Quantcast
Channel: Nasirullah Sitam
Viewing all 757 articles
Browse latest View live

Melepas Penat di Hayati Coffee Jogja

$
0
0
Meja di sudut ruangan Hayati Coffee Jogja
Rutinitas mengopi sambil bekerja kembali aku lakukan. Lebih dari satu minggu, aku hanya sibuk mengopi, membaca buku, tanpa meluangkan waktu untuk menulis draft postingan blog. Ada masanya jenuh menulis, namun harus tetap dibatasi agar tidak berlarut-larut. 

Cara terbaik untuk menghapus rasa jenuh adalah mencari kedai kopi yang lain untuk bekerja. Ini yang aku lakukan dengan mengunjungi ke kedai kopi Hayati sebanyak dua kali kurun waktu sepekan. 

Hayati Coffee adalah sebuah kedai kopi yang berada di Demangan dan sudah sangat dikenal banyak orang. Banyak kawan ataupun blogger yang sudah pernah mengulas kedai kopi ini. Aku sendiri sudah lebih dari lima kali ke sini. Hanya saja belum sempat mengulasnya. 

Akhir pekan ini rencana berubah. Awalnya ingin bangun siang. Namun tetap saja bangun pagi. Belum juga kembali memejamkan mata, tetiba mendapat pesan mengopi pagi ini. Berhubung lokasinya dekat, aku langsung bergegas. 

Kurang dari setengah jam, aku sudah mandi. Memesan ojek meski jaraknya hanya sepelemparan batu. Di Hayati Coffee, Mak Indah sudah sibuk membuat draf tulisan. Sepertinya dia sedang ada job menulis. 
Mengunjungi Hayati Coffee Jogja kala akhir pekan
Mengunjungi Hayati Coffee Jogja kala akhir pekan
Sedikit terburu-buru, aku membuka pintu kedai kopi Hayati. Perempuan yang bertugas dikasir menyapa. Aku kebingungan memilih menu. Waktu masih pagi, belum sepenuhnya aku bisa menikmati kopi seduh manual jika masih pagi. Cenderung lebih pas dengan yang sedikit manis. 

“Aihh, kamu jadi di sini!?” Aku sedikit berteriak. 

“Iya bang,” Jawabnya sembari tertawa. 

Barista cowok yang berambut agak panjang menyapa. Kami berjabat tangan. Sebelum di Hayati Coffee, aku sudah mengenalnya di kedai kopi yang lainnya. Sebenarnya kabar dia bekerja di sini sudah sampai di telingaku. Saat itu ada kawannya yang bercerita jika kerja di Hayati Coffee. 

“Mungkin bisa latte, bang?” Baristanya menawari. 

Sempat kulihat menu yang disediakan. Awalnya ingin mencari yang kopi susu panas atau kalau ada Vietnam Drip. Namun tidak ada di daftar menu. Lantas kuiyakan tawaran latte. Di Hayati Coffee, latte yang ditawarkan ada dua “Haya” dan “Hati”. 

Berhubung aku tidak begitu paham dan membaca perbedaan yang tertera di daftar menu, pilihanku pada “Hati”. Usai memesan, aku menuju meja yang tidak jauh dari barista. Sedari tadi di meja ini Mak Indah sudah sibuk. 
Daftar menu dan harga Hayati Coffee Jogja
Daftar menu dan harga Hayati Coffee Jogja
Tidak perlu khawatir jika datang pagi, di sini ada menu makana berat bagi yang ingin sarapan. Selama di sini, aku hanya memesan kopi dan ada kudapan yang bisa dinikmati. Dory Sambal Matah menjadi teman yang tepat untuk mengganjal perut. 

Sejak awal ke sini niatnya memang ingin membangkitkan semangat menulis setelah seminggu berantakan. Laptop kubuka, kucari folder draft, dan langsung fokus menulis. Tidak seperti biasanya, kali ini belum terpikirkan untuk menjelajah sudut kedai kopi. 

Suasana baru, suara grinder menggiling biji kopi, aroma kopi yang menyebar, dan senyap-senyap perbincangan meja di belakang menjadi satu. Sedikit demi sedikit aku mulai menulis. Sayang rasanya jika sudah ke sini tapi tidak menghasilkan sesuatu. 

Hayati Coffee ini cukup luas. Bersampingan dengan butik, kedai kopi ini mempunyai area parkir khusus kendaraan roda dua. Ruangan yang di dalam memanjang, anak tangga menuju lantai dua. Lantai dua hanya untuk bagian dapur. 

Meja panjang menghadap ke jalan. Pengunjung bisa mengopi sambil melihat kendaraan yang berlalu-lalang dari balik kaca. Selain itu, kombinasi meja bulat dengan empat kursi tertata rapi. Pun dengan stop kontak. 

Tempat ini lumayan nyaman untuk menepi. Hanya saja, antara meja barista dengan deretan meja pengunjung adalah jalur para pengunjung yang ingin menuju belakang, ruang terbuka. Jadi kita bisa melihat orang silih berganti lewat atau memesan minuman. 
Meluangkan waktu untuk bekerja
Meluangkan waktu untuk bekerja
Lantunan musik pelan, selaras dengan pemilhan lagu yang tepat. Sesekali aku menyesap minuman sambil merangkai kata. Pengunjung silih berganti, rombongan perempuang, keluarga, hingga para pengemudi transportasi daring yang mendapatkan pesanan dari aplikasi. 

Sabtu sebelumnya, aku sudah menyesap kopi di sini. Waktu itu sengaja memilih minuman manual seduh, pilih biji kopi Ethiopia dengan metode V60. Minuman yang menurutku enak diseduh kala masih hangat. 

Satu pintu mengarahkanku ke ruangan terbuka yang di belakang. Tepat sebelum pintu, sisi kanan ada pintu untuk ke toilet. Area terbuka Hayati Coffee jauh lebih luas dibanding ruangan di dalam. Tempat ini pula yang menurutku jauh lebih asyik untuk menyepi. 

Terbagi menjadi dua tempat terbuka yang luas. Satu ruangan tepat di dekat batas pintu. Meja dengan kursi-kursi melingkar sudah disiapkan. Berbagai piring dan mangkuk bekas pengunjung masih terletak di atas meja, si empunya baru saja keluar dari kedai. 

Meja di sini jauh lebih beragam. Sisi yang berhadapan dengan tembok dilekatkan meja panjang dengan tambahan kursi. Bagian tengah dan sisi luar yang lainnya malah meja dan kursi permanen yang dibuat dari semen. Tempat inilah yang sering diduduki para pengunjung. 
Meja dan kursi di Hayati Coffee Jogja
Meja dan kursi di Hayati Coffee Jogja
Tiap meja permanen disediakan stop kontak di bagian bawah. Tujuannya untuk mereka yang memang ingin bekerja. Selama di sini, aku melihat beberapa orang yang menepi. Mereka lebih nyaman di tempat ini karena tidak ada pengunjung yang berlalu-lalang. 

Di sini juga banyak orang yang memotret. Ada yang memotret tiap spot kedai kopi, bersama kopi, ataupun yang lainnya. Rata-rata pengunjung yang rombongan sengaja memotret di beberapa sudut untuk diunggah di media sosial. 

Aku juga pernah memanfaatkan spot-spot ini untuk berfoto. Saat itu pulang dari upacara 17-an. Ketika ada kawan yang mengopi di sini, aku segera menyusul. Terlebih kawan yang datang sedang membawa buku barunya yang terbit. 

Toilet tidak hanya ada di ruangan dalam. Di area terbuka juga ada toilet yang berdekatan langsung dengan musola dan wastafel. Bagi yang ingin menunaikan salat, tidak usah khawatir. Musala bisa digunakan untuk dua orang. 

Setiap orang memang memilih kedai kopi dengan berbagai pertimbangan. Mulai dari kopinya hingga suasananya. Bagi orang seperti aku yang suka menulis di kedai kopi dengan suasana nyaman, menurutku kedai kopi Hayati bisa dikunjungi. 
Menyesap kopi sambil bersantai
Menyesap kopi sambil bersantai
Menariknya lagi, Hayati Coffee buka sejak pukul 08.00 WIB. Bagi yang bingung mencari tempat untuk menepi di pagi hari dengan harapan bisa bekerja, aku rasa Hayati Coffee bisa dipertimbangkan. Khususnya lagi yang ruangan terbuka. 

Sedikit demi sedikit kusesap kopi yang sudah dingin. Aku terus menulis, hingga tidak terasa sudah satu tulisan terselesaikan. Sesuai dengan rencana awal, setidaknya hari ini aku bisa menyelesaikan satu tulisan setelah seminggu diam tidak menulis. *Hayati Coffee, 24 Agustus 2019.

Menginap dan Menjelajah Kawasan Agrowisata Amanah Karanganyar

$
0
0
Tulisan Agrowisata Amanah tersemat di pagar
Sejak dua minggu sebelumnya, aku sudah mendapatkan kabar diajak acara mancakrida di Agrowisata Amanah Karanganyar. Tentu di kegiatan ini aku menjadi jurufoto. Berhubung memang akhir pekan tidak ada acara, aku menyanggupi. 

Di perjalanan, aku lebih banyak menikmati kudapan yang sudah ada. Sarapan nasi Gudeg, hingga aneka kudapan yang disiapkan. Perjalanan Jogja-Karanganyar lumayan lama, sedikit tersendat. Khususnya saat ada iringan Moge yang membelah keramaian jalanan. 

Pihak Agrowisata Amanah sudah menanti rombongan kami. Menjelang siang, kami sudah mendapatkan tempat tidur masing-masing. Aku sendiri awalnya mendapatkan kamar yang twin bed. Namun, segera berganti dengan double bed karena ditukar dengan salah satu rombongan. 

Agrowisata Amanah ini baru kali pertama aku sambangi. Sebelumnya sudah pernah menginap di hotel yang lokasinya masih di atas lagi. Bagi yang penasaran dengan lokasi Agrowisata Amanah, tempatnya tepat di belakang Jawa Dwipa Heritage Resort. Alamatnya di Jalan Raya Solo-Tawangmangu KM. 34, Karang, Karangpandan. 

“Salat jumatnya di mana, pak?” Tanyaku ke salah satu petugas penginapan. 

“Di musola hotel biasanya ada salat jumat, mas,” Jawab beliau. 

Agrowisata Amanah semacam penginapan syariah di Karanganyar. Sedari tadi aku melihat seluruh pegawai perempuan yang bertugas menggunakan jilbab. Pun saat aku bersantai di balkon kamar, seorang perempuan berjilbab mengucapkan salam kepadaku. 

Aku belum sempat mengabadikan kamar hotel. Sedari tadi lebih asyik melihat pemandangan balkon sembari menunggu waktu salat jumat. Dari kejauhan, suara azan terdengar kencang. Hanya saja suara tersebut bukan dari musola hotel. 
Salah satu gedung di Agrowisata Amanah Karanganyar
Salah satu gedung di Agrowisata Amanah Karanganyar
Pukul 11.45 WIB, aku menuju musola hotel, tertera plang untuk mengambil wudu khusus pria. Untuk yang wanita tertutup tirai hitam. Pun dengan tempat salat, khusus wanita ada di saf paling belakang dengan batasan tirai hitam setinggi lebih dari tiga meter. 

Bersama pegawai hotel dan pengunjung muslim yang lainnya, aku menunaikan salat jumat. Sementara rombonganku yang mayoritas perempuan sudah di tempat makan. Makan siangnya tidak di resto, melainkan di dekat kolam ikan. 

Sudut-sudut Penginapan Agrowisata Amanah dan Area Mancakrida 

Sebagaimana dengan bangunan resort yang lainnya di sini konsepnya adalah beberapa bangunan yang tersebar. Aku sendiri ada di Gedung Anggrek, tempatnya berdekatan dengan musola, restoran, dan akses menuju jembatan swafoto dan rooftop

Berada di lahan 8 hektare menjadikan Agrowisata Amanah sebagai alternatif dalam acara mancarkrida. Banyak permainan yang disajikan. Beberapa permainan juga sedikit bernama arab; misalnya Perang Badar, entah permainan perang-perangan seperti apa. Aku belum tahu. 

Selepas salat jumat dan makan siang, aku mulai menyempatkan berkeliling melihat isi kamar. Kamar cukup luas, terdapat sofa di dalam. Pun dengan fasilitas kamar mandi. Bagian di dalam kamar terdapat dua air mineral, teh dan kopi kemasan, serta pemanas air. 

Awalnya kasur yang di kamarku twin bed, karena pindah kamar jadinya double bed. Lengkap dengan empat bantal besar. Dua bantal berwarna putih dan sepasang lagi berwarna ungu. Tembok tidak ada coretan mural. Selimut tidak terlalu tebal. 
Kamar tidur menghadap ke arah balkon
Kamar tidur menghadap ke arah balkon
Rak besar dilengkapi dengan delapan gantungan baju. Televisi 32 inchi dengan tayangan lokal. Pun arah kiblat tersemat di atas kamar. Kamar mandi lumayan lengkap, sabun dan sampo cair serta sabun batang. Di sini minus pasta gigi dan sikat gigi. Aku membeli di warung depan; meski ada minimarketnya di hotel. 

Setiap kamar di Gedung Anggrek mempunyai balkon. Balkon tiap kamar menyatu panjang. Disediakan satu meja serta sepasang kursi kayu tiap kamar. Kita bisa jalan melintasi balkon kamar yang lainnya. Di atas meja terdapat pot bunga kecil sebagai pemanis meja.

Dinding sisi timur yang mengarah ke balkon terbuat dari kaca. Kaca ini transparan, sehingga diberi tambahan tirai untuk menutup. Pintu kaca ini dibuka dengan menggeser. Dari balkon pemandangan area penginapan jelas menyenangkan. 

Aku tidak tahu ada berapa gedung di Agrowisata Amanah, hanya saja pemandangan dari Gedung Anggrek menurutku yang paling bagus. Aku langsung menghadap ke arah gunung Lawu. Menjelang sore, cuaca cerah, dan puncak gunung begitu jelas. 

Kesalahan terbesarku di sini adalah tidak mengabadikan pemandangan dari balkon. Sedari awal malah asyik melihat kamar dan balkonnya. Jadi yang terabadikan hanya deretan balkon kamar yang menyambung. Kita bisa berinteraksi dengan penghuni kamar yang lainnya. 
Deretan meja dan kursi di balkon Agrowisata Amanah Karanganyar
Deretan meja dan kursi di balkon Agrowisata Amanah Karanganyar
Di ujung gedung terdapat semacam kolam berbentuk bulat kecil. Suara gemericik air menambah suasana nyaman kala bersantai. Untuk sesaat aku menikmati waktu siang di balkon. Berbincang dengan kawan yang sibuk mengabadikan diri menggunakan gawai. 

Waktu mancakrida belum dimulai. Aku beserta rombongan santap siang. Kali ini makan siang berada di bangunan semacam pemancingan. Tidak mewah, hanya lesehan dengan meja panjang kecil. Sementara sisi kanan terdapat kolam ikan. 

Konsep makan siang mengingatkanku pada pemancingan-pemancingan di Jogja. Kami disajikan ikan bakar kecap, lengkap dengan lalapannya. Konon Agrowisata Amanah mempunyai tempat sendiri untuk memelihara ikan. Semua ikan yang disajikan adalah milik hotel. 

Berbeda halnya dengan sarapan pagi di hari kedua. Sarapan pagi kami di restoran yang lokasinya tepat di seberang gedung Anggrek. Menu yang disajikan juga makanan ala desa, nasi goreng, dan soto. Termasuk tempe goreng yang menggoda. 
Menu makan kala sarapan, makan siang, pun dengan makan malam
Menu makan kala sarapan, makan siang, pun dengan makan malam
Setengah hari aku bertugas menjadi jurufoto. Segala permainan tuntas sampai pukul 17.00 WIB. Aku berkemas mandi, mengganti pakaian yang sudah basah. Menjelang usai permainan, aku menyempatkan berenang di kolam yang dalamnya satu meter. 

Di sini ada empat kolam, salah satu yang paling luas malah berada di depan, berdekatan dengan jalan raya. Kolam renang yang paling asyik berada di bagian belakang penginapan. Di sini tempatnya tanpa ada penyekat, langsung melihat pemandangan alam. 

Kolamnya ada dua yang sejajar, salah satunya lebih rendah. Air di kolam jernih dan bersih tanpa kaporit. Lantai kolam renang terasa licin, pastinya di sini airnya jauh lebih dingin, karena berada di tempat dataran tinggi. 

Kususuri jalur kecil di area Agrowisata Amanah, rute yang sama sewaku aku menjadi jurufoto rombongan. Ada banyak bangunan semi permanen, termasuk spot foto ala-ala. Semuanya tersebar di beberapa sudut. 

Aku tertarik dengan bangunan yang tertutup plastik transparan. Ini adalah tempat budidaya sayuran. Pipa-pipa besar dan panjang berjejeran, semacam tempat hidriponik. Sayang, selama melongkok dari luar, tidak ada petugas yang beraktivitas. 
Agrowisata Amanah Karanganyar menanam sayuran sendiri
Agrowisata Amanah Karanganyar menanam sayuran sendiri
Selain budidaya ikan sendiri, tempat ini juga budidaya sayuran sendiri. Pun dengan pembuatan pupuk. Mereka membuat tempat pupuk di belakang. Selain bangunan yang diperuntukkan sayuran hidroponik, petakan lahan di belakang juga subur berbagai sayuran. 

Sepertinya Agrowisata Amanah memang tahu dengan keperluan para pengunjung yang hobi berswafoto. Di bangunan antara Lavender dan Anggrek, mereka membuat jembatan yang diperuntukkan para pecinta swafoto. Jembatan tersebut diberi nama “Jembatan Selfie”. 

Tidak jauh dari area hidroponik juga ada spot berfoto dengan ruas atas jalan dipasangi topi ala petani yang terbuat dari anyaman bambu. Di dekat kolam renang juga ada spot foto ala-ala bentuk daun waru. Lalu, ban-ban bekas dicat warna-warni di dekat kolam renang. 
Kolam renang di Agrowisata Amanah Karanganyar
Kolam renang di Agrowisata Amanah Karanganyar
Spot yang lainnya adalah deretan payung yang digantungkan semacam tempat ala-ala berfoto yang lainnya. Payung-payung ini menjadi tempat para pengunjung untuk membentuk formasi foto bersama. Lokasinya berada di bawah, dekat aliran sungai kecil. 

Matahari mulai di ufuk barat. Aku mengambil gambar ke arah matahari agar payung-payung yang bergantungan tampak sedikit siluet. Setelah itu aku bergegas menuju jauh ke belakang, ingin memotret lanskap indah yang lainnya di sini. 

Hari ini cukup cerah, sinar matahari tidak sesilau saat terik. Jika kulihat lebih lama, sang Baskara masih lama tenggelam. Sinar dengan rona jingga mulai tersebar. Aku bergegas mengabadikan dalam bentuk rekaman. 

Tempat ini lengkap rasanya. Saat sore bias menikmati senja dari berbagai tempat. Bisa di belakang seperti yang sekarang aku lakukan, atau memotretnya dari jembatan swafoto di lantai dua. Atau malah dari rooftop
Kala senja di Agrowisata Amanah Karanganyar
Kala senja di Agrowisata Amanah Karanganyar
Mungkin kalian penasaran dengan pemandangan yang disajikan dari balkon kamarku. Seperti ini fotonya, hanya saja ini aku ambil dari luar balkon. Tepatnya di sekumpulan bunga yang ada di dekat pematang. Secara umum, pemandanganya nyaris sama.

Puncak gunung Lawu teampak jelas, terkadang kabut menutupi ketika menjelang siang hari. Dari sini, pemandangan alam tersaji lengkap. Selaras dengan konsep penginapan yang terkesan mengutamakan ketenangan dan keasrian.

Tentu aku antusias dengan tempat seperti ini. Jika waktu lebih lama, mungkin aku bisa menjelajah tiap sudut lahan di Agrowisata Amanah Karanganyar. Aku tertarik dengan pengelolaan pupuk kompos, sayuran, dan budidaya ikan sendiri. 
Pemandangan Gunung Lawu dari Agrowisata Amanah Karanganyar
Pemandangan Gunung Lawu dari Agrowisata Amanah Karanganyar
Di hari kedua, aku mendapatkan tugas mendokumentasikan rombongan yang memetik stroberi. Untuk aktivitas ini, lahan milik Agrowisata Amanah tidak di sekitaran penginapan. Kami diantar menggunakan mobil Elf. 

Jarak dari penginapan menuju lokasi sekitar 7 kilometer. Arahnya menuju jalur yang dekat ke Air Terjun Jumog. Lahan stroberi berada di dekat rumah warga, dan memang dikelola bersama warga setempat. Rombongan mulai memetic buah stroberi, aku sendiri bertugas mengabadikan. 

Petakan lahan stroberi ini ada di beberapa tempat. Menurut ibu yang menjaga, kemarin sore sudah ada pengunjung dari penginapan yang memetik. Jadi kami harus memilih buah mana yang sudah siap dipetik menggunakan gunting. 

Usai mendapatkan buahnya, semua dikemas menjadi satu bungkus. Pembayaran petik buah langsung ke kasir yang ada di penginapan. Informasi dari ibu yang menjaga, satu bungkus stroberi kisaran harganya 20.000 rupiah. 
Aktivitas memetik Stroberi di lahan milik Agrowisata Amanah Karanganyar
Aktivitas memetik Stroberi di lahan milik Agrowisata Amanah Karanganyar
Dua hari satu malam aku di Agrowisata Amanah, lebih banyak waktu aku gunakan untuk bekerja. Bagiku, tempat ini cocok untuk rombongan yang ingin outbond. Ada banyak lahan dan wahana yang ditawarkan. 

Aku sendiri cukup menikmati waktu di penginapan. Menyempatkan menjelajah tiap sudut lahan agrowisata, berenang, ikut mancakrida, dan menikmati waktu senja. Untuk makanannya, aku cukup cocok dengan menu yang disajikan. 

Sedikit kekurangannya memang terkait jaringan internet. Bagi yang membutuhkan, kadang aera-area tertentu tidak terjangkau. Selain itu mungkin lebih pada kebersihan kamar. Mungkin dari pihak yang membersihkan jauh lebih telaten dalam membersihkan kamar. Terlepas dari itu semua, aku cukup nyaman di sini. *Agrowisata Amanah Karanganyar; 06-07 September 2019.

Dua Jam di Balakosa Coffee and Co Jogja

$
0
0
Pesanan kopi di Balakosa Coffee and Co Jogja
Sudah kurencanakan akhir pekan ini mencari konten kedai kopi. Target kedai kopi awalnya ingin mengunjungi di sekitar UGM, setelah melihat dari Instagram kedai kopi tersebut ada acara, segera kuubah kedai kopi yang lainnya. Tujuanku kali ini adalah Balakosa Coffee and Co. 

Berlokasi di Nologaten, kedai kopi ini sering kulewati saat pulang ataupun pergi ke Aegis Coffee. Lahan yang awalnya petakan sawah, dalam beberapa bulan terakhir menjadi bangunan kedai kopi. Tidak hanya satu, ada dua kedai kopi yang konsepnya mirip di sini. Mereka dipisahkan bangunan limasan. 

Dibuka awal tahun 2019, kedai kopi ini terbilang ramai. Waktu operasionalnya mulai pukul 11.00 WIB hingga tutup dinihari, tepatnya pukul 02.00 WIB. Aku sengaja datang menjelang awal buka, niatnya agar dapat memotret kedai kopi saat sepi. 

Aktivitas pramusaji dan barista sedikit sibuk. Ruangan luas di lantai satu tertata rapi, pun dengan sebuah layar. Sepertinya di tempat ini sudah dipesan komunitas. Mereka semacam gathering di kedai kopi. 
Kedai Kopi Balakosa Coffee Jogja di sekitaran Nologaten
Kedai Kopi Balakosa Coffee Jogja di sekitaran Nologaten
“Buka untuk umum atau hanya untuk acara ini, mas?” Tanyaku memastikan. 

“Kalau untuk bekerja atau mengopi bisa di ruang lantai dua, mas. Tempat ini dipakai komunitas motor,” Jawabnya sembari menyebut merek motor. 

Aku mengiyakan. Lucu rasanya, sengaja tidak ke kedai kopi yang ada di sekitaran UGM karena di sana ada acara, sampai di sini ternyata juga sedang berlangsung acara, malah lebih ramai. Untuk sesaat aku menuju lantai dua. 

Sesuai arahan pramusaji, jika ingin memesan minuman tingga memencet tombol yang ada di meja. Pada nomor meja memang ada semacam bel yang bertuliskan pesan dan bayar. Ada juga tombol memanggil pramusaji. 

Kutentukan pilihan minuman, lantas menekan tombol pesan. Lebih dari lima menit tidak ada respon. Aku kembali menekan tombol panggil pramusaji, tetap saja tidak ada respon dari pramusaji. Kulongok mereka tetap santai beraktivitas menunggu tamu gathering. 
Meja barista kopi saat baru buka
Meja barista kopi saat baru buka
Bergegas aku turun, lalu menanyakan pemesanan. Sempat kubilang kalau sudah menekan tombol pesan, tapi tidak ada respon. Ternyata pegawai kedai kopi belum menyolokkan bel yang ada di meja barista. 

“Mohon maaf ya mas, kami lupa belum menyolokkan alatnya,” Ujar barista. 

Akhirnya aku memesan dari meja barista. Di sini sempat mencari Vietnam Drip atau kopi susu yang panas, tetapi tidak ada. Sembari bertanya-tanya tentang minuman yang direkomendasikan dan disajikan panas, barista merekomendasikan Short Bread. 

Ditilik dari menu yang disajikan, minuman nonkopi ataupun kopi cukup beragam. Di Balakosa Coffee juga menyediakan kudapan dan makanan berat. Cukup membantu bagi yang ingin sarapan atau makan siang di kedai kopi. 
Daftar harga dan menu di Balakosa Coffee and Co Jogja
Daftar harga dan menu di Balakosa Coffee and Co Jogja
“Nanti langsung taruh di meja saja, mas. Saya mau motret sebentar sekalian salat,” Terangku setelah mendapat izin memotret kedai. 

Musola ada di lantai satu, lokasinya di dekat tangga naik ke lantai dua. Tempat wudu tersedia, ruang musola juga luas. Bersama salah satu pegawai kedai, aku salat berjamaah. Selepas itu lanjut melihat sekeliling kedai kopi. 

Balakosa Coffee and Co terbilang salah satu kedai kopi yang luas lahannya. Selaras dengan area parkir. Informasi dari salah satu pegawai di sini, lahan yang digunakan adalah milik desa. Pemilik Balakosa Coffee menyewa lahan dalam jangka waktu panjang. 

“Baristanya ada tujuh, mas,” Terang pramusaji yang mengantarkan minuman ke meja. 

Siang ini memang masih sepi. Komunitas yang ingin berkumpul belum datang, aku memotret ruangan luas di lantai satu. Sebenarnya meja dan kursi ini penataannya tidak seperti ini. Sengaja diubah karena digunakan untuk pertemuan. 
Ruangan di lantai satu Balakosa Coffee Jogja
Ruangan di lantai satu Balakosa Coffee Jogja
Di lantai satu terdapat banyak meja, tiap sudut lengkap dengan stop kontak. Tempat ini sebenarnya cocok untuk bersantai sambil bekerja. Di area luar, tanah lapang pun dimanfaatkan dengan menggelar karpet. 

Karpet-karpet dan bean bag tidak selalu digelar, hanya menjelang sore dan saat cerah saja. Ada juga lahan terbuka yang sudah disemen. Tempat ini digunakan untuk duduk santai sambil melihat sawah. Pada hari senin dan kamis malam, tempat ini menjadi panggung untuk band-band lokal. 

Pengunjung lebih ramai ketika selepas isya di hari-hari biasa. Kalau akhir pekan, mulai dari selepas asyar biasanya pengunjung sudah banyak. Bahkan menjelang tengah malam pun biasanya jauh lebih ramai. Mungkin karena tutupnya jauh lebih larut. 

Tidak hanya menyediakan ruangan besar. Di sini terdapat ruangan kecil yang berada di bawah tangga. Tempat ini lebih privat, nyaman untuk diskusi atau rapat dengan kolega. Jendela lebar menghadap ke utara, menyajikan sisa lahan sawah. 
Ruangan kecil yang bisa untuk bekerja di Balakosa Coffee
Ruangan kecil yang bisa untuk bekerja di Balakosa Coffee
Sayup-sayup terdengar suara panitia menjajal pelantang. Satu persatu pengunjung berdatangan, sedikit riuh. Aku menuju meja di lantai dua. Sudah tersaji minuman Short Bread pesananku. Di meja sudah ada laptop untuk bekerja. 

Ruangan di lantai dua tak kalah luas. Tatanan meja dan kursi hanya ada di tiap tepi, berdekatan dengan stop kontak yang melekat di dinding. Ruangan sebesar ini disediakan pendingin ruangan, pun dengan model jendela kaca yang bisa dibuka. 

Ada sepuluh meja. Tiap meja dilengkapi empat kursi. Bagian tengah ruangan cukup lengang. Di teras lantai dua tidak ada meja ataupun kursi. Bisa jadi tempat merokok hanya di lantai satu. Pukul 12.30 WIB, di lantai dua hanya ada aku seorang. 
Lantai dua di Balakosa Coffee Jogja cukup luas
Lantai dua di Balakosa Coffee Jogja cukup luas
Mumpung masih sepi, belum ada pengunjung yang lainnya di lantai dua. Aku mengambil minuman untuk kuabadikan. Sesuai dengan Namanya, Short Bread ini ada rasa-rasa roti. Berawal dari latte, dikreasikan menjadi minuman seperti ini. 

Minuman Short Bread ini bisa dipesan panas ataupun dingin. Aku sendiri memilih minuman panas karena menurutku bekerja itu paling pas ditemani minuman panas. Kecuali di saat-saat tertentu baru memesan minuman dingin. 

Pada sesapan pertama, rasa roti dan manisnya dominan. Namun, pada akhiran menyesap, baru terasa kopinya. Menurutku minuman ini lumayan cocok di lidahku. Jika ke sini lagi, mungkin aku bakal mencoba minuman yang sama. 
Shrot Bread, salah satu minuman andalan di Balakosa Coffee Jogja
Shrot Bread, salah satu minuman andalan di Balakosa Coffee Jogja
Laptop sudah terbuka sedari tadi, aku mulai menyicil tulisan agar postingan di blog tetap konsisten tiap bulan. Sesekali menyesap minuman. Jaringan internet biasa saja, cukup untuk sekadar membuka blog. 

Suara riuh mulai terdengar dari lantai satu. Sepertinya aku salah waktu datang. Sebisa mungkin tetap menulis, namun konsentrasi buyar tatkala suara pelantang kencang. Kututup laptop dan menekan bel bayar. Tidak ada respon. 

Kukemasi barang, lantas turun. Di anak tangga sudah banyak orang yang duduk. Sembari berujar permisi, aku berjalan di tengah-tengah keriuhan menuju tempat kasir. Lepas membayar, aku jalan kaki menuju kedai kopi yang tenang untuk melanjutkan pekerjaan. 
Menyempatkan waktu menulis artikel di Balakosa Coffee Jogja
Menyempatkan waktu menulis artikel di Balakosa Coffee Jogja
Pada dasarnya di Balakosa Coffee and Co cukup menyenangkan untuk bekerja. Pemandangan sawah, meja dan stop kontak, menu makanan, serta musola tersedia. Hanya saja aku datang di waktu yang kurang tepat. 

Bagi yang ingin bekerja atau sekadar menepi, aku rasa kalian bisa datang ke sini puku 11.00 WIB hingga sore. Pada jam-jam tersebut, kedai kopi ini masih sepi. Bagi yang ingin ada acara, kalian juga bisa menjadikan Balakosa sebagai opsi tempat acara. *Balakosa Coffee and Co Jogja; Sabtu, 14 September 2019.

Museum Ronggowarsito, Senyap di Tengah Keramaian Kota Semarang

$
0
0
Koleksi Wayang di Museum Ronggowarsito
“Mohon maaf mas, museumnya sedang dalam tahap renovasi. Jadi belum diperbolehkan berkunjung,” Terang petugas di dalam pos. 

Aku mengucapan terima kasih atas informasinya. Lalu berjalan menuju tepi jalan, keluar dari pintu masuk Museum TNI Mandala Semarang. Sebenarnya museum ini menjadi salah satu destinasi tujuanku selain Museum Ronggowarsito. 

Entah kenapa, aku merasa ingin mengunjungi museum ini. Sedari awal memang tertarik saja mencari konten di Kota Semarang. Sebelumnya, aku juga sudah pernah mengulas Lawang Sewu yang ada di seberangnya. 

Satu destinasi gagal kukunjungi dan hari jumat rasanya cukup pendek bagi kaum muslim. Aku bergegas memesan transportasi daring menuju Museum Ronggowarsito. Semoga saja museum ini buka, sehingga aku bisa mendapatkan konten blog. 

Berlokasi di jalan Abdul Rahman Saleh, Kalibanteng Kidul, Semarang Barat. Museum Ronggowarsito berada di salah satu sudut jalan raya. Transportasi daring yang mengantarku berhenti, aku berjalan menuju pendopo yang ada di depan. 

Ini kali pertama aku berkunjung ke Museum Ronggowarsito, sebelumnya sering ke Semarang, tapi hanya sebatas wacana untuk mengunjungi museum. Menjelang siang, suasana museum masih sunyi. Tidak terlihat keramaian pengunjung museum. 

Dua petugas museum yang berjaga di bagian depan kusapa. Untuk masuk museum, aku hanya menebus tiket sebesar 4000 rupiah. Sebuah harga yang sangat murah menurutku untuk museum sebesar ini. Aku segera membayar dan menitipkan tas di loker yang tersedia. 
Gunungan Blumbangan di depan pintu masuk
Gunungan Blumbangan di depan pintu masuk
Kubawa kamera, lantas menuju area dalam museum. Cukup lengang, belum terlihat ada pengunjung yang berbarengan denganku masuk. Di dalam museum areanya terbuka. Aku melihat arah anak panah untuk menunjukkan jalur yang ingin dijelajah. 

Enaknya berkunjung sendirian adalah aku bisa sesuka hati menikmati waktu di ruang-ruang tertentu dengan waktu yang lama. Jalur mengarahkan sisi kanan, sebuah pintu yang di depannya ada Gunungan Blumbangan. Kusempatkan memotret di depannya. 

Dilihat dari tulisan plang, ini adalah Gedung Geologi. Di dalamnya terdapat banyak lukisan terkait alam semesta. Selain itu juga ada semacam replika bebatuan Karangsambung-Kebumen. Sedikit bebatuan tertata di bawahnya. 

Karangsambung yang berada di Kebumen memang terkenal dengan karang-karang di perbukitan. Hal ini merupakan fenomena alam yang tidak biasa. Karena itu hingga sekarang banyak orang yang meneliti di sana. Khususnya yang bergelut dengan geologi. 

Konon daerah di sini awalnya adalah dasar lautan. Menurut penelitian, karang-karang di dasar lautan itu saling berbenturan dan akhirnya terangkat dan membentuk permukaan. Hingga akhirnya sampai sekarang menjadi daratan. 
Informasi formasi bebatuan Karangsambung, Kebumen
Informasi formasi bebatuan Karangsambung, Kebumen
Bangunan di ruang pertama ini ada banyak koleksi dalam bentuk diorama. Pun dengan foto-foto alam di Jawa Tengah. Tiap jengkal aku harus berhenti, membaca keterangan yang ada pada foto, atau sekadar melihat lebih lama pada satu objek. 

Ada dua jalur yang bisa kujelajahi, kupilih anak tangga yang menuju lantai dua. Sampai jalur seperti lorong, terdapat fosil-fosil binatang purba. Belalai dan sepasang gading Gajah menyapa kedatanganku. 

Ruangan di lantai dua ini membuat kita membayangkan tentang dunia purba. Koleksi ada yang diambil dari Sangiran. Tak hanya binatang purba, fosil kayu purba hingga fragmen manusia purba pun ada di sini. Semua lengkap beserta keterangannya. 

Meski tidak banyak, dari ruangan Paleontologi ini kita bisa sedikit menerima informasi tentang masa lampau. Membayangkan bagaimana pada masa itu binatang-binatang purba tersebut hidup. Sampai akhirnya harus punah. 
Jalan lorong menuju ruangan lain
Jalan lorong menuju ruangan lain
Ruangan yang bisa aku eksplor lagi adalah gedung peninggalan peradaban Hindu-Buddha. Sama halnya dengan galeri yang lainnya, koleksi ini terdapat pada dua lantai. Koleksi yang dipamerkan terkait miniatur Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan yang lainnya. 

Tidak ketinggalan berbagai arca, lingga-yoni, hingga benda-benda peninggalan yang lainnya seperti kentongan, kendi, genta dan serupa yang terbuat dari bahan perunggu. Atau peninggalan berupa bejana serta cetakan mata uang. 

Aku mencoba membaca sebisanya, sesekali memotret koleksi yang ada di dalam museum. Hingga aku sampai di ruangan peradapan Hindu-Buddha, baru berpapasan dengan sepasang muda-mudi yang juga mengunjungi museum. 
Peninggalan di museum Ronggowarsito
Peninggalan di museum Ronggowarsito
Kutapaki sudut-sudut museum sembari melihat koleksi yang ada di dalamnya. Kali ini di depanku sebuah miniatur kapal layar bercadik ganda. Cadik pada kapal berfungsi untuk menyeimbangkan kapal kala di laut. 

Bagi kalian yang masih bingung apa itu cadik kapal, cadik adalah bagian luar kapal yang biasanya berupa batangan di sisi kiri dan kanan kapal. Di masa sekarang, cadik identik dengan sampan kayu yang berukuran kecil. Ada yang ganda, atau pun di salah satu sisi sampan. 
Miniatur kapal bercadik ganda
Miniatur kapal bercadik ganda
Di sudut yang lain museum juga terdapat miniatur Menara Kudus ataupun Masjid Agung Demak. Tidak ketinggalan berbagai koleksi alquran tulisan tangan. Dari informasi yang tertera di bawahnya, alquran tersebut koleksi dari Pesantren Ki Ageng Pandanaran, Klaten. 

Koleksi literatur juga ada yang dibuat dengan media daun lontar. Tumpukan daun lontar yang sudah dikemas layaknya media menulis ini berisikan tentang kisah legenda serta obat-obatan. Tulisan dalam bentuk pahatan dan diperkirakan pada abad ke delapan belas. 

Replika sepasang sapi putih dengan gerobak di belakangnya tepat dihadapanku. Ini adalah Saradan, alat yang digunakan untuk mengangkut kayu gelondongan dari tempat yang sulit dijangkau. Sekilas bentuknya mirip gerobak sapi biasa. 
Saradan, sarana untuk mengangkut kayu zaman dahulu
Saradan, sarana untuk mengangkut kayu zaman dahulu
Museum Ronggowarsito ini sangat luas, ada banyak gedung yang menyajikan berbagai koleksi berbeda-beda. Mulai dari diorama kehidupan warga di Jawa Tengah, berbagai jenis wayang lengkap dengan ala tempat pentas, hingga kain-kain Jawa Tengah. 

Tidak terasa beberapa tempat di lantai dua ternyata hanya memutar, sehingga aku sudah dua kali menuju tempat tersebut. Selanjutnya aku menuju lantai satu, di sini ingin sekadar istirahat sebentar sebelum melanjutkan jelajah ruangan yang lainnya. 

“Kalau mau lihat ruang galeri koleksi emas, mas? Itu ada barengan tamu dari Solo,” Ujar petugas museum. 

Aku langsung bergegas menuju ruangan yang tidak jauh dari pintu masuk. Kutunggu tiga orang yang berkunjung khusus ke museum dari Solo ini keluar dari ruangan. Setelah itu aku melihat berbagai koleksi yang berada di dalam bingkai kaca. 
Beberapa koleksi emas di Museum Ronggowarsito
Beberapa koleksi emas di Museum Ronggowarsito
Ada banyak koleksi yang di ruangan emas, semuanya di dalam kaca transparan dan terkunci. Di dinding terdapat koleksi foto yang berisi dokumentasi pemberian imbalan jasa temuan benda Cagar Budaya berupa emas dari Klaten pada tahun 1991. 

Usai dari ruangan tersebut, aku kembali bersantai. Berbincang dengan petugas yang duduk di teras dalam museum. Beliau adalah Pak Sampun, salah satu petugas yang menyapaku sedari awal sebelum masuk museum. 

Beliau menuturkan kunjungan biasanya lebih banyak pada akhir pekan. Hari jumat seperti ini tidak terlalu banyak, pun dengan hari biasa yang lainnya. Kunjungan terlihat membludak saat masa selepas ujian sekolah. 

Pandanganku tertuju pada lelaki sepuh yang menggunakan topi ala seniman sedang duduk dan menelpon. Beliau ditemani dua orang, salah satunya dari salah satu dinas di Semarang. Seingatku, beliau sedang menulis buku, dan mencari tambahan informasi dari Museum Ronggowarsito. 
Pengunjung museum Ronggowarsito yang mencari literatur di perpustakaan
Pengunjung museum Ronggowarsito yang mencari literatur di perpustakaan
Sedikit yang aku dengar, beliau mencari topik tertentu di perpustakaan Ronggowarsito. Sebelumnya beliau sudah mendapatkan tambahan referensi dari Perpustakaan Sonobudoyo Yogyakarta. 

Kami sempat bertemu saat berada di dalam perpustakaan Ronggowarsito. Hanya saja literatur yang beliau cari tidak ada di perpustakaan ini. Beliau meninggalkan kartu nama kepada pustakawan, dan berharap jika ada literatur yang dicarinya bisa menghubunginya kembali. 

Di perpustakaan Museum Ronggowarsito, aku melepas lelah sembari membaca beberapa koleksi yang di sini. Pun berbincang dengan tiga mahasiswa jurusan Ilmu Perpustakaan Undip yang sedang magang. 
Koleksi di Perpustakaan Museum Ronggowarsito
Koleksi di Perpustakaan Museum Ronggowarsito
Menjelang pukul 11.30 WIB, aku keluar dari museum. Tidak jauh dari museum ada masjid yang masuk gang. Melintasi warung kecil di depan sekolah dasar, suara pelantang masjid terdengar kencang. Jumat ini aku menunaikan salat jumat di masjid tersebut. 

Tuntas juga agenda hari ini. Kunjungan ke Museum Ronggowarsito sebenarnya memang sudah terencana. Ini artinya masih ada utang satu museum lagi yang nantinya aku kunjungi di lain kesempatan, yakni Museum TNI Mandala Semarang, atau museum-museum yang lainnya di Semarang. *Museum Ronggowarsito; Jumat, 04 Januari 2019.

Kopi Tubruk di Kedai Omah Kopi Omah S’dulur

$
0
0
Segelas kopi tubruk di Omah Kopi Sedulur Jogja

Hari menjelang petang, jalanan di Jogja padat merayap. Kendaraan bermesin saling berbagi jalan, berbaur di jalan Jogja yang cenderung sempit. Aku sendiri berdiri di trotoar. Tepat di depanku sebuah kedai kopi yang masih tutup. 

“Kedainya tutup,” Tulisku di WAG. 

“Bukanya pukul 19.00 WIB,” Balas kawan. 

Kulihat arloji tangan, masih lebih setengah jam lagi baru buka. Kedai ini bernama Omah Kopi Omah S’dulur. Kedai kopi yang beralamat di jalan Prof. Sardjito ini menjadi tempat tujuanku mengopi sambil berharap dapat mengulasnya di blog. 

Kusempatkan menikmati nasi angkringan, lalu pukul 19.00 WIB kembali ke kedai kopi. Tetap saja belum ada tanda-tanda hendak buka. Ardian mencari narahubung di internet, lantas mengirimkan pesan. 

“Sebentar lagi buka, mas,” Balasan dari pesan WA pemilik kedai kopi. 

Tidak berapa lama, lelaki tua menghampiri kami. Beliau pemilik kedai kopi. Sembari meminta maaf, bapak tersebut berujar hari ini agak terlambat sedikit buka kedainya. Beliau harus menjemput anaknya terlebih dahulu di Mrican. 
Cahaya temaram di Omah Kopi Omah S'dulur Jogja
Cahaya temaram di Omah Kopi Omah S'dulur Jogja
Aku, Ardian, dan Gallant tetap bersabar menunggu kedai buka. Seorang pria agak muda mulai menata kursi, membuka kedai, dan menyiapkan segala keperluannya. Beliau ini adalah Mas Toni, satu-satunya pegawai yang dipercayai Pak Sasongko untuk mengurusi kedai bersamanya. 

Omah Kopi Omah S’dulur ini tidak mencolok. Sangat sederhana bangunannya. Suasana temaram ini mengingatkanku Kedai Kopi Sellie yang ada di sekitaran Prawirotaman. Jejeran kursi plastik berkombinasi dengan meja kayu. 

Bangunan kedai kopi ini memanfaatkan garasi rumah. Tempatnya menyatu dengan rumah Pak Sasongko. Kondisi dalam kedai pun sederhana. Satu rak tergantung lengkap dengan berbagai jenis kopi yang sudah digiling. 

Buka mulai pukul 19.00 WIB, dan ditutup pukul 00.00 WIB bukanlah waktu panjang. Amat berbeda dengan kedai kopi yang lainnya. Mataku menyeruak ke penjuru, melihat dinding kedai yang usang dan tayangan televisi kabel, serta tanpa ada jaringan internet. 

Di sini, kita hanya dapat memesan kopi tubruk. Ini yang menjadi ciri khas Omah Kopi S’dulur. Sedari awal konsisten untuk menyajikan kopi dengan tubruk. Ada peralatan yang lainnya, tapi tidak pernah digunakan pemiliknya. 

Kedai ini salah satu yang sudah cukup lama di Jogja. Sudah ada sejak tahun 2010, Omah Kopi S’dulur masih tetap eksis sampai sekarang. Perbincanganku dengan Pak Sasongko cukup lama. Beliau menuturkan tahun 2010, segelas kopi tubruk di sini seharga 5000 rupiah. 
Daftar menu dan harga minuman di Omah Kopi Omah S'dulur Jogja
Daftar menu dan harga minuman di Omah Kopi Omah S'dulur Jogja
Sembilan tahun berselang, tidak ada perubahan signifikan terkait harga. Kini, segelas kopi tubruk dihargai 9000 rupiah. Jika ada tambahan susu atau varian yang lain, cukup ditebus dengan harga 10.000 rupiah. Harga yang sangat sesuai dengan kantung mahasiswa. 

Kami sudah di dalam sebelum Pak Sasongko datang. Mas Toni meladeni pemesanan kami. Teman-teman memesan Kopi Durian, sementara aku memesan House Blend. Di Omah Kopi Sedulur ini yang paling unik adalah kopi duriannya. 

Meracik kopi tubruk tidak membutuhkan banyak alat. Kompor dihidupkan, memasak air, dan menyiapkan gelas. Mas Toni mengambil bubuk kopi dari stoples, lalu menuangkan secukupnya. Takaran hanya melalui perkiraan sendiri. 

Pemandangan ini mengingatkanku waktu menyeduh kopi di Menoreh. Sewaktu di Kedai Kopi Pak Rohmat, model penyeduhan sederhana seperti ini yang dilakukan. Untuk sesaat aku dan teman-teman menunggu sajian kopi tubruk. 

Deretan stoples tertata rapi di rak. Pemandangan ini lebih mencolok karena tutup stoples berwarna merah. Saat ini yang tersedia sebanyak 18 bubuk kopi dari berbagai penjuru di Indonesia. 

“Awalnya ada 32 kopi. Seiring berjalannya waktu, 18 kopi inilah yang memang banyak diminati,” Ujar Pak Sasongko sembari menyulut rokok. 
Proses pembuatan kopi cukup sederhana
Proses pembuatan kopi cukup sederhana
Kopi Durian ini tidak muncul sejak pertama dibuka. Dituturkan Pak Sasongko, beliau meracik ini dan memperkenalkan di kedai mulai tahun 2011. Awal ada kopi durian, masih jarang yang ingin mencoba. Bahkan, kedai kopi ini paa awal berdiripun masih belum banyak yang datang. 

Bergulirnya waktu, kopi durian mulai mendapatkan tempat tersendiri. Pengunjung yang penikmat kopi tubruk berdatangan. Mengajak kolega, hingga akhirnya menjadikan kedai kopi ini makin ramai. Pak Sasongko bercerita panjang tentang sejarah kedainya. Sementara aku terus mendengarkan. 

Sampai sekarang, pelanggan kopi tubruk di Omah Kopi Sedulur tetap terjaga. Mereka terus berdatangan dengan jumlah yang berbeda. Terkadang ada yang datang rombongan, atau sendirian. Pelanggan lama pasti sudah dikenali Pak Sasongko. 

“Pernah ada mahasiswa dari Aceh datang berombongan. Katanya dia kangen kopi Aceh.” 

Terlontar pertanyaan terkait jumlah pengunjung yang berkunjung di sini. Karena hari ini memang belum banyak, sekitar 10 orang yang datang. Pemilik kedai kopi ini tersenyum. Beliau mengatakan selalu sesuai target. 

Sepertinya kopi yang kami pesan sudah siap dihidangkan. Mas Toni mengantarkan ke meja kami. kemudian beliau menuju depan kedai membuat pesanan mendoan yang kami minta. Selain kopi, di sini ada kudapan mendoan. 
Kopi tubruk ala Omah Kopi Omah S'dulur Jogja
Kopi tubruk ala Omah Kopi Omah S'dulur Jogja
Kombinasi lengkap antara kopi tubruk dengan mendoan
Kombinasi lengkap antara kopi tubruk dengan mendoan
Kopi tubruk sudah di atas meja. Aku mengabadikan sejenak sebelum kuteguk sampai tuntas. Ampas kopi masih mengambang, lamat-lamat tenggalam di dasar. Kopi tubruk house blend yang kupesan rasanya pas dan cocok. 

Untuk sesaat kami menikmati tiap seduhan kopi tubruk. Menyeduh kopi di tempat temaram nan sederhana, tanpa ada keriuhan pengunjung, tentu kombinasi yang tepat. Setelah itu, mulailah kami mendeskripsikan rasa dari kopi tersebut. 

Demi merasakan kopi durian, kusesap kopi pesanan kawan. Aku merasa tidak asing dengan rasa seperti ini. Entahlah, minum kopi durian, lidah ini seperti pernah merasakan “rasa” ini. Cenderung manis. Pantaslah kopi ini ini menjadi andalannya. 

Aku kembali berbincang dengan Pak Sasongko, meninggalkan teman-teman yang bercerita tentang Mie Ayam terenak di Jogja versi masing-masing. Rencananya, bulan oktober kedai kopi ini direnovasi. Dibuat lebih asyik, berinovasi mengikuti perkembangan zaman. 

Tetap saja, ciri khas kopi tubruk diprioritaskan. Ada rencana untuk buka siang, hingga menyajikan minuman nonkopi. Selama ini, bagi pengunjung yang tidak suka kopi tidak bisa mendapatkan minumannya di kedai kopi ini. 

“Jika memang tidak signifikan pengunjung pas buka dari siang. Saya kembalikan lagi buka malam seperti biasanya,” Tandas Pak Sasongko pelan. 

Tentu kalian tebersit pikiran, kenapa aku ingin ke kedai kopi ini. Apa yang membuatku tertarik datang, atau menceritakan di blog. Sebuah pertanyaan yang bisa aku jawab dengan singkat, itupun mengutip pernyataan Pak Sasongko. 
Berbincang di kedai kopi
Berbincang di kedai kopi
“Di kedai kopi modern, kalian bisa memesan kopi yang sama di tiap kedai yang berbeda. Jika kalian ingin menikmati kopi tubruk, Omah Kopi Sedulur tempatnya.” 

Pun dengan apa yang diungkapkan pemiliknya. Sejatinya kopi tubruk adalah menjual kopi yang paling jujur. Kamu merasakan kopi yang sebenarnya di sini. Kopi tubruk itu merakyat, karena sajiannya tidak membutuhkan peralatan khusus. 

Satu hal lagi yang mungkin tidak banyak orang ketahui tentang Kopi Omah S’dulur. Pak Sasongko adalah orang yang diundang dan meracik kopi di Jogja kala Pak Jowoki ada agenda di Jogja. Momennya saat malam sebelum Pak Jokowi bersepeda dari Bundaran UGM ke jalan Cik Ditiro. 

Meski beliau tidak singgah di Kedai Kopi Omah S’dulur, tapi racikan kopinya dinikmati Pak Jokowi bersama-sama beberapa menteri dan kolega yang lainnya. Bahkan, tidak sedikit orang-orang berpengaruh yang lainnya pernah singgah dan menyeduh kopi tubruk di sini. 

Aku mengakhiri perbincangan dengan Pak Sasongko, kembali berkumpul dengan kawan. Setidaknya malam ini ada obrolan menarik tentang kopi tubruk. Masih banyak hal yang tidak bisa aku ceritakan. Jika kalian tertarik, tinggal sambangi kedai kopi ini. *Omah Kopi S’dulur; Rabu, 25 September 2019.

Mengenalkan Kampung Ragam Warna Kendal dengan Festival Drumblek

$
0
0
Kampung Ragam Warna Kaliwung, Kendal
Tulisan Ragam Warna mencolok di tepian jalan. Pun dengan kursi yang berada di tepi jalan. Beberapa orang sedang asyik mengabadikan diri, membuat vlog, serta sebagian antre menunggu gilirannya beraksi. 

Aku melangkah menyusuri jalan kampung, mendekati payung-payung besar yang dijadikan stand panitia untuk mendata peserta di acara Festival Drumblek 2019. Di daftar kertas, namaku tersemat pada nomor 13. Ini artinya aku termasuk mendaftar di awal. 

Kampung Ragam Warna yang berlokasi di Dusun Mranggen, Desa Kutoharjo, Kecamatan Kaliwungu, Kabupaten Kendal sedang ada hajatan selama dua hari. Akhir pekan ini nantinya ada ratusan pengunjung yang ingin melihat Festival Drumblek 2019. 

Untuk berkunjung ke Kampung Ragam Warna sebenarnya tidak sulit. Aku sendiri sengaja menggunakan transportasi umum. Dari Jogja menuju Terminal Terboyo Semarang, lalu berganti naik bus ke Terminal Mangkang. Dari terminal Mangkang bisa naik bus kecil ke lokasi atau transportasi daring. 

Transportasi yang lain bisa menggunakan Trans Semarang dan turun di Terminal Mangkang. Lanjut menggunakan bus kecil atau ojek seperti yang sudah aku jelaskan. Pada dasarnya menuju kampung ini cukup mudah. 

Umbul-umbul terpasang, tulisannya sama persis dengan poster yang terunggah di Instagram Kampung Ragam Warna. Kesibukan panitia dalam menyelenggarakan rangkaian acara di sini tampak jelas. Semuanya bekerja demi kelancaran acaranya hingga selesai. 

Rangkaian acara berlangsung di panggung kecil yang memanfaatkan tanah lapang di samping rumah warga. Suara pelantang menginformasikan jika sekarang waktunya lomba melukis payung. Siapapun boleh mengikuti, dan ada hadiah bagi pemenang. 
Anak-anak berkreasi melukis payung
Anak-anak berkreasi melukis payung
Aktivitas melukis payung menjadi tontonan sebagian pengunjung. Lokasi melukis tidak ditentukan. Para peserta yang didominasi anak-anak mencari tempat sendiri yang menurut mereka nyaman. Puluhan mata lensa membidik setiap geraknya. 

Panitia yang di bawah pun sibuk menyiapkan payung serta menuangkan cat berbagai warna dalam gelas plastik kecil. Mereka melayani peserta yang turut mengambil bagian dalam melukis payung. Siang sangat terik, tempat-tempat yang teduh menjadi spot asyik dalam melukis. 

Di teras rumah warga, dua anak kecil sibuk melukis. Tanpa pola, tangan-tangannya mengikuti imajinasi dalam berkarya. Kedua ibunya hanya mendampingi tanpa turut memberikan instruksi gambar dan warna. Mereka dibebaskan menyalurkan imajinasinya. 

Menjelang sore hingga tengah malam, acara terpusat di panggung. Dekorasi panggung terbuka, berbagai properti ditambahi agar panggung lebih semarak. Sore ini penampilan Tari Sufi berlangsung. Lagi-lagi aku dan yang lainnya sibuk memotret. 

Di Kaliwungu memang lokasinya berbaur menjadi satu dengan beberapa pesantren. Konon, penampilan tarian Sufi ini adalah para santri yang mondok di pesantren terdekat dari kampung. Sewaktu aku menuju Kampung Ragam Warna, sempat melewati beberapa pesantren. 
Santri sedang perfom tarian Sufi
Santri sedang perfom tarian Sufi
Pertunjukan demi pertunjukan berlangsung hingga malam. Aku tidak sepenuhnya mengikuti rangkaian acara tersebut. Sengaja kuhemat tenaga untuk esok hari. Malam ini, aku berbincang dengan Pak Ngateman, warga yang bertugas menjaga TPQ Miftahul Hidayah. 

“Warga di sini kompak, mas. Waktu pengecatan jalan dan tembok, semuanya bekerja. Pokoknya guyup,” Tuturnya. 

***** 

Drumblek, Tradisi kala Ramadan Menjadi Festival yang Menarik Kunjungan Wisatawan 

Hari minggu di Kampung Ragam Warna Kendal jauh lebih ramai. Peserta Festival Drumblek sudah berdatangan. Sebelumnya, mereka tampil di sekitar Alun-alun Kendal. Kini, tiap rumah warga yang di dekat panggung sudah dipenuhi kelompok yang siap menampilkan drumblek. 

Drumblek sendiri berawal dari rutinitas warga yang membangunkan sahur saat ramadan. Seluruh peralatannya sederhana, apapun peralatannya yang penting bisa berbunyi dan membentuk irama saat dipukul secara bersamaan. 

Warga Kampung Mranggen sendiri sedari dulu sangat bersemangat melakukan drumblek. Kegiatan ini pernah dilombakan, dan perwakilan dari Kampung Mranggen ini juara. Setelah itu diminta menjadi tuan rumah dalam gelaran Drumblek. 

Kepekaan terhadap potensi drumblek ambil pihak-pihak yang berada di Kampung Mranggen. Hingga akhirnya tradisi ini menjadi sebuah festival yang dapat mendatangkan banyak wisatawan. Dari sini juga akhirnya ide kampung Mranggen disulap menjadi Kampung Ragam Warna dan drumblek menjadi festival unggulannya. 

Sebenarnya peserta Festival Drumblek ini banyak. Namun, hingga menjelang tampil, yang siap di lokasi sepuluh peserta. Mereka menampilkan tarian dan lantunan suara dari perkakas yang dipukul. Alat-alat ini identik dengan waktu anak-anak membangunkan orang saat sahur. 
Peserta Drumblek menunggu waktu tampil
Peserta Drumblek menunggu waktu tampil
Di teras rumah warga, kelompok Amblotan Etnika menunggu giliran tampil. Seharusnya mereka tampil nomor urutan empat. Berhubung peserta ada yang tidak datang, mereka menjadi nomor urut tiga. Peserta yang merupakan anak-anak sekolah ini tampak bersiap, sedikit raut wajah grogi. 

Mereka terus berbincang dengan temannya. Ada yang memutar-mutar pukulan drum. Stik yang digunakan bagian ujung dilapisi bola kasti. Ada juga yang masih menata bulu yang tersemat di kepala. Mereka berusaha tenang sembari menunggu waktu tampil. 

Perempuan kecil di depanku terus membaca syair yang ada di balik daun kering. Sepertinya dia bertugas membaca syair saat tampil. Tia namanya, perempuan kecil ini berusaha tersenyum meski hatinya bergejolak dan sedikit grogi. 

“Deg-degan, mas,” Ujar Tia. 

Tia berujar jika sudah mempersiapkan untuk mengikuti Festival Drumblek ini sebulan yang lalu. Dia bersama 17 temannya rajin berlatih. Amblotan Etnika sendiri sudah ada sejak empat tahun yang lalu, kelompok ini berasal dari Kampung Blorok, Pujirejo, Brangsong. Salah satu kelompok yang dari luar Kaliwungu. 
Tia, peserta Drumblek dari Amblotan Etnika
Tia, peserta Drumblek dari Amblotan Etnika
Festival Drumblek sendiri memang dimeriahkan kelompok dari berbagai daerah. Sebagian besar dari Kaliwungu sendiri. Amblotan Etnika ini menjadi salah satu peserta terjauh. Di tahun 2018, kelompok ini mendapatkan prestasi juara harapan 3 di Festival Drumblek, sebelumnya juga pernah juara harapan 4 saat di SMK Harapan Mulya Kendal. 

Suara pelantang menyebutkan Amblotan Etnika untuk tampil. Anak-anak yang menggunakan kostum dominan warna merah berbalut hitam berjalan. Para lelaki terlebih dulu berjalan, diikuti rombongan perempuan. 

Wajah-wajah tegang terlihat jelas, sesekali mereka tersenyum guna menyapa pengunjung yang sudah memenuhi lapangan dan tepi jalan. Aku sendiri mengikuti mereka hingga naik panggung. Berusaha melihat hingga tuntas tariannya. 
Berjalan menuju panggung untuk tampil
Berjalan menuju panggung untuk tampil
Kostum para lelaki lebih modern. Mereka menggunakan topi ala koboi dan diberi pita melingkar. Tatkala semua siap, mereka memukul perkakas beriringan. Kombinasi perkakas tersebut menghasilkan irama. 

Perkakas seperti tong besar, gong, berkombinasi dengan peralatan modern. Personil yang lain turut menari sembari membawa properti masing-masing. Sebelumnya personil putri ini menaburkan bunga sambil naik panggung, lantas memberi hormat kepada juri dan semuanya. 

Ritme sedikit melambat. Belum sepenuhnya berhenti, langsung kembali kencang. Tangan-tangan para pemukul drum gesit. Mereka tampil maksimal, membuktikan apa yang mereka latih selama sebulan tidak sia-sia. 
Kelompok Amblotan Etnika perfom di Festival Drumblek 2019
Kelompok Amblotan Etnika perfom di Festival Drumblek 2019
Tia ditunjuk sebagai pemimpin. Dia juga yang memimpin  untuk memberi hormat kepada juri, lantas dia maju meninggalkan kawannya yang menari sambil membawa gunungan. Dipegangnya daun kering layaknya kipas, lantas dia membaca syair. 

Gonjang Ganjing Sak Buwana 

Ngayahi urip iku gampang, nanging ojo digampangake 
Makaryo ora mung mburu upo lan bandha 
Tegese, makarya diniati kanti ngibadah 

Aja mung tahu tempe, pisan-pisan nyate 
Ben ngerti urip orak mung ngemplok 
Tapi yo ono slilitenne barang...? 

Kawitan seneng mergo dibiasakke 
Ngunduhe kamulyan amarga wani kangelan 

Sing teko tampanana 
Yen lungo lalekno 
Sing durung teka aja dienteni, ning 
Sing wis ana syukurana 
Wong sing iso seneng iku wong sing iso syukur 

Syukur marang sak kabene nikmat 
Yen tresna amarga rupa lan bandha pha piye anggone tresna marang Gustine 
kang tanpa rupa lan kabeh sak isine donya 
Gusti kang nduweni...? 
Tia membaca semacam syair diiringin dengan musik dan tarian
Tia membaca semacam syair diiringi dengan musik dan tarian
Di depan panggung Pak Muhid Rahmad selaku sosok yang mengubah lirik gubahan dari Kidung Wahyu Kolosebo ini tersenyum. Beliau berharap pesan dari syair tersebut dapat tersampaikan. Menurutnya, Festival Drumblek ini bukan sekadar musikal, tapi juga sebuah teatrikal. 

Harapannya, setiap festival yang ada di Kampung Ragam ini tidak hanya menonjolkan keindahan dan kemeriahan. Namun, sekaligus menjadikan sebagai ajang melestarikan tradisi masyarakat yang mulai ditinggalkan. 

Kurang lebih lima menit kelompok Amblotan Etnika tampil. Pesan yang ingin disampaikan pada tampilan mereka adalah tentang dunia, keseimbangan. Adanya kekacauan, pasti ada yang mendamaikan, hidup itu harus berjuang dan tidak hanya sekadar hidup. 

***** 

Potensi-potensi yang bisa dikembangkan Kampung Ragam Warna Kaliwungu 

Sejatinya, keberadaan Kampung Ragam Warna Kaliwungu ini menjadi pemantik potensi-potensi yang lainnya untuk menggeliat. Silih berganti para wisatawan berdatangan, sehingga ada beberapa potensi yang bisa dikembangkan. 

Jauh sebelum acara Festival Drumblek digelar, waktu masih subuh, aku sudah berkeliling kampung Mranggen. Warga setempat ramah, kami bertegur sapa saat bertemu di jalan. Aktivitas pagi ini lebih pada membersihkan rumah. 
Anak-anak Kampung Mranggen melintasi mural-mural di kampungnya
Anak-anak Kampung Mranggen melintasi mural-mural di kampungnya
Di depan tulisan yang penuh mural, anak-anak kecil silih berganti swafoto. Tidak ketinggalan sekelompok keluarga yang momong anak kecilnya mengabadikan diri menggunakan gawai. Sementara panitia sudah hilir-mudik mengatur jalan. 

Di tepi jalan, aku berbincang dengan Pak Slamet. Beliau salah satu warga yang membuka warung makanan. Menurutnya, makin dikenalnya Kampung Ragam Warna membuat dagangannya lebih sering dikunjungi. 

Susesap kopi sambil mendengarkan cerita Pak Slamet. Beliau menuturkan jika geliat perekonomian warga seperti bergairah. Tinggal bagaimana nantinya para warga itu sendiri mengambil potensinya. 

Tidak hanya Pak Slamet, tetangga beliau yang jualan lontong sayur, gorengan, dan yang lainnya juga merasakan dampak yang besar setelah kampungnya terkenal. Perekonomian makin meningkat, dan warga harus paham hal tersebut untuk dimanfaatkan. 
Aku menyesap kopi sambil berbincang dengan warga setempat
Aku menyesap kopi sambil berbincang dengan warga setempat
Berkat kunjungan wisatawan, banyak warga yang berdagang
Berkat kunjungan wisatawan, banyak warga yang berdagang
Masyarakat Kampung Ragam Warna ini bisa menjadikan kuliner lokal untuk dikenalkan kepada pengunjung wisatawan. Biasanya setiap kampung mempunyai potensi dalam pengolahan makanan, tentu ini menarik jika dikelola dengan baik. 

Kunjungan wisatawan tidak hanya dari peserta yang ingin menyaksikan Festival Drumblek. Beberapa kali aku melihat pesepeda yang melintasi Kampung Ragam Warna. Mereka ada yang berfoto di tulisan, ataupun sekadar lewat. 

Tentu adanya pengunjung seperti ini bisa mengenalkan potensi spot bersepeda bagi para pesepeda di Kendal dan sekitarnya. Lagi-lagi, jika memang dikemas dengan baik, bukan hal yang mustahil jika Kampung Ragam Warna ini menjadi salah satu tujuan pesepeda di Kendal, Semarang, dan sekitarnya. 

Kabar yang menyenangkan tentunya di sini sudah lengkap toilet umum. Bagi wisatawan yang sekadar datang, berfoto, dan menyempatkan singgah di warung, tentu keberadaan toilet umum menjadi fasilitas yang harus ada. 
Pesepeda yang menyempatkan diri melintasi Kampung Ragam Warna Kendal
Pesepeda yang menyempatkan diri melintasi Kampung Ragam Warna Kendal
Sebaiknya toilet umum ini dijaga dengan baik. Dibentuk kelompok untuk giliran membersihkan toilet. Aku percaya, kekompakan warga Kampung Ragam Warna ini bisa diandalkan untuk menjaga toilet tersebut agar tetap bersih. 

Langkah kaki terus menapaki jalan yang sedikit menanjak. Menurut informasi warga, di ujung terdapat taman kecil yang biasa digunakan anak-anak berkumpul dan bermain. Benar saja, di samping rumah warga terdapat taman kecil penuh warna. 

Petakan tanah kecil yang sudah disulap menjadi taman ini bisa dimanfaatkan masyarakat untuk wisata edukasi atau untuk tempat bermain tradisional seperti dakon dan yang lainnya. Jika memang memungkinkan, bisa ditambahi taman baca, sehingga lebih mengayikkan. 
Lahan kecil dimanfaatkan menjadi taman dan spot foto
Lahan kecil dimanfaatkan menjadi taman dan spot foto
Di samping taman, aku menyapa seorang bapak yang sedang membuat meja kayu. Kami berbincang santai. Beliau berujar jika membuat meja untuk jualan saat Festival Drumblek siang nanti berlangsung. 

Potensi lain yang bisa dikembangkan oleh Kampung Ragam Warga adalah wisata religi. Di atas, terdapat Makam Waliku dan makam-makam orang berpengaruh yang lainnya. Tempatnya tidak hanya di Kampung Mranggen, namun berdekatan. Tentu ini bisa dimanfaatkan untuk wisata religi. Waliku sendiri kepanjangan dari wisata alam, religi, dan kuliner.

Di Makam Waliku terdapat makam KH. Mustofa, KH. Musyafak, dan KH. Abu Chaer. Beliau semua adalah sosok ulama yang berpengaruh di Kaliwungu. Di sini juga terdapat makam Bupati Kendal Ke 38, Drs. H. Djomadi. Tidak jauh dari sana juga ada makam Wali Hasan Abdullah (Eyang Pakuwojo). 

Jauh sebelum kampung Mranggen dikenal dengan sebutan Kampung Ragam Warna, sudah banyak para peziarah yang berdatangan. Aku pun turut mengunjungi Komplek Makam Waliku, di bangunan makam, sudah ada beberapa warga yang ziarah.
Para santri berjalan melintasi komplek makam Waliku
Para santri berjalan melintasi komplek makam Waliku
***** 

Potensi-potensi ini seharusnya bisa membuat Kampung Ragam Warna lebih baik lagi jika bisa dikelola dengan baik. Mulai dari wisata kuliner hingga wisata religi dan digabungkan dengan adanya festival, sudah pasti pengunjung jauh lebih banyak. 

Tidak menutup kemungkinan kampung ini menjadi desa wisata, warganya mempunyai rumah-rumah yang bisa ditawarkan sebagai homestay, serta kegiatannya dapat menjadi penarik wisatawan untuk berkunjung. 

Dua hari penuh cerita dari Kampung Ragam Warna. Di sini aku tidak hanya meliput kegiatan, bersua dengan teman, tapi juga mendapatkan kenalan baru. Masyarakat Kampung Ragam Kaliwungu begitu ramah, membuatku ingin datang ke sini lagi. *Kampung Ragam Warna, Kendal; 26-27 Oktober 2019.

Kopi Pekat di Kedai Kopi Tjemara Jogja

$
0
0
Kopi pekat di Kedai Kopi Tjemara
Sejak awal Oktober, aku kembali disibukkan memilah-milah kedai kopi yang nantinya kudatangi untuk kutulis di blog. Sebenarnya sudah ada beberapa kedai kopi dalam daftar, hanya saja butuh waktu untuk mendatanginya satu-persatu. 

Di dekat kos, hanya berjarak 150 meter, terdapat kedai kopi kecil yang lampunya agak temaram. Kurun waktu dua bulan, aku hanya melihat kedai kopi tersebut saat bersepeda, berniat ke sana jika waktunya memungkinkan. 

Pertengahan bulan Oktober, akhirnya aku sempatkan berkunjung. Setelah sedikit bingung di kosan, aku jalan kaki ke perempatan Papringan yang tidak jauh dari belakang KFC. Lokasi kedai kopinya tepat di sisi barat, di halaman rumah. 

Kopi Tjemara nama kedainya. Buka pertama pada bulan April 2019, kedai kopi Tjemara ini belum sepenuhnya dikenal banyak orang. Setiap aku lewat, dari jalan terlihat ada dua atau tiga pengunjung yang duduk santai di dalam kedai. 

Saat ini kedai kopi Tjemara buka saat sore. Mulai pukul 15.00 WIB hingga pukul 22.00 WIB. Hanya saja, untuk tutup kadang malah sampai pukul 00.00 WIB, karena pengunjung asyik berkumpul. Orang kedai pun santai. 
Meja barista di Kedai Kopi Tjemara Jogja
Meja barista di Kedai Kopi Tjemara Jogja
Tidak ada plang nama, kedai ini sebenarnya berada di tepi jalan, namun tidak banyak yang tahu. Sesampai di kedai kopi, aku melihat stok biji yang tersedia. Seorang barista menerangkan biji kopi yang dimiliki. 

Dari semua yang disebutkan, aku tertarik dengan kopi Tjemara. Sesuai nama kedai kopi ini, tentu biji kopi tersebut yang menjadi ciri khas suatu kedai kopi. Jika dilihat dari harga yang tertera, kopi di sini cukup murah bagiku. 15.000 rupiah harganya, sementara di sekitaran Demangan biasanya jauh lebih mahal. 

Menu yang tersedia tidak hanya kopi. Minuman nonkopi juga tersedia. Hal ini untuk menyediakan pengunjung yang memang belum terbiasa minum kopi. Selain minuman, di kedai kopi Tjemara juga menyediakan makanan berat ataupun kudapan. 

Sempat kutanya metode penyeduhannya, barista ini mengatakan jika menggunakan V60. Aku mengangguk, lantas duduk santai di kursi yang tersedia. Untuk sementara waktu kuambil kamera dan bersiap memotret. 
Daftar menu dan harga di Kedai Kopi Tjemara Jogja
Daftar menu dan harga di Kedai Kopi Tjemara Jogja
“Boleh memotret di sini?” 

Pramusaji maupun barista diam, lantas dia meminta persetujuan owner kedai kopi. Ownernya lelaki yang tadi sempat berpapasan denganku sebelum masuk kedai. Kami berbincang, dan owner tersebut dengan santai memperbolehkan aku memotret. 

“Silakan mas, anggap kedai kopi sendiri,” Ujar Mas Franky. 

Kami sedikit berbincang. Salah satu yang kutanyakan adalah apa itu kopi Tjemara yang menjadi kopi andalan di sini. Di menu, tertulis Kopi Tjemara adalah kopi robusta dengan rasa yang sudah dipertahankan sejak tahun 1935. 

Dituturkan Mas Franky, kopi ini adalah kombinasi antara kopi Lampung, Pontianak, dan Singkawang. Beliau sendiri merupakan generasi ketiga dalam mempertahankan kopi tersebut. Sedari dulu, keluarganya memang mempunyai pekerjaan berkaitan dengan kopi. 

Usai berbincang, aku memotret sudut kedai kopi. Di luar kedai, ada meja dan sepasang kursi. Untuk sementara waktu, bagian luar belum dioptimalkan. Sehingga para pengunjung difokuskan dalam ruangan saja. 

Ruangan yang tidak terlalu luas didesain sedemikian rupa. Meja panjang tersemat menghadap jendela luar, lengkap dengan empat buah kursi kecil. Di bawah meja terdapat stop kontak guna yang membutuhkan listrik. 

Meja yang lainnya tersebar. Sepasang meja berukuran tanggung digabung menjadi satu, sehingga tampak seperti satu meja besar lengkap dengan empat kursi. Tepat di depan barista juga dipasang meja serta kursi panjang membentuk huruf L. 

Aku sendiri duduk di kursi yang terbuat dari anyaman bambu. Kursi dan meja ini cenderung lebih rendah. Tidak senyaman meja yang lainnya untuk bekerja. Sebenarnya tujuanku ke sini sekalian ingin menepi, menyelesaikan satu tulisan. Hanya saja sampai di sini lebih asyik berbincang. 
Ruangan di Kedai Kopi Tjemara Jogja
Ruangan di Kedai Kopi Tjemara Jogja
Ruangan ini sementara waktu tidak menggunakan pendingin ruangan. Sepasang kipas angin besar berputar. Ini artinya ruangan di dalam boleh merokok. Nantinya bakal ada perbaikan, mungkin bulan depan sudah dipasang pendingin ruangan. 

“Sedang kami pikirkan untuk menjadikan ruang ini bebas rokok. Jadi harus berpikir bagaimana halaman depan ditambahi kursi,” Ujar Mas Franky. 

Beliau juga masih mempertimbangkan agar ruangan dalam ditambahi beberapa meja lagi, sehingga lebih padat. Menurutku, di dalam masih bisa untuk dua atau tiga meja lagi. Khususnya yang dekat pintu masuk. 

Lantunan musik berganti. Suaranya pelan, berkombinasi dengan suara baling-baling kipas angin. Kita bisa meminta pramusaji atau barista mengganti lagu sesuai dengan selera kita. Di tembok tersebar figura berbagai hasil lukisan pensil. 

Malam ini tidak banyak pengunjung. Selain aku, ada dua remaja lelaki yang menyesap kopi. Pun satu orang tua yang meminta minuman Saparila. Empat orang pengunjung ditemani barista dan pramusaji. 

Biasanya kedai kopi ramai menjelang isya. Biasanya yang datang secara berkelompok. Pada awal kedai kopi dibuka, yang datang sebagian adalah kolega Mas Franky. Akhir-akhir ini banyak mahasiswa yang datang secara bergantian. 

Tidak jarang mahasiswa Instiper juga menjadi pelanggan tetap. Mereka yang menjalani kuliah D1 kampusnya hanya berjarak 70 meter dari kedai kopi. Secara tidak langsung, kedai kopi ini menjadi tempat terdekat untuk bersantai. 

Kurun waktu dari sore hingga tutup, kadang pengunjung berkisar antara 15 orang. Informasi ini dituturkan Aryo selaku barista. Hingga kini, sudah ada beberapa pelanggan tetap yang kembali lagi ke kedai untuk mengerjakan tugas. 

Secangkir kopi hitam dan agak pekat sudah di meja. Cangkir serta piring kecil motifnya menarik. Tidak ketinggalan dua buah biscuit yang disajikan sebagai pemanis rasa. Kusesap kopi Tjemara, khas kopi robusta yang pahitnya dominan. 
Secangkir Kopi Tjemara kala malam hari
Secangkir Kopi Tjemara kala malam hari
Meski kusesap dalam kurun waktu yang lama, kopi ini tidak signifikan perubahannya. Berbeda dengan kopi Arabika, jika sudah agak dingin rasanya cenderung berubah. Sekilas, rasa kopi ini memang dominan dari Lampung. 

Cukup lama aku di sini, menyesap kopi sembari berbincang. Pemilik kedai kopi ramah, menyapa beberapa pengunjung yang sudah lebih sekali datang. Pun dengan barista dan pramusajinya, keduanya juga mudah berinteraksi. 

Tanpa terasa kopi di cangkir hampir tandas. Aku bergegas membayar dan meminta izin pulang. bagiku, tempat ini bisa menjadi opsi untuk mengopi sambil bekerja di lain waktu. Pun di sini tersedia jaringan internet, sehingga saat butuh mengakses blog pun aman. 

Untuk kalian yang ingin menepi sejenak tanpa keriuhan, bisa coba datang ke Kopi Tjemara. Siapa tahu cocok dengan suasana di sini. Jika memang ke sini, aku rekomendaasikan naik transportasi daring, karena kedai ini halamannya tidak terlalu luas. *Kedai Kopi Tjemara; 12 Oktober 2019.

Peran Penting Transportasi Menuju Karimunjawa Guna Menarik Kunjungan Wisatawan

$
0
0
Pelabuhan Pantai Kartini Jepara
Ombak kecil mengempas di bibir pantai. Sepanjang mata memandang hanya hamparan laut luas. Di sudut-sudut tertentu daratan tersebar dalam bentuk pulau-pulau kecil yang mengelilingi pulau besar di Kepulauan Karimunjawa. Gugusan pulau yang mulai menarik wisatawan berkunjung lebih dari satu dasawarsa. 

Sedari dulu Karimunjawa sejatinya sudah memesona. Keindahan alam bawah laut menjadi potensi besar. Hanya saja, minimnya transportasi yang membuat pulau ini belum bisa memperlihatkan potensi alam secara maksimal. 

“Sebenarnya Karimunjawa itu indah, tapi transportasi penyeberangannya belum maksimal,” Begitulah obrolan para masyarakat Karimunjawa beberapa tahun lampau. Saat itu, Karimunjawa belum banyak dikenal para pelancong. 

Pun dengan perekonomian masyarakat setempat. Sebelum ada kapal yang mengangkut sembako secara rutin, mata pencaharian masyarakat di Karimunjawa sebagian besar adalah nelayan. Ada juga yang bekerja di kota-kota besar atau malah menjadi TKI di negara tetangga. 
Sunset di salah satu pantai di Karimunjawa
Sunset di salah satu pantai di Karimunjawa
Meski berada di Kabupaten Jepara, sembako di Kepulauan Karimunjawa pun termasuk mahal. Sulitnya mendapatkan saluran sembako dan menggantungkan diri dari daratan menjadi masalah tersendiri. Jangan kaget jika harga sembako di Karimunjawa berbeda jauh dengan di daratan sebelum tahun 2000. 

Tahun silih berganti, kapal penyeberangan pun turut menjadi bagian cerita. Penyeberangan panjang dari Karimunjawa ke Jepara penuh cerita. Larasati, Tongkol, Kota Ukir, Edison, hingga Kapal Muria. Itu adalah nama-nama kapal yang pernah rutin memberikan pelayanan penyeberangan Jepara – Karimunjawa. 

Era berubah sejak KMP Muria rutin menyeberang awal tahun 2000, seminggu datang dua kali tiap hari Rabu dan Sabtu ke Karimunjawa, serta Senin dan Kamis ke Jepara. Penyeberangan cukup dengan waktu tujuh jam. Sebelumnya, butuh waktu jauh lebih lama saat menyeberang di utara Laut Jawa. 

Kini, KMP Muria sudah tidak berlayar. Penggantinya KMP Siginjai jauh lebih cepat. Kapal yang beroperasi penyeberangan Jepara – Karimunjawa sejak tahun 2014 ini menempuh waktu 5 jam. Lebih cepat dua jam dari kapal sebelumnya. Tentu ini menjadi kabar bahagia bagi masyarakat kepulauan Karimunjawa. 

Tepat lima tahun sudah berlangsung, peran vital KMP Siginjai sebagai transportasi utama yang menyalurkan sembako dan pengunjung wisatawan ke Karimunjawa beroperasi. Kurun waktu tersebut, puluhan ribu wisatawan silih berganti datang dan pergi. Geliat pariwisata mulai menanjak, dan perekonomian menjadi lebih baik. 

***** 

Masih subuh, aktivitas di Pelabuhan Kartini Jepara sudah sibuk. Hilir-mudik mobil pengangkut sembako menurunkan barang bawaannya. Lalu para pekerja mengangkat sembako tersebut ke dalam kapal. Rutinitas seperti ini selalu terlihat saat KMP Siginjai hendak menyeberang ke Karimunjawa. 
Transportasi kapal laut untuk pengiriman sembako ke Karimunjawa
Transportasi kapal laut untuk pengiriman sembako ke Karimunjawa
Meski KMP Siginjai bukan satu-satunya kapal penyeberangan ke Karimunjawa. Tetap saja kedatangannya sangat diharapkan masyarakat Karimunjawa. Dari kapal ini, sembako, material bangunan, dan yang lainnya dikirimkan ke Karimunjawa. 

Para pedagang yang berasal dari Karimunjawa membeli banyak barang berupa sembako, material, dan apapun yang dibutuhkan oleh masyarakat Karimunjawa. Mereka yang kemudian nanti menjual sembako untuk warga lokal. 

Inilah pentingnya kapal sebagai transportasi utama bagi masyarakat yang ada di kepulauan. Kinerja dari Kementerian Perhubungan menjadi tonggak majunya perekonomian masyarakat yang berada jauh dari jangkauan. 

Sembako-sembako diantar menggunakan kapal yang berukuran besar, lantas dinantikan masyarakat setempat. Terlebih, Karimunjawa mempunyai ketergantungan dengan pemasok sembako dari Jepara. Jika musim ombak besar, acapkali sembako tersendat dan ada bantuan dari kapal yang lebih besar lagi dalam mengirimkan logistik. 

Adanya kapal penyeberangan juga membantu pengusaha lokal di Karimunjawa untuk meningkatkan perekonomiannya. Para pengusaha kecil yang bergelut dalam bidang perikanan misalnya. Hasil laut yang melimpah dapat tersalurkan ke luar Karimunjawa dengan mudah. 

Sebagai contoh di Dusun Alang-alang. Pengusaha ikan teri yang menampung hasil laut para nelayan tidak memikirkan lagi bagaimana mereka mengirimkan stok ikan teri ke Jepara dan sekitarnya. Selepas proses pengeringan dan dalam kemasan, ikan-ikan tersebut dapat dikirimkan dengan menggunakan kapal laut. 
Warga di dusun Alang-alang menjemur ikan teri
Warga di dusun Alang-alang menjemur ikan teri
Pun dengan pedagang kecil yang ada di Karimunjawa. Mereka menjadikan kapal laut sebagai fasilitas yang paling vital untuk menghidupinya. Setiap kapal berlayar atau tiba di Karimunjawa, tidak sedikit barang yang disertakan ataupun diambil. Mereka benar-benar terbantu dengan adanya kapal besar. 

Kementerian Perhubungan bersama dinas yang terkait peka dengan pentingnya transportasi untuk kemajuan suatu tempat secara merata. Khususnya daerah yang mempunyai potensi wisata seperti Karimunjawa. Kini, mereka bersolek membangun infrastuktur yang lebih memadai. 

Transportasi laut dan udara menjadi sarana yang bisa menjangkau untuk menuju Karimunjawa. Ini yang menjadi salah satu alasan Kementerian Perhubungan beserta dinas terkait saling bersinergi dalam memberikan layanan. 

Para pelancong yang ingin ke Karimunjawa, mereka bisa menggunakan opsi kapal cepat ataupun kapal biasa. Sudah ada beberapa kapal cepat yang mempunyai jadwal tetap menuju Karimunjawa. Baik dari Jepara maupun Semarang. 

Kapal cepat ini menjadi salah satu transportasi yang paling digemari wisatawan. Jarak tembuh hanya dua jam dari Jepara menjadi alasannya. Tiap tahun, kunjungan wisatawan ke Karimunjawa makin meningkat. Membuat Karimunjawa makin dikenal serta salah satu destinasi andalan di Jawa Tengah. 
Kapal cepat Express Bahari tertambat di Pelabuhan Jepara
Kapal cepat Express Bahari tertambat di Pelabuhan Jepara
Selain kapal cepat, ada juga kapal Pelni yang mengunjungi Karimunjawa. Hingga saat ini, kapal Pelni tidak sandar di pelabuhan. Kapal tersebut berhenti di laut lepas dan penumpang dijemput menggunakan kapal-kapal nelayan. 

Untuk itu, semua instansi yang berkaitan dengan fasilitas dan transportasi di beberapa tahun terakhir memugar dan melakukan perpanjangan pelabuhan Legon Bajak yang berada di desa Kemujan. Tentu juga dilengkapi dengan fasilitas pendukungnya. 

Harapan ke depannya, Kapal Pelni bisa langsung sandar di Pelabuhan Legon Bajak. Sehingga kunjungan wisatawan ke Karimunjawa makin melejit. Jika memang pelabuhan Legon Bajak ini sudah beroperasi, pemerataan perekonomian masyarakat Karimunjawa makin tersebar dan merata. 
Pelabuhan Legon Bajak yang siap menyambut kapal besar sandar
Pelabuhan Legon Bajak yang siap menyambut kapal besar sandar
Pengembangan fasilitas transportasi udara juga diperhatikan dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Sedari tahun 1991-an, sebuah bandara dibangun di Karimunjawa. Lokasinya di Desa Kemujan. Sempat hanya penerbangan pesawat kecil, kini pesawat komersil sudah mendarat di Karimunjawa. 

Tiap satu pekan, terdapat penerbangan dari Semarang-Karimunjawa PP pada hari Jumat, Minggu, dan Senin. Sementara satu maskapai penerbangan dari Surabaya setiap hari Kamis dalam satu pekan. Ini juga menjadi kabar baik bagi wisatawan yang ingin berkunjung ke Karimunjawa. 

Hingga sekarang, bandara Dewadaru di Karimunjawa masih tetap berlanjut pengerjaannya. Proses perpanjangan landasan pacu menjadi pekerjaan kementerian terkait. Semuanya juga demi kelaikan transportasi udara yang mungkin lebih besar. 

Bisa dibayangkan bagaimana jika bandar udara Karimunjawa ini sudah bisa didarati pesawat yang lebih besar. Bukan mustahil nantinya banyak penerbangan domestik yang mengincar untuk membuat rute ke Karimunjawa. 
Bandara Dewadaru Karimunjawa terus berbenah
Bandara Dewadaru Karimunjawa terus berbenah
Melihat bandara Dewadaru Karimunjawa dari jendela pesawat
Melihat bandara Dewadaru Karimunjawa dari jendela pesawat
Makin banyak transportasi yang dapat mengantarkan wisatawan ke Karimunjawa dari berbagai tempat. Ini bisa dimanfaatkan masyarakat sekitar untuk menyambut kedatangan pengunjung dengan menguatkan sumber daya manusia dan fasilitas seperti penginapan dan yang lainnya. 

Untuk merealisasikan satu tempat menjadi merata pembangunannya, memang ada banyak pihak yang dirangkul. Seperti di Karimunjawa, khususnya Kemujan dan sekitarnya. Fasilitas pendukung seperti jalan bagus, listrik merata, BBM tercukupi dan yang lainnya sangat ketara di lima tahun terakhir. 

Menyenangkan lagi, untuk dapat menjangkau sebaran informasi luas. Tiap kementerian aktif di akun media sosial. Seperti Kementerian Perhubungan, selain mengunggah informasi di website, mereka juga aktif menyebarkan berita di media sosial; @kemenhub151 (Twitter) dan @kemenhub151 (Instagram) 

Kini, Karimunjawa sudah dikenal para pelancong. Tidak sedikit dari wisatawan yang ingin kembali berkunjung ke Karimunjawa untuk melihat keindahan alamnya atau berinteraksi dengan masyarakatnya. Ditilik dari kunjungan wisatawan Kabupaten Jepara tahun 2016; Karimunjawa menjadi salah satu tempat yang paling banyak dikunjungi hingga sekarang. 

Para wisatawan tidak lagi kebingungan jika ingin ke Karimunjawa. Transportasi sudah ada dengan opsi melalui laut ataupun udara. Sumber daya manusia di Karimunjawa juga sudah siap menyambut tamu dalam jumlah yang besar. 
Kapal-kapal yang mengantarkan wisatawan untuk menikmati keindahan bawah laut Karimunjawa
Kapal-kapal yang mengantarkan wisatawan untuk menikmati keindahan bawah laut Karimunjawa
Salah satu wisatawan manca yang menikmati waktu di Karimunjawa
Salah satu wisatawan manca yang menikmati waktu di Karimunjawa
Perekonomian masyarakat juga beranjak naik. Pedagang makanan, souvenir, penginapan, hingga sewa kapal pun meningkat. Benar adanya, jika sebuah destinasi wisata ingin cepat berkembang, harus ada fasilitas dari negara yang mumpuni dalam bentuk layanan transportasi. 

***** 

Jika di masa kecil, aku menatap laut sambil membayangkan pantai-pantai di Karimunjawa dikenal oleh orang luar. Kini, semuanya sudah sesuai dengan anganan masa kecil. Potensi wisata Karimunjawa menggeliat, pun dengan perekonomian masyarakatnya. 

Sekarang masyarakat Karimunjawa sudah mulai menggeluti dunia wisata. Mereka bahu-membahu memberikan pelayanan maksimal kepada wisatawan. Bagi yang tidak berkecimpung di pariwisata, mereka tetap menyambut sumringah dengan berjualan. 

Semakin banyak wisatawan yang datang, kebutuhan seperti makanan dan penginapan sangat diperlukan. Masyarakat Karimunjawa paham dengan peluang ini. hingga sekarang, perekonomian maju selaras dengan kunjungan wisatawan meningkat. 
Aku menyempatkan waktu mencari ide di tepian pantai di Karimunjawa
Aku menyempatkan waktu mencari ide di tepian pantai di Karimunjawa
Tentu saja semua itu juga tidak lepas dari adanya transportasi laut dan udara yang dibangun pemerintah melalui Kementerian Perhubungan bersama instansi-instansi yang terkait. Harapannya di tahun-tahun mendatang, kinerjanya lebih baik lagi dan berinovasi. Terima kasih kami (masyarakat Karimunjawa) untuk pemerintah atas semuanya.

Berikut di bawah, aku sertakan vlog sewaktu pulang ke Karimunjawa menaiki transportasi laut ataupun transportasi udara. Ini membuktikan pentingnya transportasi guna menunjang faktor pariwisata di daerah tertentu. Seperti halnya di Karimunjawa.

Adapun vlog yang aku buat ini sudah terunggah di youtube awal tahun 2019 dan akhir 2018. Sengaja aku unggah bertujuan untuk mengabarkan jika transportasi ke Karimunjawa sudah jauh lebih baik dan banyak dibanding beberapa tahun yang lalu.

Kementerian Perhubungan Republik Indonesia

Instagram: @kemenhub151
Twitter: @kemenhub151

Vlog Naik Transportasi Laut Jepara - Karimunjawa


Vlog Naik Transportasi Udara Bandara Ahmad Yani - Bandara Dewadaru


Minggu Malam di Paperplane Coffee Jogja

$
0
0
Es kopi susu di Paperplane Coffee Jogja
Rutinitas akhir pekan aku habiskan untuk bersepeda. Sudah lama tidak mengayuh pedal di akhir pekan, ada sedikit rasa rindu mengayuh pedal sembari bersua dengan kawan. Setelah itu, banyak waktu kuhabiskan di kamar kos hingga menjelang magrib. 

Sesekali aku melihat Instagram, mengecek unggahan kawan ataupun akun yang kuikuti. Entah kenapa postingan dari aku Paperplane Coffee membuatku tertarik datang. Sebenarnya kedai kopi yang berada di Jalan Pringgodani ini sudah lama ingin kusambangi. 

Aku putuskan langsung bergegas selepas magrib. Diantar transportasi daring, aku sudah berada di halaman kedai kopi tersebut. Lokasinya berseberangan dengan Kedai Kopi No 27. Tidak jauh dari PKL Mrican. 

Dari luar, bangunan Paperplane Coffee ini minimalis. Tidak banyak warna, dominan putih. Kombinasi dengan warna kayu dan lantai yang serupa kuning bermotif kayu. Sepintas melihat tempat ini membuatku berpikiran asyik untuk bekerja. 
Meja dan kursi di luar Paperplane Coffee Jogja
Meja dan kursi di luar Paperplane Coffee Jogja
Tiga meja tertata di luar kedai. Tempat ini digunakan bagi pengunjung yang ingin menikmati kopi sambil berbincang santai, sehingga tidak mengganggu pengunjung yang di dalam ruangan. Tersedia juga asbak bagi yang merokok. 

Tanaman rambat menggelantung, tiga lampu menerangi area luar. Stop kontak ada di tiap meja dengan jumlah colokan yang lumayan banyak. Sewaktu aku datang, tempat ini sepi. Sampai akhirnya ada dua cewek (pelanggan) yang datang dan menyesap cappuccino di sana. 

Selepas isya, pengunjung bertambah. Rata-rata yang datang adalah pelanggan kedai kopi ini, pun dengan kawan barista. Aku menepi, menikmati waktu malam dengan menuangkan tulisan untuk draf blog. Bahkan, di sini pula aku menulis kedai kopi ini. 

Sapaan barista terhadap pengunjung membuatku sedikit sadar, sebenarnya kedai kopi itu tidak hanya menjual “rasa” kopi, tapi juga keramahan barista. Poin ini sering aku ulang-ulang di tiap tulisan. Karena salah satu yang menyenangkan pengunjung adalah sikap ramah dari baristanya. 
Pengunjung memesan minuman
Pengunjung memesan minuman
Paperplane Coffee dibuka sejak tahun 2018, tepatnya awal bulan Agustus. Sewaktu aku datang, di sini hanya ada tiga barista yang bekerja. Di waktu yang sama, kedai kopi ini sedang memposting untuk menambah barista baru. 

Waktu buka kedai kopi Paperplane ini cukup lama. Buka pagi sejak pukul 07.00 WIB, kedai kopi ini tutup pukul 23.00 WIB. Tentu mereka punya alasan sendiri kenapa buka sejak pagi. Berbeda dengan kedai kopi yang lainnya biasanya pukul 08.00 WIB atau lebih siang lagi. 

Pagi hari, kedai kopi ini menyasar pengunjung bule. Mahasiswa pertukaran dari kampus terdekat biasanya yang datang. Bule yang di Indonesia memang tetap mengopi saat pagi. Mereka memesan Americano ataupun Cappuccino. Terkadang juga latte. 

Aku beranjak menuju meja barista, melihat daftar menu yang tersedia. Minuman kopinya cukup beragam. Kisaran harga dari 18000 rupiah hingga 30.000 rupiah. Pun dengan nonkopi. Ada beberapa minuman seperti teh yang bisa dipesan. 
Daftar harga dan menu di Paperplane Coffee Jogja
Daftar harga dan menu di Paperplane Coffee Jogja
Kedai kopi ini juga menyediakan makanan. Makanan berat maupun kudapan dan keik. Pastry menjadi teman kopi tersedia dengan harga yang terjangkau. Bahkan di sini ada menu pisang goreng. Menarik untuk dicoba lain waktu. 

Pembayaran bisa langsung menggunakan uang tunai ataupun uang elektronik seperti GOPAY dan OVO. Pembayaran menggunakan uang elektronik mendapatkan cashback sebesar 30% (saat aku datang). Sebagian orang sekarang banyak yang menggunakan uang elektronik tersebut untuk pembayaran. 

“Es Kopi Susu Mellifloss,” Pintaku setelah melihat daftar menu. 

Ruangan dalam memang tidak begitu luas. Namun, penataan meja dan kursinya cukup sesuai dengan ruangnya. Dua kursi panjang dengan meja yang tingginya berbeda. Satu meja panjang yang agak rendah asyik untuk bersantai. 
Ruangan bebas rokok di Paperplane Coffee Jogja
Ruangan bebas rokok di Paperplane Coffee Jogja
Sementara yang agak tinggi bisa digunakan untuk berdiskusi. Sayangnya, meja panjang yang agak tinggi ini berada tepat di tengah. Sehingga ketika ada pengunjung masuk ataupun keluar membuat agak kurang nyaman. 

Kedua meja panjang yang agak di tengah ini tidak ada spot kontak. Kemungkinan besar memang diberdayakan bagi yang datang rombongan dan sekadar ingin bersantai. Untuk pengunjung yang datang berdua atau sendirian, bisa duduk di meja yang khusus sepasang kursi. 

Dua meja kecil ini berada di dekat tembok, sehingga malah nyaman untuk membuka laptop. Meja dan kursi juga agak tinggi. Cukup ergonomis untuk bekerja. Selain itu, tempat ini tersedia stop kontak. Menurut barista, meja tersebut menjadi favorit beberapa pengunjung. 

di sini juga ada yang menarik. Satu meja panjang tinggi melekat pada dinding depan barista. Disediakan lima kursi. Bagian bawah meja terdapat stop kontak di tiap sudut. Meja ini menyasar untuk orang bekerja. Agak sedikit mirip working space
Meja panjang untuk bekerja
Meja panjang untuk bekerja
Mungkin yang membuat meja tersebut kurang adalah posisinya membelakangi meja barista. Tempatnya juga di antara orang memesan minuman atau mereka yang ingin menuju toilet. Sehingga secara tidak langsung orang lain bisa melihat apa yang kita kerjakan. 

Di ujung tersedia rak kecil yang berisi beberapa koleksi buku bacaan. Ada juga kaus yang tergantung pada hanger. Kaus-kaus ini ternyata dijual pihak kedai. Kisaran harganya antara 75.000 rupiah. 

Lantunan musik pelan, jaringan internet cukup baik jika hanya sekadar membuat blog. Tidak banyak yang aku lakukan di sini. Hanya menyicil draft tulisan sembari mendengarkan lagu dari pelantang yang berganti-ganti penyanyinya. 

“Ini minumannya mas,” 

Segelas Es Kopi Susu Mellifloss tersaji dengan alas kayu dan satu buah roti yang diletakkan pada tataan. Minuman ini menjadi andalan di Paperplane Coffee Jogja. Minuman kopi susu ini ditambahi dengan gula aren. Tidak tersedia sedotan. Barista hanya menyertakan sendok yang terbuat dari kayu. 

Kusesap minuman dingin ini. Menurutku rasanya tidak terlalu manis. Sesuai dengan apa yang aku inginkan. Jarang-jarang aku memesan minuman es kopi di kedai kopi. Entah kenapa kali ini aku ingin mencobanya. 
Es Kopi Susu Mellifloss di Paperplane Coffee Jogja
Es Kopi Susu Mellifloss di Paperplane Coffee Jogja
Dituturkan barista, kedai kopi Paperplane ini malah ramai saat weekday. Lebih khusus lagi saat siang hari. Mereka yang datang adalah mahasiswa-mahasiswa dari kampus terdekat untuk kerja kelompok ataupun diskusi. 

Menjelang malam, pengunjung cenderung biasa. Ramai tapi tidak signifikan. Seperti halnya yang aku lihat saat ini. Sampai pukul 20.00 WIB pun kedai kopi ini masih cukup lengang. Padahal di kedai-kedai kopi yang lainnya, malam adalah waktu kunjungan yang pesat. 

Untuk sesaat aku merasa kedai kopi ini cukup menarik dikunjungi kala pagi. Terlebih buka pukul 07.00 WIB pastinya nyaman jika bekerja kala pagi. Mengopi ditemani pastry atau pisang goreng, seperti itu bayanganku. 

Sudah kuagendakan di lain waktu bakal berkunjung ke Paperplane Coffee saat pagi. Sekadar menepi dan menulis artikel untuk blog. Suatu aktivitas yang biasa aku lakukan ketika di suatu kedai kopi. *Paperplane Coffee Jogja; Minggu, 13 Oktober 2019.

Bentangan Sawah Menghijau, Spot Foto Pesepeda di Kulon Progo

$
0
0
Persawahan di Nanggulan Kulon Progo
Musim tanam padi datang. Ini artinya sebentar lagi musim penghujan menyapa. Petakan sawah di Nanggulan, Kulon Progo mengundang minat para pesepeda untuk dikunjungi. Bersepeda pagi di tengah-tengah jalur pematang sawah menjadi spot foto yang bagus. 

Satu persatu di media sosial banyak orang yang memosting hamparan sawah. Warna hijau kontras dengan pemandangan selama beberapa bulan yang gersang. Secara tidak langsung, foto-foto tersebut membuatku tertarik kembali bersepeda. 

Pemandangan jalan aspal dengan dua sisi menjulang tinggi nyiur dan bentangan sawah biasanya diambil melalui udara menggunakan drone, kurun waktu beberapa pekan foto-foto tersebut banyak diunggah para pesepeda. 

Masih ingat jalanan di Moyudan yang sempat hits? Atau jalan cor yang tepat berada di depan Geblek Pari? Berbondong-bondong pesepeda menjadikan tempat tersebut sebagai spot foto sambil bersepeda. 

Lama aku tidak mengayuh sepeda. Seingatku terakhir sepedaan saat ke Watu Purbo, sehingga rasanya fisik sedikit harus menyesuaikan. Aku mengatur ritme kayuhan, tatkala mulai terbiasa baru berani sedikit lebih kencang. 

Menariknya, meski hanya ke Nanggulan, jarak yang sebenarnya tidak jauh. Di sini aku merasa cukup capek. Memang kalau sudah tidak rutin sepedaan terasa bedanya. Berawal jalan raya, kali ini pemandangan sudah bentangan sawah luas. 

Melintasi pasar Nanggulan, sebenarnya menuju Geblek Pari tinggal belok kanan. Namun, area persawahan yang berlatarkan perbukitan itu harus lurus. Jalur ini sebenarnya nanti sampai pada patung sapi yang ada di sisi kiri jembatan. 
Jalan kecil dengan pemandangan sawah
Jalan kecil dengan pemandangan sawah
Bagi yang suka bersepeda menyusuri perbukitan Menoreh, jalur ini tidak asing. Seperti yang aku bilang, Nanggulan ini menarik bentangan sawahnya. Jadi kalau ke sini kudu pada saat musim penghujan, terlebih kalau kita tujuannya mencari konten foto. 

Sebelum sampai patung sapi, ada jalan kecil belok kiri. Jalur ini menuju desa, sudah diaspal tapi di beberapa titik rusak. Kami sengaja melintasi jalur ini guna menunggu waktu buka Geblek Pari pukul 08.00 WIB. 

“Salah jalan,” Celetuk Febri sambil balik arah menuntun sepeda. 

Sudah biasa nyasar kalau sepedaan dengan Febri. Kali ini beruntung dia balik, tidak sengaja melanjutkan perjalanan tanpa arah. Mungkin dia sadar kalau jalur yang diambil tersebut buntu. Mentok sampai pematang sawah. 

Tujuan pagi ini memang hanya mencari konten foto dan sesekali merekam untuk kebutuhan vlog. Kami terus melintasi jalur yang melingkar, balik ke jalan raya lewat jalur tepat di samping patung sapi. Sebelumnya sempat berhenti beberapa kali untuk mengabadikan sawah. 
Di Kulon Progo bisa melihat hamparan sawah dan aliran sungai
Di Kulon Progo bisa melihat hamparan sawah dan aliran sungai
Jalur ini bukanlah baru. Hampir semua pesepeda yang ingin sarapan di Geblek Pari biasanya melintasi jalur ini. Sebelah kanan bentangan sawah, sementara di sisi kiri aliran air di sungai. Di sini, kami bersua dengan pesepeda yang asyik foto di jembatan kecil. 

“Foto di tengah-tengah sawah sepertinya menarik,” Ujar Febri. 

Aku mencari-cari spot yang menarik. Untuk sementara waktu sengaja berhenti di tepian jalan. Kulihat ada seorang simbah yang sedang mengumpulkan pelepah kelapa. Kami menyapa, beliau sepertinya fokus dengan aktivitasnya. 

Jalan setapak kami turuni. Sepeda hanya bisa dituntun. Melintasi tegalan kecil yang dipergunakan sebagai jalur irigasi, kami berhenti di tepian sawah. Lantas kusandarkan sepedaku di pohon kelapa. 

Febri meniti pematang sawah sambil menggendong sepeda lipatnya. Tingkah kami ini diperhatikan dua orang bapak yang sedang berbincang santai di tepi jalan. Cukup singkat, selepas motret, kami melanjutkan perjalanan mencari spot foto. 
Memotret sepeda di pematang sawah
Memotret sepeda di pematang sawah
“Sebelah sana bagus, Feb. Nanti motretnya dari jalan,” Teranngku. 

Sebuah jalur kecil ini tidak jauh dari tempat awal berfoto. Di sini juga sudah ada jalan setapak yang mentok sampai sawah. Bagusnya lagi, di salah satu sisi terdapat pepohonan Nyiur yang menjulang tinggi. 

Kusiapkan kamera. Sedari awal memang ingin mengambil lanskap. Jadi kumanfaatkan lensa kit bawaan kamera. Siapa tahu ke depannya bisa membeli lensa wide. Febri menuruni jalur, lantas aku membidiknya. 

Beruntungnya kawan satu ini juga seorang fotografer. Jadi dia sudah tahu sudut yang menarik saat memotret. Kali ini aku gantian yang turun. Dia cukup santai membidik, lantas memintaku untuk kembali mengayuh pedal. 

Bagi kalian yang berlibur di Jogja dan ingin bersepeda sambil mendapatkan dokumentasi foto bagus. Kalian bisa menghubungi kawanku ini di akun Instagramnya Febri. Atau ingin melihat destinasi sepeda di Jogja bisa melihat Instagram Jogja Gowes
Lanskap indah persawahan, spot baru berfoto bagi pesepeda
Lanskap indah persawahan, spot baru berfoto bagi pesepeda
Spot foto di pematang sawah ini memang sedang ramai dikunjungi para pesepeda. Barisan pematang sawah yang sedikit berundak, jika diambil foto dari sudut yang tepat hasilnya bagus. Ditambah ada sepeda yang melintas. 

Dari sini, tampak tempatnya cukup sejuk dan menyenangkan. Seperti rencana awal, konten foto sudah didapat. Waktunya bersantai sambil melihat-lihat hasil foto. Akupun tidak lupa mengambil sedikit rekaman. 

Tidak sedikit yang sudah tahu lokasi spot foto ini, tapi juga ada beberapa pesepeda yang belum sepenuhnya tahu lokasi persisnya. Jika kalian dari arah patung sapi, spot foto ini searah menuju Geblek Pari. Sebelum jalan makadam yang menurun ke arah Geblek Pari lokasinya. 

Kurasa stok konten foto untuk Instagram sudah cukup banyak. Kami lantas menuju Geblek Pari menikmati segelas es tape, satu porsi pisang goreng dan geblek. Di sini juga bertemu dengan teman pesepeda yang pernah memosting spot foto sepeda di persawahan. 

Sebenarnya ada satu spot foto sekitaran Kulon Progo lagi yang ingin aku sambangi pada akhir pekan. Kami bertiga ngobrol santai terkait destinasi tersebut. Tempatnya memang tidak di sini, lebih tepatnya di sekitaran Dekso. 
Aku berfoto di area persawahan menaiki sepeda
Aku berfoto di area persawahan menaiki sepeda
Menurutku, spot foto bersepeda yang menyuguhkan pematang sawah di Dekso juga tidak kalah bagus. Terlebih jika memang ingin mencari konten foto dengan konsep sepedaan. Sepertinya patut dicoba di waktu mendatang. 

Bagi pesepeda, spot foto yang menarik itu sederhana. Spot-spot alami seperti ini sebagai salah satunya. Tanpa ada hiasan ala-ala yang penuh warna dan tulisan layaknya spot foto di beberapa destinasi wisata. 

Kita sadar, pada dasarnya alam itu indah. Tak perlu lagi kita tambahi bentuk-bentuk visual layaknya berada di studio foto. Jauh di masa mendatang, bentangan hektare sawah menghijau adalah pemandangan yang langka. 

Sambil menikmati sajian sarapan pagi, aku mengunggah satu foto di media sosial. Sudah lama rasanya tidak bersepeda di akhir pekan. Tiba-tiba ingin kembali aktif bersepeda dan menjelajah sudut-sudut destinasi di Jogja dengan bersepeda. *Pematang Sawah Nanggulan; 09 November 2019.

Berpetualang di Yamanashi, Tempat Liburan Seru Bertema Alam di Jepang

$
0
0
Pemandangan Danau Kawaguchiko Photo by Romi Yusardi on Unsplash
Pemandangan Danau Kawaguchiko Photo by Romi Yusardi on Unsplash
Berkali-kali kawan menceritakan pengalaman perjalanan ke Jepang. Melihat dan merasakan bagaimana keindahan alam di sana, hingga kala berinteraksi dengan masyrakat setempat. Setiap ceritanya membuatku terngiang, tentu dengan harapan suatu ketika bisa menginjakkan kaki di sana. 

Tokyo, Kyoto, Osaka, ataupun yang lainnya memang menarik perhatian bagi traveler. Mereka menjadikan kota-kota tersebut sebagai tujuan destinasi wisata. Berbagai alasan membuat mereka menjadikan kota tersebut sebagai tujuan utama. 

Selain di tempat-tempat yang sudah familiar dikunjungi para pejalan, setidaknya di Jepang tetap mempunyai Kawasan-kawasan yang lain untuk bisa dikunjungi. Salah satunya berkunjung ke Yamanashi. Sebuah distrik yang sebagian besar wilayahnya adalah pegunungan. 

Bagi yang ingin berlibur di Jepang dengan suasana berbeda, kalian bisa menjadikan Yamanashi sebagai opsi berlibur. Tempat yang tidak seberapa jauh dari Tokyo ini bisa memberikan pengalaman berlibur dengan nuansa pedesaan Jepang yang lekat dengan keindahan alam serta tradisi. Selain itu di sini, kalian bisa menikmati keindahan ikonik Gunung Fuji. 

Untuk menjelajahi kota kecil ini, kalian harus segera mencari promo tiket pesawat ke jepang secara berkala. Tujuannya agar bisa mendapatkan berbagai promo menarik. Perjalanan menuju Yamanashi dapat kalian sambangi menggunakan transportasi dari Tokyo. 

Setelah sampai di Tokyo, perjalanan berlanjut menggunakan Kereta Ekspres ke Yamanashi dengan jarak tempuh sekitar 2 jam. Di sini kalian bisa sekalian mencari penginapan. Lebih baik lagi jika sudah mempersiapkan pemesanan kamar di jauh-jauh hari. 

Ada banyak aktivitas ataupun destinasi yang bisa kalian lakukan selama di Yamanashi. Berikut ini beberapa hal menarik yang mungkin bisa kalian lakukan atau agendakan. 

Pacu Adrenalin di Fuji-Q Highland 

Taman hiburan ini adalah surga bagi para pecandu adrenalin. Sebagian besar wahananya memang dirancang untuk memacu adrenalin sekencang-kencangnya, seperti roller coaster atau tantangan untuk berputar di udara dalam kecepatan tinggi. 

Jika kalian menyukai roller coaster dan sudah menyiapkan diri untuk tantangan paling mengerikan di dunia, cobalah Takabisha. Ini adalah roller coaster paling curam di dunia dengan sudut jatuh 121 derajat dan kecepatan maksimal 100 kilometer per jam. 

Selain itu, kalian juga bisa mencoba Eejanaika yang merupakan roller coaster 4 dimensi dengan banyak lingkaran dan kursi yang bisa berputar. Atau cobalah Fujiyama, roller coaster klasik yang sampai sekarang disebut-sebut sebagai terbaik di dunia. Benar-benar kegiatan yang menguji adrenalin. 

Menikmati Warna-warni Bunga di Tepi Danau Kawaguchiko 

Sebagai danau terbesar kedua di antara 5 danau yang mengelilingi Gunung Fuji. Danau Kawaguchiko tentu menarik untuk dijelajahi. Kalian bisa menghabiskan waktu dengan berkeliling di antara pohon-pohon bunga sekitar danau, atau menyusuri danau tersebut menggunakan perahu. 

Pada musim semi kalian bisa menemukan bunga Sakura yang bermekaran. Berbeda halnya dengan saat musim panas, kebun bunga Lavender memberikan nuansa ungu di sekeliling danau. Sedangkan di musim gugur, dedaunan kuning dan merah mewarnai tempat ini. 

Kalian juga bisa mengagendakan keliling danau dengan menyiapkan uang sekitar 930 Yen untuk membeli tiket naik ke kapal Ensoleille yang akan mengelilingi danau. Setelah puas berkeliling. Jangan sampai lupa untuk mengabadikan pemandangan indah Gunung Fuji yang memantul di tengah danau. 

Hiking atau Memotret Keindahan Gunung Fuji 

Salah satu tujuan berlibur secalin menepi adalah menikmati pemandangan secara langsung ataupun mengabadikannya dengan kamera. Kalian kudu bangun sepagi mungkin supaya bisa melihat Gunung Fuji berkombinasi dengan langit di sekelilingnya biru tanpa awan. Pemandangan ini harus diabadikan ketika berkunjung ke Yamanashi. 

Destinasi yang lainnya bisa dikunjungi adalah Pagoda Chureito ataupun Puncak Tenjo. Tinggal pilih salah satu jika memungkinkan. Untuk mencapai tempat memandang di Pagoda Chureito, kalian perlu sedikit mendaki bukit yang berada di belakang pagoda. 

Ada banyak sekali pohon sakura di sekeliling bukit tersebut, sehingga ketika musim semi, pemandangan yang terlihat sangat menakjubkan. Kombinasi antara bunga cantik merah muda dengan Gunung Fuji di latar belakangnya. 

Sementara itu puncak Tenjo bisa dicapai menggunakan Kereta Gantung Kachi Kachi Yama Ropeway dengan tarif sekitar 800 Yen pulang-pergi. Tempat yang terletak di ketinggian 1.075 MDPL ini memperlihatkan keindahan Gunung Fuji dengan Danau Kawaguchiko di dekatnya. 

Menyaksikan Pesta Samurai di Shigen-ko Matsuri 

Bergeser sedikit dari keindahan alam, terkadang kita juga membutuhkan aktivitas yang lainnya saat berlibur. Salah satunya melihat bagaimana budaya masyarakat setempat di sana. Di Kota Kofu terdapat semacam acara khusus pesta samurai. Berkunjunglah ke kota Kofu, Yamanashi pada 12 April, maka kalian bisa ikut serta dalam Shingen-ko Matsuri. 

Pesta Samurai ini adalah sebuah perayaan besar pada sejarah ke-samurai-an Takeda Shingen. Salah satu daimyo terbesar Jepang yang dulu bertempur melawan Tokugawa Ieyasu. Pada perayaan tersebut kalian bisa ikut berperang atau mencari 24 jenderal pendamping Takeda yang ada di sana. Suatu pengalaman menarik jika kalian terlibat di dalamnya. 

Sensasi Mandi Air Panas di Oshino Hakkai 

Namanya mungkin kalah terkenal kalau dibandingkan dengan danau Kawaguchiko. Namun Oshino Hakkai ini sebenarnya berada di dekat Gunung Fuji dan merupakan bekas Danau Oshino yang mengering hingga menyisakan sekitar 8 danau kecil. 

Di tempat ini ada sebuah desa yang masih mempertahankan rumah-rumah gaya klasik Jepang. Selain itu, kalian juga bisa bersantai menikmati pemandangan Gunung Fuji dari tepi danau, hingga mandi air panas di Onsen. 

***** 

Sedikit referensi di atas mungkin bisa dijadikan pertimbangan saat kalian ini berlibur ke Jepang. Hal yang terpenting kala ingin berlibur adalah bagaimana kita bisa menyiapkan semuanya dengan baik. Mulai dari transportasinya, penginapannya, informasi tentang destinasinya, hingga apa-apa yang ingin kalian kunjungi selama berlibur.

Suasana Nyaman di Kedai Kopi Erha Coffee and Literacy Jogja

$
0
0
Menyeduh kopi dan menikmati Keik di Erha Coffee and Literacy


November Rain. Sebuah sapaan setelah sekian lama musim kemarau di Indonesia. Pagi ini, awal bulan November hujan menyapa. Tanah gersang berganti lembab. Aku menyeduh kopi di depan jendela, menikmati suasana mendung di Jogja. 

Tangan-tangan menari di atas keyboard laptop. Mengacuhkan keramaian orang-orang yang asyik menyesap kopi sembari berbincang dengan kawan. Sesekali perempuan berjilbab mengotak-atik kamera. Sepertinya dia sedang membuat video rekaman di Erha Coffee Jogja. 

Begitu transportasi daring menghentikan motor tepat di bangunan ini, aku merasa tidak asing. Erha Coffee ternyata dulunya tempat yang digunakan oleh Dongeng Kopi. Tidak banyak perbedaan yang mencolok, sehingga aku cukup mengenali tempat ini. 

Sebuah mural tergambar pada tembok putih bertuliskan Erha Coffee and Literacy, di jendela terdapat sebuah meja kecil yang tersemat. Jika digunakan, nantinya pengunjung yang duduk di kursi menghadap ke jalanan. 
Logo Erha Coffee and Literacy
Logo Erha Coffee and Literacy
Kaki kulangkahkan memasuki kedai kopi ini. Dua orang sedang duduk berbincang di meja depan barista. Melihat aku masuk, salah satu lelaki yang di sana beranjak berdiri dan menyapa. Lelaki ini adalah barista yang sedang bertugas di siang hari. 

Meja bar panjang, di depannya sudah tersebar meja dan kursi. Penempatan meja ini memanfaatkan tiap pojokan ruangan. Sedikit ada meja yang berada di tengah-tengah. Melihat konsep penataannya ini, aku yakin pemilik kedai sudah mempertimbangkan tentang kenyamanan pengunjung yang mengopi. 

Lantai berkeramik putih dan dikombinasikan dengan keramik berwarna agak gelap. Baluran cat putih. Di beberapa spot sudah terdapat tanaman yang merambat, sehingga tanaman tersebut menjuntai ke bawah dari atap. 

Suasana ini membuatku menjadi nyaman. Meski aku belum sepenuhnya menjelajah sudut-sudut ruangan ini, sudah kusimpulkan tempat ini terbuka. Hal ini didukung dengan banyaknya jendela yang terbuka, tanpa menggunakan pendingin ruangan, dan dominan cahaya dari luar. 
Ruangan di depan meja bar Erha Coffee and Literacy
Ruangan di depan meja bar Erha Coffee and Literacy
“Mari bisa dibantu?” 

“Menunya di mana ya mas?” Tanyaku. 

“Di atas mas,” Jawab barista sambil menunjukkan tulisan menu yang tersemat di tembok. 

Aku mengucapkan terima kasih, lantas membaca menu-menu yang disediakan. Kopinya cukup beragam. Ada juga minuman non kopi yang bisa dipesan. Aku sudah lumayan lama tidak menikmati minuman manual seduh, di sini ingin mencoba menyesap kopi seduh sambil bersantai. 

Pilihanku jatuh pada Kopi Mandailing. Sebelumnya, barista sudah mengatakan jika kopi untuk manual seduh tinggal dari Mandailing dan satu lagi aku lupa namanya. Pilihan kopi Mandailing ini karena rekomendasi dari baristanya. Lucunya, stok kopi tinggal sedikit. Cukuplah untuk aku seduh sore ini. 
Daftar harga dan menu di kedai Erha Coffee and Literacy
Daftar harga dan menu di kedai Erha Coffee and Literacy
Sekilas tentang Erha Coffee and Literacy. Kedai kopi ini sudah hampir dua tahun, tepatnya bulan April 2018. Beralamat di Gorongan, Jl. Wahid Hasyim, Ngropoh, Caturtunggal, Erha Coffee ini lokasinya tidak jauh dari Kampus UPN. 

Kedai kopi ini mulai buka cukup pagi. Pukul 08.00 WIB sudah buka, dan tutup pukul 02.00 WIB. Barista yang bekerja di sini ada empat orang, belum termasuk kasir yang juga bertugas sebagai pramusaji. 

Sembari menunggu seduhan kopi, aku berbincang dengan baristanya. Mas Dimas cukup tanggap kala berinteraksi dengan pengunjung. Siang ini belum begitu ramai. Tempat yang sudah banyak orang ada di meeting room

Dari obrolan ini, aku tahu jika minuman yang paling banyak dipesan pengunjung adalah es kopi susu. Sepertinya minuman ini masih menjadi andalan para kedai kopi dalam menggaet pengunjung. Kulihat harga yang tertera berkisar 20000 rupiah. 

Seperti yang sudah aku bilangs ejak awal. Erha Coffee and Literacy ini peka dengan keinginan pengunjung. Mereka mengonsep tempat ini seperti berada di rumah sendiri, sehingga penataan meja dan kursi jaraknya terjaga. 
Ruangan terbuka yang nyaman di Erha Coffee and Literacy
Ruangan terbuka yang nyaman di Erha Coffee and Literacy
Ruangan terbuka cukup luas, layaknya rumah yang dominan tempat terbuka. Kursi dan meja kayu terpasang di sudut-sudut strategis. Aku sendiri sudah duduk di meja yang tepat di jendela dan menghadap area luar belakang kedai yang dimanfaatkan sebagai tempat merokok. 

Jaringan internet sudah ada, sementara ini cukup mumpuni saat aku mengaksesnya. Sebenarnya sebagian besar ruangan di Erha Coffee and Literacy diperbolehkan merokok. Seingatku tadi barista mengimbau jika larangan merokok itu di meja bar. 

Tiap meja terdapat fasilitas colokan listrik. Sehingga di sini lebih nyaman jika kita ingin bekerja. Dari informasi yang aku dapatkan, waktu yang tepat untuk menepi dan mengerjakan tugas kala di kedai kopi ini adalah pukul 08.00 WIB – 12.00 WIB. Setelah itu cenderung mulai ramai. 

Benar saja, ketika aku berkunjung awalnya cukup asyik dengan suara musik dari pelantang. Lambat laun menjelamg sore makin riuh. Sudut-sudut yang strategis digunakan orang untuk bermain menggunakan gawai, ada juga yang sedang merekam, sepertinya sedang ada project

Lantai dua sebenarnya untuk musola. Selain itu juga ada meja panjang yang menghadap ke dua arah. Meja ini sebagai pelengkap, seluruh pemandangannya ke luar. Sedangkan di lantai satu bagian belakang, kedai ini masih mempertahankan dua pohon rindang sebagai peneduh. 

Tiap sudut strategis ditambahi susunan buku bacaan. Sehingga menjadikan suasana nyaman tempat tersebut. Sejak datang, aku langsung tahu tempat yang sekarang kutempati adalah spot menarik. Tidak membosankan tempatnya. 

Kedai kopi identik dengan tempat bekerja atau dikenalnya dengan sebutan working space. Sempat kusinggung tentang tempat tersebut. Namun, menurut barista tidak ada fasilitas tersebut. Malah, yang ada itu meeting room
Diskusi di ruangan rapat Erha Coffee and Literacy
Diskusi di ruangan rapat Erha Coffee and Literacy
Ruangan rapat ini sudah difasilitasi dengan LCD, untuk memesan ruangannya pun tinggal menghubungi kedai kopi melalui telepon atau WA. Menariknya lagi pemesanan tempat tidak dikenai harga. Minimal tiap orang membeli makanan atau minuman 20000 rupiah. 

Aku penasaran dengan tempat tersebut. Lantas mencoba melihat di dalam. Sayangnya tempat ini memang cepat dipesan, sehingga sudah ada sekelompok mahasiswa yang diskusi. Aku meminta izin memotretnya dari luar, dan mereka mengizinkan. 

Sebelum kembali melanjutkan menulis blog, aku meminta mbak kasir untuk mengabadikan diri di spot yang paling strategis menurutku. Duduk santai di kursi menghadap jendela terbuka dan melihat suasana luar. 

Kombinasi Kopi Mandailing dan keik cukup pas. Berkali-kali mbak kasir menekan tombol shutter, lantas memintaku untuk memeriksa dengan alasan dia tidak terbiasa memotret menggunakan kamera. Aku mengecek hasil fotonya. 

“Bagus mbak, terima kasih ya sudah dibantu,” Ujarku tersenyum. 
Spot foto ala-ala di Erha Coffee and Literacy
Spot foto ala-ala di Erha Coffee and Literacy
Kembali aku menikmati waktu merangkai kata. Larut dalam kesendirian, sesekali melongok sekelompok mahasiswi yang sedari tadi sibuk membuat rekaman. Mereka adalah mahasiswi dari UPN, jurusan Agribisnis. Katanya sedang membuat konten cover lagu. 

Waktu terus berjalan, tanpa terasa satu tulisan terselesaikan di Erha Coffee Jogja. Percaya atau tidak, tulisan yang aku buat adalah yang kalian baca sekarang. Jadi, untuk beberapa waktu ke depan, aku sengaja menantang diri ini menulis kedai kopi di lokasinya langsung. Sehingga ide-ide tersebut masih segar. 

Sedikit kesanku tentang Erha Coffee and Literacy selama lebih tiga jam di lokasi. Tempat ini nyaman untuk bekerja sebelum siang. Makanan beragam, tempat salat tersedia. Menjelang sore mulai ramai, masih bisa untuk bekerja tapi bagi yang tidak terbiasa ramai kurang kurekomendasikan. 

Tempat sampah ada di beberapa sudut, termasuk di lantai dua. Minuman kopi rasanya tidak jauh beda dengan kedai kopi yang lainnya. Untuk es kopi susu setahuku menggunakan plastik meski minum di tempat. 

Pada dasarnya cukup bagus. Kasirnya juga sempat membantu menunggui barang-barangku waktu kutinggal salat asyar. Seperti kusebut sejak awal, berhubung ini berdekatan dengan UPN, jadi banyak mahasiswa UPN yang nongkrong di sini. *Erha Coffee and Literacy, 02 November 2019.

Pantai Tongaci dan Tempat Penangkaran Penyu di Bangka

$
0
0
Memberi makan penyu di pantai Tongaci Bangka
Memberi makan penyu di pantai Tongaci Bangka
Menjelang sore, aku menikmati perjalanan selama di Bangka. Rencananya, kali ini kami menuju salah satu pantai yang ada di pulau ini. Pantai Tongaci menjadi pilihan. Informasi dari Bu Hastuti, di sini ada tempat konservasi tukik. Ini yang membuatku tertarik mengunjunginya. 

Jalanan cukup lancar, sepertinya lokasi pantai Tongaci lumayan jauh dari pusat kota Bangka. Di dalam mobil, aku melihat sisi jalan. Ada beberapa tempat yang sudah kutandai, namun belum tahu apakah nantinya kukunjungi atau tidak. 

Sepanjang perjalanan, aku lebih banyak diam. Bu Hastuti bercerita tentang pantai-pantai yang ada di Bangka. Beliau juga mengatakan jika di Bangka lebih lama bisa main sekalian ke beberapa pulau. Sayangnya, esok pagi aku harus terbang ke Belitung. 

Bapak yang menyetir mobil cukup paham medan. Beliau lantas memperlambat laju kendaraan, lalu belok kanan di sebuah gapura. Area parkir luas, mobil berhenti dan kami keluar. Di ujung arah ke pantai, ada tempat karcis. 

Masuk pantai Tongaci dikenakan tarif 5000 rupiah. Sepertinya pantai ini tidak hanya menawarkan pasir, namun juga beberapa spot untuk berfoto. Tepat di depan arah pintu masuk terpasang tulisan De Locomotief. 

Tiap sisi terdapat stand-stand yang menawarkan souvenir. Di atas bergelantungan payung warna-warni. Sepertinya payung yang bergelantungan seperti ini mulai banyak aku temui di beberapa destinasi wisata alam. 
Tempat foto ala-ala bernama Taman Bulakan
Tempat foto ala-ala bernama Taman Bulakan
Biasanya, jika ada gelantungan payung-payung nantinya ada spot foto ala-ala di sekitarnya. Rombonganku sudah menyebar ke arah pantai. Aku sendiri masih melihat stand souvenir yang menawarkan manik-manik. 

“Murah bang!” Teriak salah satu penjaga stand sembari memegang hasil kreasinya. 

Aku menggeleng, lalu melanjutkan perjalanan. Tak jauh dari sini terdapat area yang disekat pagar kayu. Plang bertuliskan Taman Bulakan. Di dalamnya bebatuan putih tersebar. Tempat ini biasanya dijadikan spot foto dengan berdiri di atas bebatuan. 

Sepanjang menuju pantai Tongaci banyak juga spot ala-ala untuk berfoto. Berbagai spot foto hanya kulihat tanpa berfoto. Entahlah, beberapa tahun terakhir ini spot ala-ala seperti hal yang lumrah ditemui. Saat di Batam dan Padang pun pemandangan seperti itu banyak. 

Aku berjalan santai di pantai. Angin kencang, dan aku tidak memotret. Kamera masih tergelantung di leher. Kusapu pandangan, ada yang menarik di sini. Kulihat banyak patung kayu di tepian pantai yang agak di atas. 

Jika dilihat dari dekat, patung-patung ini seperti pasukan perang. Di depan sudah ada kuda perang. Pun dengan patung prajuritnya. Patung-patung ini mengingatkanku pada film-film dinasti Tiongkok masa lampau. 

Kulihat ada wisatawan yang berfoto di patung-patung tersebut. Aku juga sempat diminta tolong mengabadikan mereka. Ada banyak patung prajurit perang. Di belakang ada informasi jika ini adalah Terracotta Army. 
Patung Terracotta Army di pantai Tongaci, Bangka
Patung Terracotta Army di pantai Tongaci, Bangka
Referensi di Wikipedia menerangkan jika Pasukan Terakota berasal dari China yang dulunya ada di masa Dinasti Qin Shi Huang. Makam ini ditemukan tahun 1974 di Lintong. Kini, tempat ini menjadi situs warisan dunia UNESCO. 

Bisa jadi seniman yang membuat miniatur Pasukan Teratoka di pantai Tongaci ini memang ingin mengikuti miniatur-miniatur ikon di negara yang lainnya. Banyak tempat yang membuat miniature Menara Effiel dan Kincir Belanda. 

Tujuanku tentunya ke pantai Tongaci. Di sini sedang ada banyak orang yang membuat panggung. Mungkin malam nanti di sini ada acara. Pantai Tongaci lumayan luas, dari sini terlihat bebatuan granit yang agak jauh. 

Aku terdiam di tepian pantai. Di depan, bebatuan granit tersebar. Sepanjang pantai yang terlihat berjejeran bebatuan. Pemandangan berbeda dengan hamparan pasir di pantai Tongaci. Sepertinya pantai Tongaci memang didominasi pasir. 

Di bebatuan yang tidak jauh dari bibir pantai, tampak anak-anak yang duduk di salah satu bongkahan batu. Entah bagaimana caranya mereka sampai di sana, tidak terlihat ada sampan kecil yang mereka naiki. Padahal lokasinya lumayan berjarak dari daratan. 

“Kok bisa mereka sampai di sana,” Ujarku sendirian. 
Pemandangan di Pantai Tongaci Bangka
Pemandangan di Pantai Tongaci Bangka

Melihat Tempat Konservasi Tukik di Pantai Tongaci 

Aku terpisah dengan rombonganku. Mereka sudah menjelajah ujung pantai Tongaci. Di sana terdapat penangkaran Penyu. Pun terlihat petakan semacam keramba yang isinya penyu-penyu dewasa. Di sini tidak terlihat banyak penyu. 

Bebatuan tertata membentuk semacam kolam, di tengahnya terdapat keramba apung berjumlah lima petakan. Sesekali tampak penyu mengapung. Sepertinya kolam-kolam ini bukan untuk penangkaran banyak penyu. 

Dari atas jembatan kecil, aku dapat melihat dua penyu yang terlihat mengapung. Cukup besar dan terbiasa melihat orang berlalu-lalang. Aku penasaran dengan fungsi keramba ini. Tempat yang luas tapi hanya ada beberapa ekor penyu saja di dalamnya. 
Tempat penangkaran penyu Pantai Tongaci Bangka
Tempat penangkaran penyu Pantai Tongaci Bangka
Tidak ada petugas yang menerangkan. Sayang rasanya tempat penangkaran penyu ini tidak dilengkapi pemandu. Padahal, jika ada petugas yang menerangkan perihal penangkaran penyu di pantai Tongaci pasti jauh lebih menarik. 

Di satu tempat tidak jauh dari penangkaran penyu terdapat sebuah pagar sekatan bertuliskan Ruang Penetasan Telur. Pintu ruangan tanpa atap ini digembok. Di dalamnya berisi pasir layaknya di tepi pantai. 

Pada masa bertelur, penyu-penyu menuju daratan. Mereka menggali lubang di pasir dan bertelur. Usai bertelur, biasanya penyu kembali ke lautan. Sebelumnya, telur penyu tersebut ditimbun kembali dengan pasir. 
Tempat penetasan telur penyu milik Tukik Babel Sea Turtle Conservation
Tempat penetasan telur penyu milik Tukik Babel Sea Turtle Conservation
Aku pernah melihat penyu liar yang bertelur di daratan, tepatnya di pantai belakang rumah. Selama bertelur dan meninggalkan telurnya, hama yang paling sering datang adalah Biawak. Biasanya Biawak menggali kembali tempat penyu bertelur dan memakan telurnya. 

Di pantai Tongaci tentu keamanan telur penyu terjaga. Mereka sudah tahu alur yang harus dikerjakan. Pun ketika sudah menetas, tukik-tukik tersebut tidak langsung ke lautan lepas, tapi ditempatkan pada penangkaran khusus. 

Tidak jauh dari tempat penetasan, ada kolam yang diperuntukkan bagi penyu-penyu dewasa. Di kolam buatan ini ada banyak penyu di dalamnya. Sayangnya lagi-lagi tidak ada petugas yang menerangkan mengapa penyu-penyu tersebut berada di kolam buatan. 

Di dinding tertempel informasi berbagai jenis penyu yang ada di Indonesia. Termasuk tulisan Tukik Babel Sea Turtle Conservation. Di dalam kolam penyunya berukuran sedang, belum sepenuhnya besar atau dewasa. 
Penyu-penyu di Tukik Babel Sea Turtle Conservation
Penyu-penyu di Tukik Babel Sea Turtle Conservation
Informasi dalam bentuk tulisan yang dipasang sebenarnya sudah bagus. Hanya saja, lebih bagus lagi jika ada petugas khusus yang menerangkan tentang penyu. Bagaimana mereka berusaha untuk memelihara penyu dan kenapa penyu dilindungi. 

Bagi sebagian orang, informasi yang dituturkan langsung menjadi menyenangkan. Khususnya bagi anak-anak kecil yang masih belum begitu paham tentang populasi penyu di Indonesia yang mulai hampir punah (untuk jenis-jenis tertentu). 

Bisa jadi tempat ini dijadikan pihak pengelola untuk mengenalkan penyu kepada masyarakat umum yang datang ke pantai Tongaci. Selama di sini, aku melihat beberapa pengunjung bersama keluarga duduk melihat penyu-penyu berenang di kolam dangkal. 

Seingatku, di sini hanya ada tiga orang yang berjaga. Dua perempuan di warung yang lokasinya tepat di dekat kolam buatan untuk penangkaran penyu, dan satu orang yang menjaga kolam penangkaran di laut. 

“Abang bisa memberi makan, tapi beli makanan penyu-nya di warung itu,” Terang abang yang berjaga sambil menunjukkan warung kecil di seberangnya. 
Kolam penangkaran penyu di Pantai Tongaci, Bangka
Kolam penangkaran penyu di Pantai Tongaci, Bangka
Bergegas aku menuju warung dan membeli makanan penyu. Makanan penyu ini berupa pellet. Makanan yang biasa digunakan untuk memancing ikan. Satu bungkus pelet dihargai 10.000 rupiah. Nantinya kita bisa melihat puluhan penyu dalam satu kolam. 

Satu bungkus pelet sudah di tangan. Tinggal menunggu waktu untuk memberi makan. Sebenarnya aku sudah diperbolehkan menuju kolam penyu dewasa untuk memberi makan, namun sengaja aku tangguhkan sampai pengunjung yang masih di kolam selesai memberi makan. 

Untuk memberi makan, kita menuju jembatan kayu, dan tinggal berdiri atau duduk di atas papan. Jangan sampai seperti orang yang kuabadikan ini, mereka memberi makan dengan ikut turun ke dalam kolam. 

Memang tidak ada larangan untuk turun. Tetapi, di kolam tersebut ada puluhan penyu, sehingga malah membahayakan diri sendiri jika ikut terjun dan memberi makan di dekat kita. Lebih baik kita tetap berada di atas jembatan. 

Tampaknya empat pengunjung tersebut lama di keramba penyu. Aku turut menuju jembatan dan memberi makan penyu. Selain aku, di sini juga banyak pengunjung yang lain berdatangan. Dari informasi penjaga, di sini tidak hanya puluhan, malah lebih. 

Kutaburkan pelet di air, sontak penyu-penyu berukuran besar saling berebut makanan. Air keramba bergemericik. Untuk membagi kumpulan penyu, aku menyebar pelet di sudut yang lainnya. Tampaknya penyu-penyu di sini sudah biasa melihat pengunjung. 
Penangkaran penyu di Pantai Tongaci Bangka
Penangkaran penyu di Pantai Tongaci Bangka
Gerombolan penyu dalam penangkaran milik Tukik Babel Sea Turtle Conservation
Gerombolan penyu dalam penangkaran milik Tukik Babel Sea Turtle Conservation
Berkali-kali kusebar pelet di kedua sisi jembatan agar gerombolan penyu tidak menyatu di satu titik. Bahkan ada yang berada cukup dekat dengan bawah jembatan. Ingat, meski dekat, kalian jangan sampai memegang penyunya. 

Cangkang penyu mengkilat terkena sianar matahari. Warna gelap dengan bermotif menjadikannya terlihat indah. Hal ini pula yang membuat penyu banyak diburu hingga diambang kepunahan. Tidak sedikit yang mengambil cangkang penyu untuk souvenir. 

Bagi aku, pantai Tongaci ini sangat menarik untuk dikunjungi. Selain karena hamparan pasir luas, di sini aku juga bisa melihat tempat konservasi penyu. Tidak semua pantai ada tempat seperti ini. Itulah yang menjadikan pantai Tongaci menarik. 

Adanya konservasi penyu menjadikan tenpat ini direkomendasikan untuk keluarga. Sehingga anak-anak tahu jika penyu merupakan hewan yang dilindungi. Lebih bagus lagi jika di sini petugasnya aktif memberikan layanan trip edukasi tentang penyu. 

Aku kembali menuju parkiran. Masih ada satu pantai lagi yang rencananya aku kunjungi di Bangka. Konon pantai tersebut sudah terkenal Namanya. Serta banyak wisatawan yang ke Bangka menyempatkan singgah di pantai tersebut. *Pantai Tongaci Bangka; Jumat, 26 Oktober 2019.

5 Cara Mewujudkan Mimpi Menjadi Travel Blogger

$
0
0
Menyempatkan diri singgah di Batam

Setiap perjalanan itu untuk diingat, ditulis, diceritakan, dan dibagikan. Itulah yang menjadi modal awal aku menggeluti dunia tulis menulis melalui blog. Mulai dari menulis harian tanpa terkonsep, menceritakan rutinitas bersepeda, dan yang lainnya. 

Hingga saat ini, tulisan yang ada di blogku cenderung banyak terkait travelling. Perjalanannya memang belum jauh. Terkesan lebih banyak di Jogja dan sekitarnya. Namun, aku menjadikan konten-konten tersebut berusaha menarik minat pembaca. 

Kita tahu, kurun lima tahun terakhir, banyak orang yang menyematkan dirinya sebagai travel blogger. Berusaha menulis banyak cerita perjalanan, hingga menyebarkan di tiap media sosial yang dimiliki. Namun, konsistensi dalam menghasilkan tulisan menjadi ujian tersendiri. 

Menjadikan kegemaran sebagai suatu profesi bukanlah hal yang mustahil untuk dilakukan. Bagi kalian yang gemar travelling, sangat mungkin untuk menjadikannya sebagai suatu rutinitas yang menghasilkan. 

Terlebih dengan majunya teknologi saat ini, kalian bisa memulai profesi sebagai travel blogger dengan hosting murah gratis domain dan mendapatkan uang dari blog. Sebelumnya, kalian harus mempunyai kanal untuk menuangkan tulisan tersebut. 

Sudah banyak orang yang membuktikan bahwa menjadi travel blogger adalah salah satu jalan karir yang tepat untuk mereka yang hobi plesiran. Berawal dengan cara membuat blog di Blogger ataupun CMS (Content Management System) lain seperti WordPress. 

Dari sini kalian bisa mulai menghasilkan konten yang banyak, mengelolanya menjadi hal yang menarik, hingga pada akhirnya mendulang banyak traffic dari konten yang sudah kalian buat. Memang butuh proses, tapi itulah tantangannya. 

Memang benar, menjadi travel blogger bisa jadi solusi bagi kalian yang ingin bekerja sambil jalan-jalan. Namun, hanya dengan membuat blog saja belum cukup untuk bisa mendapatkan penghasilan dan membuat orang mengenal kalian sebagai travel blogger. 

Makin banyaknya orang dengan profesi yang sama, perlu strategi khusus agar kalian bisa menjadi travel blogger yang dikenal. Lalu, apa saja cara yang bisa kalian lakukan untuk mewujudkan mimpi sebagai travel blogger? 
Mencari ide tulisan di salah satu kedai kopi
Mencari ide tulisan di salah satu kedai kopi

Perbanyak traffic kunjungan dengan SEO 

Ada banyak cara untuk mendapatkan uang dari blog. Kalian bisa mengelola blog untuk mendulang komisi melalui iklan yang dipasang di halaman blog seperti AdSense dari Google. Atau kalian juga dapat mengelola konten blog untuk kebutuhan marketing dan memberikan kesempatan bagi para pemilik website lain untuk melakukan content placement. 

Jika kalian ingin memanfaatkan AdSense untuk mendapatkan keuntungan dari blog, setidaknya kunjungan blog tersebut puluhan ribu pengunjung setiap bulannya. Walaupun mungkin kalian sudah bisa memasang AdSense tanpa jumlah pengunjung yang tidak seberapa, namun idealnya tetap perlu lebih banyak visitor untuk menghasilkan lebih banyak uang dari iklan yang dipasang. 

Maka dari itu, kalian harus mengoptimasi konten yang di blog dengan Search Engine Optimization (SEO). Optimasi ini penting untuk dilakukan agar konten-konten yang ada di dalamnya bisa lebih mudah terindex oleh Google dengan kata kunci populer yang sering dicari. 

Dengan begitu, akan lebih banyak orang yang berkunjung ke blog kalian melalui mesin pencarian. Memang sebenarnya konten adalah kunci utama dalam suatu blog. Tapi, kita harus ingat jika setiap konten butuh dioptimasi agar lebih baik. 

Gunakan gaya bahasa unik milik sendiri 

Ada banyak blogger di luar sana yang sudah sukses mendapatkan uang dari internet. Begitu juga para blogger dengan niche travel. Banyak di antara mereka yang sudah berhasil melakukan kerjasama dengan berbagai hotel hingga destinasi wisata terkenal melalui blog yang dikelolanya. Salah satu aspek yang menjadi daya tarik mereka adalah gaya bahasa. 

Kalian tidak perlu menjadi blogger dengan tulisan yang memenangkan penghargaan tertentu untuk bisa bekerja sama dengan brand ternama. Aspek yang harus diutamakan adalah ciri khas tulisan pada tiap tulisan. Ciri khas ini bisa terlihat dari gaya bahasa yang digunakan maupun sudut pandang yang kalian suguhkan. 

Seperti yang pada umumnya orang lain lakukan ketika menulis suatu cerita. Biasanya mereka terinspirasi dari tulisan-tulisan yang pernah dibacanya. Setelah itu kalian sendiri mengembangkan alur cerita dengan cara sendiri. 

Baca juga: Pantai Tongaci dan Tempat Penangkaran Penyu di Bangka

Berlibur ke Belitung untuk mencari konten blog
Berlibur ke Belitung untuk mencari konten blog
Jika kalian menulis untuk segmen yang ditujukan kepada generasi millenial, kalian bisa menggunakan gaya bahasa yang lebih luwes dan tidak formal. Namun apabila tulisan mengenai parenting yang ditujukan bagi mereka yang berusia dewasa dan sudah berkeluarga, sebaiknya gunakan gaya bahasa yang lebih formal dan sopan.

Walau begitu, jangan sampai tulisan terkesan kaku. Tidak ada salahnya untuk memberikan selingan berupa humor receh atau istilah-istilah slang di dalamnya. Jangan terlalu memaksakan gaya bahasa yang tidak sesuai dengan diri kalian karena nantinya blog tersebut akan dikenal lebih banyak orang sebagai representasi dari diri kalian sendiri. 

Konsisten menulis secara reguler 

Mari berpikir realistis, apakah dengan sekadar menulis, kalian bisa langsung mendapatkan uang dari blog? Tidak secepat itu. Ada banyak hal yang perlu diusahakan hingga akhirnya blog tersebut dapat menghasilkan. Hal ini juga berlaku untuk para travel blogger. 

Untuk para travel blogger, mereka harus bekerja “ekstra” karena pekerjaannya tidak hanya jalan-jalan saja, tapi juga merekam pengalaman mereka dan menyampaikannya kembali lewat tulisan. Sehingga, fasih dalam menulis adalah suatu kewajiban yang tidak bisa ditawar. 

Melatih kemampuan menulis pun harus rutin dilakukan agar kalian semakin lihai dalam merangkai kata. Pun dengan memosting tulisan di blog. Lebih baik tulisan tersebut secara berkala penerbitannya. Sehingga terjadwal dengan baik di tiap bulannya. 

Ajak teman untuk menulis guest post 

Semua pekerjaan pasti memiliki titik jenuhnya, termasuk profesi sebagai travel blogger. Kalian bisa saja mengalami writer’s block dan tidak memiliki variasi ide yang menarik untuk ditulis di blog. Bisa jadi karena Anda belum mempunyai waktu untuk mencari konten tulisan, sehingga tidak tergerak untuk mulai menulis kembali. Sayang sekali, kan? 

Apabila hal ini terjadi, ada cara yang bisa dilakukan untuk mengakalinya. Salah satu langkah yang bisa dimanfaatkan adalah dengan mengajak sesama teman blogger untuk menjadi “penulis tamu” dengan menulis guest post di blog kalian. Sebagai imbalannya, kalian bisa memberikan backlink ke blog mereka. 

Konsep guest post ini tidak hanya berlaku bagi sesama blogger saja. Kalian juga bisa mengajak teman yang ingin memperbanyak portofolio tulisan dengan menjadi kontributor di blog kalian. Sistem publikasi dan reward yang diberikan pun bisa langsung dinegosiasikan sejak awal agar nantinya konten di blog bisa diperbarui secara rutin. 

Manjakan pembaca dengan foto dan video yang menarik 

Kemampuan untuk menulis menjadi aspek yang mutlak dimiliki seorang blogger. Namun, kekuatan suatu blog tidak hanya bergantung pada tulisan saja. Sebagai blogger, kalian bisa menambahkan konten lain berupa video maupun foto yang bisa menambah daya tarik tulisan. 

Tanpa adanya dokumentasi tambahan tersebut, tulisan akan terasa kosong. Ketika kalian mengandalkan video dan foto, para pembaca akan merasa dimanjakan secara visual. Selain itu, tren konsumsi konten masyarakat saat ini juga cenderung kepada konten audio visual. Itu mengapa jenis konten seperti podcast dan vlog mulai digemari para millenial. Tentu kombinasi tulisan, foto, dan video menjadi daya tarik tersendiri. 

***** 

Iming-iming kesuksesan sebagai travel blogger bukan suatu hal yang mustahil untuk dicapai. Namun, ada banyak usaha yang perlu dilakukan untuk mendapatkannya. Minimal dengan melakukan lima cara di atas, kalian bisa mulai mengelola konten blog dan menjadikannya portofolio untuk mendapatkan project yang menghasilkan. 

Pada dasarnya semua kembali kepada diri kita masing-masing. Ketika komitmen dalam membuat blog, berusaha mengenalkan destinasi ke khalayak umum melalui tulisan, foto, ataupun video, serta konsisten pada jalurnya, mimpi tersebut pasti terwujud.

Le Travail Coffee Jogja, Kedai Kopi di Sekitaran UPN

$
0
0
Es Kopi Susu Blakang UPN
Sabtu malam menyapa, ini waktunya aku mencari info-info kedai kopi yang ingin aku kunjungi. Setengah jam melihat lini masa di Instagram, tidak sengaja aku melihat postingan Le Travail Coffee. Untuk sesaat aku melihat informasi jam buka kedai sebelum memastikan berkunjung. 

Transportasi daring mengantarku. Tidak seperti biasanya, kali ini jalanan cukup lancar. Berlokasi di Jalan Pintu Selatan UPN No.7, Ngropoh, Condongcatur, kedai kopi ini tepat di belakang kampus UPN. Hanya sepelemparan batu saja dari UPN. 

Cahaya temaram, kedai kopi ini berbalur cat putih di depan. Salah satu temboknya penuh tanaman. Pun dengan beberapa pot yang digantungkan. Masih lengang, malam minggu ini belum banyak pengunjung yang mengopi di sini. 

Kupegang gagang pintu dan mendorongnya, gantungan kecil berbentuk lonceng berdentang terkena gesekan bagian pintu. Suara ini cukup menjadi khas tiap ada pengunjung yang masuk atapun keluar. 
Teras kedai Le Travail Coffee Jogja menjelang malam
Teras kedai Le Travail Coffee Jogja menjelang malam
Barista yang berjaga menyapa. Layaknya pelayan, dia langsung menanyakan menu apa yang aku inginkan. Pilihannya tentu kopi dan nonkopi. Tidak kulihat buku daftar menu, lantas aku menanyakan daftarnya. 

“Di atas samping, mas,” Terang barista sambil menunjuk tiga buah tulisan daftar menu. 

Tiga daftar menu tersebut terbagi antara menu andalan (signature), kopi, dan nonkopi. Sempat aku bertanya kopi seduh manual, di sini untuk sementara waktu tidak tersedia. Kulirik bagian kopi susu, pilihanku jatuh pada Blakang UPN. Salah satu minuman andalannya. 

Harga minuman relatif mirip dengan kedai-kedai yang ada di sekitarannya. Untuk minuman andalannya dihargai 20.000 rupiah. Hampir seluruh kedai kopi di sekitaran Seturan harganya mirip, tidak jauh berbeda. 

Sesaat aku berbincang dengan barista yang berjaga. Dia hanya sendirian, katanya nanti ada peralihan sif pukul 20.00 WIB. Menjelang magrib hingga sekarang belum tampak keramaian pengunjung. Hanya ada tiga orang, sudah termasuk aku. 
Daftar menu dan harga di  Le Travail Coffee Jogja
Daftar menu dan harga di  Le Travail Coffee Jogja
Informasi yang aku dapatkan, biasanya waktu kunjungan ramai tidak tentu. Tiap hari banyak pengunjung, seperti malam sabtu kemarin. Semua tempat duduk penuh, hingga barista benar-benar bekerja. 

Uniknya lagi, tempat ini ramai tiap rabu malam. Entah kenapa, katanya tiap rabu malam kedai kopi ini pengunjungnya selalu penuh. Kalau pagi hari rata-rata yang datang adalah pekerja, mereka mencari tempat yang nyaman untuk bekerja. 

Meski tidak luas, kedai kopi Le Travail ini konsepnya jelas. Bagian luar kedai dimanfaatkan untuk pengunjung yang ingin berbincang santai. Satu meja panjang dilengkapi dua kursi panjang pula. Bagian sudut yang melekat pada tembok tersedia stop kontak. 

Bagian yang masih kosong lainnya diberi empat meja kecil. Kombinasi kursi panjang dan kecil terbagi di beberapa sudut melengkapi meja. Di tiap meja sudah dilengkapi asbak. Tentu tujuannya bagi pengunjung yang suka merokok. 
Area luar  Le Travail Coffee Jogja untuk para perokok
Area luar  Le Travail Coffee Jogja untuk para perokok
Sembari menunggu pesanan dibuat, aku menjelajah sudut-sudut kedai kopi. Lantai satu yang di dalam ubin berwarna gelap. Tembok sisi kanan seperti susunan papan berwarna kecoklatan. Sedangkan tembok sisi kiri batu bata berbalur cat putih. 

Konsep di dalam ini sebenarnya mengambil segmen para pekerja. Tatanan meja dan kursi lebih cocok untuk para pekerja lepas. Sekilas memang mirip coworking space. Tiap meja yang melekat di tembok sudah tersedia colokan listrik. 

Kursi panjang yang berlapis busa dilengkapi tiga meja kecil. Satu meja panjang di tengah ruangan bisa untuk pengunjung saling berhadapan. Tempat ini yang biasa ramai digunakan para pengunjung untuk bekerja. 

Ukuran antara meja dan kursi tingginya sudah ergonomis. Jadi nyaman untuk menulis atau melakukan aktivitas dengan laptop. Untuk meja panjang yang berada di tengah, tidak tersedia colokan. Sewaktu aku di sini, ada pengunjung yang membawa rol kabel sendiri. Biasanya mereka pelanggan tetap. 

Berhubung berada di dalam dan berdekatan dengan meja barista, serta tidak semua pengunjung adalah pekerja. Tempat ini kalau ramai cukup riuh. Bagi yang ingin bekerja malam hari, aku rekomendasikan membawa headset agar lebih kondusif. 
Ruangan di dalam cederung untuk bekerja
Ruangan di dalam cederung untuk bekerja
Dari luar terdapat tangga kecil akses naik ke lantai dua. Menurutku tangga ini cukup curam, sedikit kurang ergonomis. Tangga kecil ini mengingatkanku tangga di Signatura Coffee. Aku menelusuri informasi di ulasan Google terkait tangga kedai kopi tersebut. 

Sebuah postingan di sana menarik perhatianku. Sebuah masukan dari salah satu pengunjung jika model tangganya terlalu tegak, sehingga sedikit kurang aman. Bahkan dia menuliskan pernah melihat ada orang yang agak terpeleset. 

Informasi-informasi seperti ini bisa menjadi masukan yang bagus bagi orang yang bergelut di bidang kedai kopi ataupun yang lainnya. Meski tidak semua masukan bisa diambil, setidaknya bisa menjadi pertimbangan di waktu mendatang. 

Sesampai lantai dua, ruangannya terbagi menjadi dua. Satu terbuka menghadap jalan dan satunya tertutup. Ada dua pengunjung yang sudah di atas, mereka sibuk di depan laptop masing-masing. Kuurungkan diri memotret. 

“Mas, mbak. Boleh saya izin motret dari luar?” Pintaku meminta izin terlebih dahulu. 

Kedua pengunjung tersebut tidak keberatan aku abadikan sewaktu sedang beraktivitas. Meski ruangan di lantai dua tertutup, tempat tersebut diperbolehkan untuk merokok. Ruangan ini mengingatkanku Eternity Coffee yang mempunyai ruangan tertutup dan diperbolehkan merokok. 
Lantai dua pun konsepnya untuk bekerja
Lantai dua pun konsepnya untuk bekerja
Tanda-tanda keramaian mulai terlihat menjelang pukul 21.00 WIB. Pengunjung datang sendirian hingga berkelompok. Lagi-lagi barista melayani tiap pembelian para pengunjung. Di sini, pesanan yang kita pesan nanti diambil sendiri. 

Barista memanggil nama kita untuk kita ambil sendiri. Sebelumnya, barista meminta informasi nama panggilan kita dan menulisnya pada gelas plastik. Minuman dingin di sini menggunakan gelas plastik. 

Satu hal lagi yang aku ingat di sini. Barista senantiasa mengingatkan para pengunjung untuk membawa helm-nya masuk atau menaruh di teras kedai kopi. Konon sudah beberapa kali ada yang kehilangan helm karena memang tidak ada penjaga parkir. 

Kalian yang datang ke Le Travail lebih baik datang menggunakan kendaraan roda dua ataupun malah menggunakan transportasi daring. Karena area parkir sempit, hanya memanfaatkan tepian jalan di seberang kedai kopi. 
Pengunjung dan barista di depan meja bar
Pengunjung dan barista di depan meja bar
Tidak terasa minuman Es Kopi Susu Blakang UPN sudah siap. Barista memanggil sesuai nama yang tadi aku sebutkan. Minuman ini komposisinya adalah natural palm sugar, espresso 2 shot, and mix milk. Untuk rasa, menurutku seperti minuman es kopi yang ada di kedai kopi lainnya. 

Usai mendapatkan minuman, aku menuju satu meja yang ada di dalam ruangan. Mengambil laptop dan menulis ulasan kedai kopi ini di blog. Seperti yang aku lakukan seminggu sebelumnya. Malam ini pun aku menulis kedai kopi Le Travail tepat di kedai kopinya langsung. 

Jika ingin datang pada saat kedai kopi suasana nyaman dan tenang. Aku merekomendasikan datang saat pagi atau sebelum malam. Biasanya kedai kopi pada jam-jam tersebut cenderung sepi. Ketika aku datang awalnya sepi, tapi pas sedang di sini mulai terlihat riuhnya. 

Pada dasarnya sebagian besar pengunjung yang di dalam sibuk bekerja. Hanya ada satu atau dua pengunjung yang memang untuk bersantai dan merupakan pelanggan tetap kedai, sehingga terlihat agak ramai dan riuh. 
Menulis artikel di  Le Travail Coffee Jogja
Menulis artikel di  Le Travail Coffee Jogja
Berhubung di sini minuman dikemas menggunakan gelas plastik, alangkah lebih baiknya lagi terdapat tempat sampah di salah satu sudut ruangan. Tujuannya agar pengunjung yang nantinya pulang bisa langsung membuang bekas gelas plastiknya di tong sampah, sehingga barista tidak perlu membuang sampah. 

Kedai kopi ini sebenarnya asyik untuk tempat bekerja, konsep dan tatanan meja di ruangan sudah sesuai. Rata-rata pengunjung kedai kopi yang di sini waktu kunjungnya relatif cukup lama. Bisa antara 3 jam atau lebih karena mereka sebagian besar bekerja. *Le Travail Coffee Jogja, 09 September 2019

Main ke Salatiga? Coba Menginap di Grand Wahid Hotel

$
0
0
Kamar di Grand Wahid Hotel Salatiga
Usai seharian menjelajah Candi Gedongsongo dan destinasi yang lainnya, aku bergegas menuju penginapan. Hotel yang kupesan berada di Salatiga, tepatnya di Grand Wahid Hotel. sengaja memilih tempat ini karena agenda besok menuju Saloka Theme Park. 

Hotel yang terletak di jalan Jend. Sudirman No 2 ini cukup strategis. Di seberang jalan terdapat pusat keramaian untuk berbelanja. Lokasinya juga tidak jauh dari kampus. Bangunan ini menjulang tinggi dengan tulisan nama hotel di depannya 

Aku bergegas menuju resepsionis yang sedang berjaga. Sejenak disibukkan terkait pemesanan kamar, akhirnya kunci sudah di tangan. Aku mendapatkan kamar di lantai 6, tepatnya di kamar 616. 

Sebelum menuju lantai enam, aku melihat sekeliling hotel dari lobi. Beberapa petugas mengatur area parkir mengenakan kemeja seragam. Satu orang lagi bertugas di pintu masuk. Tampak tangga menjulang tinggi tepat di sisi kananku. 

Sekilas hotel ini berbentuk bangunan lama. Tidak seperti hotel-hotel yang mendesain bangunannya sedikit instagramble. Tiap dinding di lobi terdapat banyak lukisan yang berjejer. Pun dengan jalur menuju arah lift. 
Grand Wahid Hotel Salatiga berada di tengah kota
Grand Wahid Hotel Salatiga berada di tengah kota
Aku menuju lift, lokasi lift berdekatan dengan restoran. Ada dua lift yang dapat digunakan. Lucunya, tatkala sampai di lantai 6, aku sempat salah membaca arah plang petunjuk arah. Bisa jadi ini efek dari kantuk. 

Sore ini tidak banyak orang yang berada di hotel. Mungkin keramaian baru terlihat kala pagi. Biasanya, menjelang sarapan banyak pengunjung yang hilir-mudik. Sedari tadi sempat kulihat ada semacam acara di salah satu ruangan, tepatnya di lantai satu. 

Ruangan kamar luas. Kasur besar lengkap dengan bantal dan guling dua pasang. Sementara itu di sisi utara ruangan terdapat meja dan sofa. Sebelum jauh menjelajah tiap sudut. Aku menyempatkan diri untuk istirahat. 

Menurut data, hotel ini mempunyai 103 kamar dengan berbagai pilihan. Aku sendiri hanya ingin menyempatkan tidur tanpa beraktivitas yang lainnya. Sehingga cukup ambil kamar yang paling murah. Tetap saja, hotel ini cukup bagus bagiku. Mungkin terbiasa menginap di hotel budget murah. 

Layaknya hotel-hotel besar lainnya, di Grand Wahid Hotel Salatiga fasilitas di kamar sudah menyenangkan. Mulai dari air mineral, kopi dan gula, almari, gantungan pakaian, TV dengan saluran kabel, serta ada brankas. 
Kamar di Grand Wahid Hotel Salatiga cukup luas
Kamar di Grand Wahid Hotel Salatiga cukup luas
Selain sofa yang di sisi utara kasur, tidak ketinggalan meja yang melekat dengan cermin di depan kasur. Secara keseluruhan tempat ini menyenangkan. Aku tidak banyak mengabadikan, hanya sesekali malah mengambil video vlog. 

Pun dengan petunjuk arah kiblat, anak panah tersebut ada di sudut atap. Sebenarnya, Grand Wahid Hotel ini menyediakan musola di bawah. Hanya saja aku memang tidak salat di sana. Aku sengaja salat di area kamar karena masih banyak tempat untuk salat. 

Semua barang bawaan aku letakkan pada tempatnya. Ketika semuanya sudah beres, aku mengambil buku fiksi hadiah dari penulisnya untuk kubaca. Aktivitas seperti ini biasa kulakukan jika ingin menghabiskan waktu di kamar. 

Tanpa terasa mata ini terasa berat. Aku geletakkan buku bacaan di samping, lantas menuntaskan waktu dengan tidur sore. Mungkin tadi sedikit letih kala berjalan kaki mengitari beberapa bangunan di Candi Gedongsongo, hingga berlanjut ke Cimory. 
Menyempatkan waktu untuk membaca buku
Menyempatkan waktu untuk membaca buku
Lumayan lama aku tidur, setidaknya mampu membuatku lebih bugar. Kutanggalkan kaus yang sedari pagi kupakai. Lalu menuju kamar mandi. Hawa sejuk di Salatiga membuat nyaman untuk bermalas-malasan. 

Kujelajahi bagian kamar mandi. Di sini toileters sudah lengkap. Bagi yang tidak membawa handuk atapun sabun, kalian tidak masalah. Toh rata-rata hotel sudah menyediakan. Kamar mandi cukup bersih, tempat pasta gigi dan lainnya juga tertata rapi. 

Sementara untuk sampo dan sabun, semuanya menjadi satu dalam wadah gel. Sehingga tidak disediakan terpisah. Terkadang kita menemukan hotel yang menyediakan sabun sendiri dalam bentuk batangan. 

Desain kamar mandinya menggunakan bathub, sehingga nyaman untuk bersantai sambil membaca buku kala senggang. Air panas dan dingin juga berjalan normal, sehingga tidak membuat kita menunggu agak lama untuk mendapatkan air panas. 

Kutuntaskan waktu di sini untuk berendam. Menikmati waktu sambil sedikit berdendang. Sesekali memainkan air dalam bathub. Beruntung selepas ini aku tidak mempunyai agenda, sehingga bisa bersantai tanpa terburu waktu. 
Bathup hotel berwarna putih minimalis
Bathup hotel berwarna putih minimalis

***** 

Malam harinya aku meninggalkan hotel. Sengaja menuju kedai kopi yang berada tidak jauh dari hotel. Pun dengan mencari makan malam di sekitaran hotel. Di depan hotel sendiri sudah berjejeran kuliner. Konon ada wedang ronde yang legendaris. 

Sepulang mengopi, aku langsung menuju kamar. Tidak ada yang kukerjakan, jadi melanjutkan baca buku sampai larut. Lantas terbuai mimpi. Menjelang pagi bangun karena alarm gawai berbunyi kencang dan berulang. 

Sedikit bermalasan, aku bangun dan menuju kamar mandi. Mencuci muka, gosok gigi, lantas mengambil wudu. Lanjut salat subuh dan kembali lagi tidur. Bangun lagi sekitar pukul 06.30 WIB. Kali ini aku ingin menjelajah bagian restoran dan tempat Gym. 

Niat awal ingin sekadar main-main di kolam renang. Setidaknya kaki ini terkena air. Kulangkahkan kaki menuju arah kolam renang, di sana sudah lumayan banyak orang yang berenang. Niat awal kutangguhkan. 
Suasana pagi di kolam renang
Suasana pagi di kolam renang
Terdapat kolam kecil dan besar. Untuk yang luas, ini terdapat mainan semacam prosotan. Kedalamannya mungkin berkisar 1.2 meter. Beberapa tamu hotel sudah bermain air bersama rekannya. Mereka naik dan berseluncur. 

Di kolam berbentuk lingkaran yang kecil, terdapat dua anak kecil yang bermain air. Selain itu, tempat duduk berbentuk payung yang mengitari kolam juga sudah ada orangnya. Aku malah diam dari dekat restoran, merekam sedikit moment mereka berenang. 

Selain kolam renang, di sini juga terdapat tempat gym. Lumayan luas dan lengkap peralatannya. Beberapa pengunjung sudah beraktivitas. Aku hanya melongok dari arah jendela transparan. Sengaja tidak masuk, takut mengganggu aktivitas mereka. 

Di depan pintu masuk terdapat tulisan pengunjung yang diperbolehkan masuk. Di bawah umur 18 tahun tidak diperkenankan ke dalam. Dari depan pintu, aku hanya mengamati aktivitas mereka yang berolahraga. 

Kulangkahkan menuju restoran. Waktu makan dibatasi dari pukul 06.00 – 10.00 WIB. Segera kuinfomasikan nomor kamar. Pihak yang bertugas melihat daftar kamar dan mempersilakanku untuk menikmati sajian sarapan. 
Tamu hotel yang sarapan di restoran
Tamu hotel yang sarapan di restoran
“Silakan mas, selamat sarapan,” Sapa petugas yang berjaga di depan. 

Tidak banyak yang aku ambil, cukup nasi goreng, omlet, dan jus. Selain itu tambahannya mengambil beberapa potongan buah. Ruangan restoran terbagi menjadi dua. Bagian dalam yang bebas area rokok dan luar. 

***** 

Pada akhirnya, aku harus meninggalkan hotel ini. Sedikit kesanku tentang Grand Wahid Hotel Salatiga. Mulai dari lokasi; menurutku hotel ini strategis. Untuk ke destinasi seperti Saloka Theme Park tidak jauh. Pun menuju kampus Universitas Kristen Satya Wacana. 

Suasana hotel menyenangkan. Pelayanan resepsionis di depan hingga di restoran ramah. Kamar luas dan bersih. Hanya saja suara kamar sebelah atau orang di lorong terkadang masih terdengar. Tapi itu bukan sebuah masalah. 

Masakan yang disajikan beragam, nasi goreng yang kumakan juga sesuai dengan seleraku. Mungkin tempat duduknya yang sedikit terbatas. Sewaktu aku sarapan sedikit kesulitan mencari tempat duduk. Ini juga menurutku sesuatu yang tidak masalah. 
Sudah pagi, jangan lupa mandi
Sudah pagi, jangan lupa mandi
Dari berbagai komentar yang kudapatkan di Local Guide, rata-rata pengunjung ataupun tamu hotel mengatakan area parkir yang kurang luas. Ini memang menjadi soal tersendiri, karena lahan depan tempatnya terbatas. Jika ada bus besar memang petugasnya sedikit bekerja ekstra mencari tempat. 

Terlepas dari itu semua, aku masih merekomedasikan hotel ini bagi kalian yang berlibur ke Salatiga dan sekitarnya. Paling penting adalah bagaimana petugas ataupun pihak hotel sudah bertugas dengan maksimal melayani tamunya. * Salatiga; 22-23 November 2019

Kedai Kopi, Galeri Lukisan, dan Penginapan Bersatu di 1915 Arts-Koffie-Huis Salatiga

$
0
0
Minuman di 1915 Arts-Koffie-Huis Salatiga
Satu minggu sebelum mengunjungi Salatiga, aku sudah mencari-cari informasi terkait kedai kopi yang dekat dengan Hotel Grand Wahid. Informasi yang kudapatkan rata-rata kedai kopi berada di sekitar Kampus Universitas Kristen Satya Wacana

Aku masih mengecek satu persatu kedai kopi di ulasan Local Guide. Sampai akhirnya memutuskan untuk mendata beberapa kedai kopi, salah satunya malah berada di seberang hotel. Lokasi yang berbeda dengan di sekitaran kampus. 

1915 Arts-Koffie-Huis namanya. Kedai kopi yang kubaca dari ulasan dan melihat gambar-gambar tersebar berlokasi pada bangunan tua dan tempatnya teduh. Aku langsung tertarik mengunjungi dan menjadikan kedai kopi ini sebagai tujuan utama saat di Salatiga. 

Selepas magrib, aku langsung memesan transportasi daring menuju 1915 Koffie. Ditilik dari peta, lokasinya cukup dekat dari hotel. Tidak lebih dari lima menit, kami sudah sampai di kedai kopi. Nyatanya memang dekat. Jadi terpikirkan pulang nanti jalan kaki. 

Bahkan bapak ojek yang mengantarkanku ke sini sedikit tertawa. Beliau berujar jika ini salah satu pengguna aplikasi yang paling dekat tempat penjemputan dan mengantarkan. Obrolan kami tentang kuliner di Salatiga pun belum tuntas terselesaikan. 

Bangunan tua di depanku seperti peninggalan Belanda. Rerimbunan pohon membuat lokasinya dari luar sepertinya teduh. Tulisan 1915 memancar dari lampu yang tersemat di antara rimbunnya tanaman rambat. 
Kedai 1915 Arts-Koffie-Huis memanfaatkan bangunan tua
Kedai 1915 Arts-Koffie-Huis memanfaatkan bangunan tua
Anak tangga mengantarkanku sampai di depan teras rumah. Tempat ini memang rumah peninggalan Belanda dan bagian teras dijadikan untuk kedai kopi. Beberapa barista sudah berkumpul, pun dengan seorang perempuan yang menikmati santap di meja barista. 

Lelaki berambut agak gondrong menyapaku. Aku mencoba untuk melihat biji kopi yang disediakan. Awalnya kukira lelaki ini adalah salah satu baristanya. Setelah kami berbincang, ternyata beliau adalah Om Tito. Pemilik kedai yang pada malam ini sedang turut melayani pengunjung. 

Seperti di kedai kopi biasanya. Sesaat emlihat biji kopi yang tersedia, setelah itu mencari daftar menu yang ditawarkan. Papan tulisan terpajang di tembok tertera berbagai harga menu dari minuman dan makanan yang disediakan. 

Pilihanku jatuh pada biji kopi Sindang. Menurut Om Tito, biji kopi ini lebih direkomendasikan menggunakan metode Aeropress. Sebelumnya, beliau juga menawarkan untuk menyeduh kopi Java Wine. 

“Kalau yang Java Wine saya rekomendasikan menggunakan Syphon,” Ujar Om Tito. 
Daftar menu dan harga di 1915 Arts-Koffie-Huis Salatiga
Daftar menu dan harga di 1915 Arts-Koffie-Huis Salatiga
Sembari menunggu racikan kopi, aku lebih sering berbincang santai. Entahlah, menurutku tempat ini kombinasi yang unik. Bangunan tua, banyak lukisan, dan tempatnya cukup rimbun dan teduh. Area luar diberdayakan untuk duduk sambil mengopi. 

Malam ini 1915 Arts-Koffie-Huis dijaga tiga barista. Keseluruhan barista ini adalah perempuan. Kedai kopi 1915 Arts-Koffie-Huis sendiri sudah ada sejak tiga tahun yang lalu. Om Tito sengaja membuat kedai kopi karena beliau paham tentang kopi. 

Sempat kutanya terkait penamaan 1915 Arts-Koffie-Huis. Beliau berujar jika bangunan ini adalah peninggalan eyangnya. Setelah dari Belanda, beliau ingin mencari kesibukan dengan meramaikan tempatnya. Dibuatlah kedai kopi yang sekarang ini aku kunjungi. 

“Tempat ini bukan hanya kedai kopi. Ada galeri di atas,” Ujar beliau sambil tertawa. 

Menariknya, Om Tito membebaskanku untuk menjelajah tiap sudut bangunan ini. Bahkan menganjurkan untuk keliling galerinya di lantai dua ditemani salah satu baristanya. Aku lupa nama barista tersebut. Pokoknya yang kaus merah, barista yang sudah punya sertifikat terkait dunia kopi. 
Barista sekaligus owner di 1915 Koffie
Barista sekaligus owner di 1915 Koffie
Kota Salatiga memang tidak terlalu riuh, suasananya menyenangkan. Meski begitu, geliat pertumbuhan kedai kopi di kota ini sangat pesat. Ada banyak kedai kopi di sini. Terlebih di sekitaran kampus. Konsepnya pun berbeda-beda. 

Aku mengelilingi 1915 Koffie, tanaman rambat menjadikan tempat ini layaknya taman. Di halaman sudah tertata meja dan kursi yang dapat kita tempati saat cuaca cerah. Kedai kopi ini mulai terlihat ramai menjelang pukul 20.00 WIB. 

Menariknya, kedai kopi 1915 Koffie ini tidak buka sejak pagi ataupun siang. Jam bekerjanya mulai sore, tepatnya pukul 16.00 WIB. Berbagai aktivitas biasanya tersaji di tempat ini. mulai dari diskusi hingga performa musik yang memanfaatkan bagian depan rumah. 

Beranjak masuk, ruangan demi ruangan tersaji. Tiap ruangan menjulang tinggi khas bangunan Belanda. Tidak perlu pendingin ruangan, tempat ini sudah sejuk. Tertera keterangan larangan merokok di ruangan terbuka. 

Tiap dinding penuh lukisan berbagai ukiran. Secara tersirat mengirimkan pesan jika pemiliknya adalah seniman. Aku terus menjelajah tiap sudut di lantai satu. Nyaris ruangannya sama luasnya. Hanya di bagian belakang yang ada anak tangga naik berbeda. 

Konsep ruangan di 1915 Arts-Koffie-Huis Salatiga terbuka
Konsep ruangan di 1915 Arts-Koffie-Huis Salatiga terbuka
Nuansa klasik ditonjolkan, tampak keserasian dari lantai yang bermotif bunga berkombinasi dengan kursi dan meja kayu berwarna gelap dan tersemat anyaman bambu pada sandarannya. Tidak ketinggalan taplak meja putih yang berenda. 

Kusesap minuman di salah satu ruangan. Aku terdiam mendengarkan suara musik dari pelantang. Sesekali memperhatikan salah satu dosen UKSW yang sedikit sibuk di depan laptop. Kami juga sempat berbincang, dan beliau adalah pelanggan setia di sini. 

Melihat Berbagai Lukisan di Lantai Dua 

Aku tertarik dengan tawaran Om Tito yang memperbolehkanku menjelajah lantai dua. Konon di sana ada banyak lukisan. Salah satu koleksi yang terpajang adalah karya Affandi. Aku diantar masuk, lantas menaiki anak tangga yang sedikit memutar. 

Dari anak tangga, terlihat semacam ruangan kerja. Ada beberapa unit computer, pun dengan lukisan serta tumpukan berkas. Aku meniti anak tangga ditemani satu barista perempuan. Kami berbincang tentang dunia kopi sepanjang anak tangga. 

Di lantai dua terbagi menjadi beberapa ruangan. Barista yang menemaniku menghidupkan lampu di lantai dua. Aku melihat berbagai lukisan terpajang di tiap dinding. Tempat ini benar-benar menggambarkan galeri lukisan. 
Tak hanya kedai, di atas 1915 Arts-Koffie-Huis ada galeri lukisan
Tak hanya kedai, di atas 1915 Arts-Koffie-Huis ada galeri lukisan
Lukisan berbagai ukuran tersaji di depanku. Ada yang tersemat pada dinding yang berlabur cat kombinasi antara putih dan coklat. Ada juga yang terpajang pada penyanggah saat masih dalam proses melukis. 

Aku mengitari satu ruangan dan melihat berbagai lukisan yang terpajang. Hasil karya lukisan di sini tidak satu tema. Ada semacam abstrak, tapi lebih dominan melukis aktivitas masyarakat atau tokoh dalam satu bingkai. 

Sekilas, tema yang dilukis mengingatkanku pada lukisan yang ada di Museum Affandi. Aku bukan orang yang paham tentang seni lukis ataupun segala jenis yang ada di dunia lukisan. Hanya saja, sekilas memang mengingatkanku dengan beberapa lukisan milik Affandi. 

“Itu musola?” Tanyaku sambil menunjuk satu tempat yang menghadap jendela di dekat ruang lukisan. Di sana terdapat sajadah yang tergelar. 

Barista ini menggeleng, dia mengatakan jika tempat tersebut adalah ruangannya Om Tito. Bisa jadi beliau menghabiskan waktu di sini untuk menepi sambil menggali ide dalam membuat lukisan. Tempat yang menarik untuk mencari ide. 
Aku melihat lukisan-lukisan yang terpajang
Aku melihat lukisan-lukisan yang terpajang
Tuntas sudah satu ruangan ini aku jelajahi. Di sini, peran barista tidak hanya sebagai orang yang menemani. Dia juga cakap dalam mencari waktu untuk mengabadikanku di tengah-tengah ruangan. Siapa tahu ke depannya ada semacam tour berkaitan dengan lukisan dengan pemandu yang paham terkait karya-karya yang terpasang. 

Pesan Kamar Menginap di 1915 Koffie Melalui Airbnb 

Di pikiranku setelah melihat isi lantai dua adalah tepat ini fokus untuk rumah, galeri, dan kedai kopi. Sesuai dengan namanya jika kita terjemahkan secara umum. Aku iseng mencari terjemahan kata Huis, hingga aplikasi merujuk kata tersebut adalah Bahasa Belanda yang berarti rumah. 

Sesuai dengan informasi awal yang diberikan Om Tito, jika tempat ini sekaligus rumah tingga beliau. Hingga pikiranku berubah drastis kala satu ruangan lagi dibuka, dan barista ini menghidupkan lampu. 

Dua tempat tidur dengan bentuk yang futuristik menurutku. Di bagian belakangnya terdapat jendela lebar dan empat kain gorden yang terikat dengan motif bunga. Bentuk rak buku yang seperti piramida mengerucut menambah unik. 

“Ini kamar beliau (Om Tito) juga?” Tanyaku penasaran. 

“Bukan mas. Ini untuk orang yang menginap, bisa memesan di Airbnb.” 

Om Tito memanfaatkan beberapa kamar untuk penginapan melalui aplikasi Airbnb. Selain kamar di atas, ada juga kamar yang lokasinya di lantai satu. Jika tidak salah, namanya adalah Arundaya Room. Bisa kalian akses di Aplikasi Airbnb. 
Kamar instagramable di 1915 Arts-Koffie-Huis Salatiga
Kamar instagramable di 1915 Arts-Koffie-Huis Salatiga
Seperti konsep yang sebagian besar di Airbnb, pelayanannya tidak seperti hotel yang siap dalam 24 jam. Di sini terdapat beberapa fasilitas yang bisa dibaca melalui aplikasinya. Sehingga tiap tamu yang datang paham dengan fasilitas yang disediakan. 

Sayangnya kunjungan ke Salatiga sudah menginap di Hotel Grand Wahid, jika belum ada tempat menginap bisa menepi di sini. Aku bersantai di ruangan tersebut, mengabadikan diri di kamar tersebut. 

Mirip dengan ruangan sebelumnya yang penuh lukisan. Di kamar ini juga terpasang lukisan-lukisan pada dinding. Menurut informasi Om Tito, sebagian besar pengunjung yang menginap di sini adalah bule. 

***** 

Keliling lantai dua 1915 Arts-Koffie-Huis selesai. Kami kembali ke meja bar, menyeduh kopi yang sudah mulai dingin. Di waktu yang hampir bersamaan, Om Tito menyuguhkan kembali secangkir Java Wine yang beliau rekomendasikan. 

Tidak lebih dari tiga jam, dua cangkir kopi ini sudah aku libas hingga tandas. Kalian aku rekomendasikan Java Wine jika memang suka kopi. Rasanya menurutku agak unik. Lebih asyik dari kopi yang kupesan sebelumnya. 

1915 Arts-Koffie-Huis bukan sekadar kedai kopi, galeri, hingga penginapan. Kulihat dari akun instagramnya, tempat ini juga sering digunakan untuk berdiskusi ataupun kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan literasi ataupun budaya. 
Menikmati dua kopi seduh manual dan membawa pulang clodbrew
Menikmati dua kopi seduh manual dan membawa pulang clodbrew
Jika kalian berkunjung ke Salatiga dan butuh tempat untuk mengopi santai tanpa terlalu riuh. Aku rekomendasikan untuk mengunjungi 1915 Arts-Koffie-Huis. Percayalah, kedai kopi itu bukan hanya tentang racikan kopi saja, tapi interaksi dengan barista juga harus ditonjolkan. 

Tidak terasa, waktu sudah mendekati tengah malam. Aku meminta izin untuk pulang, badan sudah memperlihatkan tanda-tanda minta istirahat. Usai pamit, aku berjalan kaki menuju hotel. tidak lupa berhenti di salah satu warung kelontong untuk membeli camilan. *Salatiga; 23 November 2019.

Mengenal Lebih Dekat dengan Desa Wisata Kebondalem Kidul, Prambanan

$
0
0
Bersepeda di Desa Wisata Kebondalem Kidul, Prambanan
Desa wisata Kebondalem Kidul menjadi tujuanku. Desa ini sebenarnya sudah tidak asing kusambangi. Sering kali aku melintasi tempat ini kala kuliner bebek di dekat Stasiun Brambanan, berkunjung ke Candi Sojiwan, atau saat blusukan naik ke Spot Riyadi.

Agenda kali ini berbeda. Aku tidak sedang blusukan naik sepeda, malah menginap di desa wisata yang lokasinya hanya berseberangan dengan Candi Prambanan. Atas tugas menjadi jurufoto di sini. Sehingga kedatanganku tidak sendirian. Aku membawa rombongan lebih dari 25 orang dari beberapa negara.

Pemilihan tempat di Desa Wisata Kebondalem Kidul ini berasal dari kawan yang memberikan aku narahubung desa ini. Sehingga pada akhirnya kami melakukan kegiatan mengenalkan kampung kepada mahasiswa di desa Kebondalem Kidul.

Sedikit yang aku ketahui, desa wisata Kebondalem Kidul ada sejak tahun 2009. Tahun 2019 ini ketua pokdarwisnya adalah Pak Sutopo. Kami sempat berbincang santai membahas tentang desa wisata di sela-sela kegiatan.

Aktivitas bersepeda dimulai dari Balai Desa Kebondalem Kidul. Puluhan sepeda berbagai jenis sudah disediakan Pokdarwis. Dipandu beberapa pokdarwis, kami melintasi jalan kampung. Tujuan pertama menuju tempat pembuatan Jumputan.
Memberikan warna pada kain jumputan
Memberikan warna pada kain jumputan
Perjalanan tidak jauh. Aku sudah lebih dulu mengayuh sepeda, mencari sudut strategis untuk merekam sekaligus memotret rombongan. Rute ini tidak jauh, dari perkampungan warga, kami diarahkan ke jalan yang tiap sudut adalah sawah.

Tidak jauh dari area persawahan, terdapat rumah dengan jalan kecil. Di sanalah kami berhenti. Aktivitas rombongan di sini membuat Jumputan. Konon Jumputan adalah ciri khas di sini. Nama tempatnya adalah “Jumputan BONKID Legowo Prambanan”.

Sebelum di sini, aku pernah menjelajah desa wisata di Klaten, tepatnya di Desa Wisata Jarum. Hanya saja waktu di sana aku bersama rombongan blogger. Di sini, aku bersama para mahasiswa internasional yang berasal dari Nepal, India, Vietnam, dan lainnya.

Jumputan adalah pemberian motif pada kain atau kaus dengan cara mengisi kain menggunakan benda kecil. Di sini memakai biji kacang hijau, melipat kain, dan mengikatnya. Kemudian nantinya dicelupkan pada larutan zat warna.

Tiap orang diberi kaus berwarna putih. Di sini kami memilih ukuran yang sesuai dengan diri kita sendiri. Lantas seorang bapak memberikan arahan cara membuat jumputan. Setelah itu beliau memperlihatkan hasil dari pembuatannya.
Hasil karya jumputan dijemur
Hasil karya jumputan dijemur
Pada dasarnya memang membuat jumputan dengan kain. Berhubung ini untuk rombongan, beliau menggunakan kaus putih sebagai bahan. Tujuannya agar kaus tersebut sebagai souvenir dan karya mereka sendiri.

Pembuatan jumputan cukup sederhana. Tiap kaus ditandai dengan spidol kecil. Lantas tiap orang bisa berkreasi dalam pembuat pola. Nantinya, pola tersebut menjadi motif. Bahan yang dibutuhkan lagi adalah tali karet serta biji kacang hijau.

Tiap titip yang ingin dijadikan motif diberi biji kacang hijau dan diikat menggunakan karet. Kemudian kembali membentuk pola di area yang lainnya. Proses ini lumayan lama karena tiap peserta berkreasi sesuka hati.

Pada dasarnya, jika membuat kaus dengan motif jumputan, dalam sehari bapak pemilik tempat jumputan bisa membuat lima kaus. Beliau juga menuturkan jika pembuatan jumputan tidak hanya kaus, tapi juga kain.

Selembar kain dengan ukuran 200 sentimeter, beliau menjual dengan harga sekitar 200.000 ribuan. Sementara kaus dijual dengan harga 70.000 ribuan. Penjualan kaus dan kain bermotif jumputan di Klaten. Ada tokonya sendiri.

Dirasa sudah cukup paham, rombongan mahasiswa ini diberi kaus dan diperbolehkan membuat kreasi. Mereka cukup cakap dalam membentuk motif yang diinginkan. Sementara itu bapak yang punya rumah menyiapkan naptol untuk awal proses persiapan pemberian warna.

Cairan zat tersebut ditaruh pada wadah ember. Lalu pakaian yang sudah diikat untuk motif dimasukkan ke dalam ember yang berisi cairan naptol. Lantas kaus dijemur sebelum diberi warna sesuai keinginan. Untuk warna tersedia meah, biru, dan kuning.

“Silakan dijemur lagi. Besok pagi sudah bisa dibawa pulang,” Ujar bapak yang mengurusi pembuatan jumputan.

Siang cukup terik, perjalanan dilanjutkan menyusuri sudut jalanan desa Kebondalem Kidul dengan bersepeda. Aku mengecek agenda, siang ini waktunya makan siang. Bergegas sepeda kami arahkan ke Pendopo Balai Desa.

Seminggu sebelum acara ini, aku dan beberapa panitia sudah survei dan menentukan menu makan siang. Intinya makan siang ataupun makan malam yang disediakan cukup menu makanan ala desa. Harapan kami memang untuk mengenalkan citarasa makanan tersebut kepada mahasiswa.
Makan malam ala tradisional di Desa Wisata Kebondalem Kidul
Makan malam ala tradisional di Desa Wisata Kebondalem Kidul
Menu makan siang cukup menggugah selera. Sayur jantung pisang, sayur bening dikombinasikan dengan ikan asin dan ayam goreng. Rombongan mahasiswa cukup lahap, mereka menikmati santap siang sembari mengumpulkan tenaga.

Malam harinya, kembali menikmati waktu makan bersama di pendopo. Kali ini menu yang disajikan adalah model makanan bacakan. Nasi dan lauknya dihidangkan menggunakan daun pisang. Tentu menambah selera makan makin besar.

Agenda berlanjut selepas makan siang. Untuk mengisi waktu siang, kami ajak rombongan mengunjungi Candi Sojiwan. Lokasi candi hanya di seberangan Balai Desa Kebondalem Kidul. Ditemani pokdarwis, kami mengunjungi Candi Buddha tersebut.

Petugas candi menyambut rombongan, mereka berbincang sejenak. Lantas anggota Pokdarwis mengajak rombongan menuju papan informasi. Dia menjelaskan perihal sejarah candi. Rombongan mahasiswa cukup antusias mendengar dan membaca informasi yang ada di papan pengumuman.
Berkunjung ke Candi Sojiwan Desa Wisata Kebondalem Kidul
Berkunjung ke Candi Sojiwan Desa Wisata Kebondalem Kidul
“Mas Sitam!!” Teriak mahasiswa dari India sambil memberi kode untuk memotret.

Selama di desa wisata, aku seringkali berinteraksi dengan mahasiswa. Meski Bahasa Inggrisku agak kacau, setidaknya kami paham apa yang sedang kami perbincangkan. Beruntungnya, mahasiswa dari Timor Leste lancar berbahasa Indonesia. Dia yang kadang menjelaskan padaku.

Mahasiswa dari India ataupun Nepal sangat antusias untuk berfoto. Layaknya jurufoto yang harus sigap, dua kamera kusiapkan sejak awal. Satu untuk memotret saat mereka bersama-sama, sementara satunya untuk portrait.

Kunjungan ke Candi Sojiwan selesai, rombongan kembali menuju pendopo. Di sini kami membagi tiap rombongan untuk menaruh barang bawaan ke rumah-rumah warga yang sudah dipilih. Aku dan salah satu staf bersama dua mahasiswa dari Timor Leste dan Nepal satu rumah.

Kami berkenalan dengan tuan rumah, menikmati kudapan yang sudah dihidangkan, dan bersantai. Lantas menyiapkan waktu untuk kembali beraktivitas di sore hari. Rencananya, rombongan ingin melihat anak-anak desa latihan menari.

Menjelang sore, aktivitas di desa kembali dilanjut. Kali ini kami menuju Sanggar Tari. Nantinya para rombongan turut menari bersama anak-anak kampung yang sedang berlatih. Sanggar Tari Wilwatikta namanya, sebuah sanggar baru yang usianya belum genap satu tahun.
Aktivitas anak-anak berlatih menari tiap akhir pekan
Aktivitas anak-anak berlatih menari tiap akhir pekan
Sanggar tari ini dilatih tiga orang, dua perempuan remaja dan seorang bapak. Di depan halaman rumah bapak inilah latihan tari berlangsung. Sesampai di lokasi, anak-anak sudah ramai latihan menari. Untuk sementara waktu kami hanya menonton.

Melihat kedatangan banyak orang, anak-anak yang menari sedikit malu-malu. Para mahasiswa membentuk barisan di belakang dan turut menari. Sontak pemandangan ini menjadi hiburan warga setempat.

Seingatku ada dua tarian yang ditampilkan. Salah satunya adalah Tari Rampak. Anak-anak di sini latihan seminggu sekali, biasanya sabtu sore. Pelatih tari mengajak rombongan mahasiswa kembali menari. Setelah itu berlanjut foto bersama.

Menari sudah dilakukan, kami tidak lantas kembali pulang. masih ada satu acara santai lagi yang sudah disiapkan. Kali ini, aku mengajak rombongan mahasiswa menuju lapangan yang berada di barat Candi Sojiwan.

Di lapangan yang luas terdapat rumah seperti limasan. Sudah ada kudapan yang tersedia. Kami sejenak menikmati kudapan sembari mendengarkan lagu Didi Kempot dari pelantang. Tatkala aku menirukan lirik lagu, rombongan mahasiswa pun tertawa.

“Kita di sini bermain ala permainan tradisional,” Terangku terbata-bata.
Dolan tradisional di lapangan Candi Sojiwan
Dolan tradisional di lapangan Candi Sojiwan
Permainan Egrang yang pertama diberikan. Sebagian besar rombongan tidak bisa menggunakan. Dari 15 mahasiswa, ada satu mahasiswa dari Timor Leste yang lihai. Sementara itu yang lainnya, termasuk aku tidak ada yang bisa.

Keseruan belum berakhir. Kami membuat lomba balapan bakiak. Permainan yang harus dilakukan berkelompok ini membuat gelak tawa makin kencang. Di saat seperti ini, aku sudah beraksi memotret tiap moment agar menghasilkan foto yang bagus.

Permainan terakhir adalah balapan ban. Entah ini Bahasa bakunya permainan apa. Menggunakan bekal velg motor, lantas digiring menggunakan besi untuk pengendali. Lagi-lagi mahasiswa dari Timor Leste ini paling lihai.

“Ini permainan saya waktu kecil,” Celetuknya berbahasa Indonesia.

*****

Iringan rombongan sudah berjalan kaki sebelum subuh. Melintasi depan Spot Riyadi, lantas melewati lahan yang sedang ada pembangunan, kami terus melangkah dengan lampu senter sebagai penerang. Beberapa warga membawa tikar untuk alas salat subuh.

Fajar menyingsing, tempat yang kami tuju berada tidak jauh dari kawasan Candi Miri. Secara bergantian menunaikan salat subuh. Lantas mencari tempat yang tepat untuk melihat pemandangan lanskap berkombinasi dengan sunrise.

Spot sunrise ini sebenarnya bukan lagi wilayah Kebondalem Kidul, malah sudah di Sleman. Tapi sejak tahun 2009 Pak Sutopo menjadikan tempat ini sebagai destinasi yang menarik untuk menikmati mentari terbit.
Menikmati sunrise dari perbukitan di dekat Candi Miri
Menikmati sunrise dari perbukitan di dekat Candi Miri
Kontur wilayah sedikit di bukit, bebatuan besar menjadi alas. Semak-semak, rumput berduri menjadi satu. Di bagian bawah, pemandangan pematang sawah terhampar. Ini yang menjadi indah. Terlebih saat mentari sudah terbit.

Tidak jauh dari tempat kami melihat sunrise, terdapat bangunan kecil semacam joglo. Aku bergegas untuk memotret semburat cahaya dalam bingkai bangunan. Awalnya tempat ini cukup sepi. Lama-lama ada rombongan sekeluarga yang datang dan duduk di sana.

Anak kecil perempuan berlarian menuju bangunan, lantas menuruti arahan orangtuanya untuk difoto di saat aku ingin mengabadikan gambar sunrise dengan bingkai siluet bangunan. Berhubung anak tersebut tidak geser, akhirnya kubidik agar lebih menarik.

Belum juga mendapatkan foto yang seperti kurencanakan. Aku malah diminta untuk memotret mereka sekeluarga. Bergegas aku abadikan menggunakan gawai. Setelah itu menunggu agar bangunan kosong, hanya saja rombongan keluarga sepertinya betah berlama-lama.
Siluet anak yang melihat sunrise
Siluet anak yang melihat sunrise
Aku lantas mengurungkan niat. Tidak elok juga jika meminta beliau sekeluarga pindah sebentar untuk fotoku. Aku mengikuti jalan setapak untuk kembali bergabung dengan rombongan yang sedaari tadi sudah asyik berfoto.

Hari sudah pagi, suasana sekitar terang benderan. Kami kembali menuju tempat parkir mobil. Di sini pula kusempatkan mengunjungi situs Candi Miri. Bentuk candi ini masih reruntuhan bebatuan yang belum dipugar.

Lokasi situs Candi Miri ini di Sambirejo, Klaten. Bagi para pecinta heritage, komplek Candi Miri ini bukan tempat yang baru. Lokasinya sebenarnya lumayan dekat dengan Candi Barong dan sekitarnya. Namun candi ini cukup asing bagi orang-orang yang awam seperti aku.
Bebatuan Candi Miri, Sleman
Bebatuan Candi Miri, Sleman
Perjalanan pulang lebih menyenangkan, setidaknya kami sudah menikmati pemandangan indah kala pagi. Rombongan berlanjut santai, beraktivitas sepedaan dan akhirnya mengunjungi rumah salah satu warga untuk ikut membuat Bubur Sumsum.

Di sini mahasiswa menuju dapur, melihat proses pembuatan bubur sumsum dan turut membantu tuan rumah dalam mengaduk bubur hingga menyicipi makanannya. Secara tidak langsung mereka berinteraksi dengan masyarakat setempat.

“Enak makanannya,” Ujar Amrita, salah satu mahasiswa dari Nepal.

Tanpa terasa seluruh aktivitas selama dua hari usai. Kami berpamitan dengan pokdarwis dan masyarakat setempat. Desa wisata Kebondalem Kidul cukup mengesankan, meski tetap ada beberapa hal yang harus ditingkatkan.
Membuat kue tradisional di rumah warga
Membuat kue tradisional di rumah warga
Setidaknya, kunjungan wisatawan dari luar negeri seperti yang kami bawa ini menjadi momen para pelaku wisata di Desa Wisata Kebondalem Kidul untuk lebih bersemangat mengenalkan desa wisatanya lebih luas. Karena desa wisata sepertinya bakal menarik minat para wisatawan di masa mendatang.

Respon para mahasiswa pun menyenangkan. Mereka bercerita jika adanya program menginap di desa wisata membuat mereka lebih tahu tentang aktivitas di masyarakat Indonesia, khususnya di desa wisata Kebondalem Kidul.

Sementara aku mempunyai misi sendiri. Selain menjadi jurufoto rombongan, hari ini mendapatkan konten tambahan di blog terkait desa wisata. Siapa tahu di waktu mendatang bakal menginap lagi di desa wisata yang lainnya di Indonesia. *Desa Wisata Kebondalem Kidul; 21-22 September 2019.

Jelajah Kebun Kopi di Kampoeng Kopi Banaran Bawen

$
0
0
Kampoeng Kopi Banaran
Kampoeng Kopi Banaran
Usai memastikan semua rombongan masuk ke Saloka Theme Park, aku berjalan menuju tepi jalan raya Semarang – Surakarta. Lalu lintas padat, tatkala agak lengang, aku langsung menyeberang. Duduk di dekat minimarket. Kuambil gawai dan membuka aplikasi transportasi daring. 

Sepanjang perjalanan dari Grand Wahid Hotel, aku mencari informasi kedai kopi yang buka pagi. Sayang lokasinya rata-rata di pusat kota Salatiga. Pak supir menyarankan berkunjung ke Kampoeng Kopi Banaran yang lokasinya terjangkau dari Saloka. aku setuju, meski beliau tidak mengantarkan. 

Kampoeng Kopi Banaran ini sering kulewati saat dari Semarang ke Jogja. Sedari dulu ada niat untuk menyambangi, dan baru sekarang terealisasikan. Itupun mendadak, tanpa ada rencana sejak awal. Motor bernenti di dekat dua petugas mengatur jalan di pintu masuk. 

Kubidik tulisan hotel dan kampoeng kopi Banaran. Tujuanku ke sini untuk keliling kebun kopi. Setelah itu berlanjut menyesap kopinya. Arloji menunjukkan pukul 10.15 WIB. Masih banyak waktu, rombongan di Saloka keluar pukul 13.00 WIB. 
Mengunjungi Kampoeng Kopi Banaran
Mengunjungi Kampoeng Kopi Banaran
Informasi dari barista mengarahkanku pada ruangan di bekalang kasir yang merupakan kantor pemasaran Kampoeng Kopi Banaran. Aku bertemu dengan tiga orang petugas. Di sini, aku berencana ikut keliling kebun kopi. 

“Kalau mau jalan kaki semampunya, tidak bayar, mas. Tapi kalau ingin keliling naik mobil bayarnya 85000 rupiah,” Ujar salah satu petugas. 

Aku mengira 85000 rupiah itu satu orang, sehingga harus rombongan di satu mobil. Ternyata yang aku pikirkan salah. Satu mobil sewanya 85000 rupiah untuk maksimal 7 penumpang. Durasi keliling sekitar 15 menit. 

“Wohh, kalau satu mobil 85000 rupiah ya siap pak. Saya sendirian tidak masalah,” Tandasku bersemangat. 

Langkahku semakin cepat menuju gerbang di belakang. Sepertinya, menyusuri kebun kopi hanya bersama supir pasti menyenangkan. Sama halnya sewaktu main ke Nusakambangan naik perahu hanya dengan pemiliknya. 

***** 

Naik Mobil Keliling Kebun Kopi di Kampoeng Kopi Banaran 

Gerbang yang terbuat dari lilitan ranting di depanku. Sebuah loket kecil dihuni dua petugas perempuan. Masuk ke sini dikenai biaya 5000 rupiah. Lokasi di dalam cukup ramai semacam taman dan warung. Pun dengan tempat menunggu antrean naik mobil keliling kebun kopi. 

Secarik kertas kudapatkan. Aku langsung menuju posko kecil yang lainnya untuk memesan mobil keliling kebun. Pagi ini sudah lumayan yang antre, setidanya aku mendapatkan nomor antrean ke 20. Dari pelantang, terdengar panggilan untuk nomor antrean 18. 
Rombongan wisatawan dari jelajah kebun kopi Banaran
Rombongan wisatawan dari jelajah kebun kopi Banaran
Di sela-sela waktu menunggu, aku berbincang dengan petugas yang melayani pembelian tiket. Beliau berujar tiap akhir pekan tempat ini cukup membludak pengunjungnya. Maklum, destinasi agrowisata seperti ini memang menyenangkan bagi yang berkeluarga. 

Setengah jam berlalu, akhirnya aku mendapat panggilan. Seorang bapak tua menyapaku seraya menanyakan rombonganku. Aku berujar sendirian, lalu kami langsung tancap gas. Kubuka kamera, menyempatkan berbincang dengan pengemudi. 

Mobil tersebut bertuliskan kereta wisata. Bagian belakang mobil dimodif untuk tempat duduk berhadapan. Seperti yang diterangkan sejak awal, mobil ini hanya bisa membawa rombongan maksimal 7 penumpang. Satu di samping supir, dan enam duduk di belakang. 

Jalur ke perkebunan kopi terjal. Pepohonan menjulang tinggi di tiap sisi. Lantas sampailah aku di perkebunan kopi. Di sekitar pohon kopi tidak ada tumbuhan yang lainnya. Bagian bawah cukup bersih, dan hanya ada bekas potongan ranting yang mengering. 

Kampoeng Kopi Banaran ini sendiri merukapan wisata agro yang dimiliki oleh PT Perkebunan Nusantara IX. Lokasinya di Kebun Kopi Getas dengan ketinggian 480-600 MDPL. Menurut informasi, terdapat puluhan hectare kebun kopinya. 

Selain kebun kopi, perusahaan ini juga mempunyai Museum Kopi dan Pabrik Kopi. Namun lokasinya di tempat berbeda. Museumnya di Gesa Gemawang. Pabrik kopinya sendiri merupakan peninggalan Belanda. Konon sudah berdiri sejak tahun 1911. 
Kebun kopi di Kampoeng Kopi Banaran
Kebun kopi di Kampoeng Kopi Banaran
Mobil ini dikendarai Pak Peng. Beliau adalah sopir tambahan saat akhir pekan. Pak Peng berujar jika sekarang sudah selesai musim panen. Pun dengan bunga kopi yang terlihat mengering. Dua minggu yang lalu, bunga kopi mekar dan semerbak baunya. 

“Kalau mas ke sini dua minggu yang lalu, mesti terhidup bau bunga kopi yang harum,” Terang Pak Peng. 

Aku mengangguk. Setiap sisi hanya pepohonan kopi yang tampak sudah tua. Tiap tangkai terlihat bekas bunga yang kerontang. Mengering dimakan waktu. Mobil berhenti di sebuah jalur yang agak lebar, di sini biasanya pengunjung berfoto. 

Nun jauh di sana, Rawa Pening terlihat jelas meski limpahan airnya tidak seluas kala musim hujan. Aku menuju salah satu tangkai pohon kopi yang bunganya mengering. Tidak kusentuh, hanya kuabadikan dari dekat. 
Bunga kopi yang kering
Bunga kopi yang kering
Rasanya seperti sedang berkeliling secara privat. Pak Peng sempat kuajari cara memotret. Tujuannya untuk mengabadikanku saat berpose di depan mobil. Berhubung tidak membawa tripod, aku meletakkan kamera di bawah dan meminta Pak Peng foto berdua. 

Sepanjang perjalanan kami berbincang. Pak Peng bercerita jika tiap akhir pekan seperti ini beliau mengantarkan rombongan sebanyak 10-15 kali. Ini artinya pengunjung di Agrowisata Banaran benar-benar membludak. 

Menariknya, kami mengenal beberapa orang yang bekerja di salah satu instansi di Salatiga. Pak Peng dan aku membahas orang-orang yang kami kenal sepanjang perjalanan. Dunia ini terasa sempit, ketika kita bertemu dengan orang baru, dan ternyata kita kenal beberapa orang yang sama. 

Durasi berkeliling memang berkisar 15 menit. Dua setengah hektare kebun kopi kami lintasi menggunakan mobil. Bagi yang ingin memacu adrenalin, kalian bisa memesan Jeep di tempat yang sama. Harganya berkisar 250.000 rupiah. 
Berfoto dengan bapak supir di jelajah kebun kopi Banaran
Berfoto dengan bapak supir di jelajah kebun kopi Banaran
Tanpa gopro, aku berusaha mengambil konten vlog sewaktu di mobil. Alhasil, semua hasil bergoyang keras. Tidak masalah, toh hanya untuk konten vlog. Siapa tahu ke depannya ada dana untuk mengambil gopro dan lebih rajin membuat vlog. 

***** 

Secangkir Kopi Tubruk di Banaran Coffee and Tea 

Usai berkeliling kebun kopi, aku kembali menuju restoran. Kali ini sengaja ingin menyesap kopi sembari beristirahat. Dua orang di depan mesin kopi, dua lainnya duduk di meja bar. Mereka berbincang santai. 

Tempat kopi ini satu bangunan dengan restorannya. Di depan sudah banyak meja yang tertata. Tidak sedikit juga pengunjung bersama keluarga makan siang. Aku mencari tempat duduk di sofa. Lalu menunggu pelayan datang membawa buku menu. 

Buku menu cukup tebal, di sana semua menu menjadi satu. Rata-rata tempat ini memang untuk kunjungan keluarga dan makan siang. Aku sendiri hanya ingin mengopi. Perut masih kenyang saat makan di hotel. 
Menuju kedai kopi Kampoeng Kopi Banaran
Menuju kedai kopi Kampoeng Kopi Banaran
Pilihan kopi beragam. Mulai seduhan panas hingga berbagai menu es kopi. Harga yang ditawarkan juga sesuai dengan kedai kopi yang ada di Jogja untuk minuman dingin. Sementara minuman kopi tubruk di bawah 15.000 rupiah. 

Aku tertarik minuman tubruknya. Segelas kecil Banaran Tubruk hanya dihargai 11.000 rupiah. Sementara ada menu yang lainnya bernama “Banaran Spesial” pun selisih seribu. Awalnya ingin keduanya, sayangnya tidak mungkin dalam waktu satu jam harus minum kopi dua gelas. 

Ruangan di dalam lumayan asyik. Tempat duduk sepi, rata-rata pengunjung di luar. Aku melepas lelah sembari menunggu pesanan kopi datang. Sesekali melihat gawai, siapa tahu rombongan yang di Saloka memberi kabar. 

Tidak lama berselang secangkir kopi tubruk Banaran datang. Aroma harum tertangkap indera penciumanku. Ingin rasanya cepat-cepat menyesap dan sedikit merasakan ampas kopi yang masih terapung. 
Daftar menu dan harga kopi di Kampoeng Kopi Banaran
Daftar menu dan harga kopi di Kampoeng Kopi Banaran
Seperti inilah kopi tubruk. Tampilan sederhana dengan aroma yang kental dan citarasa kental. Sedikit demi sedikit kusesap kopi hitam tersebut. Terasa nikmat, ampas yang terapung sempat tertinggal di lidah. Aku mengunyahnya. 

Satu jam duduk di sini, menyesap kopi sembari melihat suasana pengunjung. Kedai kopinya sepi, hanya aku sedari tadi. Tapi restoran yang depan berbeda. Sedari tadi ramai pengunjung yang berdatangan. 

Bergegas aku keluar, sebelumnya sempat mengucapkan terima kasih. Kulangkahkan menuju kasir, membayar secangkir kopi tubruk dengan uang pas. Setelah itu, aku membuka aplikasi ojek daring, mengambil titik penjemputan di Kopi Banaran dengan tujuan Saloka. 
Segelas kopi tubruk ala Kopi Banaran
Segelas kopi tubruk ala Kopi Banaran
Selang beberapa menit, ojek daring dari arah terminal Bawen menjemputku. Beliau berujar sering mendapatkan penumpang dari arah Kopi Banaran. Siang ini cukup terik, musim hujan belum menyapa di sini. 

Tiba di Saloka, aku menuju minimarket. Sengaja menunggu waktu di teras sambil menikmati potongan pepaya yang kubeli dari dalam minimarket. Waktu pulang sudah datang, bergegas aku menuju parkiran dan bergabung dengan rombongan. Sebelumnya, aku menunaikan salat di musola fasilitas Saloka. *Kampoeng Kopi Banaran, 23 November 2019.

Trisno, Penggagas Laboratorium Sosial dan Outbond Ndeso di Desa Menari Tanon

$
0
0
Tulisan Desa Menari Tanon

Cuaca cerah di pertengahan bulan Desember. Dari kejauhan Gunung Telomoyo tampak jelas. Aku terus berjalan mengikuti papan petunjuk arah yang bertuliskan Desa Menari di sebuah pertigaan. Jalanan sepi. Sesekali berpapasan dengan kendaraan roda dua yang membawa pakan ternak. 

Pagi ini aku sengaja ingin menjelajah Kampung Berseri Astra Tanon. Sebuah kampung yang berada di kaki Gunung Telomoyo. Seperti yang sudah banyak diketahui, Tanon memikat Astra Indonesia untuk menjadikan kampung ini sebagai Kampung Binaannya pada akhir tahun 2016. 

Tentu ini menarik bagiku. Bertahun-tahun, Astra Satu Indonesia mempunyai puluhan desa binaan yang bernama Kampung Berseri Astra. Setiap kampung tentu mempunyai potensi yang bisa digali, khususnya di bidang kesehatan, pendidikan, lingkungan, dan kewirausahaan. 
Gunung Telomoyo dari kejauhan
Gunung Telomoyo dari kejauhan

Tanon merupakan salah satu kampung yang ada di Desa Ngrawan. Desa Ngrawan terdiri dari lima dusun, yakni; Ngrawan, Tegal Sari, Ploso, Padan, dan Tanon. Di tempat ini merupakan sentra peternak sapi perah di Kabupaten Semarang. 

Memasuki Kampung Tanon, kembali sebuah papan informasi besar berlatar warna kuning tampak mencolok. Ini adalah denah Kampung Tanon yang lengkap dengan lokasi-lokasi penting yang lainnya. 

Denah sederhana ini menjadi papan informasi bagi pengunjung. Tertera Sekretariat Desa Menari, Sanggar Seni, Produksi Sabun Susu, PAUD, Polindes ataupun Pospindu, hingga tempat-tempat lainnya seperti UMKM, Peternakan, dan Kantor Desa. 

Secara tersirat, pilar-pilar yang ditanamkan oleh Astra Indonesia tersedia di sini. Konon, Kampung Berseri Astra Tanon identik dengan peternakan serta konsep Laboratorium Sosial. Aku tertarik apa yang dimaksud Laboratorium Sosial dan siapa yang menggagas ide tersebut. 

Sebelum jauh mengulik tentang sosok dibalik konsep Laboratorium Sosial, biarkan aku menceritakan pengalaman saat berkunjung di Kampung Menari Tanon. Sebuah kampung yang sederhana, namun mempunyai kesan begitu mendalam. 

Menebar Harmoni Merajut Inspirasi Menuai Memori 

Tak ada suara gamelan yang ditabuh, apalagi tarian penyambutan wisatawan saat aku datang. Aku malah disapa warga yang sedang berjalan. Mereka begitu ramah melihat orang asing memegang kamera sepertiku. 

Menariknya, sebelum aku mengenalkan diri, ibu yang berpapasan denganku dengan ramah menawarkan untuk singgah di rumahnya. Aku menolak dengan halus. Karena tujuanku ke sini ingin melihat peternakan milik warga. 
Mengunjungi Kampung Berseri Astra Tanon
Mengunjungi Kampung Berseri Astra Tanon

Tidak perlu bertanya dua kali. Ibu ini menunjukkan arah rumah warga yang mempunyai kandang sapi. Beliau dengan senang hati menyambut orang yang datang sendirian sepertiku. Benar kata Pak Trisno (Ketua Pokdarwis Desa Menari), beliau bilang warganya sudah terbiasa menyapa orang yang datang. 

Perlu diketahui, Kampung Berseri Astra Tanon ini juga dikenal dengan sebutan Desa Menari. Tahun 2012, untuk mem-branding desa Tanon, disematkanlah nama Desa Menari agar dapat dikenalkan secara meluas. Ketika orang menyebut Desa Menari, secara tidak langsung yang disebut adalah Kampung Berseri Astra Tanon. 

Semalam, aku sudah ke Kampung Menari. Di sini aku meminta izin ke Ketua Pokdarwis tentang tujuanku yang ingin mengulas desa menari dalam bentuk tulisan blog. Beliau dengan terbuka mengizinkan, bahkan menceritakan kalau besok pagi ada sambatan di rumah warga. 

“Kenapa Tanon menggunakan Desa Menari? Karena di sini masyarakatnya secara turun temurun melekat tradisi untuk melestarikan tarian. Lalu saya kembangkan, tidak sekadar menari (tarian) saja. Tapi Akronim dari Menebar Harmoni Merajut Inspirasi Menuai Memori,” Terang Pak Trisno. 
Suasana sunyi di Desa Menari Tanon
Suasana sunyi di Desa Menari Tanon

Di Tanon memang ada banyak penari sejak dulu. Bahkan secara menyeluruh di Desa Ngrawan sendiri terdapat sanggar-sanggar tari yang tersebar. Sanggar tersebut tidak setiap hari ada latihan. Anak-anak berlatih kala senggang. 

Tujuan menari bukan untuk penyambutan tamu. Mereka berlatih menari agar tarian-tarian yang sudah melekat pada diri mereka tetap ada dan terjaga. Tidak terlupakan serta hilang tergusur zaman. 

Gelaran tarian akbar sempat tersaji di Desa Menari kala Festival Lereng Telomoyo 2019. Tarian akbar berlangsung di panggung terbuka Desa Menari. Selebihnya di hari-hari biasa, panggung ini hanya untuk latihan. Terlebih lokasinya dekat dari sanggar. 

Berbagai alat musik tradisional tertata rapi di ruangan terbuka. Pagi ini tidak tampak keramaian. Malah cenderung sunyi. Hanya ada seorang anak perempuan kecil yang sedang menyabuti rumput di depan halaman. 

Sanggar memang sepi pada jam-jam anak sekolah. Latihan menari hanya sore, itupun meluangkan waktu. Desa Menari Tanon tidak ingin kesibukan anak-anak dalam bersekolah ataupun beraktivitas terganggu untuk latihan menari. 

Seperti yang diterangkan Pak Trisno sejak awal, Menari itu mempunyai dua makna. Satu sebagai desa menari (tarian), dan kedua adalah harmoni, inspirasi, dan memori. Semua bisa kita dapatkan jika menginap di sini ataupun kala berinteraksi dengan masyarakatnya. 
Sanggar Tari di Desa Menari Tanon
Sanggar Tari di Desa Menari Tanon

Menari yang lainnya adalah sebuah bentuk konsep yang tergambar pada paket wisata di desa ini. Desa Menari menawarkan kepada khalayak umum yang ke sini untuk belajar harmoni terlebih dahulu. Harmoni sendiri adalah keselarasan. 

Diharapkan tiap wisatawan bisa selaras dengan dirinya sendiri, selaras dengan lingkungan, serta selaras dengan masyarakat sekitar. Ketika harmoni itu sudah muncul, hal yang diharapkan adalah adanya inspirasi. 

Masyakarat di Desa Menari meyakini siapapun yang datang ke sini adalah guru. Karena itu, dengan siapapun mereka harus belajar mendapatkan inspirasi. Di sisi yang lainnya, diharapkan orang yang berkunjung ke sini bisa merasakan inspirasi. 

Pada akhirnya muncul memori yang indah. Dari Tanon, dari kegiatan-kegiatan yang sederhana muncul semangat perubahan. Sebuah kenangan yang terus diingat serta dibagikan ceritanya ke khalayak umum. 

Menari bukan sekadar sebuah perwujudan tarian. Namun, jauh lebih luas. Tentang bagaimana seseorang yang merasakan ketenangan, mendapatkan inspirasi, lalu terekam dalam memori selamanya. 

Mengenalkan Outbond Ndeso dan Berinteraksi dengan Warga 

Berbagai paketan sudah tersedia di Desa Menari Tanon. Semuanya dilakukan secara bergotong-royong. Rumah-rumah warga juga sebagian sudah menjadi penginapan. Tertera nama-nama penginapan di tiap pintu rumah warga. 

Dolanan anak, kesenian tradisional, beternak, ataupun kegiatan mancakrida ndeso terkonsep dengan baik. Sudah banyak wisatawan yang turut menginap di rumah warga, serta beraktivitas dengan warga. Uniknya, Desa Menari Tanon menjadi daya tarik wisatawan manca untuk merasakan sensasi tinggal bersama di rumah penduduk. 
Masyarakat Desa Menari Tanon sedang berkumpul di halaman rumah warga
Masyarakat Desa Menari Tanon sedang berkumpul di halaman rumah warga

Paket wisata yang ditawarkan pada akhirnya semua untuk masyakarat, permainannya pun identik dengan dolanan anak. Pun aktivitas yang ditawarkan sendiri adalah outbond ndeso, sebuah kegiatan yang dilakukan oleh warga setiap hari seperti bertani dan beternak. 

Kegiatan outbond ndeso pun tercakup di sini. Konsep yang beliau lakukan adalah outbond di tengah-tengah desa, dengan pemandu orang-orang desa, dengan permainan dan aktivitas ala desa. Setiap outbond yang beliau tawarkan mempunyai nilai edukasi untuk tamu. 

Semua wisata outbond ndeso ini bisa dirasakan saat wisatawan datang dan memilih paketnya. Jika kalian berminat untuk menikmati konsep outbond ndeso, silakan datang berkelompok dan mengambil paket-paket yang sudah disediakan. 

Aku turut merasakan bagaimana serunya berbaur dengan masyarakat Desa Menari Tanon. Kucoba merasakan sebuah harmoni kala berinteraksi dengan warga, meraih inspirasi sewaktu berbincang, hingga tebersit dalam memori selamanya. 

Di antara kumpulan warga yang sedang berbincang di sebuah joglo kecil, aku turut bergabung sambil mendengarkan agenda hari ini. Salah satu warga di Desa Menari Tanon sedang ada hajatan. Ini artinya tiap orang turut gotong royong membantu yang punya hajat. 

Di Jawa Tengah, sebagian menyebutnya sambatan. Kami berbincang santai sembari meneguk teh serta mengemil kudapan yang disediakan tuan rumah. Di hadapanku, dua ekor kambing siap disembelih. 

Warga setempat menerima kedatanganku dengan ramah. Kami seperti sudah kenal lama, berbincang santai dan sesekali aku mengabadikan aktivitasnya. Tanpa ada komando, dari berbagai arah sudah banyak orang yang berdatangan. 

Kami memasang tratak tenda. Besi-besi disusun sesuai dengan tempatnya. Satu dan yang lainnya saling dikaitkan. Lantas bagian terakhir memasang terpal yang awalnya tergulung. Tidak lama, tenda untuk para tamu sudah terpasang. 
Tradisi gotong royong masih melekat kental di Desa Menari Tanon
Tradisi gotong royong masih melekat kental di Desa Menari Tanon

Satu kegiatan sudah selesai. Para warga yang lelaki tidak lantas bersantai. Tugas selanjutnya menyembelih kambing. Dua kambing ditarik ke belakang rumah. Lalu disembelih secara bergantian. Selepas itu, mereka sudah tahu tugasnya masing-masing. 

Di dapur pun tak kalah sibuk. Ibu-ibu yang bertugas membuat makanan untuk disajikan beraksi. Tungku kayu bakar mengepul. Aroma kuliner khas desa menyeruak. Segala canda terlontar saat aku turut mengabadikan. 

Sekumpulan perempuan yang lainnya juga sibuk berkumpul membentuk lingkaran. Mereka mengiris bawang merah, wortel, serta sayuran yang lainnya sebelum diolah menjadi sup. Nuansa gotong royong di Desa Menari amat melekat. 

Sambatan, Kerja Bakti, atau ataupun itu di kampung kami menjadi paket wisata yang menarik bagi wisatawan manca, mas,” Terang Pak Trisno sembari tersenyum sumringah. 

Hari ini ketika ada hajatan di salah satu warga, Desa Menari Tanon tidak menerima kunjungan wisatawan. Mereka fokus gotong royong membantu orang yang punya hajatan. Nilai-nilai kebersamaan warga jauh lebih penting daripada menerima tamu wisatawan saat ada warga yang punya hajatan. 
Para ibu memasak di dapur rumah warga yang punya hajatan
Para ibu memasak di dapur rumah warga yang punya hajatan

Tanon, Desa Menari Binaan Kampung Berseri Astra 

Jauh sebelum dikenal dengan sebutan Desa Menari, Tanon hanyalah dusun kecil yang berada di kaki Gunung Telomoyo. Kehidupan penduduknya beternak dan bertani. Tidak banyak anak-anak yang melanjutkan sekolah. 

Waktu terus berjalan, Pak Trisno mulai bergerak dengan ide-ide yang brilian. Pada akhirnya dusun ini dikenal oleh banyak orang. Puncaknya ketika tahun 2016 akhir Astra Indonesia menjadikan Tanon sebagai kampung binaannya dengan sebutan Kampung Berseri Astra. 

Tiap kampung yang dibina oleh Astra mempunyai empat aspek yang diperhatikan yakni, kesehatan, pendidikan, lingkungan, dan kewirausahaan. Desa Menari Tanon yang dikomandoi Pak Trisno bersama warga berusaha semaksimal mungkin melakukan setiap kegiatan sesuai aspek tersebut. 

Di Jawa Tengah sendiri, Desa Menari Tanon menjadi desa Kampung Berseri Astra yang pertama. Jika ditelusuri, Tanon menjadi Kampung Berseri Astra ke 27 secara nasional. Sebuah pertanda jika Tanon memang mempunyai potensi besar menurut sudut pandang Astra. 

Tidak semua aspek tersebut terlihat mencolok di Tanon. Semua aspek secara umum sudah dilakukan, namun tetap pada lingkup lokal yang ada di desa. Di Tanon, aspek kesehatan misalnya. Kegiatan secara khusus tidak ada. 

Aspek kesehatan tetap mengacu pada kegiatan Pospindu. Pospindu di Desa Menari Tanon sudah tercatat resmi di Puskesmas. Sehingga setiap kegiatan yang dilakukan oleh warga secara langsung mendapatkan pelayanan dari puskesmas yang ada di sekitarnya. 

Untuk posyandu sendiri baru posyandu remaja. Semoga ke depannya aspek-aspek yang berkaitan dengan kesehatan bisa berjalan dengan baik. Minimal dengan adanya Pospindu ini masyarakat peka dengan kesehatan. 

Di bidang pendidikan pun sama. Secara spesifik Desa Menari Tanon tidak ada kegiatan yang mencolok. Namun, justru di sinilah yang menarik. Pak Trisno selaku ketua Pokdarwis merangkul semua pemuda di desa untuk berkreasi. 
Perpustakaan Omah Cikal, tempat berkreasi para pemuda di Desa Ngrawan
Perpustakaan Omah Cikal, tempat berkreasi para pemuda di Desa Ngrawan

Di rumah Pak Trisno terdapat banyak koleksi buku. Sebagian buku tersebut dihibahkan ke Perpustakaan kecil bernama Omah Cikal. Tempatnya masih di desa Ngrawan. Perpustakaan inilah yang dikembangkan pemuda desa bersama Pak Trisno untuk mengajarkan anak-anak terkait literasi dan diharapkan bisa berkreasi. 

Akhir bulan Desember ini, Pak Trisno bersama pemuda-pemuda yang bergerak di bidang literasi sedang mengonsep kegiatan bernama “Nyawiji Ing Candar Kirana”. Sebuah kegiatan berkumpul, belajar bersama dengan satu tujuan yang diimpikan. 

Konsep yang menarik karena kegiatan ini mendapatkan respon positif dari Astra Satu Indonesia. Melalui akun Instagramnya, Omah Cikal mengabarkan kunjungan Astra Satu Indonesia di perpustakaan desa tersebut. Ini artinya, bidang pendidikan di Desa Menari menggeliat dan bermanfaat. 

Kegiatan bertajuk lingkungan pun sama. Setiap desa mempunyai aktivitas yang berkaitan dengan lingkungan. Di Desa Menari Tanon, aspek lingkungan diterapkan pada para warga yang bertani dan peternak. 

Aktivitas yang berkaitan dengan lingkungan juga diterapkan dengan membuat pupuk organik, pun dengan menjaga lahan pertanian di Desa Menari Tanon tetap terjaga serta generasi mudanya ada yang terjun menjadi petani modern. 

Satu hal juga yang dilakukan dalam lingkungan adalah konservasi mata air. Letak geografis Desa Menari Tanon yang berlokasi di kaki Gunung Telomoyo mempunyai potensi mata air bersih melimpah. Harapannya bisa dikelola dengan baik dan tetap terjaga. 

Selain lahan pertanian terhampar luas menjadi aspek penting untuk mata pencaharian. Pun dengan potensi peternak di Desa Menari Tanon. Tiap warga hampir sebagian besar mempunyai hewan ternak sapi yang bisa menghasilkan perah susu. 
Sebagian besar masyarakat Desa Menari Tanon adalah peternak dan petani
Sebagian besar masyarakat Desa Menari Tanon adalah peternak dan petani

Suara sapi melenguh dari kandang kecil. Aku meminta izin pemilik hewan ternak untuk melihat sapi peliharaannya. Perempuan paruh baya dengan ramah membukakan pintu kandang sapi. Beliau berseloroh jika banyak wisatawan yang ke sini untuk melihat sapi. 

Dua sapi besar merespon kedatanganku. Anak sapi yang baru satu bulan lahir bertingkah. Berlari-lari kecil di dalam sekatan pagar bambu. Tanpa aku tanyai, Bu Bakinem menerangkan jika dua sapi perahnya ini setiap hari menghasilkan 12 liter susu murni. 

Warga Desa Menari Tanon yang mempunyai sapi perah menyalurkan susu sapinya ke KUD. Di sinilah peran KUD dalam menyediakan kebutuhan masyarakat di bidang pertanian dan peternakan. 

Susu sapi di Desa Menari sebagian diolah menjadi sabun. Olahan sabun ini yang melengkapi aspek Astra Indonesia di bidang kewirausahaan. Produksi sabun susu sapi memang belum besar. Namun, potensi untuk dikembangkan pasti tetap ada. 

Dari olahan susu sapi menjadi sabun, Pak Trisno sendiri mempunyai misi untuk memantik tiap warga Desa Menari Tanon dalam membuat olahan yang lainnya. Misi beliau ditangkap dengan baik karang taruna. Mereka membuat olahan minuman dan dijual dengan kemasan menarik. 

Minuman hasil olahan warga dikemas karang taruna. Lalu mereka mempromosikan dengan media sosial. Aku sendiri sudah menyesap minuman hangat dari serbuk beet. Rasanya cukup manis. Hingga kuputuskan membeli serbuk minuman tersebut. 
Aneka minuman hasil olahan warga setempat
Aneka minuman hasil olahan warga setempat

Aktivitas outbond ndeso juga bagian dari aspek kewirausahaan. Desa Menari Tanon mempunyai banyak paket yang bisa pilih wisatawan. Tentu paket wisata outbondnya ini berkaitan dengan kegiatan masyarakat serta mempunyai nilai edukasi. 

Oleh-oleh yang kubawa dari sini antara lain empat macam serbuk minuman Sereh, Jahe, Kunyit, dan Beet. Produk olahan warga ini diharapkan ke depannya bisa lebih dikenal dan mendapatkan respon posifit bagi wisatawan yang datang. 

Desa Menari Tanon dibilang sangat bagus kinerjanya menurut Astra Indonesia. Kini desa tersebut mendapatkan predikat Bintang 4 Utama dengan sertifikat tertanggal 05 April 2019. Penganugerahan bintang 4 ini sendiri mempunyai makna jika Kampung Berseri Astra tersebut sudah mandiri. 

Tidak hanya sebagai Kampung Berseri Astra, dari Tanon juga muncul sosok inspratif penerima Apresiasi Astra Satu Indonesia yang disematkan pada Pak Trisno. Ini artinya, di Desa Menari Tanon benar-benar menginspirasi. 

Pak Trisno, Penerima Satu Indonesia Award 2015 dan Penggagas Laboratorium Sosial 

Di tengah majunya Desa Menari Tanon, tentu ada sosok inspiratif yang bekerja sepenuh hati dalam memajukan desanya. Di sinilah peran Pak Trisno. Sosok yang sedari tadi aku sebut setiap bercerita tentang Desa Menari Tanon. 

Pak Trisno adalah orang asli Desa Menari Tanon. Beliau kuliah di Universitas Muhammadiyah Surakarta, lalu kembali mengabdi di desa agar tempat tinggalnya bisa lebih baik. Mengabdi untuk desa adalah suatu kebanggaan tersendiri.
Pak Trisno, sosok inspirasi dari Desa Menari Tanon
Pak Trisno, sosok inspirasi dari Desa Menari Tanon

Sosok yang mendapatkan apresiasi dari Astra Satu Indonesia tahun 2015 di bidang lingkungan ini memang berperan penting dalam kemajuan desanya. Beliau sejak awal menanamkan prinsip sekolah tinggi itu untuk mendapatkan ilmu, lalu kembali ke desa untuk menggali potesi yang ada. 

Berjalannya waktu, Dusun Tanon yang awalnya dianggap sebagai dusun miskin dan tertinggal lambat laun menggeliat potensinya. Pak Trisno bersama warga setempat saling bersatu menggapai asa untuk kesejahteraan. Kebersamaan menjadi kunci keberhasilannya. 

Kini, semua orang mengenal Tanon dengan sebutan Desa Menari. Dusun yang awalnya tidak pernah dianggap mempunyai potensi, dari kreativitas penduduknya menjadi salah satu dusun paling bersinar dan mandiri dalam perekonomiannya. 

Bermula dari apresiasi Astra Satu Indonesia untuk tokoh inspirasi, Astra Satu Indonesia ini langsung meninjau desa Pak Trisno untuk membuktikan peran beliau di desa. Hingga akhirnya tahun 2016, pihak Astra Indonesia menjadikan Tanon sebagai kampung binaannya. 

Sekarang, Desa Menari Tanon menjadi salah satu Kampung Berseri Astra yang sudah mandiri. Setiap aspek berjalan dengan baik mengikuti lingkup lokal desa tersebut. Sebuah perjuangan yang pada akhirnya memanen hasilnya. 

Di sisi lain, Pak Trisno juga menggagas konsep Laboratorium Sosial di Desa Menari Tanon. Adapun maksud dari Laboratorium Sosial tersebut adalah keinginan untuk membuat kampus kehidupan di Desa Menari Tanon. 

Pada prinsipnya, Laboratorium Sosial tersebut meliputi aspek konservasi profesi asli masyarakat (petani & peternak), konservasi dolanan tradisional dan konservasi kesenian lokal. Semua dikemas selaras dengan potensi-potensi lokal desa. 
Berbaur dengan masyarakat kala ada hajatan di salah satu rumah warga
Berbaur dengan masyarakat kala ada hajatan di salah satu rumah warga

“Saya tidak tahu di luar sudah ada konsep ini atau tidak. Saya munculkan konsep tersebut sejak 2009 di sini karena keprihatinan saya. Berawal dari kegagalan saya 2007-2009 mengelola dua kecamatan. Akhirnya dititik jenuh saja, saya berpikir harus membuat laboratorium bagi saja. Karena bukan laboratorium itu bukan ekstrak, berartikan laboratorium sosial,” Terang Pak Trisno. 

Di sini orang bisa belajar banyak hal, dapat berdiskusi hingga bersekolah pemikiran di kampung. Siswa yang datang harus menginap selama enam hari dan tidak boleh pulang. Mereka membuat makalah, membaca buku, berinteraksi dengan masyakarat, dan tidurnya di rumah penduduk setempat. 

Cara lain dalam menerapkan Laboratorium Sosial adalah dengan membatasi kunjungan tamu di Desa Menari Tanon. Beliau menekankan jika Desa Menari Tanon tidak ingin merambah menjadi sebuah desa wisata murni. 

Beliau mengatakan jika setiap hari ada kunjungan wisatawan, lingkungan itu membutuhkan waktu istirahat. Tidak baik jika setiap hari ada kunjungan. Jika kunjungan tiap hari ada, nilai-nilai konservasi alam hilang. Secara tidak langsung, ada peran kita dalam kerusakan alam. 

Masyarakat di desa juga butuh istirahat, dalam artian tidak mengurusi tamu wisatawan tetapi kembali ke pekerjaan aslinya sebagai petani maupun peternak. Kesinambungan seperti ini yang beliau inginkan agar konsepnya berjalan dengan baik. 

Pertimbangan matang beliau ambil untuk merealisasikan konsep Laboratorium Sosialnya. Beliau mengajak masyarakat setempat sebagai subjek dalam dalam kegiatan. Bukan menjadi objek dalam kegiatan yang dilakukan. 

Arah ke depan adanya Laboratorium Sosial di Desa Menari Tanon adalah keinginan Pak Trisno untuk mengembalikan atau regenerasi profesi asli masyakarat sebagai petani dan peternak. Beliau miris karena petani dan peternak sekarang minim generasi. 

Pembatasan kunjungan wisatawan juga diharapkan memantik para pemuda menggeluti profesi mereka sebagai petani maupun peternak modern. Pertanian modern itu berbeda dengan sekarang dilakukan. Harapannya mereka dapat mencari banyak referensi pertanian dan peternakan melalui literatur yang ada, dan diterapkan. 

Kami berbincang cukup lama, beliau berujar yang sekarang dilakukan adalah pengkaderan. Harapannya, dari Desa Menari Tanon ini muncul sosok-sosok yang bisa mengembangkan kampungnya untuk lebih maju. 

Regenerasi memang menjadi tantangan terberat di Desa Menari Tanon. Selama ini mereka cukup tergantung pada sosok Pak Trisno. Dari sinilah Pak Trisno merangkul semua pihak untuk kerja bersama membangun desanya agar lebih baik. 

Tujuan akhir dengan adanya konsep Laboratorium Sosial ini adalah orang-orang desa agar kembali ke desa. Mereka mencintai desanya, mereka berpikiran maju tapi bertindak dari hal-hal yang bersifat lokal. 
Pak Trisno bersama anak-anak warga Kampung Berseri Astra Tanon
Pak Trisno bersama anak-anak warga Kampung Berseri Astra Tanon

“Indonesia tidak akan terang benderang karena obor di Jakarta. Tapi Indonesia akan menjadi cahaya yang kuat karena lilin-lilin kecil yang terpendar dari desa,” Sepenggal saduran dari Bung Hatta ini yang Pak Trisno sampaikan. 

Secara tersirat, Pak Trisno menerapkan kalimat tersebut. Beliau terinspirasi ucapan Bung Hatta (Proklamator Indonesia) jika membangun Indonesia itu dari desa. Dari kalimat tersebutlah Pak Trisno kembali ke desa dan membangun Desa Menari Tanon menjadi dikenal seperti sekarang. 

Semangat Pak Trisno ini yang membuat Astra Satu Indonesia menganugerahkan apresiasi untuk dedikasinya membangun desa. Harapannya, semangat-semangat ini juga lahir di setiap desa di Indonesia. Sehingga Indonesia bisa menjadi lebih baik. 

Waktu sudah malam, aku pamit pulang. Sebuah perbincangan yang tidak pernah kulupakan. Dari obrolan dengan Pak Trisno, aku bisa mengambil banyak hikmah. Siapa tahu aku bisa menerapkan segelintir nasihat Pak Trisno untuk kembali membangun desa sendiri di kampungku. #IndonesiaBicaraBaik #KitaSATUIndonesia *Desa Menari Tanon; 20-21 Desember 2019.

Viewing all 757 articles
Browse latest View live