Quantcast
Channel: Nasirullah Sitam
Viewing all 750 articles
Browse latest View live

Pelabuhan Brondong dan Monumen Kapal Van der Wijck di Lamongan

$
0
0
Mencatat hasil timbangan ikan di Pasar Ikan Brondong, Lamongan
Mencatat hasil timbangan ikan di Pasar Ikan Brondong, Lamongan

Pasar ikan yang berada di kawasan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Brondong ramai. Geliat para penampung ikan selaras dengan senyuman yang tersungging di wajahnya. Para nelayan berkumpul menjadi satu, mengamati angka hasil timbangan ikan yang didapatkan selama melaut.

Jalan kecil kususuri. Bau amis ikan bercium kala mendekat ke pasar ikan. Para pedagang menata ikan jualannya agar menarik perhatian calon pembeli. Kutinggalkan teman rombongan di ujung jalan. Naluriku mengajak untuk menyusuri keriuhan pasar ikan. Menenteng kamera, mengabadikan keramaian di TPI Brondong.

Motor roda tiga, becak, dan sepeda motor saling berpapasan. Berbagi jalan di tanah liat yang bergelombang. Orang-orang sibuk, ada yang mengangkat ember, tong ukuran tanggung wadah ikan, ada pula yang menanti tumpangan dari pembeli. Suasana pasar menjelang siang cukup riuh.
Keramaian di kawasan Pelabuhan Brondong, Lamongan
Keramaian di kawasan Pelabuhan Brondong, Lamongan

Sesekali aku berhenti, melihat kesibukan orang di pasar. Tanah sedikit tergenang, bau amis makin menyeruak. Genangan air mengalir menyesap di antara tanah liat. Beruntung aku sudah terbiasa dengan bau seperti ini. Berbagai jenis ikan segar digotong nelayan, dikumpulkan menjadi satu, lalu ditimbang.

Ikan, Cumi, Udang menyatu; tertumpuk pada ember-ember besar berisi air. Riuh sekali siang ini. Aku menepi, melihat sisi lain. Dua orang ibu paruh baya pun membuka lapak kecil beralaskan plastik. Beliau menunggu calon pembeli dengan sabar.

“Ikan mas! Silakan dipilih.”
Ibu-ibu paruh baya menjual hasil laut dari nelayan
Ibu-ibu paruh baya menjual hasil laut dari nelayan

Aku menggeleng sembari tersenyum. Tujuanku ke sini bukan untuk membeli ikan, hanya ingin mengabadikan pelabuhan yang ada di TPI Brondong. Lucu memang kalau dipikir, tidak sengaja singgah di TPI Brondong, lalu sedikit berlari menuju TPI untuk mengabadikannya.

Pelabuhan di TPI Brondong tidak terlalu ramai. Kapal yang bersandar bisa dihitung dengan jari. Para nelayan sibuk memasukkan ikan hasil tangkapan ke dalam tong besar berwarna biru. Mereka saling berbincang; bisa jadi membicarakan hasil tangkapan yang mereka dapatkan hari ini.

Aku sudah berdiri di pelabuhan Brondong. Pelabuhan yang menarik perhatianku kala singgah di dekat sini. Jauh di depan sana, samudra lepas terbentang luas. Tak ada riak gelombang, tenang, namun tetap menghanyutkan. Garis imajiner menjadi pembatas, seakan-akan menjadi sekat batasan antara langit dan samudra.

*****

Monumen tenggelamnya kapal Van der Wijck
Tanggal 20 Oktober 1936 pelabuhan Brondong ramai melebihi kegiatan sehari-hari. Sebuah kapal besar bernamakan Van der Wijck tenggelam di di Laut Jawa. Jarak dari daratan sekitar 22 mil dari Surabaya. Kapal ini berencana menuju Jakarta.

Kapal bermuatan kayu dan penumpang ini karam; terdata sekitar 250 penumpang yang ada di dalam tragedi kapal tersebut. Sebanyak 153 penumpang di antaranya selamat. Tugu yang memperingati tenggelamnya kapal Van der Wijck dibangun di dekat pelabuhan Brondong. Di sana terdapat tulisan ucapan terima kasih kepada para penolong sewaktu tenggelamnya kapal Van der Wijck.

Tentu banyak orang yang tahu, tenggelamnya kapal Van der Wijck ini pernah dijadikan sebuah novel oleh Buya Hamka dengan judul yang sama tahun 1938. Novel ini menjadi polemik tersendiri kala dianggap sebagai novel sanduran dari novel karya Alphonse Karr (Prancis) yang berjudul Sous les Tilleuls (Di Bawah Pohon Tilia). Bahkan ada juga yang mengatakan bahwa novel tersebut plagiat dari novel Magdalena karya Mustofa Luthfi Al-Manfaluthi (1876).

Aku tidak akan bercerita panjang tentang tenggelamnya kapal Van der Wijck. Ulasan di atas hanya ingin mengingatkan kembali bahwa tempat ini pernah menjadi salah satu lokasi saksi dari peristiwa tersebut. Selepas dari pelabuhan Brondong, aku balik ke parkiran mobil. Menyusul teman rombongan yang sedari tadi mencari-cari keberadaanku.

Mobil yang kami naiki terpakir di halaman depan Kantor Koordinator Penyuluhan Kelautan dan Perikanan Regional III. Teman-teman langsung menuju tugu menjulang di sisi kanan kantor. Sebuah monumen bercat putih berdiri, di depannya dikelilingi pot permanen. Bungan dan rumpul liar sudah tampak tak terawat.
Perum Perindo Cabang Brondong, Lamongan
Perum Perindo Cabang Brondong, Lamongan

“Tugu ini yang kucari-cari,” Celetuk Alid sembari turun dari mobil.

“Maksudnya?” Teman-teman lain pun kebingungan.

“Pokoknya ikut saja,” Jawabnya cepat.

Awalnya tidak ada rencana berhenti di sini. Sewaktu perjalanan menuju pantai Kutang, tiba-tiba salah satu di antara kami ada yang membaca plang bertuliskan “Monumen Van der Wijck”. Sontak Alid berteriak agar mobil yang kami kendarai memutar balik. Melihat mobil kami berbalik arah, satu mobil yang di belakang kami (satu rombongan) pun ikut berbalik arah.

Kami lantas paham dengan ucapan Alid. Nyatanya di sinilah sebuah monumen bersejarah itu dibangun. Monumen yang mungkin bagi sebagian orang hanya bangunan menjulang tidak terlalu tinggi yang tak tahu apa artinya.
Monumen tenggelamnya kapal Van der Wijck di Lamongan
Monumen tenggelamnya kapal Van der Wijck di Lamongan

Di atas tadi sedikit kusinggung tentang sebuah tugu/monumen penghargaan kepada para penolong penumpang tenggelamnya kapal Van der Wijck. Nyatanya ucapan itu tak hanya berbentuk kata-kata. Bahkan secara khusus dibuatkan monumen untuk mengenang para nelayan yang secara heroik menyelamatkan penumpang.

Tak sempat kukelilingi monumen ini, aku hanya menatap dari depan. Tidak jauh di sampingnya terdapat tower yang menjulang jauh lebih tinggi. Satu kalimat yang sempat kuabadikan di sini bertuliskan seperti ini.
Tulisan yang ada di monumen Van der Wijck Lamongan
Tulisan yang ada di monumen Van der Wijck Lamongan

“Tanda-Peringatan kapada penoeloeng-penoeloeng waktoe tenggelamnja kapal 'Van Der Wijck' DDO. 19-20 October 1936"

Dari beberapa tulisan yang kudapatkan, sebenarnya ada tulisan lagi di sisi lain. Hanya saja aku tak sempat mengelilingi dan mengabadikannya. Tidal lama kami di sini, puas mengabadikan monumen, kami lanjutkan perjalanan menuju pantai Kutang, Lamongan.

Ada harapan tersirat di sini, semoga monumen ini tetap terjaga dengan baik. Sehingga banyak orang yang mengetahui keberadaannya. Setidaknya monumen ini adalah bukti sejarah bahwa pernah ada nelayan-nelayan yang heroik menyelamatkan para penumpang kapal Van der Wijck pada masanya. *Sabtu, 23 Desember 2017

5 Warung Kuliner Favorit Pesepeda di Jogja

$
0
0
Sepeda dan kuliner pagi di jalur pedestrian Malioboro
Sepeda dan kuliner pagi di jalur pedestrian Malioboro

Tiap akhir pekan, di berbagai sudut Kota Jogja dengan mudah ditemui para pesepeda/goweser yang sedang menikmati akhir pekan dengan mengayuh pedal sepeda. Ada banyak destinasi wisata yang bisa dikunjungi dalam kurun waktu seharian. Tinggal mereka pilih; menyusuri candi, menikmati pemandangan dari ketinggian, mencari curug, atau malah kulineran.

Rata-rata mereka yang bersepeda sudah merencanakan untuk kulineran. Ada banyak warung kuliner yang buka pagi, menyediakan menu andalan agar pesepeda tertarik singgah. Menu-menu khas pun tersaji di berbagai warung.

Selama kurun waktu lebih dari lima tahun, aku sudah beberapa kali kulineran saat bersepeda. Hal ini membuatku tertarik mengulas beberapa warung yang menjadi favorit para pesepeda untuk kulineran. Warung-warung ini murni menjadi favorit para pesepeda untuk disambangi sebagai tujuan akhir bersepeda ataupun sekadar tempat bertemu dengan rombongan lain (titik kumpul).

Menurutku, berikut warung kuliner yang populer disinggahi para pesepeda di Jogja. Semoga saja salah satu dari warung kuliner tersebut adalah tempat yang sering kalian kunjungi saat bersepeda.

Warung Ijo Pakem
Suatu pagi di Warung Ijo Pakem
Suatu pagi di Warung Ijo Pakem

Tidak perlu diragukan lagi, nama Warung Ijo Pakem sangat familiar di telinga para pesepeda Jogja. Warung yang dulunya berada dekat dengan Pasar Pakem bergeser beberapa ratus meter ke barat ini tetap menjadi primadona para pesepeda. Tidak jarang para pesepeda datang ke sini ketika hari-hari biasa.

Warung Ijo Pakem tidak menyuguhkan menu khusus. Di sini kita disuguhi dengan gorengan, jajanan pasar, atau makanan seperti pisang rebus. Rata-rata minumannya pun teh panas. Tiap akhir pekan ratusan pesepeda silih berganti singgah ke sini. Selepas dari warung Ijo, biasanya pesepeda melanjutkan perjalanan naik ke Kaliurang atau balik ke kota.

Warung Kopi Klotok Pakem
Kopi dan Pisang goreng di Kopi Klotok Jogja
Kopi dan Pisang goreng di Kopi Klotok Jogja

Tidak jauh dari Warung Ijo terdapat warung yang mulai ramai dikunjungi para pesepeda. Nama warungnya adalah Kopi Klotok Pakem. Warung ini mulai melejit akhir tahun 2015. Konsep warung yang menyajikan makanan khas desa seperti sayur lodeh, Lombok ijo, dan lainnya menjadi daya tarik tersendiri.

Para pengunjung biasanya datang menjelang siang untuk makan siang. Tapi para pesepeda biasanya datang ke sini jauh lebih bagi. Rata-rata pesepeda di sini lebih asyik menikmati pemandangan hamparan sawah ditemani kopi/teh dan juga pisang goreng. Sebuah kombinasi yang menarik rasanya.

Soto Bathok Mbah Katro
Soto Bathok Mbah Katro di dekat Candi Sambisari
Soto Bathok Mbah Katro di dekat Candi Sambisari

Soto menjadi kuliner yang paling utama dicari selepas bersepeda. Puas rasanya setelah capek mengayuh sepeda lanjut menikmati semangkuk soto. Hal ini membuat Saoto (dibaca; soto) Bathok Mbah Katro ramai. Lokasinya berada di utara Candi Sambisari.

Mereka yang suka sepedaan menyusuri selokan Mataran arah Candi Prambanan; atau yang sengaja mengunjungi candi-candi di Kalasan tentu menjadikan Soto Batok ini sebagai pilihan untuk sarapan. Bagiku rasa sotonya biasa, hanya penyajiannya saja yang unik menggunakan tempurung kelapa. Eh yang bikin kangen di sini itu tempenya.

Warung Bu Yati Bibis
Deretan menu sarapan di Warung Bu Yati Bibis
Deretan menu sarapan di Warung Bu Yati Bibis

Jika ketiga warung sebelumnya berada di Kabupaten Sleman, kali ini warung yang keempat berada di Kabupaten Bantul. Letaknya di Panjangan Bantul. Warung tersebut dikenal pesepeda dengan nama “Warung Bubur Bu Yati Bibis”. Ya, sebuah warung sederhanya dengan halaman lumayan luas tepat berada di pertigaan setelah tanjakan panjang.

Menu andalan di sini adalah Bubur Ayam dan Wedang Asem. Bagi yang tidak begitu suka dengan Bubur Ayam jangan khawatir, Bu Yati juga menyiapkan sarapan berbagai menu. Tidak ketinggalan juga jagung rebus, pisang godok, dan lainnya. Menjelang siang di sini juga menyediakan Soto.

Salah satu alasan pesepeda singgah ke sini adalah sebagai tempat titik kumpul sebelum mereka melanjutkan perjalanan eksplor Bantul. Daerah Pajangan terkenal dengan banyaknya curug musiman; di antaranya Curug Banyunibo, Curug Jurang Pulosari, dan Curug Kedung Pengilon.

Warung Geblek Pari Nanggulan
Berbagai menu siap disajikan oleh warung Geblek Pari Nanggulan
Berbagai menu siap disajikan oleh warung Geblek Pari Nanggulan

Warung kuliner yang terakhir adalah Warung Geblek Pari Nanggulan. Warung ini berada di Kabupaten Kulon Progo. Menjelang akhir tahun 2017, warung geblek pari ini menyeruak ramai diperbincangkan para pesepeda. Sehingga tiap pekan ada banyak pesepeda yang singgah di sini.

Berlokasi di desa dengan pemandangan sawah dan perbukitan menoreh, warung geblek pari ini menjadi salah satu warung yang sekarang digandrungi pesepeda untuk singgah. Kita di sini dapat menikmati suguhan geblek, pisang goreng, atau makan berat. Di tahun 2018 awal, sudah ada beberapa agenda komunitas pesepeda yang melakukan acara di sini.

Di atas adalah kelima warung kuliner favorit pesepeda yang aku ulas menurutku. Setidaknya di Jogja masih ada banyak warung-warung lain yang mungkin dikenal, namun aku belum pernah sambangi. Semoga kelima warung kuliner di atas dapat menambah informasi bagi kalian yang suka bersepeda sekaligus kulineran.

Bermalam di Whiz Hotel Sudirman Cilacap

$
0
0
Kamar di Whiz Hotel Sudirman Cilacap
Kamar di Whiz Hotel Sudirman Cilacap

Sepertinya aku mulai menyukai Kota Cilacap. Ada banyak destinasi wisata yang bisa aku datangi di sana. Mulai dari deretan pantai, wisata herigate, kuliner, atau dengan suasana kota Cilacap yang nyaman. Perjalanan ini menjadi kali kedua dalam kurun waktu satu tahun menyambangi Cilacap, khususnya mengunjungi pantai-pantai di Pulau Nusakambangan.

Di mulai perjalanan malam hari dari Stasiun Tugu Jogja, kereta api Wijayakusuma mengantarkanku sampai di Cilacap. Pagi harinya, aku langsung menyewa kapal menuju pulau Nusakambangan. Ada beberapa agenda yang sudah kurancang sejak jauh-jauh hari, ada yang berhasil kukunjungi, ada pula yang harus kubatalkan dengan berbagai pertimbangan.

Menjelang pukul 13.00 WIB, aku menuju hotel tempat menginap. Sebelumnya, aku sudah mencari-cari hotel yang kurasa cocok di dompet. Maklum anak kos, jadi untuk menginap saja aku harus pilih-pilih hotel yang harganya sesuai dengan uang di dompet. Kuputuskan kala itu menginap di Whiz Hotel Sudirman Cilacap. Hotel ini berada di tengah kota, beralamatkan di Jalan Sudirman Nomor 20, Cilacap.
Whiz Hotel Sudirman Cilacap dari jalan raya
Whiz Hotel Sudirman Cilacap dari jalan raya

Proses check in berjalan cepat, resepsionis di depan memberikan kunci kamar. Aku mendapatkan kamar nomor 332. Sempat kuabadikan lobi hotel, tidak luas lobi hotel. Terdapat beberapa kursi yang bisa kita duduki sembari berbincang. Tepat disekatan lainnya adalah restoran.

Keluar dari lift, kususuri lorong kamar di lantai 3. Lorong jalan menuju kamar tidak terlalu luas, namun tidak sesempit hotel lainnya yang pernah aku inapi di Cilacap tahun lalu. Lantainya cukup bersih, terkadang di hotel lain yang pernah aku inapi tercecar pasir. Mungkin pengunjung baru pulang dari pantai.
Ruangan lobi hotel
Ruangan lobi hotel

Kamar yang aku pilih adalah standard, terdapat dua bed berbalut sprei putih. Whiz Hotel Sudirman Cilacap mempunyai 125 kamar. Tipe kamar di sini adalah Deluxe, Standard, dan Superior. Aku mendapatkan informasi ini dari resepsionis dan mas-mas yang membersihkan kamar. Sesaat aku merebahkan diri di kasur. Melepas lelah setelah setengah hari tadi menyambangi pantai di Pulau Nusakambangan.

Menyempatkan tidur siang di hotel, menjelang sore aku bangun. Aku kembali melihat isi kamar hotel. Kamar hotel ini cukup minimalis, tidak luas namun tertata rapi. Tidak ada rak/almari pakaian, yang disediakan gantungan pakaian sebanyak 4 buah. Meja permanen kecil di pojokan, bersatu dengan tembok yang di atasnya jendela di sisi selatan. Di bagian dinding barat, sebuah televisi terpampang, dan berlangganan TV Kabel. Tidak ketinggalan arah kiblat di atas atas.

Selain itu, terdapat kursi kecil berwarna hijau. Jika kita membawa laptop dan ingin bekerja di dalam kamar, kita bisa memanfaatkan meja yang berada di pojokan. Beruntungnya colokan listrik di dalam kamar cukup melimpah. Setahuku ada tiga colokan yang tersedia, ini belum termasuk colokan di kamar mandi jika dibutuhkan secara darurat.
Sudut kamar yang aku inapi di Whiz Hotel Sudirman Cilacap
Sudut kamar yang aku inapi di Whiz Hotel Sudirman Cilacap
Sudut kamar yang aku inapi di Whiz Hotel Sudirman Cilacap

Bagian tepi bed, terdapat meja kecil. Satu meja untuk telepon, dan meja lainnya berisikan brankas. Barang-barang berharga kita bisa disimpan di sini saat kita keluar kamar. Kuperiksa juga air mineral yang disediakan, terdapat dua air mineral, serta tidak ketinggalan sandal hotel. Entahlah, aku suka iseng memeriksa hal-hal yang kecil di hotel. Menurutku ini malah menarik untuk kuulas.

Kamar mandi di kamar terbagi menjadi dua tempat. Satu sekatan untuk toilet-nya, satu sekat di sisi lain untuk mandi. Perlengkapan kamar mandi yang disediakan pastinya handuk; pasta gigi disediakan, sedangkan sabun & sampo hanya disediakan dalam bentuk cair terpasang di dinding kamar mandi.

Setahuku Whiz Hotel Sudirman Cilacap ini bintang dua, tapi bagiku sudah cukup lengkap untuk yang sekadar singgah ke Cilacap, berlibur, dan hanya sebagai tempat menginap. Oya hotel ini tidak ada kolam renangnya. Sebenarnya ada fasilitas lain yang disediakan hotel seperti ruang rapat, spa, ataupun fasilitas laundri. Aku baru sadar kalau kamarku itu termasuk standard city view; jadi aku bisa melihat sebagian perumahan warga dari ketinggian.
Bagian sudut toilet kamar
Bagian sudut toilet kamar

Cahaya lampu di kamar sedikit temaram, namun tak menjadi masalah. Jaringan internet juga cukup mumpuni. Aku sengaja mencoba jaringan internet di dalam kamar, luar kamar, serta di lobi hotel. Keseluruhan sudut tersebut cukup kuat internetnya. Sementara bagian restoran tidak kumasuki, sewaktu pesan kamar tidak termasuk sarapan. Jadi hanya lewat saja, tanpa mengintip menu sarapan.

Seperti dari awal, aku menginap di sini karena harga kamar sesuai dengan dompetku. Jika penasaran, kalian bisa melihat harga di hotel ini melalui aplikasi-aplikasi yang tersedia. Untuk lebih murah, kalian bisa mencoret fasilitas sarapan. Selain itu lokasinya yang berada di tengah kota menjadi alasan lain aku memilih hotel ini.

Sedikit aku gambarkan; Whiz Hotel Sudirman Cilacap ini hanya berjarak 500 meter dari Alun-alun Kota Cilacap. Menuju pantai Teluk Penyujaraknya sekitar 1.7KM. Sedikit lebih jauh lagi jika ingin main ke Benteng Pendem Cilacap. Sedangkan dari hotel ke Stasiun Kota Cilacap berjarak 1.3KM. Kita bisa menggunakan layanan ojek online (Grab & Gojek) di Cilacap untuk mencapai tempat-tempat tersebut.
Temaram lampu kamar hotel
Temaram lampu kamar hotel

Biarpun aku bilang nyaman, tentu tetap ada beberapa masukan untuk hotel. Mungkin masukan ini bisa membuat lebih baik. Pertama; parkir motor hanya ada di sisi barat halaman, sekitar 6 motor saja sudah sesak. Semoga ada sudut lain yang bisa diberdayakan. Kedua; resepsionis beberapa kali telpon ke kamar untuk menawarkan paket makan dan lainnya. Kurun waktu tiga jam di kamar sudah ada tiga kali telepon berdering. Alangkah lebih baik dikurangi untuk hal-hal seperti ini.

Menginap semalam di Whiz Hotel Sudirman Cilacap, berbincang dengan resepsionis, dan bertemu dengan teman bloger Cilacap menjadi hal yang menarik. Semoga jika berlibur ke Cilacap bisa kembali menginap di sini, siapa tahu setelah ini mendarat voucher menginap gratis (berdoa); biar bisa mengajak teman-teman Jogja untuk mengeksplor Cilacap.

Jika kalian berlibur ke Cilacap, dan bingung mencari penginapan yang berada di tengah kota Cilacap; mungkin Whiz Hotel Sudirman Cilacap bisa dipertimbangkan untuk menjadi pilihan. Aku percaya, Cilacap di tahun 2018 ini bakalan banyak dikunjungi wisatawan. Lambat laun, pesona pulau Nusakambangan dan deretan destinasi lain di Cilacap mulai dilirik para calon pengunjung karena akses ke Cilacap sudah bertambah dengan adanya kereta api. * Cilacap; 16-18 Februari 2018.

Memotret Candi Borobudur dari Bukit Limasan Magelang

$
0
0
Candi Borobudur terlihat dari bukit Limasan
Candi Borobudur terlihat dari bukit Limasan


Kucoba memijit kaki di sela-sela perjalanan menuju Punthuk Gupakan. Sesekali kulongokkan kepala mengingat jalur di sini. Di depan terlihat pertigaaan, belok kanan mengarahkan kita ke Mongkrong, jalan lurus ini mengarahkan ke Gupakan. Plang petunjuk arah membantu para pelancong yang takut tersesat.

Jalan kecil hanya bisa dilalui satu mobil. Rutenya juga meliuk-liuk khas perbukitan menoreh dari Magelang. Aku terus memijit kaki, lumayan capek setelah tadi bersepeda keliling desa wisata bersama rombongan. Bersepeda namun banyak istirahatnya membuatku malah terasa tenaga terkuras habis.

Mobil berhenti di tepi jalan. Tepatnya di depan Taman Kanak-kanak Kartika PGRI Giritengah. Ada banyak warga berkumpul, seperti menyambut kami. Kukira ini sudah sampai Punthuk Gupakan. Nyatanya tidak, kita tidak jadi menikmati sunset di sana. Namun kita diarahkan pada destinasi baru di Giritengah.
Jalanan di perbukitan menoreh bagian Magelang
Jalanan di perbukitan menoreh bagian Magelang

“Kita ke Bukit Limasan. Tempat ini baru 1.5 bulan kami buat,” Ujar seorang lelaki sembari menyambut kami.

Aku belum sepenuhnya sadar. Kuikuti jalan setapak melintasi rumah warga. Belum ada satupun plang tulisan “Bukit Limasan” selama perjalanan. Jalan setapaknya juga masih basah. Cenderung licin jika menapakkan kaki tepat di tengah.

Sembari berjalan aku mengorek informasi dari pemandu lokal mengenai lelaki yang menyambut kami. Beliau adalah Pak Tijab; pemilik gamelan yang nantinya digunakan rombongan kami bermain. Beliau mengusulkan jika perubahan agenda yang harusnya ke Punthuk Gupakan menjadi ke Bukit Limasan.
Pak Tijab, pengelola bukit Limasan
Pak Tijab, pengelola bukit Limasan

Selain pemilik gamelan, beliau juga yang menjadi pentolan Bukit Limasan. Niatnya beliau ingin mempromosikan destinasi lain seperti Gupakan. Kami adalah rombongan pertama yang naik ke Bukit Limasan. Sebelumnya hanya anak-anak kecil dan warga yang berfoto.

Rombongan yang bersamaku sudah berbarengan menapaki jalan setapak. Aku berada di barisan paling belakang. Sengaja menyapa warga yang berkumpul di depan rumah. Mereka tampak antusias melihat rombongan kami. Terlebih sebagian rombongan adalah turis mancanegara. Aku meminta izin memotret salah satu rumah yang halamannya dilewati jalan.

Suasana alam seperti ini yang aku rindukan. Menyusuri jalan tanah merah, menyapa warga, dan melihat tali panjang yang dijadikan jemuran. Menghadap ke sisi lain tampak perbukitan menoreh menjulang tinggi. Mengirimkan pesan jika tempat ini pasti sering diselimuti kabut.
Melintasi depan halaman rumah warga
Melintasi depan halaman rumah warga

Sesampai di bukit Limasan, lokasinya benar-benar baru. Masih cukup tandus, bunga-bunga tertata belum sepenuhnya bagus. Pohon-pohon jati menjulang tinggi menjadi gardu pandang. Anak tangga seperti saling berkaitan di tiga gardu pandang. Tempat ini masih dalam tahap pembangunan. Belum sepenuhnya jadi, masih banyak hal yang harus dilengkapi.

Tak masalah bagiku, ini bukan kali pertama aku mengunjungi tempat baru dan belum dikenal banyak orang. Setidaknya, aku pernah mengunjungi tempat-tempat yang dulu tidak dikenal dan sekarang menjadi salah satu spot tujuan wisatawan lokal. Di antaranya Puncak Becici dan Jurang Tembelan.

Mendung menggelayut menyelimuti langit. Tidak tampak warna biru cerah, sepanjang mata memandang hanyalah awan tebal. Tiga gardu pandang dapat dinaiki maksimal 10 orang. Serta spot swafoto layaknya lokasi destinasi untuk Instagram. Dibuat bambu-bambu berfoto di tebing sebanyak dua titik.
Bukit Limasan masih sedang tahap pembangunan
Bukit Limasan masih sedang tahap pembangunan

Beruntunglah para rombongan antusias melihat pemandangan tersebut. Aku bisa bernafas lega, setidaknya melihat raut para rombongan sumringah membuatku santai. Satu hal yang kutakutkan sebelumnya adalah mereka tidak merasa senang karena agenda diubah.

“Itu Candi Borobudur!” Terang Pak Tijab penuh antusias.

Pemandangan yang menarik menurutku, Candi Borobudur terlihat jelas dan bagus dari atas bukit Limasan. Tak terhalang apapun. Berbeda ketika kita dari Punthuk Setumbu yang memperlihatkan candi sedikit samar. Nilai plus di Setumbu adalah sunrise-nya yang pada bulan akhir maret tepat di atas Candi Borobudur.
Memotret candi Borobudur dari perbukitan
Memotret candi Borobudur dari perbukitan

Pemandu lokal yang membawa kami pun tak kalah sibuk menjelaskan pemandangan dari atas menggunakan Bahasa Inggris. Rata-rata wisawatan manca ini hanya bisa menyebutkan beberapa kata Bahasa Indonesia. Lagi-lagi aku bersyukur karena empat pemandu lokal cakap dalam berbahasa Inggris.

Pak Tijab terus berujar kalau dari sini bisa terlihat banyak gunung saat cerah. Sembari memutar badan serta menunjuk arah angin beliau berkata “Lawu, Merapi, Merbabu, Andong, Slamet, Telomoyo, Tidar, Sumbing, Sindoro, Prau, dan Genito.” Aku hanya diam mendengarkan, sesekali menuliskan dalam catatan.

Aku berusaha mencari informasi gunung atau bukit Genito di google. Nama tersebut merujuk pada salah satu desa di Magelang yang berada di kaki gunung Sumbing. Bisa jadi ada perbukitan di sana, dan warga sekitar menyebutnya dengan nama Gunung Genito.

Kutarik kesimpulan, lokasi bukit Limasan ini jauh lebih asyik untuk memotret sunrise. Hamparan luas menghadap timur membentang ke utara. Karena itulah candi Borobudur tampak megah dari sini. Jika sunset, mentari agak tertutup perbukitan menoreh. Selama di sini, aku memotret lanskap yang indah. Satu-satunya gunung yang terlihat saat mendung adalah Gunung Tidar.
Lanskap dari atas bukit Limasan
Lanskap dari atas bukit Limasan

Setiap tempat yang berada di perbukitan dan disulap menjadi destinasi wisata identik dengan spot foto. Di bukit Limasan ada dua spot foto yang berlatarkan candi Borobudur. Spot seperti ini digandrungi para kawula muda. Teman rombongan silih berganti foto di tempat yang sama, tidak ketinggalan pemandu kami.

Tepat di tepian lahan bukit Limasan, terdapat sebuah petilasan. Tertera tulisan Ki Dipodrono. Konon beliau adalah pemilik lahan ini. Menurut Pak Tijab, Ki Dipodrono adalah orang kaya dan mempunyai lahan luas di perbukitan ini. Salah satunya adalah lahan yang dikelola secara pribadi untuk destinasi wisata.

Masih di bukit Limasan, aku mendengarkan pak Tijab bercerita panjang lebar. Bahkan rencana beliau untuk mementaskan gamelan kala peresmian tempat ini. Beliau sadar jika tempat ini masih banyak kekurangan. Sehingga beliau terus menggenjot pembangunan infrastuktur di sekitar bukit Limasan.
Spot foto di bukit Limasan, Magelang
Spot foto di bukit Limasan, Magelang
Spot foto di bukit Limasan, Magelang

Beliau menuturkan dalam waktu dekat ini rencananya dibangun di bukit Limasan adalah toilet, musola, dan dilanjut dengan beberapa homestay. Sebuah langkah yang patut diapresiasi, dan berharap warga sekitar mendapatkan berkah dengan adanya bukit Limasan. Minimal bisa jualan minuman/makanan di sekitar.

Sembari mendengarkan, sesekali aku menimpali agar beliau memasang plang petunjuk arah. Mungkin saja kehadiran plang petunjuk arah membuat wisatawan penasaran dan ingin berkunjung.

Sore semakin memperlihatkan mendung, sesekali petir menggelegar, sebuah kode untuk kami segera turun. Tak ada agenda sunsetandi Punthuk Gupakan, kami balik turun ke bawah dan memainkan gamelan di rumah pak Tijab. *Magelang, 17 Maret 2018.

Es Bubur Kacang Hijau Kelenteng Jombang yang Legendaris

$
0
0
Menikmati es bubur kacang ijo di Jombang yang legendaris
Menikmati es bubur kacang ijo di Jombang yang legendaris

Warung kecil di tepian jalan dipenuhi pengunjung kala pagi. Seorang lelaki mengenakan kaos hitam dan bertopi sibuk mengaduk sebuah kuali besar. Dua orang lainnya menjadi pramusaji dan mencuci mangkuk-mangkuk kotor. Deretan meja panjang masih ramai pengunjung. Aku beserta rombongan masuk ke dalam, mencari tempat duduk sebelum memesan kuliner pagi.

“Kita kuliner bubur Kacang Ijo,” Ujar Alid selaku pemandu kami.

“Sarapan lagi?” Tanyaku tidak yakin.

Dia hanya mengangguk tertawa. Aku dan rombongan lain geleng-geleng kepala. Bagaimana tidak, belum setengah jam lalu, kami menikmati seporsi nasi pecel di depan penginapan. Kali ini kami jalan kaki hanya berjarak 250 meter dari penginapan untuk kuliner yang kedua.
Meja & kursi yang disediakan untuk menikmati es bubur kacang ijo
Meja & kursi yang disediakan untuk menikmati es bubur kacang ijo

Entah apa yang membuat Alid mengajak kami menikmati kuliner bubur kacang hijau; atau yang lebih dikenal dengan sebutan burjo. Aku sedikit terkesiap, nyatanya warung es bubur kacang hijau ini ramai dan menjadi salah satu warung favorit para masyarakat setempat.

Bubur kacang hijau di beberapa kota sudah mulai tergeser dan hilang. Bahkan di Jogja warung yang dulunya tempat menjual bubur kacang hijau menjadi warmindo. Tidak jarang warung tersebut sudah tidak menyediakan menu bubur kacang hijau. Rata-rata penjual bubur kacang hijau menggunakan gerobak kecil dan menyusuri jalanan.

Rombongan kami masuk ke dalam warung, duduk di kursi panjang sembari menyomot gorengan yang ada di meja. Selanjutnya mulai memesan Bubur Kacang Hijau. Sesuai dengan pesanan para pengunjung; kita dapat memilih ditambahi es atau tidak. Bagiku tambahan serutan es menjadikan lebih berselera.

Pak Mudhori pemilik warung kuliner es bubur kacang hijau. Di sela-sela kesibukan menyajikan pesanan pengunjung warung. Beliau menyempatkan bercerita padaku tentang usaha yang sudah digelutinya sejak tahun 1980. Tentu sebuah perjalanan panjang dan mempunyai proses yang berliku.
Pak Mudhori mengaduk bubur kacang ijo di dalam kuali
Pak Mudhori mengaduk bubur kacang ijo di dalam kuali

Jauh sebelum di Jombang, Pak Mudhori membuka kuliner bubur kacang hijau di Surabaya selama 15 tahun. Sampai akhirnya beliau kembali dari kota perantauan menuju kota kelahirannya, Jombang. Di kota Jombang, beliau meneruskan usaha yang pernah digeluti selama di Surabaya.

“Kenapa orang sini menyebutnya bubur kacang ijo kelenteng pak?” Tanyaku penasaran.

“Karena lokasinya dulu di depan kelenteng, mas.”

Dari penuturan Pak Mudhori, beliau menceritakan sebelum di Jalan RE. Martadinata ini, warung beliau berada di jalan yang sama namun tempat yang berbeda. Tepatnya di depan sebuah kelenteng. Di kesempatan lain, setelah makan es bubur kacang ijo, aku menyusuri jalan RE. Martadinata, dan di sana terdapat sebuah kelenteng; Kelenteng Hok Liong Kiong.

Lokasi kelenteng tepat di pertigaan, dan jalanan ramai. Kios-kios di depan kelenteng berjejeran, salah satu kios tersebut dulunya tempat es bubur kacang hijau. Tahun 2014, Pak Mudhori pindah lokasi, sekitar 300 meter dari tempat semula karena kios tersebut dijual pemiliknya.

Warung es bubur kacang hijau ini sudah sangat dikenal bagi masyarakat di sekitarnya. Bahkan sebagian orang menyebutnya es bubur kacang ijo kelenteng adalah salah satu warung yang legendaris, terlepas lokasinya bergeser beberapa ratus meter dari tempat awal. Antusias pembeli pu tak berubah.

Bagi yang ingin mencicipi es bubur kacang hijau dengan serutan es batu serta campuran santan dan susu coklat di bagian atas, kalian bisa berkunjung ke Jalan RE Martadinata. Cukup lihat jalan di sana, nanti ada warung kecil berwarna cat hijau dengan atap asbes; serta sebuah spanduk besar berwarna biru, di depannya juga gerobak berwarna biru. Tidak ketinggalan tulisan “Es Bubur Kacang Ijo Kelenteng – Pindahan”.
Mari kita santap kuliner es bubur kacang ijo
Mari kita santap kuliner es bubur kacang ijo

Es bubur kacang hijau buka sejak pukul 07.00 WIB sampai 19.30 WIB. Tiap akhir pekan atau hari libur, warung es bubur kacang hijau ini ramai. Seporsi es bubur kacang hijau harganya Rp.6000 saja. Sangat murah sekali.

Di hari-hari biasa, Pak Mudhori menghabiskan empat kuali besar bubur kacang hijau dengan rincian; 5 kilo Ketan Hitam dan 15 kilo Kacang hijau, dan membutuhkan 6-7 susu kaleng. Itupun bisa lebih jika hari-hari libur sekolah. Tidak salah rasanya jika warung es bubur kacang hijau kelenteng ini tersemat kata legendaris.

Menarik rasaku kulineran bubur kacang hijau yang merupakan salah satu kuliner yang aku sukai sejak kecil. Dulu, kalau aku pulang ke Karimunjawa, emak pasti membuatkan bubur kacang hijau khusus untukku. Tentu saja kuliner kali ini tidak aku sia-siakan, kulibas habis satu mangkuk es bubur kacang hijau yang ada di meja. *Sabtu; 19 Agustus 2017.

Berlayar ke Pulau Gosong Lasem, Rembang

$
0
0
Kapal nelayan di sekitar pulau Gosong
Kapal nelayan di sekitar pulau Gosong

Ketika pemandu mengatakan rombongan kami bisa menuju pulau Gosong, aku kembali antusias. Rasanya tidak sia-sia menyempatkan waktu akhir pekan mengunjungi Lasem. Mengeksplor destinasi yang ada di sini, khususnya di Desa Dasun.

Mungkin nama pulau Gosong ini agak asing di telinga kalian. Pun sama dengan aku, walaupun Rembang & Jepara masih satu karisidenan, nyatanya aku baru mendengar nama pulau tersebut kala berkunjung di Lasem. Selain pulau Gosong, masih ada pulau lainnya yang ada di Rembang.

Sempat kulirik rombongan lain, di bawah terik mentari yang panas. Mereka tampak menikmati perjalanan di atas kapal. Topi lebar, payung, dan alat penutup lainnya sudah terpasang di kepala. Sementara sang nakhoda kapal sibuk mengurusi mesin yang rewel. Sedari tadi, sejak menyusuri sungai Dasun, mesin kapal bermasalah. Orang laut bilang mesinnya masuk angin.
Mesin kapal yang kami naiki sedikit bermasalah
Mesin kapal yang kami naiki sedikit bermasalah

Mesin kapal masuk angin biasanya karena terkena hujan semalaman. Jeriken yang berisi solar tercampur air, sehingga mesin tidak sepenuhnya bekerja maksimal. Salah satu cara agar air keluar dari jeriken tersebut adalah dengan meniup leher/lubang bagian atas. Sehingga airnya keluar, dan mesin kembali normal.

Perjalanan ditempuh sekitar 20 menit dari pantai Dasun. Sampai di tengah sudah terlihat hamparan gosong tersebut. Tepat di tengah pulau gosong terdapat batang kayu tertancap sebagai penanda. Pun dengan bendera merah putih yang sudah sobek-sobek termakan waktu. Mesin kapal yang kami naiki dimatikan, membiarkan kapal ini melaju pelan.

Batang kayu penanda pantai gosong ini berfungsi kala air pasang. Ketika air pasang, dan hamparan pulau gosong ini terendam air laut, nelayan tetap paham jika tempat itu airnya dangkal. Sehingga mereka tidak akan melewati area tersebut. Berbeda jika sedang surut, hamparan pulau Gosong terlihat jelas dari kejauhan.
Pulau Gosong di Lasem, Rembang berasal dari endapan koral dan karang
Pulau Gosong di Lasem, Rembang berasal dari endapan koral dan karang
Pulau Gosong di Lasem, Rembang berasal dari endapan koral dan karang

Aku terkesiap, pulau Gosong ini bukanlah pasir putih yang mengendap di tengah-tengah laut seperti di Karimunjawa. Kulihat lebih seksama, ini adalah endapan koral dan karang dalam jumlah banyak. Jika dilihat secara detail, pulau gosong mirip Atol/Cincin Karang. Bagaimana tidak, endapan karang dan koral ini membentuk sebuah pulau.

Pulau Gosong ini cukup luas, dari artikel yang sempat kubaca; luas keseluruhan pulau ini sekitar 5 hektare. Rombongan kami dari awal ada niat ingin turun ke pulau gosong (yang kami kira awalnya pasir). Melihat kenyataannya ini adalah karang, kami menangguhkan untuk turun.

Hamparan karang ini kebanyakan sudah mati, namun di sudut-sudut lainnya masih tampak karang yang hidup, jenisnya karang Jahe. Karang-karang tersebut berjuang untuk tetap hidup walau saat surut harus terkena terik matahari.

“Karangnya ada yang hidup!” Teriak salah satu teman dari atas kapal.

Dari sekian hamparan karang mati, berwarna kusam; dan tercecar patah-patah karena faktor alam, tetap saja ada sedikit karang yang masih berjuang untuk hidup. Terumbu karang yang masih hidup berwarna lebih cerah.

Sepanjang di Kawasan pulau Gosong air laut sangat dangkal. Jika aku lihat dari atas kapal kecil ini, kedalaman air tepat di bawah kapal hanyalah satu meter. Bisa jadi kurang dari itu, sesekali terasa bagian bawah kapal tandas ke dasar.

Kami cukup menikmati pulau ini dari atas kapal. Dua alasan yang membuat rombongan kami mengurungkan untuk turun; pertama, masih terlihat beberapa karang hidup. Takutnya ketika kami turun malah menginjak karang yang masih hidup; kedua, di pulau Gosong tersebar banyak Bulu Babi.
Banyak Bulu Babi yang tersebar di dekat pulau gosong
Banyak Bulu Babi yang tersebar di dekat pulau gosong

Tahu Bulu Babi kan? Jika kaki kita menginjak hewan tersebut nantinya kaki terasa perih. Sebagai anak pantai, aku sudah pernah mengalaminya sewaktu masih kecil. Aku pernah terkena sengatan Ikan Pari, Bulu Babi, dan Ubur-ubur. Menurutku dari ketiga itu yang paling parah adalah Ikan Pari, Ubur-ubur, dan Bulu Babi. Namun selain ketiga itu masih ada lagi satu ikan yang lebih ganas, Namanya Ikan Kalajengking.

Aku mengabadikan Bulu Babi yang tersebar di berbagai penjuru. Cukup mudah menemukan Bulu Babi. Bahkan di bawah kapal yang kami naiki pun banyak. Tak hanya aku, teman-teman rombongan juga sibuk mengabadikan Bulu Babi, terkadang mereka menjerit kegirangan kala melihat ikan kecil berseliweran.

Di beberapa akun Instagram, ada foto-foto yang bertebaran pengunjung di pulau Gosong. Pulau ini sudah menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Mereka berfoto di hamparan endapan karang mati ini. Namun, lagi-lagi rombongan kami tidak ada yang berniat turun. Agak riskan rasanya turun dan menginjak karang, biarpun karang-karang tersebut dominan sudah mati dan membentuk pulau.

Aku tidak mengatakan dilarang turun atau diperbolehkan turun ke sini. Kembali pada diri kita masing-masing. Memang di sini tidak ada larangan untuk turun (plang tertulis); namun aku dan teman-teman sudah memutuskan dari awal untuk tidak turun. Ada semacam keraguan dari kami untuk turun, lebih baik tidak turun; itu adalah pilihan terbaik yang kami ambil.
Nelayan memancing ikan karang di sekitaran pulau gosong
Nelayan memancing ikan karang di sekitaran pulau gosong

Tidak jauh dari pulau Gosong, dan hanya berjarak sekitar 100 meter dari kapal kami, terdapat kapal nelayan. Kapal yang berukuran sama dengan kami naiki terdapat lima orang di atasnya. Mereka asyik memancing, sesekali menarik jorang yang terpasang kail. Ikan-ikan yang mereka dapatkan di sini jenis ikan karang; seperti ikan Kerapu.

Tempat seperti ini memang banyak ikannya. Terumbu karang menjadi tempat hidup ekosistem laut. Semakin banyak terumbu karang yang hidup, di sana sudah tentu dipenuhi biota laut. Melihat kapal kami dipenuhi rombongan yang menenteng kamera, mereka (di kapal nelayan) melambaikan tangan; suara kencang bersenda gurau menyapa kami.


Panas siang semakin terik, dari kejauhan pantai Dasun terlihat jelas. Kapal yang kami naiki beranjak meninggalkan pulau Gosong. Kembali menuju sungai Dasun, dan pulang ke tempat menginap. Siang ini aku bersiap meninggalkan Lasem dengan oleh-oleh banyak dokumentasi destinasi wisata alam & heritage. *Lasem; 18-19 November 2017.

Menginap Satu Malam di Hotel Novotel Semarang

$
0
0
Salah satu kamar di Hotel Novotel Semarang
Salah satu kamar di Hotel Novotel Semarang


Rinai hujan mereda, genangan air terlihat di sudut jalan. Di dalam mobil Mbak Dev; kami (aku, Mbak Dev, dan Mbak Olip) menikmati perjalanan pulang dari area hutan Tinjomoyo. Setengah hari lebih kami mengikuti acara bersama teman-teman dengan guyuran hujan lebat.

“Terima kasih mbak. Hati-hati di perjalanan,” Ujarku sedikit kencang sembari menutup pintu mobil.

Kunantikan jalan agak sepi untuk menyeberang. Di seberang berdiri kokoh bangunan menjulang tinggi, lampu berkelip menampakkan tuliskan Novotel. Malam ini aku menginap di Novotel Semarang, dan belum sempat check inwalau sekarang sudah pukul 20.30 WIB. Hotel ini tepat di jantung kota Semarang, beralamatkan di Jalan Pemuda No.123 Semarang.

Sedikit berlari aku menuju gerbang hotel. Seorang yang bertugas membawakan barang tamu menyapa. Kubalas dengan tersenyum sembari menuju resepsionis yang tidak melayani tamu hotel.
Hotel Novotel Semarang kala pagi
Hotel Novotel Semarang kala pagi

“Mas, saya belum check in. Beberapa waktu lalu sudah dikabari teman kalau dia memesankan kamar untukku,” Kusebut nama orang yang memesankan kamar menginap.

“Oh iya pak. Di sini sudah ada nama Pak Sitam.”

“Boleh minta kartu identitas? Bisa SIM atau KTP?” Ujarnya lagi.

Kuserahkan kartu identitas, resepsionis menyelesaikan berkas yang harus dicetak. Sementara itu di sekitaran lobi ada beberapa tamu hotel yang bersantai. Lobi hotel cukup luas, tersebar banyak tempat duduk di tiap sudut.
Lobi hotel, kuabadikan saat pagi
Lobi hotel, kuabadikan saat pagi

Berkas sudah di tanganku. Aku berjalan menuju lift, naik ke lantai 7. Kulirik nomor yang tertera di tempat kunci kamar, tertera angka 721. Oya, sedikit kelucuan sewaktu di dalam lift. Aku asal masuk dan menekan tombol 7. Namun lift tidak bergerak. Agak lama aku baru sadar kalau harus memasukkan kartu pada lift dulu sampai warna hijau, dan baru menekan angka.

Oalah, wong ngantuk,” Batinku.

Keluar dari lift, aku mencari petunjuk arah menuju kamar 721. Sempat di sela-sela lorong terpasang tabung APAR. Seperti prosedur yang berlaku, tiap hotel, rumah sakit, kantor dan lainnya harus menyediakan tabung APAR di salah satu lorong atau ruangan tertentu. Pun dengan keterangan jalur dan lainnya.

Ornamen karpet lantai selaras dengan warna dinding lorong menuju kamar. Lorong luas, untuk berpapasan dengan tamu lain terasa aman. Tidak akan bersenggolan. Di sudut-sudut yang cukup luas, pihak hotel menaruh kursi dan meja. Tidak ketinggalan cermin besar serta vas kecil.
Menyusuri lorong menuju kamar tujuan
Menyusuri lorong menuju kamar tujuan

Pintu kamar terbuka, kusisipkan kunci kamar pada slot tersedia. Beberapa saat aku larut dalam aktivitas di kamar. Beranjak menuju kamar mandi dan berendam dalam bathup. Kali ini baru terasa capek yang sedari tadi tertahan.

Sembari berendam, aku melihat sekeliling kamar mandi. Shower dan bathup tersedia. Sabun, sampo, serta jel awalnya tertata rapi di dekat wastafel, pun dengan sikat gigi & pasta gigi yang masih terbungkus. Fasilitas lain yang ada di kamar mandi adalah pengering rambut. Kita juga bisa meminta barang-barang lain jika dibutuhkan seperti alat pencukur ataupun sisir.

Setengah jam berlalu, aku berendam dan menikmati waktu santai di kamar mandi. Selanjutnya bergegas mengganti kaos dilanjut salat. Anak panah terpajang di sudut atap petunjuk kiblat. Aku salat di kamar, ingin turun ke lantai M menuju musola sudah cukup capek. Setahuku, musola di Novotel Semarang ini berada di lantai dua, satu lantai dengan resto. Jika di lift tinggal tekan tombol M.
Kamar yang kupesan. Sudah berantakan duluan karena motretnya pagi setelah bangun tidur
Kamar yang kupesan. Sudah berantakan duluan karena motretnya pagi setelah bangun tidur
Kamar mandi di Hotel Novotel Semarang diambil dari sekatan kaca transparan
Kamar mandi di Hotel Novotel Semarang diambil dari sekatan kaca transparan

Sembari menunggu pertandingan Liverpool yang main tengah malam. Aku menyicil sedikit pekerjaan di dalam kamar. Memanfaatkan fasilitas internet dari kamar, aku mengirim beberapa file kantor. Jaringan internet di kamar stabil dan cepat, aku tinggal login menggunakan username nomor kamar hotel dan password nama terakhirku.

TV LED berukuran 32 inchi terpasang di tembok. Meja panjang di bawahnya tadi kupakai untuk bekerja. Kamar di sini benar-benar luas, selain meja untuk bekerja, di sudut lain juga tersedia sofa lain yang ada meja mini tepat di dekat jendela. Menilik berkas-berkas yang tertata rapi di meja; salah satunya adalah kuisoner dan kertas ucapan terima kasih sudah menginap di Novotel Semarang.
Meja, TV LED, Rlemari dan lainnya di dalam kamar
Meja, TV LED, Rlemari dan lainnya di dalam kamar

Aku lega ketika melihat daftar channel TV yang terdaftar di tempat pembungkus remote. Channel TV yang menayangkan sepakbola ada. Untuk beberapa saat, aku terlarut menikmati pertandingan sepakbola sebelum tidur. Mungkin kekurangannya adalah channel tersebut tidak sepenuhnya jernih. Siapa tahu ke depannya bisa diusahakan jauh lebih baik.

Segala fasilitas di kamar hotel membuatku puas dan tepat memilih Novotel untuk menginap. Dua botol air mineral tersaji lengkap dengan sepasang mug, kopi, teh, serta water heater. Lemari besar terpasang menempel di tembok; di dalamnya lengkap dengan gantungan baju. Tidak ketinggalan seperti brankas, kitab suci, dan malah ada piyama.

Dari informasi yang aku dapatkan, Novotel Semarang merupakan hotel bintang empat dan berada dalam naungan Accor Hotels; salah satu jaringan hotel terbesar di dunia. Novotel Semarang sendiri mempunyai 174 kamar (105 kamar bebas rokok, 1 kamar disabilitas, 18 kamar penghubung). Kamar yang kupesan salah satu dari yang bebas rokok. Jenis kamar antara lain standar, lantai eksklusif, suite, dan superior.

Cukuplah sebelum terlelap tidur aku menyusuri sudut kamar hotel. Menikmati sabtu malam di tengah jantung kota Semarang, terlelap tidur dengan mimpi yang indah. Berharap esok bangun pagi dan bersemangat melanjutkan aktivitas. Tentunya melanjutkan eksplor beberapa sudut di luar kamar sebelum check out.
*****

Mengapa aku harus menginap di Hotel Novotel Semarang?
Semacam pertanyaan untuk diri sendiri. Menginap di manapun tempatnya tentu kita mempunyai alasan-alasan yang kuat. Satu hal yang membuatku tertarik menginap di sini tentu lokasinya yang berada di tengah Kota Semarang. Kebiasan menjelajahi tempat-tempat keramaian kota dengan jalan kaki membuatku memilih hotel ini.

Novotel Semarang lokasinya strategis; ingin main ke Paragon tinggal menyeberang. Main ke Simpang Lima pun jaraknya dekat, terjangkau dengan jalan kaki. Kulineran di tengah kota Semarang juga cukup mudah. Untuk harga kamar permalam, kalian bisa mengecek di berbagai aplikasi. Sesuaikan dengan dana yang ada di dompet kita.

Semalam aku hanya tidur kurang dari 3 jam, namun cukup membuatku bugar karena tak ada kebisingan. Hari sudah pagi, agenda kali ini cukup padat. Aku mencuci muka dan gosok gigi sebelum turun ke restoran, sekalian main-main sebentar di kolam renang. Uasan-ulasan di bawah ini pula yang membuatku memilih menginap di sini.

Aku bergegas menyusuri lorong menuju lift, dan menekan tombol 1. Di lantai tersebut kolam renang dan fasilitas lain disediakan. Masih pagi, kolam renang sepi. Tidak ada yang berenang. Aku mengabadikan sejenak, sebelum main-main air. Mumpung bawa celana pendek.
Kolam renang hotel cukup sepi
Kolam renang hotel cukup sepi

Kedalaman kolam renang ini 1.4 meter, cukup aman bagi para tamu hotel yang ingin berenang. Mungkin yang memiliki anak kecil harus menemani, karena di sini tidak ada kolam untuk anak-anak. Ketika menuju kolam renang, aku melihat di sisi kananku tempat fitnes, dan sebelah kiri yang tertutup rapat adalah tempat spa.

Ruangan fitnes aku masuki. Lengang, tanpa ada satupun pengunjung yang memanfaatkan. Aku masuk ke dalam, dan mencoba beberapa peralatan. Tidak lebih dari 20 menit, aku keluar. Nyatanya kolam renang jauh lebih menyenangkan bagiku. Pemandangan dari kolam renang tampak gunung jelas, kemungkinan besar itu adalah gunung Ungaran.
Ruang fitnes luas dan sepi
Ruang fitnes luas dan sepi

Kulihat jam tangan, sudah hampir pukul 07.00 WIB. Aku masih mempunyai satu agenda lagi yang harus kukunjungi di sekitaran perbatasan Semarang & Kendal. Bergegas aku ke kamar, mandi dan memanggul daypackkecil ke restoran. Seperti biasa, resto masih sepi. Aku bisa leluasa menikmati sarapan pagi.

Restoran di lantai M luas. Terbagi menjadi beberapa sekatan. Tiap tempat disediakan menu. Mumpung masih pagi, aku mengelilingi semua sudut menu sembari mengingat-ingat menu apa yang dihidangkan. Dimulai dari Bubur Ayam, berbagai Roti, Nasi Goreng, Ayam Kong Pou, Sauteed Mushroom, Chicken Bacon. Sampai menu seperti Bubur Rangrang, Bubur Sumsum, Pisang Godok, Ubi Rebus pun tersedia.

Minuman juga beragam; Jus Kiwi, Jus Sirsak, Coklat, Teh, Kopi, dan Jaumu Kunir Asem. Aku terus berkeliling mengecek buah yang disediakan, di sini buah yang disediakan ada Duku, Pepaya, dan Jeruk. Aku mengambil beberapa buah dan nasi untuk sarapan. Tak ketinggalan berbagai dessertyang ada di sudut lain.
Seperti tempat lainnya, restoran pun masih sepi saat pagi
Seperti tempat lainnya, restoran pun masih sepi saat pagi
Sajian dessert yang menggoda
Sajian dessert yang menggoda

Restoran di Novotel Semarang untuk sarapan buka dari pukul 06.00 WIB – 10.00 WIB. Kuhabiskan waktu di sini kurang dari satu jam. Usai sarapan, aku bergegas turun dan melakukan checek out. Sebenarnya ingin lebih lama menjelajah sudut lain di hotel, hanya saja sudah terlebih dulu janji mendatangi acara di Kendal.

Aku menikmati pengalaman singkat menginap di Novotel Semarang. Bagi kalian yang ingin main ke Semarang dan terpusat di tengah kota. Mungkin Novotel Semarang bisa menjadi alternatif pilihan kamu bersama keluarga. Lebih baik lihat dulu fasilitas hotelnya, lalu pesan di aplikasi-aplikasi yang tersedia. *Semarang, 17 – 18 Maret 2018.

Hotel Novotel Semarang
Alamat: Jl. Pemuda 123, Semarang 50132, Jawa Tengah, Indonesia
Telepon: Tel: (+62)24/3563000 / Faks: (+62)24/3584257
Sosial Media: @novotelsemarang(Instagram)

Mengayuh Pedal Sepeda ke Curug Jurang Pulosari, Bantul

$
0
0
Air terjun Jurang Pulosari kala pagi
Air terjun Jurang Pulosari kala pagi


Rencana untuk kembali menyambangi Pajangan dan berkunjung ke curug-curug musiman tiap awal bulan di tahun 2018 terpenuhi. Awal bulan Februari, aku kembali disenggol Mas Fitra. Beliau mengajak bersepeda mengunjungi curug, kali ini curug yang rencana dikunjungi adalah Jurang Pulosari.

Beberapa kali aku melintasi rute yang sama menuju Kasongan. Namun, tatkala dari Kasongan menuju Warung Bu Yati, aku selalu mengandalkan GPS. Pun dengan hari ini, aku menyusuri jalanan berbeda. Entah, mengikuti rute GPS tapi jalannya malah kecil, dan berakhir tepat di pertigaan sebelum tanjakan tajam.

Mulailah kaki ini mengayuh pedal sepeda pelan. Tanjakan Bu Yati cukup curam walau tidak panjang. Beberapa pesepeda pun kadang harus menuntun di sini. Dua pesepeda kusalip sembari menyapa. Satu orang lagi di depan sengaja kuikuti di belakang. Beliau adalah Om Gandhi. Orang yang sering bersepeda denganku, dan ikut rombongan hari ini.

“Tinggal dikit lagi, om,”Celetukku menyapa.

Beliau tersenyum, sedikit kaget kalau aku di belakangnya. Kami berjejeran mengayuh pedal sampai jalan landai. Tepat di warung Bu Yati sudah ada Pak Arif yang menunggu. Beliau bersama rombongan lain menanti kami.

Biarpun aku sering datang ke Pajangan, sejujurnya aku paling sudah menghapal jalan. Ketika pulang pun aku asal mengikuti pesepeda di depan agar sampai di Ring road. Jelajah rute pagi ini menjadi tugas Mas Fitra. Rombongan lain hanya mengikuti saja dari belakang.
Rombongan pesepeda menyusuri jalan cor
Rombongan pesepeda menyusuri jalan cor

Sepanjang jalan suasana teduh. Pajangan mempunyai kontur jalan bervariasi. Terkadang ada tanjakan kecil, turunan, jalan berlubang, macadam, jalan cor dua tapak, dan lainnya. Bagi pesepeda, jalur seperti ini adalah menyenangkan. Jika tidak kuat mengayuh, kita cukup turun dan menuntun.

“Rombongan lain sudah menunggu di patung Semar. Tadi salah ambil rute,” Terang Mas Fitra.

Bergegas rombongan kami menuju patung Semar. Di sana sudah ada lima orang menantikan kedatangan kami. Usai berjabat tangan, perjalanan dilanjutkan. Aku mengambil urutan paling belakang. Tujuannya agar bisa merekam sedikit perjalanan pagi ini.

Air terjun Jurang Pulosari sebenarnya sudah sangat dikenal para pecinta curug maupun pesepeda. Hanya saja ini menjadi kali pertama aku menginjakkan kaki di sini. Dulu pernah ada keinginan main, namun kutangguhkan. Menunggu musim hujan, dan tentunya teman yang sudah hafal jalur.

Tepat di depan rumah orang, kami berhenti. Di sisi kanan jalan plang bertuliskan “Jurang Pulosari”. Sepeda agak riskan kalau dinaiki, berjejer rombongan menuntun sepeda sampai ke jalan rata. Tepatnya jalan ini setapak, melintasi sisi teras rumah warga. Menyapa warga yang sudah beraktivitas.

Ada dua jalur untuk sampai di curug Jurang Pulosari. Kami memarkirkan sepeda di bagian atas, lalu menyeberangi aliran sungai. Suara air terjun terdengar jelas, sesekali teriakan pengunjung. Air terjun itu ada di bawah aliran sungai yang kami seberangi. Kulihat dari atas, sudah cukup ramai muda-mudi bermain air.

“Jalannya agak licin. Sepatunya dilepas saja,” Ujar Om Gandhi.

Dari atas, ada jalan kecil yang sudah dibuat warga untuk dilewati. Berhubung masih musim hujan, jalanan agak terkena tanah basah dan licin. Sampai di bawah, tebing sisi kananku bekas longsor. Satu pohon tumbang, terbengkalai. Dahan-dahannya sudah dipotong warga setempat. Aku membidik air terjun mumpung tidak ada yang bermain tepat di bawah airnya.
Mengabadikan curug kala sepi
Mengabadikan curug kala sepi
Mengabadikan curug kala sepi

Sekumpulan muda-mudi asyik bermain air. Dua lelaki tanggung sudah berenang ke tengah menuju tebing tepat air mengguyur. Teman lainnya duduk di pembatas batu yang dipasang berjejer, menjadikan area tersebut semacam kolam dengan kedalaman beragam. Teriakan yang terdengar dari atas nyatanya dari mereka.

Jika dari logatnya, suara mereka seperti dari Sumatera. Aku tidak asing dengan logat mereka, tiap hari hidup bareng teman-teman sumatera dalam satu kos. Sembari menunggu teman-teman yang masih asyik berfoto di atas, aku berbincang dengan Om Gahdhi & Om Arif. Tentu obrolan seputaran wacana ke depan; ingin gowes ke mana.

Kusapukan pandangan ke sekeliling curug. Pohon rindang menjadi tempat berteduh para pengunjung saat siang. Ada tempat duduk terbuat dari kayu yang disediakan. Terdapat pula warung warga, hanya saja belum buka. Pemiliknya masih bersiap-siap membuka warung.

Air terjun Jurang Pulosari menurutku jauh lebih nyaman digunakan berenang dibanding air terjun Kedung Pengilon. Sempat salah satu teman menjajal kedalaman air ini sedalam leher orang dewasa. Artinya tidak sampai dua meter; dan nyaman untuk berenang. Di tenagh terdapat dua batu besar, tentunya walau kedalaman segitu; kita harus tetap waspada.
Bermain air dulu
Bermain air dulu
Bermain air dulu

Keriuhan pengunjung lain bermain air membuatku gatal mengabadikan. Dari jarak lumayan jauh, aku membidik pengunjung lain yang asyik berenang, bermain air, atau menikmati curahan air dari air terjun musiman setinggi 8 meteran. Gegap gempita suara para pengunjung. Ada yang berteriak karena lompat dari ujung tebing ke dalam air, ataupun mereka yang usil menyiram temannya dengan air.

Sepuluh orang rombonganku sudah lengkap. Ini waktunya aku bekerja lagi, memotret mereka dengan latar belakang curug. Mereka berjejer di bebatuan, dan secepatnya kuabadikan. Selepas itu, satu persatu mereka berpose. Lagi-lagi aku menjadi juru dokumentasi. Mereka puas mendapatkan hasil dokumentasi, aku pun gembira mendapatkan bahan tulisan blog.

Bisa jadi air terjun Jurang Pulosari menjadi opsi bagi kalian yang ingin bermain air. Sekali lagi diingat, curug-curug di Pajangan musiman, sehingga jangan sampai salah bulan ketika berkunjung. Bulan Januari – Maret menjadi waktu yang tepat, hujan masih mengguyur dan debit air melimpah.
Formasi lengkap teman bersepeda *saya jadi juru dokumentasi
Formasi lengkap teman bersepeda *saya jadi juru dokumentasi

Tidak jauh dari curug, seorang bapak (warga setempat) membersihkan aliran air dari dedaunan yang ikut hanyut di sungai. Beliau seksama mengambil beberapa sampah plastik yang dibuang sembarangan. Dipungut sampah tersebut, dan dikumpulkan menjadi satu tempat.

Sudah selayaknya kita ikut menjaga kebersihan destinasi wisata. Kalaupun kita belum bisa berkontribusi dengan uang (masih gratis), setidaknya kontribusi kita adalah membuang sampah pada tempatnya. *Air Terjun Jurang Pulosari, Bantul; 04 Februari 2018.



Semangkuk Bakso di Alun-alun Karimunjawa

$
0
0

Menikmati kuliner bakso di Alun-alun Karimunjawa
Menikmati kuliner bakso di Alun-alun Karimunjawa

Angin malam membuat badan ini sedikit menggigil kedinginan. Embusan kencang angin laut kala malam hari terasa di tengah Alun-alun Karimunjawa. Suasana ramai bak pasar malam tak membuat embusan angin mereda. Justru menyeruak jauh lebih kencang, membuat aku sedikit kedinginan.

Alun-alun Karimunjawaberubah menjadi pasar malam. Tanah lapang yang digunakan untuk berlatih sepakbola kala sore seketika berubah menjelang magrib, lapak-lapak warga berjejeran. Deretan bagian barat ramai orang menggelar tikar menjual aneka souvenir, khususnya kaos bertuliskan Karimunjawa.

Deretan bagian timur dan utara dipenuhi gerobak kuliner. Berbagai kuliner ada di sini, tinggal kita ingin menikmati makanan apa, sesuai selera hati. Rata-rata wisatawan yang berkunjung ke Karimunjawa mendatangi tempat ini untuk berburu kuliner. Sebagian besar biro paket wisata sengaja tidak menyertakan makan malam dalam paketannya.

Di antara gerobak yang berjejeran; seorang lelaki berbadan tegap sibuk meracik bakso untuk disajikan. Di sampingnya, perempuan berjilbab terus mencuci mangkuk kotor, berlanjut menyajikan pesanan pengunjung yang setia duduk di tikar.
Wawan, pemilik gerobak bakso di Alun-alun Karimunjawa
Wawan, pemilik gerobak bakso di Alun-alun Karimunjawa

“Baksonya dua mangkuk,” Ujarku pada lelaki tegap.

Tak langsung dijawab, dia menatapku sedikit kaget. Aku tersenyum dan menjabat tangan lelaki tersebut. Tangan-tangan kuat dan sedikit kasar, menyiratkan bahwa tangan tersebut sudah terbiasa dengan pekerjaan apapun.

“Ya Allah, kak Rulla!” Seru lelaki tersebut. Sementara perempuan yang sedari tadi mencuci mangkuk beranjak berdiri dan menyalamiku.

Wawan, itulah nama yang kukenal selama ini. Sosok yang pernah merantau sampai ke Merauke dalam waktu cukup lama kembali pulang ke Karimunjawa. Setelah menikah, dia mantap merintis warung bakso & mie ayam di alun-alun Karimunjawa. Aku tahu letak lapaknya pun dari orang rumah yang menginformasikan kalau dia berjualan di sini.

Kami kenal cukup lama, ketika aku masih SMP. Berawal dari perkenalan bapak kami; almarhum bapak pernah membantu bapaknya Wawan ketika beliau tergigit Ular Edor. Semasa hidup, almarhum bapak menjadi rujukan orang ketika ada yang tergigit ular, bapak juga berkomunikasi dengan pihak puskesmas dan merujuk korban terpatuk ular ini ke rumah sakit.

Alhasil, setelah beliau sembuh, tali persaudaraan kami makin erat. Pernah almarhum bapak berniat membuat sampan kayu kecil, dan bapaknya Wawan inilah yang membuat sampan tersebut. Lalu mengirimkan sampan ke kampung kami. Mereka berdua sangat akrab, serasa saudara kandung.

Aku berbincang lama dengannya disela-sela kesibukan menyiapkan mie ayam atau bakso yang pembeli pesan. Aji, teman yang bersamaku malam ini sudah duduk di tikar. Dia menikmati waktu dengan gawainya. Sepanjang hari ini, barulah sekarang mendapatkan sinyal 4G.

“Ramai, Wan?”

Sedikit dia menghela napas. Dipanggilnya sang istri untuk menyajikan menu pada pengunjung yang duduk di gelaran tikar. Dia mulai bercerita tentang usaha yang dirintisnya kali ini. aku mendengarkan seksama. Sewaktu lebaran tahun lalu, aku pernah mendengar jika dia ingin kembali merantau ke luar Jawa. Namun ditangguhkan dengan berbagai alasan.
Suasana malam di Alun-alun Karimunjawa
Suasana malam di Alun-alun Karimunjawa

“Tergantung cuaca, Kak. Kalau agak dingin seperti ini ramai. Tapi kalau pas hujan tiba, biasanya berkurang peminatnya.”

Kusapu pandangan ke arah alun-alun. Malam ini pengunjung tak seramai biasanya. Padahal sekarang bulan Oktober, ombak laut pun cukup bersahabat. Di sudut-sudut lain juga banyak orang-orang duduk bercengkerama dengan kawan. Mereka menikmati malam akhir pekan di Karimun
jawa.

“Ini baksonya saya taruh di meja ya, Kak.” Ujar istrinya Wawan.

“Iya makasih. Wan, kutinggal makan dulu ya.”

Obrolan kami sejenak berhenti. Aku melangkah menuju tikar, menemani Aji yang sedari tadi matanya tertuju pada WAG. Lebih dari 25 pesan masuk selama satu hari dari gawainya. Kunikmati semangkuk bakso ini, sebuah sajian yang sedikit menghangatkan diri dari embusan angin malam.

Selama menikmati bakso, aku juga sempat menyapa beberapa orang yang kukenal lainnya. Salah satu dari orang yang kusapa adalah bapak penjaga sekolah SD-ku sekaligus teman main bulutangkis kala di kampung. Beliau bergabung dengan aku dan Aji, kami bertiga di meja yang 

“Ini bukan uangku. Aku ditraktir temanku itu,” seraya melirik ke Aji.

Harga semangkuk bakso tidak mahal. Seperti layaknya harga bakso lainnya di kota-kota besar. rata-rata harga makanan di alun-alun Karimunjawa cukup murah. Tidak menjebak seperti kasus di tempat-tempat wisata lainnya yang sempat ramai. Pun jika ragu, kalian bisa bertanya dulu harganya pada penjual jika tidak ada menu harganya.
Mari kulineran di Alun-alun Karimunjawa
Mari kulineran di Alun-alun Karimunjawa

Diterima uang tersebut sembari mengulurkan uang kembalian. Aku kembalikan uang tersebut pada Aji (orang yang membayari pesananku). Menjelang pulang, aku sedikit kaget ketika Wawan tahu jika aku mempunyai hobi menulis, termasuk kuliner. Sedikit bercanda dia berkata mungkin baksonya bisa ditulis di blogku.

“Siapa tahu nanti laris, Kak,” Celetuknya tertawa.

Candaan yang mungkin aku penuhi kali ini. Artikel ini aku tulis guna memenuhi permintaannya. Semoga usaha kuliner bakso & mie ayam-mu semakin laris. Terima kasih juga untuk Aji yang sudah mau mendokumentasikan selama menikmati bakso di Alun-alun Karimunjawa. *Karimunjawa, Oktober 2017.

Swafoto di Ayunan Langit Watu Jaran Kulon Progo

$
0
0
Salah satu pengunjung swafoto di ayunan langit Watu Jaran Kulon Progo
Salah satu pengunjung swafoto di ayunan langit Watu Jaran Kulon Progo


Kurun waktu dua minggu aku dua kali berkunjung ke Kulon Progo. Kusempatkan kunjungan kali ini menyambangi beberapa tempat wisata. Sebelumnya, waktu ke sini aku hanya bisa menikmati berlikunya perbukitan menoreh terguyur hujan deras. Sore ini lumayan mendung, semoga tidak hujan.

“Kalau sudah sampai sini kalian harus swafoto di Ayunan Langit,” Terang salah satu ibu yang menyambut kami selama di Dukuh Beteng, Desa Jatimulyo, Kec. Girimulyo.

Beliau mengatakan jika Ayunan Langit searah dengan jalur kami pulang ke Jogja. Sebuah ajakan yang tentunya tidak kami tolak. Seharian kami mengunjungi beberapa titik lokasi untuk keperluan lain. Kulihat teman-teman rombongan antusias ingin menyambanginya.

Lokasi Ayunan Langit Watu Jaran berada di Sabrangkidul, Purwosari. Dua mobil rombonganku mengikuti sepeda motor warga yang mengantar. Tepat di turunan, mobil berbelok ke kiri. Di kedua sisi jalan sudah terdapat plang petunjuk arah Ayunan Langit.
Petunjuk arah menuju area parkir Ayunan Langit Kulon Progo
Petunjuk arah menuju area parkir Ayunan Langit Kulon Progo

Seorang lelaki penjaga tiket memegang HT sigap menghitung rombonganku. Beliau menyobek kertas karcis yang bertuliskan harga nominal masuk. Tiap pengunjung dikenai biaya Rp.15000. Beliau berkomunikasi dengan temannya menggunakan HT, memberitahu kedatangan kami.

“Dua mobil masuk. Nanti parkir dekat gardu saja,” Ujar Pak Sarjiono.

Sebenarnya mobil tidak diperbolehkan parkir di dalam. Sudah ada lokasi parkir tepat sebelum pembelian tiket. Berhubung warga setempat yang biasa mengantarkan pengunjung menggunakan ojek sedang ada acara, jadi dua mobil kami diperkenankan masuk.

“Matur nuwun pak.”

Sembari mengambil tiket dari Pak Sarjiono, aku mencari sedikit informasi dari beliau berkaitan dengan objek wisata ayunan. Sebuah terobosan yang menurutku bagus. Di kala setiap bukit sebagian besar menyediakan spot foto, di sini ada tambahan sendiri yakni bermain ayunan. Permainan yang asyik bagi pecinta adrenalin tinggi.
Tiket masuk ke lokasi wisata
Tiket masuk ke lokasi wisata

Tidak dapat dipungkiri, spot swafoto berbentuk gardu atau lainnya sedang berkembang cepat di Indonesia. Ada yang menjadi menarik, namun ada juga yang tampak menjadi semacam dipaksakan.

Menyusuri jalan aspal, berlanjut jalan lebih kecil yang tepat berada di samping rumah warga. Sebuah plang bertuliskan “Ayunan Langit” mengarahkan jalur baru. Jalan kecil baru dibersihkan. Ranting pepohonan dipangkas, membuat jalur terlihat lebih luas.

Bukit tempat ayunan sore ini tidak ramai. Ada dua pengunjung yang sedang memacu adrenalin, bergelayutan pada ayunan sembari teriak kencang. Aku menunggu rombongan yang tertinggal di belakang. Gapura menjulang tinggi di depanku, jejeran bunga tertanam rapi sedang merekah.

Gapura tersebut berbalut bunga yang menjalar. Menutupi tulisan Ayunan Langit, menghadap ke jurang yang menganga. Dari atas, bagian bawah jurang adalah lahan sawah. Tidak luas sawahnya, tapi cukup membuat pemandangan indah.
Gerbang menuju Ayunan Langit Kulon Progo
Gerbang menuju Ayunan Langit Kulon Progo

Kedalaman jurang dari atas bukit ini 70 meter. Ketinggian bukit berada pada 800 mdpl, informasi ini aku dapatkan dari pelaku wisata yang menjadi pemandu ayunan. Ayunan kali ini tidak ramai, hanya antre sekitar tiga orang. Itupun dua di antaranya adalah rombonganku.

Wisata penuh adrenalin ini dibuka sejak Sembilan bulan lalu. Selama itu pula belum banyak wisatwan yang datang. Hanya pada akhir pekan saja wisatawan terlihat banyak. Jika akhir pekan, para wisatawan yang mencoba sensasi dilontarkan menggunakan ayunan ini tembus 50 orang.

Pemandu melengkapi peralatan keselamatan, sehingga para wisawatan yang dilontarkan yakin bahwa mereka aman. Pemandu juga sigap menarik ulur tuas tali yang mengendalikan pengguna. Jika calon wisatawan yang ingin mencicipi ayunan membludak, pemandu memberikan waktu tiga menit tiap orang.

“Nanti aku diabadikan ya mas,” Pinta teman rombonganku.

“Aku juga!” Teriak satu teman lainnya yang antusias ingin merasakan ayunan.

Dua pemandu sigap, mereka bekerja sama dalam melayani wisatawan. Satu pemandu memasangkan peralatan lengkap ke badan wisatawan, satu lagi memberikan intruksi selama proses dilontar.

“Kalau masih sangsi, lebih baik tidak usah naik ayunan,” Ujar pemandu memastikan.

Dua temanku sepertinya sangat siap. Raut mukanya saja bukan cemas, malah tersenyum sembari tak sabar ingin merasakan badannya dilontarkan ayunan. Mereka berdua antre, sementara itu aku menunggu untuk mengabadikan.
Menikmati sensasi di Ayunan Langit Kulon Progo
Menikmati sensasi di Ayunan Langit Kulon Progo

Tak berapa lama temanku gantian dilontarkan. Uniknya, mereka yang merasakan lontaran, namun kami yang menonton justru teriak heboh. Aku sempat mengabadikan beberapa dokumentasi. Kali ini kedua temanku lumayan lama main ayunan.

“Mas Sitam nggak mau coba?” Tanya dia padaku.

Aku menggeleng tertawa. Entahlah, mainan yang memacu adrenalin seperti ini membuat nyaliku ciut lebih dulu. Setiap main ke tempat-tempat manpun, aku menghindari wahana permainan yang sedikit memacu adrenalin. Lebih baik aku menikmati raut mereka yang sedang merasakan degup jantung kencang.

Tidak bisa dipungkiri, tiap lokasi yang berada di perbukitan sekarang cukup banyak spot swafoto. Termasuk di Ayunan Langit. Setidaknya ada tiga spot swafoto terbuat dari kayu. Sebenarnya di sini juga terdapat destinasi lain, yakin masuk ke gua. Hanya saja waktu semakin petang dan mulai rintik hujan membuatku membatalkan berkunjung ke gua.

Aku dan rombongan berlarian menuju mobil, rinai hujan makin deras. Kurasakan pakaian ini sudah kuyup. Aku menyambar daun talas yang ada di kebun, kujadikan payung darurat. Kamera sudah terlebih dulu kumasukkan ke dalam drybag. Nyatanya sama seperti dua minggu lalu. Kulon Progo tetap diguyur hujan kala menjelang petang. *Kulon Progo, 22 Maret 2018.

Sejumput Cerita dari Desa Sendang Duwur Paciran, Lamongan

$
0
0

Kawasan Sunan Sendang Duwur Paciran, Lamongan
Kawasan Sunan Sendang Duwur Paciran, Lamongan

Kusapu pandangan menatap jalur yang kami tempuh. Mobil yang kami naik berusaha keluar dari kemacetan area Gua Maharani. Melintasi jalur padat merayap, belok kiri sedikit menanjak. Kembali lagi perjalanan tersendat, lalu-lalang kendaraan di pasar tradisional.

Mataku masih mengamati jalan sekitar, dalam hati bertanya ke mana tujuan jelajah menjelang siang ini. Kubuka maps di gawai, jalur yang tertulis adalah jalan Sendang. Aku tidak bertanya pada teman-teman, toh liburan ke Lamongan ini memang tidak ada rencana paten. Intinya kami berkumpul dan bersenang-senang.

Jalanan tidak luas. Ketika ada kendaraan berpapasan, salah satu kendaraan sedikit mengalah. Sepi, seperti menuju perbukitan. Sesekali tampak rumah di dekat jalan dengan halaman depan luas. Kemudian kembali semak belukar dan kebun warga. Pohon-pohon Siwalan/Lontar menjulang tinggi, selaras dengan warung kecil tepi jalan bertuliskan “Es Siwalan”.

“Benar kok jalurnya,” Aya terus meyakinkan.

Semakin mengikuti jalur, jalanan semakin sempit. Aku heran, di tengah perbukitan, setelah melewati ladang warga terdapat desa sedemikan sesaknya. Mengingatkanku bukan di desa, tapi gang-gang dalam kota. Semacam labirin yang saling bersambung, pun GPS ngadat tidak bisa menunjukkan arah yang benar.

“Mbak dan rombongan tunggu di tempat saja. Saya jemput naik motor,” Terdengar suara lelaki yang ditelpon Aya.

“Oke mas, kami tunggu.”

Kami tertawa bersama, dua mobil terjebak di labirin desa Sendang. Memarkirkan kendaraan di jalan sempit, depan dan belakang turunan tajam. Antara tertawa konyol dan tidak percaya. Bagaimana bisa kami tersesat di desa. Desa dengan jalur-jalur kecil bersekat tembok. Masih saja kami saling menyalahkan. Terakhir kami sepakat jika yang salah adalah Google Maps.

Penantian panjang berakhir. Sosok yang berkomunikasi dengan Aya menghampiri kami menggunakan motor metik. Bergegas dua mobil mengikuti dari belakang. Kami masih berdebat panjang kenapa bisa tersesat. Sampai akhirnya titik terang terkuak. Pada jalur yang kami lalui tadi GPS mengarahkan belok kiri, nyatanya di plang pinggir jalan menunjukkan belok kanan. Benar-benar GPS dalang dari semua ketersesatan kami.
Antrean penziarah yang mendatangi daerah Sunan Sendang Duwur
Antrean penziarah yang mendatangi daerah Sunan Sendang Duwur

Di halaman cukup luas kedua mobil diparkirkan. Seluruh rombongan turun, berkumpul di bawah pohon rindang. Matauku tertutu pada tulisan “Sendang Duwur Paciran, Lamongan” pun dengan gerbang serta pengunjung ramai berlalu-lalang.

Percaya atau tidak, kali ini kami melakukan wisata religi. Beruntung aku membawa sarung dalam tas kecil. Meskipun bercelana pendek, aku masih bisa mengenakan sarung kesayangan berwana merah menyala untuk membalut bagian bawah tubuh.  Rombongan menyusuri jalan yang mengantarkan kami ke dalam area Sunan Sendang Duwur.

Aku terkesiap sesaat. Melihat gapura ini pikiranku terbayang gapura Wringin Lawang, atau malah gapura yang sering terlihat di Bali. Gapura ini berwana kusam kecoklatan. Disadur dari literasi, nyatanya gapura ini merupakan jelmaan dari perpaduan budaya Hindu dan Islam.

Satu hal yang diperhatikan, gapura-gapura ini adalah situs purbakala. Larangan menginjak tembok-tembok tertera di berbagai sudut. Mungkin pernah terjadi pengunjung yang naik ke tembok dan berfoto. Karena di sana ada tulisan larangan swafoto di atas tembok batu.
Menyusuri jalanan di area sendang duwur
Menyusuri jalanan di area sendang duwur

Terik panas tak membuat kami kelelahan. Kawasan Sunan Sendang Duwur masih ramai penziarah. Ada banyak makam yang tersebar di sudut-sudut tanah, kami terus menuju jalan agar sampai di makam Sunan Sendang Duwur.

Makam Sunan Sendang Duwur Paciran
Sunan Sendang Duwur bernama asli Raden Noer Rahman terlahir pada tahun 1320 M, anak dari Abdul Kohar bin Malik bin Sultan Abu Yazid yang berasal dari Baghdad. Gelar Sunan Sendang Duwur tersebut didapatkan dari Sunan Drajat. Beliau menyebarkan agama Islam di Sendang Duwur, yang pada masanya masyarakat di sini beragama Hindu.

Cara penyampaian dakwah Sunan Sendang Duwur pun beragam. Beliau malah menyebarkan agama Islam dengan cara mengajak masyarakat setempat dengan menanam pohon Siwalan/Lontar. Kemudian beliau menyisipkan ajaran-ajaran Islam dengan kegiatan tersebut. Lambat laun Islam menjadi banyak dan merebak di desa ini. Jadi ketika aku melihat banyak pohon Siwalan itu ada hubungannya dengan sejarah di sini.

Makam Sunan Sendang Duwur berada di perbukitan. Menurut Mas Zamroni (pemandu), perbukitan ini adalah yang tertinggi di Paciran. Seperti yang sudah aku sebutkan diawal, menuju desa Sendang, kami menyusuri beberapa bukit.
Pemandangan dari perbukitan
Pemandangan dari perbukitan

Kawasan makam cukup luas, bahkan ada tempat khusus untuk melihat keindahan dari perbukitan. Nun jauh di sana tampak masjid megah berkubah warna biru dan menara hijau menjulang tinggi di antara rumah warga. Seluas mata memandang masih didominasi perkebunan/lahan hijau dibanding atap rumah.

Tepat di tangga menurun, sebelum terowongan kecil penuh ukiran. Seorang simbah menamung air dari mata air dengan bekas botol mineral. Beliau sesekali menawarkan air mineral yang berasal dari sumber tersebut pada pengunjung. Satu botol air mineral ditebus dengan beberapa ribu. Aku lupa harganya, antara Rp3000 – Rp5000. Puluhan botol bekas air mineral terisi, beliau terus melakukan aktivitas sehari-hari menampung air dan mengemasnya dalam botol.

“Air ini dari lidah Mbah Wali,” Beliau berujar.

Mata air itu merupakan sumber yang tidak pernah habis meskipun musim kemarau. Penamaan Lidah Mbah Wali disematkan oleh para sesepuh untuk mata air tersebut. Masih dengan seksama, melawan rasa panas terik matahari, Mbah Wahlim terus menampung air mineral dan berharap ada yang membeli.
Mbah Wahlim memanfaatkan botol bekas untuk diisi dengan air
Mbah Wahlim memanfaatkan botol bekas untuk diisi dengan air

Aku sudah tertinggal dari rombongan. Mereka memasuki pintu semacam lorong pendek. Mungkin sepanjang tiga meter. Lorong sempit ini hanya bisa dilalui satu orang dewasa. Jika di tengah lorong ada yang berfoto, kita harus sabar menanti.

Gerbang berbentuk lorong dengan ukiran menghiasi bata yang tersusun ini menjadi ikonik. Tidak sedikit yang menjadikan jalan ini sebagai spot berfoto. Kulalui lorong kecil sembari meraba bata. Aku mengamati langit-langit lorong, sejenak berhenti di dalamnya.

Keluar dari gerbang lorong, anak tangga mengantarku naik ke atas bangunan lain. Di sinilah makam Sunan Sendang Duwur diistirahatkan. Aku menjadi orang terakhir yang masuk (rombonganku). Di dalam sana sudah ada seorang penjaga/juru kunci. Sebuah papan bertuliskan “Mohonlah pada Allah” bertujuan agar tiap penziarah memohon doa hanya kepada Allah.
Lorong jalan penuh ukiran
Lorong jalan penuh ukiran
Makam Sunan Sendang Duwur Paciran
Makam Sunan Sendang Duwur Paciran

Cerita Pemindahan Masjid dalam Semalam
Azan duhur berkumandang tepat saat rombongan usai berziarah di makam Sunan Sendang Duwur. Aku dan rombongan bergegas menuju masjid. Tidak banyak yang kuabadikan tentang masjid ini, dan itu menjadi penyesalanku kala pulang.

Bagaimana tidak menyesal, masjid yang aku sempat salat berjamaah dengan rombongan ini mempunyai cerita “ajaib” berkaitan dengan pembangunannya. Pun dengan asal muasal masjid ini berasal.

Masjid Sendang Duwur terbangun gagah, bagian dalam masjid terdapat penyanggah kayu besar. Uniknya lagi, di ujung belakang terdapat tangga yang bisa naik ke loteng masjid. Di atas loteng itu peninggalan kayu-kayu disimpan.

Konon masjid ini dibuat dalam waktu semalam. Lebih jelasnya masjid ini dipindahkan dari Jepara menuju Sendang hanya dalam waktu semalam saja. Itulah cerita-cerita yang dipercayai warga sampai saat ini. Mereka menyebutnya bahwa masjid ini adalah hadiah dari Ratu Kalinyamat (Mantingan, Jepara).
Masjid di kawasan Sunan Sendang Duwur Paciran, penyanggahnya dari kayu
Masjid di kawasan Sunan Sendang Duwur Paciran, penyanggahnya dari kayu

Pada masa Ratu Kalinyamat, Jepara memang terkenal dengan ukiran dan melimpah kayu jati. Sehingga tersiar kabar Sunan Sendang Duwur diarahakan gurunya (Sunan Drajat) ke Jepara bertemu dengan Ratu Kalinyamat yang mempunyai masjid indah. Kemudian masjid itu menjadi hadiah untuk Sunan Sendang Duwur jika dapat dipindahkan dalam semalam. Alhasil masjid itu benar-benar pindah ke bukit tertinggi di Sendang Duwur yang dinamakan Punak Gunung Amitunon.

Memang itu hanya cerita, dan kita tidak tahu kebenarannya. Tetap saja cerita-cerita seperti itu harus kita simpan agar tidak terlupakan. Menariknya aku yang salat di sini mengenakan kaos Jepara. Kaos yang diberikan oleh teman pengusaha ukir di Mantingan Jepara. Lokasi yang sama dengang lokasi awal masjid ini berada.
Di dalam masjid Sendang Duwur
Di dalam masjid Sendang Duwur/ do. Alid Abdul

“Biarpun ini hanya kebetulan. Tetap saja menjadi istimewa bagiku. Mengenakan kaos dari Mantingan (Jepara), dan mengenakannya saat salat di masjid nun jauh di Lamongan yang mempunyai cerita berkaitan dengan Mantingan.” Batinku berujar sendiri.

Sumur Giling di dekat masjid
Sebelum menunaikan salat zuhur berjamaah, aku dan rombongan diajak Mas Zamroni melihat sumur tua yang tidak jauh dari masjid. Sumur ini bernama Sumur Giling, dan airnya selalu melimpah walau musim kemarau.

Tidak kulihat ada mesin pompa air yang disematkan di atas sumur, pun dengan pipa-pipa kecil sebagai pengantar air yang disedot. Bahkan tali panjang untuk menimba air juga tidak ada. Hanya sebuah kayu besar dengan ruas kayu-kayu kuat terbalut tali sebesar lengan tangan anak kecil.
Mengunjungi sumur giling di dekat makam sendang duwur
Mengunjungi sumur giling di dekat makam sendang duwur

Kayu yang kulihat semacam drum besar. Tali panjang melilit di tengah susunan kayu yang membentuk membentuk lingkaran. Seorang warga asyik duduk sembari memainkan kaki di antara ruas-ruas batang kayu. Menggamit bagian celah, lalu menekan seperti sedang mengayuh pedal sepeda.

Bedanya, dia duduk sejajar sehingga seperti mengayuh perahu bebek-bebekan sembari terbaring. Kedalaman sumur giling 30 meter, jadi jika menimba air di dalamnya tentu terasa berat dan lama. Cekatan sekali sosok pemuda berambut agak gondrong ini mengayuhkan kaki menimba air.

Plung! Byuur! Suara ember yang sudah sampai permukaan air. Kemudian terisi air setengah, ditarik sedikit lagi menggunakan kaki, dan dijatuhkan. Ini dilakukan agar penimba tersebut yakin bahwa ember di dalam sudah dipenuhi air. Kebiasaan sehari-hari menimba menggunakan kaki membuat beliau santai tanpa merasa kesulitan.
Alat menimba airnya tidak pakai tangan, tapi seperti ini
Alat menimba airnya tidak pakai tangan, tapi seperti ini

Aku mengambil air yang sudah ditimba. Membasuh muka dan meminumnya sedikit. Segar rasanya. Sementara di belakangku terdapat lubang kecil yang nantinya air tersebut dialirkan ke dalam kolam kecil penampung. Tidak ada yang ingin mencoba menimba air, melihat saja aku sudah merasa capek.

Usai berkeliling di makam Sunan Sendang Duwur, salat di masjid, dan menyempatkan diri melihat sumur giling, rombongan menyusuri sudut lain dari desa Sendang. Pada akhirnya jejeran penjual Es Siwalan tetaplah menggoda. Ada rencana nantinya sebelum meninggalkan desa Sendang bakal mampir dulu di warung Es Siwalan. *Lamongan, Sabtu 23 Desember 2017.

Homi Coffee and Working Space di Jogja

$
0
0
Menikmati menu di Homi Coffee & Space Jogja
Menikmati menu di Homi Coffee & Space Jogja


Satu demi satu kedai kopi di Jogja mulai menggeliat. Hampir di setiap titik sudut kota Jogja kedai kopi layaknya toko yang bersebaran. Demangan menjadi salah satu pusat berkumpulnya berbagai kedai kopi. Sekitar 10 kedai kopi ada di sana, dan mereka mempunyai ciri khas masing-masing untuk menggaet pengunjung.

Satu kedai baru yang buka awal April membuatku tertarik datang. Homi Coffee Namanya, terletak di Jalan Kenari, Demangan. Kedai kopi yang cukup besar dengan suasana nyaman. Setidaknya itu yang aku rasakan ketika pertama kali datang dan memasuki ruangannya.

Kala pintu kubuka, pikiranku terbesit pada Noe Coffee atau Headculture. Maksudku seperti ini, ruangan luas, kursi-kursi dan sofa tersebar. Jenis kursinya juga nyaman diduduki, selain ada sandaran untuk punggung, kursinya juga berbalut busa tipis. Aku rasa Homi Coffee ini menjadi salah satu kedai kopi yang luas yang pernah aku sambangi. Berbagai dinding corak minimalis dengan ornamen sederhana.

“Selamat malam mas,” Sapa barista ketika aku datang.
Barista di Homi Coffee sedang membuat pesanan kopi
Barista di Homi Coffee sedang membuat pesanan kopi

Aku beranjak menuju bagian kasir, di sana sudah ada tiga orang lelaki tanggung beraktivitas. Kulirik daftar menu yang ada di meja sembari berpikir apa yang akan aku pesan. Pastinya aku tetap memesan kopi, ritual pertama ketika aku berkunjung ke kedai baru. Jika kunjungan kedua kali atau selebihnya, aku biasanya memilih non kopi. Barista cakap, seperti sedang berbincang dengan teman lama yang baru kembali bersua. Aku mendengarkan stok kopi yang tersedia.

“Ethiopia saja mas. Pakai V60, yang soft saja,” Pintaku.

Daftar menunya cukup beragam; Kopi, Non Kopi; Teh, Coklat, dan lainnya tersedia. Enaknya lagi di sini juga menyediakan makanan berat atapun camilan. Kombinasi menarik bagi yang malas keluar dari kedai ketika perut mulai lapar. Kisaran harga dimulai dari Rp.15.000, tergantung pesanan kita.
Daftar menu dan harga di kedai Homi Coffee
Daftar menu dan harga di kedai Homi Coffee

Percayalah, aku bukan orang yang paham kopi. Berbeda dengan teman-teman tongkronganku di #NgopiTiapPekan yang sudah melalang buana pengalaman minum kopi, paham jenis kopi, menikmati bau kopi, dan lainnya. Aku terjebak berkumpul mereka, sehingga yang aku ketahui sementara ini sekadar enak dan suasananya nyaman.

Barista yang melayaniku sigap. Diambilnya biji-biji kopi, lalu digiling. Kemudian dia menyerahkan gilingan tersebut yang sudah dimasukkan ke dalam gelas kecil padaku. Aku mencoba menghirup bau biji kopi, berusaha mengendus bau harum yang tercipta. Sejatinya, aku belum bisa merasakan enaknya kopi dari bau harumnya. Ritual mengendus bau ini aku lihat dari beberapa teman kala berbincang dengan barista.

Aku terbawa arus lantunan lagu santai di tempat ini. Tak terasa kopi pesananku sudah di depan. Tinggal aku sesap, namun kutangguhkan. Aku lebih tertarik berbincang dengan ketiga barista yang ada. Bang Ical, Bang Ozan, dan Bang Agil. Kami berbincang seputaran kopi yang ada di sini. Bahkan beliau juga menceritakan tentang sikap barista ketika menerima pengunjung.
Suasana di dalam kedai kopi
Suasana di dalam kedai kopi

“Kami harus ramah, mas. Setidaknya itu adalah awal yang baik ketika akan berinteraksi dengan pengunjung.”

Pengalaman yang menurutku menjadi hal penting karena di beberapa kedai kadang kita menjadi malas untuk datang kembali karena barista atau pramusaji-nya bertingkah cuek, bahkan ada yang bersikap kurang baik. Sudahlah, itu cerita yang tak akan pernah dilupakan teman-teman WAG.

Selain berbincang dengan ketiga barista, aku beruntung bertemu dengan bagian pemasarannya di sini. Mas Fika dan Mbak Indri. Dua sosok yang pertama ketemu langsung klop. Setidaknya ketika aku bertanya beberapa hal berkaitan dengan kedai kopi ini.

“Ada yang bilang masuk ke kedai kopi ini seperti masuk ke perpustakaan,” Ujar Mas Fika sembari tertawa.

Seperti perpustakaan, mungkin karena suasana yang nyaman dan tidak riuh. Konsep tempat duduk berjarak cukup luas, dan suasana nyaman membuat tempat ini serasa perpustakaan. Bagiku malah beda lagi; aku merasa seperti berada di sebuah galeri.

Alasanku adalah, tiap dinding ada banyak figura rak yang di dalamnya terdapat properti-properti asyik dan menarik. Membuat tempat ini makin indah. Kombinasi warna lantai, tembok, meja, dan kursi cukup seragam. Warnanya serasi, tidak ada yang mencolok.

Kedai kopi di Jogja dan beberapa kota lainnya mempunyai misi berbeda-beda. Bahkan ada juga kedai kopi yang menjual tempat daripada kopinya. Homi Coffee pun sebenarnya di tiap sudutnya asyik untuk berfoto. Saranku kalau foto di sini lebih asyik siang agar cahayanya lebih terang.

Aku menyempatkan diri meluangkan waktu untuk menikmati pesanan. Kopi dan camilan sudah tersedia. Sembari menyelesaikan satu artikel, kusesap kopi tersebut. Cukup soft, sesuai dengan permintaanku. Aku juga mencoba akses internetnya, untuk mengunduh file cukup cepat. Bahkan aku sempat mengunduh beberapa video dari youtube selama mengedit tulisan.

Seperti yang aku bilang tadi, Homi Coffee bisa digunakan sebagai tempat bekerja. Bagian ruangan di sebelah timur terdapat meja panjang yang bisa dipakai lebih dari 10 orang untuk bekerja. Di sini juga disediakan printer dan kertas. Kita bisa mencetak beberapa berkas yang mungkin dibutuhkan secara gratis.
Sudut lain di kedai kopi
Sudut lain di kedai kopi

Tiap meja terdapat colokan listrik, setiap meja hanya ada satu colokan. Apabila kita datang berkelompok dan semua sama-sama butuh listrik, mungkin lebih baik membawa colokan tambahan. Atau menggunakan colokan meja lain yang terdekat jika tidak digunakan.

Fasilitas lainnya yang menurutku nyaman di sini adalah adanya ruangan khusus untuk salat. Ruangan tersebut bisa digunakan tiga orang salat secara bersamaan. Adanya tempat salat membuat pengunjung tidak perlu keluar kedai kala ingin menunaikan ibadah.

Aku mengulik sedikit lebih dalam tentang kedai kopi pada Mas Fika dan Mbak Indri tentang siapa saja target pengunjungnya. Beliau kompak tak ada yang spesifik. Baginya rata-rata yang datang adalah mahasiswa, bahkan dari kampus yang lumayan jauh dari Demangan.

“Mungkin seperti kedai lainnya mas. Para pekerja lepas, mahasiswa, atau orang-orang yang ingin sekadar nongkrong,” Tambah Mas Fika.

Homi Coffee & Working Space ini buka mulai pukul 10.00 WIB, dan melayani pesanan terakhir pukul 23.00 WIB. Aku rasa dengan waktu seperti itu, bagi kalian yang ingin mengerjakan tugas atau mendapatkan deadlinepara bloger bisa menjadikan tempat ini sebagai alternatif pilihan.
Bersantai kala satu tulisan telah selesai kukerjakan
Bersantai kala satu tulisan telah selesai kukerjakan

Baru satu bulan lamanya, pengunjung kedai juga masih belum bisa diprediksi. Ketika aku di sini; ada 16 pengunjung kedai yang tersebar. Tiga di antaranya duduk di luar kedai, di sana ada beberapa meja dan kursi yang disediakan. Sementara ini dalam waktu semalam antara 30 – 40 gelas kopi yang dipesan. Tak hanya kopi sebenarnya, menu non kopi juga termasuk di dalamnya.

Tidak terasa waktu makin larut, kedai hampir waktunya tutup. Aku segera berkemas, meninggalkan kedai kopi dengan satu artikel selesai kuposting terjadwal. Terima kasih atas berbagi cerita dan jamuannya teman-teman Homi Coffee. Semoga ada terobosan-terobosan baru yang bisa dibuat sehingga tempat ini makin ramai pengunjung.

“Terima kasih sudah berkunjung,” Kembali terdengar barista padaku.

Sebuah ucapan pengantar pulang yang cukup baik dari sebuah kedai kopi. Ucapan-ucapan seperti ini yang kadang membuat pengunjung ingin kembali balik di waktu mendatang. Aku percaya, selain kopinya yang enak, tempatnya yang nyaman, harga dan menu yang sepadan, sikap barista dan pramusaji juga menjadi faktor yang menentukan apakah kita akan kembali lagi atau tidak. *Homi Coffee and Working Space, 20 April 2018.

Daftar Travel dan Bus Jurusan Jogja – Jepara

$
0
0
Bus Semarang - Jepara kala siang hari
Bus Semarang - Jepara kala siang hari


Sewaktu pulang kemarin ke Jepara, terbesit pikiranku untuk menulis daftar travel atau bus jurusan Jogja ke Jepara. Niat awal hanya ingin menulis daftar travel saja, karena bus tidak ada yang langsung ke Jepara. Setiap bus berhenti di Semarang, kemudian kita pindah bus lain jurusan Semarang – Jepara.

Alasan lain aku ingin menulis ini karena di salah satu WAG yang aku ada di dalamnya. Tidak sedikit teman-teman Jepara bertanya tentang travel Jogja - Jepara maupun sebaliknya. Bahkan topik tersebut pernah ramai dan membuat WAG menjadi agak sentimen jika ada kata “Travel Jogja – Jepara”. Lucu memang, tapi dari sanalah aku mendapatkan ide menuangkan ditulisan.

Kurun waktu beberapa tahun terakhir, travel Jogja – Jepara mulai ramai. Hal ini tidak terlepas dari dikenalnya Karimunjawasebagai salah satu tempat destinasi liburan. Aku sendiri pernah bertanya pada sopir travel, dia mengatakan seluruh penumpangnya adalah wisatawan yang ingin menyeberang ke Karimunjawa. Karena itulah mereka berangkat dari Jogja tengah malam.

Berikut Daftar Travel Jogja – Jepara

Daytrans Travel
Daytrans adalah salah satu travel Jogja – Jepara yang banyak digunakan para wisatawan. Umumnya mereka berangkat tengah malam dari Jogja dan sampai di Jepara dinihari. Di Jogja, kalian yang ingi  menaiki travel ini harus menuju shuttle-nya yang ada di sekitaran Mantrijeron. Bagi yang kejauhan, bisa menunggu di sekitaran Terminal Jombor.

Aku sendiri belum pernah naik travel ini. Saudaraku yang yang di Karimunjawa menuju Jogja pun sebaliknya sudah pernah ikut. Kendaraan yang digunakan adalah Elf. Keberangkatan dari Jogja biasanya pukul 23.00WIB, dan dari Jepara menyesuaikan kapal penyeberangan Jepara – Karimunjawa tiba. Tiket travel berkisar antara Rp.130ribu. Kontak telepon yang bisa dihubungi: Jogja: 081576473342 - Jepara: 085101325686

Bejeu Travel
Akhir bulan Maret 2018, aku pulang ke Jepara dan ingin menyeberang ke Karimunjawa. Kali ini aku sengaja memilih travel yang berangkat sore agar sampai di Jepara malam hari. Akhirnya aku memilih Bejeu, setahuku Bejeu di Jepara lokasinya di Pengkol; tepat di pusat kota Jepara.

Tempat Bejeu di Jogja tidak kuketahui. Aku hanya memesan melalui telepon dan menunggu di Terminal Jombor. Sesuai jadwal, travel ini berangkat dari Jogja ke Jepara pukul 18.00WIB. Lebih baik kita menungguinya setengah jam sebelumnya. Jadwal dari Jepara sendiri pukul 06.00 WIB dan 08.00WIB.

Elf yang digunakan bagus, tiap baris hanya diisi dengan dua kursi. Bagian tengah dijadikan Lorong untuk penumpang yang menuju bagian belakang. Kursi di belakang untuk tiga orang. penumpang yang ke Jepara akan diturunkan sesuai lokasi jika searah dengan rutenya. Untuk Jepara sekitaran Mlonggo, Bangsri, dan sekitarnya; nanti diantar sampai lokasi. Sementara aku pun diantar sampai Pelabuhan Kartini. Tiket travel sebesar Rp.120.000. Kontak telepon yang bisa dihubungi: Jogja: 085338133299 - Jepara: 085290501977

Kartika Travel
Sama halnya dengan travel yang pertama, aku belum pernah menaiki Kartika Travel. Bedanya, teman-teman yang kukenali juga belum ada yang menaikinya. Bagi yang ingin naik Kartika Travel, kalian bisa menghubunginya melalui telepon. Berikut nomor teleponnya; 085103808000 (Jogja), 081325092500 (Jepara). Kisaran harga mungkin tidak jauh beda dengan travel lainnya. Jadwal keberangkatannya pun kalian bisa tanyakan langsung melalui telepon.

Alloy Travel
Beberapa teman di WAG pernah ikut di travel ini. Aku sendiri belum pernah menaikinya. Namun aku pernah melihat secara langsung travel ini sewaktu di Terminal Jombor kala menunggu travel lain. Berikut aku sertakan nomor telepon yang bisa dihubungi jika ingin menggunakan Alloy Travel. Nomor teleponnya 08112766111 (Jogja) dan 08112767111 (Jepara). Untuk harga dan lokasi jemputan bisa hubungi langsung nomor terkait.

Citra Travel
Dari sekian banyak travel yang rutenya Jogja – Jepara atau sebaliknya. Citra Travel menjadi travel yang paling sering aku naiki. Saking seringnya, sopir yang menjemput sudah hapal denganku. Citra Travel ini berangkat dari Jogja tengah malam dan balik ke Jogja pukul 15.00WIB. Beliau menargetkan wisatawan yang pulang/pergi ke Karimunjawa dari Jogja.

Aku pernah menaiki tiga armada yang berbeda; Mobil Avanza, Elf, dan Hiace. Bagi yang alamatnya di dalam ringroad, travel ini mau menjemput kita langsung di alamat tersebut. Hanya saja tujuan di Jepara hanya sampai di Pelabuhan Pantai Kartini. Karena tempat mereka ada di sana. Adapun tarifnya adalah Rp.130.000. Nomor yang bisa dihubungi: 085369300789 (Jogja).

*****

Di atas sudah aku tulis daftar travel yang bisa dipilih kala ingin  berkunjung ke Jepara dari Jogja. Mungkin untuk menambah informasi transportasi lain, aku sertakan juga rute bus yang bisa dinaiki untuk sampai Jepara.

Rute naik bus juga ada dua opsi, lewat terminal Jombor via Magelang, atau melalui Terminal Giwangan via Kartosuro/Solo. Tergantung jam berapa kalian akan berangkat. Kedua rute ini sudah pernah aku lewati semua.

Jogja – Semarang – Jepara
Jika kalian melakukan berjalanan pagi/siang hari, aku rekomendasikan untuk menaiki yang melewati Magelang. Selain bus ekonomi, ada juga bus patas. Bus tersebut adalah Ramayana & Nusantara. Kedua bus ini saling bergantian tiap 30 menit dari terminal Jombor. Tarifnya Rp.45.000 sampai Semarang.

Sampai di Semarang turun di pertigaan Terminal Terboyo (bagian luar). Setelah itu pindah bus Semarang – Jepara. Bus terakhir dari Semarang biasanya di atas pukul 16.00WIB. Jadi kalian harus bisa memastikan bus tersebut masih ada. Harga bus Semarang – Jepara Rp.20.000 kecuali pukul 04.00WIB dinihari, harga bus naik Rp.5000 menjadi Rp.25.000

Jogja – Kartosuro/Solo – Semarang – Jepara
Bagi kalian yang suka perjalanan tengah malam. Rute menuju Jepara dari Jogja pun bisa dilalui. Bedanya kali ini harus lewat Kartosuro atau Solo. Dari Jogja kalian bisa naik bus arah Surabaya dan turun di Kartosuro atau sampai di Terminal Solo. Sampai di sana pilih bus arah Semarang.

Jika turun di Kartosuro, kalian menunggu bus di pertigaan Kartosuro, menunggu bus Taruna atau lainnya yang menuju Semarang. Di Semarang kembali turun di pertigaan terminal Terboyo, lalu berganti bus Semarang – Jepara. Perlu dicatat, bus Semarang – Jepara paling pertama berangkat pukul 04.00WIB, nantinya bakal sesak-sesakan dengan tarif agak malah sedikit.

Pada dasarnya tinggal kalian ingin memilih transportasi yang mana. Mungkin sedikit informasi ini dapat membantu kalian yang ingin liburan di Jepara. Oya, destinasi di Jepara itu ada banyak; tidak hanya Karimunjawa semata. Ada banyak pantai berjejer di sana, kulineran, dan tentunya wisata heritage yang bisa dikunjungi. *Jepara; 30 Maret 2018.

Pancaragam Potret Gelaran Le Tour De Jogja 2018

$
0
0
Ekspresi perserta saat berhasil finish 110KM
Ekspresi peserta saat berhasil finish 110KM

Gelaran Le Tour De Jogja 2018 menyisakan euforia tak berujung. Dimulai dari WAG yang makin ramai, sampai postingan para peserta, panitia, maupun penonton di tiap media sosial. Ada semacam rasa bangga, namun tetap tak boleh jumawa. 

Aku tak banyak mengabadikan gambar, memotret candid para peserta yang beraksi, ataupun mengabadikan para panitia yang pikirannya terpusat pada acara. Tim fotografer sudah melakukan tugas dengan baik, merekam segala momen yang mungkin tak terlihat oleh kami yang berjaga di lokasi. 

Berawal dari hari jumat, panitia (termasuk aku) sudah bergelut dengan berbagai keperluan. Satu persatu mendata kekurangan, menambalnya, dan melanjutkan pekerjaan. Terang saja, tak hanya tenaga dan pikiran yang terkuras. Bahkan waktu bergulirpun kami tak sadar. Tersisa hanya lelah yang luar biasa. 

Berada di bagian pembagian race pack, aku dan tim tak sempat berbincang lama dengan peserta. Hanya sekadar menyapa kala mengambil race pack. Beruntung masih bisa mengabadikan diri dengan beberapa peserta Le Tour De Jogja 2018. 
Foto bersama peserta dari Jepang/ Sumber Facebook Akemi  Takeuchi
Foto bersama peserta dari Jepang/ Sumber Facebook Akemi  Takeuchi


***** 

Waktunya telah tiba. Minggu pagi JEC dipenuhi pesepeda dari berbagai penjuru Indonesia. Dari ujung Lhokseumawe sampai Papua Barat, semua berbaur menjadi satu. Menyapa kerabat, teman yang dikenal hanya lewat media sosial, bahkan bertemu dengan teman-teman baru. 

Merah menyala kala pagi. Ada 610 peserta yang tumpah ruah menjadi satu, belum lagi ditambah penonton yang memadati garis awal sepeda. Di depan, berjejer pesepeda berjersei hijau; atau apa warna jerseinya. Mereka adalah Road Captain

Terselip beberapa teman di dalamnya, mereka menjadi pesepeda yang mengiringi para peserta. Satu lagi, sosok pesepeda sekaligus pemuda yang dikenal melalui olahraga balap motor. Muhammad Fadli, seorang pesepeda difabel yang ingin membuktikan bahwa para difabel tidak boleh berputus asa. 
Bersiap di garis terdepan
Bersiap di garis terdepan

Le Tour De Jogja ini menjadi tahun kedua. Tahun lalu, saat pertama kali diadakan; berlokasi di GSP UGM dan diikuti sekitar 500 peserta. Tahun ini 610 peserta dari penjuru Indonesia dan manca. Menarik memang ketika ada dua pesepeda dari Jepang yang rela main ke Indonesia untuk ikut menjelajah rute penuh perbukitan. 

Dua peserta dari Jepang ditambah satu peserta eropa menjadi magnet para pesepeda. Setidaknya, mereka sering diajak foto bersama. Asiknya lagi, mereka semua sangat ramah. Konon rute 110 kilometer ini didominasi tanjakan dan pemandangan indah. 
Peserta manca ikut meramaiakan acara Le Tour De Jogja
Peserta manca ikut meramaiakan acara Le Tour De Jogja
Peserta manca ikut meramaiakan acara Le Tour De Jogja 

Bagi yang penasaran rutenya, berikut sedikit gambaran rute yang dilalui; JEC - Gedongkuning - Rejowinangun - Ketandan - Giwangan - Jejeran - Lapangan Sultan Agung - Tembi - Gabusan - Bakulan - Jetis - Imogiri - Selopamioro - Kopi Panggang - Terminal Panggang - Saptosari - Paliyan - Kelurahan Grogol - Playen - Gading - Tahura Wanagama - Sambipitu - Kampung Emas Plumbungan - Nglanggeran - Nawung - Candi Sojiwan - Kalasan - Berbah - AAU - Maguwo - Blok O – JEC. 

Lebih dari 70 persen tanjakan, bahkan mungkin di beberapa titik merupakan tanjakan menjulang tinggi. Dari keseluruhan tanjakan tersebut, aku baru merasakan yang menuju Panggang. Itupun berhenti beberapa kali saat menuju Pantai Ngunggah. Sebuah candaan muncul di WAG saat usai bersepeda. 

“Tanjakan sebenarnya jalan datar yang dimiringkan.” 

Sontak tulisan tersebut mendapatkan banyak respon dengan ikon-ikon tertawa. Ya, menurut para peserta, mereka tidak menyangka dengan rute seperti ini. Sebuah kejutan yang berhasil segenap panitia berikan. Selain itu, secara tidak langsung, panitia juga mempromosikan destinasi-destinasi wisata di Jogja. 

Peserta sepeda mulai menikmati rute yang disajikan. Tim Marshal sibuk mengurusi jalan, tim Fotografer siap siaga memotret dan merekam momen; aku dan teman-teman di lokasi acara menyiapkan lainnya. Sesekali mengecek tiap peserta melalui aplikasi Lacakin. 
Memantau peserta dengan aplikasi Lacakin
Memantau peserta dengan aplikasi Lacakin

Menjelang siang, satu demi satu peserta berdatangan. Jarak tempuh 110 kilometer diselesaikan dengan waktu empat jam. Bisa jadi kalau aku yang menempuh bisa sampai sore. Aku bergegas menuju gapura akhir, mengabadikan semampunya. 

Makin siang, makin banyak kelompok-kelompok kecil berdatangan. Aku menekan tombol shutter sebanyak-banyaknya. Tak peduli apakah nanti foto-foto ini berguna atau tidak. Setidaknya yang terlihat di ujung garis akhir hanya aku. Sementara para fotografer belum sepenuhnya sampai lokasi. 

Raut wajah ceria menutupi rasa capek kala mengayuh pedal sepeda. Mereka menikmati waktu menuju garis pembatas. Teriakan panjang, senyum sumringah, membentangkan tangan, atau malah berusaha sedikit atraksi dengan mengangkat ban depan sepeda saat melaju. Rasa capek lebur. Hilang sudah! 
Peserta melewati garis akhir
Peserta melewati garis akhir
Peserta melewati garis akhir

Aku mencari wajah-wajah sumringah tersebut. Meminta izin untuk mengabadikannya. Ketika mereka bersuka ria sudah sampai tujuan dengan semangat, teman-teman tim bertugas mengalungkan medali bertuliskan 110KM. Salah satu pesepeda mengekspresikan kepuasnnya dengan menggigit lempengan besi tersebut. 

Pandanganku terarah pada anak kecil yang menuntun sepeda. Dia menuju meja pendaftaran dan menyodorkan nomor punggung. Diambilnya sertifikat, dan dia tersenyum bangga. Aku bergegas mendekatinya dan menyapa anak tersebut yang didampingi bapaknya. 

“Namanya Syahrizal, kelas dua SMP,” Jawab ayahnya bangga. 

Aku terkesiap melihat anak SMP yang berasal dari Cilacap ini. Dia berhasil melibas tanjakan Siluk dan Sambipitu; tanjakan yang membuat lutut pesepeda macam aku bergetar. Kembali aku meminta izin mengabadikan dengan latar Le Tour De Jogja. 
Peserta termuda digelaran Le Tour De Jogja 2018
Peserta termuda digelaran Le Tour De Jogja 2018

“Medalinya digigit dek, biar keren,” Pintaku. 

Agaknya dia masih malu-malu. Lambat laun terlihat sudah biasa. Aku percaya, jika dia benar-benar dibimbing dengan baik; tentu saja lima tahun ke depan muncul atlit sepeda nasional dari Cilacap bernama Syahrizal. Semoga saja ini terwujud. 

Kerumunan pesepeda makin banyak, waktu berangsur cepat menjadi sore. Seluruh peserta sepeda sudah datang, bahkan ada yang sudah kembali menuju hotel. Ada 610 peserta yang didominasi luar Jogja. Sebuah antusias tinggi yang tak terduga olehku, pun dengan panitia lain. Kami (seluruh panitia dan marshal) berkumpul; berucap syukur sembari berharap tahun depan tetap ada Le Tour De Jogja. 

“Tahun depan tugasmu masih seperti tahun ini. Kamu bertugas di pendaftaran,” Celetuk salah satu panitia inti padaku. 

Aihh, rasanya baru saya ingin melepas lelah setelah bergadang beberapa malam; tapi dipikiranku sudah membayangkan tahun depan dengan suasana yang sama. Aku tersenyum sendiri. Tentu tahun depan aku berusaha lebih siap lagi jika masih dilibatkan. Terima kasih untuk seluruh peserta, panitia, dan sponsor atas terselenggaranya Le Tour De Jogja 2018. 

*Catatan; foto-foto di atas adalah milik saya pribadi, kecuali yang foto bersama dengan peserta dari Jepang. Nantinya foto-foto ini juga akan tersebar di FP Le Tour De Jogja dengan watermark LTDJ.

Moment Coffee & Space, Tempat Nongkrong Asyik di Semarang

$
0
0

Menikmati akhir pekan di Moment Coffee & Space Semarang
Menikmati akhir pekan di Moment Coffee & Space Semarang

Selama ini aku jarang berlama-lama di Semarang. Ketika ada kegiatan pun sebisa mungkin aku langsung balik ke Jogja setelah acara selesai. Hal ini pula yang membuatku bulan lalu sengaja menginap di Semarang. Menikmati waktu akhir pekan, dan menyempatkan diri berkunjung di beberapa destinasi wisatanya. 

Kebiasaan kopdar dengan teman di kedai kopi selama di Jogja tertular di Semarang. Selepas zuhur, aku diajak mbak Olip, Mbak Dev, dan satu temannya lagi mengunjungi salah satu kedai kopi yang sedang naik daun. Namanya Moment Coffee & Space. Kedai kopi ini berlokasi di Jl. Rajabasa No.82-83, Karangrejo, Gajahmungkur, Kota Semarang. Tempat yang sulit aku hapal jalannya, Karena jauh dari hiruk-pikuk kota. 

Jejeran kendaraan roda empat tertata rapi di tepi jalan. Seorang juru parkir mengatur posisi mobil agar tepat berada di pinggir jalan dan tidak mengganggu pengguna jalan lainnya. Aku turun dan menaiki anak tangga. Sebuah kedai yang tidak besar, namun cukup ramai siang kal ini. 

Pohon menjulang tinggi dan rindang menjadikan area luar sebagai tempat favorit para muda-mudi untuk nongkrong. Dinding kaca tebal yang transparan membuat kita dapat melihat kondisi di dalam. Tak ketinggalan tulisan kecil “Moment” pada satu dinding berwarna coklat. Aku berhenti sejenak, mengabadikan, lalu menyusul teman lain yang sudah di dalam.
Tulisan Moment tepat di dinding kedai
Tulisan Moment tepat di dinding kedai

Informasi dari Mbak Olip, kedai kopi ini terbilang baru dan cepat dikenal para kalangan muda-mudi. Ketika dia ke sini kali pertama, lokasinya masih sepi dan bagian luar belum ada kursi-kursi tongkrongan seperti sekarang. Meskipun berada di jauh dari keramaian, antusias muda-mudi untuk ke sini sangat tinggi. 

Teman lain sedang sibuk memesan, aku beberapa jam lalu sudah menikmati segelas kopi di kedai lain hanya memesan Avogato. Bahkan aku sendiri sampai lupa mengabadikan berbagai menu dan kisaran harga di kedai kopi ini. Padahal, tiap aku berkunjung ke kedai kopi pasti yang pertama aku abadikan adalah menu harga. Seingatku kisaran harga antara 25ribu ke atas. 

Di dalam ruangan kedai, tersebar banyak kursi dan meja kayu. Sementara ini pihak kedai memanfaatkan sisi dinding dijadikan meja kecil yang memanjang. Bagian tengah ruangan tersebar meja dan kursi. Para pengunjung kedai sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. 
Meja dan kursi tersebar di dalam kedai
Meja dan kursi tersebar di dalam kedai

Kalau untuk nongkrong santai, kedai ini tempatnya asyik. Namun jika digunakan untuk tempat mengerjakan tugas atau lainnya, mungkin sedikit terusik karena tamu silih berganti dan cukup ramai juga suasanan di dalam. Oya, di sini tidak hanya menyediakan kopi saja. Non kopi dan camilan juga bisa dipesan di sini. 

Layaknya kedai kopi lainnya yang menjual tempat, Moment Coffee & Space ini digandrungi para pecinta foto. Selama di sini terlihat banyak muda-mudi yang menenteng kamera, menjadikan teman sebagai model, dan mengabadikan dari berbagai sudut. Kumpulan pengunjung lainnya sudah asyik menatap layar laptop. 
Kedai kopi menjadi salah satu spot berfoto para pecinta media sosial
Kedai kopi menjadi salah satu spot berfoto para pecinta media sosial

Bagaimana dengan pesananku? Avogato yang aku pesan disajikan secara terpisah sesuai permintaanku. Awalnya di sini menyediakan Avogato dicampur antara Es Krim-nya dan Kopinya. Di beberapa kedai kopi yang baru, aku biasanya memesan Avogato kalau sedang bingung milih menu. Kalau tidak, biasanya aku tanya ke baristanya terlebih dulu apa yang menjadi pesanan favorit. 

Menurut lidahku, Avogato di kedai ini biasa saja. Maksud saya di sini adalah seperti layaknya kedai lain. Di Jogja, aku merasakan Avogato yang berbeda itu di Noe Coffee. Ini hanya pendapatku pribadi, karena tiap orang mempunyai selera yang berbeda; aku juga sempat mencicipi pesanan teman lainnya. Cukup enak kok. 
Pesananku dan milik teman
Pesananku dan milik teman

Tidak semuanya pesanan disajikan dengan gelas kaca. Salahs atu teman memesan minuman dingin disajikan dengan gelas plastik, lengkap dengan tulisan nama kedai dan slogannya. Tidak ketinggalan nama akun Instagram-nya momentcoffee.smg

Tak hanya di Jogja, kota-kota besar lainnya pun mulai banyak ditemui kedai kopi. Tempat alternatif para muda-mudi nongkrong santai sembari menikmati waktu bersama. dua jam lebih aku di sini, menikmati pesanan yang sudah di meja, dan mengabadikan beberapa foto. 
Mbak Dhev sedang menikmati pesanannya
Mbak Dhev sedang menikmati pesanannya

Satu hal yang menarik perhatianku, biarpun lokasinya agak jauh dari area kampus, tapi Moment Coffee & Space banyak didatangi para mahasiswa/i. kita bisa sedikit paham, jika lokasi agak jauh dan antusias pengunjungnya besar artinya ada beberapa hal yang menarik di sini. Bisa jadi tempatnya, suasananya, baristanya, atau bahkan kopinya. *Moment Coffee & Space Semarang; 17 Maret 2018.

Hamparan Sawah di Yogyakarta, Rute Asyik untuk Bersepeda

$
0
0
Jalan di tengah-tengah persawahan yang hits di Nanggulan
Jalan di tengah-tengah persawahan yang hits di Nanggulan

Di kala hamparan sawah mulai berganti dengan bangunan menjulang tinggi, warna hijau berubah pudar kusamnya tembok. Atau hamparan sawah menjadi spot foto ala-ala demi memuaskan hasrat untuk berswafoto dengan segala modifikasinya. Sesungguhnya kita tetap merindukan semilirnya angin di tengah-tengah persawahan yang mulai menghijau. 

Pemandangan sederhana tanpa tertutup sekatan batang kayu melintang bertuliskan “jomlo” atau “hamparan sawah cinta” dan lainnya. Cukuplah padi, irigasi, jalan setapak, jalan cor, petani, sepeda tua, dan pohon-pohon peneduh yang kami pandang. Itulah keindahan yang ingin terus aku pandang. 

Ini pula yang membuat aku tetap bersemangat menyempatkan akhir pekan bersepeda. Seperti yang aku lakukan bersama Pesepeda Jogja Gowes, menyusuri sudut lain Jogja yang masih menawarkan pemandangan sawah dan perbukitan Menoreh. Kulon Progo menjadi salah satu tempat yang sawahnya luas, asyik untuk disusuri. 
Para peserta yang ikut survei rute kopdar
Para peserta yang ikut survei rute kopdar

“Nanti lokasi fotonya di sini. Kalau beriringan naik sepedanya bakal bagus diabadikan,” Terang Pak Heru, salah satu fotografer senior yang sering memotret aktivitas bersepeda. 

Beliau menenteng kamera, mengabadikan teman lain yang mengayuh pedal. Aku sendiri menguntit beliau dari belakang, belajar mengambil gambar dari sudut yang mirip. Dirasa cukup, kembali kameranya dimasukkan ke dalam tas yang ada di-pannier sepeda bagian belakang. 

Secara garis besar, rute yang kami lewati itu Nol KM, Wirobrajan, Museum Suharto, Moyudan, Kenteng, Patung Sapi - berakhir di Geblek Pari. Rute beragam, jalan besar nan ramai, melintasi rel kereta api, Museum Soeharto, jalan kampung, dan tentunya hamparan sawah. 

Tujuan bersepeda memang hanya ingin berfoto-foto di lahan hijau. Nanggulan, sebuah kecamatan di Kulon Progo menjadi lokasi tujuan. Setiap melihat hamparan sawah, kami berhenti. Menatap penuh makna, sesekali menyuruh beberapa pesepeda untuk naik sepeda dan kami mengabadikan. 
Sudut lain di pematang sawah
Sudut lain di pematang sawah

Titik yang dipilih untuk berfoto sudah jelas hamparan sawah. Aktivitas pesepeda beriringan menjadi pose yang paling umum diambil. Aku mengayuh pedal sepeda, mengikuti rombongan yang sudah di depan. Sesekali tertawa melihat teman fotografer yang mengendarai motor seraya membidik. Hati kecil berdoa agar nanti ada fotoku yang terabadikan. 

Musim tanam sudah berlangsung beberapa minggu lalu, yang terlihat hamparan sawah adalah hijau; tanda padi tumbuh dengan subur. Jauh di sana sebagian petani sudah datang lebih awal, memupuk, membersihkan parit, atau sekadar berbincang dengan tetangga di tepian jalan. 

Ada pula warga yang menyempatkan waktu akhir pekan untuk bersantai. Mereka juga berolahraga melepas bosan dengan bersepeda. Seringkali kujumpai petani sedang naik sepeda menuju sawah, di belakangnya terdapat cangkul atau sabit. Tidak ketinggalan topi khas dari anyaman bambu. 
Penduduk setempat sedang menuju sawah
Penduduk setempat sedang menuju sawah
Sepeda menjadi alat transportasi sehari-hari
Sepeda menjadi alat transportasi sehari-hari

Suasana tenang membuat aku betah berlama-lama berhenti, menikmati bau tanah yang masih sedikit lembab. Semalam hujan mengguyur sangat deras, bahkan menjelang pagi masih terlihat rintikan halus. 

Tidak ada target sampai lokasi jam berapa. Sementara para rombongan sudah melintasi sawah, aku masih berhenti di tepian jalan. Melihat seorang kakek mengayuh sepeda melintasi jalan kecil. Jalan ini pula yang dilewati teman-teman saat mencari spot foto. Seingatku, jalan ini setelah pasar Kenteng nanti ada sawah dan jalan belok kiri. 

“Lewat sini atau mana?” Tanya Mas Yuda pada Febri. 

“Lurus!!” Teriak Febri sembari membidik teman-teman sepeda. 

Jalan tersebut pertigaan, belok kanan dan lurus. Mendengar teriakan Febri yang bilang lurus, sebagian rombongan yakin jika tidak belok. Febri masih memotret di pertigaan. Melihat rombongan di depan sudah mengayuh pedal agak jauh, dia kembali berteriak. 

“Lurus sini!!” Teriaknya ke arah jalan belok kiri. 

Aku tak kuasa menahan tawa. Teman-teman yang di belakang juga ikut tertawa. Ketika dia bilang lurus, pikirannya adalah searah parkir motornya, bukan arah sepeda kami datang. Mas Yuda & Mbah Kung Endi; duo pesepeda senior yang menaiki sepeda lipat harus putar balik. 

“Emang Febri itu sengaja usil. Masa Mbah Kung & Mas Yuda dikerjai suruh lurus!” 
Mbah Kung Endi dan Mas Yuda sedang berdiskusi menentukan rute kopdar, kami cukup motret saja
Mbah Kung Endi dan Mas Yuda sedang berdiskusi menentukan rute kopdar, kami cukup motret saja

Sudah lama aku bersepeda bareng Febri, dan pernah dikerjai lewat jalan yang tidak manusiawi. Kejadian itu setahun yang lalu, sepedaku harus melewati jalan seperti sungai kering. Satu-satunya cara melintasi hanya dengan memanggul sepeda. Kala itu sepulang dari Bukit Mojo Gumelem

Pilihan rute untuk kopdar hampir selesai. Dari pasar Kenteng harusnya tinggal belok kanan sampai di Geblek Pari. Namun rute dibuat blusukan lagi, rute terus lurus belok kiri dan mengikuti jalan sampai tembus ke Patung Sapi. Aku sudah tertinggal jauh dari rombongan di depan, kami putuskan untuk memotong jalan cepat menuju Patung Sapi dan belok kanan. 

Kombinasi hamparan sawah sisi kanan serta sungai kecil di sisi kiri menjadi pemandangan yang selaras. Gemericik aliran air selaras dengan embusan angin sepoi di tengah sawah. Terbentang luas sawah menghijau menyajikan keindahan yang alami. Keindahan yang memang dirindukan olehku. 
Di antara sungai dan sawah
Di antara sungai dan sawah

Ada kalanya perjalanan singkat sepedaan menyusuri sawah, melihat petani beraktivitas, menyaksikan burung-burung Bangau mengepakkan sayap mengikuti jalannya traktor yang membajak sawah adalah hal yang mengagumkan. Pemandangan yang langka di tempat yang menggeliat pembangunannya. 

Aku menikmati panasnya mentari yang mulai meninggi. Melintasi jalan kecil panjang di tengah-tengah sawah yang luas. Semoga tahun mendatang, hamparan sawah ini masih seperti sekarang. Membentang hijau tanpa tertutup papan-papan kecil bertuliskan destinasi digital. Melihat orang menuju sawah; memotret orang membajak, menanam padi. Bukan melihat barisan orang-orang mengabadikan diri menggunakan gawainya sendiri. *Kulon Progo; Minggu 24 Maret 2018.

Maha Vihara Mojopahit dan Patung Buddha Tidur

$
0
0
Patung Buddha Tidur di Mojokerto
Patung Buddha Tidur di Mojokerto

Seluruh agenda yang rencananya dijalani selama dua hari sudah disiapkan matang oleh Mas Alid. Aku beserta teman rombongan tinggal mengikuti saja ke mana dia membawa. Intinya, perjalanan kali ini tak hanya menjelajahi Jombang semata. Kabupaten Mojokerto juga menarik perhatian, khususnya Trowulan. 

“Hari pertama kita main ke Mojokerto sampai sore. Besok pagi baru seharian menjelajahi Jombang.” 

Pemandu dadakan ini sengaja membuat trip agar lebih sejalur. Seharian kami diajak menjelajah Trowulan. Bagi pecinta wisata heritage, tentu ajakan ini semacam pemantik semangat tinggi. Kami adalah orang-orang yang manutan. Diajak ke mana saja asal ikut, yang penting bahagia. 

Penjemputan di terminal berjalan lancar, kami singgah di penginapan. Di sana hanya numpang meninggalkan barang, kulineran; Pecel & Bubur Kacang Ijo, dan lanjut mengendarai mobil ke Trowulan. Rombongan dalam satu mobil, bayangkan saja keramaianannya. 
Gapura Maha Vihara Mojopahit di Trowulan
Gapura Maha Vihara Mojopahit di Trowulan

Tujuan pertama adalah destinasi yang tidak boleh dilewatkan kala ke Mojokerto, Patung Buddha Tidur. Aku lupa berapa lama jarak tempuh dari tengah Kota Jombang untuk sampai lokasi, rasanya tidak jauh. 

Mobil segera parkir mengikuti arahan juru parkir. Kami keluar dari mobil dan langsung disapa penjual cinderamata yang menawarkan manik-manik yang tersedia. Di sini ada banyak warung kecil penjual cinderamata.

Belum begitu siang sehingga pengunjung belum ramai. Hanya ada rombongan kecil yang sudah terlebih dulu sampai. Aku menyempatkan memotret gerbang bertuliskan “Maha Vihara Mojopahit”. Di depannya sebuah bangunan berderet patung tiap sisi, terpasang tulisan batas pengunjung. 

Maha Vihara Mojopahit dibangun oleh Biksu Viriyanadi Mahathera pada tahun 1989. Bangunan ini berkonsep sebuah Jogjo. Tujuan dibangun Vihara ini untuk tempat peribadatan umat Buddha dan sebagai tempat pelaksanaan hari-hari besar lainnya agama Buddha. 

Di dalam Vihara terdapat objek wisata yang nantinya aku kunjungi yakni Patung Buddha Tidur (Rupang Sleeping Buddha). Objek inilah yang membuatku singgah ke sini, pun dengan teman yang lain. Sebuah plang bertuliskan tiket 3000 rupiah untuk dewasa dan 2000 rupiah untuk anak-anak terpajang di bagian depan. 

Langkah kaki menuju area Patung Buddha Tidur. Mas Alid segera membayar tiket masuk, kami melenggang masuk dengan santai. Trowulan tentu bukan tempat asingnya. Setiap ada teman yang singgah ke Jombang, dia pasti mengantarkan ke beberapa destinasi di Jombang – Mojokerto. 

Berlokasi di Bejijong, patung Buddha Tidur menjadi pilihan wisata alternatif sebagian besar masyarakat. Mereka berbondong-bondong mengunjungi tempat tersebut. Aku beserta rombongan sudah masuk lebih dulu, di jalan menuju patung Buddha Tidur, kulihat sekelompok anak muda sedang membersihkan area Vihara. 

Mereka menyapu area Vihara, mengambil sampah-sampah dan tidak ketinggalan ada yang memotret. Dilihat sekilas, mereka bukanlah penjaga kebersihan tempat ini. sepertinya malah sekelompok mahasiswa. 
Mahasiswa yang sedang melakukan Retreat
Mahasiswa yang sedang melakukan Retreat

“Saya Kendi, mas. Dari UI,” Jawab lelaki tanggung di sampingku. 

Kegiatan yang dilakukan selama di sini adalah bagian dari Pekan Penghayatan Dhamma. Muda-mudi remaja Buddhis melakukan Retreat. Katanya mereka di sini sebanyak 30 orang lebih. Aku hanya sempat berbincang sebentar karena mereka sibuk membersihkan area Vihara. 

Hari belum terlalu siang, pengunjung berkumpul di depan patung Buddha Tidur. Mereka mengabadikan diri dengan latar patung tersebut. Pepohonan rindang di depan membuat lokasi lebih nyaman. Sebagian besar pengunjung adalah warga setempat. Baru segelintir wisatawan jauh yang datang. 

Objek patung Buddha Tidur bagai magnet. Para wisatawan saling bergantingan mengabadikan diri di depan bersekatan pagar yang tertulis “dilarang naik pagar”. Pagar berjarak kurang lebih 10 meter, dan dibalik pagar; tepatnya di depan kami menghadap ke patung dibuat kolam ikan. 

Patung Buddha Tidur di Maha Vihara Mojopahit ini panjangnya sekitar 22 meter, lebar 6 meter, dan tinggi sekitar 4.5 meter. Tepat di depan pagar pembatas terdapat sepasang arca Dwarapala yang dijejerkan seperti sedang menjaga tiap sisinya. 

Posisi patung Buddha Tidur ini adalah gambaran dari posisi ketika Sang Taghatta (Yang Maha Sempurna) mencapai Parrinibbana (wafat). Di bawahnya terdapat banyak relief yang tertempel. Konon relief yang terpasang menceritakan tentang kehidupan dan ajaran Sang Buddha. Semua ini membuat terlihat makin indah. 
Patung Buddha Tidur yang menjadi objek wisata di Trowulan
Patung Buddha Tidur yang menjadi objek wisata di Trowulan
Patung Buddha Tidur yang menjadi objek wisata di Trowulan

Sejenak aku terdiam, mengambil beberapa gambar dari sudut yang berbeda. Teman lain sudah berburu foto; foto-foto tersebut nantinya kami gabung dan sebarkan di grup. Tujuannya tentu untuk saling melengkapi satu dengan lainnya. Kami pun sesekali menyebarkan aktivitas ini di media sosia dengan tagar tertentu. 

Menjelang siang makin terik, makin banyak pula pengunjung yang datang. Tak puas hanya mengabadikan patung Buddha Tidur, aku bergegas mengikuti jalan setapak yang mengeliling komplek. Ada banyak bangunan dan patung yang bersebaran, membuat aku makin asyik menikmati perjalanan siang kali ini. 

Bangunan lain yang ada di sini antara lain Bhakti Sala, Altar Kwan Im, Altar Buddha Sakyamuni, Altar Dewi Tara, Altar Dewa Brahma, dan beberapa bangunan lainnya. Pun dengan relief atau patung. Sebuah relief besar tertempel di tembok; atau miniatur candi Borobudur di sudut lain. Berbagai ragam patung biksu terjejer rapi dominan menggunakan jubah kuning keemasan. 
Sudut lain di Maha Vihara Mojopahit
Sudut lain di Maha Vihara Mojopahit

Kujelajahi tiap sudut area Vihara, lalu berhenti di bawah pohon rindang sembari menunggu teman lain. Kami cukup puas mengunjungi salah satu destinasi yang ada di Mojokerto; selanjutnya perjalanan panjang masih harus dilalui. Deretan peninggalan kerajaan Majapahit seperti sedang melambai ingin disinggahi. 

“Kita lanjut ke Candi Brahu. Setelah itu baru kuliner Wader.” 

Sebaris ucapan yang aku tunggu-tunggu. Setidaknya di Mojokerto aku tidak hanya mendapatkan konten berkaitan dengan wisata heritage, tapi juga menyempatkan icip-icip kuliner di sini. Perjalanan masih panjang kawan. * Patung Buddha Tidur, Mojokerto; 19 Agustus 2017.

Cenderamata Pensil Boneka dari Magelang

$
0
0
Sepasang pensil boneka dari Bodobudur, Magelang
Sepasang pensil boneka dari Bodobudur, Magelang

Rasanya baru datang ke Magelang beberapa jam yang lalu, menginap di rumah warga; dan berkomunikasi ala kadarnya dengan teman dari Nepal. Nyatanya hari ini kami harus balik ke Jogja. Kembali beraktivitas layaknya hari biasa. Tiga mobil sudah siap mengantarkan kami balik ke Jogja. Sebelumnya, kami berencana singgah di tempat sovenir serta kulineran

Ada banyak opsi mencari cenderamata di Magelang, khususnya kawasan Burubudur; yang paling umum tentunya batik. Namun kami ingin yang berbeda. Opsi berkunjung ke tempat pembuatan pensil boneka menarik antusias rombongan. Kami berkunjung ke tempat pembuatan pensil boneka untuk membuat sekaligus membeli sovenir. 

Berkemas dari pendopo tempat berkumpul. Tiga mobil beriringan menuju tempat pembuatan pensil. Aku rasa rutenya kemarin sempat kulewati saat sepedaan. Ketiga mobil berhenti di sebuah rumah yang depannya terbentang area persawahan. Sawah tersebut menjadi rute jelajah menggunakan Jeep. 
Tempat pembelian sovenir pensil boneka
Tempat pembelian sovenir pensil boneka

Rumah yang kami singgahi menjual berbagai manik-manik cenderamata. Mulai dari pensil boneka, aneka gantungan kunci, sampai batik. Aku masuk ke dalam, cukup sesak rasanya ketika banyak orang yang datang dan berburu sovenir. 

“Pembuatan pensilnya di belakang mas,” Ujar pemilik toko. 

Aku keluar dari pintu belakang, di sana rombonganku sudah berkumpul. Tiga meja tinggi dipasang berdempetan; dan di atasnya sudah lengkap bahan-bahan untuk membuat pensil boneka. Mulai dari batang pensil, lem, benang, gunting, tuas tali, dan lainnya. 

Kubiarkan rombongan yang berminat membuat sibuk mempraktikkan apa yang dia lihat dipandu dua perempuan dewasa. Aku sendiri malah mencicipi hidangan di meja sembari memotret. 
Bahan dan alat yang dipakai membuat boneka
Bahan dan alat yang dipakai membuat boneka

Teman-teman rombongan mulai sibuk membuat aneka boneka pensil. Dipandu dua perempuan, mereka menikmati proses pembuatannya. Di sini yang mereka lakukan adalah membuat alis dan mata dengan spidol kecil. 

Bu Daris, pemilik galeri sekaligus toko sovenir ini menerangkan jika sudah lama bergelut bisnis pensil boneka. Tahun 1999 beliau merintis usaha pensil boneka. Rintisannya ini dilakukan patungan dengan beberapa kolega. Hingga sekarang beliau bisa berdiri sendiri. Mempunyai galeri dan tempat membuat pensil boneka. 

Pembuatan boneka pada batang pensil tidak bisa dilakukan sendirian. Beliau membutuhkan warga setempat untuk membantu. Menggunakan sistem buruan; beliau memberdayakan warga sekitar untuk membantu merangkai batang pensil menjadi sovenir boneka. 

Warga sekitar membantu membuat batang pensil ini menjadi boneka perempuan atau lelaki. Mereka mengelem bagian atas kepala, rambut, dan pakaiannya. Selesai itu seluruh pensil dikembalikan pada Bu Daris. Kurun waktu sehari, biasanya tetangga tersebut mengirimkan 500 pensil perhari yang siap di-finishing

“Paling susah itu finishing mata, mas. Jadi tetangga nanti mengelem, dan saya dengan beberapa karyawan yang membuat mata serta wajahnya dengan spidol.” 
Memasang bagian kepala dengan perekat
Memasang bagian kepala dengan perekat

Unik boneka pensil yang dibuat; sosok lelaki lengkap dengan kumis dan blangkon. Sementara pensil yang dijadikan boneka perempuan seperti menggunakan batik kebaya. Tuas tali warna coklat dijadikan rambut perempuan seakan-akan sedang dikepang. 

Seperti yang dilakukan rombonganku. Di sini kalian bisa berkreasi membuat pensil boneka sendiri. Bahan baku pensil dan segala aksesoris serta peralatan sudah disediakan. Kalian tinggal membuat boneka saja. Bu Daris mengatakan kalau ingin coba membuat tidak dipungut biaya. 

Membuat boneka pensil seperti ini tentunya membutuhkan banyak stok pensil kayu. Aku mencoba bertanya dari mana stok pensil dibeli. Apakah mengambil stok pensil dari pabrik di sekitar kota Magelang atau malah di tempat lain. 
Ragam warna dan bentuk pensil boneka Borobudur
Ragam warna dan bentuk pensil boneka Borobudur

“Pensilnya impor mas dari China. Kalau beli pensil Indonesia harganya jauh lebih mahal dengan kualitas yang sama.” 

Aku tercekak, tidak menyangka jika bahan baku utama (pensil) ternyata diambil dari luar negeri. Dibutuhkan banyak stok pensil kayu, dan Bu Daris mengambil keputusan untuk mengimpor pensil kayu polosan dari China karena harganya jauh lebih murah. Kadang kita sendiri bingung, kenapa harga di Indonesia jauh lebih mahal. 

Disela-sela kesibukan Bu Daris melayani pengunjung yang membeli cenderamata, beliau tetap bisa menjawab tiap pertanyaanku dengan baik. Siang ini ada banyak rombongan lain yang datang ke sini. Sontak, lapak sovenir Bu Daris terasa sesak. Aku keluar dari dalam tempat sovenir, kembali menyaksikan teman-teman yang sibuk mengelem rambut maupun blangkon. 
Pengunjung ramai membeli sovenir di tempat Bu Daris
Pengunjung ramai membeli sovenir di tempat Bu Daris

Berbagai bentuk pensil boneka ini dibanderol dengan harga yang berbeda. Mulai dari 2500 rupiah hingga 15000 rupiah. Tergantung kesulitan dalam membuat bonekanya. Pun dengan gantungan kunci, harganya juga bervariasai. 

Selain pensil boneka dan gantungan kunci. Di sini Bu Daris juga menerima titipan teman dan tetangga yang dijual seperti batik dan sovenir dari papan. Papan-papan tersebut dijadikan kapal phinisi atau benda lain yang bisa dijadikan sovenir. 

Meskipun sudah merintis usaha sejak tahun 1999, Bu Daris merasakan tetap saja ada tantangan yang beliau hadapi. Jika bahan utama bisa diimpor dari China, yang paling sulit sekarang adalah sumber daya manusia-nya. Tidak banyak orang yang bisa melukis wajah pensil dengan baik. 

Banyak pengunjung yang membeli pensil boneka. Tentu pensil ini tetap bisa dimanfaatkan untuk menulis/menggambar. Namun menurutku, mereka yang membeli lebih banyak sekadar untuk aksesoris. 

Di sekeliling toko, terdapat beberapa orang yang menggamit sepasang pensil. Diambil pensil tersebut dan diabadikan. Sekilas memang lucu sovenirnya. Aku juga menyempatkan mengambil pensil dan mengabadikannya. 
Salah satu pengunjung mengabadikan sepasang pensil boneka
Salah satu pengunjung mengabadikan sepasang pensil boneka

Menarik memang, jika biasanya sovenir identik dengan kaos, gantungan kunci, atau kuliner lainnya. Bu Daris sejak lama menjadikan pensil boneka sebagai cenderamata yang bisa dibeli serta dibagikan pada kerabat khususnya anak-anak. 

Lebih dua jam kami berada di galeri Bu Daris, waktunya rombongan ini kembali ke Jogja. Setiap anggota rombongan sudah membawa oleh-oleh yang dibeli. Kami meninggalkan Magelang; khususnya Borobudur. 

Jika kalian singgah ke area Candi Borobudur dan bingung mencari sovenir untuk keponakan atau kerabat yang masih kecil. Bisa jadi pensil boneka ini menjadi pilihan. Tentu sovenir lucu ini menarik bagi anak-anak kecil; pun harganya cukup terjangkau. *Magelang; Minggu, 11 Maret 2018. 

Kriya Kayu Rik-Rok 
Alamat: Jalan Umbul Tirto No 1 Tingal, Wanurejo, Borobudur 
Narahubung: 08122779184/081328475484 
Instagram: @rikrokborobudur

Menanti Mentari Terbit di Embung Banjaroya

$
0
0
Ragam warna sebelum sunrise di Waduk Mini Banjaroya
Ragam warna sebelum sunrise di Waduk Mini Banjaroya

Banjaroya, salah satu desa wisata di kecamatan Kalibawang ini kembali aku sambangi. Sebenarnya awal tahun 2017, kala agenda #EksplorDeswitaJogja, desa ini sempat kami kunjungi. Hanya saja singgah sebentar dan belum sempat menjelajah ke destinasi yang ada di sekitar. 

Kali ini kunjungan ke desa wisata Banjaroya tidak berhubungan dengan agenda eksplor desa wisata, meskipun orang-orang yang menyambut kami adalah pentolan desa wisata di Banjaroya. Berkali-kali ajakan menginap di desa tersebut, baru kali ini terealisasikan. Itupun kami sedikit terlambat, karena musim durian sudah berlalu. 

Berada di perbukitan menoreh, Desa Wisata Banjaroya menjadi salah satu tempat yang sering dikunjungi para pecinta durian. Desa yang terkenal harum seperti durian khas menoreh yang ada di Banjaroya. Misi kami ke Banjaroya adalah menyambung tali persaudaraan, sekaligus menepati janji berkunjung ke desa ini. 

Hawa dingin malam mulai terasa. Obrolan di dalam sekretariat dekat embung berlanjut ditemani kopi. Malam makin larut, aku dan Aqied membuat kopi sendiri. Oleh-oleh kopi Sidikalang diracik Aqied dengan peralatan seadanya. Sementara warga setempat yang menjamuku berjaga di luar, ada juga yang tidur di tenda. 

Sebenarnya kami sudah disiapkan satu tenda yang bisa dibuat tidur lima orang. Namun kami memilih menginap di sekretariat. Sementara tenda diinapi beberapa warga yang semalam bareng kami. Tujuan kami menginap di sini agar esok pagi dapat memotretsunrisedari atas ketinggian. 

Fajar menyingsing; dan kami sudah salat subuh. Langkah kaki menuju Embung Banjaroya. Dari ufuk timur sudah berpendar rona jingga nan elok. Bergegas aku mengabadikan momen tersebut. Gunung Merapi dan Merbabu terlihat hitam dan jelas. Pancaran ragam warna berpendar. 
Pemandangan yang tersaji menjelang pagi hari
Pemandangan yang tersaji menjelang pagi hari

Mentari masih belum terlihat. Pancaran warna pagi ini menggoda kami untuk mengabadikan. Berkali-kali aku coba mengabadikan; pun berulang kali setelan kamera kuotak-atik. Butuh tripod untuk memotret agar bagus, dan barang tersebut tidak aku bawa. 

Tanpa berpikir panjang, aku meletakkan kamera di atas pagar yang mengelilingi embung. Sembari memegang kamera agar tidak jatuh, aku dan teman lain konsentrasi memotret. Warga yang ikut menginap sudah berada di ujung timur embung. Mereka bersenda gurau sembari menunggu mentari. 

“Cuacanya masih kurang bagus mas,” Ujar Mas Madun. 

Aku tidak tahu bagaimana cuaca lebih indah lagi. Kabut tipis tidak menghalangi dua gunung megah. Serta warna langit mulai agak terang, tak lagi seperti waktu fajar. Tetap saja indah. Oya, Mas Madun adalah pelaku desa wisata yang ada di desa wisata Banjaroya. 

Tenda dome terpasang berwana biru dengan garis orange. Di dalamnya sudah kosong, para penghuni dome sedang asyik berbincang di dekat embung sembari menikmati pagi. Aku masuk ke dalam, tak ada barang apapun di dalamnya. Kosong, malah asyik untuk sekadar rebahan. 
Tenda yang sudah berdiri sejak semalam di timur embung
Tenda yang sudah berdiri sejak semalam di timur embung

Embung Banjaroya kala pagi cukup sepi. Selain rombongan kami, hanya ada sepasang muda-mudi yang ikut menunggu mentari terbit. Mereka berdua asyik berbincang di gazebo. Katanya ada banyak gazebo yang tersebar di area embung. Bahkan beberapa di antaranya berada di bawah, di antara kebun durian. 

Seperti di Embung Kleco, di sini juga terdapat patung besar berbentuk durian. Hal ini mempertegas jika daerah Banjaroya adalah pusatnya durian. Jika tidak percaya, tanya saja pada orang-orang Jogja tentang tempat durian di Jogja. Jawabannya tentu “Kalibawang” sebagai rujukan. 

Saatnya yang ditunggu-tunggu mulai merangkak naik. Sang baskara tak hanya memancarkan sinarnya; dia muncul dari sisi kanan gunung Merapi. Lansekap dari atas embung indah untuk dpotret. Barisan kabut tipis menutupi titik-titik tertentu, sementara dari atas pancaran sinar mentari mulai mencuat. 

Berada di perbukitan menoreh, Banjaroya menyajikan pemandangan yang menarik sewaktu pagi. Kita dapat melihat leluasa bentangan alam yang tersaji. Bagi sebagian orang, membidik gambar kala pagi di Embung Banjaroya adalah hal yang benar-benar mengasyikkan. Terlebih ada tenda yang terpasang. 
Mentari mulai terlihat dari sisi timur
Mentari mulai terlihat dari sisi timur

“Jadi tenda ini buat foto ala-ala? Kan semalam yang menginap di sini bukan kami?” Ujarku sembari tertawa. 

“Kalian sih nggak mau tidur di sini,” Sahut salah satu di antara warga. 

Seperti yang aku bilang sejak awal, sejatinya kami sudah disiapkan tenda untuk menginap. Berhubung tenda hanya satu, dan ada teman cewek yang ikut. Kami lantas menangguhkan, dan teman-teman Mas Madun yang tidur di sini. Daerah Banjaroya kalau tengah malam sampai pagi cukup dingin. 

Lagi-lagi aku harus berpacu dengan waktu mengabadikan sunrise. Kulihat Hanif sibuk mempersiapkan drone, Aqied dan Aji mengamankan stok foto untuk media sosial, khususnya momen Ramadan nanti. Sebuah kain lurik yang dijual Aji dan Hanif terbentang. Mereka berdua bisnis kain lurik. 

Pagi di tempat tinggi memang menyenangkan. Udara bersih melimpah, hawa dingin terasa, dan pemandangan indah tersaji. Aku masih asyik menikmati segalanya. Sesekali memandang nun jauh di bawah. Perumahan warga yang tertutup kabut tipis. 

Cahaya mentari masih teduh, kami bergegas memotret sebanyak-banyaknya. Termasuk Aqied, dia sudah membawa kain panjang. Bergantian dengan Aji, mereka berdua sibuk memotret. Kala mentari agak meninggi, mulai berdatangan muda-mudi setempat. Mereka menjadikan embung sebagai tempat untuk jogging. 
Sinar mentari kala pagi masih cukup bagus diabadikan
Sinar mentari kala pagi masih cukup bagus diabadikan

Saking fokus memotret mentari pagi, aku bahkan sampai lupa mengabadikan embung. Aku baru teringat kala sudah pulang ke Jogja, nyatanya hanya beberapa foto embung yang kuabadikan. Itupun tidak ada yang utuh, hanya beberapa bagian saja. 

Pada tulisan prasasti tulisan di sini bukanlah embung, tapi waduk. Maknanya sama antara embung dan waduk. “Waduk Mini Banjaroya” itulah yang terpampang di prasasti yang diresmikan oleh Sultan Hamengkubuwono X pada tanggal 28 Februari 2014. 

Embung mini Banjaroya diisi dengan benih-benih ikan. Aku sempat melihat banyak ikan berukuran sedang di sini. Entah, ikan-ikan ini dipanen atau bagaimana nantinya kalau sudah besar. Menariknya lagi, menjelang siang tempat ini menjadi salah satu tujuan wisata keluarga. Banyak wisatawan lokal yang bermain di sekitaran embung. 

Wisatawan yang mengajak anak kecil dapat melakukan aktivitas memberi makan ikan. Tepat di depan tangga naik, terdapat warga yang menjual pelet (makanan ikan). Satu bungkus pellet dijual dengan harga 2000 rupiah. Tentu hal ini membuat anak-anak kecil semangat saat bermain. 
Salah satu sisi Waduk Mini Banjaroya
Salah satu sisi Waduk Mini Banjaroya

Menarik memang dengan adanya embung. Kala pagi bisa digunakan warga sekitar bersantai atau jogging, saat menjelang siang sampai sore menjadi tujuan wisata keluarga yang ingin bermain dengan anaknya. Kala fajar seperti yang aku lakukan, kami bisa memotret sunrise. Menurutku, embung Banjaroya menjadi salah satu embung yang cukup ramai dikunjungi wisatawan. 

Puas memotret mentari, kami bergegas menuju salah satu rumah warga. Di sana kami sudah disuguhi sarapan pagi. Menu sarapan khas desa menjadi memantik rasa lapar. Aku harus makan banyak, biar seharian ini kuat menjelajah beberapa destinasi yang berpotensi untuk kunjungan para wisatawan di desa wisata Banjaroya. *Waduk Mini Banjaroya; Minggu, 29 April 2018.

Kopi Trip Posong, dari Pemetikan hingga Penyajian Kopi

$
0
0
Biji Kopi siap dipetik
Biji Kopi siap dipetik

Pak Yamidi berjalan di antara pohon kopi. Di tengah-tengah terdapat gundukan tanah merah dengan benih-benih tanaman di tengahnya. Kami berjalan mengikuti Pak Yamidi, beliau mengarahkan agar kami tidak menginjak benih yang mulai tumbuh. 

Gunung Sindoro dan Sumbing tegap di dua sisi yang berbeda. Posong berada di antara keduanya. Selain menghasilkan tembakau, di sini juga menghasilkan kopi terbaik. Kopi Arabika jenisnya. Kopi yang bijinya beraroma tembakau; karena ditanam satu lahan. 

“Ada banyak varian kopi Arabika, seperti Linies, Sigararutang dan lainnya. Semua mutu sama jika ditanam pada ketinggian 1000 – 1500 MDPL dengan perawatan yang baik.” 

Sembari menjelaskah tentang jenis kopi. Pak Yamidi mengajak rombongan menuju salah satu pohon kopi yang bijinya siap dipanen. Biji kopi yang berwarna merah bisa dipanen. Pun cara memetiknya tidak boleh sembarangan. 

“Pilih biji yang merah. Usahakan bantalan buah jangan sampai ikut terpetik agar bisa berbuah kembali,” Terang Pak Yamidi. 
Pak Yamidi menerangkan tentang kopi di Tlahab
Pak Yamidi menerangkan tentang kopi di Tlahab

Jemari Pak Yamidi mengambil biji kopi yang sudah merah, dan memetiknya dengan hati-hati. Bantalan buah adalah bagian tangkai biji yang berwarna agak putih. Jika kita memetik dengan asal, risikonya tangkai tersebut tidak berbuah lagi. 

Di Posong, kopi mulai ditanam sejak tahun 1999. Kala itu yang paling melekat di sini adalah tembakau. Ada cerita panjang mengapa Posong mulai dikenal dengan tanaman kopi. Namun cerita tersebut nantinya kutulis pada edisi berbeda. 

Bentangan kebun penuh tumbuhan kopi di depan. Sepanjang mata memandang yang terlihat adalah kopi. Terlebih tembakau sedang masa tanam. Perkebunan kopi ini tidak milik pribadi satu orang, namun milik penduduk. 

Rata-rata warga mempunyai 1/3 hektare kebun kopi. Jika satu orang itu mempunyai 2 hektare kebun kopi. Mereka layak menyandang julukan tuan tanah. Kopi sendiri mempunyai siklus dalam panen. Biasanya pada pertengahan bulan April sampai akhir Juli adalah waktu yang tepat untuk memanen kopi. 

Aktivitas pemetikan biji kopi sudah berlangsung, dan pak Yamidi mengajak rombongan kami menuju rumah pak Triyanto. Di sana tempat untuk memisahkan kulit kopi dengan biji. Lagi-lagi aku antusias mengikuti perjalanan hari ini. 

Sebelum ke belakang rumah pak Triyanto melihat proses perambangan, kami berbincang dengan pak Triyanto selaku pengusaha kopi. Dari obrolan ini juga aku mendapatkan informasi jika penduduk di Tlahab tergabung dalam satu wadah kelompok MPIG – KAJSS. 

Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis Kopi Arabika Java Sindoro Sumbing (MPIG – KAJSS) terbentuk sejak tahun 2014 dan sudah diakui oleh Kemenkumham berkaitan dengan Hak Merek. Sehingga untuk kualitas kopi bisa terjaga karena sesuai dengan SOP dalam proses pengolahannya. 

Usai berbincang santai, rombongan menuju belakang rumah. Di sinilah proses perambangan berlangsung. Perambangan adalah kegiatan memisahkan antara biji kopi yang sudah merah dengan yang kuning. Selain itu juga menyortir biji yang terapung dalam ember penuh air. 
Memilah-milah biji kopi yang terapung untuk disortir
Memilah-milah biji kopi yang terapung untuk disortir

Proses ini cukup menggunakan air dalam ember, biji kopi dimasukkan ke dalam ember yang ada airnya. Lalu kita memisahkan biji kopi yang terapung. Biji kopi yang terapung ini tidak bisa diolah. 

Dua bakul anyaman bambu sudah dipenuhi biji kopi pilihan. Proses selanjutnya adalah pengupasan. Pengupasan kopi menggunakan mesin, sehingga tidak membutuhkan waktu lama. Layaknya memarut kelapa, biji kopi dimasukkan melalu corong atas, dengan sendirinya kulit kopi mengupas. 

Biji-biji kopi yang terkupas ditampung dengan wadah kolam besar yang berisi air. Sementara kulitnya akan keluar dari tempat lain. Dengan seksama aku melihat proses ini. Untuk menghasilkan biji kopi yang bagus, seharusnya biji kopi yang sudah terkupas dibiarkan terendam dalam air lebih dari 24 jam, atau yang dikenal dengan sebutan proses fermentasi. 
Proses memisahkan kulit dan biji kopi
Proses memisahkan kulit dan biji kopi

Proses fermentasi sendiri bertujuan agar selaput-selaput yang masih tertempel di biji kopi lepas dengan sendirinya. Setelah itu baru pencucian (washer) biji kopi di tempat yang sama. Alat pencuci biji kopi dibuat sendiri oleh Pak Triyanto. 

Nyatanya kulit kopi tidak serta merta dibuang. Kulit tersebut masih berguna sebagai makan ternak atau untuk pupuk kompos. Tetap saja berguna bagi penduduk sekitar. Aku juga baru tahu kalau kulit kopi nyatanya berasa agak manis. 
Proses pencucian biji kopi menggunakan mesin buatan sendiri
Proses pencucian biji kopi menggunakan mesin buatan sendiri

Hari makin siang, rombongan kopi trip masih melanjutkan perjalanan melihat proses selanjutnya. Mobil mas Tafta mengikuti mobil lain di depan, tujuan kali ini adalah tempat penjemuran biji kopi. 

Di Tlahab banyak pengusaha kopi, sehingga tidak sedikit pula tempat penjemuran biji kopi. Kadang aku melihat biji kopi dijemur di tepian jalan. Ada juga yang menjemur di tempat khusus. Seperti tempat yang kami kunjungi, penjemuran dilakukan pada ruangan berbalut plastik/dome. 

Begitu aku masuk ke dalam dome, hawa panas sangat berbeda. Di dalam dome begitu menyengat. Dome besar ini terdapat banyak biji kopi yang dijemur dan tertata rapi bertingkat. Namun ada juga yang dijemur langsung terpapar sinar matahari. 

Adanya dome ini membantu dalam proses penjemuran. Jika tidak menggunakan dome dengan paparan matahari cerah, biji kopi yang dijemur paling cepat selama 3 - 5 hari. Namun dengan adanya dome, mereka cukup menjemur satu hari. 

“Perbandingannya itu kalau di dalam dome selama 6 hari penjemuran itu setara dengan tiga minggu di luar mas,” Terang bapak yang berjaga. 

Ada tingkatan tertentu berkaitan dengan biji kopi yang dijemur. Apakah mereka ingin yang semi wash atau full wash. Tentu jika ingin full wash penjemurannya lebih lama. Di tempat ini sementara belum menerima pengeringan dari pihak luar. 
Biji kopi dijemur menggunakan dome
Biji kopi dijemur menggunakan dome

Aku tidak berlama-lama di dalam dome yang ditaksir berkapasitas 2 – 3 ton ini karena sangat panas. Tempat ini mengingatkanku kala berkunjung ke kebun Krisan di desa wisata Poncokusumo, Malang. 

Biji-biji kopi yang sudah dijemur tidak langsung di-roasting. Rata-rata biji kopi tersebut disimpan dengan baik. Tergantung mereka ingin menyimpan berapa lama. Menurut teman yang ikut, idealnya kopi yang dipanen tahun ini digunakan stok tahun depan. Ini artinya dapat disimpan dalam kurun waktu lama. 

Kunjungan terakhir dalam trip kopi ini adalah kedai AF Coffee. Kedai kopi yang dibuka pada awal bulan Januari 2018. Di sini aku dan rombongan akan melihat proses roasting. Sebelumnya, kami bersantai sambil melepas lelah. 

Roasting adalah proses pemanggangan biji kopi atau lebih dikenal dengan nama penyangraian biji kopi. Tujuannya untuk menentukan level kopi yang diharapkan; level tinggi atau sedang. Tergantung dengan keinginan masing-masing. 

Di kedai AF Coffee, kami disambut Mas Sugi. Beliau adalah barista yang bekerja di AF Coffee. Kami diajak masuk ke dalam ruangan yang terdapat mesin roasting. Mesin ini baru dibeli seharga 560 juta. 
Mengunjungi AF Coffee untuk melihat proses roasting
Mengunjungi AF Coffee untuk melihat proses roasting

Di ruang sebelah terlihat biji kopi siap di­-roasting tersimpan. Mesin roasting dihidupkan, sepertinya dipanasi terlebih dulu. Setelah itu dimasukkan dua kilo biji kopi. Proses roasting kopi berkisar antara 12 – 16 menit. 

Mesin ini berkapasitas 5 kilo sekali proses roasting. Mesin ini mulai bekerja, biji kopi dimasukkan dari atas, dan terlihat dari celah jika biji kopi di dalam seperti diaduk. Aku menunggu kurang lebih 15 menit, sampai biji kopi kekeluarkan. 

“Minimal 2 kilo sekali roasting, mas. Biayanya 50 ribu rupiah tiap kilo. Jika langsung 5 kilo bayarnya hanya 200 ribu rupiah.” 

Aku masih takjub melihat mesin roasting ini. Tidak setiap kedai kopi di tempat yang pernah aku kunjungi memiliki alat tersebut. Benar kata teman yang paham tentang kopi, jika mesin ini harganya mahal. 
Melihat secara langsung proses roasting biji kopi di AF Coffee
Melihat secara langsung proses roasting biji kopi di AF Coffee

Bau semerbak kopi yang sudah di­-roasting tersebar. Aku menikmati bau tersebut. Hal ini membuatku ingin segera menikmati segelas kopi. Padahal, tadi pagi sewaktu di rumah pak Triyanto, kami sudah disuguhi kopi. 

Akhirnya tuntas sudah trip kopi hari ini. jika kuhitung waktunya lebih enam jam perjalanan mengikuti dari pemetikan hingga roasting. Sebenarnya prosesnya jauh lebih lama lagi, karena kami sudah disiapkan biji yang siap disangrai maupun dijemur. 

Di etalase AF Coffee terdapat berbagi kopi yang sudah dikemas dan siap dijual. Ada banyak kopi kemasan yang siap dibeli pengunjung. Harganya bervariasai, dari Rp 200.000 rupiah hingga yang spesial seharga Rp. 700.000 rupiah. Kini waktunya aku menikmati segelas kopi espresso. 
Jadi kapan kita ngopi bareng? Mau ikutan teman-teman Ngopi Tiap Pekan?
Jadi kapan kita ngopi bareng? Mau ikutan teman-teman Ngopi Tiap Pekan?

Trip kopi ini adalah perjalanan yang tidak mungkin aku lupakan. Selama di Jogja, aku sudah berkali-kali mengunjungi kedai kopi; berbincang tentang kopi, namun belum pernah sekalipun melihat proses biji kopi dari awal sampai akhir. 

Barulah kali ini saat Charis mengajakku ikut kegiatan trip kopi yang dikenalkan oleh Mas Tafta beserta rombongan. Tentu jika bukan karena orang-orang ini, aku belum tentu bisa mengikuti kegiatan trip kopi. Terima kasih untuk ajakannya dan jamuannya selama di trip kopi berlangsung. 
Tim Kopi Trip Posong yang diprakarsai oleh Mas Tafta
Tim Kopi Trip Posong yang diprakarsai oleh Mas Tafta (kaus putih yang berdiri nomor 3 dari kanan foto)

Harapanku, semoga rencana adanya paketan Trip Kopi di Posong yang diprakarsai oleh Mas Tafta segera terealisasikan. Aku percaya, banyak orang yang tertarik mengikuti trip ini. Trip yang pastinya mengedukasi. Jika selama ini aku hanya paham kopi dari barista, kali ini aku langsung tahu dari orang-orang yang bergelut dengan kopi tiap harinya. *Posong; Minggu, 22 April 2018.
Viewing all 750 articles
Browse latest View live