permasalahan yang serius. Sampah tersebar di setiap penjuru. Tanpa terkecuali di Karimunjawa. Semoga ke depannya, kita bisa mengatasi sampah bersama-sama. 

Sebelumnya, aku menyempatkan diri berfoto pada tulisan “Padang” di ujung pantai. Tulisan ini menjadi spot foto para wisatawan. Ada yang terpikirkan dalam benakku. Kenapa hampir setiap tempat sekarang banyak memunculkan tulisan besar? 
Kunjungan ke Padang, Sumatera Barat
Kunjungan ke Padang, Sumatera Barat
Padahal, dengan tulisan plang kecil pun, pastinya wisatawan tetap tertarik untuk berfoto. Di Pantai Parangtritis Bantul ada tulisan besar, di Bukit Teletubbies Bromo tak kalah besar, di banyak tempat. Apakah ini memang sesuatu yang diinginkan? 

Sudahlah, mungkin suatu saat ada jawaban yang bisa membuatku paham terkait tulisan-tulisan besar. Aku terus melangkah, mengikuti tapak-tapak kaki para pejalan di tepian pantai. Sayup-sayup terdengar kata kuliner “Sala Lauak.” Makanan apa itu? Sepertinya menarik! *Pantai Padang Sumatera Barat; 24 Oktober 2018

Silamo Creative Hub, Kedai Kopi Berkonsep Self Service di Jogja

$
0
0
Silamo Crative Hub

Meski tinggal di Jogja, aku belum tentu paham kedai kopi yang lokasinya jauh dari kos. Sebagian besar kedai kopi yang aku kunjungi sekitaran kota, Caturtunggal, hingga Condongcatur. Jika pun ada yang lain, mungkin tidak banyak. 

Menjelajah wilayah selatan Jogja menjadi sesuatu yang langka. Pernah sekali main diajak Ardian ke kopi Ndalem Tjipto Harsanan, itupun bagiku cukup jauh. Meski lokasinya di dekat dari Alun-alun Kidul. Kali ini perjalananku lebih jauh. Aku ke Silamo Crevative Hub. 

Tempat ini masih asing bagiku. Sebelum berangkat, aku mengecek lokasinya. Jarak dari kos lumayan jauh. Silamo Creavite Hub berlokasi di jalan Sonosewu Baru No.30, Sanggrahan, Ngestiharjo, Kec. Kasihan, Bantul. 

“Untung satu arah jalan pulang, mas,” Celetuk pengemudi transportasi daring sembari tertawa. 

Dari utara, aku harus ke selatan. Di sana sudah ada tiga kawan yang menunggu. Mereka pulang dari meliput acara di UMY. Aku sendiri membawa tas, rencananya pukul 22.00 WIB langsung ke Jakarta. 

Silamo Hub lokasinya cukup dekat dengan kampus PGRI, pun dengan UMY. Tempat ini menjadi salah satu tujuan para mahasiswa tersebut untuk mengerjakan tugas maupun sekadar bersantai. Uniknya, ruko kedai kopi ini satu tempat dengan laundry. Kalian bisa mencuci sendiri di tempat ini. 
Ruangan di lantai satu Silamo Crative Hub Jogja
Ruangan di lantai satu Silamo Crative Hub Jogja
Ruangan di lantai satu kedai kopi ini lumayan luas. Bangunan yang didominasi dengan kaca sudah tertata rapi meja dan kursi. Meja panjang di dekat anak tangga bisa dipakai secara berkelompok. Bagi yang ingin bersantai sembari menyeduh minuman, bisa memilih meja yang tersemat pada dinding. 

“Selamat datang, mas,” Sapa barista saat melihatku masuk. 

“Malam mas,” Balasku. 

Satu barista yang bertugas ini lumayan sibuk. Aku izin naik ke atas, di sana sudah ada teman yang menunggu. Dinding menuju anak tangga penuh coretan kapur. Sepertinya memang disengaja corat-coret. Bahkan sandi akses internet. 

Sekadar menyapa kawan yang sudah menunggu, aku kembali turun. Kali ini melihat menu yang disediakan. Melihat menu yang tersedia menurutku menarik. Ini kedai sangat banyak minuman yang bisa dipilih. Termasuk nonkopi. 
Daftar menu dan harga di Silamo Crative Hub
Daftar menu dan harga di Silamo Crative Hub
Aku mencoba Vietnam Drip, kemudian menjajal satu pastry sebagai pengganjal perut. Makanan di sini ada bakmi atau yang lainnya. Jarang-jarang ada kedai kopi yang menyediakan menu sebanyak ini. 

Satu hal lagi yang harus kalian ketahui. Minuman teh sangat beragam tersedia. Aku sengaja melihat instagramnya, di sana memang mereka juga mengenalkan minuman teh pada publik. Tentu sebuah terobosan yang bisa diikuti kedai yang lainnya. 

Seperti biasa, aku meminta izin untuk memotret sudut-sudut kedai. Kami berbincang santai. Dari barista, aku tahu jika kedai ini satu pemilik dengan Antologi Coffee. Kedai kopi yang ada di sekitaran UGM. 

“Mas, nanti pesanannya diambil sendiri ya. Kalau sudah selesai minum dan mau pulang, tolong gelas dan piringnya bawa dan taruh di sini,” Terang barista sembari menunjuk tumpukan wadah kotor. Di temboknya bertuliskan “Drop Here”. 
Tempat menaruh piring dan gelas sebelum pengunjung pulang
Tempat menaruh piring dan gelas sebelum pengunjung pulang
Setahuku, baru kali ini ada kedai kopi yang konsepnya Self Service. Kita nanti diundang saat pesanan sudah siap saji, dan diwajibkan mengemasi piring dan gelas sendiri kala mau pulang. Setahuku, untuk layanan mandiri tidak banyak. Di Aegis Coffee baru sampai pengambilan pesanan. 

Aku pernah melihat konsep layanan mandiri ini di Raminten yang baru. Di sana memang sudah tertera jelas alurnya. Bagaimana kita membuang sampah pada tempatnya, menaruh piring, gelas, dan sendok kotor pada wadahnya. Bagi kita yang di Indonesia, itu cukup langka. 

Usai pesanan siap, aku kembali diundang. Beliau juga menyarankan agar kudapan yang kupesan dimakan selama masih hangat agar lebih enak. Di atas, aku balik berbincang dengan tiga kawan; Ardian, Aqied, dan Aji. 

Di sela-sela berbincang, aku menyusuri tiap sudut kedai di lantai dua. Bagian dalam kedai di lantai dua terbagi menjadi beberapa bagian. Sofa panjang yang kami tempati, selasar lengkap dengan bean bag, serta meja kecil beserta kursi. 
Lantai dua Silamo Crative Hub nyaman untuk bersantai
Lantai dua Silamo Crative Hub nyaman untuk bersantai
Di lantai dua ini juga terdapat ruangan untuk salat. Musola yang disediakan cukup untuk dua orang salat. Di sampingnya juga tersedia tempat berwudu. Kamar mandi juga terpisah dengan tempat wudu. Di musola terpajang kaligrafi, tersedia sarung dan mukena. 

Ingat coretan di tembok kedai kopi? Nyatanya di lantai dua pun penuh coretan. Ternyata pihak kedai sengaja menyediakan kapur warna-warni yang tujuannya untuk para pengunjung yang ingin menulis di tembok. 

Hampir tiap dinding penuh coretan. Ada yang menuliskan nama kampus, jurusan dan angkatan, hingga menulis lelucon-lelucon. Sembari menyesap kopi, aku membaca sedikit coretan di dinding. Tidak ketinggalan turut menuangkan tulisan. 

Pintu mengarahkan pada ruangan luar di lantai dua. Konsep ruangan terbukanya menarik. Meski berada di atas, di sini terdapat pot-pot bunga. Hingga kesannya tetap adem. Area terbuka dibagi menjadi dua bagian. 
Ruangan outdoor di lantai dua Silamo Crative Hub
Ruangan outdoor di lantai dua Silamo Crative Hub
Ruangan yang satu tidak luas, malah cenderung banyak pot bunganya. Dua meja kayu panjang tertata lengkap dengan empat kursi. Tempat ini lebih asyik untuk bersantai bareng kawan. Ruang yang satu lagi lebih banyak kursi. 

Dua meja panjang memanfaatkan tembok pembatas lantai dua setinggi satu meter. Kursi yang dipasang semacam kursi bar model agak tinggi. Di sini juga dilengkapi meja kecil yang bisa digabung. Tempat ini favorit para perokok untuk nongkrong. 

Jika kita datang dengan kelompok besar, aku rasa ruangan area terbuka bisa menjadi opsi yang tepat. Sekiranya ingin mengerjakan tugas bareng kawan, meja yang ada di lantai satu pun juga bisa digunakan. 
Minuman Vietnam Drip
Minuman Vietnam Drip dan keik
Aku tidak banyak tahu kedai kopi di sekitaran selatan. Apakah geliat perkembangan kedai kopi di sini seperti di utara atau tidak. Jika ditilik dari pangsa pasar, daerah utara juah lebih pesat dibanding selatan. 

Silamo Hub menjadi salah satu tempat yang bisa kalian kunjungi kala sedang ingin berkumpul dengan kawan dan sejawat. Tempat nyaman, menu beragam, dan fasilitas seperti toilet serta musola tersedia dengan baik. *Silamo Creavite Hub, 08 Juli 2019.

Dieng kala Pagi, Ritual Cukur Rambut Gimbal, dan Interaksi dengan Masyarakatnya

$
0
0
Salah satu anak gimbal di Dieng
Pagi cerah, semalam pengunjung ramai datang ke Dieng. Bus, mobil pribadi, hingga kendaraan roda dua memenuhi jalanan. Sepagi ini, di sepanjang jalan banyak muda-mudi jalan kaki. Mereka mengenakan jaket tebal, lengkap dengan penutup kepala dan kaus tangan. 

Aku dan Charis berjalan. Kami sengaja mencari warung untuk menikmati waktu pagi sembari mengusir hawa dingin. Sepanjang jalanan, lapak-lapak warga yang memanfaatkan teras rumah sudah buka. Rata-rata mereka jualan sarapan dan bakso. 

Kami terus menyusuri jalan. Sesekali melongok ke warung warga yang jualan gorengan. Lanskap Dieng indah dilihat dari tepian jalan. Bukit-bukit gersang tampak jelas, bahkan tulisan “Banjarnegara” besar pun tersaji. 

Sudut yang lainnya, aku melihat pemandangan yang sayang untuk dilewatkan. Gunung Sumbing jelas cerah, terapit oleh barisan bukit yang lebih dekat. Tidak hanya aku, dua orang turun dari mobil. Dibidik objek yang sama. Sesaat melihat hasilnya, kemudian berlalu. 
Lanskap di Dieng kala pagi
Lanskap di Dieng kala pagi
Kali ini aku berani membuka jaket. Tubuh ini butuh serapan sinar mentari. Selama berjalan, rasa dingin yang awalnya melekat lamat-lamat menghilang. Sebagai anak pantai, hawa dingin khas dataran tinggi adalah tantangan tersendiri. 

Kiri-kanan warung warga, hampir semua didatangi pembeli. Geliat perekonomian di daerah wisata tampak jelas. Ini yang diharapkan; ketika daerah tertentu menjadi tujuan wisata, di sana ada potensi untuk membangkitkan ekonomi masyarakat setempat. 

“Kita di sini saja?” Celetukku sembari melihat gorengan yang tertata rapi di atas meja. 

Charis mengangguk. Aku lantas menuju tikar yang dilapisi karpet biru. Kami duduk di tepian jalan, menyomot gorengan seraya melihat orang yang berlalu-lalang. Pemilik warung menghampiri kami. 

“Teh manis dan teh tawar ya, pak,” Pintaku. 

“Oke mas.” 

Pisang goreng masih mengepul panas. Kuisi perut dengan gorengan tersebut. Tetap saja, meski mengepul panas, di lidah langsung hangat. Obrolan santai pagi ini hanya tertuju pada agenda siang hari. Meliput Java Coffee Festival, selebihnya hanya sebatas kalau sempat dan tidak capek. 
Berburu gorengan di warung warga
Berburu gorengan di warung warga
Rangkaian acara Dieng Culture Festival memang mengundang ribuan wisatawan. Sejak semalam sudah ada acara di panggung utama. Aku tidak ke sana, hanya mendengarkan lantunan lagu dari homestay

Puluhan tenda wisatawan tersebar di beberapa titik. Panitia sudah mengimbau jika lahan-lahan tertentu yang bisa digunakan untuk berkemah. Semalam tenda warna-warni tersebut menarik perhatian. Di lahan untuk kemah, tersedia fasilitas MCK. 

Sayangnya, tatkala menjelang malam minggu, tetap saja masih ada yang melanggar aturan. Di lahan milik warga pun ada lapak perkemahan. Padahal waktu siang aku lewat di sana belum ada tanda-tanda orang memasang tenda. 

Pulang mengisi perut, kami kembali menuju penginapan. Lagi-lagi, di sini makan. Kelar semuanya, kami berjalan menuju gelaran Java Coffee Festival 2019. Di sini aku melihat bagaimana geliat kopi lokal dan berinteraksi dengan para pelaku kopi. 

Malamnya, acara masih berlangsung. Malam minggu yang bertepatan dengan acara puncak Dieng Culture Festival, panggung utama ramai. Penampilan dari penyanyi ibu kota menemani malam yang sangat dingin. Aku sendiri tidak menuju tempat tersebut, malah santai di panggung stand kopi yang masih ada acara yang lain. 
Pertunjukan gratis di Dieng Culture Festival
Pertunjukan gratis di Dieng Culture Festival
Rangkaian acara kala malam hari diakhiri dengan pelepasan lampion. Kala para pengunjung yang lain sibuk merangsek panggung utama, lalu menunggu waktu untuk melepaskan lampion bersama. Aku dan beberapa kawan malah asyik menyesap kopi dari resto Tani Jiwo Hostel di lantai tiga. 

Sejak awal sudah aku putuskan, datang ke Dieng fokus meliput acara kopi. Rangkaian acara yang lainnya kulewatkan. Padahal banyak tawaran yang bisa mengajakku masuk di panggung utama untuk melihat performa musisi. 

***** 

Bincang Pagi dengan Warga Setempat 

Sisa-sisa keramaian malam minggu masih terlihat kala pagi. Wisatawan makin banyak, mereka ingin menyaksikan puncak acara Dieng Culture Festival, yakni ritual pencukuran rambut gimbal di area Candi Arjuna. 

Aku duduk di bongkahan batu dekat jalan kampung. Di sini sengaja berjemur, mengusir rasa dingin. Warung depan rumah sudah buka, tulisan tersedia kopi menarik perhatian. Bergegas aku memesan dua gelas kopi. 

Lebih dua jam aku di sini menyesap kopi. Tidak sendirian, aku berbincang dengan simbah-simbah yang menemani cucunya bermain di depan rumah. Dari sini, obrolan terkait ritual cukur rambut dan penginapan yang dipenuhi wisatawan. 

Beliau juga menceritakan jika kunjungan wisatawan di tahun ini jauh lebih banyak. Informasi yang beredar, animo calon wisatawan meningkat tajam. Membuat sebagian dari mereka kesulitan mencari tempat menginap. 

“Sebelum puasa, hampir penginapan sudah dipesan untuk acara ini, mas,” Tutur simbah. 

Gelaran iringan para anak gimbal yang ingin dicukur belum berlangsung. Namun, obrolan ritual cukur rambut kami bahas dengan santai. Aku yang awam tentang ritual tersebut mendengarkan secara saksama. Tentu ini menarik untuk aku ketahui. 
Berbincang dengan masyarakat setempat (Dokumentasi dengan gawai)
Berbincang dengan masyarakat setempat (Dokumentasi dengan gawai)
Ritual cukur rambut ini bukan hanya pada waktu sekarang. Masyarakat di Dieng dapat melakukan kapanpun, selama anak tersebut meminta dengan sendirinya. Cukur rambut itu sendiri ternyata tidak hanya di satu kabupaten saja. Daerah yang mencakup wilayah Dieng melakukan ritual tersebut. 

Sebelum ini, di Alun-alun Wonosobo sudah ada pencukuran rambut, pun di Temanggung. Tepatnya di Pagergunung, ritual tersebut juga ada. Hanya saja yang paling banyak diketahui khalayak umum tentu di Dieng. 

Simbah yang duduk bersama kami terus bercerita. Aku dan Charis bertanya lebih dalam. Menggali informasi yang mungkin menarik untuk aku tulis. Sesekali tanganku menulis tuturan beliau di catatan, agar tidak terlupakan. 

Dulu, sejak turun-temurun, ritual pencukuran rambut gimbal sangat sederhana. Acara tersebut layaknya kenduren di rumah warga. Selama persiapan mencukur, ada persyaratan yang harus dipenuhi, salah satunya tentu keinginan tersebut murni dari sang anak. 

Pihak keluarga yang mempunyai hajatan menyiapkan segala keperluannya. Mulai dari Tumpeng, kain putih (semacam kain mori), hingga payung kertas. Serta yang tidak ketinggalan adalah barang yang diinginkan sang anak. 

Tumpeng di sini tidak dituturkan simbah dengan rinci. Beliau hanya menceritakan nantinya tumpeng tersebut dipotong bersama para warga yang datang. Sementara kain putih digelar untuk tempat duduk sang anak, pun dengan payung yang digunakan untuk memayungi. Anak yang mau dicukur pun dirias. 

“Biasanya anak yang dicukur mintanya tidak aneh-aneh. Ada yang hanya minta tempe, ada juga yang minta kerupuk.” 
Anak-anak yang diarak pada gelaran Dieng Culture Festival
Anak-anak yang diarak pada gelaran Dieng Culture Festival
Menurut simbah, permintaan anak seringnya sesuai dengan perekonomian orangtua. Mereka tidak meminta sesuatu yang sangat memberatkan. Anak-anak sekarang biasanya meminta sepeda. 

“Mereka yang rambut gimbal itu titipan, mas. Kita tidak tahu siapa-siapa keluarganya yang nanti mempunyai keturunan rambut gimbal. Tapi, pasti selalu ada,” Ujar simbah mengakhiri cerita. 

Kami bubar, aku kembali menuju penginapan. Simbah kembali menemani cucunya yang memberi makan ayam. Sayangnya, waktu kami berbincang, aku tidak membawa kamera. Kucoba mengabadikan dengan gawai, meski hasilnya tidak bagus. 

***** 

Bersua dengan Pasta, Anak Kecil Berambut Gimbal di Dieng

Jalan gang padat merayap. Masyarakat setempat berpakaian hitam siap mengikuti arakan. Menjelang siang, para anak yang siap dicukur rambutnya diarak keliling jalan raya menggunakan delman. 

Iringan karnaval mulai berjalan. Aku sempat membidik Taj Yasin Maimoen (Wakil Gubernur Jawa Tengah) yang turut dalam karnaval. Para anak yang nantinya dicukur rambutnya menaiki delman. Diiring hingga menuju pelataran Candi Arjuna. 
Wakil Gubernur Jawa Tengah, Taj Yasin Maimoen
Wakil Gubernur Jawa Tengah, Taj Yasin Maimoen
Para penonton memadati jalan. Kami berdesakan, bahkan aku harus berjongkok di barisan terdepan. Perjalanan sempat tersendat, seekor kuda yang menarik delman mendadak tidak mau berjalan. Penonton yang merangsek di depan bergegas mundur. 

Beruntung pemilik kuda berhasil menjinakkan kuda tersebut. Perjalanan kembali berjalan dengan lancar. Arakan muda-mudi yang didandan menggunakan kebaya tak putus. Mereka menampilkan wajah penuh senyum sumringah. 

Bagian depan tokoh masyarakat. Diikuti warga yang memegang piring plastik dengan mengenakan pakaian kebaya. Tiap kali ada delman yang dinaiki anak gimbal beserta keluarganya, riuh para penonton menyapa. 

Rasanya iringan ini cukup panjang. Selesai warga dengan kebaya, berlanjut mobil bak terbuka. Pun dengan anak-anak kecil yang didandan dengan pakaian adat ataupun malah seperti barongsai. 
Arakan karnaval di Dieng Culture Festival
Arakan karnaval di Dieng Culture Festival
Penonton riuh kala sekumpulan muda-mudi mengenakan topeng barongsai dengan ciri khas rambut gimbal. Mereka berlarian menggoda penonton, khususnya perempuan dan anak kecil. Sontak keriuhan tersebut mengundang gelak tawa.

Selain warga setempat, wisatawan pun diperbolehkan untuk mengikuti arakan. Rata-rata mereka memang sudah membeli paket termasuk berpartisipasi dalam arakan karnaval tersebut. Aku sempat melihat beberapa wisatawan yang ketemu sewaktu di acara mengopi.

"Kita kenal?" Candaku pada tiga perempuan dari Jakarta.

Mereka kembali riuh, kami berbincang sebentar dan bertukar narahubung. Selain itu, mereka juga meminta untuk dipotret. Berhubung aku memegang kamera, cepat saja kuabadikan dan mereka kembali melanjutkan bergabung dalam karnaval.
Serba-serbi pengunjung Dieng Culture Festival
Serba-serbi pengunjung Dieng Culture Festival
Di sisi yang lain, aku melihat seorang anak berambut gimbal digendong ayahnya. Aku mendekat, anak ini masih semangat melihat arakan karnaval. Tahu ada beberapa lensa kamera ingin membidiknya, dia mengalihkan pandangan. 

Pasta namanya. Anak yang berusia 6 tahun ini belum mau dicukur rambutnya. Dia ke sini bersama orangtuanya. Aku mendekat sembari mengajaknya bermain. Cukup lama kami berinteraksi agar dia mau difoto. Sesekali ayahnya pun meminta Pasta untuk tersenyum. 

“Dia belum mau mas. Belum sepenuhnya mau dicukur,” Terang sang ibu di samping Pasta. 
Bertemu dengan Pasta, anak berambut gimbal di Dieng
Bertemu dengan Pasta, anak berambut gimbal di Dieng
Orangtua Pasta meyakini sepenuhnya jika anaknya memang belum siap dicukur rambutnya. Menurut beliau, anak umur 6 tahun belum tahu secara matang apa yang dia inginkan. Makanya tahun ini dia tidak didaftarkan untuk ikut ritual pencukuran rambut. 

Bapak yang menggendong Pasta bercerita hal yang menarik. Sewaktu rambut hendak tumbuh, tubuh Pasta demam. Badannya sempat kejang. Namun, tatkala rambut gimbalnya sudah tumbuh. Tubuhnya berangsur-angsur normal. 

Sejak lahir rambut Pasta belum pernah dicukur. Nantinya jika dia sudah siap untuk mencukur rambut, pasti dilakukan ritual sederhana semaca kenduren. Pun jika waktunya berbarengan dengan rangkaian acara Dieng Culture Festival, bisa jadi akan didaftarkan. 

Mungkin karena aku intens mendekati Pasta, akhirnya dia tidak merasa risih. Kuminta untuk menghadap kamera dan mengabadikannya. Bahkan aku sempat memegang rambutnya. Anak ini mulai tenang, dia kembali melihat arakan yang sudah hampir berakhir. 
Memegang rambut gimbal anak Dieng
Memegang rambut gimbal anak Dieng
Sejatinya, pencukuran rambut itu bisa dilakukan kapanpun. Adanya Dieng Culture Festival ini hanyalah bagian dari ritual pencukuran rambut yang dibuat dalam bentuk festival. Tentu tetap mengikuti aturan-aturan yang sudah ditetapkan. 

Aku sendiri tidak menuju Candi Arjuno. Selepas melihat arakan karnaval, bertemu tidak sengaja dengan Pasta, serta bertukar narahubung dengan wisatawan dari Jakarta, lantas pulang ke penginapan. Rencananya, siang ini aku pulang ke Jogja. Sebelumnya, aku ingin singgah di perpustakaan Wonosobo. *Dieng, 03-04 Agustus 2019.


Mengopi kala Sore di Signatura Coffee Jogja

$
0
0
Kedai Kopi Signatura
Kedai Kopi Signatura
Sejak Signatura Coffee dibuka, aku sudah sering mendapatkan ajakan untuk mengopi di sana. Kawan-kawan yang biasa ketemu di kedai kopi lain merekomendasikan tempat ini untuk dikunjungi. Aku sendiri sudah mengagendakan untuk berkunjung di bulan ini. 

Berlokasi di Jalan Agro No 210, Kocoran, Caturtunggal. Kedai kopi Signatura berada di deretan kuliner gudeg. Sisi utara dari jalan Argo ini memang terkenal dengan sentra gudeg. Signatura Coffee tempatnya di bangunan kecil berlantai dua. 

Sore ini pengunjung kedai banyak. Mereka menikmati minuman di teras. Rata-rata yang dipesan adalah minuman es kopi. Di sini ada beberapa minuman andalan yang banyak dipesan pengunjung, atau sekadar take away

Pintu bertuliskan “geser” di depan. Aku memegang gagang pintu dan menggeser ke arah kiri. Tempat di dalam cukup sempit. Pemesanan langsung di depan pintu. Teman-teman yang pernah ke sini merekomendasikan minuman es kopi. Hanya saja aku sedang ingin menyesap manual brew.
Signatura Coffee di Jogja
Signatura Coffee di Jogja
“Kami ada beberapa beans yang tersedia, mas.” 

Dua barista muda-mudi menyapa sambil menerangkan terkait biji kopi. Aku melihat sekilas keterangan dari bungkus biji kopi yang tersedia. Aku memilih yang prosesnya semi wash, lidahku lebih cocok yang seperti itu. 

Tidak ketinggalan barista menerangkan tentang rasa kopinya. Jika tidak salah, barista ini bernama Mas Fauzi. Sebelumnya aku memang mengenalkan diri sembari meminta izin untuk memotret kedai kopi. 

“Halimun saja, mas. Pakai V60,” Celetukku. 

Dua barista saling berkomunikasi mengerjakan banyak pesanan. Aku sejenak mengambil foto baristanya. Setelah itu, aku melakukan pembayaran. Di sini, kita juga bisa membayar menggunakan semacam uang digital. 
Barista kedai kopi Signatura Coffee
Barista kedai kopi Signatura Coffee
Menu di Signatura Coffee lebih spesifik ke kopi. Memang ada beberapa minuman nonkopi, namun tidak sebanyak kopi. Seperti yang sudah aku utarakan, Signatura Coffee memang lebih fokus pada es kopinya yang sudah banyak dikenal. 

Minuman seperti Signatura, Messina, Javacina, hingga Conconita menjadi andalannya. Selama di sini, aku melihat sudah beberapa pengunjung yang memesan minuman tersebut. Mereka menikmati es kopi sembari bincang santai dengan kawan. 

“Tiga minuman teratas yang paling ramai, mas,” Terang barista sembari menunjuk keterangan es kopi. Di tembok atas meman tertera nama-nama minuman dan komposisi bahannya. 
Daftar harga dan menu di Signatura Coffee
Daftar harga dan menu di Signatura Coffee
Kedai Signatura Coffee kini tepat satu tahun. Berdiri pada tanggal 17 Agustus 2018, mereka hingga sekarang tetap ramai. Aku sendiri sering tahu keramaian kedai ini karena lokasinya hanya sepelemparan batu dari kantor. Bahkan, tiap pulang pasti lewat depannya. 

Keseluruhan barista di Signatura Coffee ada 9 orang. Tiap sif dua barista, dan nanti ada pergantian sif barista pukul 15.00 WIB. Aku pribadi sedari awal penasaran, apa yang membuat kedai ini ramai tiap kulewati. 

Beberapa kali lewat, aku sempat melihat barista dari kedai kopi yang lain sedang nongkrong di sini. Tentu tiap barista mempunyai lingkaran sendiri. Ketika sedang luang, mereka berkumpul di satu tempat untuk bersantai. 

Lantai satu kedai kopi Signatura tidak luas. Tempat ini mengingatkanku pada Kedai Kopi Tilasawa yang berada di Demangan. Luasnya mirip, hanya penataan ruangannya saja yang berbeda. Di Signatura Coffee terdapat meja-meja kecil untuk pengunjung. 
Ruangan di lantai satu Signatura Coffee
Ruangan di lantai satu Signatura Coffee
Sewaktu aku datang, di lantai satu sudah penuh. Beberapa pengunjung sudah menempati tempat duduk yang di dalam. Sekumpulan cowok ini bisa jadi malah bagian dari Signatura Coffee. Ini terlihat dari mereka yang sempat mengambil konten foto untuk promosi minuman Cold Brew. 

Meja yang lainnya ditempati cewek. Mereka membentuk kelompok sendiri. Dua cewek yang di dalam sepertinya sedang mengerjakan sesuatu. Dimanfaatkan meja kecil untuk membuka laptop. Lantas mereka larut dalam kerjaan. Meski sesekali harus melihat pembeli silih berganti keluar-masuk. 

Menurutku meja kecil ini kurang nyaman untuk membuka laptop, terlebih jika ukuran laptopnya besar. Namun, bagi pengunjung yang lain, mungkin mereka merasa nyaman. Selera orang memang beda-beda. 

Jika memang mau fokus bekerja, kalian bisa menuju lantai dua. Di sana tempatnya memang ditata untuk pengunjung yang ingin bekerja. Tempatnya jauh lebih luas, dan tersedia meja panjang yang dilengkapi banyak kursi. 
Lantai dua Signatura Coffee untuk bekerja
Lantai dua Signatura Coffee untuk bekerja
Aku tidak berani menjelajah ruangan lantai dua dengan bebas. Sewaktu aku masuk, di sana sudah ada dua orang yang fokus membuka laptop. Sesaat aku menyapa sembari tersenyum. Memotret bagian kosong, lantas berlalu. 

Di sini modelnya mengambil pesanan sendiri. Jika nanti pesanan kita sudah siap, barista memanggil nama kita untuk mengambil minuman. Kadang mereka memanggil pengunjung dari jendela kecil yang menghadap ke teras, atau barista menghampiri pengunjung yang duduknya agak jauh. 

Bagi yang suka suasana luar, duduk di teras bisa menjadi pilihan. Sembari duduk, kita bisa melihat lalu-lalang pengguna jalan. Tanpa terasa, pesananku sudah siap. Kuambil minuman dan menaruhnya di meja teras tepat di area pintu masuk. 

Jika penggunaan minuman es menggunakan gelas plastik. Minuman kopi manual brew tetap seperti tempat kopi yang lainnya. Mug dan wadah kopinya hasil karya Kaloka. Wadahnya mengingatkanku pada cangkir di Sua Coffee

Mungkin bagi yang sedikit ingin meminimalisir penggunaan gelas plastik, kalian bisa mebawa tumblr yang tutupnya lebar. Siapa tahu barista di sini melayani pembelian menggunakan tumblr sendiri. Di beberapa kedai kopi, layanan tersebut diperbolehkan. 
Minuman Es di Signatura Coffee
Minuman Es di Signatura Coffee
Menyesap kopi di tepian jalan cukup menyenangkan. Menjelang sore, teras depan masih agak panas. Kalian bisa duduk di samping bangunan. Tepatnya di bawah anak tangga menuju lantai dua. Sekilas, anak tangganya agak tegak. Kudu berhati-hati saat naik maupun turun. 

Aku masih menikmati tiap tegukan kopi, mumpung masih hangat. Tepat di samping pintu masuk disediakan air mineral untuk pengunjung. Menariknya, pengunjung di sini juga membawa makanan dari luar. Mungkin memang diperbolehkan membawa makanan dari luar. 

Seingatku, tempat di teras depan akan teduh ketika lebih dari pukul 16.00 WIB. Matahari terhalang bangunan yang ada di sisi barat. Oya, dari jalan ini, kita bisa melihat baskara saat terbenam. Jika jalan sepi dan cuaca cerah, tempat ini bagus untuk memotret matahari menjelang terbenam. 

Kedai ini seperti halnya beberapa kedai kopi yang lainnya. Jika kalian datang dan fokus untuk bersantai bersama kawan, tempat duduk di luar menjadi opsi yang tepat. Kalian bisa mengambil kursi di dekat pintu masuk yang tertumpuk rapi. 

Pun jika memang datangnya untuk bekerja, aku lebih merekomendasikan untuk naik ke lantai dua. Tersedia stop kontak yang bisa kalian manfaatkan. Di teras pu tersedia colokan listrik. Rata-rata para pengunjung di sini mengopi sambil bermain menggunakan gawai. 
Es kopi andalan Signatura Coffee
Es kopi andalan Signatura Coffee
Ada sedikit catatan jika ingin mengunjungi Signatura Coffee. Berhubung lokasinya di area sentra gudeg, dan pastinya ramai. Lebih baik jika ke sini menggunakan transportasi daring. Meski tetap ada area parkir. Namun, takutnya terbatas. 

Selain itu, mungkin dari pihak Signatura Coffee menyediakan tempat sampah lebih banyak. Tujuannya agar sampah gelas bisa pengunjung buang sendiri ke tempat sampah, tanpa meninggalkannya di meja. Karena tidak semua pengunjung kedai memberesi sendiri mejanya sebelum pulang. 

Tanpa terasa waktu sudah menjelang senja. Ini adalah seduhan terakhirku. Kuambil gawai dan memesan transportasi daring. Sebelumnya, aku masuk dan mengembalikan gelas dan wadah kopi sembari berujar kopinya enak. 

Kupandangi arah barat, sang baskara cerah dan merona. Sayangnya aku malas mengeluarkan kamera. Padahal cukup bagus diabadikan. Mungkin ke depannya aku bakal ke sini lagi. Aku belum sempat menyicip Conconita. Kata kawan di twitter, itu salah satu yang dia rekomendasikan. *Signatura Coffee, 16 Agustus 2019.

Pengalaman Membawa Sepeda Lipat Naik Kereta Api Indonesia

$
0
0
Membawa sepeda lipat naik Kereta Api
Sejak Kereta Api berbenah, aku mulai sering menggunakan transportasi Kereta Api. Berawal dari perjalanan Jogja-Bandung, hingga akhirnya ke beberapa kota/kabupaten menggunakan transportasi Kereta Api. 

Seperti malam ini, aku naik kereta api Lodaya menuju Bandung. Kali ini tujuanku adalah turut meramaikan gelaran Palintang Uphill Challenge. Dari Jogja, aku dan teman sengaja membawa sepeda lipat. 

Ini menjadi pengalaman pertamaku membawa sepeda lipat di kereta api. Aku acapkali melihat orang-orang menggeret sepeda lipat di Stasiun Tugu. Namun, untuk membawa sepeda sendiri baru kali ini. 

Bersama kawan, kami melipat sepeda, lantas turut antre masuk kereta api. Petugas di tiket sepertinya sudah terbiasa dengan pemandangan penumpang membawa sepeda. Sehingga mereka bersikap santai. 

Sesuai dengan edaran PT Kereta Api Indonesia, sepeda yang diperbolehkan dibawa naik kereta api adalah Sepeda Lipat. Adapun persyaratannya antara lain; berat sepeda maksimal 20 KG, dan diameter roda sepeda maksimal 22 inchi. 
Info KAI terkait aturan membawa sepeda
Info KAI terkait aturan membawa sepeda
Kami sengaja naik di gerbong ekonomi. Pukul 20.00 WIB, kereta api Lodaya berangkat. Kami mencari gerbong yang tertera pada tiket sembari menenteng tiga sepeda lipat yang sudah kami lipat. Nantinya kami turun di Stasiun Kiaracondong. 

Berhubung tempat di gerbong yang luas adalah dekat toilet, kami letakkan sepeda di sana. Di dalam kereta api, aku tidak lantas duduk santai di kursi. Aku mencari petugas kereta api untuk berkoordinasi terkait letak sepeda. Takutnya menggangu penumpang kereta api yang lainnya. 

Petugas kereta api yang mengecek tiap penumpang tampak di gerbong depan. Aku langsung menghampiri sembari menunjukkan tiga sepeda yang kubawa. Respon petugas sangat ramah. Sepeda memang diperbolehkan dibawa. Namun, terkait peletakannya sepeda harus tidak mengganggu penumpang. 

“Selamat malam bapak, saya Sitam yang membawa tiga sepeda lipat ini. Apakah di sini boleh saya menaruh sepeda? Atau harus saya pindahkan ke tempat yang lain?” Ujarku sembari menjabat tangan. 

Petugas tersebut merespon dengan baik. Beliau memotret sepeda yang kami taruh di dekat toilet, yang berbatasan antara gerbong 1 dengan gerbong 2, lantas mengirimkan ke WAG KAI. Sepertinya petugas kereta api berkoordinasi dengan sejawat dan atasannya melalui WAG. 
Petugas Kereta Api yang mengecek sepeda
Petugas Kereta Api yang mengecek sepeda
Dari diskusi WAG, beliau disarankan untuk memindahkan sepeda ke gerbong paling belakang agar tidak mengganggu lalu-lalang penumpang yang ingin naik maupun turun. 

“Biar petugas kami yang memindahkan ke belakang, mas.” 

Petugas kereta api meminta pegawai kebersihan untuk memindahkan sepeda, pun dengan bapak yang bertugas menemani petugas KAI. Satu sepeda lagi, aku yang memindahkan. Terus terang, aku angkat topi dengan kesigapan petugas kereta api. 

Bagi kalian yang kali pertama membawa sepeda lipat menggunakan kereta api. Ada beberapa hal yang harus kalian pahami; 

  • Sepeda harus dilipat, dan mengikuti aturan yang sudah ditetapkan KAI 
  • Laporkan dan koordinasi dengan Petugas KAI tentang bawaan sepeda lipat 
  • Letakkan sepeda di tempat yang tidak mengganggu penumpang yang lainnya (pengalamanku di gerbong ekonomi) 
  • Lebih baik memilih gerbong yang paling belakang (untuk kelas Ekonomi), nantinya sepeda ditaruh di dekat toilet belakang. 
  • Jangan lupa mengucapkan terima kasih ke petugas KAI atas pelayanannya. 

Gerbong belakang memang tidak mengganggu lalu-lalang penumpang. Karena berbatasan langsung dengan lokomotif. Dua pintu tiap samping dikunci petugas kereta api. Beliau juga menjajal masuk ke toilet, memastikan apakah letak sepeda menggangu atau tidak. 
Sepeda diletakkan di belakang agar tidak mengganggu penumpang yang lain
Sepeda diletakkan di belakang agar tidak mengganggu penumpang yang lain
Setelah dipastikan aman dan tidak mengganggu. Saya kembali ke kursi dan mengucapkan terima kasih. Pelayanan cepat dari petugas KAI ini membuatku makin ketagihan untuk membawa sepeda lipat ke luar kota. Khususnya yang ada transportasi kereta api. 

Untuk membawa sepeda, tidak ada biaya tambahan. Kita hanya membayar tiket untuk orang seperti biasanya. Intinya, ketika membawa sepeda, kita harus mengabarkan kepada petugas. Hal ini agar memudahkan diri kita sendiri terkait barang bawaan. 

Tanpa terasa, dinihari kami sudah sampai di Stasiun Kiaracondong. Aku dan teman yang lainnya kembali mengangkat sepeda keluar, dan nuntunnya di ruang tunggu. Kami secara berganti salat subuh, lantas foto di stasiun. Paginya menyusuri jalan menuju Ujungberung. 

Menariknya, ketika minggu sore pulang, kami menaiki kereta api yang sama. Tidak hanya kereta apinya saja, petugas yang mengecek pun sama. Tatkala aku bilang membawa sepeda, beliau malah yang ingat. 
Sampai di Stasiun Kiaracondong, Bandung
Sampai di Stasiun Kiaracondong, Bandung
“Mas-nya kan yang kemarin dari Jogja. Kita ketemu lagi,” Sapa petugas KAI. 

“Mohon maaf pak, saya malah lupa,” Jawabku sembari minta maaf. 

Kami berbincang sesaat, sebelum beliau melanjutkan pengecekan. Sepertinya, perjalanan pulang ini lebih santai, karena tidak perlu lagi berkoordinasi dengan petugas KAI terkait sepeda. Bagi kalian yang belum pernah membawa sepeda lipat di kereta api, kalian bisa menjajalnya. *Yogyakarta-Bandung, 08 – 10 April 2019.

Suatu Malam di Kedai Kopi Aksara Jogja

$
0
0
Secangkir Kopi Sumbawa
Selepas isya, kedai Aksara Kopi masih lengang. Deretan kursi kayu yang tersebar tampak sepi. Hanya ada satu pengunjung perempuan yang menyeduh minuman dingin. Dia tampak santai di meja panjang, seperti menunggu kawannya. 

Tadi sore aku sempat singgah di Kedai Kopi Aksara. Berlokasi di jalan Lembah UGM, Karang Gayam, Caturtunggal, kedai ini memanfaatkan lahan tanah yang cukup luas. Konsepnya pun berbeda dengan kedai kopi yang biasa aku kunjungi. Di sini lebih tampil sederhana. 

Pemilik kedai saat itu sedang membuat kursi yang agak tinggi. Rencananya kursi tersebut diperuntukan melengkapi meja yang menghadap ke jalan raya. Tentu menarik jika duduk santai melihat orang berlalu-lalang sembari menyesap kopi. 

Jika aku lihat model tempatnya, kedai kopi ini mirip dengan warung kopi seperti Bjong, Blandongan, dan warung kopi yang hanya menyediakan kopi tubruk ala Jawa Timuran. Namun, untuk kopi mereka menyediakan kopi seduh manual dan nonkopi. 
Kedai Kopi Aksara di Jogja
Kedai Kopi Aksara di Jogja
Pemuda tanggung sedang menyiapkan alat seduh. Dia menunggu tamu, tentu berharap malam ini banyak pengunjung yang datang. 

“Jadi kopi apa yang kamu rekomendasikan?” Tanyaku pada baristanya. 

“Kopi Sumbawa, mas. Menyeduhnya pakai V60,” Jawab barista tersebut meyakinkan. 

Aku mengiyakan. Selain aku, ada dua perempuan yang juga sibuk memesan minuman. Dari cara mereka berkomunikasi, aku merasa mereka berdua adalah pelanggan kedai kopi ini. Beda cara berkomunikasinya, jauh lebih santai dengan selingan canda. 

Arbain, lelaki tanggung yang merupakan adik dari pemilik kedai kopi Aksara membuatkan minuman. Sementara itu sang kakak (Bang Salmi) sedang di belakang. Tadi sempat menyapa sebelum dia ke belakang. 

Untuk sementara waktu, Arbain tampak sibuk. Aku mengambil kamera dari dalam tas, lantas menjelajah sudut ruangan kedai. Minumanku belum dibuatkan, dia harus memprioritaskan dua perempuan yang sudah lebih dulu memesan. 
Arbain, salah satu Barsita di Kedai Kopi Aksara
Arbain, salah satu Barista di Kedai Kopi Aksara
Secarik kertas menu terpasang di depan meja barista. Kutilik menu yang disediakan, cukup beragam. Terlebih bagi yang suka kopi seduh manual sepertiku. Harganya pun lebih murah. Jarang-jarang di Jogja ada kopi seduh manual dengan harga 15.000 rupiah. 

Kopi pesananku langsung dikerjakan Bang Salmi. Dia sengaja menyeduh kopi untuk dua gelas sekaligus. Sebelumnya, dia menanyakan apakah diperbolehkan langsung menyeduh dua gelas, atau harus satu gelas pesananku saja. 

“Santai saja, bang. Dibuat barengan pun tak masalah. Jadi ingat waktu di Java Coffee Festival,” Celetukku. 

Dari sini dia juga bercerita, jika yang memesan adalah kawan akrabnya, maka dia biasanya langsung membuatkan untuk dua gelas. Jika yang memesan pengunjung baru ataupun pelanggan namun belum akrab, dia tetap melayani pergelas. 
Daftar menu dan harga di kedai kopi Aksara
Daftar menu dan harga di kedai kopi Aksara
Tidak membutuhkan waktu lama membuat kopi manual seduh. Diselingi dengan bincang santai, segelas kopi Sumbawa sudah di depanku. Mumpung masih hangat, aku menyeduhnya. Menurutku rasanya jauh lebih padat, dan sedikit lebih tebal dari yang biasa aku nikmati. 

Hal ini sudah Bang Salmi utarakan. Sebelum menyajikan, dia memang bertanya bagaimana seleraku. Aku bilang suka yang tidak begitu tebal, tapi untuk kali ini sengaja pesan agak tebal rasanya. 

“Sesekali pesan yang agak berbeda,” Candaku. 

Kami tertawa bersama. Pun ketika dia tahu aku memilih kopi Sumbawa untuk diseduh, dia pun bilang bahwa ini pilihan yang tepat. 

“Kalau bukan kami yang mengenalkan kopi daerah asal kami, siapa lagi,” Tambahnya. 

Kami lantas menuju meja depan, mencoba menikmati seduhan kopi seraya berbincang santai. Niat awal, aku ke sini ingin membuka laptop, mengerjakan beberapa draf yang sempat terbengkalai. Namun, berbincang dengan pemilik Kopi Aksara jauh lebih mengasyikkan. 

Kedai kopi Aksara sebelumnya tidak di sini. Akhir tahun 2017, lahan milik warga yang berada di sekitaran Karangmalang bisa disewa. Secara bertahap, dibangun sedikit demi sedikit kedai kopi sesuai dengan konsepnya, lalu terbentuklah seperti sekarang. 

Bagi mereka yang hanya berlalu-lalang di jalan, mungkin mereka tidak mengetahui kalau ini adalah kedai kopi. Tidak ada plang nama kopi, yang ada hanya tanaman menjalar dengan pagar kayu dan bendera merah putih yang terpasang. 

Pengunjung baru silih berganti datang, tidak bisa diperkirakan kapan tempat ini ramai atau sepi. Kadang kala ramai, dan juga pernah lengang. Beberapa pengunjung langganan yang datang. Mereka menyeduh minuman dan berbincang dengan kawannya. 

Salah satu hal yang menarikmu datang ke sini adalah adanya rak buku. Meski koleksi bukunya tidak banyak, namun ini menjadi daya tarik tersendiri. Kita bisa meminjam buku yang ada di sini untuk dibawa pulang, maksimal seminggu lamanya. 
Koleksi buku yang bisa dipinjam
Koleksi buku yang bisa dipinjam
“Kamu harus meninggalkan satu buku pribadi ke sini untuk bisa meminjam buku. Buku yang kamu tinggalkan semacam pancingan untuk mendonasikan.” 

Di sini, kita bisa meminjam buku secara berkala. Aturan satu buku maksimal dipinjam selama satu minggu. Dan selama satu minggu, kita hanya diperbolehkan untuk meminjam satu eksemplar buku. 

Di beberapa kedai kopi, rak-rak buku memang disediakan. Tentu kita juga diperbolehkan membaca di tempat. Di sini, ketika ada pengunjung yang meluangkan waktu untuk membaca, dengan sigap Bang Salmi mengabadikan dengan kamera gawai. 

Dia berujar ada sesuatu yang menyenangkan jika pengunjung kedai kopi meluangkan untuk membaca buku di kedainya. Semacam rasa kepuasan tersendiri. Jarang memang ada pengunjung yang meluangkan waktu membaca di kedai kopi, rata-rata mereka yang datang memang fokus mengerjakan tugas ataupun sekadar berbincang santai. 

Mungkin ini salah satu alasan kenapa nama kedai kopi ini menggunakan kata “Aksara”. Konsep yang tidak hanya menginginkan pengunjung bergelut dengan aktivitasnya (membuka laptop ataupun gawai), tapi berharap ada yang membaca buku. 

Buka di Minggu Pagi kala Sunmor UGM 

Kopi Aksara ini tempatnya cukup strategis. Hanya sepelemparan batu dari Fakultas Bahasa dan Sastra UNY, pun dengan beberapa fakultas UGM. Pengunjung kedai kopi pun tak jauh-jauh dari mahasiswa sekitarnya. 

Tiap pekan di minggu pagi, jalanan Karangmalang mendadak ramai dengan lapak-lapak penjual pakaian maupun kuliner. Sunday Morning atau lebih dikenal dengan Sunmor di jalan antara UGM-UNY menjadi salah satu agenda rutin selama bertahun-tahun. 

Memanfaatkan waktu pagi yang ramai, Kopi Aksara juga tidak mau ketinggalan. Mereka sengaja buka khusus minggu pagi. Tentu harapannya dapat menggaet minat para pengunjung Sunmor yang ingin sekadar mengopi atau menyeduh minuman yang lainnya. 

Khusus minggu pagi, kedai kopi ini buka dari pukul 07.30 WIB hingga siang. Para pengunjung Sunmor adakalanya datang. Malah, terkadang penghasilan selama siang ini cukup banyak. Pernah ketika melebihi kedai saat buka dari sore hingga tengah malam. 

“Lebih banyak orangtua yang duduk di sini, mas. Mereka menunggu anaknya yang belanja dengan minum di kedai,” Ujar Bang Salmi. 

Suatu terobosan menarik menurutku. Bagi kalian yang mengunjungi Sunmor UGM, dan ingin mengopi dengan harga cukup murah, bisa singgah di Kopi Aksara. 

***** 

Waktu makin malam, setidaknya sudah ada beberapa pengunjung kopi yang lainnya berdatangan. Kursi-kursi yang tadinya sepi mulai ada penghuninya. Meski belum sepenuhnya banyak, setidaknya bisa menarik para calon pengunjung yang berlalu-lalang. 
Pengunjung mulai berdatangan
Pengunjung mulai berdatangan
Di sudut-sudut tertentu sudah tersedia colokan listrik bagi yang memerlukan. Bang Salmi juga menyediakan rol kabel bagi yang membutuhkan. Namun, dia hanya mengeluarkan rol kabel tersebut kala ada pengunjung yang meminta. 

Aku masih duduk kursi tinggi. Sepasang kursi yang baru jadi tadi sore dibuat Bang Salmi. Kami berbincang tentang literasi, hingga berkaitan dunia kopi yang rasanya melejit tanpa terkontrol. Di antara bermunculan kedai kopi, nyatanya ada kedai kopi yang tutup. 

Bincang-bincang ini pun sampai bagaimana nantinya ke depan Bang Salmi ingin membuat konsep kedai kopinya di salah satu ruangan yang lumayan luas. Dia ingin agar para pengunjungnya yang suka membaca tetap bisa menikmati waktu di kedai kopi dengan nyaman. 

Sementara aku sendiri menyarankan agar membuat plang kedai kopi. Entah tersemat pada dinding meja di bawah, agar terlihat dari jalan. Ataupun membuat papan kecil yang ditempelkan di dekat pagar. 
Menyesap kopi Sumbawa di Kedai Kopi Aksara
Menyesap kopi Sumbawa di Kedai Kopi Aksara
Kopi sudah dingin, rasanya memang sedikit berubah. Aku sesap sampai tandas, lantas meminta izin pulang. Aku suka dengan kedai kopi semacam ini. Tempat sederhana, nyaman, dan tentunya menyenangkan dapat berbincang dengan pemiliknya. 

Kunjungan ke Kopi Aksara ini bakal terus berlanjut. Mungkin awal bulan nanti bakal berkunjung lagi, atau malah akhir bulan ini. Siapa tahu teman-teman kumpulanku pun bisa ikutan main ke sini. Menyesap kopi dan berbicara tentang literasi. Menyenangkan sekali. *Kopi Aksara; 23 Agustus 2019.

Sekadar Singgah di Coastarina dan Bukit Clara Batam

$
0
0
Sudut Pantai Coastarina Batam
Sedari pagi ada sedikit aktivitas, cuaca tidak tentu. Bahkan sempat hujan ketika aku sedang berhenti di pasar. Lucu rasanya, jauh-jauh ke Batam, aku tidak mengunjungi tempat-tempat wisata terkenal. Malah sibuk blusukan ke pasar sembari membeli cokelat untuk perjalanan ke Bangka. 

Ruas jalan lebar dan sepi. Bangunan menjulang tinggi berganti dengan pabrik, lalu lahan hijau. Selang beberapa waktu sudah area pantai. Pemandangan ini seperti aku sedang di Pantura, menatap pantai dari ruas jalan utama. 

Laju kendaraan sedikit melambat. Sebuah tulisan besar sebelum gerbang tak terbaca dengan baik. Aku hanya melihat sekilas. Intinya, siang ini kami ingin bersantai sembari menunggu waktu keberangkatan menuju Bangka menjelang sore. 

Portal menuju pantai terbuka, dua petugas memberikan kertas tiket masuk. Aku melihat harga tiket masuk pantai Coastarina, tertera nominal 15000 rupiah perorang. Sembari mengucapkan terima kasih, mobil yang kami naiki melaju menuju tempat parkir. 

Mobil berhenti, bergegas aku menuju arah kamar mandi. Selama di perjalanan menahan buang air kecil. Di sini, bangunan sudah banyak mumpuni, cenderung masih baru. Namun, tidak sepenuhnya terawat dengan baik. 
Bianglala dan tulisan Coastarina
Bianglala dan tulisan Coastarina
Landmark bertuliskan Coastarina membentang dan menghadap ke pantai. Di depannya terdapat bianglala dan dermaga kecil. Air laut tenang, embusan angin laut lumayan kecang. Terlihat kapal cepat melaju pelan. Konon, kapal tersebut menyeberangkan pengunjung menuju Singapura. 

Aku melihat sekeliling, cukup senyap. Kutinggalkan teman rombongan yang asyik berfoto. Aku menjelajah sedikit sudut di Pantai Coastarina. Tempat luas ini masih lengang. Segelintir pengunjung yang datang, itupun menuju kedai kopi yang menjorok ke laut. 

Tanah masih basah, di beberapa tempat ada genangan air yang belum sepenuhnya meresap ke tanah. Langit masih tertutupi awan tebal. Sejak pagi hujan sangat lebat. Di ruas jalan dekat pelabuhan yang aku kunjungi air menggenang tinggi. 

Coastarina dibangun pada tahun 2009 di atas lahan sebesar 40 hektare. Tempat ini langsung diresmikan oleh Presiden SBY. Bisa jadi, tempat ini diharapkan bisa menjadi destinasi wisata yang menarik bagi masyarakat Batam dan para pelancong dari negara tetangga. 

Melihat dari pembangunannya, tempat ini sepertinya memang sudah dikonsep untuk destinasi wisata. Semacam taman area tamasya bagi warga setempat. Selain berbagai wahana, tidak ketinggalan fasilitas seperti musola serta kafetaria. 

Aku menjelajah sedikit sudut di Pantai Coastarina. Bagian yang menyenangkan malah di lahan hijau. Jejeran pohon Pinus menjadikan lahan tersebut rindang dan teduh. Pun lengkap dengan jogging track yang dekat bibir pantai. Keberadaan pepohonan Pinus ini tentu menyenangkan jika kita bisa bermain di bawahnya. 
Pasir putih di Pantai Coastarina Batam
Pasir putih di Pantai Coastarina Batam
Masih di sekitar pepohonan yang rindang. Hamparan pasir putih menjadi tempat yang menyenangkan jika bersama keluarga. Tengah hari ini tidak ada pengunjung yang bermain pasir. Tempat-tempat seperti ini cenderung ramai kala akhir pekan. 

Ada sedikit perbedaan di sini. Bagi mereka yang ingin bermain ke pantai, ada masyarakat yang masuk ke wilayah Coastarina, dan ada juga yang mereka cukup berhenti di tepian jalan sebelum portal masuk. Hanya saja, di tepian jalan kita hanya melihat pantai tanpa bisa bermain-main. 

Di sini, jogging track-nya cukup mencolok. Jalur yang diperuntukkan para pengunjung berlari ini dilabur cat warna-warni. Pilar-pilar dengan aneka warna ini hanya pada tepian pantai yang agak menjorok ke laut. 

Justru tempat ini menjadi spot yang menarik untuk berfoto. Mumpung masih sepi, aku menaruh kamera dengan tripod mini, lantas memotret menggunakan gawai. Melihat ini, rombonganku tertarik foto bersama. Lagi-lagi kami foto bersama di tempat ini sebelum menuju kedai kopi. 
Tiang warna-warni di jogging track
Tiang warna-warni di jogging track
Tidak banyak yang aku lakukan di sini. Puas mengelilingi kawasan Pantai Coastarina, melihat wahana-wahana yang bisa dimanfaatkan untuk anak kecil bersama keluarganya, aku lebih banyak diam. Menikmati waktu senggang di sini. 

Tulisan besar Coastarina yang di depannya lahan luas menarik perhatianku. Kutaruh kamera di kursi permanen, lalu mencoba mengabadikannya. Meski tidak sepenuhnya simetris, cukuplah sebagai bukti jika aku sudah mengunjungi tempat wisatanya orang Batam. 

Coastarina ini menurutku belum sepenuhnya optimal potensinya. Lahan yang cukup luas dengan fasilitas mumpuni, namum belum sepenuhnya bisa menggaet banyak wisatawan. Semoga tempat ini ke depannya menjadi lebih ramai dan kebersihannya terjaga. 
Berfoto di Coastarina
Berfoto di tulisan Coastarina
***** 

“Kita nggak foto di sana?” Celetukku sembari menunjuk daratan dari tepi pantai Coastarina. 

Di antara bangunan menjulang tinggi terdapat satu bukit yang cukup mencolok perhatian. Bukit tersebut tampak jelas menampakkan tulisan “Welcome to Batam”. Bukit yang sering menjadi latar belakang para pelancong kala berkunjung di Batam. 

“Nanti sebelum ke bandara, kita singgah di sana sebentar,” Ujar Mbak Tina. 

Penerbangan memang masih lama, pukul 17.20 WIB nanti jadwalnya penerbangan menuju Bangka. Rencananya aku di sana hingga hari sabtu. Sampai sekarang pun belum ada daftar destinasi yang ingin aku kunjungi. Seperti sekarang, sekadar ingin bersantai.
Bukit Clara terlihat dari Coastarina
Bukit Clara terlihat dari Coastarina
Cukup lama aku di Pantai Coastarina, waktunya melanjutkan perjalanan menuju Bukit Clara, Batam. Bukit ini yang dari Coastarina terlihat mencolok dengan tulisan Batam. Lokasinya tidak jauh, rasaku baru beberapa menit naik mobil, kami sudah sampai di tanah lapangnya. 

Konon Bukit Clara ini berada di pusat kota Batam. Seingatku, tidak jauh dari tanah lapang ini ada masjid. Bagi masyarakat di Batam, Bukit Clara ini semacam maskot kota. Mengingatkan kita pada tulisan Hollywood Hill. 

Menjelang sore, tanah lapang tempat foto dengan latar tulisan Batam belum ramai. Ada banyak spot ala-ala untuk berfoto. Spot-spot ini mengingatkanku pada spot ala-ala yang menjamur di Indonesia, khususnya di Jawa. 
Menyambangi Bukit Clara Batam
Menyambangi Bukit Clara Batam
Deretan spot ala-ala memanjang, terdapat tulisan harga jika kita foto dengan tambahan spot tersebut. Kali ini belum ada orang yang berfoto. Menurut mereka, tempat ini bakal ramai kala menjelang senja. 

Aku tertarik mengabadikan diri dengan latar tulisan tersebut. Namun, tidak dengan tambahan bingkai ala-ala yang ditawarkan warga setempat. Aku mencari spot yang tepat agar di belakang tidak ada tampak mobil yang terparkir. 

Berbekal gawai dan aplikasi yang sudah aku install, akhirnya bisa foto ala-ala dengan tulisan Batam. Tak kuhiraukan kawan-kawan tertawa melihat polahku. Nanti mereka juga bakal ikutan foto kalau sudah melihat hasilnya. 

Aku tidak lama di sini. Usai foto, berbincang sesaat dengan warga yang menawarkan spot foto ala-ala. Beliau bilang jika sore hingga malam adalah waktu yang paling ramai pengunjung. Lahan kosong ini nantinya riuh menjelang malam. 
Foto ala-ala di Bukit Clara Batam
Foto ala-ala di Bukit Clara Batam
Di saat itu pula, jasa spot foto ala-ala yang mereka tawarkan mulai menghasilkan pundi-pundi uang. Aku meminta izin pulang, melanjutkan perjalanan menuju bandara. Meninggalkan kota Batam yang dari awal tidak masuk rencana dalam kunjungan. 

Terbayangkan hiruk-pikuk kala malam di lahan Bukit Clara. Bagaimana pelancong yang asyik berfoto, suara warga yang menawarkan makanan, spot foto, hingga minuman. Atau suara histeris pelancong yang meluapkan kegembiraannya di sini. *Batam; 24-25 Oktober 2018.

Freelancer juga Butuh Asuransi, Mengapa dan Apa Pentingnya?

$
0
0

Sebagai seorang karyawan atau pekerja tentu kita tidak asing dengan kata asuransi. Asuransi merupakan perjanjian antara kedua belah pihak dimana pihak pertama adalah seseorang yang membayar. Adapun pihak kedua seseorang yang harus bertanggungjawab dan berkewajiban memenuhi jaminan kepada pihak pertama. Sehingga, sangat penting seorang pegawai atau karyawan memiliki asuransi kesehatan tersebut. 

Hampir semua perusahaan memberikan asuransi ketenagakerjaan kepada para karyawan sebagai benefit yang memang ditawarkan. Namun, bagi para freelancer kebanyakan mengabaikan asuransi ketenagakerjaan tersebut. Padahal walaupun mereka bekerja sebagai pekerja lepas, mereka juga harus memiliki jaminan ketenagakerjaan.
Menyelesaikan tulisan blog di kedai kopi

Apa pentingnya asuransi bagi seorang freelancer?

Tidak sedikit dari orang menanyakan terkait asuransi, khususnya asuransi kesehatan. Apakah asuransi tersebut suatu keharusan untuk dimiliki, atau tidak. Bagi saya pribadi, asuransi kesehatan adalah hal yang harus kita miliki. Terkadang, masih banyak orang yang belum paham sepenuhnya tentang asuransi, bagaimana kita mendaftar, apa yang kita peroleh dari asuransi tersebut, serta bagaimana mekanismenya. Atau malah kebingungan dengan simpang-siur informasi yang kurang dapat dipercayai.

Jauh sebelum saya rekomendasikan salah satu tempat untuk mendapatkan informasi tentang asuransi. Sebaiknya, sedikit saya ulas mengapa asuransi itu penting bagi kita. Mungkin, sedikit ulasan ini membuat kalian yang membaca lebih paham.

Sebagai proteksi diri kesehatan freelancer

Sebagai seorang pekerja, pasti menguras banyak tenaga setiap harinya. Walaupun seorang freelancer, bukan berarti pekerjaan kita lebih sedikit dan santai. Seorang freelancer juga mempunyai tanggungjawab penuh terhadap pekerjaannya.

Tidak jarang para pekerja lepas ini bekerjanya lebih lama. Di satu kesempatan, mereka harus bekerja jauh dari waktu yang biasa dilakukan. Meski di satu momen mereka terlihat sedang luang. Setahu saya, mereka yang freelance sudah mempunyai target seberapa lama mereka harus bekerja dalam sehari.

Bekerja di rumah, kantor atau pun di tempat yang lainnya, ada saatnya kita pasti merasa lelah. Sehingga daya tahan tubuh bisa jadi sering menurun. Memang benar, penyakit bisa datang kepada siapa saja dan kapan saja. Namun alangkah baiknya kita mempersiapkan proteksi diri dari sekarang. Pepatah pun mengatakan agar kita selalu “sedia payung sebelum hujan”.

Dengan memiliki asuransi kesehatan, kita akan mendapatkan jaminan jika sewaktu-waktu jatuh sakit. Terutama pada saat kita sedang mengalami krisis keuangan. Adanya asuransi, kita tidak perlu khawatir lagi biaya yang dibutuhkan untuk berobat. Semua akan ditanggung oleh pihak asuransi.
Jaminan ketenagakerjaan

Walaupun kita berprofesi sebagai freelancer, yang mungkin bekerjanya tidak sehari penuh, tetap saja dalam bekerja pasti banyak risiko kerja yang harus diambil, termasuk risiko terjadinya kecelakaan kerja. Tentu semua orang tidak menginginkan terjadinya kecelakaan kerja tersebut. Oleh karena itu, sangat penting untuk mempersiapkan kemungkinan terburuk yang bisa terjadi dengan melindungi diri.

Asuransi ketenagakerjaan bermanfaat saat kita sewaktu-waktu mengalami kecelakaan kerja. Pihak asuransi akan memberikan fasilitas perawatan dan pengobatan. Tidak hanya itu, kita juga akan mendapatkan jaminan kematian dan jaminan hari tua. Namun, sekalipun kita sudah mengikuti asuransi tersebut, jangan sampai membuat kita mengurangi kewaspadaan saat bekerja. Kita harus tetap waspada dan hati-hati saat bekerja.

Sebagai jaminan jika terjadi kecelakaan lalu lintas

Tidak jarang freelancer bekerja di suatu tempat yang mengharuskan berpindah-pindah tempat. Mobilitas yang tinggi, tentu kita akan menggunakan kendaraan baik pribadi maupun kendaraan umum untuk menuju lokasi Anda bekerja. Termasuk jika pekerjaan yang ditekuni profesi sebagai driver online, kurir, dan sejenisnya.Asuransi Kecelakaan ini tentu sangat penting untuk kita, karena hampir setiap saat kita berada di jalan raya.

Asuransi kecelakaan ini wajib dimiliki oleh freelancer sebagai proteksi. Kecelakaan di jalan dapat terjadi tanpa diduga-duga, baik kecelakaan ringan maupun besar. Ketika terjadi kecelakaan, pasti akan menghabiskan banyak biaya perawatan. Jika kita memiliki asuransi jiwa, maka biaya-biaya tersebut akan ditanggung oleh pihak asuransi.

Asuransi kendaraan penting untuk freelancer dengan pekerjaan berpindah-pindah tempat

Bekerja di tempat yang tidak tetap membuat kita lebih banyak menghabiskan waktu di perjalanan. Secara tidak langsung, ada sedikit risiko yang bisa kita hadapi. Bisa jadi kendaraan kita terserempet oleh kendaraan, sehingga kendaraan tersebut lecet.

Jika hampir setiap saat kita harus mengendarai mobil untuk pergi ke tempat kerja, tentu kita wajib memiliki asuransi kendaraan untuk kecelakaan dan kerusakan. Seperti yang kita ketahui, biaya perawatan dan perbaikan kendaraan, khususnya seperti mobil itu sangat mahal. Dengan adanya asuransi, kita tidak akan mengeluarkan biaya banyak jika kendaraan yang kita miliki mengalami kerusakan dan harus diperbaiki.

Setelah kita tahu alasan penting freelancer untuk ikut program asuransi, apakah kita masih ragu untuk memiliki asuransi? Jangan berpikir panjang lagi. Sebaiknya segera mendaftarkan diri mengikuti program asuransi. 

Untuk semua itu, kita bisa melihat di Lifepal. Di sana terdapat banyak produk asuransi kesehatan, asuransi ketenagakerjaan, asuransi kendaraan, hingga asuransi jiwa yang tersedia. Kita tinggal memilih yang sesuai dengan kebutuhan kita masing-masing.

Viewing all 749 articles
Browse latest View live