Quantcast
Channel: Nasirullah Sitam
Viewing all 759 articles
Browse latest View live

Benteng Klingker dan Pantai Karang Tengah Nusakambangan

$
0
0
Berpose di dalam reruntuhan Benteng Klingker Nusakambangan
Berpose di dalam reruntuhan Benteng Klingker Nusakambangan

Rasa penasaran ingin singgah di pulau Nusakambangan makin besar. Mumpung aku berada di Cilacap, dan sekarang sudah duduk di atas kapal yang mengantarku mendekati area Lapas Nusakambangan. Rute berlanjut balik arah, sang kemudi kapal mengisyaratkan kami singgah di salah satu pantai Pulau Nusakambangan bagian timur.

Mesin tempel di kapal yang kunaiki meletup-letup. Suaranya mengikuti tarikan jari sang kemudi yang memainkan laju kapal. Berkali-kali kami bersimpangan dengan perahu nelayan, mereka menambatkan perahu sembari memancing. Tidak saling mengenal satu dengan lainnya, namun kami saling melempar senyum sebagai tanda sapaan.

Sang pengemudi kapal mengatakan kalau nanti kapal yang kami naiki akan bersandar di Pantai Karang Tengah, salah satu spot pantai yang biasa dikunjungi oleh wisatawan. Aku mengangguk saja, sebelumnya mereka bilang kalau di sini ada sebuah peninggalan penjajah yang berbentuk benteng kecil.
Kapal lain yang pulang dari Pantai Karang Tengah, Nusakambangan
Kapal lain yang pulang dari Pantai Karang Tengah, Nusakambangan

Sejauh ini aku hanya tahu peninggalan penjajahan adalah Benteng Pendem di Cilacap, dan Benteng Karang Bolong di Nusakambangan. Nyatanya masih ada peninggalan masa penjajahan lainnya seperti Mercusuar Cimiring dan Benteng Klingker yang lokasinya ada di Pulau Nusakambangan.

Kapal semakin mendekat di bibir pantai, ombak tepian menggoyang-goyang kapal yang berusaha sandari tepat di bibir pantai. Kapal terayun-ayun, tiga pemuda tanggung yang duduk di gubuk kecil berlarian ke arah kapal. Mereka menahan kapal agar tidak terlalu bergoyang terhempas ombak dan memintaku turun.

“Terima kasih mas,” Ucapku sembari tersenyum.

Tiga pemuda tanggung ini balik tersenyum dan membalas dengan suara khas pesisir selatan. Sang pengemudi turut turun sambil menenteng Tripodku yang tertinggal di kapal. Dia meminta agar pelampungku ditanggalkan, lalu kami berjalan menyibak jalan setapak menuju benteng yang ditawarkan sewaktu di Cilacap.
Sandar di tepian Pantai Karang Tengah, Nusakambangan
Sandar di tepian Pantai Karang Tengah, Nusakambangan

“Kita jalan mas.”

Seekor Anjing mengendus di sampingku, sesaat dia menyalak. Namun tidak lama kemudian dia kembali terpengkur menatap lautan. Anjing ini cukup jinak, dia tidak merasa terganggu para wisatawan yang berlalu-lalang di depannya. Matanya hanya menatap ke segala penjuru, lalu diam berbaring di tanah.

Tak kulihat ada Anjing lain yang berkeliaran, hanya si putih hitam sendirian. Melihat gelagatnya yang jinak, aku menyempatkan mendekat dan memotretnya. Dia hanya diam menoleh tanpa merasa terganggu gerakanku.

“Anjing yang baik.”
Anjing milik warga setempat sedang berbaring di tempat teduh
Anjing milik warga setempat sedang berbaring di tempat teduh

Pemuda tanggung yang mengemudi kapalku berjalan menyusuri jalan menuju tengah pulau. Aku sedikit berlari mengejar. Dia sudah berjanji mengantarku menuju benteng yang dia maksud. Tidak sampai 10 menit berjalan, pemuda ini memperlambat langkah kaki. Di depan sana ada beberapa orang sedang berbincang santai di bawah pepohonan rindang.

“Ini lokasinya mas. Ini Benteng Pendem yang dimaksud tadi,” Ujarnya.

Pepohonan rindang di depanku ini bukanlah bentukan murni pohon. Aku baru tersadar itu kala sang pengemudi sekaligus pemanduku menerangkan bangunan yang yang dia janjikan. Semak belukar ini adalah bangunan peninggalan penjajahan pada masanya. Penduduk sekitar Nusakambangan menyebutnya dengan sebutan Benteng Pendem Nusakambangan.
Benteng Klingker yang tertutup belukar dan pepohonan
Benteng Klingker yang tertutup belukar dan pepohonan

“Boleh masuk ke dalam?”

“Boleh mas, masuk saja. Saya tunggu di sini.”

Aku sedikit membungkukkan badan melewati bapak-bapak yang berbincang santai. Mereka menjual sarang Lebah. Tetesan madu tercecer di tanah di samping botol bening yang sudah dipenuhi madu murni. Di sini banyak sarang lebah ternyata, sampai-sampai madu murni itu di jual. Sementara di depan pintu masuk benteng, sebuah sangkar burung terkait tuas tali menyapaku. Aku berhenti tepat di lorong pintu masuk.

“Mirip masuk gua,” Batinku.
Masuk melalui salah satu lorong yang menganga
Masuk melalui salah satu lorong yang menganga

Benteng Pendem Nusamkambangan ini sebenarnya bernama Benteng Klingker. Benteng ini dibangun pada masa penjajahan Belanda, serta lebih tua umurnya daripada Benteng Pendem di Cilacap tahun 1861 – 1879. Bisa jadi Benteng Klingker berbarengan dengan pembangunan Benteng Karang Bolong yang ada di Nusakambangan, selesai dibangun pada tahun 1855. Aku akan menulis tentang Benteng Pendem Cilacap ditulisan lainnya.

Dari beberapa literatur, aku mendapatkan keterangan bahwa pembangunan Mercusuar Cimiring dan Benteng Klingker di Nusakambangan memang berkaitan dengan Benteng Karang Bolong dan Benteng Pendem Teluk Penyu, Cilacap. Mercusuar Cimiring dijadikan menara pengawasan di ujung Timur Nusakambangan, dan Benteng Klingker sebagai benteng di ujung utara.

Benteng Klingker bukan merupakan benteng utama untuk pertahanan. Benteng ini digunakan untuk menyokong pertahanan dari serangan musuh. Benteng Klingker ini bentuknya malah seperti bangunan kecil, sekilas mirip bangunan menara. Entah sejak kapan penamaan Benteng Klingker ini lebih dikenal warga dengan sebutan Benteng Pendem Nusakambangan.
Lorong-lorong Benteng Klingker, bangunan terbuat dari susunan bata
Lorong-lorong Benteng Klingker, bangunan terbuat dari susunan bata 

Aku terkesima dengan bangunan benteng Klingker, susunan bata bertahan kokoh di antara rerimbunan pepohonan serta akar. Terlihat megah walau di dalamnya ada beberapa sudut yang rusak dan runtuh. Penyanggah besar mengembang layaknya jamur, lalu tersusun menjadi bangunan utuh.

Kutatap bagian atas benteng Klingker. Dari dalam, benteng ini artistik. Penyanggah-penyanggah besar menjulang tinggi, di setiap ujung ada lorong seperti jendela. Pemandangan yang kontras dari luar. Jika tadi dari luar yang terlihat hanya semacam belukar saja. Dari dalam ini adalah sebuah bangunan utuh yang rusak karena alam.

Kedua kakiku melangkah masuk, mengelilingi setiap sudut benteng Klingker. Gambaran kasar yang kulihat ini bangunan semacam rumah dome besar yang di dalamnya saling terhubung terowongan dan jendela. Aku tidak melihat ada anak tangga untuk ke atas, kemungkinan ada dan terlewatkan olehku. Atau malah sudah rusak. Entahlah.
Susunan penyanggah besar di dalam benteng, mengingatkan lokasi syuting Film Tomb Raider
Susunan penyanggah besar di dalam benteng, mengingatkan lokasi syuting Film Tomb Raider

Tidak banyak kudapatkan informasi dari warga setempat berkaitan dengan peninggalan penjajahan ini. Jika dicermati, Benteng Klingker ini bisa menjadi daya tarik para wisatawan yang berada di Cilacap, khususnya mereka yang suka dengan tema heritage. Sayang jika peninggalan sejarah seperti ini tidak terawat dengan baik.

Berharap Pemda setempat bisa mengoptimalkan potensi wisata heritage di Cilacap & Nusakambangan. Karena secara garis besar ada potensi di sana. Benteng Pendem Cilacap, Benteng Karang Bolong Nusakambangan, Mercusuar Cimiring, dan tentunya Benteng Klingker. Tinggal bagaimana pengelola memberikan informasi, promosi dan referensi tentang tempat-tempat tersebut.

Pantai Karang Tengah Nusakambangan
Seyogyanya penyeberanganku menuju Pulau Nusakambangan hanyalah sebagai pelebur rasa penasaran. Sebagai anak yang terlahir di pulau, aku sudah terbiasa main di pesisir pantai. Bercanda dengan riak ombak kecil di utara laut Jawa. Ombak yang mengamuk hanya pada musim baratan& timuran saja.

Berserakan patahan karang di sepanjang Pantai Karang Tengah, karang-karang tersebut mungkin terhempas ombak dan terbawa gulungan gelombang sampai di bibir pantai. Warna karang sudah putih kusam, tak ada warna cerah seperti saat terumbu karang tersebut masih hidup. Kombinasi karang berserakan dan pasir agak kehitaman terlihat jelas dari tempat dudukku.
Patahan karang tersebar di Pantai Karang Tengah, Nusakambangan
Patahan karang tersebar di Pantai Karang Tengah, Nusakambangan

Ada puluhan wisatawan yang asyik bersantai di pantai ini. Mereka terlihat hanya duduk santai di kios-kios kecil terbuka sembari menikmati kelapa muda. Sebagian kecil lagi mereka bermain di tepian pantai. Tidak ada yang berenang, hanya berfoto saja. Aku sendiri hanya berjalan menyusuri tepian pantai.

Menurut informasi dari obrolan para pelaku persewaan kapal, tiap harinya Pantai Karang Tengah ini banyak dikunjungi wisatawan. Mereka hanya ingin bersantai dan menikmati hembusan angin. Selain pantai ini, masih ada beberapa pantai lagi di Nusakambangan yang dapat dikunjungi dan mempunyai pasir putih.

Siang sudah mulai terik, mentari sudah tergelincir ke arah barat. Aku bergegas mencari pemilik kapal yang sabar menungguiku. Begitu aku mendekat, dia langsung paham kalau aku akan kembali menyeberang ke Pantai Teluk Penyu.
Seorang wisatawan sedang asyik mengabadikan di tepian pantai
Seorang wisatawan sedang asyik mengabadikan di tepian pantai

“Kami boleh ikut kapal ini balik ke Teluk Penyu mas?” Tanya gadis berjlbab di sampingku.

“Boleh saja, selama kapal ini tidak kelebihan muatan,” Jawabku.

Rombongan berjumlah tujuh orang ini berasal dari salah satu kampus negeri di Semarang. Aku dapat mengetahui karena tiga dari tujuh muda-mudi ini menggunakan jaket bertuliskan fakultas kampusnya.

Kapal kembali berlayar menyeberangi Segara Anakan, melintasi rute yang tadi kami lewati sebelum menuju area lapas. Aku terdiam di ujung depan kapal, menghadap ke belakang dan menatap rombongan muda-mudi mahasiswa/I tersebut yang ramai asyik berfoto di atas kapal. Tidak terasa, akhirnya keinginan menyeberang ke Pulau Nusakambangan terealisasikan, dan ada rencana untuk ke sana lagi. Aku masih ingin mengunjungi Benteng Karang Bolong dan Mercusuar Cimiring.

*Menyeberang ke Pulau Nusakambangan dan mengunjungi Benteng Klingker pada hari Sabtu, 21 Januari 2017.

Bertandang ke Coban Pelangi Gubugklakah Malang

$
0
0
Guyuran air terjun (Coban) Pelangi di Desa Gubugklakah, Poncokusumo, Kab. Malang
Guyuran air terjun (Coban) Pelangi di Desa Gubugklakah, Poncokusumo, Kab. Malang

Selama empat hari, aku dan rombongan travel blogger menyambangi Kabupaten Malang. Di sana sudah terencana mengunjungi empat desa wisata; Desa Wisata Gubugklakah, Desa Wisata Poncokusumo, Desa Wisata Sanankerto, dan Desa Wisata Pujon Kidul. Di antara empat desa wisata tersebut, yang paling berdekatan adalah Gubugklakah dan Poncokusumo.

Usai pulang dari tempat pemerahan Susu di Gubugklakah, kami kembali ke homestay milik Pak Ansyori. Jum’at pagi di sini sangat menyenangkan. Suasana kehidupan ala kawasan Santri begitu kental. Berkali-kali kami bertemu dengan para santri yang sedang beraktifitas. Selain itu, pemandangan Jeep berlalu-lalang pun menjadi pemandangan yang biasa.

“Agenda selanjutnya ke Coban Pelangi,” Terang Pak Ansyori.

Berbekal kendaraan Jeep, rombongan kami berjumlah 10 orang menuju Coban Pelangi. Tidak ketinggalan Pak Ansyori yang sedari pagi menjadi pemandu. Beliau adalah Pokdarwis dari Desa Wisata Gubugklakah (DWG), Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang. Coban Pelangi adalah air terjun yang ada di kawasan Gubugklakah dan hasil dari percikan airnya menghasilkan warna semacam Pelangi. Aku semakin antusias menuju lokasi.

Suara Jeep meraung kencang melintasi jalanan, aku dan teman-teman travel blogger berpegang erat pada besi. Jalan tidak terlalu luas ini cukup ramai, banyak Jeep yang saling berpapasan turun dari Gunung Bromo atau sebaliknya. Gubugklalah merupakan desa yang berada di jalur pendakian.
Barisan bukit yang terabadikan sepanjang jalan
Barisan bukit yang terabadikan sepanjang jalan

Pemandangan sepanjang perjalanan didominasi perbukitan. Bukit hijau menandakan daerah sini berlimpah mata air. Sejenak aku menatap sisi kanan, barisan bukit disertai jurang menganga. Amat sangat dalam, di tiap sisi terdapat patok-patok berwarna putih hitam sebagai penanda tepi jalan. Aku menghela nafas panjang, menikmati perjalanan dengan keriuhan.

Jeep yang kami naiki memperlambat laju, kemudian mengambil belok kanan dan parkir di tanah lapang merapat di antara beberapa jeep dan mobil yang sudah sedari tadi terparkir. Bergegas kami turun, berkumpul tepat di pintu masuk air terjun. Di sini kami disambut pengelola air terjun berkolaborasi dengan Perhutani. Kami berbincang, foto bareng dan kemudian menyusuri jalanan.

Di gapura terpampang harga tiket masuk, bagi wisatawan lokal dikenai biaya Rp.8000 dan manca sebesar Rp.15.000. Jarak antara gerbang menuju air terjun sekitar 800 meter. Kita bisa berjalan kaki atau menaiki kuda untuk sampai di lokasi. Namun aktifitas berkuda tidak bisa dilakukan setiap hari.
Pintu masuk Coban Pelangi, sudah ada beberapa pengunjung yang datang
Pintu masuk Coban Pelangi, sudah ada beberapa pengunjung yang datang

“Kalau berkuda hanya pada akhir pekan saja. Biasanya kalau hari biasa tidak terlalu ramai,” Terang pengelola.

Sesuai dengan keterangan yang ada pada spanduk terpajang di dekat pintu masuk, di sini ada fasilitas seperti warung, mushola, flying fox, area berkemah dan lainnya. Untuk berkemah, pihak pengelola meminta tambahan karcis sebesar Rp.10.000 untuk keamanan dan kebersihan.

Aku dan Ghozali berjalan cepat, menyusuri jalanan yang masih cukup sepi. Warung-warung yang tersebar di berbagai area baru buka. Sapaan para menjual gorengan semacam salam hangat kami dalam berinteraksi. Kami berdua sengaja jalan cepat agar dapat mengabadikan Coban Pelangi dalam keadaan sepi.
Menyeberangi Kali Amprong meniti jembatan bambu
Menyeberangi Kali Amprong meniti jembatan bambu

Menuruni jalan agak lembab, kami terus berjalan sampai bertemu sebuah jembatan bambu. Jembatan ini digunakan untuk menyeberangi anak sungai yang ada di bawah. Tidak besar sungainya, namun airnya terlihat cukup kencang. Kali Amprong namanya, air yang mengalir merupakan hasil dari limpahan Coban Pelangi.

Berada di belahan bukit menjulang tinggi, Coban Pelangi hanya buka sampai pukul 16.00 WIB. Hal ini dilakukan demi keamanan. Selain itu jika musim hujan deras, diharapkan berwaspada. Berbagai hal harus diantisipasi termasuk kiriman air dari atas ke bawah. Menurut pengelola di atas tadi, di sini kadang kita bisa bertemu Kera Hitam dan Babi Hutan.
Aliran Kali Amprong cukup jernih dan bersih
Aliran Kali Amprong cukup jernih dan bersih

Suara gemuruh air terhempas terdengar disertai hawa yang makin sejuk. Jalan tanah sedikit licin, aku berhati-hati melangkah. Begitu belokan setapak kulewati, terlihatlah sumber bunyi gemuruh air terjun. Coban Pelangi seakan-akan menyapa kami dengan percikan air yang lembut.

Menjulang tinggi Coban Pelangi. Aku melihat dari jarak agak jauh, sempat kukeluarkan kamera, namun aku masukkan ke malai ke dalam drybag. Aku dan Ghozali berpikir keras di mana spot yang paling aman mengabadikan air terjun tanpa terkena percikan air.

Ghozali membungkus kamera menuju dekat bawah curug, di depannya ada semak-semak yang cukup membantu berlindung. Dia berencana mengabadikan Panorama 360, otaknya berpikir keras mencari tempat yang tepat dan strategis. Yang aku tahu, dia akan membidik setiap sudut sembari memutar badan membentuk lingkaran, tak ketinggalan mengabadikan langit dan tanah yang dipijaknya.
Mengabadikan Coban Pelangi, bear-benar indah
Mengabadikan Coban Pelangi, bear-benar indah

Aku mengamati sisi kanan, semacam bekas tanah longsor. Sementara sisi kiri tanah liat merah dan basah. Bisa jadi ini sisa longsoran dari tebing. Sedikit tertatih aku menuruni tanah liat yang basah menuju ke aliran air. Baru selangkah saja sandalku sudah terjebak di kubangan. Aku sedikit merangkak dan meniti batang kayu agar sampai bawah.

Perjuangan tidak sia-sia, dari sini aku bisa sepuasnya mengabadikan Coban Pelangi dan sedikit terhindar dari percikan air. Semak rerimbunan berwarna hijau segar ini melindungiku dari terpaan air yang terbang mengikuti angina. Percikan inilah yang membentuk warna pelangi saat terkena terpaan mentari menjelang siang. Sayang hari ini mendung, sehingga tak terlihat kilauan warna pelangi.
Coban Pelangi menjadi objek menarik diabadikan
Coban Pelangi menjadi objek menarik diabadikan

Penunggu Coban Pelangi
Coban Pelangi, sebuah air terjun yang cukup tinggi menurutku. Bisa jadi ketinggiannya hampir 90 meter. Guyuran air deras sampai ke bawah. Akses dibangun menuju lokasi air terjun ini sudah lama, bahkan menurut pemandu yang menyertai rombongan kami ke sini, jalanan dibangun sejak tahun 1986.

Ada cerita yang secara turun-temurun berkaitan dengan Coban Pelangi. Menurut cerita, Coban Pelangi ini dijaga seekor ular besar. Masyarakat setempat mengenal ular tersebut dengan nama Ular Gendang. Ular Gendang ini tidak dapat dilihat oleh mata kita, wujudnya berubah menjadi bongkahan batang kayu kering yang ada di dekat Coban Pelangi.

“Masyarakat sekitar mempercayai cerita itu mas. Kayu itu (batang kayu besar kering di dekat air terjun) tidak bergeser sedikitpun sewaktu Coban Pelangi meluap. Dari dulu sampai sekarang, batang kayu itu tidak berpindah posisi sedikitpun,” Terang pemandu sewaktu kami duduk berdua di tepian Coban Pelangi.

Masih menurut cerita pemandu, dibalik guyuran air terjun tersebut ada sebuah gua. Dan gua itu pernah digunakan bertapa oleh beberapa orang. Namun dia mengatakan jika pengunjung tidak diperbolehkan menuju ke sana, karena air tepat di bawah guyuran membentuk cekungan yang dalam.

“Pengunjung hanya diperbolehkan sampai batas pagar kayu terdekat dari coban, mas. Tidak boleh melebihi batas tersebut. Demi keselamatannya sendiri,” Tambahnya.
Jalan setapak dan berbataskan pagar batang kayu di Coban Pelangi
Jalan setapak dan berbataskan pagar batang kayu di Coban Pelangi

Para pengunjung biasanya lebih suka mengabadikan diri berlatarkan Coban Pelangi. Jika mereka ingin bermain air, tempat yang diperbolehkan bermain air adalah di aliran air yang mengalir di Kali Amprong. Air di sini menurutku sangat dingin. Mungkin karena aku terbiasa di Jogja dan lokasinya tidak di ketinggian.

Masih pagi namun sudah banyak pengunjung yang datang. Mereka rata-rata bersama keluarga. Jika dirasa capek jalan, ada spot-spot tertentu yang bisa digunakan untuk istirahat. Pun dengan warung yang tersebar, mereka menjajakan makanan yang bisa menggoda kala hawa dingin menerpa tubuh.

Aku masih berdiri di tepian jalan setapak menghadap ke guyuran Coba Pelangi. Menyaksikan teman lain yang asyik memotret. Coban Pelangi adalah salah satu destinasi alam andalan di Desa Wisata Gugugklakah. Potensi yang tentunya bisa menarik perhatian para wisatawan yang biasanya sekedar lewat untuk singgah. Di Gubugklakah masih ada beberapa Coban yang akan dikembangkan, hanya saja akses jalannya masih belum bagus.

*Rangkaian kegiatan Travel Blogger Explore Desa Wisata Malang (Tagar #EksplorDeswitaMalang) dipersembahkan oleh Forkom Desa Wisata Malang 14 - 17 April 2017.
Desa Wisata Gubugklakah
Desa Gubugklakah, Poncokusumo, Kab Malang, Jawa Timur
Telepon : 0878-5947-8177 (Pak Purnomo Anshori)

Warna-warni Bunga Krisan di Setiya Aji Flower Farm Bandungan

$
0
0
Berfoto di Kebun Bunga Krisan di Bandungan
Berfoto di Kebun Bunga Krisan di Bandungan

Kuperhatikan raut jawah gadis berjilbab di samping. Ajakan akhir pekan menuju Bandungan merupakan permintaan yang langka. Seringnya dia diam saat aku tanya ingin berlibur ke mana kita akhir pekan ini. Dua kota menjadi pemisah kami, dan untuk bertemu pun cukup sulit.

“Sebelum ke La Kana Chapel kita mampir dulu di kebun bunga ya. Lokasinya tidak jauh kok dari La Kana Chapel.”

Permintaan yang tidak bakal aku tolak. Kami berdua menyusuri jalan menuju Bandungan mengendarai motor metik. Sedikit kaku rasanya mengendarai motor, terlebih aku sudah terbiasa menaiki sepeda. Ditambah ada seseorang yang membonceng.

Tidak perlu menggunakan GPS, jalan menuju Bandungan cukup mudah ditemukan dari arah Semarang. Untuk mencari Kebun Bunga Krisan Setiya Aji pun tidak sulit. Sepanjang perjalanan di kiri jalan terpampang petunjuk arah.

Aku tidak tahu lokasi tepatnya, tapi ketika tanjakan belok kiri mendekati area Pasar Bandungan, di sisi kiri jalan ada gapura masuk serta petunjuk arah ke Bunga Krisan. Aku masuk saja mengikuti jalan kecil dan menurun. Untuk sesaat kami melewati daerah warga, jalan hanya cukup satu mobil. Setelah sampai, aku melihat alamat lokasi Bunga Krisan ini di Kampung Ngasem, Jetis, Kecamatan Bandungan.
Pengunjung membeli tiket masuk Kebun Bunga Krisan Setiya Aji Bandungan
Pengunjung membeli tiket masuk Kebun Bunga Krisan Setiya Aji Bandungan

Benar saja cukup mudah mencari area Bunga Krisan Setiya Aji, di sisi kiri jalan sudah banyak motor dan mobil terparkir. Warga desa selaku pengurus Kebun Bunga Krisan sibuk mengatur jalan dan mengarahkan wisatawan membeli tiket. Satu orang tiketnya Rp.7.500.

Ada dua lahan berbeda tempat milik Setiya Aji, lokasinya ada yang di atas dan sebagian ada di bawah dekat sawah. Kami mengikuti jalan melewati depan rumah warga sekitar. Geliat ekonomi warga di sini naik saat Setiya Aji Farm Flower dikenal. Mereka membuat lapak kecil di depan rumah (tepi jalan) sembari menawarkan dagangannya.

Alpukat, Jambu Kristal, Jus Buah, Bunga Krisan dalam pot, atau aneka jajanan lainnya. Jelas terlihat ada keberkahan para warga sekitar saat Bunga Krisan di tempatnya terkenal. Aku dan gadis di sampingku terus berjalan. Kami memang sempat membeli dua kilo Alpukat ketika pulang. Itu karena gadis ini ingin membuat jus kala di Semarang.

“Kalau bunganya sekalian gimana ya?” Celetuk gadis ini menatap bunga segar tertanam di dalam pot.

“Kalau mau beli diambil saja, tapi kamu yang pegang sampai Semarang ya,” Ujarku.

Dia melirikku, tatapannya penuh makna. Aku tertawa saja menanggapinya. Ini memang bukan obrolan lucu, namun terasa berkesan karena jarang bertemu.

Usai melewati jalan kecil di depan rumah warga, di depan kami ada banyak petakan bunga Krisan. Tidak semuanya berbunga, ada yang masih dalam proses pembibitan. Petakan lahan bunga Krisan yang ada di sana bukan sepenuhnya milik Setiya Aji. Ada juga milik penduduk lain. Namun yang dibuka untuk spot berfoto hanya punya Setiya Aji.
Jalur setapak bagi pengunjung Bunga Krisan
Jalur setapak bagi pengunjung Bunga Krisan

Pohon Mangga besar membuat teduh di depan lahan Setiya Aji. Muda-mudi tampak asyik berfoto, sebagian dari mereka menggunakan bantuan tongsis. Tidak ketinggalan jasa motret, seorang lelaki sedikit gemuk menenteng kamera DSLR sembari membawa hasil cetakan foto di kebun bunga.

Bunga Krisan di Setiya Aji Flower Farm dominan berwarna kuning dan putih. Di beberapa sudut juga serumpunan Bungan Krisan berwarna merah menyala. Petakan bunga yang mekar sudah diberi jalan khusus dengan batas kawat dan tali. Pengunjung hanya bisa berfoto dari jalan setapak, tidak diperbolehkan menyeruak ke dalam tanaman.
Warna kuning dominan di Kebun Bunga Krisan Bandungan
Warna kuning dominan di Kebun Bunga Krisan Bandungan

Kami berkeliling mengikuti jalur yang sudah tersedia. Sesekali mengabadikan bunga kala mekar, atau mengabadikan gadis yang kugandeng saat dia ingin berfoto. Ada juga foto bersama di sini, aku meminta bantuan pengunjung yang berada di dekatku. Pun dengan mereka meminta bantuan kembali untuk diabadikan.

Sudah ada banyak muda-mudi yang datang ke sini. Cuaca siang cukup panas walau berada di area Bandungan, namun tak membuat semangat para muda-mudi ini luntur. Sedikit bermandikan keringat, mereka berpose di sudut-sudut Bunga Krisan yang mekar. Lahan pertama diberi atap semacam plastik transparan berlangit-langit bambu. Jadi terasa benar gerahnya.

Bunga Krisan milik Setiya Aji ada beberapa petak di sini. Selain yang tertutup atap plastik transparan, ada juga yang berada di lahan terbuka. Lokasinya berdekatan, aku menyusuri jalan setapak melewati persawahan. Dari atas bisa kulihat hamparan Bunga Krisan yang mekar. Seperti yang di atas, dominan warna kuning bermekaran.
Lahan Bunga Krisan yang terbuka di persawahan
Lahan Bunga Krisan yang terbuka di persawahan

Kombinasi bunga warna kuning dan putih menyebar di petakan. Aku mengabadikan dari atas. Seperti halnya yang di atas, di sini juga sudah ada sekelompok gadis sedang asyik befoto. Mereka bergantian mengabadikan diri tepat di tengah rerimbunan Bunga Krisan.

Penasaran dengan cara penanamannya, aku mencoba melihat para warga setempat yang membudidayakan Bunga Krisan saat menanam bibit. Di dekat lokasi Setiya Aji Flower Farm, aku melihat seorang bapak dan beberapa ibu sibuk menanam bibit bunga. Kusapa beliau dan berbincang disela-sela kesibukan menanam.

Pak Sutrisman nama beliau, lokasi lahan bunga beliau berdekatan dengan milik Setiya Aji. Bahkan kita harus melewati lahan beliau terlebih dulu sebelum sampai ke Bunga Krisan Setiya Aji. Pak Sutrisman dan keluarganya sudah sekitar 10 tahun membudidayakan Bunga Krisan.

“Kalau punya kami tidak saya buka untuk foto mas,” Ujar Pak Sutrisman.

Bunga-bunga Krisan ini siap panen kalau sudah 3 bulan ditanam dan tidak kena penyakit. Para petani Bunga Krisan biasanya akan menjual bunga tersebut pada penyetor/pengepul bunga. Biasanya pihak yang membutuhkan bunga langsung turun mencari dan menjemput bunga tersebut.

“Permintaan bunga itu tergantung musim mas. Kalau musim hajatan, biasanya permintaan meningkat,” Terang Pak Sutrisman.

Seperti yang kita ketahui, bunga ini biasanya digunakan untuk dekorasi pernikahan sampai ucapan selamat ataupun ucapan belasungkawa. Para pengepul bunga biasanya menggunakan mobil untuk mengangkut Bunga Krisan. Kata Pak Sutrisman ada juga pengepul dari Solo dan Madiun sampai di sini mencari Bunga Krisan.
Istri Pak Sutrisman menanam bibit bunga krisan dibantu saudaranya
Istri Pak Sutrisman menanam bibit bunga krisan dibantu saudaranya

Kembali ke Bunga Krisan Setiya Aji, awalnya tempat ini ramai dikenal para pecinta swafoto setahun silam. Ada banyak muda-mudi setempat yang berfoto di sini dan diunggah di sosial media. Lalu sedikit demi sedikit pengunjung bertambah, rata-rata mereka yang datang adalah mahasiswi dari Semarang dan sekitarnya.

Menjelang akhir pekan, lebih dari 150 pengunjung yang datang. Mereka sengaja berfoto di bunga yang mekar. Spot-spot seperti ini memang menarik perhatian bagi para pecinta swafoto. Usai berfoto, mereka dengan mudah dapat mengunggah foto tersebut dari gawai pintarnya. Di sini kita juga bisa membeli bunga perikat dari pihak pengelola atau dari warga setempat. Kalian bisa lihat di tagar #Setiyaajiflowerfarm

Usai berbincang dengan Pak Sutrisman, aku mengajak gadis di sisiku beranjak meninggalkan Bunga Krisan Setiya Aji. Kami berjalan menuju area parkir, dan menyempatkan beli Alpukat di kios warga setempat. Kami berjalan santai sembari berbincang, perjalanan belum selesai karena masih ada satu destinasi yang harus kami kunjungi didekat sini. La Kana Chapel, bangunan unik di Bandungan inilah yang akan aku sambangi. *Berkunjung ke Bunga Krisan Setiya Aji Flower Farm Bandungan pada hari Sabtu, 04 Maret 2017
Kebun Bunga Krisan Setiya Aji Flower Farm
Alamat: Kampung Ngasem, Jetis, Kecamatan Bandungan

Berinteraksi dengan Pemerah Susu Sapi di Desa Wisata Pujon Kidul, Malang

$
0
0
Peternakan Sapi di Desa Wisata Pujon Kidul, Malang
Peternakan Sapi di Desa Wisata Pujon Kidul, Malang

Mengunjungi Desa Wisata memang menyenangkan. Kita bisa menyatu dengan warga, berbincang santai membahas hal-hal yang ringan. Atau malah bisa mengikuti apa-apa yang warga lakukan setiap hari. Kita juga bisa menikmati suasana desa yang tenang serta menghirup udara bersih.

Desa wisata memang jarang dilirik, namun bukan berarti mereka tidak mempunyai potensi. Ketika kita datang ke desa wisata, kita akan diberikan suguhan keramah-tamahan warga. Kita juga dapat mendengar cerita-cerita hebat dari setiap pengurus kala berjuang memajukan desanya sendiri.

Tak sekedar menikmati keindahan derstinasi. Mengunjungi desa wisata lebih dari itu. Semenjak aku diajak teman mengeksplore desa wisata di Jogja, lalu kembali mengunjungi desa wisata di Malang. Aku semakin paham sesungguhnya menuju suatu destinasi bukan hanya untuk menyenangkan pikiran, tapi menyambung tali persaudaraan dengan warga setempat.

*****

Perempuan setengah baya berjalan menyusuri jalanan aspal agak menurun. Kerudung lusuh berwarna merah berpadu dengan daster coklat – kuning, beralaskan sandal jepit yang mulai menipis. Tangan kiri senantiasa memegang semacam ember tempat susu perah yang dipanggul di atas kepalanya.
Ibu Siamah menyetor hasil perahan susu ke Koperas SAE Pujon
Ibu Siamah menyetor hasil perahan susu ke Koperas SAE Pujon

Langkah demi langkah dilewati, bahkan beliau tak menengok saat mobil yang kami naiki menyalipnya. Beliau hanya menepi dan terus berjalan menuju Koperasi SAE Pujon. Di sana nantinya beliau akan mengirimkan hasil perahan susu. Langkah pasti penuh harapan, menyetor susu perahan itu artinya mendapatkan uang untuk menyokong sumber perekonomian.

Koperasi SAE Pujon tiap hari menerima sekitar 300 warga pemerah susu sapi untuk disetorkan. Hasil tersebut ditampung dan diolah. Setiap hari penyetoran dilakukan sebanyak dua kali, pagi dan sore. Itupun sudah ada jam-nya. Sehingga pada jam-jam tertentu, koperasi ini akan ramai didatangi warga yang usai memerah susu sapi.

Bu Siamah masuk ke dalam koperasi, beliau mengantri untuk diambil sampel susu perahannya. Sampel tersebut dilakukan untuk mengantisipasi kecurangan dicampur dengan air. Tugas mengecek sampel ini dilakukan oleh Pak Samsul. Ini adalah proses awal untuk mendapatkan susu dengan kualitas tinggi.
Pak Samsul mengecek kadar susu yang disetorkan Bu Siamah
Pak Samsul mengecek kadar susu yang disetorkan Bu Siamah

Proses pengecekan kadar susu berjalan dengan lancar, Bu Siamah menuju tempat penampungan susu. Di sini nantinya beliau akan tahu berapa liter hasil perahannya sore ini. Raut jawah beliau mengharapkan sore ini dapat mendapatkan hasil yang memuaskan.

“6.5 liter,” Teriak orang yang menuangkan susu perah ke dalam tampungan besar.
Petugas lain mencatat jumlah setoran susu perahan dari Bu Siamah
Petugas lain mencatat jumlah setoran susu perahan dari Bu Siamah

Bu Siamah tersenyum mendengar jumlah hasil perahan susu yang didapatnya. Beliau mengeluarkan sebuah buku kecil dari saku, dan menyerahkan pada petugas yang mencatat hasilnya selama sehari. Di buku yang bertuliskan Koperasi SAE Pujon di Desa Wisata Pujon Kidul ini tercatat rekaman hasil Bu Siamah sepanjang hari.

*****

Desa Wisata Pujon Kidul, kabupaten Malang melimpah sayuran, lokasinya yang berada di ketinggian dan diapit perbukitan menjadikan tempat ini subur. Selain hasil kebun, setiap warga juga mempunyai sapi perah. Setiap rumah hampir seluruhnya mempunyai sapi perah, karena inilah Pak Udi bersama Kelompok Sadar Wisata membuat eduwisata sapi perah.

Sapi perah di Desa Wisata Pujon Kidul memang melimpah. Bahkan dari informasi yang aku dapatkan, Pujon Kidul merupakan tempat penyuplai Susu Sapi terbesar di Malang. Hal ini tidak bisa dipungkiri, aku sendiri melihat bagaimana keramaian warga kala menyetor susu perahan ke Koperasi. Selain itu, aku juga melihat sendiri adanya truk dari pabrik susu yang mengangkut ribuan liter tiap harinya dari tempat ini.

Ada tempat khusus untuk merawat sapi perah. Setiap hari sapi-sapi ini diperah susunya dan disetorkan ke Koperasi SAE Pujon. Menurut Pak Udi, tidak semua sapi warga di sini. sebagian besar mereka malah merawatnya sendiri di rumah masing-masing.
Pujon Kidul terkenal dengan peternakan Sapi Perah di Malang Raya
Pujon Kidul terkenal dengan peternakan Sapi Perah di Malang Raya

Sapi-sapi perahan harus dirawat dengan baik, dimulai dari kandang harus bersih. Kandungan makanannya pun diperhatikan. Makanan utama memang rumput, namun biasanya dikombinasikan dengan Konsentrat. Konsentrat ini semacam vitamin untuk Sapi.

“Rumputnya ditanam sendiri mas. Jadi memang kita harus menyiapkan lahan khusus ditanami rumput untuk stok makan Sapi.”

Menurut Pak Udi, rumput sekarang kualitasnya tidak sebagus rumput dulu. Mungkin karena sudah tercampur dengan pupuk dan lainnya. Setiap warga yang mempunyai sapi rata-rata mempunyai kebun yang ditanam rumput gajah.

Melimpahnya susu sapi di Pujon Kidul membuat warganya berinovasi. Susu Sapi tidak serta-merta dijual semua, bahkan ada yang membuatnya menjadi camilan. Camilan itu menjadi buah tangan khas Desa Wisata Pujon Kidul. Selain untuk camilan juga biasanya diolah menjadi Yoghurt.
Camilan yang terbuat dari bahan Susu Sapi
Camilan yang terbuat dari bahan Susu Sapi

Aku dan teman-teman blogger yang berkesempatan menyambangi tempat peternakan sapi perah mendapatkan bingkisan camilan. Sebelumnya kami juga sempat melihat bagaimana proses pemerahan susu. Dua temanku mencoba memerah susu sapi, kemudian meminumnya langsung. Pengalaman yang menyenangkan tentunya bagi kami.

*****

Bu Siamah mengambil kembali buku kecil catatan hasil setorannya dari petugas. Dimasukkan lagi ke dalam saku. Beliau menuju tempat kran air yang berjejer, bersama dengan warga lain yang telah selesai menyetor, Bu Siamah mencuci embernya.

Obrolan santai sesama warga terdengar, aku sendiri sedari tadi mengikuti Bu Siamah hanya mengamati saja. Tidak baik rasanya kalau aku terus mendekati beliau dan memotong pembicaraan. Dicuci ember tersebut menggunakan sabun yang tersedia, hanya satu ember saja yang beliau bawa.

“Tadi yang serahkan ke putugas buku apa bu?”

“Ini?” Tanya Bu Siamah ke arahku.

Aku mengangguk melihat buku kecil yang beliau keluarkan kembali dari sakunya.

“Buku setoran mas. Jadi tiap selesai menyetor petugas menulis berapa hasil yang saya setorkan di sini.”

“Boleh dibuka bukunya bu?”

 “Silakan mas. Buka saja tidak apa-apa.”
Hasil setoran Bu Siamah selama bulan april
Hasil setoran Bu Siamah selama bulan april

Buku kecil tersubut dibuka, di dalamnya merupakan rekapan hasil yang disetorkan Bu Siamah selama bulan ini. Tertera jumlah liter yang beliau setorkan tiap pagi dan sore. Tadi pagi beliau menyetorkan sebanyak 8 liter, sementara sore tadi hanya bisa menyetor sebanyak 6.5 liter susu.

Perahan susu inilah yang menjadi mata pencaharian Bu Siamah. Beliau bertumpu pada dua sapi yang dimilikinya. Dalam satu bulan kurang lebih sekitar 500 liter susu dari kedua sapi yang dimilikinya. Satu liter susu di koperasi dibeli dengan kisaran antara Rp.5200 – Rp.5700.

Ini artinya dalam satu bulan kemungkinan Bu Siamah mendapatkan uang sebesar Rp.2.500.000. itupun harus dibagi untuk kehidupan sehari-hari, ditambah dengan biaya perawatan kedua sapinya.

“Kalau bayarannya tiap 15 hari sekali mas.”

Sapi menjadi harta yang melimpah di Desa Wisata Pujon Kidul, Malang. Di sini aku bisa melihat bagaimana warga menggantungkan mata pencahariannya dengan menjadi peternak sapi. Bu Siamah sudah tujuh tahun menyetorkan susu sapi perahannya ke Koperasi SAE Pujon. Keberadaan koperasi ini begitu penting bagi warga yang mempunyai sapi perah.

Sore hari di koperasi SAE Pujon makin ramai. Berbondong-bondong warga menyetor hasil perahan susu sapinya. Ada yang membawa lebih dari 6 tampungan susu perah, ada juga anak kecil yang membawa ember hasil perahannya sendiri. Sebuah pemandangan yang unik menurutku. Setiap warga membawa susu ke koperasi, dan mereka saling sapa satu dengan lainnya.

Bu Siamah meninggalkan keramaian koperasi, beliau berjalan keluar menuju rumahnya. Ditenteng ember yang sewaktu berangkat dipanggul di atas kepalanya. Beliau menapaki jalan yang sepi sendiri. Meninggalkan keramaian koperasi yang didatangi para warga lainnya. Beliau ingin melepas lelah sebelum magrib menyapa.
Bu Siamah meninggalkan Koperasi SAE Pujon usai menyetor susu perahannya
Bu Siamah meninggalkan Koperasi SAE Pujon usai menyetor susu perahannya

Aku berlari mendekati Bu Siamah, mengucapkan terima kasih sudah diperbolehkan memotret kegiatan beliau selama di koperasi. Senyum beliau terlihat jelas, kerutan raut wajah lelah tertutupi oleh semangatnya. Bu Siamah adalah satu dari ratusan warga Pujon Kidul yang menggantungkan diri dengan peternakan Sapi.

Tak terasa sore benar-benar datang. Aku harus segera berkemas meninggalkan Desa Wisata Pujon Kidul. Meninggalkan teman-teman yang masih tinggal dan bermalam di sini. Aku dan Ghozali harus ijin pulang terlebih dulu, karena hari senin aku sudah harus kembali bekerja. Walau hanya sebentar di Desa Wisata Pujon Kidul, aku dapat merasakan bagaimana suasana nyaman di desa ini. Berbaur dengan warga, dan dapat menjabat erat tangan warga.

*Rangkaian kegiatan Travel Blogger Explore Desa Wisata Malang (Tagar #EksplorDeswitaMalang) dipersembahkan oleh Forkom Desa Wisata Malang 14 - 17 April 2017.
Informasi dan pemesanan Desa Wisata Pujon Kidul
Desa Wisata Pujon Kidul, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang
Narahubung: 081232581056 (Pak Udi)

Menyeduh Teh Panas di Bale Branti Kemuning

$
0
0
Suasana di Bale Branti Kemuning, Karanganyar
Suasana di Bale Branti Kemuning, Karanganyar

Tidak ada agenda khusus saat berkunjung ke Kemuning membuatku nyaman. Niatnya hanya sederhana, berlibur ke Kemuning dan menikmati secangkir Teh Panas sembari duduk santai di salah satu kedai teh. Kemuning, Karanganyar memang memikat para wisatawan untuk dikunjungi, terlebih di sana ada hamparan hijau perkebunan teh.

Alih-alih mengikuti tren berkunjung ke Ndoro Donker, aku malah lebih tertarik menuju Bale Branti. Lokasi yang hanya sepelemparan batu dari Ndoro Donker. Ndoro Donker terlihat ramai pengunjungnya, takutnya di dalam sudah bersesakan dan tidak mendapatkan tempat duduk yang nyaman.

Bale Branti dan Ndoro Donker memang berdekatan, yang membedakan keduanya adalah pemandangannya. Jika di Ndoro Donker lebih dominan dengan pemandangan rimbunnya teh, di Bale Branti lebih menyuguhkan pemandangan persawahan. Keduanya sama-sama ramai, namun Bale Branti terkesan agak luang dan tidak berdesakan.

Turun dari mobil aku langsung menuju pendopo tempat meminta menu makanan. Sebenarnya perut belumlah lapar, jadi di sini aku hanya ingin menikmati suasana selepas hujan dengan menyeduh teh. Kurang lengkap rasanya jika ke Kemuning tanpa menyeduh varian teh yang ditawarkan.
Joglo bagian depan Bale Branti Kemuning, Karanganyar
Joglo bagian depan Bale Branti Kemuning, Karanganyar

“Tempat yang masih kosong di depan sana mas. Nanti kami bersihkan dulu tempatnya,” Kata pramusaji ke arahku.

Kulongok lokasi yang ditunjukkan pramusaji. Sebuah tempat berbentuk payung besar, di tengahnya dibuat meja bulat dan dikelilingi lima kursi kayu masih agak basah terkena gerimis. Hujan memang sempat mengguyur, namun hanya sebentar saja. Aku mengangguk saja. Toh pemandangannya cukup menyenangkan. Hamparan sawah dan jauh di sana ada gunung.

Payung-payung tertata rapi, jalan kecil membelah di tengahnya. Hampir setiap tempat duduk sudah dipenuhi muda-mudi. Mereka menikmati waktu menjelang sore dengan kumpul santai bareng teman maupun orang terdekat. Untuk beberapa saat aku terdiam, mata ini sibuk mengamati menu yang akan dipesan.

Siang tadi aku sudah makan berat, namun keinginan nongkrong di sini tak tertahankan. Jadi cukuplah menyeduh teh dan menikmati sepotong roti untuk menghabiskan waktu sore. Namanya juga hanya ingin menghabiskan akhir pekan dengan cara berbeda. Bingung juga pesan menu, akupun asal menyebut saja.
Menu harga Teh satu teko di Bale Branti
Menu harga Teh satu teko di Bale Branti

“Saint Pierre Tea. Tambah ini ya mas,” Ujarku sembari menunjuk salah satu menu roti.

“Baik mas. Ada tambahan lainnya mungkin?” Pramusaji ingin memastikan.

Aku menggelengkan kepala. Toh tujuanku ke sini memang untuk menikmati teh panas sembari duduk santai melepas penat.

“Ditunggu ya.” Ujarnya sambil berlalu.

Menunggu pesanan di tempat ramai seperti ini harus sabar. Biasanya pesanan akan datang sekitar 30 menit. Aku melihat ke setiap penjuru area Bale Branti. Lokasi tempat ini cukup luas, di belakang pendopo itu juga ada lahan yang tak kalah luasnya. Selain itu bangunan berbentuk gedung di atasku juga sudah disesaki pengunjung. Sepertinya mereka satu rombongan, mereka berkegiatan di atas sana.

Suhu di Kemuning memang agak dingin dibanding Solo. Sehingga ketika kita nongkrong di sini lebih nyaman menikmati suguhan minuman hangat. Kemuning kala akhir pekan selalu dikunjungi banyak wisatawan. Ada banyak pilihan destinasi yang bisa dikunjungi di sini; air terjun, tubing, atau malah berkunjung ke candi.

Hilir-mudik pengunjung Bale Branti silih berganti. Sesekali terdengar suara dari pengeras suara yang mengatur area parkir kendaraan. Para pengatur parkir harus bekerja keras saat sebuah bus besar masuk dan berputar mencari tempat parkir.

Belum ada tanda-tanda pesananku tiba, aku mengeluarkan kamera. Melihat beberapa hasil fotoku. Satu hal yang disayangkan, selama di sini tadi tidak sempat mengabadikan kebun teh karena hujan deras. Aku malah mengabadikan hamparan sawah yang ada di dekatku.

“Silakan mas, ini pesanannya.”
Satu teko teh pesanan sudah disajikan pramusaji
Satu teko teh pesanan sudah disajikan pramusaji

Satu teko teh sudah datang, pun dengan roti yang kupesan. Aku mengucapkan terima kasih sebelum pramusaji meninggalkan tempat dudukku dan melayani pengunjung lain. satu teko teh, empat gelas imut, dan satu lagi berisi gula cair.

Kutuangkan teh dari teko di cangkir, lalu menyeduhnya tanpa gula. Entahlah, karena bukan pecinta teh sehingga aku tak bisa merasakan perbedaannya. Kuberi sedikit gula cair, lalu kembali menyeduhnya. Asyik memang menyeduh teh di tempat yang suhunya dingin seperti Kemuning.

Menjelang sore semakin banyak saja mengunjung yang datang. Tepat di sebelahku ada tiga perempuan dari Wonogiri menyempatkan minum teh bersama. Mereka tampak asyik berbincang santai. Aku sempat menyapa ketiganya, dan berbincang bareng. Kemudian aku kembali ke tempatku sendiri.
Menjelang sore, mari menyeduh teh panas
Menjelang sore, mari menyeduh teh panas
Menjelang sore, mari menyeduh teh panas

Selain ketiga perempuan tadi, aku menyempatkan mengabadikan beberapa pengunjung yang asyik menyeduh teh di Bale Branti. Pada dasarnya mereka menikmati suasana seperti ini dan bercengkerama dengan orang terdekat. Sore hari dan secangkir kopi adalah sebuah kenikmatan yang harus kalian coba.

“Bisa minta tolong dipotretkan mas?” Pintaku pada salah satu pramusaji yang sedang lewat.

Pramusaji tersebut mengangguk. Akupun menyerahkan kamera padanya. Cukup dengan setelan auto saja agar lebih mudah untuknya. Tak perlu waktu lama, hanya dengan beberapa pose sembari mengangkat cangkir, aku sudah terabadikan. Resiko datang ke sini sendiri, tidak ada teman berfoto.
Yang lain pada bersama teman, ini kok sendirian
Yang lain pada bersama teman, ini kok sendirian

Kuhabiskan roti yang sudah terpesan, dan menikmati tek satu teko. Tentunya tidak habis jika diminum sendirian. Hari sudah mulai sore, aku bergegas meninggalkan Bale Branti menuju hotel yang lokasinya masih lumayan jauh dari Kemuning. Seperti agenda sebelumnya, malam ini aku menginap di salah satu hotel di area Tawangmangu.

Laju mobil tidaklah kencang, jalan berliku dilewati. Sesekali berpapasan dengan kendaraan pribadi menuju Kemuning. Aku duduk di samping pak sopir sambil melepas lelah. Yang terbayang kali ini adalah ingin rasanya merebahkan diri di kamar hotel. Menikmati rasa capek selama seharian. *Kunjungan ke Bale Branti, Kemuning pada hari Sabtu, 19 November 2016.

Ledok Ombo, Camping Ground Hutan Pinus di Desa Wisata Poncokusumo

$
0
0
Ledok Ombo, Camping Ground Hutan Pinus di Desa Wisata Poncokusumo
Ledok Ombo, Camping Ground Hutan Pinus di Desa Wisata Poncokusumo

Hari sudah menjelang siang. Aku dan rombongan blogger masih mengeksplore destinasi wisata di Desa Wisata Poncokusumo, Kabupaten Malang. Sedari pagi kami sudah mengunjungi beberapa destinasi andalan. Ledok Ombo menjadi destinasi terakhir yang akan kami kunjungi sebelum berpindah tempat ke Desa Wisata Sanankerto.

Ledok Ombo adalah hutan pinus yang diberdayakan untuk lokasi wisata. Seperti halnya hutan pinus di berbagai tempat, Ledok Ombo mulai sedikit demi sedikit mengembangkan potensinya. Pengelolaan Hutan Pinus Ledok Ombo diserahkan pada Perhutani dan dibantu Pokdarwis Poncokusumo.

Mobil Espas yang kami naiki menyusuri jalanan sepi. Terasa teduh, tiap sisi jalan pohon tinggi menjulang dengan dedaunan lebat. Di dalam mobil, kami bersepuluh menyempatkan waktu melongok sosial media. Lebih banyak waktu kami gunakan untuk berbincang santai penuh canda. Ada saja hal yang menarik diobrolkan selama perjalanan.

Mbah Irul (Ketua Pokdarwis Desa Wisata Poncokusumo) yang mengikuti kami sejak tadi menghentikan motor. Mobil pun ikut berhenti. Kami sudah sampai pintu masuk Hutan Pinus Ledok Ombo. Lokasi yang biasa digunakan untuk camping groundbeberapa wisatawan. Untuk masuk ke Hutan Pinus, setiap pengunjung dikenai biaya Rp.5000.
Jalan aspal di Hutan Pinus Ledok Ombo, Poncokusumo
Jalan aspal di Hutan Pinus Ledok Ombo, Poncokusumo

Berhubung rombongan kami atas undangan Pokdarwis Desa Wisata Poncokusumo, jadi tidak dikenai biaya masuk. Rencananya kami di sini akan diajak keliling melihat potensi Pinus Ledok Ombo yang mulai bersolek. Pinus Ledok Ombo sebenarnya sudah dibuka untuk wisatawan sejak tahun 1999. Namun baru mulai terlihat ramai sejak dua tahun terakhir.

Perjalanan tersendat, kali ini teman-teman rombongan tergiur jajanan siomay yang berjualan di pintu masuk hutan pinus. Seperti mendapatkan durian runtuh, penjual siomay cekatan melayani kami bersepuluh. Benar adanya, siomay itu menggoda kala hawa dingin menerpa tubuh kami.

Hutan Pinus Ledok Ombo seluas 12 hektar ini agak lengang. Beberapa wisatawan yang datang hanyalah remaja setempat yang meluangkan waktu akhir pekan untuk berlibur. Sepertinya keberadaan hutan pinus ini belum banyak dikenal oleh wisatawan. Aku menyusuri jalan aspal, di sana sudah ada rumah pohonnya. Jika tidak salah hanya ada dua rumah pohon.
Pohon Pinus menjulang tinggi
Pohon Pinus menjulang tinggi

Rumah pohon ini digunakan wisatawan untuk berfoto. Anak tangga tampak lebih tegak di belakang bangunan rumah pohon. Jika ingin menaiki, kita harus berhati-hati. Muda-mudi terlihat bergerombol di dekat tempat outbond. Kulihat salah satu di antara mereka ada yang membawa kamera. Sepertinya mereka sengaja ingin memotret. Sepertinya sudah menjadi tren sekarang berfoto dengan latar belakang pohon pinus.

Jejeran pohon pinus menjulang tinggi. Hampir sebagian besar bagian tanahnya masih ada rumput hijau. Hanya di beberapa tempat saja yang bawahnya bersih dengan alas tanah tandus. Muda-mudi memilih sudut yang menurutnya bagus diabadikan. Tidak sedikit kulihat mereka sedang asyik berpose dan berharap hasil fotonya memuaskan.
Salah satu rumah pohon di Ledok Ombo
Salah satu rumah pohon di Ledok Ombo

Menurut informasi dari Mbah Irul dan petugas perhutani yang sempat kami temui di sini, Pinus Ledok Ombo ini merupakan tempat alternatif untuk kemping. Biasanya saat menjelang sore akhir pekan ada beberapa pemuda yang berkemping di sini. Mungkin kami datang ke sini masih siang, sehingga tidak bertemu dengan orang-orang yang ingin menikmati malam di tengah hutan pinus.

“Jika akhir pekan jumlah pengunjungnya sekitar 100 orang lebih,” Terang Mbah Irul.

Menariknya Hutan Pinus Ledok Ombo ini mempunyai jalur trek untuk downhill. Trek Downhil sepanjang 1.5 KM dibatasi dengan garis pembatas berwarna biru. Menurut pengelola rencananya antara bulan Mei – Juni akan ada agenda downhill di sini. Sedikit memang ada hutan pinus yang menyediakan trek downhill. Tentunya terobosan ini akan menjadi menarik bagi para pesepada khususnya pecinta downhill.

“Nggak ada sepeda ya pak untuk tes trek downhill?” Tanyaku bercanda.
Trek sepeda downhill di Hutan Pinus Ledok Ombo
Trek sepeda downhill di Hutan Pinus Ledok Ombo

Mbah Irul tertawa mendengar pertanyaanku. Beliau menggelengkan kepala. Akan menjadi hal yang menarik jika di sini ada sepeda, mungkin aku menjadi salah satu dari teman blogger yang akan mencoba trek tersebut. Walau biasanya lebih suka uphill, tapi sesekali downhilljuga tak jadi masalah.

Pemandangan yang tak kalah menarik di ledok Ombo ini adalah kedai kopi yang ada di ujung jalan. Berlokasi di tepian Pinus Ledok Ombo, Pinus Café ini membuat kami penasaran. Mbah Irul sudah terlebih dulu berbincang dengan pemiliknya. Sementara kami malah asyik nongkrong di kedai tersebut setelah capek menyusuri sudut pinus. Pinus Café ini menyediakan berbagai kopi instan maupun biji. Tinggal kita ingin memilih yang mana.
Pinus Cafe, kedai kopi di tengah hutan pinus
Pinus Cafe, kedai kopi di tengah hutan pinus

Teman-teman blogger berkumpul di kursi yang tersedia. Tepat di belakang himbauan dilarang mendekat karena jurang kami baca. Kami asyik berbincang santai semabri menikmati kopi. Tak ada agenda khusus setelah blusukan di Hutan Pinus Ledok Ombo. Kami berjalan, memotret, dan sempat berswafoto. Hanya Mas Ghozali yang sedari tadi mencari titik bagus untuk memotret Panorama 360.

Memanfaatkan fasilitas Pinus Café, kami silih berganti berfoto di sebuah hammock yang terpasang. Agar tampak lebih kompak, kami foto bersama di sini. Seperti inilah keseruan kami bersepuluh. Sudah mirip foto keluarga belum?
Foto bareng blogger Eksplor Desa Wisata Malang
Foto bareng blogger Eksplor Desa Wisata Malang

Nyatanya waktu terasa bergulir dengan cepat. Kami harus meninggalkan Ledok Ombo dan Desa Wisata Poncokusumo. Desa Wisata Poncokusumo mempunyai banyak potensi yang bisa dikembangkan. Selama di sini, aku dan rombongan sudah berkunjung ke banyak destinasi. Nantinya akan aku tulis keseluruhannya di blog.

Mobil yang kami naiki kembali mengantarkan kami ke homestay, kami berkemas dan berpamitan. Sejenak terlihat Gunung Semeru tertutup awan, tak kuabadikan. Kami meninggalkan Desa Wisata Poncokusuma dengan banyak cerita. Harapannya tetap sama, semoga geliat desa wisata semakin maju dan berkembang.
*Rangkaian kegiatan Travel Blogger Explore Desa Wisata Malang (Tagar #EksplorDeswitaMalang) dipersembahkan oleh Forkom Desa Wisata Malang 14 - 17 April 2017.

Desa Wisata Poncokusumo, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Narahubung: 0851-0502-5770 (Pak Khoirul Anam / Mbah Irul)

Menyapa Mentari Pagi di Tepian Pantai Teluk Penyu Cilacap

$
0
0
Menyapa Mentari Pagi di Tepian Pantai Teluk Penyu Cilacap
Menyapa Mentari Pagi di Tepian Pantai Teluk Penyu Cilacap

Sedari malam hari hujan mengguyur Kota Cilacap. Aku berharap esok pagi cuaca cerah, agar aku bisa melihat mentari terbit dari ufuk timur Pantai Teluk Penyu. Seharian tadi aku menyempatkan berkeliling ke Benteng Pendem, lalu menyeberang ke Pulau Nusakambangan. Agenda yang sejatinya tidak aku rencanakan sebelumnya.

Hingga tengah malam gerimis masih mengguyur kota. Sebuah tanda yang sulit diprediksi. Bisa saja esok cerah, namun tidak menutup kemungkinan besok pagi mendung. Bagaimanapun cuacanya, aku sudah merencanakan untuk mengunjungi Pantai Teluk Penyu esok pagi. Karena itulah aku sengaja menginap di hotel yang lokasinya hanya beberapa ratus meter saja dari pantai.

“Semoga besok pagi cerah,” Ujarku sebelum terlelap dalam mimpi.

Sisa-sisa genangan air tertinggal di sudut jalan. Subuh ini aku lari kecil menuju Pantai Teluk Penyu Cilacap. Hari masih cukup gelap, jalanan menuju pantai juga lengang. Tidak seperti siang hari, subuh ini belum ada petugas karcis berjaga. Mendekati pantai ternyata sudah banyak orang berlalu-lalang. Pantai Teluk Penyu kala pagi ramai pengunjung dan penjual makanan yang menggelar lapak.
Landmark Pantai Teluk Penyu, Cilacap

Tepat di belakang tulisan “Teluk Penyu” sudah ada tikar dan orang duduk sembari menyeruput kopi. Nikmat sekali melihatnya, hembusan angin laut terasa dingin dan kopi menjadi penghangat diri. Ditambah keakraban para pengunjung yang berbincang santai. Penjual pun menikmati rejeki pagi dari para pengunjung yang singgah dan membeli segelas kopi di lapaknya.

Langit diselimuti awan tipis yang merata. Hati mulai sangsi tidak akan menyaksikan sunrise indah dari pantai ini. Untuk melepas rasa gundah, aku mencoba mengabadikan perahu-perahu yang tergalang di tepian pantai. Ada puluhan perahu kayu yang berjejeran tergalang, warna didominasi biru, merah dan putih. Di atasnya bendera Merah Putih maupun tambahan umbul-umbul terkoyak dan lusuh masih berkibar diterpa angin.

Pasir di pantai ini seperti pantai selatan lainnya. Warna pasir hitam gelap mengingatkanku pasir di Pantai Parangtritis, Bantul. Hamparan pasir berwarna hitam ini harusnya lebih indah jika tidak ada sampah yang berserakan. Sampah plastik dominan tersebar. Sayang rasanya jika pantai yang sudah bisa menggaet wisatawan terdapat banyak sampah tersebar.
Perahu tergalang di tepian pantai
Perahu tergalang di tepian pantai

Tidak salah lagi, kegundahan akan gagal melihat mentari pagi yang cerah terbukti sudah. Selimut awan menutup ufuk timur. Hanya ada kilauan cahaya mentari. Menandakan dia sudah cukup tinggi. Aku duduk termangu di tepian pantai, melihat sekelilingku sambil memikirkan apa yang akan kulakukan pagi ini.

Di sepanjang pantai, keriuhan pengunjung mulai terlihat. Pengnjung berkumpul di satu titik, lokasi yang terdekat dari landmark Pantai Teluk Penyu. Aku berjalan agak menjauh, mengabadikan suasana pagi dari ujung pantai. Hempasan ombak di pantai membuat pasir seakan-akan berbuih, lalu hilang terserap pasir.
Ombak di tepian Pantai Teluk Penyu
Ombak di tepian Pantai Teluk Penyu

Pasti ada sudut menarik lainnya yang bisa ditulis. Tidak perlu disesali, aku segera bergegas berbaur dengan para pengunjung lainnya. Walau mentari sudah terlihat tinggi, nyatanya suasana pagi ini masih lumaya gelap. Kuambil kamera dan mengabadikan aktifitas orang-orang di sana.

Gemericik suara ombak memecah kesunyian. Berlalu-lalang pengunjung Pantai Teluk Penyu mencari tempat duduk. Bercengkerama bersama keluarga, dan menghabiskan waktu bermain dengan orang dicintainya. Anak-anak kecil berlarian kala melihat air laut terhempas di pasir. Ingin rasanya mendekat, namun takut terkena ombak.

Di sini peran orangtua terasa. Banyak orangtua yang menggandeng tangan si kecil untuk lebih dekat dengan air laut. Mereka bergembira, menikmati momen yang belum tentu tiap hari dirasakan. Mereka tidak risau kala mentari sudah di atas, namun tetap gelap. Inti dari liburan mereka adalah berkumpul dengan keluarga.
Pengunjung menikmati waktu pagi di pantai bersama keluarga
Pengunjung menikmati waktu pagi di pantai bersama keluarga
Pengunjung menikmati waktu pagi di pantai bersama keluarga

Di sudut lain pantai, segerombolan anak-anak SD berlarian. Teriakannya lebih kencang dibanding lainnya. Empat sekawan ini menikmati libur sekolah di pantai. Sebelumnya mereka sudah janjian ke pantai bersama-sama naik sepeda. Kudekati sekelompok bocah ini, mereka tak merasa terganggu ketika aku berusaha mengabadikan aktifitasnya.

“Ombaknya datang!!” Teriak kencang salah satu dari mereka.

Ombak besar menggulung sebelum terhempas di pesisir. Anak-anak ini tidak merasa takut, tak beranjak lari ke daratan. Mereka malah menyambut gulungan ombak dengan teriak riang. Ombak mememcah tepat di dekatnya, dari kejauhan aku hanya mendengar gelak tawa mereka. Tawa kencang yang puas karena tubuhnya diterpa ombak.
Menari bersama ombak menggulung di tepian pantai
Menari bersama ombak menggulung di tepian pantai

Sebenarnya ombak itu merindukan pasir di tepi pantai. Lalu menghempaskan diri seakan-akan menyapa kawan lama yang baru bersua. Melihat keseruan anak-anak bermain di pantai, menikmati hempasan ombak yang menerpa tubuhnya, lalu mereka berteriak kegirangan. Sepertinya mereka tidak mempunyai beban. Yang ada hanya menikmati waktu libur akhir pekan.

Ketika ombak tidak besar, mereka duduk tenang di tepi pantai. Menatap samudra lepas nan luas. Bersabar menanti ombak laut besar datang dan menggulung kembali seperti biasanya. Mereka tahu sedari tadi aku mengikuti langkah mereka. Mengabadikan tingkah mereka. Bahkan setelah momen ini, salah satu dari mereka mengajakku main air. Sayang aku harus menolak ajakan tersebut.
Menanti ombak datang, menunggu dengan sabar
Menanti ombak datang, menunggu dengan sabar

Sebagai gantinya, aku memotret mereka dan mengirimkan beberapa file foto ke hpnya. Menyenangkan memang, setidaknya obrolan kami ini melupakan kegelisahanku yang tidak bisa mengabadikan sunrise karena mendung. Berbincang dengan anak-anak dapat membuat kita merasa dekat dengan mereka. Sehingga mereka tak sungkan ketika kita potret dari jarak dekat.

Putaran jarum jam tangan terasa bergerak cepat. Lebih 2 jam aku bersantai di Pantai Teluk Penyu. Berjalan menyusuri tepian pantai, dan mengabadikan beberapa momen. Pukul 07.30 WIB, aku berjalan kembali menuju hotel. Siang nanti ada acara nikahan di gedung serbaguna dekat Masjid Agung Cilacap yang harus kudatangi.

Puas rasanya dapat berkunjung ke Cilacap, menyeberang ke Pulau Nusakambangan, dan menikmati suasana pantai di Teluk Penyu. Masih tersimpan rasa penasaran untuk mengunjungi Pulau Nusakambangan, menuju pantai-pantai lainnya yang belum kusinggahi. Sepertinya tahun ini aku akan kembali menuju Pulau Nusakambangan. Entahlah, ada semacam bisikan agar aku kembali ke sana. Doakan saja. *Menantikan mentari pagi di Pantai Teluk Penyu Cilacap pada hari Minggu, 22 Januari 2017.

Mencoba Sensasi Offroad Jeep di Desa Wisata Bejiharjo

$
0
0
Mencoba Sensasi Offroad Jeep di Desa Wisata Bejiharjo
Mencoba Sensasi Offroad Jeep di Desa Wisata Bejiharjo

Malam di homestayDewabejo terasa meriah, sembilan orang bercengkerama sembari menikmati camilan yang sempat dibawa. Pemilik homestay (Mas Arif) dan rekannya sudah ijin ke sekretariat. Kami masih larut dalam obrolan seru, bertemu dengan teman-teman blogger dan akan berkeliling desa wisata di Jogja.

Desa wisata pertama yang kami kunjungi adalah Dewabejo. Desa Wisata Bejiharjo ini terletak di Kecamatan Karangmojo, Gunungkidul. Bejiharjo awal tahun 2010an dikenal para wisatawan dengan destinasi unggulan Gua Pindul. Namun kami ke sini tidak menyusuri gua tersebut. Ada banyak potensi wisata di sini yang bisa digali dan eksplor.

Menjelang dinihari hampir seluruh teman bloger sudah bangun. Bahkan ada yang sempat mandi sebelum subuh. Aku dan Rifki duduk di teras homestay. Kami menikmati kopi serta berbincang santai menunggu pagi. Tak terasa, teman-teman lainnya ikut merapat. Pagi ini kami menyapa Desa Wisata Bejiharo dengan riang.
Homestay milik Mas Arif di kawasan Pindul
Homestay milik Mas Arif di kawasan Pindul

Dari teras homestay, tampak di depan adalah petakan kolam ikan dan sawah membentang diselingi pepohonan kelapa di jalan kecilnya. Selokan kecil yang menjadi aliran air bersih digunakan seorang ibu untuk mencuci. Sementara itu Mbak Dwi dan Mas Halim sudah menyeberang ke pematang sawah. Memotret keindahan pagi yang terselimuti mendung.

Terdengar suara Jeep meraung kencang dari jalan besar. Tiga buah Jeep berwarna merah, putih, dan hijau beriringan menuju homestay. Mas Arif beserta dua rekannya datang serta bersiap mengajak kami bermain basah-basahan. Kali ini basah-basahannya adalah main OffroadPindul.

“Kita berhenti di sekretariat dulu. Sudah ada teh panas dan camilan yang disediakan,” Terang Mas Arif.

Bergegas kami memilih jeep, ada tiga perempuan dan enam lelaki. Setiap Jeep dibagi ada perempuannya. Aku, Dwi, dan Hanif memilih Jeep berwarna putih. Aji, Rizka, dan Rifqy mendapatkan Jeep hijau. Sedangkan Aya, Mas Halim, dan Mas Alid di Jeep merah. Usai berhenti di sekretariat dan mengisi BBM, ketiga Jeep ini menyibak jalan perkampungan menuju Kali Oyo.

Jalan lebih kecil, kanan – kiri adalah rumah warga. Selama perjalanan, kami banyak disapa warga dan melambaikan tangan. Sontak kami merespon dengan melambaikan tangan dan tersenyum. Seru rasanya dapat berinteraksi dengan warga walau hanya dalam senyuman dan lambaian tangan saja.
Jalan menuju trek offroad Pindul
Jalan menuju trek offroad Pindul

Jalan beragam, tiba waktunya melibas jalan aspal tak beraturan. Namun Jeep pun melenggang mulus tanpa ada aral. Jejeran rumah warga berganti pohon Jati yang rimbun dan masih kecil. Kuperkirakan baru sekitar 6 tahunan. Jalan menjadi tanah liat bercampur lumbur dan kubangan di mana-mana. Waktunya beraksi!

Offroad Jeep di sungai? Ini menjadi pengalaman pertamaku. Kuperhatikan dua jeep yang melaju lebih dulu. Jeep seakan-akan meronta kala melibas trek penuh kubangan tanah lumpur dan air. Aku menghela nafas, kuabadikan mereka yang asyik beraksi. Akupun akan merasakan seperti dua jeep yang sudah lebih dulu.
Jeep hijau melintasi kubangan berisi air
Jeep hijau melintasi kubangan berisi air

Tanpa menunggu aba-aba, kumasukkan kamera ke dalam tas kecil dan kupeluk sembari memegang besi di depan. Geberan suara Jeep adalah sinyal nyata jika aku nantinya akan merasakan guncangan hebat. Benar saja, Jeep melesat kencang. Melibas rute tanpa permisi. Ranting-ranting pepohonan seakan-akan tak mau kalah. Dia menyabet lengan dengan puas.

Kuperhatikan Mas Arif yang di sampingku. Kedua tangan lihai mengontrol setir sekaligus mengoper gigi. Ada kode khusus dari ketiga sosok yang menyetir Jeep untuk membuat suasana menjadi lebih heboh. Gerakan jari yang belum sepenuhnya kupahami. Sampai akhirnya aku paham tentang itu. Tak akan kujelaskan, jika kalian ikut OffroadPindul bakalan terasa bagaimana guncangan, sensasi, dan kejutannya.
Melibas trek berlubang dan penuh lumpur
Melibas trek berlubang dan penuh lumpur

Teriakan dari ketiga jepp saling bersahutan. Tak ada yang menghiraukan bagaimana cipratan lumpur mengenai wajah dan badanku. Aku terus berpegang erat pada besi. Sesekali menengok wajah Hanif dan Dwi yang sudah berluluran lumpur.

“Ampun mas!!”

Teriakan itulah yang sering kuteriakkan. Rute Jeep seakan-akan tidak habis. Padahal hanya berputar di situ saja. Mas Arif kembali menggeber gas, melaju kencang. Membuat Jeep ini seakan-akan tak terkendali. Aku berteriak sekuatnya, tanganku tak mau lepas dari pegangan. Dengan sengaja Jeep ditabrakkannya pada rerimbunan bambu.

“Gila kamu mas!” Teriak kami.

Tidak hanya Mas Arif, kedua pemuda yang menyetir jeep lainnya hanya nyengir tertawa sepuasnya melihat raut kami yang tegang. Tentu di antara teriakan kami bersembilan, yang paling keras dan heboh adalah Aya dan Alid. Sesekali teriakan mereka membahana, terdengar oleh kami semua yang ada di sana.

Satu bocoran saat melibas trek pertama. Jalanan berupa kubangan, masuk ke dalam kubangan air setinggi ban, dan melibas rute lumpur di tengah-tengah kebun Jati. Trek inilah yang menegangkan. Saat Jeep ditarik gas kencang, melewati jalan penuh lumpur dan berkelok, tentu setiap orang akan berteriak sekuatnya.

Ditambah lagi pada sudut-sudut tertentu kubangan lumpur dalam. Sehingga mau tidak mau Jeep selip. Para sosok yang bertugas menyetir harus lihai melewatinya. Jeep maju sedikit, kemudian mundur kencang, dan langsung dioper gigi maju kencang. Kami di dalam seperti terpontang-panting. Hanya bisa pasrah sembari berteriak kencang. Kalaupun mau mengumpat juga dipersilakan.

Trek selanjutnya malah lebih menantang. Ketiga Jeep akan melaju di tengah-tengah Kali Oyo. Kuamati pakaianku, lumuran tanah liat bercampur lumpur menutupi warna asli kaos yang awalnya putih.

“Stop!!!” Teriak Mas Arif kala Jeep pertama melewati jalan sempit menuju sungai.

Ban kanan jeep terlalu melebar, sehingga lepas dari tanah. Jika dilanjutkan, bukan mustahil malah terguling. Ketiga teman di atas jeep disuruh turun, kami juga turun melihat jeep yang akan tergelincir jika sempat jalan beberapa sentimeter lagi.

“Tarik pakai satu jeep dulu. Kalau nanti susah, langsung dengan dua jeep.”

Mas Arif mengambil tuas panjang yang sering digunakan para Offroader kala Jeep mereka terselip. Dikaitkan keduanya; Jeep yang terperosok meraung kencang berjalan mundur, sementara Jeep satu yang menarik menghentak kencang. Raungan kencang terdengar, Jeep hanya bergerak sedikit.
Menark Jeep hijau yang terperosok
Menark Jeep hijau yang terperosok 

Akhirnya diputuskan ditarik dua Jeep, satu lurus ke belakang, dan satu Jeep lebih condong ke arah kiri, sudut lain agar jeep tidak semakin terperosok. Tiga Jeep menggeber mesin kencang menciptakan cipratan lumpur di mana-mana. Kami bersembilan malah asyik mengabadikan saja sembari berdoa cepat dievakuasi.

Offroad di Pindul biasanya sekitar 2 jam, namun akan lebih lama jika ada insiden seperti ini. Paling sering yang membuat lama adalah ketika salah satu Jeep ada yang selip. Usaha tidak sia-sia, Jeep beranjak bergerak. Permainan kembali dilanjutkan. Kami akan mengarungi Kali Oyo menggunakan Jeep.

Dep! Aku tertegun kala ban depan sudah di dalam air. Tas kupeluk erat agar tidak basah, sementara Jeep melaju berlahan sampai sepenuhnya di dalam air. Begitu sampai di sungai, mas Arif maupun kedua Jeep lainnya tampak tersenyum puas. Satu hal yang membuat aku semacam senam jantung adalah merasakan sendiri bagaimana jeep melaju kencang melawan arah air.
Menggeber jeep di tengah Kali Oya
Menggeber jeep di tengah Kali Oya (Sumber: Mas Halim)

“Wooooa!!”

Kedalaman Kali Oyo tepat setinggi ban Jeep. Tiga Jeep melaju tanpa aral, aku semakin bersemangat bercampur was-was. Dalam pikiranku saat ini bagaimana tiba-tiba nabrak batu atau terperosok di lubang dan membuat Jeep terbalik. Entahlah, bagaimana dengan kameraku nantinya.

Semburan air bercipratan dari sela-sela besi pengoper gigi. Basah kuyup sudah, jika tadi kami bermain dengan lumpur, sekarang lumpur berganti dengan air. Seperti tadi, senam jantung rasanya belum mau berakhir. Lima belas menit sudah ketiga Jeep meliuk-liuk di dengan sungai, akhirnya ketiga Jeep berhenti terjejer.

“Silakan foto di atas Jeep. Kalau bisa jangan injak kap mesin ya,” Pinta Mas Arif.

Kami bersembilan adalah sosok-sosok yang telah disatukan oleh rasa persaudaraan tinggi. Entahlan, tak ada kata jaim saat bersama. Ini menjadi catatan penting bagi kami yang jalan bareng. Kurasa, kami benar-benar kompak saat jalan bareng. Belum banyak kuikuti acara jalan bareng, namun ini bagiku yang paling berkesan. Semoga di acara yang sama lainnya, kami tetap kompak.
Formasi lengkap para peserta Eksplor Dewsita Jogja
Formasi lengkap para peserta Eksplor Dewsita Jogja (Sumber: Insan Wisata)

Mas Arif dan dua rekan lainnya tidak hanya lihai dalam menyetir Jeep. Mereka pun cekatani kala harus memotret kami dengan berbagai pose. Angkat topi untuk teman-teman Dewabejo, walau baru berkumpul semalam tapi rasanya seperti teman lama yang kembali bersua.

“Sudah puas? Kita kembali ke daratan.”

Bergegas kami menaiki Jeep lagi, ketiga Jeep ini berlaju kencang. Lebih mudah naik ke daratan daripada turun ke sungai rasanya. Tanpa ada aral yang berarti, ketika Jeep sudah di daratan kembali. Lagi-lagi melibas rute penuh kubangan, hari ini suara kami habis tak bersisa.

Entah apa yang ada dibenak ketiga sosok yang menyetir Jeep. Tanpa aba-aba Jeep dinaikkan ke bongkahan batu yang berada di ujung, berbatasan langsung dengan sungai di bawahnya. Suara teriakan kami sudah habis, hanya menyisakan raut wajah kaget dan tegang.

“Biar saat difoto bareng lebih bagus,” Ujar salah satu rekan sembari terkekek.
Berekspresi selepas uji adrenalin offroad pindul
Berekspresi selepas uji adrenalin offroad pindul (Sumber: Insan Wisata)

Ide yang menarik memang. Untuk kesekian kali kami foto bersama, kali ini tidak di sungai. Puas sekali rasanya sudah mencoba liburan unik, menikmati Offroaddi sungai. Dewabejo menawarkan paket Jeep dengan harga Rp.400.000/Jeep. Tentu menarik rasanya jika berlibur ke Bejiharjo tidak melulu berkunjung ke Gua Pindul saja. Ada aktifitas lainnya yang harus dicoba, salah satunya dengan Offroad Jeep.

Offroad Jeep adalah salah satu kegiatan yang mendebarkan dan memacu adrenalin. Pastikan kamu benar-benar berani mencobanya. Jika dirasa takut, kalian bisa meminta pengemudi untuk melintasi rute dengan santai. Setiap pengemudi jeep lebih mementingkan keselamatan kalian kok, tenang saja.

Hari sudah menjelang siang, kami menyelesaikan rute Offroad lebih dari 3 jam. Entah karena kami keasyikan foto bareng dan sempat satu jeep terperosok. Sebuah pengalaman yang tak terlupakan. Kalian pun bisa mencobanya. Yang jelas, Desa Wisata Bejiharjo mempunyai banyak destinasi pilihan liburan yang bisa kalian coba, dan Jeep Pindul ini salah satu inovasinya.

*Rangkaian kegiatan Travel Blogger Explore Desa Wisata Jogja (Hastag #EksplorDeswitaJogja) dipersembahkan oleh Forkom Desa Wisata Yogyakarta 24 - 26 Februari 2017.
Offroad Desa Wisata Bejiharjo
Alamat: Sekretariat Dewabejo Goa Pindul
Gelaran 1 Bejiharjo, Karangmojo, Gunungkidul
Twitter: @goapindul_GK

Antologi Collaborative Space, Tempat Asyik untuk Nongkrong di Jogja

$
0
0
Antologi Collaborative Space, Tempat Asyik untuk Nongkrong
Antologi Collaborative Space, Tempat Asyik untuk Nongkrong

Jogja tidak pernah kehabisan tempat untuk nongkrong. Hampir tiap waktu ada saja lokasi yang asyik untuk ngumpul dan berbincang santai. Seperti yang aku lakukan menjelang bulan puasa. Bersama teman-teman blogger Jogja, kami sepakat nongkrong di Antologi. Tempat tongkrongan yang baru buka sekitar bulan April 2017.

Berlokasi di Jl. Gayamsari 2 No. 9, Jogja atau di belakang Gading Mas (Jalan Kaliurang KM 5). Rute paling gampang adalah masuk ke jalan Megatruh (Gading Mas), lalu ikuti jalan sampai ketemu gang Gayamsari 2 (kanan jalan). Lokasi Antologi nanti di kiri jalan. Letaknya memang masuk gang, tapi aksesnya cukup mudah.

Antologi sedang merias dirinya. Tempat yang masih baru, tembok-temboknya masih berwarna dasar semen. Di setiap sudut sudah dipasangi rak-rak buku beserta koleksi. Kursi dan sofa tertata rapi di lantai satu, sedangkan di lantai dua belum sepenuhnya tertata rapi. Selain itu di halaman yang luas terdapat kursi dan meja berjejeran. Musholla berada di depan, dekat area parkir.
Teras depan Antologi Collaborative Space
Teras depan Antologi Collaborative Space

Menarik memang kenapa nama tempat ini adalah Antologi Collaborative Space. Sedikit informasi berkaitan dengan kata “Antologi” yang terpajang di dinding tempat tersebut adalah “Bagi Antologi di Gayamsari, diartikan kumpulan ide yang berasal dari orang-orang yang datang dan segala aktifitas yang menambah pengetahuan - Exchanging knowledge.

Aku datang ke sini atas undangan Aqied, dia berencana mengerjakan tugas kampus di sini. Nyatanya sewaktu di sini ternyata sudah ada Mak Indahjuli yang menemani, selang waktu kemudian muncul juga duo blogger Klaten dan Boyolali yang bergabung; Hanif & Aji Sukma. Dua sosok yang sering mengajak aku main berkeliling desa wisata.

Sudah lama kami tidak kumpul bareng, sehingga waktu ini menurutku sangat tepat untuk ngobrol santai. Di Antologi sendiri tidak terlalu ramai, waktu masih pukul 10.00 WIB, sehingga dengan leluasa aku dan teman-teman dapat bertanya-tanya berkaitan dengan Antologi ke salah baristanya.
Willy (kanan foto) sedang bersama temannya menunggu pengunjung yang ingin pesan
Willy (kanan foto) sedang bersama temannya menunggu pengunjung yang ingin pesan

“Kalau di sini lebih banyak mahasiswa dan orang kantor yang nongkrong mas. Kalau malam malah ramai banget sih,” Terang Willy selaku barista yang melayani kami.

Konsep Antologi tidak serta merta mirip kedai kopi yang lebih banyak menawarkan kopi untuk disajikan. Di sini lebih semacam tempat tongkrongan yang dibuat senyaman mungkin. Menunya pun ada banyak pilihan, bahkan lebih banyak menu di luar kopi.

Biji-biji kopi terpajang rapi di dalam tempat kaca kecil dan transparan. Di atasnya sudah diberi keterangan jenis kopinya. Kita bisa memesan kopi atau memesan lainnya. Willy dibantu salah satu temannya melayani kami. Sementara orang-orang pemilik Antologi ini sedang ada rapat di samping.
Biji kopi yang sudah disiapkan
Biji kopi yang sudah disiapkan

“Aku boleh pinjam daftar menunya?” Pintaku.

Willy menyerahkan daftar menu yang tertulis di kertas. Untuk beberapa saat kuperhatikan menunya, dan sekaligus memotretnya.

“Pesan selain kopi boleh kan?” Candaku kembali.

“Silakan mas, ada banyak pilihan kok yang bisa dipesan,” Jawabnya tertawa.
Daftar menu di Antologi Collaborative Space
Daftar menu di Antologi Collaborative Space

Sebagian besar menu  minuman memang kopi. Selain itu juga ada menu lainnya. Kami berlima sibuk memilih minuman. Sengaja memilih beda-beda, jadi bisa dicicipi bareng. Menu yang kami pilih adalah Kombucha, Costum Mix; aku (Buah Naga + Jambu Biji), Aji (Pisang + Buah Naga), Aqied Caffe Latte, sedangkan Mak Indahjuli memilih paketan.
Willy (Barista) sedang melayani orderan
Willy (Barista) sedang melayani orderan

Sembari menunggu, aku dan teman-teman mengeksplor sudut-sudut di Antologi. Oya, walau ini bangunan baru dan belum sepenuhnya tertata rapi, tapi ada sudut-sudut asyik yang dipasangi sofa permanen. Jadi bisa dibuat untu tiduran, terlebih setiap sofa permanen itu disediakan dua bantal kecil.

Tidak ada keriuhan yang kudengar, obrolan para pengunjung terasa normal. Sebagian besar yang datang saat pagi seperti ini adalah mahasiswa, mereka mengerjakan tugas bersama teman. Aku mencoba mengambi beberapa koleksi buku yang tersedia, semoga akan semakin banyak koleksi yang disediakan.
Pengunjung sedang sibuk dengan laptopnya masing-masing
Pengunjung sedang sibuk dengan laptopnya masing-masing

Tempat ini memang dirancang untuk para mahasiswa/orang kantor, sehingga ada banyak colokan yang disediakan. Termasuk juga layanan wifi gratis. Lokasi yang berdekatan dengan kampus UGM dan berada di kawasan area kos mahasiswa membuat Antologi menjadi lokasi yang strategis.

Bagi kalian yang berkunjung ke sini dan tidak begitu suka kopi, salah satu minuman yang aku rekomendasikan untuk dinikmati di sini adalah Kombucha. Kombucha adalah fermentasi teh hijau, rasanya agak asam, manis dan segar. Unik pokoknya, bisa dicoba dan penyajiannya pun jauh lebih cepat. Di sini kalian juga bisa memesan brownies ataupun cake.
Spot asyik untuk nongkrong dan berfoto
Spot asyik untuk nongkrong dan berfoto
Spot asyik untuk nongkrong dan berfoto

Masih belum percaya kalau tempatnya nyaman buat ngerjain tugas atau untuk santai update blog? Seperti ini tempatnya. Jadi kalian bisa sambil duduk bebas sembari menatap laptop. Siapa tahu ada deadline mengerjakan tugas atau posting artikel di blog. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan berfoto di sini, mumpung belum terlalu ramai.
Nongkrong dulu di sini, sambil posting artikel di blog
Nongkrong dulu di sini, sambil posting artikel di blog

Tinggal menunggu waktu bagaimana pemilik Antologi mengatur tatanan kursi di lantai dua dan lantai satu agar tampak lebih bagus. Sepertinya akan lebih bagus lagi jika tembok di dalam diberi warna yang terang, sehingga setiap sudutnya lebih bagus untuk dijadikan spot berfoto. Jika kalian bosan mengerjakan tugas di rumah atau di kos, kalian bisa mengunjungi Antologi Collaborative Space untuk mengerjakan tugas kampus. *Kunjungan ke Antologi Collaborative Space pada hari Kamis, 25 Mei 2017.
Antologi Collaborative Space
Alamat :Jl. Gayamsari 2 No. 9, Jogja (Belakang Gading Mas Jakal KM 5)
Harga Minuman : Rp 20.000,-
Jam Buka : 07.00 - 22.00 WIB

Review Novel Domba Berbulu Srigala Karya Rree

$
0
0
Novel yang berjudul Domba Berbulu Srigala ditulis oleh Reza Ramada dengan nama pena Rree ini menceritakan tentang kehidupan di lingkup asrama dan sekolah. Alur cerita di novel ini membuat kita penasaran, tegang, dan mencoba menebak bagaimana akhir ceritanya. Rree berhasil membuat aku (pembaca) menjadi lebih penasaran.

Awalnya aku mengira novel ini bergenre teenlit, ini dikarenakan tokoh-tokoh di dalam cerita adalah remaja SMA. Namun saat aku membaca sampai tuntas, aku merasa ada yang berbeda. Hal ini aku tanyakan langsung ke penulisnya, Rree berkata bahwa ini bergenre Politic-School. Genre yang masih belum aku pahami sepenuhnya.
Sampul Novel Domba Berbulu Srigala karya Rree
Sampul Novel Domba Berbulu Srigala karya Rree

Domba Berbulu Srigala
Penulis: Rree
Penerbit: Aura Publishing
Tahun Terbit: Maret 2017
ISBN: 978-602-6565-89-5
Tebal Halaman: 178

Alur cerita
Robin, sosok siswi di salah satu sekolah harus menghadapi banyak masalah yang disebabkan oleh kenakalan sepupunya. Setiap hari hampir selalu ada masalah yang mengarah padanya. Bahkan perbuatan itu bukan dia yang melakukan.

Semakin hari masalah bukannya berkurang, namun terus bertambah. Sebagai seorang gadis, Robin mengubah sikapnya menjadi lebih pendiam dan tidak banyak berkomunikasi dengan temannya. Bagi sebagian besar siswa sekolah, Robin adalah sosok yang harus dihindari sekaligus ditakuti.

Robin seperti menciptakan kehidupannya sendiri, dia tidak ingin kehidupannya terusik, dan menikmati masa-masa kelam selama di sekolah sendiri. Tidak jarang dia menerima intimidasi dari temannya, acapkali dirinya dipukul oleh orang yang tidak diketahui. Dia merasa kehidupannya di dalam asrama ini layaknya sebuah tempat para berandal.

Permasalahan berkaitan dengan geng sekolah paling terasa. Ada banyak kelompok-kelompok yang mencuat di sini. Di sisi lain, Robin menjadi target para kelompok-kelompok tersebut. Ada yang berniat ingin menghancurkan mentalnya, dan menghancurkan dirinya secara fisik.

Sosok-sosok seperti Allisa, Marista, Nosa, Deni, Deri, dan Rama menambah pelik dikehidupan Robin. Teman-teman satu sekolah ini menjelma menjadi sosok yang kadang menakutkan, namun juga sering dibutuhkan dengan tujuan tertentu. Pertemanan tidak semudah saling percaya, harus ada pembuktian untuk meyakinkan.

Sedikit bumbu asmara terselip di di hati Robin. Sebuah perasaan yang mungkin akan dia ungkapkan, atau malah dia simpan sendiri. Seperti dia menyimpan kepedikan selama berbulan-bulan di asrama.

“Itulah arti dari tatapan mereka padaku; mereka sedang menentukan ada di posisi mana aku di dalam rantai makanan sekolah ini. sudah dua bulan aku sekolah di SMA ini dan aku masih ketakutan tiap kali melewati lorong asrama dengan banyak mata menerawangiku – Halaman 5”

“Jika kau punya guru yang tidak buta kepadamu, maka kau beruntung – Halaman 7”

“Benar… tidak, aku punya firasat dia lebih dari seorang berandalan – Halaman 76”

“Itu hanya awalnya. Jika kau tak melawan, mereka akan semakin besar kepala dan percaya padaku, cepat atau lambat mereka akan mem-bully secara fisik – Halaman 143”

Novel Domba Berburu Srigala/ koleksi pribadi
Novel Domba Berburu Srigala/ koleksi pribadi

Jika kalian membaca novel ini, aku pastikan pada awal halaman sampai hampir seperempat halaman akan dibuat bingung. Ada banyak tokoh yang diceritakan, ditambah Rree menceritakan “Robin” sebagai orang ketiga. Alur cerita akan sedikit terasa menyambung ketika sudah mencapai hampir setengah halaman novel.

Seperti yang aku tulis di atas, novel ini lebih menceritakan kehidupan kelam di asrama, menghadapi berbagai intimidasi, dan ancaman secara fisik. Rree menciptakan alur cerita cukup pelik dan misteri, menguak sisi lain kehidupan keras di asrama sekolah.

Pesan lain yang ingin penulis sampaikan di cerita ini adalah tentang persahabatan. Ada banyak teman di sekolah, namun belum tentu mereka menjadi sahabat kita. Hanya segelintir orang yang benar-benar tulus menjadi teman, dan tidak sedikit yang berpura-pura menjelma sahabat baik.

Terlepas dari pesan yang baik penulis sampaikan di dalam alur cerita, di novel ini ada beberapa kata yang masih kurang lengkap/salah ketik (typo) sehingga sedikit berpengaruh saat membacanya. Ada juga beberapa penggunaan kata sambung terlalu banyak dan diulang-ulang dalam satu kalimat.

Jika kalian suka membaca novel yang penuh misteri, membuat pembaca ingin memecahkan teka-teki dalam setiap alur cerita. Kalian mungkin bisa membaca novel karya Rree ini, aku pastikan kalian akan terlarut dalam rasa penasaran tersebut. Untuk informasi pembelian, kalian bisa menghubungi Rree melalui surel ramandarree@gmail.com
*****

Selamat untuk Reza Ramada atas terbitnya satu karya Domba Berbulu Srigala. Semoga ke depannya tetap ada lanjutan karya-karya lain yang lebih baik. Jangan pernah bosan berkarya, dan memang sebuah karya harus melalui perjuangan yang luar biasa. Sekali kali, selamat atas terbitnya novel kamu, Rree. 

Mengenal Lebih Dekat Desa Wisata Sanankerto

$
0
0
Mengunjungi Desa Wisata Sanankerto
Mengunjungi Desa Wisata Sanankerto

Perjalanan panjang dari Kecamatan Poncokusumo menuju Kecamatan Turen, Malang. Mobil Espas yang kami naiki melaju sedang, bahkan kami sempat berhenti di gapura penanda Desa Wisata Poncokusumo untuk mengabadikan gambar. Sinar mentari terik, kami di dalam tetap ceria.

Salah satu hal yang membuat kami riang di dalam adalah keramaian teman-teman membicarakan bagaimana keseruan selama di desa wisata Poncokusumo. Mengeksplor banyak destinasi di sana, dan berbagi informasi berkaitan dengan homestay serta makanan di sana. Pikiran kami sama-sama membayangkan Gimbal Udang Kriuk yang biasa tersaji selama di Poncokusumo.

Di tengah perjalanan ada usulan untuk singgah sebentar di Masjid Tiban Turen yang terkenal tersebut, namun kami sekapat untuk tidak singgah. Selain karena sudah menunaikan sholat, kami juga sudah ditunggu Pokdarwis Desa Wisata Sanankerto. Tidak enak rasanya kalau membuat warga di sana menunggu.

Tiba di Desa Wisata Sanankerto, kami langsung diantar sampai Kantor Kelurahan. Aku penasaran dengan joglo yang ada di kantor kelurahan. Seluruh sudut joglo dilapisi dengan anyaman bambu. Bahkan bagian atas pun penuh dengan anyaman bambu.
Joglo di Kelurahan Desa Wisata Sanankerto dilapisi anyaman bambu
Joglo di Kelurahan Desa Wisata Sanankerto dilapisi anyaman bambu

“Unik ya mas. Anyaman bambu semua. Bahkan kayu penyanggahnya pun dilapisi anyaman bambu,”Celetukku pada Mas Halim.

Mas Halim sedari tadi terlihat asyik mengabadikan bangunan unik ini tersenyum. Dia bahkan mengatakan tentu desa ini begitu lekat dengan pohon Bambu. Kalian bisa membayangkan, identitas Bambu amat melekat di sini. Hal yang paling mudah dapat kita lihat dari bangunan pendopo kelurahan. Sekelilingnya bangunan terbuat dari Bambu, bahkan di salah satu sudut tertulis spot bertuliskan “Eko Wisata Boon Pring Sanankerto”.
Langit-langit pada Jogjo di desa wisata Sanankerto
Langit-langit pada Jogjo di desa wisata Sanankerto

Sambutan Kepala Desa Sanankerto beserta pokdarwis mengawali hari di sini. Kegiatan berlanjut makan siang bersama. Menu tak kalah menggiurkan, Telor Asin khas Sanankerto, ditambah dengan Lauk Ayam Goreng, dan Bebek. Mendadak lupa kalau tadi sempat makan di Poncokusumo.

Eko Wisata Boon Pring Sanankerto
Pada saat #EksplorDeswitaJogja, aku dan rombongan juga pernah mengunjung Desa Wisata Malanganyang menjadikan kerajinan bambu sebagai daya tarik pengunjung/wisatawan. Nyatanya di Sanankerto juga menawarkan Bambu sebagai daya tarik yang sama. Beberapa kemasannya sama, namun ada juga perbedaan di antara keduanya.

Hampir di setiap rumah yang kami lewati, di samping rumah ada banyak bekas potongan bambu. Tidak ketinggalan juga bambu-bambu panjang yang tersusun rapi di sana. Selepas makan siang, kami diantar pokdarwis berkeliling rumah-rumah dan menunjukkan potensi wisata apa yang ada di Desa Wisata Sanankerto, khususnya yang berhubungan dengan bambu.
Bambu menjadi bahan baku untuk membuat Tusuk Sate
Bambu menjadi bahan baku untuk membuat Tusuk Sate

Anyaman bambu menjadi identitas Desa Wisata Sanankerto ini bukanlah isapan jempol semata. Sejak tahun 2013, ketika itu Pak Subur (kepala desa sekarang) menjabat sebagai Kepala Desa, Desa Wisata Sanankerto bersolek. Beliau mempunyai cita-cita jika Sanankerto bisa dikenal oleh banyak wisatawan karena wisata Bambu. Salah satu destinasi unggulan adalah Boon Pring Andemanyang sempat aku tulis di artikel sebelumnya.

Kerajinan dari bambu mulai digalakkan di sini. Salah satunya adalah yang dilakukan oleh Kelompok Kertomulyo. Kelompok ini mulai berkarya sekitar bulan Februari 2017. Walau baru seumur jagung, hasil karyanya sudah ada banyak. Limbah bambu yang tidak digunakan mulai dijadikan sebuah karya yang menghasilkan.
Mas Kiwil sedang melakukan finishing dalam pembuatan asbak
Mas Kiwil sedang melakukan finishing dalam pembuatan asbak

Seperti yang dilakukan oleh Mas Kiwil dan teman-temannya. Mereka menyempatkan waktu luang untuk membuat sebuah karya yang terbuat dari bambu. Menurut Mas Kiwil, limbah bambu yang paling mudah dijadikan sebuah karya adalah bagian ruas bambu.

“Kalau limbah ruas bambu pendek bisa dijadikan asbak. Kalau panjang bisa dijadikan pot bunga,” Terang Mas Kiwil.

Di salah satu rumah warga mereka berkumpul. Menurut Mas Kiwil tidak ada tuntutan untuk membuat apa. Sebisa orang di sini, jika bisa berkreasi pasti dibebaskan membuatnya. Menilik hasil karya mereka, aku pun mencoba bertanya berapa harga barang-barang yang dibuat. Berikut harganya; Asbak 20K, Pot Bunga Kecil 30K, dan Sepeda Motor Kecil 25K.
Miniatur sepeda motor terbuat dari bambu
Miniatur sepeda motor terbuat dari bambu

“Ada yang sampai Rp.700.000an mas. itu Kapal Phinisi yang di dalam,” Ujar Mas Kiwil.

Mas Kiwil dan pemuda setempat ini hanya berlatih otodidak dalam memberdayakan limbah bambu. Hal ini dilakukan karena mereka setiap hari melihat ada banyak limbah bambu yang tidak diberdayakan warga. Setelah batang-batang bambu dijadikan Tusuk Sate, sisanya hanya dibakar saja.

Selama di Desa Wisata Sanankerto, kami lebih banyak diajak berjalan kaki. Lokasi dari kerajinan bambu dan menilik aktifitas warga sejalur. Jadi bisa kita datangi dengan jalan kaki saja. Puas melihat kerajinan warga, kami mengunjungi rumah-rumah warga yang sedang beraktifitas. Hampir sebagian besar kegiatan warga di sini adalah pembuat Tusuk Sate.

Membuat Tusuk Sate ada dua cara, dengan cara manual atau dengan mesin. Selama di sini kami berkesempatan melihat keduanya. Bahkan kami juga berkesempatan untuk melihat rutinitas warga setempat lainnya. Sejatinya, berlibur ke desa wisata membuat kita menjadi lebih dekat dengan warga setempat. Tidak ada sekat sedikitpun antara keduanya.

“Sepatu anggota pokdarwisnya kok seragam ya? Jangan-jangan ini di-endorsesama merek sepatu,” Ujar Mas Alid.

Lontaran candaan ditangkap dengan baik para pemandu. Sepanjang perjalanan, kami tertawa kencang. Sesekali salah satu dari pemandu menerangkan pohon apa saja yang ditanam di tepian jalan. Bahkan ketika ada Pepaya matang di depan rumah wargapun diambil, kami makan bersama-sama.

Rumah joglo kecil beralaskan tanah kami masuki. Di dalam sana seorang ibu sedang memotong kecil-kecil bambu di depannya, lalu memasukkan ke dalam alat kecil yang tertanam di ujung kursi panjang. Begitu satu ujung sudah masuk, ditariknya ujung tersebut membentuk tusuk sate. Gumpalan sisa serat bambu melingkar dan terkumpul di depannya.
Bu Jumiasih membuat Tusuk Sate dengan alat manual
Bu Jumiasih membuat Tusuk Sate dengan alat manual

Bu Jumiasih adalah salah satu warga di sini yang masih membuat tusuk sate secara manual. Kami memperhatikan seksama, di samping kanannya sudah tertumpuk ratusan tusuk sate siap pakai. Sekilas cara kerja mirip saat aku melihat pembuatan pasa’ untuk paku kapal. Namun tusuk sate ini lebih kecil. Hanya lebih besar sedikit daripada lidi.

Bukan pekerjaan yang mudah. Potongan bambu tersebut mempunyai serat yang tajam. Jika tidak berhati-hati, tentu bisa melukai jari. Suara berderit kala Bu Jumiasih menarik potongan bambunya. Satu bilah bambu itu dipotong dengan ukuran yang sama, lalu dibelah menjadi banyak. Kami tidak mempraktikkannya, karena alat hanya satu. takut malah mengganggu pekerjaan Bu Jumiasih.

Dikesempatan berikutnya, kami mengunjungi rumah Bu Sukatiah. Beliau juga membuat tusuk sate, yang membedakan adalah Bu Sukatiah sudah menggunakan mesin dalam pembuatannya. Mesin dinyalakan, ukuran mesin seperti mesin selep kelapa. Potongan bambu yang sudah dipotong secara manual dimasukkan ke corong.
Pembuatan tusuk sate menggunakan mesin
Pembuatan tusuk sate menggunakan mesin

Dalam seketika tusuk-tusuk tersebut otomatis menjadi lebih halus dan terlempar di sudut lainnya. Aku terhenyak, begitu terasa perbedaan antara manual dengan menggunakan mesin. Jika melakukan manual dibutuhkan waktu 7 detik (bagi yang sudha mahir) untuk mendapatkan satu tusuk. Menggunakan mesin setiap detik pun bisa membuat. Tinggal ada berapa banyak stok bilah bambu yang sudah terpotong kecil.

“Wow cepet banget bikin tusuk satenya,” Celetukku.

Sebagian besar warga di Desa Wisata Sanankerto adalah membuat tusuk sate. Tidak hanya di sini, sewaktu aku di Gubugklakah pun juga ada banyak tusuk sate yang dijemur di pinggir jalan. Selain kedua rumah ini, aku dan rombongan juga sempat berkunjung di teras rumag Bu Partini. Di sini beliau sedang membelah bambu menjadi kecil-kecil.

Salah satu teman kami coba membantu, bahkan aku pun turut mencoba. Dasar tangan-tangan tidak terlatih, jadi baru sebilah bambu kecil pun terasa capek. Aku malah takut teriris tajamnya bilah bambu. Kuakui, ini bukan pekerjaan mudah. Percayalah! Di sini kami juga berkesempatan masuk ke dalam rumah warga lain yang sedang membuat kerajinan besek.

Menilik pembuatan Telur Asin
Selain melihat pembuatan kerajinan bambu, sebelumnya kami terlebih dulu melihat pembuatan telur asin. Lokasinya berada di tempat kami makan siang, jadi selepas makan siang, kami langsung menuju belakang melihat cara membuat telur asin.

Telur Asin di sini hanya dijual di warga sekitar saja. Di sini kami juga berkesempatan melihat bagaimana proses pembuatan telur asin yang diasap. Setiap hari di sini sebagian warga yang bekerja membuat telur asin menghasilkan 300an telur asin dalam satu minggu. Proses pengasapannya pun cukup lama, antara 4-6 jam.
Selain kerajinan bambu, di desa wisata Sanankerto juga membuat Telur Asin
Selain kerajinan bambu, di desa wisata Sanankerto juga membuat Telur Asin

Perbedaan antara telur asin biasa dan asap itu pada rasanya. Selain itu juga pada tingkat keawetan telur. Jika telur asin biasa kuat bertahan 1 minggu, telur asin asap bisa sampai bertahan selama 20 hari. Budidaya pembuatan telur asin ini sudah berlangsung selama 3 tahun yang lalu. Jenis bebeknya adalah Cambel. Selain telur asin, di sini juga bisa memesan Ingkung Bebek.

*****

Capek juga berkeliling melihat rutinitas warga di Desa Wisata Sanankerto. Ada banyak informasi yang kami dapat, setidaknya di sini kami bisa lebih dekat dengan tiap warga. Berbincang, berjabat tangan, dan mengenalkan diri pada mereka. Kami akan menghabiskan malam di desa ini, desa yang nyaman untuk istirahat. Jauh dari keramaian, dan terdengar nyaring suara jangkrik bernyanyi.

Malam hari, kami kembali berkumpul. Berdiksusi, dan menikmati hidangan ala kadarnya. Melihat pentas tari, dan tentunya silih berganti saling berbagi pengalaman. Satu hal yang kami tekankan di sini, jangan sampai warga setempat merasa kurang percaya diri dengan jamuan, homestay, dan keramahannya.

Mengutip dari kata Mas Halim; bahwa yang kami cari bukan kamar yang bagus, kamar mandi yang modern, atau makanan yang sesuai dengan lidah kami. Kami di sini bertujuan menyatu dengan warga, tidur di kamar yang seperti sehari-hari warga gunakan untuk istirahat, dan makan sesuai menu keseharian warga.
Bukti Desa Wisata Sanankerto identik dengan bambu
Bukti Desa Wisata Sanankerto identik dengan bambu

Sanankerto adalah desa wisata yang sedang semangat-semangatnya untuk dikenal. Adanya dana dari desa membuat kepala desa, pokdarwis, dan warganya saling membahu agar menjadi lebih baik. Jujur, desa tempat lahir salah satu pemain Timnas Indonesia ini (Beni Wahyudi) sudah berhasil membuatku terpukau. Terlebih ada destinasi lainnya yang patut dibanggakan. Aku ceritakan di lain kesempatan saja, agar kalian lebih penasaran mengunjungi Desa Wisata Sanankerto; desa yang diberi kelimpahan dengan kebun bambu.
*Rangkaian kegiatan Travel Blogger Explore Desa Wisata Malang (Tagar #EksplorDeswitaMalang) dipersembahkan oleh Forkom Desa Wisata Malang 14 - 17 April 2017.
Desa Wisata Sanankerto, Turen, Kab. Malang
Alamat: Jalan Kauman RT 5, Sanankerto – Turen
Telp: 0838-4882-4802 (Mas Rudi)/ 08533-167-4242 (Mas Wahyudi)

Berbaur dengan Pengunjung di Pasar Tawangmangu

$
0
0
Gapura Pasar Wisata Tawangmangu, Karanganyar
Gapura Pasar Wisata Tawangmangu, Karanganyar

Terasa cepat waktu bergulir. Aku masih terlelap dalam depakan selimut tebal, enggan rasanya beranjak dari kamar. Hawa dingin kurasakan dari kamar. Kulongokkan ke arah jendela. Kabut tipis menutupi area Tawangmangu. Ini adalah godaan terberat, ingin rasanya bermalas-malasan seharian dan melupakan agenda selanjutnya.

Sedikit menggeliat, lalu memaksakan diri bangun. Aku menuju kamar mandi, hanya membasuh muka dan menggosok gigi. Belum ada niatan mandi. Agenda nanti adalah menuju Sarangan tepat pukul 09.00 WIB. Masih cukup pagi rupanya, ada banyak waktu yang bisa kugunakan di pagi hari.

Hotel Grand Bintang di Tawangmangu tidaklah istimewa, tak ada kolam renang dan sudut lain hotel yang bisa kueksplor. Aku hanya menyempatkan membuat kopi sachet yang tersedia. Siapa tahu kopi ini dapat mengusir hawa dingin. Lalu menikmati kopi tersebut dari teras kamar yang menghadap ke jalan.
Menikmati kopi di teras hotel
Menikmati kopi di teras hotel

Sebenarnya sudah saatnya sarapan di hotel. Aku bergegas menuju hotel bintang yang di seberang. Menurut resepsionis semalam, restorannya menjadi satu. Sayangnya sewaktu di sini aku berbarengan dengan komunitas dari Kudus yang mengadakan reuni. Sehingga restoran terasa ramai.

Melihat tak ada tempat kosong, aku bergegas keluar dan berpikir sarapan di luar saja. Pikiranku tertuju pada Pasar Wisata Tawangmangu, lokasinya tidaklah jauh dari hotel. Bergegas aku ke sana mencari sarapan.

Tidak ada agenda khusus, aku sudah sampai di dekat pasar. Sengaja aku menuju seberang pasar, di sana ada banyak berjejer warung makan. Aku memilih sarapan soto di salah satu warung. Di sini aku menikmati soto dan melibas banyak Tempe gorengnya. Aku sendiri lupa, berapa tempe goreng yang habis kumakan sewaktu di sana.
Sarapan soto di dekat pasar Tawangmangu
Sarapan soto di dekat pasar Tawangmangu

Selesai sarapan pagi, aku tidak lantas balik ke hotel. Kulihat pasar yang ada di seberang sana, sepertinya asyik jika berkunjung ke pasar kala pagi. Mumpung masih pagi, jadi aku sempatkan menyeberang jalan menuju pasar. Pasar Wisata Tawangmangu cukup ramai, ada banyak angkot yang ngetem, menunggu penumpang.

Cukup sedikit semerawut di depan pasar. Ada banyak kendaraan berlalu-lalang, ditambah orang silih berganti menyeberang. Aku menyeruak di antara orang-orang yang keluar-masuk pasar, berbaur dengan mereka yang jalan searah ke dalam pasar.

Di jalan masuk ke dalam pasar, ada banyak warga yang menjajakan jualannya. Di ujung kiri terdapat seorang bapak berjualan mainan tradisional yang terbuat dari bambu dan kayu. Sesekali dia memutar gasing kecil atau meniup mainan yang suaranya meniru kicauan burung. Rata-rata mainannya seharga Rp.5000.

Tepat di seberang penjual mainan, ada seorang bapak yang berjualan sate kelinci keliling. Di Tawangmangu, ada banyak orang berjualan sate kelinci keliling menggunakan pikulan. Aku sempat melihat sewaktu sore di depan hotel. Jadi teringat akan kisah Pak Temon, semalam beliau bercerita kisahnya kala masih berjualan sate kelinci menggunakan gerobak.
Penjual Sate Kelinci keliling
Penjual Sate Kelinci keliling

Melangkah lebih ke dalam, tepat di pintu masuk pasar terdapat banyak bunga yang terpajang. Kanan – kiri jalan ada bibit pohon maupun kaktus yang menarik untuk dibeli. Aku agak lama di sini, melihat-lihat bunga yang ada di dalam pot sembari sesekali bertanya jenis apa bunga/bibit pohon.

“Boleh difoto tidak mbak?”

“Boleh mas. dibeli juga boleh kok,” Jawab mbak tersebut tertawa.

“Kalau itu saya sudah tahu mbak,” Timpalku tertawa.

Kamera masih menyala, aku memotret deretan Kaktus yang ada di dalam pot. Menarik ini untuk hiasan di depan rumah/kos. Hati masih bimbang, apakah beli di sini atau besok-besok berburu kala di Jogja.
Jejeran Kaktus dijual di depan jalan masuk pasar
Jejeran Kaktus dijual di depan jalan masuk pasar

Puas melihat-lihat koleksi tanaman di depan pintu msuk pasar, bertanya-tanya berkaitan harga dan lainnya, aku menuju ke dalam pasar. Anak tangga kulewati, di tiap tangga sudah ada banyak ibu-ibu setengah baya berjualan. Rata-rata yang berada di anak tangga, mereka jualan makanan.

Aku sudah di lantai dua Pasar Wisata Tawangmangu, menyatu dengan para pengunjung pasar lainnya. Di lantai dua ini lokasi untuk berjualan sayuran, buah, dan di ujung untuk jualan daging. Aku berdiri di ujung jalan, melihat sekelilingku. Silih berganti orang berjalan, dan terdengar ramainya orang saling tawar-menawar atau menjajakan dagangannya.
Suasana pasar terlihat dari lantai dua
Suasana pasar terlihat dari lantai dua

“Ayo mas, beli onde-onde?” Seorang ibu setengah baya menawariku dagangannya.

“Cari apa mas?” Tanya ibu lainnya.

“Gorengannya mas?”

Aku hanya membalas senyum, terus berjalan menyusuri jalan yang tersedia. Selain meja-meja dan petakan tempat yang tersedia. Di ujung tepian jalan pun digunakan untuk berjualan. Bermodal karpet kecil, digelar dagangannya di bawah. Bumbu-bumbu dapur seperti Lengkuas, Kunci, Mrica, Laos, dan lainnya ditata rapi berdampingan dengan timbangan.

Aku terus berjalan di bagian sayur. Mataku sibuk melihat sayuran yang dijual. Ada Wortel, Brokoli, Tempe, Kol, Kentang, bahkan Bawang Putih dan Bawang Merah menyatu. Di sini aku melihat bagaimana calon pembeli dan penjual saling berinteraksi. Saling tawar-menawar harga, jika cocok mereka melakukan transaksi.
Berbagai sayuran dan bumbu dapur yang dijual di pasar
Berbagai sayuran dan bumbu dapur yang dijual di pasar

Pasar Tradisional menjadi wadah bagi warga setempat untuk menggeliatkan perekonomian daerah tertentu. Hasil bumi dapat dijual di sini, dan tentunya dengan harga jauh lebih murah. Entahlah, dalam beberapa waktu, aku suka blusukan pasar. Rasanya ada hal yang menyenangkan kala aku dapat berinteraksi dengan para penjual.

Hiruk-pikuk para penjual menawarkan dagangannya tak lantas membuatku pusing. Aku malah menikmati suara-suara yang terdengar dari segala penjuru. Sesekali aku melihat sudut pasar, di salah satu sudut tembok terdapat tabung pemadam kebakaran. Di tempat umum seperti ini, tabung pemadam kebakaran menjadi benda yang wajib disediakan.

Masih di lantai dua, aku menyusuri sudut lainnya. Kali ini setiap lapak berjualan jajanan dan buah. Ada banyak jajanan pasar yang kutemukan, aku membeli beberapa jajanan pasar untuk bekal nanti ke Sarangan. Seperti berada di sarang kuliner, mata ini bingung memilih jajanan pasar apa saja yang akan kubeli.

Sebanyak lapak di sana tak ada satupun yang sepi. Pasti tiap lapak ada orang yang sedang menawar makanan. Aku menunggu momen ketika keduanya bertransaksi, momen ketika calon pembeli menyerahkan uang pada penjual. Lucu rasanya jika mengingat hal tersebut, kok sampai terpikir ingin memotret mereka yang sedang bertransaksi.
Penjual dan pembeli melakukan transaksi
Penjual dan pembeli melakukan transaksi

Cukup lama aku di pasar, sudah waktunya kembali ke hotel. Dua plastik kecil kujinjing, ini adalah hasil selama di pasar. Aku sengaja tidak mengabari bapak yang menyetir mobil untuk minta dijemput. Jarak pasar – hotel sekitar 650 meter, aku sengaja jalan kaki. Seru juga menyempatkan waktu berkunjung di pasar.

Kadang menyenangkan rasanya bila kita berkunjung ke pasar tradisional. Ada banyak hal yang bisa kita abadikan sewaktu di dalam pasar. Ikut berbaur dengan para pengunjung lainnya, menikmati suasana ramai yang identik dengan suara-suara menawarkan barang dagangan atau tawar-menawar harga.

Jika ditanya apa aku pernah menawar harga di pasar? Jawabanku tentu pernah. Sering aku berkunjung ke pasar tradisional, membeli jajanan pasar atau lainnya. Jika barang yang aku inginkan itu memang bisa ditawar, tentu aku menawarnya. Kata yang paling sering aku pakai adalah; “harga pasnya berapa pak/bu?” itu adalah kalimat ampuhku.
Hasil buruan dari pasar
Hasil buruan dari pasar

Kendati hanya turun sekitar Rp.2000-Rp.5000, menurutku itu sudah menjadi pencapaian luar biasa. Bagi lelaki lajang, berkunjung ke pasar dan bisa menawar itu sudah merupakan hal yang istimewa. Tidak jarang lelaki ke pasar hanya menemani kerabat atau ibunya saja. Dan dia tidak pernah terjun langsung mempraktikkan bagaimana cara menawar barang *eh.

Sepertinya akan menjadi sebuah rutinitas mengunjungi pasar di tiap lokasi kala menginap. Menarik tentunya dapat singgah sejenak di pasar, lalu mengabadikan aktifitas di sana, membeli jajanan pasar, dan melanjutkan kembali agenda yang sudah direncanakan. Jadi kapan kamu terakhir ke pasar tradisional? *Kunjungan ke Pasar Wisata Tawangmangu pada hari Minggu, 20 November 2016.

Kampung Pitu dan Mentari Terbit di Nglanggeran

$
0
0
Sunrise di Gunung Gambar Nglanggeran
Sunrise di Gunung Gambar Nglanggeran

Jamuan makan malam berupa Ingkung sudah tersaji. Aku dan delapan teman blogger menyantap makan malam tersebut. Mas Lilik, Mas Aris, dan pokdarwis Desa Wisata Nglanggeran menyambut kami penuh keramahan. Benar-benar jamuan besar. Tak hanya Ingkung, buah-buahan segar pun tersedia.

Sudah seyogyanya aku harus mengenalkan terlebih dulu Desa Wisata Nglanggeran. Desa yang dikelola sejak tahun 1999 – 2006 ini mengalami pasang surut. Tahun 2007 kembali bangkit dan mendeklarasikan sebagai desa wisata, karang taruna disulap menjadi pokdarwis. Destinasi wisata yang paling dilirik orleh wisatawan di desa ini adalah Gunung Api Purba Nglanggeran.
Pemandangan Gunung Api Purba Nglanggeran dari kejauhan
Pemandangan Gunung Api Purba Nglanggeran dari kejauhan

Membludaknya wisatawan naik ke Gunung Api Purba membuat kegelisahan tersendiri. Sampah di mana-mana, sehinga pokdarwis melakukan aturan untuk mengurangi sampah. Uniknya, pokdarwis di sini sengaja membatasi pengunjung yang naik namun omset didapat meningkat, dan sampah pun berkurang.

Bayangkan tahun 2014 dalam satu minggu mereka harus menurunkan sampah sebanyak 15 kantong, sedangkan tahun 2015 menjadi 2 kantong perpekannya. Hebatnya lagi, tahun 2015 Gunung Api Purba Nglanggeran mendapatkan penghargaan Geopark dari UNESCO. Oya, di Desa Wisata Nglanggeran ini terdapat sekitar 80 homestayyang bisa diinapi wisatawan sekitar 250 orang.

*****

Sebelum adzan subuh berkumandang, kami beserta pokdarwis Desa Wisata Nglanggeran sudah bersiap menuju Gunung Gambar. Lokasi yang berada di Gunung Wayang, Nglanggeran. Tujuan kami datang menjelang subuh agar dapat mengabadikan sunrise, dilanjutkan sowan ke rumah sesepuh Kampung Pitu.

Mobil bak terbuka merangung kencang, jalan menuju area perbukitan Gunung Wayang berupa tanjakan. Jalan tidaklah besar, sehingga harus ekstra hati-hati. Terlebih tiap sisi jalan masih gelap. Sesekali kami menundukkan kepala agar tidak terkena ranting yang menjalar ke jalan. Perjalanan sempat berhenti, kami menunaikan sholat subuh di musola. Di sini kami disapa warga yang hendak menunaikan sholat subuh berjamaah.

Perjalanan berlanjut, masih dalam kegelapan mobil kembali berhenti dan kami diarahkan untuk turun. Perjalanan selanjutnya hanya bisa diakses berjalan kaki. Kami menuju Watu Wayang, dari sini gemerlap lampu perkotaan terlihat jelas. Aku tersenyum geli kala naik memperhatikan beberapa teman yang kesulitan naik karena penerangan terbatas.

Waktu menikmati gemerlap lampu tidak lama, rombongan harus pindah ke Gunung Gambar. Dari sana nantinya kami menikmati sunrise. Menyusuri jalan setapak, kami berjalan riang. Bahkan salah satu teman sempat bernyanyi ala India. Pasti kamu sudah tahu siapa orang yang kumaksud.

Sebuah bangunan gazebo berdiri kokoh di Gunung Gambar. Cahaya merah marun mulai menghiasi ufuk timur. Aku beserta teman-teman sibuk sendiri. Mencari tempat strategis untuk mengabadikan Baskara. Barisan bukit di depan tampak jelas, pun dengan awan tipis merata.
Masih gelap, dan mendung tipis mulai menutupi ufuk timur
Masih gelap, dan mendung tipis mulai menutupi ufuk timur

“Jangan-jangan tertutup kabut juga.”Gumanku.

Cukup lama kami menanti penuh kecemasan. Tidak hanya raut wajahku, wajah teman-teman juga tampak gusar. Awan menghalangi sang Baskara, padahal kabut di bawah sudah merata bak selimut. Sepertinya memang belum rejeki kami mengabadikan sunrisedari Gunung Gambar. Bisa jadi ini tanda aku harus ke sini lagi di lain waktu.

Asa itu sempat hadir saat gugusan awan merangkak berpendar. Walau mentari sudah agak tinggi, namun sinarnya masih elok dipandang. Kami kembali fokus ke arah timur, setiap orang sudah mempersiapkan kamera untuk membidik pemandangan indah.

Lagi-lagi awan tebal merangkak naik, dan menutup kembali sang mentari yang ingin menyapa kami. Kami tertawa, setidaknya sudah terlihat sedikit mentarinya. Tak mau pulang dengan tangan hampa, sebanyak mungkin kami mengabadikan cahaya yang menerobos ke bumi. Ibarat kata, wujud tak dapat, cahayapun diraih. Ini sebagai bukti bahwa kami sudah pernah menyambangi salah satu puncak di Nglanggeran.
Semburat mentari kala pagi di Gunung Gambar Nglanggeran
Semburat mentari kala pagi di Gunung Gambar Nglanggeran

Ïni tanda kalau kita harus ke sini lagi di lain waktu,”Ujarku kembali.

Ungkapan yang mungkin diamini kedepalan teman blogger. Kita tidak pernah tahu rencana mendatang, bisa saja ujaran tadi teringat dan benar-benar dilaksanakan. Tak mau bergelut dengan kecewa, aku dan teman-teman lainnya memanfaatkan semburat cahaya di ufuk timur. Mengabadikan dan mencoba menikmati suasana pagi di atas ketinggian.

Mentari sudah tinggi, namun tetap berbalut awan. Langkah kaki kami bukit terjal, berjalan ke bukit yang lebih landai serta berada di tebing. Kabut tipis terlihat mengapung, sementara pemandangan hijau di bawah benar-benar elok. Kami menikmati pagi di atas bukit, menghirup udara segar.
Menuruni jalan terjal menuju bukit yang lebih landai
Menuruni jalan terjal menuju bukit yang lebih landai

“Banyak-banyak menghirup udara, mumpung udaranya bersih,”Celetuk salah satu teman.

Pemandu mengajak kami ke sini bukan tanpa alasan, mereka mengatakan di sini merupakan lokasi yang bagus untuk berfoto. Kami masih belum paham, sampai salah satu pemandu menunjukkan Embung Nglanggeran jauh di bawah. Dari sini aku baru sadar, memotret embung dari ketinggian memang indah.

“Wooh embungnya kelihatan dari sini!”
 Embung Nglanggeran terlihat dari atas ketinggian Embung Nglanggeran terlihat dari atas ketinggian
Embung Nglanggeran terlihat dari atas ketinggian
Embung Nglanggeran terlihat dari atas ketinggian

Gagal fokus hasil kameraku. Tak jadi masalah, toh yang penting ada dokumentasi. Memang bagus pemandangan pagi dari atas. Kami bersembilan sibuk memainkan kamera masing-masing, dan mengabadikan pagi hari. Beberapa teman pun menjadi model dadakan. Keriuhan terjadi kala ingin memotret dengan latar embung. Satu persatu teman berganti ingin diabadikan. Dari sini, aku bisa melihat bagaimana polah teman-teman saat berpose.
Spot foto berlatarkan Embung Nglanggeran
Spot foto berlatarkan Embung Nglanggeran

Sembilan orang blogger kali ini cukup akrab, bahkan kami bilang bahwa tripkali ini layaknya kumpulan keluarga yang sedang main bersama. Di sini, kami pun mengabadikan diri bersama. Wajah-wajah sumringah walau belum mandi. Berlatarkan hamparan hijau dengan kabut tipis tersebar, kami mengikuti arahan pemandu yang sibuk mengabadikan.

“Satu Dua Tiga!” Teriak pemandu yang mengabadikan kami.
Foto keluarga Deswita Jogja
Foto keluarga Deswita Jogja (sumber: insanwisata)

Sebenarnya tidak hanya embung yang terlihat dari sini. Puncak Gunung Api Purba Nglanggeran pun jelas kokoh dengan tiang bendera sebagai penanda. Dari sini, aku bisa melihat ada lebih dari empat orang berdiri di puncak sembari menatap mentari. Kalaupun bukan menatap mentari, tentu mereka menatap kami yang ada di bawahnya.

Sowan ke rumah sesepuh Kampung Pitu
Waktu menikmati alam sudah usai. Kami kembali berjalan menuju parkiran mobil. Agenda selanjutnya adalah mengunjungi rumah Mbah Redjo Dimulyo. Beliau adalah sosok juru kunci Kampung Pitu dan berumur 100 tahun. Di rumah Mbah Redjo Dimulyo, kami mendengar banyak cerita berkaitan dengan Kampung Pitu.

Obrolan panjang bersama Mbah Redjo Dimulyo dipandu salah satu perwakilan dari Pokdarwis Desa Wisata Nglanggeran. Beliau menuturkan sejarah dan cerita berkaitan dengan Kampung Pitu menggunakan bahasa jawa. Kami seksama mendengarkan, pemandu menjelaskan lebih mudah menggunakan bahasa Indonesia agar mudah kami cerna.

Keberadan Kampung Pitu ini sudah lama dan mempunyai cerita yang unik. Sebelumnya penamaan Kampung Pitu adalah Dusun Telogo, sejak tahun 2015 nama Kampung Pitu mulai dikenal. Kampung Pitu merupakan perumahan warga biasa yang terletak di perbukitan, namun jumlahnya adalah 7 Kepala Keluarga.
Salah satu rumah warga di Kampung Pitu Nglanggeran
Salah satu rumah warga di Kampung Pitu Nglanggeran

Dulu sempat sampai 8 Kepala Keluarga, namun entah kenapa ada perselisihan, sehingga mau tidak mau harus digabungkan menjadi 7 Kepala Keluarga. Apabila tidak mau digabung, salahs atu kepala keluarga harus pindah ke bawah. Untuk kehidupan sehari-hari, Kampung Pitu sama dengan warga lainnya. Yang membedakan adalah tradisi mempertahankan 7KK tersebut sampai sekarang.

Di Kampung Pitu terdapat 25 jiwa. Walau berada di atas, stok air sangat melimpah. Di sana ada sumber air yang bernama Telogo Guyangan. Saat musim kemarau pun air dari sumber ini tidak pernah kering. Ada cerita legenda yang terkait dengan Telogo Guyangan, yakin berkaitan dengan telapak Kuda Sembrani. Aku tidak bisa menceritakan lebih detail cerita legenda tersebut.

Walau terlihat biasa, Kampung Pitu mempunyai nilai tradisi yang kuat. Ada banyak hal yang Mbah Redjo Dimulyo ceritakan kenapa sampai beliau bisa menjadi juru kunci di sini, dan cerita-cerita mistis berkaitan dengan Kampung Pitu. Kami bersembilan mendengarkan dengan takzim mengenai sejarah Kampung Pitu.
Foto bersama Mbah Redjo Dimulyo, juru kunci Kampung Pitu Nglanggeran
Foto bersama Mbah Redjo Dimulyo, juru kunci Kampung Pitu Nglanggeran (Sumber: insanwisata)

Menjelang siang, kami pamitan pada Mbah Redjo Dimulyo. Sebelumnya kami habiskan terlebih dulu teh hangat yang disajikan. Sebuah pertemuan yang mengesankan, dan kami mendapat banyak cerita berkaitan dengan Kampung Pitu. Jika kalian penasaran, kalian bisa mengunjungi Kampung Pitu melalui Pokdarwis Nglanggeran. *Rangkaian kegiatan Travel Blogger Explore Desa Wisata Jogja (Tagar #EksplorDeswitaJogja) dipersembahkan oleh Forkom Desa Wisata Yogyakarta 24 - 26 Februari 2017.
Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran
Sekretariat: Kalisong, Desa Nglanggeran, Patuk, Gunungkidul
Website: gunungapipurba.com
Sosial Media: Gunung Api Purba Nglanggeran (FB) & @gunungapipurba (Twitter&IG)
Narahubung: 081804138610 (Aris Budiyono)

Segelas Kopi di Kedai Sama Dengan Kopi Jogja

$
0
0
Sajian di Kedai Sama Dengan Kopi Jogja
Sajian di Kedai Sama Dengan Kopi Jogja

Dulu pernah mempunyai ide berkeliling ke tiap kedai kopi di sekitar kos tiap pekannya. Lalu mengulasnya satu persatu di blog. Ide tetaplah ide, yang tak akan pernah berubah kalau kita sendiri hanya diam tanpa aksi. Padahal, dalam radius 700 meter saja dari kos, sudah ada banyak kedai kopi yang bertebaran.

Tanpa sengaja siang ini kami (Aku, Aqied, dan Tom) berbalas komentar dan menyinggung masalah nongkrong. Balas-balasan komentar tersebut berakhir dengan diskusi menentukan nanti malam selepas salat tarawih kami akan bersua di Sama Dengan Kopi. Kedai kopi yang berada di Kompleks Kolombo No. 19, Catur Tunggal, Depok. Atau lebih familiar disebut area Demangan.

“Oke, nanti malam saling berkomunikasi saja.”

Sesuai kesepakatan bersama, usai salat tarawih aku mengayuh pedal sepeda menuju kedai kopi tersebut. Tak lebih dari enam menit sudah sampai lokasi. Aku masih menunggu Aqied yang sedang dalam perjalanan. Begitu sampai, kami berdua memarkirkan kendaraan masing-masing, dan masuk ke dalam kedai.

Kedai Sama Dengan Kopi ini letaknya tidak di dalam ruangan layaknya kedai kopi lainnya. Di sini mereka memanfaatkan teras rumah yang memanjang, batas luarnya adalah pagar. Namun di luar pagar juga diberi meja dan kursi. Tujuannya pengunjung yang ingin duduk santai di pinggir jalan pun bisa sembari menikmati segelas kopi.
Suasana Kedai Sama Dengan Kopi Jogja
Suasana Kedai Sama Dengan Kopi Jogja

Di dalam kedai, tatanan ruangan panjang ini cukup sederhana. Di ujung utara berupa meja panjang menyatu dengan tembok, di bawahnya berjejeran kursi dan diberi colokan listrik. Bagian selatan yang luas dibagi menjadi dua. Model meja dan kursi beragam, sehingga kita dapat memilih lokasi mana yang akan kita tempati.

Mural panjang sejarah kopi Indonesia tergambar di tembok atas, kutipan-kutipan tokoh pun tertulis di tembok yang dilapisi dengan papan Jati. Kami menuju bagian kasir, dan bertanya-tanya kopi apa saja yang ada di sini sekalian mengambil daftar menu.
Bersama salah satu Baristanya
Bersama salah satu Baristanya

“Pesan di sini langsung atau dibawa ke meja dulu?” Tanya Ifnu, salah satu barista di Sama Dengan Kopi.

“Kami bawa ke meja dulu mas,”Jawabku.

Kami memilih meja paling panjang untuk duduk, karena nanti masih ada teman yang ikut bergabung. Setelah itu, kami berdua mulai membolak-balikkan menu yang tersedia. Ada banyak menu minuman yang membuat kami bingung memilih. Pilihan kami tertuju pada Cold Drip& Cold Drink dengan memilih pilihannya.

Kusempatkan waktu menunggu pesanan untuk berkeliling memotret sudut maupun pernak-pernik di sini. Aku juga berbincang dengan kedua Barista di sini; Mas Hanif dan Mas Ifnu. Mereka berdua dibantu dua orang yang bertugas sebagai pramusaji.
Daftar harga menu di Sama Dengan Kopi
Daftar harga menu di Sama Dengan Kopi

Aku baru tahu jika Sama Dengan Kopi ini masih satu manajemen dengan Dongeng Kopi. Dan informasi terbaru, Dongeng Kopi sedang pindah tempat ke area Palagan. Padahal terakhir ke Dongeng Kopi Jogja belum begitu lama, saat lokasinya masih menyatu dengan Indie Book Corner.

“Bakal ramai daerah Palagan, tempatnya kedai kopi besar semua,” Celetukku.

Bukan tanpa alasan, di daerah Palagan ada beberapa kedai kopi besar yang di sana. Jadi daerah Palagan bakal ramai dengan pilihan untuk sekedar nongkrong. Kembali membahas Sama Dengan Kopi, kedai ini dibuka sejak tahun 2015. Dan stok kopi yang di sini semuanya Arabika.
Biji Kopi di dalam kemasan kaleng transparan
Biji Kopi di dalam kemasan kaleng transparan

“Kenapa namanya Sama Dengan Kopi, mas?” Tanyaku tertawa.

Mas Hanif dan Mas Ifnu tertawa mendengar pertanyaanku. Aku memang penasaran denga  penamaannya. Huruf “O” pada “KOPI” di dalamnya disematkan karakter “=”. Sebagian orang menyebutnya dengan “Kopi Sama Dengan” ada pula yang menyebut dengan “Sama Dengan Kopi”. Dan sebutan yang aku tanyakan itulah yang benar.

“Hanya pemiliknya yang paham dengan arti kata “Sama Dengan Kopi”, mas,” Jawab Mas Ifnu tertawa.

Obrolan panjang dengan barista di sini membuatku lebih santai. Mereka tertawa ketika aku bilang biasanya kalau ke kedai kopi itu pesannya bukan kopi. Sama Dengan Kopi ketika bulan Ramadan buka dari pukul 19.00 – 02.00 WIB. Namun pada saat hari biasa buka tiap pukul 16.00 – 24.00 WIB.
Gelas-gelas imut bertuliskan Sama Dengan Kopi
Gelas-gelas imut bertuliskan Sama Dengan Kopi

“Aku lebih menikmati suasana di tempat kedainya mas. Makanya kalau ke kedai kopi biasanya mengajak teman yang benar-benar dia pecinta kopi,” Jelasku.

Pengunjung di Sama Dengan Kopi rata-rata adalah mahasiswa. Mereka ke sini untuk menikmati kopi sambil mengerjakan tugas. Ada juga kumpulan muda-mudi yang sedang berdiskusi. Sama Dengan Kopi lokasinya dekat dengan bebeapa kampus seperti UIN, UNY, Sanata Dharma, dan Atmajaya (Fakultas Hukum). Kisaran pengunjung tiap malam antara 30–50 orang yang datang ke sini
Mas Ifnu membuat kopi pesanan pengunjung
Mas Ifnu membuat kopi pesanan pengunjung
“Pengunjung yang datang lebih banyak pada hari kerja mas,” Terang Mas Ifnu padaku.

Selang beberapa menit pesanan kami sudah disajikan. Aku meminta ijin ke Mas Ifnu untuk balik ke tempat dudukku. Aku dan Aqied mencicipi kedua pesanan ini bergantian sambil menunggu Tom dan teman-temannya datang. Escumos & Mr. Black, dua minuman yang akan kami cicipi.

Pesanan Aqied adalah Escumos; perpaduan coldbrew dengan soda, apel, lemon, dan lime. Namun saat memesan Aqied sengaja tidak menyertakan soda pada pesanannya. Ketika kami cicipi rasanya soft banget, meski menurutnya apelnya kurang terasa.
Mr. Black & Escumos pesanan kami
Mr. Black & Escumos pesanan kami

Aku sendiri iseng mencoba Mr. Black; Long Black yang disegarkan dengan perasan lemon. Rasanya keras banget ketika kuminum tanpa gula. Dan saat kutambahi gula yang disediakan, lidah ini terasa cocok.

“Terasa kopinya baru,” Terang Aqied ketika mencicipi minumanku. 
Escumos pesanan Aqied
Escumos pesanan Aqied

Akhirnya Tom dan keempat rekannya ikut gabung. Kami berenam ngobrol santai sampai tengah malam. Jika tidak keliru pesanan Tom dan teman-temannya itu Single Origin, Latte, dan Moctail. Obrolan makin seru, ditambah agenda selanjutnya yang berencana ingin mengunjungi kedai kopi lainnya.

Menjelang tengah malam, kami membubarkan diri. Berjalan menuju kasir dan akan membayar pesanan kami. Tidak salah kalau Ramadan itu penuh berkah, karena pesanan kami ternyata dibayar semua oleh Tom. Baiklah, mungkin dilain waktu kita nanti secara bergantian bayar pesanannya.
Pramusaji menyajikan pesanan Tom dan teman-temannya
Pramusaji menyajikan pesanan Tom dan teman-temannya

“Gimana kopinya mas?” Tanya Mas Ifnu ke kami.

Berhubung aku cocok dengan rasanya, aku pun menjawab dengan jempol saja. Tom turut memberikan komentar berkaitan dengan kopi yang dipesankan. Aku rasa sebuah pertanyaan yang menarik ketika seorang barista bertanya tentang racikan kopinya. Tentu ada rasa ingin tahu apakah pengunjung puas atau tidak dengan pesanannya. Salut untuk pertanyaan tersebut mas. *Kunjungan ke Kedai Sama Dengan Kopi pada hari Rabu; 31 Mei 2017

Kedai Sama Dengan Kopi Jogja
Alamat: Komp. Kolombo, No 19, Catur Tunggal
Buka: Pukul 16.00 – 24.00 WIB
Harga: Rp.14.000 ,-
Sosial Media: @kopiyk (Instagram) & @kopiyk_ (Twitter)

Kedinginan saat River Tubing di Ledok Amprong, Malang

$
0
0
Aktifitas River Tubing Ledok Amprong di Desa Wisata Gubugklakah, Malang
Aktifitas River Tubing Ledok Amprong di Desa Wisata Gubugklakah, Malang

Menyenangkan rasanya siang ini aku bisa menunaikan salat jumat di salah satu masjid di Desa Wisata Gubugklakah. Di sini aku berbaur dengan ratusan santri yang dominan menggunakan pakaian warna putih. Desa Wisata Gubugklakah adalah salah satu desa wisata yang identik dengan pondok pesantren.

Aku dan teman-teman blogger menyempatkan istirahat siang. Karena sebentar lagi agenda yang kami lakukan adalah basah-basahan di Ledok Amprong. Di sana nantinya kami akan RiverTubing. Ini bukanlah pengalaman pertamaku, selama di Jogja aku sudah berkali-kali ikut tubing. Selalu menyenangkan kalau mengingatnya.

Jeep yang kami naiki melibas jalan besar, berpapasan dengan jeep lain yang naik. Setelah itu rutenya adalah perkampungan. Berkali-kali rombonganku heboh kala menyapa warga setempat yang sedang duduk di teras rumah. Sementara rombongan yang berbarengan dengan kami di depan cukup tenang, mereka malah menoleh ke rombongan kami.
Jeep yang mengantarkan kami menuju Ledok Amprong
Jeep yang mengantarkan kami menuju Ledok Amprong

“Sepertinya rombongan depan tidak seru,”Celetukku.

Rombongan di jeep depan memang tidak banyak teriak. Padahal sewaktu jalan mendekati Ledok Amprong, jalanan lebih curam di dan diapit pohon pinus menjulang tinggi. Kompak kami kembali berteriak kencang, antara seru atau sakit tergencet teman lain.

Portal Ledok Amprong terbuka, jeep yang kami naiki melenggang mulus ke tanah lapang. Sebelumnya, kami seperti sedang offroad, melibas jalan berliku dengan kontur yang tak beraturan. Ternyata ada banyak hutan pinus di Desa Wisata Gubugklakah.

Kami nantinya akan basah-basahan di Ledok Amprong. Tadi pagi hanya sempat main air di Coban Pelangi, itupun aku menghindar karena kedinginan. Sebenarnya agak ragu juga untuk ikut basah-basahan, tapi rasa penasaran menikmati RiverTubing membuatku menepis keraguan. Salah satu kelemahanku adalah tidak kuat dengan dinginnya air.
Derasnya aliran sungai Ledok Amprong
Derasnya aliran sungai Ledok Amprong
Aliran Ledok Amprong cukup deras, pasti seru karena banyak bebatuan yang tersebar sepanjang sungai. Rombongan kami dapat jatah kedua, setelah rombongan depan menyelesaikan tubing-nya. Aku menyempatkan untuk memotret aliran air.

“Jadi kita tiduran dulu di sini?”Tanyaku pada yang lain.

“Sepertinya begitu,”Jawab mereka.

Satu jam kami berdiam. Aku mengelilingi Ledok Amprong, teman-teman lain juga asyik mengusik kesunyian dengan memotret. Ada juga teman yang malah tiduran di hammock. Perihal kami menunggu rombongan lain usai karena para pemandu sedang memandu rombongan yang datangnya bersamaan dengan kami.
Selama waktu senggang kami manfaatkan untuk memotret
Selama waktu senggang kami manfaatkan untuk memotret

Area Ledok Amprong ini adalah perkebunan pinus milik Perhutani yang diberdayakan oleh warga setempat untuk RiverTubing. Beberapa warga dari berbagai desa bersatu membuat Ledok Amprong menjadi destinasi wisata pilihan dan dikelola oleh Pokdarwis Gubugklakah. Jika kalian ingin RiverTubing, kalian harus berkoordinasi dengan Pokdarwis Desa Wisata Gubugklakah.

Lumayan lama kami menunggu, akhirnya waktu yang dinantikan datang. Kami bersembilan segera mengenakan life jacket dan helm. Mas Ghozali mengurungkan diri untuk ikut dengan alasan dia nantinya yang mengabadikan saat kami sedang menyusuri Ledok Amprong.

“Tas dan kamera dijadikan satu saja, nanti aku yang jaga. Sekalian motret kalian dari atas sini,”Ujar Mas Ghozali.

Sudah dasarnya fotografer, jadi kami beruntung bisa diabadikannya kala terhempas mengikuti aliran air. Padahal tadi sempat bingung kalau ikut semua siapa yang akan mengabadikan. Toh yang bawa camera action hanya Hanif.

“Makasih loh mas,” Ucap kami bersamaan.

Sembilan orang termasuk aku bergegas kumpul mendengarkan arahan dari pemandu. Pemandu memberikan arahan sesuai standarnya. Hal yang paling ditekankan di sini adalah bagaimana saat kita duduk atau saat terbalik dari pelampung.
Mendengarkan arahan dari pemandu
Mendengarkan arahan dari pemandu (dok. ghozaliq.com)

“Jangan panik. Nanti kalau tertahan oleh batu, kalian langsung menahan dengan kaki. Jika nanti terjepit di sela-sela bebatuan, kalian goyang-goyangkan saja pelampungnya. Nanti lepas sendiri,”Terangnya.

“Jika nanti salah satu di antara kalian ada yang terbalik, ikuti aliran saja. Jangan panik, nanti ada pemandu yang mendampingi.”Kembali beliau menekankan.

Memang benar, hal yang bertama kita lakukan kala terbalik harus menenangkan diri. Jikalau pelampungnya terlepas, nantinya ada pemandu yang sigap menolong kita. Terlebih di Ledok Amprong ini airnya tidak dalam. Hanya sedalam pinggang orang dewasa. Walau tidak dalam, alirannya cukup kencang.

Arahan telah berakhir, kami kembali bersiap dan berdoa. Lalu kami mengambil pelampung (ban dalam mobil) yang sudah dimodif bagian tengah diberi tali melintang atag bisa untuk duduk. Tantangan ketika tubing di air dangkal itu adalah pantat terkena bebatuan. Jadi harus bisa menyesuaikan kala duduk di atas pelampung.
Formasi sebelum river tubing
Formasi sebelum river tubing (dok. ghozaliq.com)

“Foto bareng dulu!”

Mas Ghozali sigap mengabadikan teman-temannya yang tak kalah narsis. Kami siap basah-basahan dan teriak kencang. Panjang rute RiverTubing di Ledok Amprong ini beragam. Ada yang 1.5km dan ada yang setengahnya. Jika rombongan tadi menyusuri rute terpanjang, kami ini mencicipi rute yang 750 meter. Untuk paketan tubing dikenai biaya Rp.100.000/orang (termasuk transport jeep menuju lokasi).

Walau setengah dari rute yang dijadikan paket, kami sangat menikmati. Sembilan orang ini dipandu dengan tiga warga. Selama perjalanan aku berbincang dengan pemandu paling depan. Beliau mengatakan jika Ledok Amprong ini adalah destinasi yang baru beberapa tahun.

“Silakan satu-satu turunnya.”

Diawali beberapa teman yang turun, diberi jeda sekitar 30 detik tiap orangnya. Aku mulai menaiki pelampung. Di jarak hanya 5 meter saja sudah tersangkut batu. Kugoyangkan pelampung, dan berhasil keluar. Pelampung yang kunaiki meluncur deras serasa berputar, sehingga aku membelakangi arah aliran air.

Keriuhan terjadi kala Mas Alid dan lainnya juga sudah turun. Teriakan kencang saat terbentur bebatuan. Aku cukup yakin kalau mereka pasti sudah menelan air. Sungai Ledok Amprong tidak lebar, sekitar 8 meter saja. Namun sepanjang aliran air, bebatuan tersebar di segala penjuru. Di sinilah adrenalin terpacu kencang.

Berkali-kali aku melihat teman tersangkut dibebatuan. Pemandu dengan sigap menarik dan mendorong kencang. Aku sendiri sudah beberapa kali tersangkut, namun berhasil meloloskan diri. Tepat di lokasi yang curam aku berteriak kencang, rasanya hampir terbalik. Beruntung hal itu tidak terjadi.

Aliran sepanjang 750 meter ini memang mendebarkan. Rutenya tidak seperti tubingyang sudah kuikuti lainnya. Di sini tiap jengkal sepertinya ada batu yang menonjol. Mau tidak mau, pasti pelampung kami terbentur. Jika menghadapnya ke depan, kita bisa menghindari dengan cara menahan menggunakan kaki. Jika posisi kita tidak searah, alhasil benturan pun tak terelakkan. Di saat itulah kami berteriak kencang.
Foto bersama di saat river tubing
Foto bersama saat river tubing (dok. insanwisata.com)

Di tengah-tengah rute, kami dikumpulkan menjadi satu oleh pemandu. Di depan kami alirannya sangat deras ditambah agak menurun. Ketiga pemandu sudah berkumpul, dua pemandu lebih dulu turun dan berjaga menahan hempasan kami saat meluncur.

Satu persatu pelampung kami ditarik pemandu yang di atas, lalu didorong terjun. Momen itu berjalan dengan cepat. Pelampungku terasa jatuh dan terhempas, aku berpegangan kuat. Sempat kulihat bagaimana pemandu yang berjaga tertawa. Mungkin beliau menertawakan polah kami yang tegang.

Jembatan terbuat dari kayu yang melintang untuk penyeberangan warga sudah terlihat. Ini artinya kami sudah hampir sampai tempat terakhir. Aku terus berusaha mengendalikan pelampung agar tidak terbentur bebatuan.
Melewati aral bebatuan sepanjang aliran
Melewati aral bebatuan sepanjang aliran (dok. ghozaliq.com)

Dep! Pelampungku terbalik. Aku merasa sedang terbalik di dalam air. Bergegas aku bangkit dan menepi. Beruntung tidak terbentur bebatuan sewaktu aku terbalik. Pemandu yang berjarak lebih dari 10 meter melihatku. Beliau secepatnya ke arahku. Aku mengacungkan jempol sebagai isyarat tidak masalah.

Beliau tetap mendekatiku dan memberikan pelampungnya padaku. Kulihat dua pemandu di belakang menggunakan satu pelampung untuk berdua. Mendekati tempat terakhir, aku mengarahkan posisi ke samping kanan, di sana mas Ghozali sudah bersiap membidik.
Tetap sadar di mana kamera itu berada
Tetap sadar di mana kamera itu berada (dok. ghozaliq.com)

Tidak terasa tubing di Ledok Amprong telah berakhir. Kami semua naik ke daratan, menuju tempat semula. Tidak ketinggalan mengembalikan pelampung yang kami bawa. Sewaktu mulai berendam di air, aku sudah menggigil. Ketika sudah di atas, kembali aku merasakan kedinginan. Aku menggigil sendirian, sementara yang lain tak merasakan.

“Foto lagi!”Teriak kami bersamaan.

Kembali lagi mas Ghozali sigap mengabadikan teman-teman yang sudah basah kuyup. Kaosku yang basah segera kubuka dan kuremas sampai airnya tidak menetes lagi. Setelah itu kembali kukenakan. Rasa-rasanya aku mulai terkena gejala masuk angin. Lengkap sudah, suara sudah mau habis ditambah menggigil kedinginan.
Formasi menyerang kala usai river tubing
Formasi menyerang kala usai river tubing (dok. ghozaliq.com)

Satu hal yang harus diingat, ketika kalian nanti ingin RiverTubing, lebih baik sekalian membawa pakaian ganti agar tidak kedinginan. Usai menyusuri sungai Ledok Amprong, kami melanjutkan agenda petik Apel di Desa Wisata Gubugklakah. Sepertinya perjuangan kembali berlanjut, menahan himpitan kala di Jeep, serta menahan dingin selama perjalanan.

Sesampai di Kebun Apel, kami bersepuluh menyebar mencari buah Apel yang sudah siap petik. Di sini aku menghabiskan tiga buah Apel. Mungkin efek dari dingin selama Tubing menjalar ke perut *eh.

*Rangkaian kegiatan Travel Blogger Explore Desa Wisata Malang (Tagar #EksplorDeswitaMalang) dipersembahkan oleh Forkom Desa Wisata Malang 14 - 17 April 2017.

River Tubing di Desa Wisata Gubugklakah
Harga: Rp.100.000/orang
Desa Gubugklakah, Poncokusumo, Kab Malang, Jawa Timur
Narahubung: 0878-5947-8177 (Pak Purnomo Anshori)

Jelajah Tempat Wisata di Lombok yang Cantiknya Bikin Betah

$
0
0
Rumah-rumah suku Sasak yang indah
Rumah-rumah suku Sasak yang indah/ Dok: wisatadilombok.com

Jika ditanya, ingin main ke mana tahun ini. Aku pasti langsung menjawab ingi berlibur ke Lombok. Bahkan beberapa kali sempat berbincang dengan teman ketika sedang nongkrong membahas tentang destinasi yang ada di sana. Lombok terasa melambaikan tangan, merayuku untuk datang ke sana. Bahkan teman-teman kuliah dulu yang asli orang Lombok pun sering menawariku untuk main ke sana.


Pesona Lombok memang tidak bisa diabaikan begitu saja. Beberapa tahun belakangan, Lombok menjadi destinasi wisata unggulan Indonesia dan keindahannya sudah diakui dunia. Lombok kalah tenar dari Bali yang sudah terlebih dulu dikenal oleh wisatwan manca. Namun sekarang Lombok sudah banyak dilirik wisatawan karena pesona alam dan budaya yang luar biasa. Apalagi sekarang Lombok sudah mulai membangun fasilitas dan infrastruktur, tentu liburan di sana bakal semakin menyenangkan.

Banyak tempat wisata di Lombok yang membuat kita merasa kerasan, dan enggan pulang cepat. Keramahan penduduknya, keindahan alam mulai dari pantai hingga pegunungannya, hingga kulinernya yang beragam. Semua menawarkan rasa tenang dan tentram yang tak akan kamu temukan di tempat lain.

Mungkin kita akan berkata “Ingin rasanya berlama-lama di sini.” Dari sedemikian banyak destinasi yang bisa kita kunjungi ketika berkunjung di Lombok. Ada beberapa destinasi impianku jika aku ke sana. Berikut destinasi yang ingin aku kunjungi;

Menyambangi Desa Sasak, Berinteraksi dengan Keramahan Masyarakatnya
Desa tradisional ini terletak di kawasan Praya, tak jauh dari Bandara Internasional Lombok. Di sana terdapat rumah-rumah khas suku Sasak yang masih terjaga hingga hari ini. Perkampungannya unik, dengan banyak pepohonan di sekitar rumah penduduk. Bentuk rumahnya pun menarik, terbuat dari kayu yang membuat udara jadi adem.

Di Desa Sasak juga disediakan makanan khas Lombok, mulai dari plecing kangkung hingga ayam betutu dengan resep tradisional. Rasa yang otentik langsung dari desa yang masyakatnya sudah memasak selama turun temurun dari generasi ke generasi. Menyenangkan rasanya jika bisa berbaur dengan masyarakat, dan menikmati kuliner bersama-sama.

Menyusuri Sudut Pulau Gili Trawangan
Menikmati senja di tepian pantai
Menikmati senja di tepian pantai/ Dok. nationalgeographic.com

Gili adalah pulau dan yang paling dikenal di Lombok adalah Gili Trawangan, Gili Air dan Gili Meno. Selain itu juga ada Gili Nanggu dan beberapa gili lainnya yang tak kalah cantik. Yang menjadi destinasi utama saat ini adalah Gili Trawanganyang punya pantai cantik dengan pasir putih memikat.

Ada hal yang menarik dari semua Gili di Lombok adalah, peraturan tak boleh menaiki kendaraan bermotor. Hal ini bertujuan untuk menjaga kebersihan udara di sana, bebas dari polusi asap yang bisa membuat kesegaran gili jadi berkurang. Aku yakin, hobi bersepedaku pasti akan terlampiaskan selama di sini.

Tiga Gili utama menjadi destinasi para pengantin baru yang ingin merasakan bulan madu dengan suasana tenang. Sementara gili-gili lainnya biasanya dikunjungi oleh pejalan yang senang kemping atau sekedar bermain air dan menikmati pasir putih yang memikat. Bagaimana jika kita menikmati senja bersama orang terkasih? Tentu tempat ini menjadi idaman.

Memotret Hamparan Pasir Pantai Mandalika
Pemandangan indah dari atas bukit
Pemandangan indah dari atas bukit/ Dok: topindonesiaholidays.com

Sebelum Gili Terawangan tenar seperti sekarang, kawasan Mandalika adalah ratunya pantai cantik di Lombok. Setelah beberapa tahun terbengkalai karena minim infrastruktur, sekarang pemerintah Lombok sedang giat membangun kawasan ini. Suatu destinasi akan banyak menggaet wisawatan jika pemerintah setempat mau bergerak maju.

Berada di bagian Selatan Lombok, Mandalika memiliki bukit hijau seperti milik teletubbies dan pantai yang memikat. Selain itu Mandalika juga sedang membangun resort golf dan juga arena balap motor skala internasional.

Selain pantai cantik, Mandalika juga punya beberapa spot diving yang menggugah adrenalin. Mau santai saja di pantai, ada banyak lokasi yang bisa kamu pilih di kawasan ini. Termasuk salah satunya pantai Kuta Lombok yang masih berada satu kawasan dengan Mandalika.

Bermain Air di Pantai Senggigi
Bermain di tepian pantai
Bermain di tepian pantai/ Dok: initempatwisata.com

Jangan lupakan kawasan Mataram kalau kamu sedang liburan di Lombok. Di sana ada Pantai Senggigi yang indah, juga beberapa pantai lain yang tak kalah memukau. Mataram adalah pusatnya mencari oleh-oleh khas Lombok seperti mutiara air laut dan air tawar, makanan unik seperti permen rumput laut dan banyak lainnya.

Lombok punya ratusan tempat wisata yang tak boleh terlewatkan. Dan di manapun kamu berada, pasti betah dan nggak ingin pulang dari Lombok. Sebelum menjelajah tempat wisata di Lombok, cek dulu semua lokasinya di traveloka.com/activities/indonesia/city/lombok-107703. Dengan panduan tempat wisata di Lombok ini, liburanmu tentu jadi lebih menyenangkan.

Destinasi-destinasi di atas adalah tempat yang ingin aku kunjungi jika menjejakkan kaki di Lombok. Semoga rencana tahun ini berkunjung ke Lombok benar-benar terealisasikan. Untuk teman yang rumahnya di Lombok, siap-siap kalian  menyambut kedatanganku.

Liburan ke Tempat Wisata Tak Biasa di Bangkok, Pastinya Seru!

$
0
0
Salah satu kemegahan Grand Palace di Thailand
Salah satu kemegahan Grand Palace di Thailand/ Dok. travelfrombangkok.com

Thailand adalah salah satu Negara di Asia Tenggara yang sangat piawai dalam menggaet wisatawan. Ada banyak cara promosi yang mereka lakukan sehingga wisatawan tertarik ke sana. Selain itu tentu di sana memang destinasinya menarik untuk dikunjungi. Salah satunya di Bangkok.

Bangkok tidak hanya mempunyai Grand Palace yang sangat megah, atau kuil-kuil berlapis emas yang memukau. Tapi juga punya banyak lokasi liburan lain yang nggak kalah seru, dan beberapa di antaranya hanya akan kamu temui di Bangkok saja. Tidak ada di tempat lainnya di Thailand. Sebelum menentukan itinerary liburan ke Bangkok, coba cek beberapa lokasi wisata berikut ini biar liburanmu semakin seru.

Menjelajahi Sudut Muang Boran
Kawasan ini adalah kota kuno yang terletak di salah satu sudut Kota Bangkok. Di sana kamu bisa menjelajah tempat-tempat wisata dan menikmati pemandangan Kota Bangkok di zaman dahulu kala, sebelum modernisasi tiba di Ibukota Thailand tersebut.walau lokasinya agak jauh dari pusat kota Bangkok, aku rasa merencanakan ke sini adalah pilihan terbaik. Terlebih jika kalian pecinta sejarah.

Uji Adrenalin di Dreamworld Bangkok
Tempat ini adalah theme park terbesar di Bangkok, dengan wahana wisata yang menantang adrenalin. Nyalimu diuji sampai batas maksimal dengan berbagai permainan yang ada di sana. Dibangun di atas lahan yang luas dan dengan pemandangan langit Bangkok yang indah, Dreamland jadi lokasi wisata wajib didatangi kalau liburan ke sana. Selain wahana yang beragam, di sini juga ad ataman dan patung-patung yang tentunya menarik untuk diabadikan.


Menyusuri jalanan di Khao San Road
Suasana ramai di Khao San Road
Suasana ramai di Khao San Road/ Dok. bangkok.com

Jalan kecil ini sangat dikenal di kalangan turis backpacker di Bangkok. Namanya tertulis dalam setiap buku perjalanan, dan tak jarang jadi lokasi novel-novel ternama di dunia. Khao San Roadmenyediakan banyak tempat menginap yang murah meriah bagi para turis backpacker. Bisa dibilang, semua warga Negara dari seluruh dunia ada di jalanan ini. Sebagian besar melakukan pekerjaan sampingan agar bisa bertahan hidup di Bangkok, mengumpulkan uang dan baru menjelajahi tempat lain di dunia. Bisa jadi kalian bisa mendapatkan banyak teman di sini.

Menikmati Pemandangan dari Baiyoke Sky Tower
Gedung tinggi ini menyediakan wisata pemandangan menakjubkan dari puncaknya yang menjulang. Dari lantai atas, kamu bisa melihat betapa megahnya Bangkok di siang atau malam hari. Pemandangan ketika matahari sudah terbenam jadi pilihan para wisatawan ketika naik ke Baiyoke Sky Tower. Kerlip lampu di seluruh Bangkok membuat siapapun akan jatuh cinta. Bagi pecinta foto, tak ada salahnya untuk menjadikan tempat ini sebagai salah satu tujuan.

Rajadamnern Boxing Stadium
Pertarungan dua petinju di Rajadamnern Boxing Stadium
Pertarungan dua petinju di Rajadamnern Boxing Stadium/ Dok. rajadamnern.com

Masyarakat Bangkok dikenal sangat mencintai olahraga tinju, dan puluhan juara dunia lahir dari kota ini. Saking cintanya, Bangkok punya banyak stadion khusus tinju, salah satunya adalah Rajadamnern Boxing Stadium yang kerap jadi venue pertandingan kelas dunia. Ada atau tidak ada pertandingan, stadion ini menarik untuk dikunjungi karena di Indonesia jarang ada stadion khusus tinju seperti ini.

Soi Cowboy
Kawasan ini dikenal luas di kalangan wisatawan yang suka melihat kehidupan malam masyarakat Bangkok dari dekat. Di kawasan ini, kamu bisa jalan-jalan menelusuri kota dengan santai. Lampu-lampu yang menyala di sepanjang jalan membuat Soi Cowboy jadi lebih menarik untuk dikunjungi. Jalan di sini tidaklah panjang, namun di setiap sisi ada banyak bar.

Silom Village
Di desa ini setiap hari digelar pertunjukan seni dan budayauntuk wisatawan. Tarian dan nyanyian khas Thailand digelar di atas panggung, dan setiap hari pula penonton memenuhi arena untuk menikmati pertunjukan yang unik. Kesenian Thailand dikenal dengan tarian kolosalnya, dengan gerakan yang khas dan dinamis. Pertunjukan-pertunjukan tersebut membuat kita sedikit tahu dengan budaya yang ada di Thailand.

Elephant Tower
Elephant Tower menjulang lebih tinggi dibanding gedung lainnya
Elephant Tower menjulang lebih tinggi dibanding gedung lainnya/ Dok. openbuildings.com

Seperti namanya, gedung bertingkat ini berbentuk gajah, hewan yang sangat dicintai oleh masyarakat Bangkok. Saking uniknya, banyak wisatawan yang berhenti sejenak ketika melewati gedung ini untuk memotret atau berfoto dengan latar belakang Elephant Tower.

Menarik bukan? Ternyata Bangkok memiliki lokasi wisata yang unik-unik, tidak hanya istana yang megah saja. Belum dapat tiket ke Bangkok, cek saja di Traveloka.com, dan dapatkan harga terbaik untuk paket tiket pesawat dan hotel sekaligus.

Jogja Scrummy, Oleh-oleh Pilihan Baru di Jogja

$
0
0
Menu pilihan: Premium Carrot Cake di Jogja Scrummy
Menu pilihan: Premium Carrot Cake di Jogja Scrummy (Dok. @jogjascrummy)

Jogja semakin menggeliat pariwisatanya, ada banyak destinasi yang bisa dipilih untuk dikunjungi serta dinikmati seperti alam, budaya, bahkan kuliner. Berbondong-bondongnya wisatawan liburan ke Jogja membuat banyak orang ingin mengembangkan bisnis di sana. Salah satu yang menjanjikan adalah mengembangkan bisnis dibidang kuliner.

Ada ratusan kuliner di Jogja baik yang menyajikan menu khas maupun terkini. Tiap wisatawan pastinya ingin mencicipi kuliner tersebut. Jika memungkinkan mereka akan membeli makanan tersebut untuk dijadikan oleh-oleh bagi keluarga di rumah. Hal ini membuat sosok artis Dude Herlino mengepakkan sayap dengan membuat varian oleh-oleh bernama Jogja Scrummy.

Dude Herlino sengaja mengembangkan varian oleh-oleh kekinian di Jogja dengan harapan nantinya Jogja Scrummy ini mempunyai andil dalam mendongkrak pariwisata di Jogja. Bahkan Jogja Scrummy mendukung kegiatan yang dilakukan oleh Dinas Pariwisata dan pihak lain yang berkecimpungan dibidang pariwisata dengan tujuan meningkatkan kemajuan di bidang tersebut.

Jogja Scrummy adalah salah satu dari varian oleh-oleh masa kini. Oleh-oleh ini berbentuk varian dari brownies yang mempunyai cita rasa istimewa. Di sini tersedia 11 varian dan dibagi menjadi dua kategori. Kategori pertama adalah Jogja Scrummy Reguler. Kategori ini mencakup enam varian; Cheese, Chocolate, Mangga, Srikaya, Talas, dan Caramel.
Brownies varian lain di Jogja Scrummy
Brownies varian lain di Jogja Scrummy
Brownies varian lain di Jogja Scrummy

Kategori terbaru yang dikembangkan adalah produk premium yang berbahan dasar wortel atau yang disebut dengan Premium Carrot Cake dengan varian;  Frozting cheese, Caramel, Peanut, Cheese, dan Chocolate. Bisa jadi ke depannya akan ada varian-varian baru yang akan dikembangkan.

Kehadiran Jogja Scrummy ini terbilang baru, karena pada bulan Juni 2016 baru ada di Jogja. Kurun waktu satu tahun, Jogja Scrummy sudah membuka empat outlet di Jogja. Lokasinya pun cukup strategis. Keempat outletnya berada di Jalan Kaliurang, Area Maliobro (Utara Pasar Pathuk), di Jalan Brigdjen Katamso, dan terbaru ada di Jalan Laksda Adisucipto.

Menu-menu yang disajikan pun sehat, tanpa ada bahan pengawet. Bahan yang digunakan juga halal serta mempunyai kandungan gizi tinggi. Dipenyajiannya, Jogja Scrummy menggunakan jenis tepung non-gluten sehingga baik dikonsumsi semua kalangan.

“Jika ada oleh-oleh dari Jogja Scrummy yang tahan berminggu-minggu, itu harus dicurigai. Karena di sini tidak menggunakan bahan pengawet,” Celetuk Bu Vidia selaku Marketing kala berbincang santai dengan teman-teman blogger.

Ya, beberapa waktu lalu perwakilan dari Jogja Scrummy menyempatkan mengundang teman-teman blogger dan Instagram untuk berkumpul bareng dan mengenalkan lebih rinci mengenai Jogja Scrummy. Disela-sela acara, pemilik Jogja Scrummy (Dude Herlino) sempat menyapa melalui video call.

Satu hal yang menarik dari Jogja Scrummy ini adalah, Dude Herlino merangkul industri UMKM yang ada di Jogja. Harapannya agar perekonomian warga sekitar menjadi lebih baik. Hal ini dibuktikan dengan stok bahan Wortel yang digunakan untuk membuat brownies berasal dari petani Wortel yang ada di sekitaran lereng Merapi.

Aku menyempatkan untuk mencicipi salah satu hasil varian dari Jogja Scrummy, rasanya cukup manis, teksturnya tidak terlalu lembut, dan taburan kacangnya terasa. Sembari makan, aku mengorek informasi untuk harga brownies-nya. Harganya tidaklah mahal, untuk yang Jogja Scrummy Reguler dipatok mulai dari Rp.48.000; untuk yang Premium Carrot Cake dipatok mulai dengan harga Rp.65.000.
Mencicipi brownies varian Chocolate
Mencicipi brownies varian Chocolate

Aku mencicipi tiga varian dari enam varian yang tersedia. Seperti yang aku bilang, rasa manis yang ada di brownies ini pas, tidak terlalu manis. Jika kalian penasaran, kalian bisa membeli di salah satu dari keempat outlet tersebut.

Inilah Jogja, kota yang selalu ramai akan wisatawannya. Kota yang penuh deretan kios oleh-oleh, memanjakan para wisatawan untuk memilih buah tangan. Jogja Scrummy membuat kita menjadi lebih beragam dalam memilih oleh-oleh untuk keluarga.
Outlet Jogja Scrummy
Alamat: Ruko Babarsari, Jl, Laksda Adisucipto Km 7,5.
Narahubung: 0274-485203
Harga: Rp.48.000,-
Sosial Media: @jogjascrummy (Instagram & Twitter)

Gelombang Besar dan Angin Kencang Kala Mudik Lebaran ke Pulau Karimunjawa

$
0
0
Pelabuhan Pantai Kartini dari atas kapal Siginjai
Pelabuhan Pantai Kartini dari atas kapal Siginjai

Gawai di atas meja kamar berdering menjelang pagi. Aku beranjak dari kasur, meraih gawai mungil yang hanya bisa digunakan menelpon dan mengirim pesan. Terpampang nama orang yang kukenali di layar.

“Kamu disuruh emak naik kapal Siginjai saja. Di Karimunjawa sedang angin dan ombak besar,” Suara dari seberang telepon terdengar setengah memberi perintah.

Tanpa membasuh muka, aku secepat kilat memanggul keril dan keluar dari kamar. Kulihat jam masih pukul 05.30 WIB, ini artinya masih ada waktu satu jam sebelum kapal Siginjai berangkat. Untung tante sudah bangun, beliau mengantarku sampai di pelabuhan.

Antrian di tiket mengular, hanya dua orang yang melayani. Aku mencari-cari orang yang bisa kuminta untuk membelikan tiket. Di kapal Siginjai, satu orang yang antri maksimal boleh membeli limat tiket. Kulihat ada teman kampung yang sudah antri, segera kudekati.

“Beli tiket berapa mbak?” Celetukku sembari menyapa.

“Dua. Mau nitip? Sini tulis namamu.”
Perahu kecil dan mobil terparkir rapi di pelabuhan
Perahu kecil dan mobil terparkir rapi di pelabuhan

Kuambil pena dan menulis nama serta umur. Ini adalah berkah Ramadan, mbak Yanti mengenaliku. Beliau adalah teman sekolah kakak perempuanku semasa MA. Hanya selang 10 menit, aku sudah disodori tiket kapal Siginjai seharga Rp.75 ribu.

“Terima kasih nggeh mbak,” Ujarku sambil berlalu menuju kapal.

Orang-orang berlalu-lalang masuk ke dalam kapal. Petugas pelabuhan sibuk mengecek tiket penumpang. Sementara bapak pengayuh becak dan kuli angkut barang sedang banjir berkah. Mereka saling bersatu menaikkan barang menuju kapal. Menata barang di dek kapal, agar pemiliknya bisa dengan mudah menemukan barangnya.

Masih cukup pagi namun gelayut mendung sudah terlihat. Di Barat Daya terlihat kabut tebal yang menyelimuti langit. Di tengah-tengah waktu menunggu kapal berangkat, tampak samar warna-warni pelangi menyeruak. Indah walau tidak terlalu terang. Di perairan Jepara, ombak cukup tenang. Namun semuanya akan berubah 1800 jika sudah mendekati Karimunjawa. Sapaan ombak Timuran siap menyambut kapal yang akan menyeberang.
Semburat pelangi terabadikan walau sudah buyar
Semburat pelangi terabadikan walau sudah buyar

Penumpang kapal Siginjai padat merayap, dua hari menjelang lebaran banyak warga yang mudik sekaligus belanja di Jepara. Aku duduk di tepian pelabuhan, melihat kesibukan para orang yang ada di sini. Suara mesin mobil menyatu dengan mesin kapal yang sudah hidup. Kadang kala suara para orang jasa pengangkut barang terdengar lantang.

Sebenarnya aku sudah mempunyai tiket kapal cepat yang akan menyeberang pukul 09.00 WIB. Namun arahan dari emak agar aku naik kapal Siginjai (kapal ekonomi dan jauh lebih besar) secara tidak langsung menghanguskan tiket tersebut. Tidak masalah, toh yang terpenting adalah mudik ke Karimunjawa.

Musim libur lebaran tidak hanya dimanfaatkan warga Karimunjawa mudik, momen libur satu minggu ini juga dimanfaatkan para wisatawan untuk berlibur ke Karimunjawa. Tentu Karimunjawa akan terlihat ramai pada waktu seperti sekarang. Mobil-mobil berjejer rapi terparkir di halaman pelabuhan ini sebagai menanda. Ini adalah titipan parkir yang empunya berlibur ke Karimunjawa.

Pukul 06.30 WIB, Kapal ASDP Siginjai mulai melepas tambatan di pelabuhan. Kapal ini bergerak menuju Karimunjawa, laju kapal lambat, diperkirakan pukul 11.00 WIB akan sandari di Karimunjawa jika cuaca baik. Dua hari yang lalu, perjalanan sempat lambat dari Karimunjawa menuju Jepara. Jarak waktu yang biasanya 4.5–5 jam menjadi 8 jam karena cuaca buruk di perairan Karimunjawa.
Perairan di Jepara cukup tenang
Perairan di Jepara cukup tenang

“Ombak ada di perairan Karimunjawa. Nanti kalau sudah mulai ombak, kita tidur saja di lantai,” Ujar Dedi (sepupuku) yang pulang Diklat di Surabaya bersama kakakku.

Di sini tidak ada tanda-tanda ombak besar. Laut hanya memperlihatkan ombak riak kecil, tidak besar seperti kabar dari seberang. Bagi kami para anak pantai, bulan Juni – Juli memang identik dengan Timuran. Ombak dari arah timur akan menerjang kami saat di pertengahan. Ombak ini sama besarnya dengan pada saat Baratan (Bulan Desember – Februari).

Di atas kapal, hampir setiap sudut sudah penuh. Tidak ada kursi kosong, beruntung aku mendapatkan tempat duduk karena tadi teman ada yang datang lebih awal dan mencari tempat duduk. Lima jam nantinya akan aku habiskan di atas kapal. Mencari kesibukan untuk melepas rasa bosan.

Penumpang kapal menyibukkan diri masing-masing. Dua layar televisi 32 inchi menayangkan prosedur yang harus dipatuhi para penumpang selama di atas kapal, serta bagaimana cara menggunakan pelampung. Tidak lupa aturan-aturan yang tidak diperkenankan dilakukan selama di atas kapal.
Kursi-kursi kapal Siginjai penuh oleh penumpang
Kursi-kursi kapal Siginjai penuh oleh penumpang

Sayangnya, aturan tidak boleh merokok paling sering dilanggar. Terlepas ini bulan Ramadan, masih banyak kulihat orang-orang dengan sembarang merokok di tempat duduk tanpa melihat sekitar ada balita. Perlu banyak waktu untuk menyadarkan penumpang-penumpang seperti ini.

Setelah itu mereka memutarkan lagu-lagu; dimulai dari Tembang Kenangan, InstrumentKenny G, Dangdut Lawasan, Lagu Negeri Jiran, sampai lagu-lagu yang sekarang hits diputar oleh ribuan Radio. Di atas kapal serasa di tempat penjualan Kaset. Lagu-lagu diputar secara bergantian.

Bagi penumpang yang tidak kebagian kursi, mereka menggelar tikar di lantai. Mencari tempat luas untuk digunakan sebagai tempat tidur beralaskan tikar bawaannya. Dulu di kapal ini kita bisa menyewa kasur/tikar kecil. Hanya saja mulai beberapa bulan yang lalu sudah tidak diperkenankan lagi menyewakan tikar. Bagi yang tidak punya tikar, biasanya mereka menggunakan sarung atau kertas koran sebagai alas.
Penumpang tidak mendapatkan kursi menggelar tikar untuk tidur
Penumpang tidak mendapatkan kursi menggelar tikar untuk tidur

Empat puluh lima menit kapal berjalan. Waktunya ABK Kapal mengecek tiket tiap penumpang. Tidak semua penumpang dimintai memperlihatkan tiketnya, karena sebelum berangkat penumpang sudah dicek tikenya oleh ABK yang berada di pelabuhan.

Satu ruangan dijaga empat ABK. Dua orang berjaga di pintu ke arah ruang lain. Dua lainnya mengecek tiket penumpang. Bagi penumpang yang tertidur kadang dibangunkan, kadang pula tidak diperiksa tiketnya. Aku yang berdiri dekat tangga sembari membaca buku bawaan hanya dilewati saja. Tidak dimintai tiket.
ABK Kapal memeriksa tiket kapal ASDP Siginjai
ABK Kapal memeriksa tiket kapal ASDP Siginjai

Salah satu cara membunuh rasa bosan di kapal adalah membaca buku. Pukul 08.30 WIB ombak mulai terasa, aku berpindah menuju kursi. Di sana masih kusempatkan membaca buku. Tidak sengaja cewek di depanku juga membaca buku. Jika aku membaca novel, orang di depanku ini membaca buku terjemahan.

Kapal mulai bergoyang kencang, pukul 09.00 WIB kututup buku yang kubaca. Goyangan ombak jauh terasa lebih kencang. Kulihat hampir semua penumpang tidur. Tinggal aku dan cewek di depanku yang masih tersadar. Sesekali terdengar suara teriakan orang muntah. Selain itu juga terlihat hujan dari jendela kapal.
Membunuh waktu bosan dengan membaca buku di atas kapal
Membunuh waktu bosan dengan membaca buku di atas kapal

Aku masih ingat, pukul 09.30 WIB ombak besar menghantam sisi kanan kapal. Terdengar suara gaduh di bawah. Ada motor yang tergeser dan jatuh. ABK Kapal dengan gesit menata parkir motor di dek kapal. Ombak kedua tidak kalah besar, sembrutan ombak masuk ke dek kapal. Penumpang yang berada di dek berhamburan ke atas, sebagian dari mereka pakaiannya basah.

Ombak dan angin benar terasa lumayan kencang. Aku melirik gadis yang di depanku. dia terlihat agak kaget dengan cuaca kali ini. Perasaan gusar dan sedikit takut tersirat di wajahnya. Dimasukkan buku yang dibaca ke dalam tas selempang berbahan tenun bertuliskan “Lombok”. Lalu dia mengambil air mineral dari keril orange merek Eiger.

Kuamati terus dia, gadis ini sendirian. Selain tas selempang, keril, gawai yang layarnya pecah, dia juga membawa skateboard. Aku lupa namanya, namun dia berasal dari Bandung dan kali pertama main ke Karimunjawa.

“Tenang. Ombak seperti ini biasa. Mungkin nanti sandarnya agak terlambat sedikit,” Celetukku ke dia.

“Ombak besar seperti ini biasa?” Tanyanya memastikan.
Gadis asal Bandung yang kuabadikan sebelum kapal menyeberang
Gadis asal Bandung yang kuabadikan sebelum kapal menyeberang

Aku mengangguk saja. Meyakinkan dia kalau ombak seperti ini sudah biasa. Walau dihadapannya ini bukan sesuatu yang biasa. Dia melihat banyak penumpang yang silih berganti ke kamar mandi dan dari dalam terdengar suara muntah. Jika tidak tahan goncangan ombak serta suara muntahan, kita bisa tertular muntah.

Jendela kapal ditutup dengan terpal berwarna biru. Air hujan masih saja bisa menyusup masuk melalui sela-sela lubang di sana. Genangan air hujan membasahi lantai, penumpang yang menggelar tikar di sana harus mengubah posisi tidur. Kapal terus berjalan menerjang ombak. Di dalam kapal, penumpang berasa berada di ayunan.

Dari jendela kapal, dapat terlihat bagaimana ombak memutih di sepanjang mata memandang. Buih putih seperti kapas yang terapung di lautan. Beruntung walau hujan dan angin, tidak terdengar suara petir. Hujan tanpa petir di tengah lautan ini biasanya membuat ombak agak mereda.

Penasaran dengan ombak di tengah laut. Aku menuju kamar mandi, melongokkan moncong lensa dan membidik di kala hujan masih rintik-rintik. Hujan memang mulai mereda, namun ombak terasa hingga kapal sandar. Jangan salah, walau terlihat cerah dan ombak kecil, nyatanya aku memotret waktu ini dalam keadaan hujan gerimis dan ombak besar.
Gelombang di tengah perairan Karimunjawa - Jepara
Gelombang di tengah perairan Karimunjawa - Jepara

Perjuangan terasa berakhir kala suara terompet besar dari corong atas bunyi. Pengumuman dari Kapten kapal jika kapal sebentar lagi sandar. Hujan makin deras, kugamit keril besarku yang berisi pakaian serta oleh-oleh untuk keluarga di rumah.

Begitu kapal sandar, aku bergegas mengenakan jaket. Hujan makin deras, dan kami harus menerjangnya sampai di terminal pelabuhan. Aku, kakakku, dan sepupuku sudah dijemput sebuah mobil APV Plat Merah milik bandara. Kakak dan sepupuku memang pulang dari diklat Bandara, sehingga dijemput pegawai lain. Aku sendiri numpang mereka, toh kami akan turun di tempat yang sama.

Karimunjawa memang agak berbeda. Di kala tempat lain lebih banyak kemarau, di sini dalam tiga hari terakhir hujan deras. Ombak besar pun mulai terlihat-tanda-tandanya seminggu yang lalu. Tanda-tanda dari alam ini benar adanya, ombak memang mulai terasa besar sewaktu kami di pertengahan laut antara Jepara – Karimunjawa. Aku teringat kata bapak kemarin sewaktu melihat awan putih tipis seperti terseret angin.

“Sepertinya mulai angin lagi, awannya berbaris seperti itu,” Kata bapak kala sore.

Aku tidak mengabadikan awan tipis tersebut. Aku hanya memperhatikan langit biru cerah, ada gumpalan awan tebal, dan sebaris awan tipis yang dimaksud. Aku tidak bisa melihat tanda-tanda itu, namun orang yang sudah makan asam garam hidup sebagai orang pantai jauh lebih paham. Awan itu memberi tanda, dan aku hanya berdoa agar ombak tidak besar sampai aku balik ke Jogja. *Sepenggal kisah mudik ini pada hari Jumat, 23 Juni 2017.

Takbiran Desa Kemujan, Karimunjawa Mempererat Tali Persaudaraan

$
0
0
Salah satu rombongan peserta takbir keliling di Karimunjawa
Salah satu rombongan peserta takbir keliling di Karimunjawa

Sejatinya malam takbiran Idul Fitri adalah waktu perayaan Umat Islam di segala penjuru dunia. Lantunan takbir saling bersahut-sahutan antar Surau dan Masjid. Seluruh masyarakat muslim bersuka ria menyambut malam takbir dengan semangat tinggi. Tidak sedikit doa agar dipertemukan bulan ramadan tahun depan terucap lirih disela-sela kemeriahannya.

Pemandangan sedikit berbeda di desa Kemujan. Desa yang menjadi tujuanku kala mudikdari perantauan ini sedang sibuk. Malam takbiran tahun ini diadakan lomba oleh orang-orang yang berjiwa besar. Aku sendiri secara tidak sengaja ditugaskan menjadi salah satu juri, padahal aku tidak pernah tahu akan ada agenda ini dan baru datang dari perantauan.

Dari penuturan panitia, lomba takbiran ini berhadian 3 juta, dengan berbagai rincian kategori yang diperlombakan. Para juri bergerak gesit mengumpulkan perwakilan kampung. Di sini semua diberi arahan berkaitan dengan prosedur selama takbiran. Intinya keseluruhan nantinya akan dinilai dari aspek kreatifitas, lantunan takbir, dan ketertiban peserta.
Kelap-kelip lampu hias dekorasi dari kejauhan
Kelap-kelip lampu hias dekorasi dari kejauhan

Cuaca di Karimunjawa tak dapat diperdiksi, usai salat dhuhur hujan turun deras sampai menjelang magrib. Beruntung setelah itu tidak hujan, sehingga lomba takbiran dapat berjalan. Rencananya akan ada 11 perwakilan masjid/musola yang meramaikan.

Iringan mobil penuh rias berkumpul di lapangan Jelamun. Gema takbir bersahut-sahutan, suara dari pengeras suara beragam. Tua, muda, kecil pun tak mau ketinggalan. Walau lapangan tidak ada penerang, hanya mengandalkan lampu kendaraan. Hal ini tak menyurutkan semangat peserta lomba.

Uang bukan dipersoalkan, siapapun yang menang tak dipikirkan tiap peserta. Yang mereka lakukan sekarang murni karena ingin berkumpul dan kompak mengadakan takbir keliling. Sebelumnya, takbir keliling ini hanya bersifat personal, tidak ada yang mengatur sehingga berjalan sendiri-sendiri.

Aku tidak dapat menyebut satu persatu peserta, namun yang kuketahui ada beberapa musola/masjid yang ikut menyemarakkan takbir keliling. Masjid Gonipah, musola Gonipah, musola gonipah tengah, masjid Kemujan, musola Jelamun, Telaga, masjid Batulawang, dan Mrican. Beragam pula mobil yang dihias.
Dekorasi pewayangan dari salah satu peserta
Dekorasi pewayangan dari salah satu peserta

Ada satu mobil dirias dengan bertajuk pewayangan. Aku tidak tahu ini sosok siapa, entah Semar atau Bagong. Pun dengan dari kelompok mana, aku tidak paham yang mendatangkan. Seru rasanya ada banyak dekorasi kreasi para warga dalam menyemarakkan takbir keliling. Tak melulu berkaitan dengan masjid, pemandangan ini tentu terlihat indah dan menghibur.

Dekorasi ala masjid pun ada. Salah satunya dari kampungku. Ini kali kedua kampungku mengadakan takbir keliling dalam dua tahun terakhir ini. Pemuda kampung sengaja membuat dekorasi masjid atas bantuan beberapa warga kampung. Bahkan aku sendiri yang membeli kertas warna-warni-nya di salah satu toko di Jepara sebelum mudik.
Mobil hias membentuk masjid dari kampung Jelamun
Mobil hias membentuk masjid dari kampung Jelamun

Selain kampungku, kampung Batulawang tak kalah megah dekorasinya. Dekorasi miniatur masjidnya malah lebih keren. Semua warga Kemujan paham urusan dekorasi, kampung Batulawang memang jagonya. Ini salah satu buktinya, dari tangan-tangan mereka terciptalah miniatur masjid.
Miniatur masjid megah karya kampung Batulawang
Miniatur masjid megah karya kampung Batulawang

Konsep riasan mobil memang dibebaskan. Para peserta bebas membuat kreasi sesuka hati. Seperti perwakilan dari Gonipah ini, mereka membuat miniatur Penyu. Mungkin yang membuat ini terinspirasi dari Penyu yang ada di Karimunjawa. Jangan-jangan ini salah satu kampanye jika penyu itu adalah binatang yang dilindungi.
Kreasi hiasan penyu dari kampung Gonipah Tengah
Kreasi hiasan penyu dari kampung Gonipah Tengah

Jika dari Gonipah membuat Penyu. Beda lagi dari kampung sampingnya, mereka membuat replika kapal nelayan. Seperti itulah kapal nelayan di Karimunjawa, corak cat identik dengan warna putih dan biru. Ditambah tiang setinggi 2.5 meter yang dipasangi bendera merah putih.

Selain ini masih ada banyak lagi mobil hiasan yang tidak sempat kuabadikan seperti dari Telaga, Kemujan, atau Mrican. Setahu ada yang membuat Burung Merak juga. Aku mendapatkan tugas menilai unsur lantunan takbiran, sementara pak Lisin dan pak Kamituwo mendapatkan tugas menilai unsur ketertiban dan kreatifitas. Kami bertiga benar-benar dipusingkan dalam memberi nilai.
Ada juga yang membuat kapal nelayan
Ada juga yang membuat kapal nelayan

“Kalau ini bagus-bagus semua,” Begitulah ujaran Pak Lisin kala kami menunggu di salah satu ujung musola Batulawang.

“Pokoknya dinilai pak, yang penting yakin,” Sahutku.

Juri yang menilai ada enam orang dibagi menjadi dua kelompok. Aku mendapatkan tugas di sekitaran Batulawang dan Telaga, sementara kelompok lain mendapatkan tugas di Kemujan dan Gonipah untuk menilai.

Menyenangkan rasanya jika melihat antusias warga setempat dalam menyemarakkan takbiran. Tanpa henti-henti orang yang ada di dalam mobil mengumandangkan takbir. Aku bisa melihat kebahagiaan mereka dalam menyambut malam Idul Fitri. Keseruan ini mendapatkan tanggapan positif dari masyarakat. Mereka yang tidak ikut pawai menggunakan kendaraan asyik menunggu di teras rumah.
Orang-orang yang melantunkan takbir selama karnaval berlangsung
Orang-orang yang melantunkan takbir selama karnaval berlangsung

Seperti yang memang diniatkan panitia. Lomba takbiran ini hanyalah sebuah bonus saja. Tujuan utamanya adalah mempersatukan tiap kampung agar takbiran secara bersama-sama, sehingga dapat diatur dengan baik.

Ucapan terima kasih untuk tiap peserta beserta sesepuh tiap kampung yang bersedia mengikuti lomba, tak ketinggalan tim pemuda dan anak-anak yang selalu bersemangat selama acara. Tahun ini takbiran kita mendapatkan respon positif dari warga, mereka senang akhirnya bisa bersama-sama kala malam takbiran.
Suasana gelap di lapangan jelamun namun meriah didatangi warga setempat
Suasana gelap di lapangan jelamun namun meriah didatangi warga setempat

Usai penilaian, aku berjalan menuju tepian jalan. Memandangi mobil-mobil yang berjejeran sebelum pulang ke tempatnya masing-masing. Ada rasa puas, gembira, dan bahagia. Seluruh masyarakat berkumpul menjadi satu di lapangan tanpa ada penerangan. Rela menanti sampai acara selesai, dan tidak lupa sapaan-sapaan hangat dari teman jauh.

Begitu indahnya takbiran di kampung halaman. Hujan yang mengguyuri selama siang tak berbekas kala malam. Jika kulongokkan ke atas, di sana hanya ada milyaran bintang tanpa terhalang awan. Malam memang gelap, namun gemerlap lampu kendaraan ini bisa menyiratkan bagaimana serunya malam takbiran kali ini. Selamat Lebaran, Mohon Maaf Lahir & Batin.
Viewing all 759 articles
Browse latest View live