Quantcast
Channel: Nasirullah Sitam
Viewing all 749 articles
Browse latest View live

Menyeduh Bir Pletok di Rumah Lama Kopi Jogja

$
0
0
Bir Pletok dan Biji kopi di Rumah Lama Kopi
Bir Pletok dan Biji kopi di Rumah Lama Kopi

Obrolan seru di Whatsapp Grup sempat kulewatkan. Mereka berencana ngopi di Omah Sor Sawo. Hingga akhirnya berkumpul empat orang; Aqied, Ucil, Ardian, dan Ajeng. Aku sendiri masih bergelut dengan aktivitas yang lain. 

“Sitam yakin nggak ke sini?” Sebaris pesan berusaha memastikanku. 

“Habis magrib kususul.” 

Kurun waktu sepekan, kami sering kumpul. Ada banyak kegiatan yang dapat dilakukan bersama. Kalau bukan urusan blog, biasanya ngobrol santai. Tentu saja lebih banyak ngobrol ngalor-ngidul tanpa arah. 

Selepas salat magrib aku segera menyusul naik ojek online. Sempat bingung mencari lokasinya, namun akhirnya ketemu juga. Hotel Omah Sor Sawo berada di Jalan Taman Siswa No.25, Wirogunan, Mergangsan. 

Aku kira nama Omah Sor Sawo adalah penginapan sekaligus kedai kopi, nyatanya tidak. Kedai tempat teman berkumpul adalah Rumah Lama Kopi. Kedai ini berbentuk rumah Limasan dan berada tepat di depan halaman penginapan. 
Rumah Limasan tempat kedai kopi
Rumah Limasan tempat kedai kopi

Tempatnya masih sepi. Kursi dan meja tertata rapi, serta masih kosong. Di sudut ruangan terdapat rak buku dengan berbagai koleksi. Temanku yang sedari sore di sini duduk di kursi dekat barista. 

“Kok nggak asing ya,” Ujarku sembari tertawa kala disambut lelaki pemilik kedai. 

Mereka tertawa, ya beliau adalah sosok yang pernah kami temui di kedai yang lain. Sekarang Mulai merintis kedai kopi di sekitaran jalan Taman Siswa. 

Rumah Lama Kopi mempunyai slogan Panggonan Ngopi (tempat ngopi) baru diresmikan sejak tanggal 18 April 2018. Tempat ini belum dikenal khalayak umum karena pemiliknya memang belum sepenuhnya melakukan promosi. 

Tujuan utama kedai ini adalah menghadirkan suasana minum kopi yang teman dan nyaman. Sedikit berbeda dengan kedai lainnya yang cenderung membuat konsep modern. Di sini kesan pertama yang kudapat adalah lawas. 
Berbagai jenis kopi yang tersedia di meja barista
Berbagai jenis kopi yang tersedia di meja barista

Kesan lawas kurasakan karena berada di rumah Limasan dengan sebagian besar dinding terbuka, serta memilihan meja dan kursi yang semuanya terbuat dari kayu dengan corak yang mirip warna rumah Limasan. 

“Minuman nonkopi enaknya apa ya? Lagi flu,” Celetukku. 

“Coba Bir Pletok, kali aja enak.” 

Aku baca menu yang bertulisakan Racikan Lawas. Ada tiga pilihan; Bir Pletok, Ki Ageng Pandan Arang, dan Jahe Susu. Pilihanku jatuh ke Bir Pletok, sepertinya menggoda. Selain itu di sini juga ada pilihan minuman kopi, pun dengan makanan. 

“Mas, Bir Pletoknya satu.” 

“Aku pesan Ki Ageng Pandan Arang,” Sahut Aqied. 
Daftar menu kopi di Rumah Lama Kopi
Daftar menu kopi di Rumah Lama Kopi

Bergegas Mas Baristanya menyiapkan bahan-bahan yang harus digunakan. Aku sendiri menunggu sembari berbincang dengan teman yang lain. Aku juga sempat menyicipi minuman yang dipesan Ardian. Aku lupa nama minumannya, yang jelas rasanya ada semacam rempah. 

Aku masih penasaran kenapa Mas Lukas (orang yang kubilang tidak asing) membuat konsep kedai agak kuno. Terlepas disesuaikan dengan bangunannya, tentu dia mempunya misi sendiri. Disebutkan bahwa target beliau yang ke sini adalah rombongan keluarga, atau orang-orang dewasa yang suka suasana nyaman/tidak riuh. 
Barista di kedai Rumah Lama Kopi
Barista di kedai Rumah Lama Kopi

Minuman sudah datang, seorang pramusaji menyerahkan pesanan kami. Aku kira minumannya dikemas dalam gelas kaca. Nyatanya menggunakan kendi berukuran tanggung, sebuah cangkir lengkap dengan alasnya. Semua terbuat dari tanah liat. 

Kuseduh Bir Pletok-nya, seperti ada rasa serai dan jeruk nipis. Aku pikir sereinya itu karena dalam penyajiannya terdapat batang serai dan irisan jeruk nipis. Ternyata rasa serai itu karena air yang digunakan sejak awal diberi batang-batang serai hingga mendidih. 

“Enak ini mas, apa saja bahannya, mas?” Aku penasaran. 

Mas Lukas tersenyum, tidak diucapkan secara detail bahan yang digunakan. Seingatku ucapannya menerangkan bahwa Bir Pletok ini bisa dinikmati panas atau dingin dan bahannya dipetik dari kebun Simbah. 
Ki Ageng Pandan Arang pesanan Aqied datang
Wedang Ki Ageng Pandan Arang pesanan Aqied datang

Jawaban yang membuatku geleng-geleng kepala sembari tertawa. Tapi seduhan Bir Pletok ini membuat flu-ku berkurang; benar-benar menyenangkan dapat menikmati wedang dengan rasa yang pas di lidah. 

Jika aku lihat di referensi, Bir Pletok terbuat dari bahan-bahan seperti; Kayu Manis, Batang Serai, Jahe, dan Kayu Secang. Pembuatannya Jahe dikupas dan dimemarkan, berbarengan dengan rempah lainnya, dan dimasukkan ke dalam air yang mendidih. 

Jika ingin mencoba menyeduh sajian resep minuman tradisional bisa di sini. Pun dengan paduan Espresso Based dengan ekstrak rempah. Katanya sih itu menjadi minuman andalan di Rumah Lama Kopi. 
Kendi dan cangkir Wedang Bir Pletok
Kendi dan cangkir Wedang Bir Pletok
Kendi dan cangkir Wedang Bir Pletok

Malam makin larut, sebagian besar teman sudah pulang; tinggal aku, Aqied, di temani Mas Lukas. Beliau bercerita banyak terkait kopi. Aku menjadi pendengar yang baik, sesekali ikut menimpali obrolannya. 

Benar adanya jika Jogja sudah marak ditemukan kedai kopi modern. Ruangan sempit semacam ruko dibuat sedemikian rupa agar menarik. Menurut Mas Lukas, dia sengaja membuat konsep seperti ini agar tiap pengunjung bisa menikmati dan berinteraksi. 

Karena dari secangkir kopi maupun wedang lainnya, ditambah dengan cerita kita dapat menjadi saudara. Sebelum kami pulang, kami disuguhi minuman lainnya; lagi-lagi lidah awam ini diuji Mas Lukas untuk mengomentari minumannya, termasuk kekurangannya. *Kedai Rumah Lama Kopi; Minggu, 13 Mei 2018.

Mudik Asyik ke Karimunjawa bersama "KMP Siginjai" ASDP Indonesia Ferry

$
0
0
KMP Siginjai di Pelabuhan Kartini Jepara
KMP Siginjai di Pelabuhan Kartini Jepara

Menjelang pagi aku terbangun. Pelabuhan Pantai Kartini mulai ramai. Belum juga mentari bersinar, para pedagang Karimunjawa yang belanja dari pasar Jepara mengangkut barangnya menggunakan becak ataupun mobil bak terbuka. Mereka sudah berduyun-duyun menata barangnya di lantai dasar kapal. 

Pemandangan ini selalu kulihat tiap mudik ke Karimunjawa. Aku bergegas menuju kamar mandi, wudu dan salat di musola. Lalu mengikuti barisan para calon penumpang Kapal Ferry yang sedang antre menunggu loket buka. 

Deretan para calon penumpang antre menunggu petugas tiket datang. Di penyeberangan Jepara – Karimunjawa pembelian tiket harus di tempat. Jadi kita harus datang pagi dan ikut antre mengular. 

Beberapa wajah para pengantre tidak asing bagiku, mereka adalah orang-orang Karimunjawa yang ingin mudik. Sebagian lagi adalah wajah-wajah tetap; mereka adalah pedagang yang tiap dua pekan sekali ikut menyeberang membeli sembako. Jika ada wajah baru, mungkin mereka wisatawan. 
Antrean calon penumpang kapal membeli tiket
Antrean calon penumpang kapal membeli tiket

Di penyeberangan ini, kapal yang bertugas adalah KMP Siginjai. Kapal Ferry Siginjai adalah milik ASDP Indonesia Ferry yang berlayar di Indonesia, termasuk di Jepara. Aku mengambil secarik kertas yang tersedia; menuliskan nama lengkap, alamat, dan umur. Kertas ini nanti diserahkan pada petugas untuk mencetak tiket. Di sini untuk sementara pembelian tiket di tempat langsung. 

Bagi warga Karimunjawa, mereka sudah hafal mengenai jadwal penyeberangan, harga, atau bagaimana mendapatkan tiket kapal sebelum kehabisan. Rata-rata para penumpang berbagi tugas; sebagian memasukkan barangnya ke kapal, sebagian lagi ikut antre sembari memegang kertas bertuliskan nama, alamat, dan umur. 

Aku sudah berada di depan etalase pembatas antara pembeli tiket dengan petugas yang ada di dalam. Kusodorkan uang sembari menyebutkan nama, alamat, dan umur. Tak lama kemudian alat mencetak tiket bekerja. Secarik kertas mirip kertas struk ATM, di atasnya terpampang logo ASDP Indonesia Ferry. 
Calon penumpang mulai naik ke atas kapal
Calon penumpang mulai naik ke atas kapal 

Kuambil tiket sembari mengucapkan terima kasih. Aku menyusuri jalur pejalan kaki yang ada di pelabuhan. Kaki melangkah menuju Kapal Ferry Siginjai; kapal yang menggantikan KMP Muria beberapa tahun silam. 

Dua petugas menjaga depan pintu masuk kapal, ABK kapal memegang gawai. Mereka memindai kode yang ada di tiket dengan aplikasi. Proses pindai tiket ini aku temukan kala di Jepara, sedangkan di Karimunjawa ABK Kapal mengecek secara manual. 

Aplikasi yang digunakan bernama ASDP Pindai Tiket. Petugas mengambil tiket dari penumpang, lalu melakukan pemindaian pada barcode tiket. 
Proses memindai barcode tiket penumpang kapal menggunakan aplikasi
Proses memindai barcode tiket penumpang kapal menggunakan aplikasi

“Pak, boleh saya abadikan?” Pintaku. 

“Silakan mas,” Ujar petugas tersenyum. 

Proses pindai tidak lama, hanya sepersekian menit sudah selesai. Beruntung aku sempat mengabadikan. Di sini, calon penumpang yang ingin naik ke atas kapal tidak berdesakan, sehingga santai dan nyaman. 

Kesibukan di dalam kapal terasa riuh. Petugas kapal bersama para pemanggul barang dagangan saling berkomunikasi untuk mengatur letak barang dagangan. Pun dengan tatanan kendaraan roda empat dan dua. ASDP Indonesia Ferry; khususnya KMP Siginjai di Jepara menjadi urat nadi masyarakat Karimunjawa. 

Jika kapal ferry ini tidak berlayar, terasa jelas masyarakat Karimunjawa terkena dampaknya. Jika wisatawan masih bisa menggunakan kapal yang lain, berbeda dengan para pedagang. Seluruh sembako (kecuali BBM) hanya diangkut menggunakan KMP Siginjai. 
Barang sembako warga Karimunjawa di atas kapal
Barang sembako warga Karimunjawa di atas kapal

Seminggu sebelum lebaran, penumpang kapal tidak terlalu ramai. Biasanya penumpang ramai menjelang lebaran. Kunaiki tangga yang berada di ujung kapal menuju lantai dua. Di lantai dua terbagi menjadi beberapa sekatan; ruang ekonomi ada tiga sekatan, ditambah ruang VIP. 

Sebagaimana anak Karimunjawa lainnya, aku lebih suka memesan tiket ekonomi. Lalu duduk di depan kafetaria, sekalipun tidak memesan makanan karena bulan puasa. Kursi terjejer bersih, tidak ada nomor urut; namun tidak serta merta berebut tempat duduk. 

Kuamati ruangan di lantai dua, terdapat tabung Apar pemadam kebakaran di balik pintu, di sampingnya berdiri kokoh almari tempat pelampung. Tepat di atas pintu terpasang CCTV, serta di depan juga disediakan dua LED besar. LED ini berguna untuk pengarahan penggunaan pelampung sekaligus media hiburan kala kapal berlayar. 

Setiap sudut kapal sesuai dengan SOP. Tiap dinding tertera tulisan seperti arah musola, kafe, dan denah kapal. Selama perjalanan aku tidak ke lantai atas, di sana agak panas. Aku lebih suka berbincang di lantai dua. 

Penumpang berbaur menjadi satu. Aku bisa membedakan mana wisatawan maupun warga setempat; namun mereka duduk di kursi yang sama selama empat jam. Seperti deretan di belakangku, sebaris kursi diduduki wisawatan manca yang ingin berlibur ke Karimunjawa, sementara baris belakangnya lagi teman-temanku yang mudik. 
Penumpang kapal KMP Siginjai duduk di kursi yang tersedia
Penumpang kapal KMP Siginjai duduk di kursi yang tersedia

Meskipun pengecekan tiket sudah dilakukan melalui alat pindai di pelabuhan, ABK Kapal masih mengecek tiket saat kapal sudah berlayar. Ini artinya, kalian harus membawa tiket tersebut sendiri-sendiri. Jika rombongan, usahakan tidak berpencar dulu. 

“Selamat pagi nona, bisa saya lihat tiketnya sebentar?” Sapa ABK kapal menggunakan Bahasa Inggris. 

Empat wisatawan manca bergegas menunjukkan tiket dan diperiksa petugas kapal. ABK kapal yang merupakan pemuda berkisaran umur 25 tahun cukup cakap berbahasa Inggris. Keterampilan berbahasa asing membuat komunikasi antara penumpang manca dengan ABK kapal menjadi lebih mudah. 
ABK kapal mengecek tiket penumpang
ABK kapal mengecek tiket penumpang

Waktu berlayar baru setengah jam. Ini artinya masih ada 3.5 jam lagi waktu yang kami tempuh mencapai Karimunjawa. Seandainya cuaca kurang baik, waktu tempuh menjadi sedikit lebih lama. Aku dan penumpang lain menikmati perjalanan ditemani lantunan lagu dari pelantang kapal. 

Sedikit Informasi tentang ASDP Indonesia Ferry 


PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) berdiri pada tahun 1973 bernama Proyek ASDP Ferry yang berada di bawah Kementerian Perhubungan. ASDP Ferry pernah berubah nama menjadi Perum ASDP pada tahun 1986, kemudian berubah menjadi PT ASDP (Persero) tahun 1993. 

Perubahan status menjadi ASDP memiliki peran utama yang diharapkan mampu bersaing dengan instansi lain sebagai penyedia penyeberangan perintis. Perjalanan panjang ASDP memiliki tujuan untuk menjadikan ASDP sebagai salah satu perusahaan BUMN yang dapat memberikan kontribusi bagi negara. 

Sebagai penyedia penyeberangan perintis, ASDP mempunyai lintasan penyeberangan yang banyak di Indonesia. Lintasan penyeberangan tersebut menyebar di seluruh pulau besar di Indonesia; dari Sumatera hingga Papua. 
Infografis lintasan ASDP Indonesia Ferry di Indonesia
Infografis lintasan ASDP Indonesia Ferry di Indonesia

Di beberapa penyeberangan, tiket ASDP Indonesia Ferry dapat dibeli secara online di websitenya. Pada bagian beranda website, di pojok atas kanan terdapat fitur reservasi tiket kapal. Penyeberangan seperti Merak – Bakauheni bisa dipesan secara online

Batas maksimal pemesanan tiket secara online maksimal satu hari sebelum keberangkatan. Proses pemesanan tiket online pun cukup mudah. Kita tinggal mengisi pelabuhan asal dan tujuan – beli tiket online – menentukan jadwal keberangkatan - mengisi biodata calon penumpang – tampilan data penumpang – transfer biaya pembayaran. 

Proses ini berjalan dengan cepat layaknya kita membeli tiket pada aplikasi-aplikasi lainnya. Pun jika ada hal ingin ditanyakan; pihak ASDP Indonesia Ferry sendiri bisa dihubungi melalui tiap media sosial. Tercatat media sosial seperti Instagram dan Twitter-nya cukup aktiv membantu pelayanan calon penumpang. 
Ilustrasi pembelian tiket ASDP Indonesia Ferry
Ilustrasi pembelian tiket ASDP Indonesia Ferry

Penyeberangan Jepara – Karimunjawa sendiri sudah sekali ganti armada/kapal. Dulu kapal yang berlayar adalah KMP Gunung Muria. Persis perdana menyeberang ke Karimunjawa aku tidak tahu, antara akhir 1998-an atau malah awal 2000. Kapal ini mempunyai waktu tempuh 6 – 7 jam. 

Waktu tempuh 6 – 7 jam kala itu sudah sangat cepat, terlebih pada masa tersebut kapal-kapal yang menyeberang Jepara – Karimunjawa hanya milik nelayan. Sehingga tidak bisa maksimal dalam membawa barang ke Karimunjawa. 

Tahun 2014, kapal KMP. Gunung Muria diganti dengan KMP. Siginjai. Secara fisik kapal ini sedikit lebih besar. Tercatat lebih panjang sekitar 8 meter dari kapal sebelumnya; spesifikasi kapal bisa dilihat pada website ASDP Indonesia Ferry. Di sana tercatat seluruh kapal milik ASDP. 

KMP Siginjai sendiri mempunyai jarak tempuh 4 – 5 jam perjalanan dari Jepara – Karimunjawa/sebaliknya. Waktu tempuh yang lebih cepat membuat kapal ini menjadi incaran para wisatawan untuk berlibur ke Karimunjawa. Jadwal penyeberangan bulan depan selalu rilis diakhir bulan sebelumnya, dan diumumkan melalui media sosial ASDP Jepara. 
Spesifikasi KMP Muria dan KMP Siginjai
Spesifikasi KMP Muria dan KMP Siginjai

Dikutip dari Laporan Tahunan ASDP Tahun 2016; tepatnya bulan September 2016 terdapat peningkatan layanan KMP. Siginjai dalam rangka mendukung wisata Karimunjawa. Laporan ini dapat diakses tiap orang melalui website ASDP Indonesia Ferry. 

Selain wisatawan, pada dasarnya ASDP Indonesia Ferry ini juga menjadi tulang punggung masyarakat Karimunjawa. Berlayarnya kapal, berarti membuat perekonomian di Karimunjawa bergerak maju. Seperti yang terlihat tiap kapal ini menyeberang ke Jepara atau sebaliknya. Berbagai barang milik warga tertata rapi di lantai satu dan dikirimkan ke tempat tujuan. 

***** 


Empat jam lebih sedikit, suara pelantang KMP Siginjai menggema. Sisi kiri jendela terlihat sebuah pulau; ini artinya sebentar lagi kapal ini berlabuh di pelabuhan Karimunjawa. Informasi nahkoda kapal berkaitan dengan penumpang terdengar kencang. 

Aku bersiap turun, kuambil keril yang sedari tadi tersandar di bawah kursi. Sesekali aku melihat ke tangga, menunggu penumpang yang ingin cepat turun. Aku bersabar duduk agar tangga sedikit sepi. Para membawa kendaraan roda dua maupun empat lebih dulu turun. 
Suasana lantai satu KMP Siginjai saat sandar
Suasana lantai satu KMP Siginjai saat sandar

Pintu depan kapal terbuka, satu persatu penumpang yang berada di dalam kapal menyeruak keluar. Sementara petugas sibuk berjaga sembari mengingatkan agar warga yang di pelabuhan belum diperkenankan masuk ke atas kapal. 

Aku mengikuti penumpang lain turun. Tidak ada kata berdesakan, semuanya berjalan dengan aman dan lancar. Begitu kaki menapakkan langkah di pelabuhan, terlihat warga yang menunggu sudah berjejer di tepian pelabuhan. Menunggu arahan ABK Kapal untuk masuk dan mengambil barang untuk diangkut. 
Kendaraan roda tiga dan empat menunggu barang yang akan diangkut dar dalam kapal
Kendaraan roda tiga dan empat menunggu barang yang akan diangkut dar dalam kapal

Dari ujung pelabuhan Karimunjawa, aku menoleh ke belakang; KMP Siginjai tertambat, di atasnya tertera tulisan besar “Bangga Menyatukan Nusantara”. Suatu kebanggaan tersendiri dapat menyeberangkan mereka yang terpisah Samudra untuk menyatu. Ya, ini sepenggal ceritaku tentang #AsyiknyaNaikFerry kala mudik ke Karimunjawa. *Sabtu; 09 Juni 2018.

Kala Teman Meracik Kopi di Candala Coffee

$
0
0
Tim ngopi tiap pekan beraksi
Tim ngopi tiap pekan beraksi

Pada akhirnya agenda kumpul ngopi tiap pekan bukan lagi menjadi agenda mingguan. Bahkan dalam kurun waktu satu minggu, kami pernah hampir tiap malam berkumpul dengan orang-orang yang sama. Berbicara topik yang tak jauh berbeda dengan malam sebelumnya. 

Sempat beberapa kali lontaran pertanyaan di media sosial terkirim di pesanku. Mulai dari pertanyaan seperti umumnya; “Ngopi di mana? Enak nggak tempatnya?” Atau pertanyaan yang sedikit mengusik seperti “Kok ngopi terus, uang dari mana?” Pertanyaan seperti itu tak perlu dijawab. 

“Sepertinya beberapa hari ke depan aku mau menepi dulu, tidak ngopi,” Celetukku suatu ketika. 

“Yakin?” 

Aku mengangguk. Sebenarnya tidak ada alasan yang membuatku ingin menepi. Secara langsung saja terlontar tanpa sempat terpikirkan. 

Baru semalam aku berucap, Aqied melempar kode untuk ngopi. Kode tersebut diterima Mak Indah Juli, dan sepakat menjajal ngopi di daerah Condongcatur. Lokasi yang dekat dari tempat mereka berdua. 
Pintu kedai kopi Candala di Condongcatur
Pintu kedai kopi Candala di Condongcatur

Pilihan jatuh di Candala Coffee. Kedai baru yang berlokasi di Jalan Anggajaya II. Bergegas aku langsung ke lokasi menaiki ojek online. Sesampai di kedai, di sana sudah ada Aqied. Dia sendirian di dalam ruangan, pengunjung lain asyik berbincang di luar kedai. Tak lama berselang, Mak Indah Juli menyusul. 

Sekilas, Candala Coffee terlihat seperti Aegis Coffee. Warna cat tembok, bahkan tepat duduknya. Adapun yang membedakan adalah rak buku serta satu deret kursi sofa. Rombongan kami duduk di kursi sofa, bersantai sembari berbincang. 

Suasana berbeda dengan di luar kedai. Selain jejeran kursi dan meja, di sana ada satu tempat lesehan yang asyik untuk bersantai. Dua kali aku ke sini, tempat itu selalu sudah dipakai orang lain. Sepertinya, tempat lesehan itu spot terbaik untuk bermalas-malasan sembari bermain gawai. 
Sofa di dalam ruangan kedai kopi Candala
Sofa di dalam ruangan kedai kopi Candala

Kami disibukkan dengan memilih menu. Deretan biji kopi di depan meja barista tersaji. Aku lupa memesan biji kopi dari kota mana. Asyiknya harga kopi di Candala Coffee cukup sesuai dengan saku anak kos. 

Manual Brew-nya berkisar antara 16.000 rupiah, sementara Espresso Based sedikit lebih mahal, tapi tetap terjangkau. 

Sedikit obrolanku dengan barista Candala, Mas Agus. Beliau ternyata sekaligus Owner kedai ini. Beliau menuturkan jika Candala Coffee baru buka 1.5 bulan yang lalu. Ini artinya kedai kopi ini dibuka pada pertengahan Maret 2018. 
Daftar minuman di Candala Coffee
Daftar minuman di Candala Coffee

Lelaki tanggung ini bergegas membuat kopi pesananku. Sementara pesanan Aqied sudah ada di meja. Mak Indah Juli sendiri masih bimbang ingin memesan apa. 

“Barista ada dua mas, tapi yang satu sedang ke Jakarta. Jadi untuk saat ini saya sendiri dibantu dengan pramusaji.” 

Tiap berkunjung ke kedai kopi, kami suka berbincang dengan baristanya. Pasti ada informasi tambahan yang aku dapatkan. Termasuk kenapa di sekitaran Condongcatur sekarang mulai dilirik para pemilik modal untuk membuat kedai kopi. 
Mas Agus, owner sekaligus barista Candala Coffee
Mas Agus, owner sekaligus barista Candala Coffee

“Mbak-nya kalau mau coba membuat kopi sendiri boleh loh. Silakan,” 

Awalnya aku kira bercanda, Aqied pun penasaran untuk mencoba. Baristanya langsung mempersilakan Aqied beraksi membuat minuman yang dipesan Mak Indah Juli. Mas Agus memberikan arahan dari belakang. 

Sedikit pengarahan dari Mas Agus, Aqied mulai beraksi. Baru saja menakar biji kopi serta suhu air yang digunakan. Mas Agus meninggalkan kami, kulihat Aqied sedikit bingung dan canggung. Mungkin karena dikira bakal dikasih takaran biji, dan dia tinggal menuang saja. Bukan dari awal. 

Di sini kami benar-benar dibiarkan sesuka hati. Di dalam kedai hanya kami bertiga; aku, Mak Indah Juli, dan Aqied. Dia melakukan dari awal; mengambil kopi, menimbang biji, menggiling biji kopi, memasang paper filter, merebus air, hingga menyeduh. 
Aqied beraksi menyeduh kopi sendiri
Aqied beraksi menyeduh kopi sendiri

“Lah kok ditinggal sama mas-nya,” Celetuk Aqied. 

Sedikit aneh rasanya. Ini kunjungan pertama kami di Candala Coffee, tapi serasa kami sebagai pelanggan setia. Tanpa ada rasa keberatan sedikitpun, Mas Agus membiarkan kami mengobrak-abrik meja barista. 

Bagaimana tidak, biji kopi yang sudah tergiling tumpah, meja berantakan, serta aku dan Mak Indah Juli bebas mengambil foto dari sudut manapun. Kulihat raut wajah Aqied antara antusias dan gugup. Dia mencoba beberapa alat di sini, sampai akhirnya pesanan mak Indah Juli tersajikan. 

“Kalau rasanya nggak jelas, aku minta maaf loh mbak Indah,” Ujar Aqied. 

Lagi-lagi kami tertawa. Sejak masuk ke Candala Coffee, kami merasa seperti tuan rumah. Di dalam kedai bertiga, tertawa kencang sembari mengulang-ulang topik yang tak pernah basi. 
Mari menyeduh kopi bersama
Mari menyeduh kopi bersama

Pada kunjungan kedua ke Candala Coffee, mas Agus masih mengenali kami. Bagaimana tidak ingat, kami datang hanya rentang waktu tiga hari. Kunjungan kali ini tidak bertiga, melainkan bersembilan. 

“Mas, kami geser meja lagi boleh nggak?” Pintaku. 

“Silakan mas. Anggap tempat sendiri,” Jawab Mas Agus tertawa. 

Aku menggeser satu meja lagi digabung dengan sofa agar bisa bergabung dengan rombongan. Selain minum kopi, kami kali ini sekalian bermain UNO. Permainan kartu yang aku pahami saat di kos. 

Kunjungan kedua ini berawal dari buka bersama di tempat Aqied, berlanjut ngopi di sini. Sebenarnya kami ke sini banyak orang, sebagian hanya mengantar dan langsung pulang. Tim ngopi kali ini berasal dari Jombang, Solo, Malang, Boyolali, serta bloger lokal Jogja seperti kami. 

Jika kalian berkunjung ke sini dan ingin mencoba menyicipi menu khas di sini. Kalian bisa coba memesan Candala Mix Plate. Di atas tidak ada fotonya, biar penasaran sih kalian. Bocorannya ini minuman manis, jadi yang nggak suka kopi bisa coba satu ini. 
Tim ngopi tiap pekan beraksi di Candala Coffee
Tim ngopi tiap pekan beraksi di Candala Coffee
Tim ngopi tiap pekan beraksi di Candala Coffee

Pernah kami bertanya ke Mas Agus tentang Candala, kenapa tidak dibuat seperti coworking space layaknya kedai kopi lainnya. Beliau menjawab, memang tidak ada niat menjadikan kedai ini sebagai coworking space. Candala Coffee sengaja dikonsep untuk bersantai, berbincang, dan bukan untuk tempat bekerja. 

Tiap kedai kopi mempunyai konsep yang berbeda-beda. Nyatanya, di sini memang jauh lebih asyik untuk berbincang daripada mengerjakan tugas atau ngeblog. Selain itu, colokan listrik juga hanya ada di bagian sudut. Toh kami dua kali ke sini tujuannya memang untuk ngobrol saja, tidak terpikirkan untuk bekerja. *Candala Coffee, 24 & 26 Mei 2018.

Mampir Sesaat di Pantai Kutang, Lamongan

$
0
0
Jembatan panjang di Pantai Kutang
Jembatan panjang di Pantai Kutang

Pikiranku masih tertuju di Monumen Kapal Van Der Wijck saat mobil melaju kencang menuju destinasi selanjutnya. Sesekali mataku fokus melihat layar gawai, terpampang jarak lebih dari 10 KM lagi untuk sampai di pantai yang kami tuju. 

Di dalam mobil, Aya mengatakan jika pantai yang kami tuju lebih bagus jika dikunjungi kala sore ataupun pagi. Kami tidak punya banyak waktu, siang terik pun tak masalah. Toh yang paling penting kaki-kaki ini sudah memijakkan tapaknya di pantai tersebut. 

Ruas jalan berganti jembatan panjang, jalanan lumayan ramai. Tepat di belakang kami, satu mobil lagi terus menguntit dengan menjaga jarak. 

“Di depan nanti ada pertigaan, belok kanan,” Terangku sembari menatap peta di gawai. 

Sebuah gapura belum sepenuhnya jadi bertuliskan Pantai Kutang dengan penyanggah bambu. Arah yang benar, aku menutup aplikasi peta. Jalur hanya ada satu, memudahkan kami yang masih buta rute. 

Embusan angin dari jendela mobil yang terbuka mengirimkan pesan kami dekat pantai. Jalan makin kecil, namun banyak kendaraan yang menuju arah sama. Benar adanya, di depanku adalah area parkir pantai Kutang. 

Akhir pekan pengunjung pantai Kutang membludak. Jembatan panjang warna-warni terbentang panjang, penuh dengan kumpulan para pengunjung. Aku menepi ke arah petakan pasir putih, memotret jembatan panjang penuh warna. Seperti kata Aya, siang hari bukan waktu tepat berkunjung ke pantai. 
Cat jembatan pantai Kutang beragam
Cat jembatan pantai Kutang beragam 

Tak masalah pengunjung membludak, toh kami di sini sudah sepakat mampir sesaat. Tidak menghabiskan waktu sampai sore. Bibir pantai disusun beton-beton besar agar abrasi tidak meluas. Di sudut yang lain, sedikit rimbun hutan mangrove

Jembatan kayu membentang menjadi akses menuju ujung pantai yang pasir putih. Corak cat mengkilap dengan berbagai warna. Aku pastikan jembatan ini baru selesai dicat. Tentu warna-warni cat pada jembatan menarik perhatian kawula muda. 

Aku mengenal pantai ini berawal dari postingan Aya di blog. Lalu kami sepakat saat berkunjung ke Lamongan minimal singgah di sini. Wacana tersebut terealisasikan, biarpun saat berkunjung benar-benar ramai dan waktunya siang. 
Pengunjung pantai Kutang saat siang
Pengunjung pantai Kutang saat siang

Terik matahari sepertinya tidak membuat para wisatawan terganggu. Mereka berombongan meniti jembatan panjang sampai ujung. Lebih banyak lagi yang sekadar berkumpul di tengah-tengah, lalu berfoto. Pantai Kutang sedang ramai-ramainya dikenal khayalak umum. 

Pantai yang berada di dusun Kentong, desa Labuhan, kecamatan Brondong ini namanya yang disematkan cukup menggelitik. Kutang dalam Bahasa Jawa berarti bra; pakaian dalam yang dikenakan wanita dewasa. 

Saking menggelitiknya, aku lekas mencari informasi kenapa Kutang disematkan sebagai nama pantai. Di salah satu artikel jurnal, penamaan Kutang ini konon pada masa dahulu banyak pengunjung ke sini, dan tidak sedikit yang meninggalkan bra di pantai ini. Entahlah, memang seperti itu ceritanya. 

Terlepas dari asal usul penamaan pantai Kutang, sejak tahun 2015 pantai ini mulai dikenal wisatawan. Adanya sedikit hutan mangrove di ujung serta pasir putih di sudut lain menjadi magnet tersendiri. Bagi wisatawan, bermain pasir putih di pantai tentu hal yang menyenangkan. 
Air di pantai Kutang sedang surut
Air di pantai Kutang sedang surut

Aku ditemani Tyo (anak terakhir Mak Indah Juli) menapaki jembatan kayu. Rombongan kami masih jauh di belakang. Mereka asyik berfoto, sementara misiku adalah menuju ujung jembatan, turun dan memotret aktivitas wisatawan yang berenang dan main pasir. 

Berjalan di jembatan dengan ramainya pengunjung tentu tidak mudah. Embusan angin kencang, serta di berbagai titik banyak anak berkumpul foto sembari menutupi jalan. Mau tidak mau langkahku tersendat. Sementara Tyo masih protes tidak bisa main air. 

“Jadi kita nggak main air, Om Sitam?” 

“Enggak bisa, Tyo. Kita hanya sebentar di sini.” 

Aku bisa melihat raut wajahnya mulai berubah. Sembari menghiburnya, aku menyempatkan memotret. Sejauh mata memandang, yang ada di jembatan kayu adalah wisatawan berfoto. Sesekali aku berpapasan dengan muda-mudi yang melakukan siaran langsung di Instagram. 

Di ujung jembatan yang ingin kutuju tampak bentangan pasir serta pepohonan yang membuat tempat ini menjadi teduh. Ingin rasanya aku cepat sampai ujung, segalanya kutangguhkan saat melihat anak kecil yang bersamaku mulai kecapekan. Sebelum dia mengajak balik, aku memotret bibir pantai tersebut. 
Bentangan pasir di sudut lain pantai Kutang
Bentangan pasir di sudut lain pantai Kutang

Geliat masyarakat sekitar dalam memajukan pantai Kutang untuk lebih baik terasa. Selain makin banyaknya warung tersebar, adanya MCK, serta tanah lapang untuk lahan parkir. Masyarakat setempat juga membuat kertas retribusi biaya masuk. 

Salah satu yang kusoroti di sini adalah jalan menuju lahan parkir yang masih tanah dan bergelombang. Harapanku nantinya hasil dari retribusi serta bantuan pemerintah setempat membuat jalan lebih baik. Tentu semakin terkenalnya pantai Kutang bisa menjadi aset wisata bagi Kabupaten Lamongan. 

Setiap ada daerah yang berpotensi menjadi destinasi wisata, di sana ada potensi lain untuk meningkatkan ekonomi masyarakat. Masyarakat setempat bisa membuat warung kuliner, membuat penginapan, atau menghasilkan sovenir yang bisa dijual pada wisatawan. 

Tidak berapa lama, panggilan untuk segera meninggalkan pantai tertuju padaku. Kami di sini tidak lebih dari satu jam. Ada teman lagi yang harus kami jemput di kota sebelah (Tuban). Selain itu, masih ada rencana mengunjungi kelenteng di Tuban. 

Sebelum meninggalkan pantai Kutang, aku masih sempat mengabadikan teman-teman seperjalanan. Walau hanya sekadar singgah di pantai, mereka cukup menikmati perjalanan kali ini. Sama seperti di Jombang, perjalanan di Lamongan hanyalah misi untuk berkumpul bareng dengan teman-teman yang cukup lama tidak bersua. 
Teman trip tanpa deadline saat di Lamongan
Teman trip tanpa deadline saat di Lamongan

Ada pemandangan yang tidak kulupakan saat di pantai Kutang. Di sini ada banyak layang-layang beterbangan. Sedari tadi, tiap aku melihat ke atas, pastinya ada layang-layang. Angin kencang membuat anak-anak antusias menerbangkan layang-layang. 

Selain anak-anak, para orang dewasa juga tidak mau ketinggalan. Seperti dua ibu yang berada tidak jauh dari lokasi parkir. Mereka berdua berusaha menerbangkan layang-layang. Sesekali terdengar suara tawa kencang, mereka kegirangan. 
Bermain layang-layang di lahan parkir
Bermain layang-layang di lahan parkir

Bergegas kami meninggalkan pantai Kutang. Meninggalkan keramaian pengunjung yang serasa tak ada habisnya berdatangan ke pantai ini. Seperti yang sudah aku ucapkan diawal tadi, jika kalian ingin menikmati keindahan pantai Kutang. Kalian lebih baik datang pagi atau malah saat senja. Tentu pemandangannya jauh lebih indah. 

“Jadi kita sunset-an di mana?” Ucapan teman memecah keheningan. 

“Di mana saja boleh, yang penting kita bersama,” Sahut lainnya. 

Kulirik jalanan yang tetap ramai. Sedikit demi sedikit kami meninggalkan Lamongan. Di depan kami sekarang adalah Kabupaten Tuban. Mungkin kali ini saatnya menjelajah beberapa destinasi wisata di Tuban. Aku tidak sabar menjelajah kabupaten ini. *Pantai Kutang; Sabtu, 23 Desember 2017.

Sepenggal Cerita di Kedai Tanamera Coffee Jogja

$
0
0
Minuman yang tersaji di meja kami
Minuman yang tersaji di meja kami
Acapkali Mak Indah Juli mengajakku menyambangi kedai kopi Tanamera yang ada di Jogja. Setiap ajakannya selalu kutolak, sembari bercanda aku bilang jika receh di kos sudah penuh baru main ke sana. 

Aku paham, Mak Indah Juli sangat ingin mencoba minuman di Tanamera Coffee karena kedai yang di Jakarta sangat terkenal. Beliau juga bilang jika minumannya juga enak. Ditambah informasi dari Ardian yang menimpali jika Cold Brew-nya enak. 

Sebagai pecinta kopi (pemula), dan mumpung waktunya tepat, kami bergegas woro-woro di WAG. Seperti yang sudah diprediksi, menjelang mudik lebaran tentu kami menyempatkan kumpul, biarpun hanya beberapa jam. 

Kedai Tanamera Coffee berada tepat di pusat kota Jogja. Lokasinya berada di timur laut Tugu Jogja. Jika diurutkan dari jalan Sudirman, kedai Tanamera berdekatan dengan Phoenix Hotel. Tulisan Tanamera jelas di sisi kanan jalan. 
Plang kedai Tanamera Jogja di tepi jalan
Plang kedai Tanamera Jogja di tepi jalan
Ada dua pintu memasuki Tanamera, melalui pintu selatan dan barat. Aku melewati ruangan terbuka Tanamera yang sudah tertata meja kursi. Masuk lewat pintu selatan dengan menggeser sekatan kaca tebal. 

Waktu masih pukul 19.30 WIB, tempat ini cukup sepi. Hanya ada dua meja yang diduduki pengunjung. Selebihnya masih kosong. Di ruangan dalam; kombinasi warna gelap; dinding berwarna hitam, sementara bagian atas sampai atap berwarna merah. Kesannya tempat ini agak temaram. 

Belum juga memesan minuman. Aku mengeluarkan kamera, memotret keadaan kedai yang masih sepi. Layaknya kedai-kedai yang lainnya, bulan puasa tiap kedai mulai ramai di atas pukul 20.00 WIB. 

Deretan kursi busa panjang melintang dari arah selatan ke utara di sudut barat dinding. Di depannya meja-meja kecil sengaja ditaruh mengikuti jumlah pengunjung. Sofa empuk juga tersedia tepat di depan barista. Selebihnya kursi kayu dengan jumlah kursi beragam, paling banyak adalah meja kayu panjang di belakang berjumlah delapan kursi. 

Suasana di dalam cukup asyik untuk mengerjakan tugas atau menulis blog. Lantunan musik lirih, tidak bising. Mungkin yang membuat ramai kala pengunjung penuh; gelak tawa membahana. Tiap sudut di ruangan dalam disediakan slot listrik. 
Meja kursi di dalam kedai Tanamera Coffee Jogja
Meja kursi di dalam kedai Tanamera Coffee Jogja
Berbincang santai dengan teman sejawat
Berbincang santai dengan teman sejawat
Goresan mural terpampang di sudut tembok berkombinasi dengan figura. Tepat di atas barista, berjejer LED 32 inchi menayangkan profil Tanamera lengkap dengan pengunjungnya, serta momen-momen menarik di Tanamera kota lainnya. 

Di depan barista sekaligus kasir aku memilih minuman. Sejenak mengecek daftar menu yang disediakan. Tak hanya kopi, di Tanamera juga menyediakan minuman nonkopi. Hanya saja minuman tersebut tidak sebanyak kopi. 

“Minuman yang rekomendasi apa di sini?” 

Cold Brew atau Cold White Caramel.” 
Daftar menu dan harga di Tanamera Jogja
Daftar menu dan harga di Tanamera Jogja
Aku mengangguk sebelum memutuskan mengambil Cold Brew. Mumpung teman lain belum datang, aku sempat mengeksplor sudut-sudut kedai kopi Tanamera. 

Botol-botol Cold Brew menggoda selera. Sementara di bagian atas barista tertata rapi biji kopi kemasan bertuliskan Tanamera siap dijual. Kemasan di sini berwarna merah, senada dengan warna kedai Tanamera. 

Di ruang luar, aku menunggu pesananku datang. Seorang barista muda yang tadi menyapa saat aku masuk membawa minuman pesananku. Kami berbincang sesaat, sembari meminta akses internet yang konon sangat cepat. 

Kuteguk minuman yang sudah tertuang dalam gelas kaca. Tambahan es batu membuat rasanya lebih nikmat. Bagi pecinta kopi, memang aku rekomendasikan memesan minuman ini. atau mau mencoba minum lainnya. Harga di Tanamera sudah termasuk pajak. 
Ngopi yang dingin dulu, biar hatinya adem
Ngopi yang dingin dulu, biar hatinya adem
Barista yang berbincang denganku bernama Irfan. Dia tak tanya bertugas sebagai barista, namun sekalian sebagai pramusaji. Di sini seluruh yang bekerja adalah barista merangkap pramusaji. Sedangkan yang tadi melayaniku di kasir adalah barista senior dari Jakarta bernama Satria. 

Aku tidak tahu pastinya kapan kedai Tanamera ada di Jogja, kemungkinan besar tahun 2018. Pada hari biasa, kedai ini buka mulai pukul 07.00 WIB sampai pemesanan terakhir pukul 00.00 WIB. 

Sebotol Cold Brew beserta gelas kecil dihadapanku. Kunikmati minuman dingin ini sembari menunggu teman datang. Berbeda halnya dengan suasana di dalam yang asyik. Di sini terdengar lalu-lalang kendaraan di jalan raya. 

Kulihat ke barat, tugu Jogja tampak jelas, hanya sekitar 150 meter dari tempat dudukku. Ruangan di luar ini tempat yang diperbolehkan merokok, sehingga tidak ada sekatan. Sama seperti meja di dalam, di sini meja-meja terbuat dari kayu bercorak coklat. 
Barista sekaligus kasir
Barista sekaligus kasir
Tiap meja diisi dengan empat kursi. Di dekat pintu masuk ada meja panjang untuk delapan kursi. Serta meja dengan sepasang kursi di ujung timur. Selain itu, yang membuat berbeda dengan ruang dalam tentunya di sini tidak disediakan slot listrik. 

Pemandangan lain di ruang luar adanya sepasang motor tua yang dijadikan properti. Dua motor ini diletakkan pada tempat yang berbeda. Aku mencoba akses internet dari sini. Benar kata teman, akses internetnya cepat. 

Malam makin larut, teman-teman sudah berkumpul di sini. Kumpulan ngopi tiap pekan ini menjadi terakhir sebelum lebaran. Esok pagi, sebagian dari kami sudah meninggalkan Jogja. 

Kedai yang awalnya cukup lengang menjadi ramai. Tiap meja di ruang dalam penuh, gelak tawa terdengar dari berbagai sudut. Pengunjung kedai kopi selama ramadan ramai ketika mulai agak larut malam. 

Di meja kami, minuman beragam berserakan. Secara bergantian kami mencicipi pesanan teman yang lain. Inilah asyiknya ngopi bareng-bareng, kami bisa secara bebas mencoba menu yang berbeda; lalu berusaha merasakan enak atau tidaknya minuman. Semua tergantung selera. 
Mari kita nikmati sajian di meja
Mari kita nikmati sajian di meja
Terlepas dari rasa kopi dan suasana kedai; nyatanya waktu berkumpul kami yang terhitung amat sangat sering juga menjadi perhatian beberapa orang di media sosial. Harus ditekankan, jika kami bisa berkumpul ini karena waktu luangnya sama, bukan sengaja membuat sekat. 

Pada dasarnya, jika kalian ingin gabung berkumpul ngopi bareng. Kalian harus bisa mengatur waktu kumpul bersama, datang ke lokasi, dan menikmati keseruan ngopi sembari berbincang banyak hal. Kami (tim ngopi tiap pekan) tentu suka jika ada orang-orang baru yang ikut bergabung. Jadi, kapan kalian mau gabung ngopi sama kami? 
*Tanamera Coffee Yogyakarta; Selasa, 05 Juni 2018.

Taman Glugut Bantul, Destinasi Wisata Kebun Bambu di Tepian Sungai Opak

$
0
0
Getek penyeberangan di Kali Opak, tepatnya di Taman Glugut Bantul
Getek penyeberangan di Kali Opak, tepatnya di Taman Glugut Bantul
“Kita lanjut ke Taman Glugut?” Lontar Pak Arif. 

Kami saling pandang, kemudian menyeruput teh tarik yang disajikan Mas Sany. Pagi ini sebenarnya kami hanya ingin sarapan di bubur ayam Mas Sany yang berada tidak jauh dari ringroad jalan Imogiri Barat. Berjarak 100 meter ke selatan dari ringroad, dan di kiri jalan. 

Wacananya, setelah sarapan bubur langsung pulang. Berhubung masih pagi, ide ke Taman Glugut kami realisasikan. Taman Glugut berada di Wonokromo, Pleret. Sekitar 5 KM dari tempat kami sarapan. 

Dari arah jalan Imogiri Barat, kami mengayuh sepeda menuju perempatan Jejeran. Melewati Stadion Sultan Agung, Sate Klatak, dan tepat di perempatan Jejeran, sepeda belok kanan. Sekitar 1 KM dari sana nanti masuk gang kiri di Wonokromo. 

Biarpun lokasi Wisata Edukasi Taman Glugut melewati gang, sudah ada pang petunjuk arah. Kalaupun bingung, bisa langsung tanya pada warga sekitar. Aku mengabadikan plang yang berada di tepian gang. Sebuah tulisan besar “Taman Glugut – Amazon van Bantul.” 
Spanduk bertuliskan Taman Glugut
Spanduk bertuliskan Taman Glugut
Dari ujung gang, portal terbuat dari bambu dibuat berdiri beberapa batang. Tujuannya ada sepeda motor tidak masuk ke dalam taman. Sepeda kami angkat, memarkirkan di dalam. Berdekatan dengan parkir motor, bersekat pagar bambu. 

Kami berlima langsung menyebar, mencari tempat duduk untuk sekadar santai. Empat pesepeda lainnya membiarkanku mencari gambar. Mereka tahu hobiku, memotret dan menuangkan dalam tulisan. 

Gerbang besar bertuliskan Taman Glugut menjadi tanda bahawa kami sudah ada di areanya. Awalnya aku penasaran dengan penamaan Taman Glugut, kukira awalnya tempat ini memang kampung Glugut. Ternyata aku salah besar; penamaan Glugut ini berkaitan dengan lokasinya di Kebun Bambu. 

Glugut diambil dari nama bulu bambu yang gatal jika terkena kulit. Di sini bulu bambu itu bernama Glugut, di tempat lain nama hampir mirip yakni Lugut. Informasi yang kudapat, dulunya ini adalah lahan liar kebun bambu yang tidak dirawat, kini menjadi destinasi wisata. 
Memakirkan sepeda di rerimbunan bambu
Memakirkan sepeda di rerimbunan bambu
Gazebo yang ada di Tamab Glugut Bantul
Gazebo yang ada di Tamab Glugut Bantul
Infrastruktur seperti musola, kamar mandi sudah tersedia. Ditambah banyak warung warga yang berjualan. Taman Glugut membuat geliat ekonomi warga sekitar menjadi lebih baik. gazebo-gazebo kecil tersebar, lengkap dengan kursi yang terbuat dari batang kayu. 

Taman Glugut ini dikembangkan oleh Pokdarwis. Dibangun awal 2018, kini menjelma menjadi destinasi yang digandrungi wisatawan sekitar. Setahuku tidak hanya dikelola RT II Wonokromo, tapi di seberang sungai dikelola oleh Dusun Karangwuri, Jetis, Bantul. 

Menariknya, tempat ini dikonsep seperti taman khusus anak-anak. Slogan wisata edukasi di tempat ini bukan sekadar tulisan saja. Selain wahana seperti kolam renang kecil, ATP, di sini juga ada mainan anak-anak seperti ayunan dari ban mobil serta Egrang

Anak kecil leluasa bermain. Lahan Taman Glugut luas, membuat mereka menikmati waktu senggang dengan bermain sepuasnya. Tidak ada tarif yang dibayarkan selama main ke taman, kecuali mereka ingin menjajal wahana yang berbayar. Ayunan menjadi mainan paling digandrungi anak kecil. 
Anak kecil bermainan ayunan di Taman Glugut
Anak kecil bermainan ayunan di Taman Glugut
Mencoba main Egrang, ternyata cukup susah
Mencoba main Egrang, ternyata cukup susah
Sebagian lagi, anak-anak secara bergantian main Egrang. Egrang terbuat dari bambu dipotong sepanjang satu meter, dan diberi penyanggah kaki. Mereka yang bermain rata-rata anak daerah setempat. 

Menyusuri Sungai Opak dengan Perahu 
“Selamat datang pengunjung Taman Glugut. Bagi yang ingin naik perahu bisa merapat ke tempat pembelian karcis,” Suara kencang dari pelantang suara. 

Suara kencang tersebut menarik perhatian sebagian wisatawan. Satu keluarga yang baru datang langsung berkumpul di depan sekre, mereka minat naik perahu di Kali Opak. Sosok lelaki yang tadi memberi imbauan sedikit lebih sibuk. 

Beliau adalah Pak Abdul, lelaki yang bertugas menjaga sekre sembari mengenalkan tentang Taman Glugut melalui pelantang suara. Beliau juga bertugas mendata dan menyobek kertas bagi wisatawan yang ingin naik perahu. 
Memesan tiket untuk wisata susur sungai Opak
Memesan tiket untuk wisata susur sungai Opak
Bisa jadi, Taman Glugut ini banyak yang mengunjungi karena menawarkan susur Kali Opak menggunakan perahu. Karcis susur sungai menaiki sampan sebesar Rp.5ribu/orang. Ada batas maksimalnya dalam satu perahu. Satu perahu fiberglass maksimal dinaiki 8 penumpang. 

“Selain batas penumpang, kami juga mewajibkan mereka memakai jaket pelampung, mas,” Terang Pak Abdul. 

Pihak pengelola Taman Glugut biasanya menyediakan empat perahu untuk wisatawan. Bahkan ketika liburan lebaran kemarin, mereka menyediakan lima perahu. Susur sungai ini sekitar 15 menit. Menyusuri sudut-sudut lain Kali Opak. 

Menariknya lagi, laporan dari Pak Abdul bahwa wisata susur sungai ini menjadi salah satu yang digandrungi wisatawan keluarga. Pada saat liburan, pengunjung yang menaiki sampan tembus 400 orang/hari. Padahal tidak semua wisatawan itu naik sampan. Jika dikira-kira, mungkin tiap liburan pengunjung sampai 700 wisatawan. 
Wisatawan menikmati wisata susur sungai Opak, Bantul
Wisatawan menikmati wisata susur sungai Opak, Bantul
Wisatawan menikmati wisata susur sungai Opak, Bantul
Dari data yang tertulis, liburan lebaran kemarin lebih dari 1000 orang/hari yang datang. Sedangkan di hari biasa, pengunjung yang datang berkisar antara 300an pengunjung. Data tersebut menunjukkan bahwa Taman Glugut menjadi tempat favorit baru para wisatawan. 

Selain perahu untuk wisatawan, tepat di Taman Glugut ini juga menyediakan sarana penyeberangan sungai menggunakan getek. Transportasi getek ini sering dimanfaatkan masyarakat setempat untuk menyingkat perjalanan. 

Getek ini menyambungkan antara Wonokromo dengan dusun Karangwuri. Tidak ada patokan harga sekali menyeberang. Warga setempat hanya membayar seikhlasnya. Aku melihat cukup sering getek ini berlalu-lalang menyeberangkan masyarakat setempat. 
Getek, transportasi yang digunakan masyarakat setempat untuk menyeberang sungai Opak
Getek, transportasi yang digunakan masyarakat setempat untuk menyeberang sungai Opak
Rutinitas warga juga tampak dari sini. Di sudut lain sungai terlihat warga yang menjaring ikan. Mereka berada tidak jauh dari bendungan. Di sisi sungai, aktivitas warga setempat menambang pasir menggunakan sampan terbuat dari drum. 

Para lelaki itu menggunakan galah bambu untuk mencapai tengah sungai, lalu menambang pasir dengan alat seadanya. Di tepian sungai tumpukan pasir lumayan banyak, tidak ketinggalan kumpulan warga yang sedang gantian istirahat. 
Pemuda setempat bersiap mengambil pasir
Pemuda setempat bersiap mengambil pasir
Menjelang siang, aku dan rombongan pulang. Tujuan awal hanya sarapan bubur ayam, tapi malah blusukan sampai di Taman Glugut. Menyenangkan rasanya, akhirnya di penghujung bulan juni pecah telur juga gowesnya. *Wisata Edukasi Taman Glugut Bantul, DI Yogyakarta; Sabtu, 30 Juni 2018.

Ngeblog Asyik di Culturehead Coffee Yogyakarta

$
0
0
Cold Black, minuman yang direkomendasikan kala main di Culturehead
Cold Black, minuman yang direkomendasikan kala main di Culturehead
“Sekilas mirip kedai kopi Lantai Bumi,” Celetukku kala masuk ke Culturehead Coffee di area jalan Kaliurang. 

Aku pernah singgah di kedai Lantai Bumi sewaktu bersua dengan teman bloger. Hanya saja saat itu aku sedang berpuasa, sehingga tidak sempat mencicipi kopinya. Kali ini, kami sengaja ingin berkumpul di Culturehead atas rekomendasi teman-teman ngopi tiap pekan.

Sewaktu luang, aku coba melihat postingan instagram kedua kedai kopi ini. Nyatanya di beberapa unggahan ada sosok-sosok yang sama. Bahkan ada yang mengatakan bahwa kedua kedai tersebut satu manajemen.

Tulisan berukuran sedang terpampang jelas bertuliskan “Culturehead”. Lokasinya di dekat Kopi TM, tepatnya di jalan Pandega Karya. Satu jalur jalan tersebut sudah ada tiga kedai kopi cukup besar. Malahan, ketiga kedai kopi ini lokasinya hanya sepelemparan batu.
Dinding gelap dengan cahaya lampu putih di sudut-sudut ruangan
Dinding gelap dengan cahaya lampu putih di sudut-sudut ruangan
Sekitaran UGM cukup mudah ditemukan kedai kopi. Saking banyaknya, aku sendiri baru beberapa kedai yang sempat dikunjungi. Salah satunya Antologi Coffee. Menarik rasanya melihat perkembangan kedai kopi di daerah sini.

Nuansa temaram dengan balutan tembok hitam tersaji. Sejurus aku menyapu pandangan, melihat kondisi kedai yang luas ini. Mata menyapu segala penjuru, khususnya mencari meja yang kosong. Dua kali ke sini, dengan orang sama. 

Di tiap sudut terdapat figura dengan foto yang menarik. Sudut ini cukup bagus untuk berfoto saat siang. Tak hanya memanfaatkan dua ruangan (bebas rokok dan ruang rokok). Di teras dekat pintu masuk juga didesain menjadi meja tinggi seperti meja-meja di bar. 

Aku mulai melihat menu yang ada sembari tanya minuman apa yang paling direkomendasikan oleh kedai ini. Pramusaji menyarankan aku mencicipi Cold White. Kali datang kedua aku mencoba Cold Black

Dua kali berkunjung ke Culturehead, pramusaji dan baristanya orang yang sama. Sempat kuberkenalan dengan baristanya yang bernama Yabes. Barista berbadan tanggung dengan rambut gondrong dan tato di lengannya. 

Pramusajinya sendiri perempuan. Aku tidak tahu namanya, hanya sempat tahu akun instagramnya kala melihat postingan di akun Instagram Culturehead. Keduanya juga ramah saat menyapa pengunjung. 
Seorang pengunjung sedang memesan minuman
Seorang pengunjung sedang memesan minuman 
Kedai kopi ini buka mulai pukul 08.00 WIB, pemesanan terakhir pukul 23.30 WIB. Di sini ada tiga barista dan dua pramusaji. Tata ruangan cukup baik, memanfaatkan ruang luas, Culturehead menata meja kursi di tiap sudut ruangan. 

Sebagian tempat duduknya sofa, kursi panjang, dan sebagian lagi yang berada paling depan deretan meja kayu panjang yang bisa dilengkapi enam kursi. Kali ini aku duduk di kursi kayu, niat ke sini ingin menyelesaikan artikel yang sempat tertunda. 

Ruangan yang tergabung dengan barista merupakan bebas rokok. Bagi kalian yang ingin ruangan merokok, di ruang sebelahnya. Hanya tersekat pintu kecil. Cukup luas juga ruangannya, namun lebih luas yang area bebas rokok. 

Bersantai, mengerjakan tugas, main gawai, dan menyendiri; itulah ragam pengunjung kedai kopi. Rata-rata mereka adalah kawula muda yang menghabiskan waktu bersama teman dan pasangan. Aku di sini berempat ditemani Mak Indah Juli, Aqied, dan Ardian. 
Barisan meja kursi untuk pengunjung kedai
Barisan meja kursi untuk pengunjung kedai
Layaknya kedai kopi yang mempunyai ruangan luas, di sini tiap sudut ruangan dihiasi figura. Di tempat duduk dekat barista terdapat figura menarik, pun dengan di pojokan pintu masuk kedai. Bagi para pengunjung yang suka foto diunggah di media sosial, sepertinya sudut-sudut tersebut menjadi spot favorit. 

Kusempatkan berkeliling dan memotret sudut-sudut kedai. Baluran cat hitam dengan lampu tepat di figura seakan-akan ingin menonjolkan sudut ini menarik untuk diabadikan. 

Kunjungan pertama ke sini, aku mencicipi Cold White. Rasanya terlalu manis menurut lidahku. Jika pengunjung suka dengan minuman yang manis, Cold White bisa menjadi pilihan. Rasa susunya lebih dominan. 
Tempat asyik bagi yang hanya ingin sekadar santai
Tempat asyik bagi yang hanya ingin sekadar santai
Jika ingin yang berbeda, mungkin Cold Black bisa menjadi opsi yang lain. Rasa minuman ini jauh lebih pas seleraku. Di beberapa kesempatan, aku agak menghindari minuman manis, tergantung suasananya. Semua kembali pada selera masing-masing. 

Aku paham, pengunjung kedai kopi belum tentu semua suka kopi. Pun dengan yang suka kopi, tiap orang mempunyai selera berbeda. Biarpun pesannya sama, diracik barista berbeda, rasanya juga berbeda. 

Karena tiap waktu sering kumpul ngopi bersama. Aku sedikit paham dengan selera teman kala nongkrong. Sesekali obrolan sewaktu kumpul adalah mengutarakan rasa kopi pesanan yang sama antara kedai A dan B. Pun dengan barista A dan B. Sedikit obrolan tersebut menambah wawasanku tentang kopi, barista, dan rasa. 
Sebelum dilibas habis, sempatkan memotret dulu
Sebelum dilibas habis, sempatkan memotret dulu
“Jadi apa yang kamu kerjakan?” Tanya Mak Indah Juli saat aku membuka laptop. 

“Nyicil draf artikel,” Jawabku. 

Sementara aku asyik melanjutkan tulisan artikel, Mak Indah Juli sendiri bergelut dengan berkas kertas revisi project-nya. Kami larut dengan pekerjaan masing-masing. Aqied yang datang menyusul meminjam kameraku; dia memotret minuman yang dipesannya sembari menunggu Ardian datang. 

Selain asyik melanjutkan artikel yang tertunda, aku sempatkan mengakses internetnya. Untuk sekadar berselancar, berbalas komentar blog, dan main media sosial, di sini cepat. Jika untuk mengunduh file agak terasa kurang menurutku. 
Sesekali bekerja di kedai kopi
Sesekali bekerja di kedai kopi
Kalian yang berada di sekitaran jalan Kaliurang, UGM, dan daerah dekat sana. Jika mencari tempat tongkrongan untuk bersua dengan teman, mengerjakan tugas, atau menikmati waktu sendiri bisa ke sini. 

Di kedai kopi Culturehead kami hanya beberapa jam saja. Tujuannya memang hanya berkumpul, mumpung sebelum di sini kami sedang ada acara di luar. Daripada langsung pulang, kami sempatkan untuk bersua, menyicil pekerjaan, dan tentunya melanjutkan agenda #NgopiTiapPekan. *Culturehead Coffee; Kamis, 31 Mei 2018.

Candi Umbul, Pemandian Air Hangat di Magelang

$
0
0
Pengunjung ramai berendam di Candi Umbul Magelang
Pengunjung ramai berendam di Candi Umbul Magelang
Sebuah foto kolam pemandian terlihat kala aku membuka buku dari Dinpar Kabupaten Magelang. Sepertinya tempat ini menjadi salah satu destinasi yang ada di Kabupaten Magelang. Ketika perjalanan menuju Kopeng, sempat kulontarkan pertanyaan tersebut. 

“Candi Umbul?” Tanya temanku memastikan. 

Kucari informasi tentang Candi Umbul dari gawai. Lantas kuanggukkan kepala bahwa tempat inilah yang tadi kulihat di buku. Beruntungnya, besok sebelum pulang ke Jogja, aku diantar ke tempat tersebut. 

***** 

Sepulang dari blusukan di pasar Ngablak, aku kembali ke penginapan. Waktu masih pagi, hawa dingin berembus. Satu persatu barang di penginapan kuteliti agar tidak ada yang tertinggal. Kutemui penjaga penginapan, membayar biaya inap semalam. 

Selang setengah jam, teman yang mengantarku ke Candi Umbul sudah datang. Kami berdua mengendarai motor metik menuju destinasi tersebut. Candi Umbul berada di Jalan Candi Umbul, Grabag, Kartoharjo, Grabag, Magelang. Sekitar 17 KM dari Kopeng. 

Jalan berliku, turunan tajam disertai tikungan menjadi pemandangan wajar. Kami melintasi desa Seloprojo yang dikenal dengan adanya Curug Sumuran. Candi Umbul membuat aku menyusuri jalan menuju Telomoyo. 

Rute kembali datar saat sampai di Jalan Candi Umbul, dari sini masih lebih dari 3 KM lagi perjalanan. Kami terus menyusuri jalan, sampai akhirnya di depan terlihat mobil terparkir rapi. Inilah Candi Umbul, lokasinya berhadapan dengan persawahan. 
Loket tempat pembelian tiket masuk
Loket tempat pembelian tiket masuk
“Dua orang dan satu motor. Totalnya 14.000 rupiah,” Ujar petugas loket. 

Dua tiket di tangan, aku masuk ke dalam umbul. Minggu ini, Candi Umbul ramai. Wisatawan didominasi keluarga banyak yang datang. Bisa jadi tempat ini menjadi destinasi favorit wisatawan dari Magelang dan sekitarnya. 

Area Candi Umbul lumayan luas. Di dalam terdapat jalur jalan kaki, dan pohon rindang. Tersebar tempat sampah dan gazebo. Sayangnya, biarpun sudah banyak tong berwarna biru sebagai penampung sampah, tetap saja masih banyak yang buang sembarangan. 

Sekilas tentang Candi Umbul 

Candi Umbul bukanlah bangunan menjulang tinggi seperti candi lainnya, melainkan kolam/pemandian air panas yang ada di Kabupaten Magelang. Tempat ini menjadi situs purbakala. Konon merupakan bangunan pada masa Wangsa Syailendra. 

Penamaan umbul sendiri dari kata “Mumbul”. Dalam Bahasa Jawa “Mumbul” artinya naik. Gelembung-gelembung yang naik ke permukaan. Air di kolam hangat, uniknya tidak berbau belerang. Menurut literatur, kolam ini dulunya digunakan sebagai tempat pemandian para bangsawan kerajaan. 

Gapura kokoh menjadi penanda masuk ke area pemandian. Ada dua kolam di sini, semuanya ramai oleh pengunjung. Satu kolam yang agak tinggi jauh lebih ramai dibanding kolam yang lebih rendah. Kolam lebih rendah didominasi anak-anak. 
Gapura depan pemandian Candi Umbul
Gapura depan pemandian Candi Umbul
Tumpukan batu ada di sisi kolam. Bebatuan ini tidak boleh diambil karena milik purbakala. Di belakangnya lagi, dekat pagar terdapat papan informasi yang berkaitan dengan Candi Umbul. Tulisan di papan tersebut sepertinya mengambil dari literatur di Wikipedia

Candi Umbul adalah cagar budaya yang dikelola oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah. Sehingga tiap bulan, petugas yang bertugas di sini harus memberikan laporan pada BPCB Jawa Tengah sebagai bahan laporan. 

Tiap harinya Candi Umbul dibuka tiap pukul 08.00 WIB – 17.00 WIB. Rata-rata pengunjung yang datang antara 100-an perhari. Pengunjung lebih banyak ketika hari libur dan akhir pekan. Menariknya lagi, warga setempat yang masuk tidak dipungut biaya. 
Menunggu giliran berenang di kolam
Menunggu giliran berenang di kolam
“Berarti gratis bu?” Tanyaku memastikan. 

“Kalau warga sekitar gratis mas. Kalau mau bayar ya tidak apa-apa."

Di beberapa tempat memang ada destinasi seperti candi atau tempat lainnya yang gratis, pun di Candi Umbul, mereka tidak memungut biaya bagi warga setempat. Mungkin ini juga yang membuat warga senang berbondong-bondong main air bersama anak-anaknya. 

Dua kolam pemandian tidaklah besar. Panjang kolam sekitar 10 meter dengan lebar 7 meteran. Ini hanya perkiraanku, karena memang tidak kutemukan luas tiap kolam yang ada. Sehingga ketika banyak pengunjung yang datang, kolam terlihat penuh sesak. Pun kedalamannya, kurang dari 1.5 meter. 
Kolam pemandian penuh pengunjung yang mandi
Kolam pemandian penuh pengunjung yang mandi
Pengunjung yang berlibur dan mandi terlihat asyik. Mereka tidak terganggu dengan ramainya orang di dalam kolam. Setelah puas mandi, bilas di tempat yang sudah disediakan, mereka momong anak sembari duduk di gazebo. 

Makin banyak pengunjung yang mandi membuat kolam ini cepat kotor. Pihak pengelola rutin menguras air kolam tiap hari kamis (dua minggu sekali). Bisa jadi dikuras lebih cepat jika pengunjung jauh lebih banyak dan air sudah kotor. 

Sewaktu aku berkunjung, di sini sedang ada pembangunan. Informasi dari petugas jika bangunan itu nantinya adalah toilet dan musola. Semoga bangunan tersebut cepat jadi dan bisa dimanfaatkan pengunjung umbul. 
Pemandian Candi Umbul diambil dari dekat gapura
Pemandian Candi Umbul diambil dari dekat gapura
Aku tidak ikut merendam di kolam air hangat ini. Melihat pengunjung yang ramai membuatku berubah pikiran. Sempat aku pegang airnya, lumayan hangat. Aku berkeliling, memotret Candi Umbul, dan duduk di tempat yang sudah disediakan. 

Awalnya, aku mengira tempat ini sepi dari pengunjung. Nyatanya, Candi Umbul menjadi destinasi wisata alternatif masyarakat untuk berkumpul dengan keluarga. Selain Candi Umbul, di Kabupaten Magelang mempunyai destinasi wisata alam yang tak kalah indah. *Candi Umbul Kab. Magelang; 08 Juli 2018

Kala bersantai di Kedai Planet Coffee Karimunjawa

$
0
0
Kedai Planet Coffee Karimunjawa
Kedai Planet Coffee Karimunjawa
Biasanya, tiap aku mudik Karimunjawa bakal jarang menyentuh laptop. Apalagi sampai menyicil draf yang terbengkalai. Aku larut suasana rumah. Santai tanpa melongok blog, sesekali hanya membalas email saat ada yang bertanya tentang Karimunjawa. Itu pun kalau sempat. 

Mudik kemarin berbeda. Di depan rumah sudah ada minimarket setahun lalu, sampingnya sudah dibangun kedai kopi baru. Kedai yang ditarget tepat Piala Dunia 2018 sudah jadi dan menjadi tempat tongkrongan para pecinta sepakbola. 

Bukan mustahil harapan itu ada, karena di Karimunjawa rata-rata menggunakan parabola. Ini artinya siaran piala dunia disensor. Risiko tinggal di kepulauan, tayangan sepakbola, MotoGP dan lainnya tidak bisa diakses. 

“Sebenarnya targetku sih wisatawan manca. Ke depannya aku kasih suguhan western. Tetap saja ada menu lainnya,” Terang pemilik kedai. 

Menurut pemilik kedai, target wisatawan manca ini cukup realistis. Ada banyak wisatawan luar yang berlalu-lalang mencari destinasi pantai; terkadang mereka juga butuh tempat untuk istirahat sembari makan. Di sinilah peluang tersebut ingin ditangkap. 

Di Karimunjawa sudah banyak tempat makan. Namun konsep kedai ini jarang ada. Terlebih kedai kopi ini berada di desa Kemujan, yang jaraknya kurang lebih 15KM dari pusat Karimunjawa. 
Pemuda setempat sedang menunggu tayangan Piala Dunia sembari main gawai
Pemuda setempat sedang menunggu tayangan Piala Dunia sembari main gawai
Geliat wisata di Karimunjawa membuat orang-orang di sini mempunyai banyak ide untuk membuat usaha. Chafied (pemilik kedai sekaligus minimarket) menjadikan kedai sebagai usaha keduanya. Rencananya masih ada satu usaha lagi yang sedang dibangun. 

Biarpun baru dibuka bulan Juni, Planet Coffee menjadi tempat singgahan para pemuda setempat. Di sini mereka bisa berkumpul sembari ngobrol santai dengan teman. Tangan-tangan mereka memegang gawai. Akses internet gratis menjadi incarannya. 

Jangan membayangkan layaknya kedai kopi dengan barista yang sering aku kunjungi. Kedai kopi ini konsepnya mirip dengan kedai-kedai yang ada di sekitaran Sorowajan maupun Babarsari (di Jogja). Kita dapat memesan minuman selain kopi. Malah, kopi instan yang paling laku. 

Sedari tadi aku sudah di sini. Melihat para pengunjung yang mulai banyak. Rata-rata para pemuda warga setempat. Mereka memesan minuman di dekat minimarket. Sewaktu aku di sini, kasir masih menyatu dengan minimarket. 
Suasana kedai saat ramai pengunjung
Suasana kedai saat ramai pengunjung
Urusan harga, kopi di sini cukup murah. Rata-rata pemuda setempat malah suka kopi instan atau membeli jus. Lalu mereka menuju meja kedai yang kosong, di sini mereka bersantai sampai tengah malam. Enaknya lagi tiap meja disediakan colokan listrik. 

“Kulkas di depan itu nanti aku penuhi minuman seperti Pepsi, Coca Cola, dan air mineral. Setiap bule datang, mereka pasti cari Pepsi,” Tambah Chafied. 

Bagi pemuda setempat, kopi hanyalah pelengkap saat berkumpul. Mereka lebih memerlukan akses internet gratis. Itu juga sudah dipahami pemilik kedai, jadi tidak ditarget berapa banyak pemasukan dari warga setempat. 

“Kalau mau ambil minuman, ambil saja Bang Rul. Kamu gratis selamanya,” Ujar Chafied tertawa. 

Aku tertawa kencang mendengar ujarannya. Kedai ini adalah milik saudaraku sendiri; Chafied adalah anak dari pamanku. Rumah orangtua kami juga berhadapan. Jadi dia selalu bilang kalau keluarga sendiri gratis minum. Namun, bagiku ini adalah usaha; harus disekat antara usaha dengan hubungan saudara. 
Kopi instan menjadi pilihan para pengunjung
Kopi instan menjadi pilihan para pengunjung
Di rumah, aku sebenarnya ada akses internet gratis. Ini juga karena memasang penguat sinyal dari minimarket milik Chafied. Ketika kedai kopi ini sudah dibuka, aku mempunyai tempat lain untuk nongkrong sembari ngeblog. 

Akses internetnya stabil. Tiap senggang aku duduk di meja yang strategis, sembari menikmati minuman, aku membuka blog. Terkadang membalas komentar masuk serta mengunjungi balik blog teman saat ada postingan anyar. 

Layaknya kedai di Jogja. Keriuhan para pengunjung tak terelakkan. Mereka fokus melihat layar gawai, memainkan permainan yang sedang ramai digandrungi remaja. Khusunya para pemilik gawai Android. 

Biarpun riuh, aku masih bisa menyicil draf artikel. Targetku kali ini dalam sepuluh hari di Karimunjawa harus bisa menulis 5 artikel dan menyelesaikan dua buku bacaan. Target tersebut hampir terealisasikan. 

Urusan jaringan internet di kedai ini lancar untuk sekadar main media sosial dan ngeblog. Sesekali juga aku streaming di Youtube, pun masih lancar. Jadi pelecut semangat juga di kedai untuk blogwalking seraya minum kopi. 
Membuka laptop di Planet Coffee Karimunjawa
Membuka laptop di Planet Coffee Karimunjawa
Malam makin larut, satu per satu pengunjung pulang. Aku masih mengotak-atik blog kedua yang baru setengah tahun kubuat. Mumpung waktunya sepi, ada baiknya aku mengurusi blog satu ini yang terbengkalai. 

Kembali pada kedai, Planet Coffee menjadi salah satu pelopor kedai kopi yang ada di Kemujan. Biarpun sekarang masih baru, nyatanya di beberapa kesempatan selama aku di rumah. Sudah ada beberapa wisatawan yang berkunjung, sekadar istirahat sembari memesan kopi atau makanan ringan dari minimarket sebelah. 

Mungkin kalau kalian berkunjung ke Karimunjawa dan singgah di kedai ini. Kalian bisa sekalian mampir di rumahku. Cukup lihat seberang kedai, ada rumah di sana. Itu rumah orangtuaku. Atau kalian cukup bilang “Teman Sitam”. Kode yang pastinya dipahami orang Kemujan. *Karimunjawa, Juni 2018.

Mengapa Kalian Perlu Membuat Blog? Berikut 5 Alasannya

$
0
0
Lima alasan kalian membuat blog pribadi
Lima alasan kalian membuat blog pribadi/ sumber: Pixabay
Kemajuan teknologi memudahkan manusia dalam banyak hal. Salah satunya adalah memudahkan dalam berbagi informasi. Kita dapat berbagi informasi dengan mudah karena adanya internet. 

Berbagi informasi dapat dilakukan melalui berbagai platform, dari media sosial sampai blog. Pada artikel kali ini, aku sedikit membahas mengenai pentingnya membuat blog buat kita pribadi. Sebelumnya, aku ingin bercerita. Kali pertama membuat blog pada tahun 2008, setelah itu berhenti dan lupa sandi masuk. 

Tahun 2010, aku kembali membuat blog baru. Blog yang kalian baca ini adalah wujudnya. Awalnya, blog ini kubuat hanya untuk menuangkan segala ide yang sempat tersimpan di pikiran. Lambat laun, blog ini menjadi semacam rumah yang harus aku isi setiap waktu. 

Sedikit demi sedikit tulisan di blog beragam. Mulai dari pengalaman sehari-hari, aktivitas kala berlibur, dan lainnya. Ada banyak alasan bagiku untuk membuat blog. Namun, aku kali ini menuliskan lima alasan mendasarnya. Jika menurut kalian kurang, kalian bisa menambahkannya sendiri. 

Berbagi Ilmu dan Informasi
Melalui blog kita bisa berbagi ilmu serta informasi. Keduanya kita tuangkan dalam tulisan. Misalnya, konten blog yang banyak memberikan berbagai macam informasi dari ekonomi, politik, agama, teknologi, kesehatan, sampai asmara. 

Di blogku, kalian bisa mencari informasi seputaran Jogja. Lokasi dan rute asyik untuk bersepeda akhir pekan. Atau jika kalian ingin membaca destinasi yang ada di Karimunjawa. di beberapa artikel, aku mengulas tentang Karimunjawa. 

Meningkatkan Kemampuan Menulis 
Karena konten blog kebanyakan berisi artikel, secara tidak langsung kita mengasah kemampuan menulis. Tulisan tersebut bisa tentang pengalaman pribadi (seperti yang aku tulis di blog), ataupun tulisan lainnya. Ini artinya, kita semacam dipaksa untuk terus menulis. 

Walaupun dengan alasan-alasan seperti ini, kita tetap melakukannya dengan senang hati. Menulis secara mengalir dan dimengerti pembaca. Dari sini, lambat laun tulisan kita semakin lebih baik dari sebelumnya. Dan kita secara tidak langsung sudah belajar meningkatkan kemampuan dalam menulis. 

Jika blog diisi dengan artikel yang ditulis yang semrawut, tentu pembaca akan ragu dengan kita bukan? 

Mengasah Kreativitas 
Aktivitas menulis adalah kegiatan yang menuntut sebuah ide. Kita tidak bisa sembarang menulis. Butuh waktu lama untuk menghasilkan sebuah tulisan dengan topik tertentu. Kita harus kreatif menemukan sudut pandang yang unik dan berbeda dari orang lain agar tulisan kita memiliki nilai lebih. 

Nilai lebih tersebut yang nantinya membuat pembaca mengingat tulisan-tulisan kita. Mereka juga nantinya paham bagaimana gaya penulisan kita. Dan tentunya berharap pada akhirnya mereka menjadi pembaca setia di blog kita. 

Selain menulis artikel pun kita juga bisa membuat konten blog dengan bentuk lain seperti infografis maupun video. Semakin bagus tulisan kita, informatif, tampilan grafisnya, fotonya, serta didukung video, kemungkinan pembaca betah berlama-lama mengunjungi blog tersebut 

Membantu Orang Lain 
Tiap-tiap artikel yang sudah kita tulis, terposting, dan dibaca khalayak umum, bisa jadi membantu orang lain yang membutuhkan. Semisal aku menulis tentang perjalanan dari Jogja ke Karimunjawa. Pada tulisan aku cantumkan transportasinya, rute, dan kisaran harganya. Tentu hal ini dapat membantu bagi mereka yang ingin berlibur ke Karimunjawa

Tulisan kita yang mungkin hanya menceritakan pengalaman kala menyambangi destinasi tersebut bisa jadi referensi orang lain yang ingin menuju ke destinasi yang sama di lain waktu. Mereka sedikit terbantu dengan ulasan-ulasan yang kita tulis di blog tersebut. 

Menghasilkan Uang 
Blog bisa menghasilkan uang? Iya, kita bisa menghasilkan uang dari blog. Tapi tentu saja kita tidak langsung menghasilkan uang dengan cepat setelah membuat blog. Kita perlu membangun blog tersebut dengan konsisten mengunggah konten berkualitas yang bisa mendatangkan banyak pengunjung. 

Setelah mendatangkan banyak pengunjung, kita bisa mendapatkan uang dari iklan AdSense Google. Selain dari iklan, kita juga bisa mendapatkan uang dari endorse produk. Tinggal kita ingin yang mana. Pada dasarnya keduanya sama. Sama-sama butuh proses yang panjang untuk sampai ditahap ini. 

***** 

Menjadi blogger dapat dilakukan oleh siapa saja, asal memiliki tekad dan kemauan yang kuat. Kamu bisa membuat blog dengan topik travel, fashion, lifestyle, ekonomi, ataupun otomotif. Kini untuk menjadi blogger pun lebih mudah dibandingkan satu dekade lalu. Tersedia banyak platform blog yang memungkinkan orang awam untuk membuat blog seperti Blogspot dan WordPress. 

Hanya saja, ketika sudah semangat membuat blog, kita harus bisa komitmen dari awal. Jangan sampai nantinya blog hanya memposting satu tulisan, dan melupakannya dalam waktu yang panjang. Hingga nantinya kita sampai lupa apa email maupun kata sandinya. 

Jika blog kamu sudah konsisten dalam memposting tulisan. Banyak tulisan informatif, dan mendatangkan banyak visitor, atau banyak tulisan yang viral. Biasanya layanan blog gratis seperti Blogspot dan WordPress tidak mampu menampung trafik, kamu bisa memindahkan hostingnya ke self hosting. 

Penyedia hosting ada banyak, kalian tinggal memilih mana yang menurut kalian bagus. Jika aku disuruh merekomendasikan teman dalam memilih penyedia hosting, aku sarankan kalian menggunakan shared hosting dari Niagahoster. 
Tampilan website Niagahoster
Tampilan website Niagahoster

Niagahoster adalah penyedia hosting Indonesia terbaik yang sudah beroperasi sejak tahun 2013. Selain itu, kalau kamu beli hosting di Niagahoster, kamu juga akan mendapatkan domain gratis selamanya. Jadi kamu bisa punya blog dengan domain sendiri. Menarik bukan?

Mungkin bagi kalian yang sudah mempunyai blog, banyak pengunjung karena tulisan viral tulisannya sehingga mendadak blog tidak bisa diakses. Atau bagi kalian yang bimbang memilih mana penyedia hosting yang mumpuni, silakan coba buka Niagahoster. Siapa tahu kalian tertarik dengan penawaran yang mereka ajukan.

Menyusuri Jalan Kampung Heritage Karangturi Lasem

$
0
0
Gapura Kelenteng Poo An Bio, Lasem
Gapura Kelenteng Poo An Bio, Lasem
Usai menyantap Soto di dekat Masjid Jami Lasem, aku singgah di minimarket yang berada di dekat masjid. Di sini aku duduk terdiam, masuk dan membeli minuman dan roti. Lalu kembali duduk di kursi yang tersedia. 

Agenda di Lawang Ombo masih lama, sekitar pukul 09.00 WIB. Sementara sekarang masih pukul 06.45 WIB. Aku mencoba membuka aplikasi peta, siapa tahu bisa berjalan menyusuri sudut Lasem yang katanya penuh dengan wisata heritage. 

Kuketik kata kunci “Kelenteng Lasem”. Tidak butuh waktu lama, beberapa kelenteng tertandai. Bahkan salah satunya dekat dengan tempatku duduk. Aku bergegas mencari Kampung Heritage Karangturi yang jaraknya hanya beberapa ratus meter. 

Sebuah gapura menjulang tinggi tepat di jalan kecil masuk bertuliskan “Kampoeng Herigate Karangturi” berwarna kuning dengan kombinasi merah bagian sudutnya. Atasnya berbentuk atap rumah. 
Memasuki kawasan Kampung Heritage Karangturi
Memasuki kawasan Kampung Heritage Karangturi
Di bawahnya bertuliskan “Anno 1800”. Ini menandakan daerah sini banyak bangunan pecinan yang dibangun antara tahun 1800an. Aku makin bersemangat menapaki kaki menyusuri jalan kecil sendirian. 

Kususuri jalan tersebut sembari melihat rute tertera di peta gawai. Aku sempat berhenti dan menyapa bapak-bapak yang menurunkan kayu bakar dari atas mobil bak terbuka. Begitu aku tanya kelenteng Poo An Bio, beliau menunjukkan arah jalan. 

“Mas ikuti jalan ini mentok, nanti belok kanan. Kelentengnya di kiri jalan.” 

Bapak yang aku tanyai bernama Pak Sugiyarto. Beliau menuturkan jika awalnya kelenteng tersebut dibangun di tepi jalan, tepat dekat gapura. Namun terus dipindah ke dalam. Sayangnya beliau tidak berkenan kala ingin kupotret. 

Setiap sisi jalan lebih banyak tembok menjulang tinggi dengan warna kusam. Seperti yang aku bayangkan, bangunan di sini berbentuk pecinan. Tiap pintu maupun bangunan rasanya sayang dilewatkan. Ingin memotret seluruhnya. 

Tiap bangunan sisi kiri dan kanan benar-benar menggoda untuk diabadikan. Kali ini di samping kiriku adalah Pos Kamling. Pos Kamling ini berbentuk bangunan kombinasi Tionghoa dan Muslim. Bangunan ini mencolok dengan warna merah – kuning keemasan. 
Bangunan poskamling di sisi jalan kampung Karangturi, Lasem
Bangunan poskamling di sisi jalan kampung Karangturi, Lasem
Lokasi pos kamling tepat di bertigaan. Tidak ada orang di sana, sebuah plang pondok pesantren Kauman terpasang di sampingnya. Dari tempatku berdiri, terdengar suarah riuh. Bisa jadi suara tersebut dari santri-santriwati yang ada di pondok pesantren. 

Mataku terus menatap tiap jendela dan pintu berarsitektur Tionghoa. Jika dicermati, di beberapa pintu atau jendela terdapat keterangannya. Seperti yang sempat kubaca, jendela warna merah marum kusam di atasnya bertuliskan Koo Tjong Ling. 

Menyusuri jalan kampung heritage kala pagi menyenangkan. Ada banyak aktivitas warga yang terekam olehku. Para warga yang berlalu-lalang naik kendaraan bermesin ataupun sepeda. Sepasang penjual sayuran terekam olehku, mereka menunggu pemilik rumah keluar membeli sayuran. 
Para penjual sayuran menunggu pembeli di depan rumah warga
Para penjual sayuran menunggu pembeli di depan rumah warga
Obrolan menggunakan Bahasa Jawa terdengar. Seorang perempuan tua keluar dari pintu, beliau membeli beberapa ikat sayuran. Tidak lama obrolannya, usai membayar, langsung masuk. Bisa jadi ini adalah pelanggan setia yang tiap hari beli sayuran. 

“Mau ke mana mas?” Tanya ibu yang berjualan sayuran naik sepeda. 

“Ke kelenteng bu,” Jawabku sembari mengalungkan kamera. 

“Pertigaan itu belok kiri.” 

Aku mengangguk tersenyum sembari mengucap terima kasih. Mungkin beliau melihat aku sedari tadi memegang gawai melihat petunjuk arah. Jalan di kampung Karangturi ada beberapa pertigaan. Sedangkan plang kelenteng ada tepat di dekat pertigaan akhir. 

Jalan aspal berlubang berganti lebih kecil. Kuturuti jalur belok kiri, sesekali menyapa warga yang berada di depan rumah. Mereka ada yang sedang mencuci mobil, ada juga bersantai di teras rumah. 

Langkah kakiku berhenti di depan bangunan usang. Awalnya aku kira ini adalah kelenteng Poo An Bio yang kutuju. Kubaca tulisannya berbeda, ini adalah Vihara Maha Karuna atau Gedung Perdamaian. Jangan-jangan aku salah jalur. 
Vihara Maha Karuna
Vihara Maha Karuna
“Kelentengnya di sampingnya itu mas. Yang ada gerbangnya,” Ujar bapak yang mencuci mobil di tepian jalan. 

“Matur nuwun pak. Ini tidak sengaja baca tulisan Vihara,” Jawabku mencari alasan. 

Kutinggalkan Vihara Maha Karuna yang catnya mulai pudar. Pagar besi di depan separoh terbuka. Kuambil beberapa gambar, lalu melangkah ke arah kelenteng. 

Lokasi Vihara dan Kelenteng memang bersampingan. Aku tidak lantas masuk, mengabadikan gapura kelenteng dari seberang jalan. Untungnya seberang jalan tanah lapangnya luas. Sehingga aku bisa leluasa memotret. 

Sepasang patung singa kuning keemasan menjaga di tiap sisi gerbang luar. Di dalam juga terdapat patung Singa. Tampak dari luar, sisi kanan sebuah pohon jambu air menjulang tinggi. Aku tidak serta-merta masuk karena sepi. 
Kelenteng Poo An Bio Lasem
Kelenteng Poo An Bio Lasem
Terdengar obrolan ibu – bapak yang berada di dalam area kelenteng. Awalnya aku mengira beliau di dalam kelenteng, tapi ternyata tidak. Mereka berdua berada di rumah yang lokasinya di dalam area kelenteng. Aku masuk menuju kedua orang tua tersebut meminta izin memotret. 

“Dari luar saja ya mas. Tidak ada orang yang jaga,” Kata bapaknya. 

“Baik pak. Saya hanya memotret dari luar saja,” Jawabku meyakinkan. 

Berhubung aku jalan sendiri, tidak ada pemandu. Jadi yang kulakukan sebatas memotret dan melihat saja. Rasa penasaran tentang sejarah kelenteng kutangguhkan. Biasanya sudah banyak literasi yang menulis tentang kelenteng tersebut. 

Bangunan luar kelenteng dipenuhi lukisan. Hanya ada satu pintu akses masuk ke dalam, aku melongok dari luar. Di dalam merupakan tempat beribadat. Sekali lagi, biarpun bapak yang mengizinkanku tidak melihat aktivitasku. Aku tetap harus di luar, menangguhkan keinginan melihat isi dalamnya. 
Bangunan Kelenteng Poo An Bio dari halaman depan
Bangunan Kelenteng Poo An Bio dari halaman depan
Sisi lain kelenteng Poo An Bio
Sisi lain kelenteng Poo An Bio
Sekilas dari luar terlihat bagian dalam, ada sepasang patung naga serta tempat berdoa. Konon kelenteng Poo An Bio ini dibangun pada tahun 1740. Kelenteng ini merupakan tempat menyembah Kwee Sing Ong; dewa pengaman dari bencana. 

Ada banyak rasa penasaran melihat jauh lebih dalam. Aku harus menangguhkan keinginanku. Sejenak mata menyapu bagian gerbang. Sepertinya gerbang ini baru dipugar catnya. Tiap sisi terdapat angka 06.01.2002. Bisa jadi angka tersebut merupakan keterangan pemugarannya. 

Aku kembali duduk di bawah pohon jambu air sembari melihat hasil foto yang kuabadikan. Kurasa sudah cukup banyak stok foto, bergegas aku menemui dua orang tua yang ada di teras rumah. Mereka masih menikmati sarapan pagi. 

“Pak, Bu, matur nuwun nggeh,” Ucapku kembali. 

“Inggih mas,” Balas keduanya. 

Bergegas aku menyusuri jalan tadi. Kali ini arahnya menuju jalan besar. Perjalanan (jalan kaki) ini kulanjutkan menuju Lawang Ombo atau Rumah Candu yang berada tidak jauh dari tempatku ini. *Kelenteng Poo An Bio; Sabtu 18 November 2017.

Karena Kopi Kita Setara, Sejumput Cerita dari Barista Inklusif

$
0
0
Deretan gelas plastik bertuliskan Cupable Coffee
Deretan gelas plastik bertuliskan Cupable Coffee
Mendung menggelayut di angkasa. Mentari agak malu-malu menampakkan wujudnya. Aku bergegas mengayuh pedal sepeda menuju Pusat Rehabilitasi YAKKUM yang berada di Jalan Kaliurang KM 13,5. Jaraknya lumayan jauh dari pusat kota Jogja. 

Jalan Kaliurang bagiku bukanlah rute baru. Sedari dulu, aku sering melintasi jalanan ini kala berkumpul di warung makan tempat para pesepeda. Biasanya aku ke tempat itu tiap akhir pekan. Sesampai di YAKKUM, tenda sudah terpasang, empat orang lelaki sibuk menata kursi. 

Bergegas aku membantu, seingatku mereka yang menata kursi adalah Mas Arka, Pak Yuli, Mas Rohmat, dan satunya aku lupa namanya. Sembari mengangkat kursi untuk acara ngobrol santai, aku meminta izin nanti menggunakan kamar mandi untuk mengganti pakaian. Nantinya, aku mengikuti ngobrol santai berkaitan dengan Barista Inklusif. 

***** 

Cupable Coffee, kedai kopi ini berada satu gedung dengan YAKKUM. Kedai yang baru dibangun 1.5 tahun lalu cukup menjanjikan. Seiring menyesap kopi menjadi bagian dari gaya hidup, kafe ini cukup banyak yang datang, di antaranya para mahasiswa UII. Kedai ini pula tempat melatih delapan barista inklusif. 
Barista Inklusif meracik kopi di teras Cupable Coffe
Barista Inklusif meracik kopi di teras Cupable Coffe
“Selain itu juga pengunjung YAKKUM sering pesan di sini mas,” Terang Mas Arka. 

Mas Arka salah satu dari empat barista yang meracik kopi di Cupable Coffee. Beliau berbincang lumayan lama denganku. Aku juga sempat mengelilingi area dalam kedai. Tempatnya agak kecil, namun tetap asyik untuk nongkrong. 

Waktu merangkat cepat, arloji di tangan menunjukkan pukul 08.30 WIB. Tiap orang sibuk menyiapkan perlengkapan untuk diskusi. Delapan banner dipajang lengkap dengan foto para barista inklusif. Para barista tersebut adalah Mas Eko, Mas Ade, Pak Yuli, Mas Rohmad, Mas Jefri, Mas Salman, Mbak Indah, dan Mbak Kuswinda. 

Aku mendekati Mas Eko, salah satu barista inklusif yang memajang banner-nya sendiri. Sembari menata banner-nya, aku menyempatkan berbincang lebih dulu. Beliau menceritakan dari awal sampai akhirnya menjadi barista. 

Berawal dari iseng, Mas Eko mulai mendalami kopi atas bantuan owner Cupable Coffee dan YAKKUM. Beliau bekerja sebagai resepsionis di Yayasan Rehabilitasi YAKKUM. Dimulai dari suka menyesap kopi, akhirnya menjadi peracik kopi. 
Mas Eko, salah satu barista inklusif memasang banner di dekat panggung
Mas Eko, salah satu barista inklusif memasang banner di dekat panggung
Kesempatan awal meracik kopi dengan metode V60. Cukup canggung dan repot ketika harus beradaptasi dengan peralatan yang ada. Penuh ketekunan dan kegigihan, akhirnya beliau sekarang bisa lihai dalam meracik kopi. Ketika ikut pelatihan barista, beliau dimentori Mas Gilang. 

“Saya pernah membuat latte, tapi jadinya malah terang bulan,” Ujar Mas Eko saat kegiatan ngobrol santai. 

Menurutnya sebuah proses panjang baginya untuk membuktikan bahwa mereka (difabel) bisa melakukan hal-hal yang dianggap tidak bisa bagi manusia normal. Mas Eko beserta tujuh temannya lain membuktikan kalau tidak ada yang mustahil. 

Harapan beliau ke depan agar ilmu yang didapatkan selama pelatihan bermanfaat. Jika diberi kesempatan, dia ingin mempraktekkan ilmunya di kedai lain, mempunyai kenalan, dan tentunya dapat bekerja sebagai barista. 

“Sekarang saya bisa merasakan bagaimana aroma dari berbagai biji kopi,” Celetuknya sembari tersenyum. 

Pengalaman serupa juga dituturkan barista inklusif lainnya. Seperti Pak Yuli, beliau mengenakan kaki palsu untuk berjalan. Sepanjang acara berlangsung, beliau aktiv menyajikan hasil racikan kopi teman barista lainnya ke meja. 

“Pokoknya semangat mas,” Ujar beliau sumringah. 

Di samping Pak Yuli, seorang pemuda menggunakan kursi roda fokus melihat teman yang meracik kopi. Dia tidak memegang peralatan barista, namun tetap berada di antara barista lain. Sesekali berbincang santai. 
Pak Yuli dan Mas Ade (kaos merah) antusias melihat kompetisi meracik kopi
Pak Yuli dan Mas Ade (kaos merah di atas kursi roda) antusias melihat kompetisi meracik kopi
Mas Ade namanya, pemuda yang berasal dari Brebes ini menceritakan pengalaman kala menjadi barista. Kesulitan demi kesulitan mulai terkikis, sehingga dia bisa dengan cekatan menyajikan kopi. 

“Paling kesulitan saya adalah tempatnya mas. Untuk muter-muter dan meja cenderung tinggi tidak ergonomis.” 

Dibantu kursi roda, Mas Ade memang agak kesulitan dengan urusan tempat. Kali ini dia sudah bisa meracik kopi dengan tempat dan tinggi meja yang disesuaikan. Seperti halnya yang lainnya, Mas Ade mempunyai cita-cita bekerja di kedai kopi. 

“Syukur-syukur kalau punya kedai sendiri di Jogja, mas.” Ucapnya dengan yakin. 

***** 

Menjelang pukul 10.00 WIB, kursi di depan panggung sudah ramai. Agenda ngobrol santai dimulai. Pemantik obrolan kali ini dipegang Mas Gilang dengan dengan tamu undangan Bernard Batubara dan Frischa Aswarini, ditemani Ranie Ayu Hapsari (Project Manager Program Peduli) dan Mas Eko (Barista Inklusif). 

Bernard maupun Frischa merupakan dua sosok yang kegiatannya tidak jauh-jauh dengan kopi. Bernard yang dikenal penulis kali ini mulai menggeluti dunia kopi sebagai penyeduh rumahan, dan Frischa merupakan salah satu penulis ide film tentang kopi. 
Ngobrol santai tentang Barista Inklusif
Ngobrol santai tentang Barista Inklusif
Pada postingan Instagramnya, Bernard mengatakan bahwa dia percaya kopi adalah sarana yang tepat untuk menciptakan inklusi sosial, sebab kopi tidak pernah mendiskriminasi. Kopi adalah simbol keberagaman, menyatukan banyak orang yang berbeda selera dan pemikiran. 

Pun dengan Frischa, dengan penuh yakin dia berkata “Dari kopi, kita bisa menyuarakan hal-hal yang tersampingkan.” 

Obrolan seru ini tak hanya menceritakan tentang karena kopi kita setara, namun juga mengenalkan apa itu Program Peduli. Program yang memfasilitasi para barista inklusif untuk belajar meracik kopi. 

Selayang Pandang tentang Program Peduli
Tidak banyak informasi yang kudapatkan tentang Program Peduli. Ketika Ibu Ranie Ayu sedikit menceritakan tentang program ini, aku mencoba mengingat-ingat sedikit informasinya. Program Peduli mendapatkan dana dari Australia Goverment dengan tujuan memberdayakan para disabilitas. 

Di YAKKUM, program ini sudah berjalan seperti adanya pemberdayaan menjahit maupun keterampilan lainnya. Rata-rata program tersebut yang minat orang tua. Ketika target utamanya adalah kawula muda, kopi menjadi pangsa pasarnya. Terlebih kopi digandrungi kawula muda. 

Program Peduli fokus pada mereka yang disabilitas maupun minoritas. Program yang dilaksanakan adalah mencetak barista, pelatihan tersebut selama satu bulan di Cupable Coffee. Mencetak barista dari keterbatasan yang menurut orang lain mereka tidak bisa apa-apa. Delapan barista ini dilatih meracik kopi, menyajikan sambil mengirimkan pesan tersirat tentang inklusi sosial. 
Halaman depan website Program Peduli
Halaman depan website programpeduli.org
Selain tehnik penyajian kopi, delapan barsita inklusif ini juga diberikan progam perencanaan bisnis. Perencanaan bisnis ini masing-masing barista harus sudah mempunyai rencana ke depan mau seperti apa. Tujuannya agar setelah pelatihan selesai, mereka sudah memiliki ide untuk melakukan hal yang lain. 

Dari pihak Program Peduli sendiri mengajarkan mereka jika nantinya ingin membuka kedai kopi, mereka harus tahu alur mencari biji kopi dari mana. Atau ketika mereka berkecimpung di dunia pemasaran, mereka harus paham strategi promosinya seperti apa. 

“Sedikit kedai kopi yang mempunyai fasilitas untuk disabilitas. Jarang ada yang peka untuk fasilitas tersebut. Padahal kita ingin ke tempat itu,” Tandas Ibu Ranie Ayu Hapsari setelah menceritakan pengalaman mengangkat kursi roda bersama-sama di salah satu kedai kopi. 

***** 

Gelaran yang sejatinya sampai pukul 14.00 WIB ini menarik perhatian banyak pengunjung. Teman-teman dari komunitas kopi maupun warga setempat. Silih berganti para barista meracik kopi di teras kedai. Bahkan, temanku; salah satu bloger juga sempat unjuk kebolehan membuat kopi. 

Para barista inklusif bergantian menyeduh kopi. Mereka berbaur, berbincang, dan berkenalan dengan para pengunjung. Berawal dari biji kopi yang diracik barista, tiap pengunjung mendapatkan banyak hal. 
Seorang Barista menuangkan kopi pada pengunjung
Seorang Barista menuangkan kopi pada pengunjung
Puluhan gelas tertata rapi, tiap gelas dituang kopi. Aku berbaur dengan bloger lain saling menyesap kopi. Menikmati seteguk kopi dari racikan barsita inklusif. Pada gelas ini bertuliskan “Barista Inklusif; karena kopi kita setara.” 

Diakhir acara, digelar Fun Battle meracik kopi. Semua barsita inklusi tampil melawan teman-teman dari komunitas kopi yang hadir. Meskipun ini hanya Fun Battle, tetap saja penilaiannya dilakukan oleh orang-orang yang berkecimpung di dunia kopi. 
Kompetisi meracik kopi di Cupable Coffee
Kompetisi meracik kopi di Cupable Coffee
Rangkaian acara yang bagus, dan beruntung aku ada tempat ini. Mendengar cerita teman barista inklusi kala berjuang, melihat kelihaiannya saat meracik kopi, serta menikmati sesapan kopi yang disajikan. Dan tentunya, ikut mendoakan tiap harapannya agar tercapai. 

Percayalah, momen-momen seperti ini yang diharapkan para Barista Inklusif. Mereka berjuang dengan hebat untuk membuktikan bahwa mereka mampu melakukan hal-hal yang dianggap mustahil sebagian orang. Secercah harapan itu mulai terlihat ketika para barista di Jogja menjadi mentor serta Program Peduli yang mendukung semuanya. *Yayasan Rehabilitasi YAKKUM Yogyakarta; Minggu, 29 Juli 2018.

Bangunan Tua di Komplek Pelindo Cilacap

$
0
0
Bangunan Tua di Komplek Pelindo Cilacap
Bangunan Tua di Komplek Pelindo Cilacap
Sebelum meninggalkan Cilacap pukul 14.00 WIB, aku mulai mengemasi barang-barang di kamar sembari menunggu teman yang akan mengantarkanku sampai ke stasiun Kota Cilacap. Tidak kusangka, tiba-tiba ada pesan whatsapp masuk. 

“Mas ada waktu luang tidak? Kita kopdar sebentar.” 

Segera kubalas kalau bisa. Ternyata teman yang mengirim pesan sudah ada di lobi hotel. Aku bergegas turun menemui beliau. Di sini aku bertemu dengan Mas Ari, pemilik blog arikus. Beliau bloger Cilacap. 

Berawal dari saling komentar di blog, akhirnya kami bisa kopdar. Kami berbincang di teras Grand Whiz Hotel. Sesekali memamerkan foto selama di pulau. Lucu ya, masa memamerkan foto pulau Nusakambangan ke orang Cilacap. 

“Suka sama bangunan tua toh? Ayo saya ajak ke banguan tua di sekitar Komplek Pelindo.” 

Ajakan yang menggiurkan. Biarpun aku tidak punya wawasan luas tentang bangunan tua, sekadar suka memotret bangunan tersebut tanpa menelusuri sejarahnya. Entah kenapa tiap ada ajakan ke bangunan tua, aku antusias. 
Bangunan yang sama dari sudut berbeda
Bangunan yang sama dari sudut berbeda
Bermodalkan kendaraan roda dua, Mas Ari mengajak mengelilingi sudut Cilacap yang luput kudatangi. Motor diarahkan ke arah pelabuhan Teluk Intan, dan menyusuri jalanan cukup lengang. 

Memasuki Kawasan Komplek Pelindo, jalan terhalang portal. Dinaikkan portal tersebut, dan kami menuju sudut lain dekat lahan terbengkalai. Di depanku bangunan besar menjulang tinggi. Tanpa ada atap, dan bekas jendela-jendela sebesar pintu. 

“Bangunan ini hits loh mas. Remaja di sini banyak yang foto dan diunggah ke Instagram.” 

Sama halnya di setiap wilayah, sekalinya ada bangunan seperti ini pasti mengundang para wisatawan untuk datang, mengabadikan, unggah di media sosial. Tapi, tempat ini sepertinya hanya dikunjungi para remaja setempat saja. 

Selain kami berdua, ternyata ada tiga remaja (satu cewek, dua cowok) yang menenteng kamera dengan lensa fix. Mereka menyapa kami sembari meminta izin untuk foto di sekitaran tembok kusam. Untuk sementara aku dan Mas Ari menuju sudut yang lain, membiarkan mereka leluasa memotret. 

Sekilas bangunan ini seperti segi empat. Bekas bangunan dua lantai, di lantai dua terdapat enam jendela besar, sementara sisi lainnya ada tiga jendela/pintu. Entah ini bekas perkantoran atau semacam gudang peninggalan Belanda. 

Selain pintu tertutup rapat, ada juga di sudut arah jalan sebuah jendela kecil. Kayu-kayu jendela masih kokoh dimakan waktu. Sesekali burung datang dan pergi silih berganti. Tak ada niat ingin tahu area dalam. Aku cukup memandang dari luar. 
Semacam ventilasi udara
Semacam ventilasi udara
Bangunan ini lumayan luas, bahkan menjulang tinggi. Aku berusaha mengitari bangunannya. Di belakang terdapat bekas sumur tua. Sumur ini tertutup oleh tembok setinggi satu meter dan sudah tidak berfungsi. 

Kali ini aku terus mengabadikan dulu. Nantinya, sepulang dari Cilacap aku akan mencari tahu tentang bangunan ini. Mulai dari menelusurinya di literatur-literatur yang ada, atau bertanya pada orang yang menurutku paham dengan sejarah Cilacap. 

Bangunan tua ini bekas perkantoran atau gudang?
Terbesit rasa penasaran ingin tahu sejarah bangunan tua ini. Hanya saja, keterbatasan literatur membuat aku kebingungan. Aku hanya bisa menyimpulkan bahwa Cilacap mempunyai banyak peninggalan tua yang patut dipelihara. 

Sepulang dari Cilacap, aku mengunggah satu foto bangunan tersebut dengan menandai salah satu akun twitter yang sering membahas tentang bangunan peninggalan di Cilacap. Akun twitter beliau adalah @Soyosae

Kurangkum informasi yang kudapatkan dari beliau. Sedikit informasi ini mungkin berguna. Biarpun minim literatur, setidaknya ada potensi bahwa bangunan ini bisa sedikit teridentifikasi. ya, meskipun tulisanku ini jauh dari kesempurnaan. 

Diterangkan oleh Mas Soyosae bahwa di kompleks pelabuhan memang banyak bangunan tua. Bangunan yang aku abadikan ini adalah bekas gudang. Pada masa lampau Cilacap menjadi tempat Gudang untuk mengekspor gula dan kelapa. Pasokannya dari Jogja dan Wonosobo. 

Kereta api yang melintasi Kawasan bangunan tua ini adalah Serajoedal Stoomtram Maatschappij (SDS) dan Staatsspoorwegen (SS). Selaras dengan artikel yang pernah kutulis tentang Stasiun Lama Maguwo beberapa waktu silam, saat aku ikut kelas heritage di Jogja. 
Jalur rel kereta api tepat di samping bangunan tua
Jalur rel kereta api tepat di samping bangunan tua
Sebelum Staatsspoorwegen (SS) membangun rel di Cilacap tahun 1884, ekspor dan impor barang melalui perdagangan di sekitar sungai Kaliyasa karena lokasinya aman dari gelombang. Untuk kapal besar tetap sandar di Donan, Sleko. 

Ketika jalur rel kereta api memasuki Cilacap, bangunan pergudangan berkembang di Donan. Kini menjadi Kawasan Tanjung Intan. Lokasi yang sampai sekarang tetap ramai. 

Sampai sekarang tetap ada rel kereta api yang melintang di sisi bangunan. Aku sempat melongok dan mengabadikan rel tersebut. Sekarang rel ini sudah tidak berfungsi lagi. Malah digunakan para remaja untuk berfoto. 

Sembari menerangkan, Mas Soyosae menyertakan beberapa foto bangunan tersebut. Sebuah foto pada tahun 1925 tampak bangunan di atas masih utuh dengan warna cat putih. Serta beberapa lokomotif atau gerbong yang berada di jalur rel kereta api. 
Foto bangunan lama (cat putih) saat masih utuh/ Screenshot twitter @soyosae
Foto bangunan lama (cat putih) saat masih utuh/ Screenshot twitter @soyosae
Disisipkan pada keterangan foto bahwa bangunan ini adalah gudang dan rusak pada tahun 1942 sampai pada Agresi Militer Belanda I pada tahun 1947. Di sekitar Tanjung Intan pada tahun 1910 sudah ramai digunakan orang Eropa untuk berkumpul, seperti pesta. 

Kita tidak pernah tahu ke depannya, siapa tahu masa mendatang bangunan-bangunan seperti ini menjadi daya tarik para pecinta wisata heritage. Para pecinta sejarah yang ingin mengulik kehidupan masa lampau. Sejatinya sejarah adalah sesuatu yang nyata, hanya saja kita terbatas dalam menelusurinya. *Cilacap; Sabtu, 17 Februari 2018. 
*Referensi tambahan: Informasi tweet dari @Soyosae. Terima kasih atas bantuan informasinya dalam mengidentifikasi bangunan di sekitaran Komplek Pelindo Cilacap.

Mampir di Kedai Kene Coffee House Jogja

$
0
0
Pesanan di Kene Coffee House Jogja
Pesanan di Kene Coffee House Jogja
Ada kalanya sedang suntuk di kamar kos yang membuat aku harus mencari tempat lain menulis blog. Agenda rutin #NgopiTiapPekan malah menjadi ajang berbincang, jarang sekali kami fokus menulis artikel masing-masing. 

Melihat postingan Aqied adanya kedai baru di daerah Condongcatur, tepatnya di belakang Togamas Gejayan. Aku tertarik datang dan berniat menulis beberapa artikel di tempat tersebut. Sejenak aku mencari tepat lokasinya, lantas memesan ojek online. 

Masih pagi, tepatnya pukul 10.00 WIB, aku sudah sampai di kedai. Halamannya luas, dan sekilas dari luar mirip seperti Antologi Space. Tulisan Kene Coffee House terpampang di sudut. Dinding kedai kaca transparan. 

Alamat Kene Coffee di Jl. Kaliwaru Raya No.84, Condongcatur. Tepatnya di belakang Hartono Mall. Dari daerah kosku tidak jauh, hanya berkisar 3-4KM. Tidak perlu juga melintasi jalan Gejayan yang terkenal ramai, cukup menyusuri jalan gang-gang kecil. 

Aku suka melihat desain kedai ini. Ada dua ruangan, bebas rokok dan area rokok. Setiap sudut ruangan terdapat banyak bunga yang dipajang. Tempatnya tidak membuat bosan, aku berkeliling area kedai sebelum masuk. 
Bagian luar kedai, jalan samping menuju ke dalam ruangan
Bagian luar kedai, jalan samping menuju ke dalam ruangan
Tepat di arah pintu disediakan kursi dan meja kecil. Aku mendorong pintu, di kedai hanya ada dua barista. Ternyata aku menjadi pengunjung pertama. Sebelum memesan minuman, aku mencari tempat duduk yang ada di pojokan. 

Di dalam ruangan, tatanan meja dan kursi beragam. Hanya ada satu sofa, selebihnya kursi kayu. Tempat ini dikonsep untuk nongkrong. Selain itu juga asyik untuk coworking space

“Silakan mas. Sebelum pukul 11 siang, kami ada potongan khusus 15%,” Terang barista menyapaku. 

Kene Coffee House dibuka pada bulan Maret 2018. Selama beberapa waktu ini masih ada potongan 15% ketika memesan minuman sebelum pukul 11.00 WIB. Aku melihat daftar menu yang tersedia. Selain kopi, ada juga minuman nonkopi (teh dan coklat). 
Suasana di dalam kedai Kene Coffee Jogja kala pagi
Suasana di dalam kedai Kene Coffee Jogja kala pagi
Dikarenakan kedai ini baru buka, pengunjung tidak tentu. Terkadang ramainya saat siang, sore, atau malam. Kene Coffee buka sejak pukul 10.00 WIB, dan melayani pesanan terakhir pukul 23.30 WIB. 

Ada banyak pilihan biji kopi. Kupilih kopi dan meminta dibuat dengan metode V60. Harga minuman di sini dimulai dari 16 ribu rupiah sampai 29 ribu rupiah. Harga yang sesuai dengan kedai kopi lainnya. 

Pagi ini ada dua barista yang bekerja, perempuan dan laki-laki. Pesananku sendiri diracik barista laki-laki, sementara yang perempuan sibuk di bagian belakang. Untuk sesaat, di kedai ini pengunjungnya hanya lima orang. Aku dan seorang laki-laki lain di dalam, dan tiga orang perempuan di luar. 
Daftar menu dan harga di Kene Coffee House
Daftar menu dan harga di Kene Coffee House
Total barista ada eman orang. Di sini tidak ada pramusaji, semua pesanan nantinya diambil sendiri oleh pemesan. Aku menunggu pesanan sembari membuka laptop. Berharap di sini bisa lebih produktif. Minimal ada yang bisa dikerjakan. 

Sebagai kedai baru, pengunjung yang sering datang ke sini awalnya teman-teman para barista. Berlanjut mahasiswa yang mengerjakan tugas dan mencari tempat baru untuk nongkrong. Menjelang siang, mulai terlihat keramaian kedainya. 

“Pengunjung ramainya tidak tentu mas. Kadang siang, kadang sore, dan kadang malam hari ramainya,”Terang Barista. 

Agaknya kurang beruntung aku hari ini. Niat awal ingin menuntaskan artikel sembari mencari bahan referensi dengan berselancar internet. Sayangnya akses internet bermasalah. Sempat aku lihat barista mereset ulang router yang ada di atas pojok. Tetap saja koneksi terputus. 

Sedikit putus asa rasanya ketika niat berselancar gagal, jadi kutangguhkan berselancar. Aku habiskan waktu di sana benar-benar menikmati seruputan kopi. Sesekali mendengar keluhan pengunjung lain terkait internet. 
Pesanan kopi sedang dibuat barista
Pesanan kopi sedang dibuat barista
Percaya atau tidak, aku di sini malah sempat tertidur. Bangun-bangun sudah cukup ramai pengunjungnya dan sudah memasuki waktu duhur. 

“Ada musola? Saya mau salat,” Ujarku. 

“Silakan wudu dulu mas, kami siapkan tempatnya.” 

Aku berwudu di kamar mandi, dan kembali menuju barista. Disiapkan sebuah kamar tepat di belakang barista untuk salat. Di sana sudah tersedia sajadah, sarung, dan mukena. 

Selesai salat, aku mengemasi barang bawan dan memesan ojek online. Sembari menunggu ojek online, aku berbincang santai dengan barista laki-laki yang sedang merokok di ruangan luar. Beliau berasal dari Semarang, dan tahu kedai Moment Coffee di Semarang yang waktu itu sedang ramai. 

“Kalau di sini nggak pas buat bicara bisnis mas. Enaknya ya buat ngobrol santai dengan teman,” Celetuknya. 
Gagal berselancar mencari bahan tulisan, tinggal ngopi saja
Gagal berselancar mencari bahan tulisan, tinggal ngopi saja
Aku mengiyakan. Memang tempat ini lebih asyik buat sekadar bersantai. Yang aku tahu, dia tertawa sewaktu aku terbangun. Mungkin dia heran ada juga yang sempat tertidur di kedai kopi. 

Terlepas dari masalah jaringan internet yang rusak waktu aku kunjungi, tempat ini cukup bagus dan menarik dikunjungi bagi orang yang ingin mencari tempat bersantai di sekitaran Gejayan. Jika ke sini, boleh lah aku dicolek buat ikut gabung ngopi. *Kene Coffee House, Sabtu; 12 Mei 2018.

Geliat Pengunjung di Destinasi Wisata Grand Maerakaca

$
0
0
Jembatan Mangrove Grand Maerakaca Semarang
Jembatan Mangrove Grand Maerakaca Semarang
“Mau ke mana pak?” Seorang aparat menghadang laju kendaraan ojek yang kunaiki. 

Bergegas bapak ojek online turun, beliau menjelaskan jika nyasar. Lokasi Grand Maerakaca sudah kami lewati, hanya saja aku maupun pengendara ojek online tidak paham. Jadi motor melaju ke tempat pembangunan tepat di jembatan. 

Sembari memutar kembali, bapak ini meminta maaf padaku karena tidak hapal lokasi Grand Maerakaca. Sebelumnya, aku memesan ojek online dari Kawasan Terminal Terboyo menuju Grand Maerakaca. Destinasi wisata yang mulai menggeliat dikunjungi wisatawan. 

Motor berhenti di plang tulisan Grand Maerakaca. Seraya mengucapkan terima kasih, aku melangkah masuk. Petugas di depan sudah menunggu calon pengunjung. Seingatku, masuk ke Grand Maerakaca membayar 20.000 rupiah. Di belakang, mobil, bus, dan kendaraan roda dua antre masuk. 

Kususuri jalanan menuju gerbang Grand Maerakaca. Sisi kanan dimanfaatkan sebagai area parkir. Melewati jembatan kecil, di depan tulisan besar “Grand Maerakaca; Taman Mini Jawa Tengah.” Tulisan tersebut menjadi titik kumpul para wisatawan berfoto. 
Berfoto di depan tulisan Grand Maerakaca
Berfoto di depan tulisan Grand Maerakaca
“Mas tiketnya bisa kami periksa?” Dua orang berjaga di posko kecil. 

Aku kira sudah tidak ada lagi pemeriksaan. Bergegas aku ambil tiket dan menyerahkan pada petugas. Sejenak perjalananku tertahan, beberapa menit kemudian beliau mempersilakan aku melanjutkan perjalanan. 

Grand Maerakaca merupakan perubahan nama dari Puri Maerakaca. Lokasinya tidak jauh dari pantai Marina di Kawasan Tawang Mas Semarang. Taman ini diresmikan oleh Gubernur pada tahun 1980an. Tempat ini mendapatkan julukan Taman Mini Jawa Tengah karena dilengkapi bangunan khas dari tiap kabupaten di Jawa Tengah. 

Tidak hanya adanya anjungan dari tiap kabupaten di Jawa Tengah. Miniatur destinasi wisata andalan Jawa Tengah juga tidak luput dibuat untuk ajang pengenalan pada wisatawan. Pun dengan wahana, ada banyak wahana wisata yang ditawarkan, sehingga para wisatawan bisa memilih yang diinginkan. 

Di setiap anjungan sudah ramai orang yang berkunjung. Tidak hapal semua tempat yang kulewati, sekilas kubaca Boyolali, Klaten, Wonogiri dan kabupaten lainnya. Sampai akhirnya aku di depan miniatur Menara Kudus
Miniatur Menara Kudus
Miniatur Menara Kudus
Tempat ini menjadi titik swafoto pengunjung. Mereka memanfaatkan bangunan tembok yang memang bagus sebagai latar foto. Aku harus bersabar untuk memotret tempat ini saat lengang. Keramaian akhir pekan terasa di Grand Maerakaca. 

Grand Maerakaca kembali menjadi destinasi wisata populer di Jawa Tengah setelah kehadian media sosial yang mempromosikan berkali-kali. Sebelumnya, tempat ini sedikit terlupakan. Kalaupun ada pengunjung, tidak lebih mereka anak-anak sekolah yang studi banding. 

Media sosial memang dapat menghidupkan kembali tempat yang awalnya senyap. Faktor spot foto bagus menjadi hal yang paling mutlak. Selain itu, kawula muda yang tidak bisa terlepas dari media sosial menjadi faktor kunci lainnya. 

Aku berdiri di gapura yang tidak asing bagiku. Gapura yang mirip di Jepara. Di balik gapura terdapat rumah joglo penuh pernak-pernik berkaitan dengan Jepara. Tentu tidak ketinggalan Kain Troso dan kerajinan Monel. 
Gerbang di miniatur rumah Jepara
Gerbang di miniatur rumah Jepara
“Monggo main ke rumah Jepara. Ada banyak yang bisa dilihat,” Suara kencang dari dalam joglo. 

Rombongan yang lewat menyempatkan singgah. Sebagian lagi berfoto di rumah Joglo. Di depan, tepatnya di gapura juga sudah ada kawula muda yang mengabadikan diri berlatarkan gapura. Aku masuk ke dalam joglo, gantian dengan rombongan yang sedari tadi foto di depannya. 

Tujuanku kali ini adalah berkunjung ke spot favorit para kawula muda. Spot foto yang berada di jembatan mangrove. Foto-foto ini menyebar di media sosial dan membuat Grand Maerakaca menjadi “hidup” kembali. 

Plang tulisan mangrove tertanam di seberang rumah Joglo Jepara. Menariknya tulisan yang di plang adalah Mangrove Karimunjawa. Apa mungkin penulisan nama Mangrove Karimunjawa tersebut hanya kiasan saja. Atau memang menyematkan kata tersebut agar pengunjung tahu jika di Karimunjawa ada destinasi wisata mangrove-nya. 

Jalan setapak menyeruak di antara rimbunnya Bakau yang menjulang tinggi. Di dalam ternyata sudah ramai. Jalan kecil ini mengantarku pda jembatan bambu. Pengunjung yang meniti jalan di jembatan ramai. 
Swafoto di Jembatan Mangrove Grand Maerakaca
Swafoto di Jembatan Mangrove Grand Maerakaca
Demi melampiaskan rasa penasaran, aku berbaur dengan para pengunjung yang berjalan di mangrove. Tidak sedikit dari mereka duduk di tepian jembatan sembari berfoto. Bagi yang berjalan di jembatan harus hati-hati, karena banyak orang yang sekadar duduk dan swafoto. 

Wahana lain yang mungkin bisa dijajal adalah naik perahu. Berkali-kali aku melihat perahu berlalu-lalang daria rah mangrove. Pengelola memanfaatkan mangrove sebagai tempat rekreasi naik perahu. 

Hilir-mudik pengunjung naik perahu di depanku. Mereka menikmati waktu akhir pekan bersama keluarga maupun orang terdekat. Ukuran sampan beragam. Ada yang hanya kecil dan menampung dua orang, atau yang besar untuk satu keluarga. 

Aliran air yang tenang membuat para pengunjung tidak takut mendayung sampan. Aku tidak tahu kedalaman air di sini. Sepengelihatanku belum ada sampan yang kandas. Bagi yang bareng keluarga, bisa coba naik sampan atau yang berbentuk semacam bebek. 
Wahana lain yang bisa dicoba adalah main perahu
Wahana lain yang bisa dicoba adalah main perahu
Dari mangrove kutuju lokasi lainnya. Jalur di Grand Maerakaca menyambungkan tiap tempat. Ada banyak tempat makan yang tersedia. Kita bisa duduk santai di kursi sembari melihat pengunjung lain yang berlalu-lalang. 

Hampir dua jam aku di sini. Bergegas aku keluar menuju jalur yang sama. Di area luar, para penjual cinderamata berjejeran. Mereka menjajakan barang dagangannya. Aku rehat sejenak, melepas lelah setelah memutari area Grand Marekaca. 

Tenaga sudah pulih, aku berjalan keluar mencari tempat makan. Angkringan di pojok jalan menarik perhatianku. Di angkringan, aku melahap dua nasi bungkus beserta lauk. Setelah itu langsung memesan ojek online menuju pusat Kota Semarang. Di sana, aku sudah berencana ke kedai kopi bareng Mbak Devi dan Mbak Olip. *Grand Maerakaca; Sabtu, 17 Maret 2018.

Cahaya Temaram di Sudut Kedai Sellie Coffee

$
0
0
Kedai Sellie Coffee Jogja kala malam hari
Kedai Sellie Coffee Jogja kala malam hari
Selama agenda rutin ngopi tiap pekan berlangsung, jarang kami mengunjungi kedai kopi yang berada di Kawasan Prawirotaman dan sekitarnya. Rata-rata kami tinggal di bagian utara, sehingga lokasi paling strategis di sekitaran kota. 

“Jadi kita lanjut ke Sellie Coffee? Kan dekat dengan Limasan 514.” 

Aku dan teman bloger lainnya sebenarnya sedang asyik di Penginapan Limasan 514 milik mbak Bulan di Prawirotaman. Di sini kami sempat buka bersama, lanjut ngobrol santai. Jika kalian mau mencari penginapan di Prawirotaman, silakan cari penginapan Limasan 514 buat menginap. 

Dari diskusi singkat, akhirnya kami pilih kedai Sellie Coffee. Kedai yang ternyata sudah sangat populer buat kawula muda karena pernah dipakai untuk syuting film AADC II. Kemana saja aku ini, setahuku kedai kopi yang dipakai syuting hanya Klinik Kopi. 

“Dekat dari sini kok. Hanya di jalan setelah ini,” Terang Ardian. 

Rombongan yang di Limasan 514 bubar. Sebagian pulang, dan sisanya lanjut menuju Sellie Coffee. Alamat kedai ini di NG 3 / 822, Jl. Gerilya, RT.039/RW.010, Brontokusuman, Mergangsan. Hanya beberapa ratus meter saja dari Prawirotaman. 

Kupikir Sellie Coffee ini luas dan bangunannya modern. Nyatanya tidak seperti yang aku bayangkan. Kedai ini cukup kecil dengan tampilan sederhana. Di dalam sudah ramai pengunjung, kami masuk mencari tempat duduk yang kosong. 
Pengunjung menikmati waktunya di kedai
Pengunjung menikmati waktunya di kedai
Tampilan ruangan cukup sederhana. Meja kursi tertata tiap petakan kosong. Ruangan terbagi menjadi dua, tempat kasir berada di belakang. Aku duduk di ruang yang besar. Di sini ada 8 meja dikelilingi kursi. Ruang satunya sekitar 6 meja. 

“Selamat malam mas. Minuman apa yang dipesan?” 

Aku sedikit bingung menjawab. Bergegas aku melihat daftar menu yang tersedia sembari meminta waktu sejenak. Kubawa daftar menu ke meja, mencatat pesanan teman yang lain. Kertas daftar menu bagian ujungnya mulai mengelupas dimakan waktu. 

Jika tadi aku kaget bangunannya sederhana. Pun dengan harga minuman di sini. Aku mengira harga kopi di sini berkisar di atas 20000 rupiah, ternyata salah besar. Harga kopi di sini berkisar 13000 rupiah sampai 15000 rupiah. Murah! 

Selain kopi, di sini juga menyediakan minuman nonkopi. Malah lebih beragam minuman nonkopinya. Oya sampai lupa, camilan di sini selain murah juga enak. Bahkan kami sempat memesan lebih dari 5 porsi camilan. 
Daftar harga dan menu di kedai Sellie Coffee
Daftar harga dan menu di kedai Sellie Coffee
Catatan sudah di tangan, aku menuju kasir memberikan daftar pesanan. Kali ini yang bertugas meracik kopi bernama Mbak Diah. Dia dibantu dua orang lainnya melayani pesanan. Kedai Sellie ini sudah ada sejak tujuh tahun lalu dan buka mulai pukul 18.00 WIB, dan melayani pemesanan terakhir pukul 23.30 WIB. 

Berbagai macam jenis biji kopi ditampilkan depan kasir. Sempat kubaca biji kopi Suroloyo, Kintamani, Toraja, dan Sumbing. Di daftar menu juga tersedia tulisan “Luwak 20 ribu rupiah”. Bisa jadi di sana juga menyediakan kopi Luwak. 

Malam belum begitu larut, pengunjung kedai kopi sudah padat. Setiap sudut rasanya penuh. Tawa canda terdengar dari berbagai sudut. Jika dilihat dari pengunjungnya, mereka rata-rata wisatawan. Bisa jadi mereka berjalan dari arah Prawirotaman. 

Sedari tadi aku bilang bangunan ini sederhana, tidak menawarkan spot foto yang menarik difoto bagi pecinta media sosial. Tapi konsep itulah yang menarik perhatianku. Jika banyak kedai kopi menawarkan tempat menarik, di sini malah apa adanya. 
Mbak Diah ditemani temannya melayani pengunjung kedai kopi
Mbak Diah ditemani temannya melayani pengunjung kedai kopi
Lantai tidak dilapisi keramik, hanya ubin biasa. Meja dan kursi dari kayu dengan kaki-kaki besi. Colokan hanya ada di bagian sudut tertentu. Meja permanen panjang menyatu dengan meja kasir. 

Dinding kombinasi bata dengan bilah bambu yang dipotong dan dijejerkan. Bilah bambu berwarna cokelat tersebut menjadi dinding bangunan. Di sebagian tempat malah ditambahi dengan anyaman bambu dengan cat warna putih. 

Melongok bagian atas bangunan, langit-langit bangunan juga anyaman bambu dikombinasi dengan kain putih sebagai penutup. Pencahayaan di kedai ini temaram, jadi kalau untuk bersantai saja cukup bagus. Kalau untuk membaca buku aku rasa kurang terang. 

Di luar, tepatnya di depan kedai menjadi lahan parkir kendaraan. Di setiap sudut dinding diberi figura. Berbagai figura foto yang terpasang di dinding anyaman bambu berbalur cat putih menjadi serasa hidup dan terang. 

Bagi orang yang senang nongkrong di kedai kopi dengan pencahayaan temaram serta tidak merasa terganggu dengan hiruk-pikuk pengunjung yang lain, mungkin tempat ini cocok. Hanya saja kalian harus bisa mencari tempat duduk yang ada colokan listriknya. 
Pengunjung larut dalam obrolan bersama teman-temannya
Pengunjung larut dalam obrolan bersama teman-temannya
Kedai Sellie Coffee tidak buka tiap hari, hari senin kedai ini tutup. Dan pada hari tertentu tempat ini juga ada perfom akustik dari band-band lokal. 

Kedai ini dari dulu memang sudah dikenal para wisatawan, lokasi dekat dengan Prawirotaman menjadi nilai tersendiri, biarpun di jalan Prawirotaman juga ada kedai kopi. Ditambah booming-nya film AADC II juga berpengaruh ke sini. Banyak orang yang iseng mengikuti jelajah tempat-tempat yang pernah dipakai syuting film tersebut. 

Terlepas dari kenyamanannya, ada sedikit yang membuatku heran. Di kedai ini musisi jalanan masuk dan bernyanyi, rata-rata satu rombongan dua orang atau lebih. Mereka bernyanyi sembari berkeliling dengan kotak uang. Ini mengingatkanku kedai-kedai kopi di sekitaran Sorowajan dan Selokan Mataram. 

Lebih tiga jam kami berbincang di sini. Bersantai dengan teman sembari menikmati hidangan. Setelah itu kami membubarkan diri dan merencanakan berkumpul di lain waktu serta di tempat yang berbeda. 

Jika kalian menginap di sekitaran Prawirotaman dan butuh tempat untuk menghabiskan waktu sembari bersenda gurau dengan teman. Mungkin Sellie Coffee bisa dijadikan tempat untuk berkumpul dengan teman. *Sellie Coffee; Jumat, 01 Juni 2018.

Menjajal Camping Ceria di Taman Wisata Alam Posong

$
0
0
Pengalaman camping di wisata alam Posong
Pengalaman camping di wisata alam Posong
Ajakan camping di dataran tinggi Posong membuatku bersemangat. Bersama Charis, aku mengendarai motor menuju Temanggung. Perjalanan dari Jogja sedikit tersendat, tepat di Artos Mall Magelang, ban belakang motor bocor. Aku harus berjalan kaki sampai RSU Tidar, jarak tempuh sekitar 2.4 KM. 

Sebelum menuju Posong, kami singgah di Pendopo Kabupaten Temanggung. Di sini Mas Tafta dan rombongan menanti kami. Perjalanan malam berlanjut menuju Posong mengendarai mobil. Aku pernah ke Posong pertengahan tahun 2016, kala itu bareng Charis dan teman kuliah lainnya. 

Tengah malam kami baru sampai di Posong. Kurun waktu dua tahun, Posong bersolek. Di atas sudah ada taman bertuliskan Posong, lengkap dengan camping ground. Enam buah dome terpasang, siap diinapi. 

Larut malam, udara di Posong menusuk tajam. Kueratkan jaket tebal yang melekat di badan. Kami satu rombongan berkumpul menikmati hangatnya api unggun sembari membakar jagung dan bernyanyi. 
Suasana kala malam hari di Posong
Suasana kala malam hari di Posong
Malam terasa panjang, biarpun di dalam tenda sudah mengenakan jaket dan selimut, rasanya aku tetap kedinginan. Ada yang penasaran isi dalam tenda? Dua buah bantal, Kasur kecil, tidak lupa lampu dan colokan listrik. Seperti di dalam kamar penginapan. 

Aku menggeliat, suara ramai terdengar. Dinihari di Posong sudah banyak orang yang berkunjung. Mereka berkumpul tepat di pelataran bertuliskan Posong. Aku tahu, tujuan mereka ke sini untuk melihat sunrise. Sayang, kabut menggelayuti Posong, keindahan sunrise tak dapat dilihat. 

Taman Posong ini dibangun sejak desember 2016. Lahan luas ini disulap dalam waktu tiga bulan. Pemilik taman Posong yang atas bernama Pak Triyanto. Nanti siang kami bertemu dengan beliau saat Kopi Trip

Sejak pagi yang menemani kami di sini adalah Pak Yamidi. Beliau menceritakan perkembangan di taman Posong dan paket camping yang semalam kami inapi. Paket camping ini dapat kita pesan dengan harga 150.000 rupiah. Paket minimal harus 10 orang. 

Fasilitas yang didapatkan antara lain kasur, tenda, bantal, toilet dan lainnya. Jika hanya menyewa tenda dan kamar mandi, pengelola membandrol harga 80.000 rupiah. Sedangkan kalau hanya menyewa lahan berkemah membayar 60.000 rupiah. Kita juga bisa menikmati api unggun dengan tambahan pembayaran 50.000 rupiah. 
Masih pagi dan dingin, malas beranjak dari tenda
Masih pagi dan dingin, malas beranjak dari tenda
“Kalau misalnya tidak pilih camping pak? Apa ada penginapan?” Tanyaku sewaktu berbincang dengan pak Yamidi. 

“Bisa mas. Nanti kita inapkan di homestay. Semua tergantung permintaan wisatawan.” 

Pak Yamidi mengajak kami berkeliling area Taman Posong. Kami menjauh dari keramaian pengunjung yang berkumpul di berbagai titik swafoto. Melintasi pagar, kami menuju bagian tebing. Lahan luas masih kosong serta baru selesai dibajak. 

Pemandangan menarik dari sini, lansekap Posong yang tahun lalu aku lihat penuh hamparan Tembakau kali ini berbeda. Petakan tanah masih kosong, di tengah-tengahnya ternyata sudah ada bibit pohon kopi. Sepertinya bakal ada lahan kopi di sini. 

Sembari mencabut rumput liar yang ada di sekitaran bibit pohon kopi, pak Yamidi bercerita jika nantinya beliau bersama pak Triyanto dan masyarakat lain ingin menjadikan lahan kosong ini menjadi kebun kopi. Kopi Posong, tentu kalian tidak asing lagi dengan sebutan tersebut.
Jejeran tenda yang kami inapi semalam
Jejeran tenda yang kami inapi semalam
***** 

Sejumput Cerita Asal Muasal Penamaan Posong dan Kopi Posong 
Selesai berkunjung ke lahan yang nantinya akan dijadikan kebun kopi, kami mendengarkan cerita berkaitan dengan sejarah Posong. Pak Yamidi antusias menceritakan sejarah tersebut, pun dengan asal kopi yang ditanam satu lahan dengan Tembakau. 

Penamaan Posong sendiri sudah ada sejak masa Gerilya Jenderal Sudirman. Cerita versi pertama mengatakan bahwa nama “Posong” berasal dari kata “Pos Kosong”. Saat itu Belanda menyerang, dan yang diserang adalah Pos Kosong. 

Versi lain dituturkan bahwa Posong berasal dari kata “Pos Gosong”. Ketika penjajah menyerang pos, lalu pos tersebut dibakar sampai ludes. “Gosong” sendiri dalam Bahasa Jawa sendiri artinya hangus. 

Dua versi cerita ini dituturkan oleh Pak Yamidi. Aku seksama mendengar cerita beliau sembari menikmati pisang goreng. Tak hanya bercerita tentang sejarah nama Posong. Beliau juga menceritakan perihal Posong dikenal sebagai tempat wisatawan dan juga pembibitan kopi pertama di sini. 
Pak Yamidi di lahan kopi area Posong
Pak Yamidi di lahan kopi area Posong
Posong dikenal dengan keindahan sunrise-nya pada tahun 2009. Saat itu seorang warga mengajak wisawatan manca untuk melihat sunrise di sana. Melihat keindahan sunrise, wisatawan manca menyebutkan bahwa tempat ini layak dijadikan destinasi wisata. 

Melihat peluang Posong bisa dijadikan destinasi wisata, sekelompok pemuda beserta instansi terkait berbenah. Saat berbenah, Posong ditinjau bupati Temanggung (Pak Hasyim Affandi). Beliau mengatakan tempat ini adalah Surga di sekitar Gunung Sindoro. Tahun 2011 dibuatlah gazebo dan kamar mandi. Tahun berikutnya Posong mulai terlihat lengkap infrastrukturnya. 

Sejak itu hingga sekarang, Posong menjadi destinasi wisata favorit para pecinta mentari terbit. Tiap pagi selalu banyak pengunjung yang datang, pun dengan pagi ini. Berbondong-bondong wisawatan berdatangan menikmati waktu pagi di Posong. 

Merebaknya lahan kopi di Tlahab sendiri awalnya dari penelitian tahun 1998 – 2000 yang diuji di lereng Gunung Sumbing. Para peneliti berasal dari UGM dan Prancis. Hasil penelitian kala itu menunjukkan tempat ini rawan longsor. 
Menilik sudut lain di Posong
Menilik sudut lain di Posong
Sempat ada wacana Tlahab, khususnya daerah Posong ditanami pohon Nangka. Hanya saja dibatalkan karena takut justru kurang baik dengan kontur tanah yang rawan longsor. Tahun 1999, komunitas kopi memberi tawaran untuk ditanam. 14 orang merintis tumbuhan kopi. Setahun berselang bantuan bibit kopi sejumlah 50.000 diambil dari Jember. 

Awalnya sempat ada penolakan dari petani setempat. Tlahab terkenal dengan Tembakaunya sejak dulu. Terbesit pikiran nantinya lahan Tembakau bakal tergusur dengan Kopi. Ketakutan warga sampai tahun 2001, saat itu ada tambahan bibit kopi sebanyak 150.000 bibit. 

Ketakutan lain bukan karena beralihnya Tembakau ke Kopi. Sebagian juga belum berani menanam kopi dengan alasan tidak ada prospek bagus dengan Kopi. Berbeda dengan Tembakau yang sejak dulu sudah menghasilkan. 

Adanya bibit Kopi dan Tembakau di satu tempat membuat terjadi gesekan. Bahkan menjadi memanas karena ada pihak yang memelintir berita dengan mengabarkan jika Kopi terus ditanam nantinya Tembakau akan hilang. Padahal sebelum ada kopi, petani menanam Kacang Merah satu lahan dengan Tembakau. 
Taman Wisata Posong menjelang pagi hari
Taman Wisata Posong menjelang pagi hari
Lambat laun ketakutan warga menghilang. Mereka mulai menerima Kopi ditanam. Pola Tlahab menjadi idola. Pola Tlahab adalah menanam Tembakau dan Kopi dalam satu tempat. Berkat Pola Tlahab ini pula kopi di Sindoro – Sumbing mempunyai citarasa unik. Kopi di sini beraroma Tembakau. 

Sekarang, Kawasan Tlahab (termasuk Posong) masyarakatnya mulai menggeliat dalam produksi kopi. Tingkat ekonomi masyarakat menjadi lebih baik. Dan tentunya Posong tidak lagi dikenal sebagai destinasi wisata dan penghasil Tembakau saja. Kali ini ditambah dengan penghasil Kopi. 

***** 

Aku menepi, duduk di salah satu kursi yang tersedia. Melihat geliat pengunjung Posong yang mulai ramai. Hampir setiap titik swafoto dipenuhi wisatawan. Mereka silih berganti mengabadikan diri. 

Gunung Sindoro yang menjadi latar pada tulisan Posong tertutup kabut. Pun dengan Gunung Sumbing, mereka kompak hilang dari pemandangan. Hawa dingin masih terasa, udara bersih pun bisa dihirup sepuasnya. 

Layaknya destinasi wisata lainnya yang menonjolkan titik-titik berfoto. Gardu pandang terbuat dari bambu menjadi incaran wisatawan. Plang bertulis maksimal 20 orang menjadi aturan yang harus dipatuhi. Keriuhan mereka membuatku yakin bahwa Posong benar-benar sudah terkenal. 

Jika semalam hanya rombongan kami yang ada di sini. Pagi ini sudah ratusan orang datang. Bahkan aku sampai bingung di mana rombonganku berada. Mereka sepertinya berpencar. Ada yang mengambil video, ada juga yang duduk menikmati suasana dingin. 
Gazebo-gazebo kecil yang bisa digunakan pengunjung untuk istirahat
Gazebo-gazebo kecil yang bisa digunakan pengunjung untuk istirahat
Dari atas, aku melihat tenda yang berbaris menjadi spot alternatif pengunjung. Mereka jadikan dome tersebut sebagai properti foto. Rasanya aku pernah melakukan hal yang sama sewaktu menginap di Embung Banjaroya

Lahan taman Posong yang di atas sekitar tiga hektare. Di sekeliling tersebar tempat foto menarik. Mulai dari spot love, jembatan kecil, gardu pandang, sampai dengan gazebo yang berjejeran. Destinasi seperti ini sedang digandrungi hampir semua tempat. Semoga tetap dirawat. 

“Tolong aku difoto!!” Teriak Charis dari kejauhan. 

Aku bergegas menghidupkan kamera, membidik Charis dari kejauhan. Sepertinya dia sedang pamer tas barunya yang dibeli beberapa waktu lalu. 

Tak terasa sudah lumayan lama aku menikmati suasana pagi di Posong. Menyempatkan bagaimana rasa menginap di daerah ketinggian, serta berbaur dengan orang-orang baru. Kami segera bergegas mengemasi barang. Masih ada agenda yang harus diselesaikan. 
Rombongan yang mengajakku bergabung di kegiatan Kopi Trip Posong
Rombongan yang mengajakku bergabung di kegiatan Kopi Trip Posong
Pagi ini, kami masih ditemani Pak Yamini melihat kebun kopi, melihat pengolahannya, hingga penyajian kopi. Nantinya apa yang kami kerjakan ini menjadi sebuah paket baru di Posong dengan nama Kopi Trip. 

Terima kasih untuk semua; spesial untuk Charis, Mas Tafta, Pak Yamidi, Pak Triyanto, dan semua rombongan yang sudah mengajakku berkunjung ke Posong. Di sini, aku tidak hanya menikmati pemandangannya, namun ada banyak ilmu baru yang kudapatkan. Tentunya yang paling penting adalah mendapatkan teman baru. *Posong; 21 – 22 April 2018.

Bersama Kawan di Kedai Stereos Coffee Jogja

$
0
0
Mural yang ada di dinding Stereos Coffee Jogja
Mural yang ada di dinding Stereos Coffee Jogja
Aku pernah tersesat di gang daerah Pogung, waktu itu sengaja bersepeda sore. Di dalam gang, aku kebingungan. Semacam labirin, akhirnya tersesat sampai halaman rumah warga. Jalan buntu. Sampai sekarang, daerah Pogung yang menjadi patokanku adalah jalan Pandega Marta. Jalan yang menghubungkan dari Ringroad (Jl. Padjajaran) menuju Jalan Monjali. 

Rutinitas #NgopiTiapPekan kembali berjalan. Selepas lebaran, kumpul ngopi bareng sedikit jarang. Teman-teman mulai sibuk dengan aktivitasnya. Biasanya kami tidak kumpul lengkap, kadang malah sendiri-sendiri. 

“Kita coba Stereos Coffee saja. Daerah Pogung.” 

Kami sepakat kumpul di Stereos Coffee. Kedai kopi ini berada di Jl. Pandega Marta No.29, Caturtunggal. Lokasi yang dekat dari tempat kerjaku. Namun kami ke sini selepas magrib. Aku sendiri tidak mengayuh sepeda, kali ini memanfaatkan transportasi daring. 

Cukup gampang mencari Stereos Coffee, selain plang besar ada di sudut kanan jalan. Tempat ini juga satu lokasi dengan Martabak Pandega & Dimsum Mbledos. Kuliner satu ini cukup terkenal di Kawasan Pogung. 

Kesan pertama sampai di Stereos Coffee adalah tempat ini sangat luas. Teras depan dijadikan tempat terbuka dengan meja dan kursi tinggi mirip di bar. Balutan kayu berwana cokelat tua berpadu dengan lantai keramik putih serta tembok yang tidak dilabur. 
Teras depan, tempat favorit nongkrong
Teras depan, tempat favorit nongkrong
Seluruh dinding lebih banyak menggunakan kaca. Tembok semen dari dasar tingginya kurang dari satu meter. Kaca-kaca bersekat membuat bagian nuansa transparan. 

“Selamat malam mas, minuman apa yang mau dipesan?” 

Seorang perempuan pramusaji menyapa saat berada di dekat meja kasir. Aku menjawab jika nanti memesannya. Kuhampiri Aqied yang sudah ada di sofa ujung ruangan. Dia sudah datang lebih dulu. 
Pengunjung kedai kopi yang antri memesan minuman
Pengunjung kedai kopi yang antri memesan minuman
“Kamu pesan apa, Qied?” 

“Gayo Wine.” 

Ini artinya aku harus memesan minuman yang lain. Seperti di kedai-kedai sebelumnya, rata-rata kami memesan minuman yang berbeda. Jika ingin menyicipi, tinggal ambil sekali seduh pesanan teman. 

Kembali aku mengantre di meja kasir. Aku ingin mencicipi Americano. Biarpun sedikit flu, tapi tetap memesan yang dingin. Sembari memesan, aku meminta izin memotret daftar menu. 

Stereos Coffee merupakan kedai kopi baru di area Pogung. Kedai ini mulai ada sekitar empat bulan yang lalu. Di bagian depan terpampang jam buka mulai pukul 12.00 WIB, sementara pesanan terakhir dilayani pukul 23.30 WIB. 
Daftar menu dan harga di Stereos Coffee Jogja
Daftar menu dan harga di Stereos Coffee Jogja
Di sini ada empat barista yang bekerja, ditemani dengan seorang pramusaji. Salah satu barista yang ada di sini bernama Mas Damar. Beliau ternyata sudah kenal dengan Aqied. Mas Damar kenal dengan Aqied kala beliau masih menjadi barista di Dongeng Kopi. 

Ini artinya, keduanya juga satu mitra dengan Mas Lukas yang sekarang menjadi barista di Rumah Lama Kopi. Kami berbincang agak lama, terlebih kami sama-sama penggemar Liverpool. Malam ini, beliau mengenakan kaos Liverpool, pun denganku yang mengenakan kaos The Reds Jepara. 

“Jadi ini mau diulas di blog?” Celetuk Mas Damar sembari tertawa. 

Kami tertawa bareng, celetukan tersebut terlontar saat Aqied bilang jika aku tiap sepuluh hari sekali memposting tulisan yang berkaitan dengan kedai kopi. 
Barsita Stereos Coffee sedang meracik kopi
Barsita Stereos Coffee sedang meracik kopi
Sembari menunggu pesanan datang, aku memotret sudut-sudut ruangan kedai kopi. Ruangan di dalam tak kalah luas. Di ujung selatan ada sofa di pojokan, sampingnya sebuah meja kayu lengkap dengan sepasang kursi kayu. 

Tempat ini diatur dengan meja kursi tersebar merata di tiap sudut. Bagian tengah dilengkapi meja panjang dilengkapi kursi panjang. Di setiap sudut strategis dilengkapi stop kontak yang bertujuan agar para pengunjung yang ingin bekerja menggunakan laptop bisa sambil mengisi baterai. 
Ruangan di kedai kopi Stereos Coffee
Ruangan di kedai kopi Stereos Coffee
Beranjak menuju pintu samping, kubuka pintu tersebut menuju ruangan luar. Amat luas ruangannya. Meja dan kursi tertata rapi, rata-rata meja tersebut berada di dekat sekat kaca. Ruangan di luar menjadi lokasi favorit para pengunjung, mungkin karena bisa merokok. 

Satu persatu pengunjung berdatangan. Kedai ini menjadi cukup ramai, terlebih di ruang terbuka. Meja-meja di ruang luar sebagian sudah ada pengunjungnya. Sepertinya kedai ini makin ramai menjelang malam. 
Ruang smoking area di kedai kopi Stereos Coffee
Ruang smoking area di kedai kopi Stereos Coffee
Pesanan datang, minumanku malah lebih dulu disajikan. Selang beberapa menit, pesanan Aqied juga datang. Kami menikmati minuman sembari menunggu tiga teman lainnya yang menyusul. Lantunan musik tidak kencang, menjadikan obrolan kami terdengar jelas. 

Dilihat dari tempatnya, aku rasa tempat ini cocok untuk bersantai. Bagi mahasiswa, tempat ini asyik untuk mengerjakan tugas kuliah. Lokasi yang dekat dengan kampus membuat tempat ini cukup ramai pengunjungnya. 

Satu hal yang menyenangkan di sini. Selain menu nonkopi yang banyak, kita juga bisa memesan makanan maupun camilan. Selama di sini, kami juga mencicipi Dimsum. Pemesanan makanan juga bisa melalu pramusaji Stereos Coffee. 
Pesanan Americano dan Gayo Wine
Pesanan Americano dan Gayo Wine
Tentu adanya menu makanan membuat tempat ini banyak diminati para pengunjung. kita tahu, sebagian para mahasiswa biasanya menghabiskan waktu mengerjakan tugas dalam waktu yang lama. Menu makanan menjadi salah satu faktor yang dipertimbangkan saat berkumpul. 

Selama di sini, aku dan teman yang lain cukup nyaman. Kami berbincang santai, sesekali sempat bercanda dengan pramusajinya. Ya, bagi kalian yang berada di sekitaran Pogung, jika ingin nongkrong, mungkin tempat ini bisa dijadikan alternatif. 

Makin hari, kedai kopi di Jogja makin banyak. Mereka mempunyai cara untuk tetap bisa bertahan dan mempromosikan tempatnya agar tetap ramai. Lokasi yang strategis, barista dan pramusaji ramah, harga yang wajar, dan faktor-faktor lain menjadikan tempat tersebut disukai pengunjung. 

Sementara itu, kami sendiri berbincang tentang agenda-agenda terdekat yang ingin dilaksanakan. Berbicara rencana jogging, atau malah membicarakan kapan kita main bareng ke luar kota. Setidaknya, tiap berkumpul pasti ada hal asyik yang dibicarakan. *Stereos Coffee; Kamis, 19 Juli 2018.

Menghidupkan Kembali Potensi Desa Wisata Jarum, Klaten

$
0
0
Berkunjung di salah satu rumah warga yang di desa Jarum
Berkunjung di salah satu rumah warga yang di desa Jarum
“Mohon maaf mas agak terlambat jemputnya,” Ujar Galang sembari bersalaman. 

Aku tertawa saja, toh tidak terlambat menurutku. Rombongan dari Jogja baru berkumpul di tempat yang sudah disepakati. Siang ini, kami berencana menginap di desa wisata Jarum, Bayat, Klaten. Desa wisata yang dulu sempat hidup, namun cukup lama tertidur. 

Sebelum jauh menceritakan potensi desa wisata Jarum, aku sedikit mengenalkan dulu tiga sosok penting yang membuat pemuda desa Jarum kembali bersemangat. Mereka adalah Galang, Alvi, dan Azza. Tiga pemuda ini menyulut asa di desa wisata Jarum kembali bangkit. 

Berawal dari memutuskan keluar dari tempat kerja, tiga pemuda tersebut berkumpul dan berkomunikasi dengan Hanif (Insanwisata). Mereka bertanya-tanya tentang desa wisata. Katanya, mereka memantau twitter Insan Wisata khususnya tagar Eksplor Deswita. 
Diskusi kecil tentang desa wisata
Diskusi kecil tentang desa wisata
Ratusan bilah bambu terpasang umbul-umbul berjejer di kedua sisi jalan. Mobil memutar ke barat, melintasi jalan cor sedikit terjal. Desa Jarum cukup luas dan berbatasan dengan Gunungkidul. 

Dua hari satu malam aku beserta rombongan menyatu dengan warga. Selain mengikuti agenda seperti jalan sehat, Jarum Batik Fest 2018, kami juga sempat menjelajah beberapa potensi yang bisa diangkat oleh desa wisata Jarum untuk menarik wisatawan. 

Aku antusias menjelajah desa wisata Jarum. Bersama warga setmpat, kami diantar menuju tempat-tempat yang mempunyai potensi membangkitkan ekonomi warga dan bisa jadi menggaet wisatawan. 

***** 

Desa Para Juragan Angkringan 
Acapkali aku menikmati makan nasi angkringan di Jogja. Setiap penjaga angkringan yang aku tanyai asalnya. Mereka menjawab Bayat, Klaten. Tidak pernah sekalipun aku bertanya di mana desanya. Hingga akhirnya aku berkunjung di desa Jarum. Nyatanya, desa ini merupakan pusat juragan Angkringan. 
Angkringan di sudut jalan desa Jarum bernama Kantor Sambat
Angkringan di sudut jalan desa Jarum bernama Kantor Sambat
Mereka menjadi juragan angkringan di luar kota. Ada cerita, satu juragan mempunyai banyak anak buah di Kawasan Tangerang. Rata-rata pemuda yang merantau keluar dari Klaten juga sebagai penjual angkringan. Maka, pantas rasanya jika desa ini dijuluki desanya juragan angkringan. 

Di desa Jarum sendiri ada lima angkringan yang buka setiap hari. Salah satu angkringan yang paling kondang itu lokasinya di depan Balai Desa Jarum. Nama angkringan tersebut Kantor Sambat. Ciri khas angkringan dari desa Jarum ini adalah, teh yang disajikan campuran dari tiga teh yang berbeda. 

Karena itulah, selama di desa Jarum, kami tidak mau melewatkan makan di angkringan. Urusan harga, kemarin aku hanya membayar 5500 rupiah untuk dua nasi, satu gelas teh tawar, dan dua gorengan. 

Menarik rasanya jika kalian ingin mengulas tentang angkringan di desa Jarum. Sebuah cerita Panjang yang pastinya menarik perhatian para pencinta angkringan untuk menulisnya di blog. Bahkan, ada teman aku yang ingin kembali ke sini untuk melihat pembuatan gerobak angkringan dan berbincang dengan juragannya. 

Penghasil Batik Tulis di Klaten 
Aku sedikit tidak percaya kalau di desa Jarum mempunyai hasil karya batik tulis. Rombongan kami singgah di salah satu local hero pengusaha batik bernama Susana Dewi Puspitawati. Sosok perempuan yang meneruskan usaha dari ibunya. 
Salah satu pengusaha Batik Tulis di Desa Jarum
Salah satu pengusaha Batik Tulis di Desa Jarum
Nama batik beliau adalah Batik Purwanti. Pada masa ibunya, tempat ini mempunyai ratusan karyawan. Tahun 2018 ini, bu Dewi selaku penuerus mempunyai 25 pegawai operasional dan mempunyai 80-an karyawan rumahan. Tiap karyawan diberi kain mori dan pola, mereka tinggal menggambar. 

Gerai batik ada di belakang rumah. Hampir 100% adalah batik tulis. Bu Dewi mempunyai enam toko; Wonosari, Ungaran, dan di kampung yang tidak jauh dari desa Jarum. Hari operasional mulai dari senin – sabtu. Hari minggu tiap karyawan libur. 

Harga batik yang dijual pun murah. Untuk batik tulis hanya dijual sekitar 160 ribuan/lembar. Motif yang dibuat cenderung modern. Di tempat bu Dewi, kami berbincang sembari melihat-lihat hasil kain batik yang dipajang. Beberapa teman pun tertarik membeli beberapa helai kain. 

Tempat Membuat Batik Kulit 
Kunjungan berikutnya ke rumah warga yang memproduksi batik kulit. Di kediaman Pak Jeprik, aku melihat ada empat perempuan yang bekerja. Ketika kami datang, sejenak aktivitasnya berhenti. Kami saling menyapa dan berjabat tangan. 

Bu Subiyati dan Pak Jeprik sudah lama menggeluti batik kulit. Lebih dari 25 tahun, dan karyawannya juga banyak. Di teras rumah, empat perempuan yang aku temui adalah Ibu Narti, Ibu Wiji, Ibu Ngadinah, dan Ibu Samiyem. Beliau sedang medang melukis pola pada selembar kulit. 
Melihat pembuatan batik kulit di Desa Jarum
Melihat pembuatan batik kulit di Desa Jarum
Untuk menghasilkan satu buah tas kulit dibutuhkan dua lembar kulit. Pak Jeprik mendapatkan bahan baku lembaran kulit dari Jogja. Satu lembar kulit harganya 125.000 rupiah. Dalam satu bulan, tiap satu orang bisa menggambar 15 lembar kulit. 

Tas kulit ini rata-rata pesanan dari Jogja. Pihak penyetor mengirimkan lembaran kulit untuk Digambar di Klaten, lalu setelah selesai kembali di kembalikan ke penyetor. Satu lembar kulit dikerjakan beberapa tangan. Ada yang membuat pola, menggambar, sampai proses finishing

Aku masuk ke dalam rumah Pak Jeprik, di sana ada beberapa sampel tas yang dijual. Harga beragam, mulai dari 400.000 rupiah untuk bahan kulit. Untuk tas anyaman bambu dengan tambahan kulit dibanderol sebesar 180.000 rupiah. 

“Tas mahal-mahal seperti ini kan untuk orang kota, Mas. Kalau kami cukup pakai yang murah-murah. Sayang uangnya kalau buat beli tas,” Celetuk ibu-ibu yang bekerja sembari tertawa. 

Melihat Pembuatan Cobek Batu 
Perjalanan kami berlanjut ke tempat pembuat cobek batu. Tepat di desa Jarum, ada beberapa masyarakatnya berprofesi sebagai membuat cobek dari batu. Salah satunya adalah Pak Suradi. Bapak yang berusia 55 tahun ini sudah menggeluti profesi tersebut sejak umur 15 tahun. 
Warga desa Jarum yang menggeluti pekerjaan sebagai pembuat cobek
Warga desa Jarum yang menggeluti pekerjaan sebagai pembuat cobek
Di depan rumah yang berdinding anyaman bambu, Pak Suradi bekerja seharian memecah batu besar, membentuk pola untuk cobek, ulekan, lumpang, dan alu. Sehari beliau bisa membuat 15 ulekan atau 5-6 cobek. 

Bebatuan yang diambil dari Gunungkidul karena kualitas batunya lebih bagus daripada dari Merapi. Untuk menebus bebatuan, beliau membeli langsung banyak bongkahan batu. Tiap ukuran beda harga. 

“Kalau ini harganya 20.000 rupiah, mas,” Terang beliau sembari memecah satu bongkahan batu berukuran sedang. 

Beliau juga menerangkan, satu batu berukuran sedang tersebut bisa menjadi tiga cobek. Beliau bekerja menggunakan alat sederhana meliputi; linggis, penancal, palu, dan alat tradisional yang dinamakan pete’l. 

Tiap seminggu sekali, hasil pak Suradi diambil pengepul dari Wonogiri, Salatiga, dan sekitarnya. Rincian harganya Cobek dihargai 15000, Ulekan harganya 5000 rupiah, dan Lumpang seharga 50.000 rupiah. Sedangkan sisa dari bebatuan yang kecil biasanya dijual untuk cor bangunan seharga 400.000/bak mobil terbuka. 

“Ini sudah pekerjaan turun temurun mas, jadi ya disyukuri,” Tandas Beliau sembari membuat pola ulekan. 

Hasil Produksi Kemasan 
Sewaktu keliling stand pameran di desa Jarum, aku tertarik melihat olahan warga setempat. Olahan jahe yang sudah dikemas. Semerbak bau harum jahe menyebar sampai indera penciumanku. Untuk sesaat aku berhenti di depan stand tersebut. 
Jahe bubuk kemasan diproduksi Desa Jarum
Jahe bubuk kemasan diproduksi Desa Jarum
“Jahe mas. Silakan kalau mau dicoba.” 

Aku mengiyakan, diambilkan satu gelas plastik wedang jahe yang sudah disiapkan. Aromanya membuatku ingin secepatnya menyeduh, tapi aku harus bisa menahan diri karena wedang jahenya amat panas. 

Sesaat aku hirup baunya. Aku merasa wedang jahe ini sangat manis dan ada campuran batang sereh. 

“Kayaknya manis banget ini bu,” Ujarku sebelum menyesap. 

“Kami tambahi gula mas. Sebenarnya sudah ada gulanya, tapi pasti kurang manis, cenderung pedas. Ini jahe emprit,” Terangnya. 

Selera orang memang beda, namun aku tetap menyeduh wedang tersebut. Bagiku memang cenderung lebih manis. Aku bertanya-tanya harga perkemasan kecil satu gelas dan satu kemasan besar. Berhubung aku suka wedang jahe, aku beli satu bungkus seberat 245 gram hanya dengan membayar 20.000 rupiah. 

Sejarah Situs Mojo Aroem 
Desa Jarum mempunyai sebuah petilasan. Namanya adalah Situs Mojo Arum. Penamaan desa Jarum konon diambil dari situs tersebut. Belum banyak yang bisa aku ceritakan tentang situs Mojo Arum. Di hadapanku situs tersebut adalah pohon Mojo yang menjulang tinggi. 
Petilasan asal muasal nama Desa Jarum
Petilasan asal muasal nama Desa Jarum
Konon pada masa kasultanan Surakarta, di tempat ini ada seorang Bekel Kraton. Bekel Kraton adalah seorang abdi dalem yang tidak mempunyai hubungan darah. Bekel Kraton tersebut bernama Ekomoyo. Setiap sowan ke Kraton selalu membawa hasil bumi. 

Suatu ketika karena musim paceklik, Bekel Kraton terpaksa membawa buah Mojo yang rasanya tidak terlalu manis. Anehnya, ketika sudah sampai ke Kraton buah mojo tersebut beraroma harum. Seketika itu juga, raja memerintahkan pada Bekel Ekomoyo agar padukuhannya dinamakan Padukuhan Mojo Aroem – Sumber Mbah Suwitono pada tulisan di situs Mojo Arum. 

Penamaan Padukuhan tersebut sekarang menjadi Desa Jarum; Mojo Aroem. Situs tersebut sampai sekarang masih terlihat berbentuk pohon Mojo menjulang tinggi, konon pohon Mojo yang awal sudah tidak ada. 

***** 

Potensi-potensi bisa dikembangkan dan dikemas dengan baik pokdarwis desa wisata Jarum untuk menggeliatkan perekonomian warga dan mengundang wisatawan agar bisa datang. Dari diskusi ketika malam, teman mengatakan bahwa desa wisata itu berbeda dengan objek wisata. Karena ketika kita berlibur ke desa wisata, artinya kita mengikuti agenda keseharian warga setempat. 

Jika di antara kalian ada yang penasaran dan ingin menginap di desa wisata Jarum. Kalian bisa mengontak Instagram teman di Kalpasta.

Ragam Cerita kala di Kedai Kopi Lokus

$
0
0
Coldbrew Lokus Kopi X Dongeng Kopi
Coldbrew Lokus Kopi X Dongeng Kopi
Rupanya menikmati segelas kopi bersama kawan lama menjadi rutinitas yang tak pernah usai. Rasanya baru kemarin ada kedai baru, sekarang muncul lagi kedai baru dengan wajah-wajah yang familiar. 

Lokus Kopi namanya. Jika kalian ketik di pencarian, jangan kaget dengan tulisan Lokus X Dongeng Kopi. Informasi dari admin Instagram Lokus, Lokusmempunyai makna "tempat" dalam bahasa Latin. Untuk nama Lokus X Dongeng Kopi merujuk pada tempat dongeng kopi kecil. Tujuan dari mereka adalah ingin hadir dalam konsep kecil yang berjejaring serta berharap tersebar di segala tempat dan penjuru.

“Mas, nanti malam kita ke Lokus. Ada banyak teman yang datang.” 

Sebaris pesan masuk di Instagramku. Tidak perlu berpikir lama, aku langsung menjawab siap datang. Bahkan secepat mungkin kucari tempat lokasi kedai ini. Sebelumnya aku pernah melihat postingan teman di Instagram tentang Lokus Kopi. 

Terus terang, sewaktu datang ke sini, aku sedikit kebingungan. Tulisan Lokus pada kaca transparan tidak terlihat karena tertutup satu mobil, dan titik pada maps diarahkan masuk gang sekitar 10 meter. Bagi yang penasaran, lokasinya di Gemawang, Jl. Monjali No.42, Sinduadi. 

Untung aku melihat ada orang menyeduh kopi melalui kaca tersebut dan membaca tulisan Lokus X Dongeng Kopi. Bergegas aku masuk, di dalam sudah ada pemilik kedai kopi beserta dua baristanya. 
Suasana di dalam kedai Lokus Kopi
Suasana di dalam kedai Lokus Kopi
Sosok perempuan ini sebenarnya sering disebutkan Aqied kala berbincang. Namanya Mbak Ayuk dan Mas Renggo, sementara dua baristanya adalah Mas Aan dan Mas Brian. Ketika aku mengatakan teman Aqied, Mbak Ayuk antusias dan kami lebih akrab. 

Sembari menunggu teman-teman eks pelanggan Dongeng Kopi (Ucil, Momon, Ajeng, dkk), aku langsung melirik menu yang terpajang di sudut meja. Beruntung Cold Brew-nya tersedia. Bagi pecinta Cold Brew, kalian kudu sesekali menyicipi di kedai satu ini. 

Masih dengan gaya ala Dongeng Kopi, karena kedai ini baru buka tanggal 14 Agustus 2018 serta bertepatan dengan Hari Pramuka, ada diskon khusus bagi yang hapal Dasa Dharma. Pun jika membayar, ada diskon 20% dan jika pesan single origin masih bayar sesuka hati. 
Menu dan harga di kedai kopi Lokus
Menu dan harga di kedai kopi Lokus
Segelas Cold Brew tersaji, kuteguk beberapa kali sebelum kembali berbincang. Menurut teman, yang rekomendasi bagi pecinta kopi di sini adalah Kopi Banjarnegara dan Gayo Wine. Bolehkah dicoba. Tetapi kalau suka Cold Brew, tetap bisa pesan. 

Tidak hanya minuman kopi. Bagi kalian yang tidak suka kopi juga santai. Di sini ada coklat maupun varian teh. Berbagai jenis teh ada di sini, dan jika kalian bingung teh apa yang rekomendasi, kalian bisa bertanya langsung pada baristanya. 

Di meja depan, sebuah wadah dari anyaman bambu terpasang berbagai kopi dalam kemasan. Ini adalah kopi yang bisa dibeli jika ingin menyeduh di rumah. Tinggal menyeduh saja, seperti kita membeli teh kemasan. 
Gayo Wine, salah satu minuman rekomendasi
Gayo Wine, salah satu minuman rekomendasi
Teman sudah berdatangan, keriuhan pun terjadi. Berbagai cerita silih bersambung sembari meneguk kopi. Layaknya di kedai yang lain, kami menjelajah segala sudut kedai. Kedai Lokus ini di dalam tidak besar, berbeda dengan kursi yang di luar. 

Luas dalam kedai mengingatkanku Kopi Ketjil. Di sini malah lebih kecil lagi dengan satu meja permanen menempel di tembok dilengkapi dua kursi. Sementara bagian kasir dilengkapi tiga kursi tinggi. 

Jika kalian bersama teman dan ingin berbincang lama. Spot yang bisa kalian gunakan itu di luar. Ada banyak meja dan kursi di sana. Oya, kedai Lokus ini satu gedung dengan penginapan di lantai dua. 
Meja dan kursi di bagian luar kedai
Meja dan kursi di bagian luar kedai
Perbincangan semakin larut. Obrolan tentang kopi merambah ke topik yang lain. Di sela-sela obrolan, kami acapkali melontarkan pertanyaan ke barista, khususnya tentang kopi. Bagiku, ketika barista memberikan informasi tentang kopi dan lainnya itu hal yang sangat bagus. 

Mas Aan, sosok pemuda yang merantau ke Jogja dan belajar meracik kopi ikut kelas Dongeng Kopi. Dia berasal dari Lampung Barat, seraya bercanda dia melontarkan kalau tahu tempat penghasil kopi robusta di Lampung, itulah daerahnya.

Senangnya di sini, kami bisa bertanya-tanya tentang kopi secara mendalam. Mulai dari biji kopi, sampai yang paling direkomendasikan itu menggunakan metode apa pembuatannya. Pun dengan rasa yang nantinya dihasilkan. 

Lokus X Dongeng Kopi juga sebagai kanal lanjutan atas kelas yang biasa mereka gelar dengan nama Kelas Seduh Manual (KSM), bahkan sekarang sudah menuju angkatan ke 27. Tiap angkatan ada juaranya, dan mereka masuk dalam radar kriteria pemilik Dongeng Kopi.

Format magang kelas ini terus berlanjut. Para peserta kelas yang tersaring dan berhasil melewati penilaian nantinya akan diangkat menjadi bagian dari kegiatan kelas. Mereka mempunyai kewajiban untuk mendidik peserta magang berikutnya.

Barista memberikan informasi berkaitan dengan kopi
Barista memberikan informasi berkaitan dengan kopi
Seperti yang aku bilang, di sini aku memesan Cold Brew. Bagi kalian yang ingin bersantai di sini, kalian bias menikmati minuman tersebut dengan gelas. Pun jika ingin membawa pulang, kalian bias menebusnya dengan botolan. 

Bagi sebagian teman kopi tidak asing dengan kemasan botolan dan bertuliskan Kopi Kertas. Sebelum membuka kedai di Monjali, Kopi Kertas ini sudah bisa dibeli para pecinta Cold Brew. Tempat mereka ada di sekitaran Maguwoharjo. 
Meracik pesanan kopi
Meracik pesanan kopi
Dari informasi melalui instagram juga aku mendapatkan kabar bahwa nantinya Dongeng Kopi sendiri akan kembali hadir sebagai kedai. Kabar tersiar nantinya hanya ada di satu kota, yakni di Jogja. Kemungkinan besar akhir tahun sudah buka. Untuk tempatnya di sekitaran Jalan Kaliurang atas. Jadi dekat-dekat dengan kampus UII *bocoran.

Tidak terasa waktu sudah larut malam. Kedai Lokus Kopi sementara tutup pada pukul 23.00 WIB. Kami harus bergegas meninggalkan tempat ini. Berjabat tangan dan menyapa jika ke depan nantinya singgah lagi. 

Menurutku, Lokus Kopi bukan tempat yang cocok untuk mengerjakan tugas. Justru di tempat ini kita lebih cocok untuk berbincang, bertanya-tanya tentang kopi pada baristanya, serta menikmati suasana akrab di dalamnya. 
Favoritku di Lokus Kopi X Dongeng Kopi adalah Cold Brew
Favoritku di Lokus Kopi X Dongeng Kopi adalah Cold Brew
Namun bagi kalian yang ingin mengerjakan tugas di sini. Pilihan paling tepat lokasiny ada di luar kedai. Di sana ada tempat yang cukup nyaman, bermain dengan ikan-ikan yang ada di kolam, bahkan bisa mencoba terapi ikan. 

Jika di beberapa kedai kopi, aku lebih suka karena suasananya nyaman untuk bekerja. Ketika di sini, aku malah lebih asyik berbincang dengan barista serta teman. Jika tertarik, silakan mampir ke kedai yang satu ini, serta nikmati tiap seduhan kopinya. *Lokus Kopi; Selasa, 21 Agustus 2018.
Viewing all 749 articles
Browse latest View live