Quantcast
Channel: Nasirullah Sitam
Viewing all 756 articles
Browse latest View live

Menikmati Malam di The Alana Hotel & Convention Center, Solo

$
0
0
Menikmati Malam di The Alana Hotel & Convention Center, Solo
Menikmati Malam di The Alana Hotel & Convention Center, Solo

Jalanan menuju Solo padat merayap. Tanda-tanda kemacetan sudah terlihat ketika memasuki Tugu Kartosuro. Mobil yang kunaiki ikut tersendat, kunikmati waktu menuju Magrib di dalam mobil.

“Hotel Alana kan mas?” Tanya pak sopir memastikan.

“Iya pak, Hotel Alana,” Jawabku.

Sudah beberapa kali aku mengunjungi Solo, tapi tak pernah menginap. Tahun 2014 pernah bersepeda bareng ketiga temanku, dan kami menginap di salah satu losmen kecil. Bapak sopir yang menyetir mobil langsung tahu jalan mana yang dia pilih. Bahkan beliau bilang kalau lokasi jalannya tidak jauh dengan hotel-hotel besar lainnya.

Tidak lama kemudian sebuah hotel menjulang tinggi di sisi kiriku. Kulongokkan kepala, inilah Hotel Alana yang kutuju. Bergegas aku turun dan menghampiri resepsionisnya. Kusodorkan KTP beserta pesanan kamar, akhirnya aku mendapatkan kamar di lantai 9.

Aku sedikit terkekeh karena kecerobohanku sendiri. Saat menaiki lift, aku langsung masuk dan memencet angka 9, namun angka tersebut tidak menyala. Setelah kuperhatikan seksama, aku lupa tidak menempelkan kartu kunci kamar pada panel lift. Segera kutempelkan kartu lift dan menekan kembali angka 9, barulah bisa. Beruntung selama naik hanya aku sendirian di lift.

Kurebahkan badan ketika sudah berada di kamar. Untuk sementara waktu aku beristirahat, lalu menunaikan sholat. Selesai sholat, aku masih asyik rebahan. Mencoba melihat sekeliling isi kamar. Kamarnya menurutku sangat luas untuk diinapi sendirian. Ada sofa untuk duduk santai, terdapat pula meja dan kursi untuk sekedar menaruh laptop. Jika sewaktu-waktu harus mengerjakan tugas bisa secepatnya dilakukan. Terlebih sinyal Wifi-nya pun kencang, dan ada slot untuk listrik.
Rebahan dulu sambil baca buku yang kubawa
Rebahan dulu sambil baca buku yang kubawa

Sembari rebahan, aku mengotak-atik TV LED yang ada di kamar. Ada 135 saluran yang bisa kupilih. Mulai dari HBO, FOX, BEIN, dan banyak lagi lainnya. Sayang pas menginap tidak malam minggu, jadi tidak bisa menyaksikan sepakbola selama di sini. Aku menikmati malam ini dengan menonton film yang tayang di HBO.
Baca bukunya sebentar, lanjut nonton TV saja
Baca bukunya sebentar, lanjut nonton TV saja

Seperti halnya menginap di hotel-hotel lainnya. Aku memasuki bagian kamar mandi. Menurutku kamar mandi di Hotel Alana cukup luas. Peralatan mandi sudah tertata rapi di sana. Sebuah shower terpasang cukup tinggi lengkap dengan tanda merah dan biru.
Kamar mandi di Hotel Alana Solo
Kamar mandi di Hotel Alana Solo

*****

Pagi menyapa, aku menggeliat di atas kasur. Masih malas bangun rasanya, toh janjian ke Kemuning pukul 09.00 WIB. Sayup-sayup kudengar suara orang bercakap-cakap ketika suaranya agak kencang. Aku baru sadar ternyata kamar pesananku itu connecting room.

Tentu sebagian orang sudah familiar dengan connecting room, biasanya jika menginap bareng keluarga, rata-rata mereka lebih memilih jenis kamar seperti ini. Karena ada pintu yang dapat menyambungkan antara dua kamar. Tak masalah sih bagiku, toh semalam aku juga tidur nyenyak.
Selamat pagi, masih malas bangun sih
Selamat pagi, masih malas bangun sih

Kusempatkan pagi untuk mengabadikan sudut-sudut hotel. Sebelumnya, aku menuju lobi dan mengabadikan berjejeran kursi yang masih kosong. Sepertinya belum banyak tamu yang menginap bangun, atau malah sudah pergi sedari subuh.

Serunya di lobi Alana Hotel itu cukup luas. Jadi jika kita bersua dengan teman yang domisili di Solo bisa duduk sebebasnya di manapun. Tak ketinggalan store yang memajang berbagai motif batik untuk dijual.
Lobi Alana Hotel kala pagi hari
Lobi Alana Hotel kala pagi hari

“Mas, tadi aku coba pencet angka 2 kok tidak mau menyala ya? Aku mau ke kolam renangnya.”

“Kolam renang bukanya pukul 06.00 WIB, mas. Tapi kalau mas mau sekarang bisa saya antar ke sana,” Ujar resepsionis di depan.

“Tidak perlu mas, nanti saja sekalian kalau sudah sarapan,” Balasku.

Semalam sempat berhenti di lantai dua, di sana ternyata sedang ada pesta Barberquedi resto yang berada di dekat kolam renang. Menurut informasi, tiap malam jum’at memang ada pesta barberque di sana. Cukup dengan membayar Rp. 125.000/orang, kita bisa mengikutinya (dengan ketentuan berlaku). Siapa tahu esok kalau menginap di sini lagi, aku diajak untuk babberque-an di sini.

Kulangkahkan kaki menuju restoran yang hanya berada dibalik dinding resepsionis. Restoran sudah dibuka, waktunya menikmati suguhan dari Hotel Alana.

“Kamar nomor berapa mas?” Tanya pelayan perempuan ingin memastikan.

“910 mbak,” Jawabku sambil menunjukkan kunci kamar.
Menu sarapan beragam, jadi bisa pilih sesuka hati
Menu sarapan beragam, jadi bisa pilih sesuka hati

Perempuan tersebut mengecek daftar yang tertulis di kertas, kemudian mempersilakanku untuk menikmati sarapan. Ada banyak menu yang disediakan, seperti nasi goreng, lotek, bubur kacang hijau, dan lainnya. Aku tertarik menikmati Lotek Sayurnya ditemani jus. Sementara itu selain buah-buahan ada banyak macam dessert.

Restoran di Hotel Alana luas, bahkan ada juga di bagian luar. Menu pun beragam, di meja luar ada semacam gerobak Angkringan yang penuh dengan menu sarapan. Kulongok bagian luar, menu pun berbeda dengan yang ada di dalam.

Perut sudah kenyang, aku segera menuju lift dan memencet tombol angka 2. Berhubung sudah lebih pukul 07.00 WIB, jadi kolam renangnya sudah bisa diakses. Menurut informasi dari resepsionis, kolam renang sengaja tidak bisa diakses 24 jam karena tidak ada petugas yang jaga di sana sampai larut malam.

Tepat di samping kolam renang, sebuah resto dengan jejeran meja tertata rapi. Ada kolam berbentuk bulat dengan kedalaman 50cm, biasanya digunakan anak-anak kecil yang bermain air ditemani orangtuanya. Kombinasi air bening dan keramik berwana biru membuat kolam terlihat benar-benar jernih.
Kolam renang Alana Hotel Solo di lantai dua
Kolam renang Alana Hotel Solo di lantai dua
Santai berjemur di area kolam renang
Santai berjemur di area kolam renang

Selama di kolam renang tidak banyak yang berenang, hanya ada satu cewek yang asyik berenang ditunggui ibunya. Aku sendiri tidak berenang kali ini, karena sebentar lagi harus check out dan melanjutkan perjalanan. Di lantai dua juga terdapat peralatan fitness di dalam ruangan. Ada beberapa orang yang sudah berolahraga di sana.

Aku malah hanya duduk bermalas-malasan di kursi berjemur. Namanya juga lagi malas mandi, jadi cukuplah sekedar duduk dan main air sebentar. Coba kalau di sini jauh lebih lama, atau malah nambah satu malam lagi, pasti nggak segan-segan ikut berenang.
The Alana Hotel & Convention Center, Solo
Alamat: Jl. Adi Sucipto, Colomadu, Karanganyar 57174 – Solo, Jawa Tengah

Mancing Mania ala Anak Karimunjawa

$
0
0
Mancing Mania ala Anak Karimunjawa
Mancing Mania ala Anak Karimunjawa

Biasanya menjelang senja aku menyempatkan berburu sunset. Namun pulang Karimunjawa kali ini, sengaja aku tak berburu sunset. Aku lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, berbincang santai dengan emak & bapak, atau malah sekedar menyendiri di pantai belakang rumah.

Cuaca di bulan desember tak pernah dapat diprediksi. Sewaktu aku mudik ke Karimunjawa, ombak besar ketika sudah berada di tengah-tengah antara Jepara - Karimunjawa. Bahkan ketika gugusan pulau Karimunjawa sudah terlihat samar, ombak semakin menjadi. Bagi masyarakat Karimunjawa, mereka menyebutnya dengan istilah Baratan.

Baratan identik dengan bulan Desember – Januari. Namun siklus ini tak tentu, bisa berjalan lebih cepat dari prediski atau malah terlambat. Seperti halnya kali ini, ombak dan angin mulai muncul. Setelah itu akhir Januari – Februari ombak Karimunjawa besar-besarnya, sehingga kapal yang berlayar untuk sementara waktu tidak jalan.

Kali ini aku sengaja bersepeda menyusuri jalan dusun Jelamun. Tujuanku ingin menuju Lapangan Sepakbola, bukan untuk bermain sepakbola melainkan bermain voli. Maklum lapangan voli sengaja dibuat di area lapangan sepakbola. Berhubung masih cukup terik dan belum ada teman yang di lapangan, aku melanjutkan kayuhan sepeda ke Pantai Hadirin. Pantai yang hanya sepelemparan batu dari lapangan.
Anak-anak Karimunjawa sedang asyik memancing ikan di pelabuhan
Anak-anak Karimunjawa sedang asyik memancing ikan di pelabuhan

Aku sudah sering mengulas pantai ini di blog, pun dengan jembatannya. Ada pemandangan yang menarik kala berada di pelabuhan ini, aku melihat empat anak sekitar berumur 10 tahun sedang asyik memancing. Dua anak sedang mengerubuti umpan pancing, sementara dua lainnya berpencar di titik-titik tertentu.

Hanya bermodal senar tidak panjang, mereka tampak serius menggaet ikan. Sesekali terdengar keluhan menyesal karena ikan tersebut lepas dari kail. Aku dapat melihat ikan yang berseliweran di dalam air. Tidak dalam airnya, hanya sepinggang orang dewasa saja. Ikan-ikan tersebut terlihat berebut umpan.

“Sudah dapat ikan berapa?” Tanyaku pada anak yang berkaos hitam di sebelahku.

“Baru dapat 5 kak, itu di dalam ember ikannya.”

Kulongokkan kepala ke dalam ember kecil berwarna biru. Di sana ada beberapa ekor ikan hasil tangkapan anak ini. Tidak besar ikannya, paling sebesar tiga jari orang dewasa besarnya. Tapi melihat ada banyak ikan yang berkerumun di air menjadi pemandangan yang indah bagiku.
Mancing ikannya hanya di tepian dermaga
Mancing ikannya hanya di tepian dermaga
Mancing ikannya hanya di tepian dermaga 

“Dapat kepiting juga? Mancing atau ditangkap pakai tangan?”

Di dalam ember kecil berwarna biru yang diisi air sedikt, tidak hanya ikan hasil pancingan saja. Di dalamnya juga kulihat ada tiga kepiting berukuran kecil. Kepiting-kepiting ini biasanya berjalan di pasir dan disela-sela bebatuan yang tertumpuk.

Ada dua cara menangkap kepiting jika seperti ini. Pertama; memancing dengan umpan besar, sehingga kepiting tertarik ke atas, atau kedua; dengan menangkap menggunakan tangan. Menunggu kepiting tersebut berendam ke dalam pasir, dan kita bisa menangkapnya dengan tangan. Resikonya kalau menangkap pakai tangan yaitu jari bisa terjepit capit Kepiting.

“Tadi Kepitingnya dipancing kak. Pakai umpan kepala ikan.”

Sejak kecil, dermaga ini memang menjadi favoritku memancing selain di Ujung Jelamun, ataupun di Batu Putih. Aku masih ingat sewaktu masih SD sering menyusuri pesisir pantai, menuju tempat yang menjorok ke laut dalam, dan menjadikan tempat tersebut sebagai spot memancing.

Biasanya kami memancing secara berkelompok, tiap akhir pekan sudah janjian di tempat tertentu. Tak pernah membawa bekal makan, yang dibawa itu pisau, senar, kail pancing sebanyak mungkin, dan umpan. Kadang umpannya berupa gurita atau irisan cumi. Kalau tidak ada, ikan kecil pun bisa dijadikan umpan.

Ikan Kerapu, dan jenis ikan karang lainnya adalah jenis ikan yang kami tangkap. Kadang juga kami menyempatkan membuat api kecil dari sabut kelapa, lalu membakar ikan langsung di tempat. Jika kalian pernah melihat bagaimana tingkah laku Si Bolang pada acara televisi pada edisi anak pantai, sejatinya dari dulu seperti itulah tingkah laku kami.

Hasan cekatan menyentak senar yang ada di tangan. Tak jarang mimik anak kecil di depanku ini terlihat menyesal hasil buruannya lepas. Kuperhatikan terus tingkah dia, setiap kali menyentak, tapi tak mendapatkan hasil. Dia tak menyerah begitu saja, diangkat kalinya, dan diubah posisi umpan, kemudian lempar kembali ke dalam air.

Panjang senarnya tak lebih dari lima meter, tapi dengan senar sependek itu dia bisa mendapatkan beberapa ekor ikan. Aku mengenal anak kecil ini, Hasan adalah anak dari temanku yang bernama Ripin. Dulu aku dan bapaknya sering mancing bareng menggunakan sampan almarhun ayahnya (kakek hasan).

“Ikannya nanti mau diapakan?” Tanyaku lagi.

Hasan masih fokus pada senarnya. Dia tak ingin pertanyaanku membuyarkan konsentrasi pada tangkapannya. Sekali hentakan, seekor ikan kecil tersangkut pada kailnya. Senyum sumringah jelas terlihat dari sini. Bergegas dia melepaskan kaitan kail ikan dan menaruh ikan di dalam ember kecil.

“Kalau ikannya kecil seperti ini enaknya digoreng kak.”

“Kriuk-kriuk rasanya.” Tambahnya sembari tersenyum.

Kriuk sebenarnya bukan rasa ikan, tapi sensasi makan ikan berukuran kecil yang digoreng kering. Jenis ikan yang ditangkap rata-rata ikan kecil yang ada di sekitar dermaga. Beberapa saat aku asyik mengamati kegiatan anak-anak nelayan ini memancing. Karena rumah tidak jauh dari pantai, dan seluruh pulau Karimunjawa dikelilingi pantai, sudah hal yang lumrah jika anak-anak di sini pandai memancing.

Sebenarnya memancing ikan di dermaga ini bukanlah kegiatan sehari-hari mereka. Hanya saja mereka meluangkan waktu untuk memancing daripada bermain di rumah. Di laut, mereka secara tidak langsung mengasah keahlian bagaimana cara memasang umpan, mengaitkan kail pada senar, dan menangkap ikan.

“Waduh putus! Besar tadi ikannya,” Pekik anak yang ada di ujung kapal.

Ditarik senarnya, dilihat sudah tidak ada kail yang terpasang. Anak itu berjalan meniti ujung kapal menuju dermaga. Diambilnya kotak kecil yang berisi kail dan dipasang pada senarnya. Aku hanya menjadi pengamat saja.

“Ikan apa yang makan?”

“Entah kak, tidak kelihatan. Tapi lumayan besar.”

Kembali keempat anak ini memancing, aku masih setia menanti apakah mereka akan mendapatkan ikan lagi atau tidak. Selang beberapa menit, anak yang berada di atas kapal menarik senar. Senar terlihat menegang, ini artinya ada ikan yang ditangkap. Benar saja, seekor ikan menggelepar kala kailnya terangkat.
Hasil tangkapan anak Karimunjawa di pelabuhan
Hasil tangkapan anak Karimunjawa di pelabuhan

“Lihat sini dulu, aku mau motret,” Pekikku.

Dipegangnya ikan berwarna hijau dengan garis hitam. Ikan jenis ini banyak di bawah kapal. Jika kalian suka bermain ke pelabuhan, tentu tidak asing dengan ikan seperti ini. ikan-ikan ini suka bergerombol kalau disebari roti.

Tak hanya anak yang ada di ujung kapal, kali ini Hasan pun mendapatkan hasilnya kembali. Seekor ikan agak lebih besar daripada tangkapannya yang lain tersangkut kail. Lucunya kail itu tidak di dalam mulut ikan, namun berada di luar mulut bagian atas. menurut Hasan, ikan ini terkait karena dia sentak senar saat banyak ikan berebutan umpannya.

“Angkat San,” Ujarku pada Hasan.

Dia mengangkat hasil tangkapannya, dan kemudian menaruhnya ke dalam ember lagi. Seperti inilah keseruan anak-anak Karimunjawa memancing. Setiap sore atau saat libur, mereka lebih asyik menikmati waktu dengan memancing daripada bermain di rumah. Keseruan mereka memancing tidak kalah dengan acara televisi yang menampilkan aksi memancing di tengah lautan.
Hasan berhasil menarik ikan tangkapannya
Hasan berhasil menarik ikan tangkapannya

Anak-anak Karimunjawa inilah yang nantinya akan menjadi pelaut tangguh. Mereka berusaha mempelajari cara memancing dari hal yang sederhana. Jika nanti sudah besar, atau minimal sudah SMP; rata-rata mereka ikut membantu bapaknya memancing pada sore – pagi. 

Di sanalah pengalamannya akan menjadi guru bagi mereka. Tidak hanya memancing ikan saja, tapi nantinya mereka akan belajar membaca bintang saat malam, mengetahui arah angin, lokasi ikan yang banyak, atau malah musim ikan apa pada saat ini.

Seperti bulan februari ini, di dermaga ini anak-anak tidak lagi memancing ikan. Mereka gantian memancing cumi. Tiap bulan Februari, banyak cumi yang bisa ditangkap di area dermaga ini. Dan biasanya, tiap malam banyak orang memancing cumi bersama-sama.

Menyenangkan rasanya kan ikut melihat bagaimana keasyikan para pemancing kecil asal Karimunjawa. Walau dengan alat seadanya, mereka tetap bisa mendapatkan ikan. *Mendokumentasikan aktiftas anak Karimunjawa memancing di pelabuhan pada hari Minggu, 04 Desember 2016
Baca juga tulisan bertema Karimunjawa lainnya 

Berkunjung di Getuk Marem, Jajanan Khas Magelang

$
0
0
Berkunjung di Getuk Marem, Jajanan Khas Magelang
Berkunjung di Getuk Marem, Jajanan Khas Magelang

Bus yang kami naiki melanjutkan perjalanan, sebelumnya kami sempat berhenti di Alun-alun Kota Magelang. Agenda selanjutnya adalah melihat pembuatan Getuk. Seperti yang sudah diketahui, salah satu jajanan khas Kota Magelang adalah Getuk Marem.

“Kita nanti akan melihat bagaimana proses pembuatan getuk,” Ujar pemandu di dalam bus.

Sudah sering aku makan Getuk, tapi belum sekalipun melihat bagaimana proses pembuatannya. Nanti bakal menjadi pengalaman pertamaku melihat prosesnya dari awal sampai akhir (dikemas).

Aku mengira hanya Gunungkidul saja yang mempopulerkan Getuk sebagai jajanan khas daerah. Nyatanya Magelang juga melakukan hal yang sama. Selama ini aku seringnya menikmati jajanan khas tersebut jika sepulang main di Gunungkidul.
Reklame bertuliskan Pusat Oleh-oleh Getuk Marem Magelang
Reklame bertuliskan Pusat Oleh-oleh Getuk Marem Magelang

Kami diturunkan tepat di depan outlet penjualan Getuk Marem. Sebuah reklame besar bertuliskan “Pusat Oleh-oleh Getuk Marem Magelang” terpasang tegak di tepi jalan. Kami langsung menuju dalam rumah. Di sana kami sudah ditunggu pemiliknya. Beliau senantiasa menyambut kami dengan ramah dan menjelaskan bagaimana proses pembuatannya.

Kukelilingi sudut area pembuatan Getuk ditemani pemiliknya. Sesekali kucatat informasi apa yang beliau berikan. Dari sini pula kudengar Getuk Marem ini adalah generasi ketiga. Jadi sudah turun-menurun generasi ternyata bisnis pembuatan Getuk-nya. Kurun waktu yang lama juga sejak pendirian sampai sekarang.

Di ruang luar terdapat banyak Singkong yang belum dikupas. Singkong-singkong tersebut tertumpuk di salah satu sudut. Ada juga banyak karung yang masih berisi singkong. Kulit singkong yang kecoklatan masih menjadi satu dengan sisa tanah yang menempel.
Singkong, bahan baku pembuatan Getuk
Singkong, bahan baku pembuatan Getuk

“Singkongnya dapat dari mana bu?” Tanyaku.

“Biasanya Singkong kami ambil dari petani sekitar sini saja mas. Kami sudah bekerja sama, nantinya mereka mengantarkan Singkong tersebut ke kami,” Bu Ruli menjawab setiap pertanyaan yang kami ajukan.

“Tadi pagi baru saja dikirim satu mobil bak terbuka. Penuh singkong semua,” Tambah beliau sembari tersenyum.

Pada ruang kedua, terlihat seorang bapak sedang mengolah bahannya. Singkong yang sudah dikupas dan diparut dijadikan satu dengan bahan lainnya. Kemudian proses selanjutnya memasukkan ke dalam mesin dan ubi tersebut berbentuk panjang seperti Mie.
Membersiapkan bahan adonan untuk membuat Getuk
Membersiapkan bahan adonan untuk membuat Getuk

Di sinilah proses pencampuran bahan yang disediakan, untuk kisaran perbandingan bahannya tak kutanyakan. Bapak tersebut berkonsentrasi mengolah adonan. Ingin rasanya kubertanya lebih detail, tapi melihat aktifitas beliau yang hanya sendiri jadi kutangguhkan.

Kulihat ada pintu yang mengantarkanku menuju ruangan tempat pengemasan Getuk. Di sana ada banyak karyawan bekerja. Tugas mereka di sini beragam, ada yang memotong Getuk dan sebagian lainnya memasukkan kue tersebut ke dalam kardus. Ukuran Getuk yang sudah terpotong sebesar ibu jari orang dewasa.

Sebagian besar dari yang bekerja perempuan, ibu-ibu ini bekerja seharian di sini. Mereka duduk melingkari meja panjang, kedua tangannya cekatan mengemas Getuk ke dalam kardus. Bau khas Getuk menyebar di segala ruangan. Ibu-ibu yang bekerja tak merasa terganggu kedatangan rombongan kami. Mereka terus bekerja, membungkusi Getuk sembari menjawab pertanyaan dari salah satu di antara rombongan.
Memasukkan Getuk ke dalam kemasan
Memasukkan Getuk ke dalam kemasan

Rasa Getuk di sini ada varian seperti Coklat dan Prambos. Bahan baku yang digunakan masih baru dan datang langsung dari petani sekitar. Jika kita membeli Getuk, daya tahannya itu selama tiga hari.

Pada hari-hari biasa penjualan Getuk Marem berkisar antara 100 – 200 kardus. Statistik itu akan berubah jika akhir pekan atau saat libur nasional. Harga yang tertera per kardus Rp. 20.000. Dalam satu pax kardus, isi Getuknya 16 potong. Para pembeli tidak harus datang langsung ke lokasi ini. Bahkan dimudahkan dengan membeli secara online dan sudah ada sosial medianya.

“Bisa dibeli melalui online. Banyak juga yang memesan lewat sosial media,” Terang Bu Ruli.

Selain melalui pemasaran online, Getuk Marem juga sudah bisa dibeli di beberapa kota di Jawa Tegah. Penyebaran sudah menyeluruh di Magelang, dan kita juga bisa membeli di kota-kota lain seperti Semarang, Sukoharjo, dan Solo.
Menikmati Getuk Marem asli Magelang
Menikmati Getuk Marem asli Magelang

Jika kalian pernah membaca berita adanya rekor MURI Getuk Terpanjang di Indonesia tahun 2013? Itu adalah Getuk Marem. Tidak hanya mendapatkan rekor MURI, Getuk Marem juga sudah bersertifikat MUI.

Aku dan rombongan tidak hanya mendapatkan informasi menarik dan melihat bagaimana proses pembuatan Getuk Marem. Kami juga diberi kesempatan menyantap hidangan Getuk yang sudah tersaji di meja teras rumah. Tekstur Getuk lembut dan kenyal, dan akan lebih nikmat lagi kalau dinikmati seraya menyeduh Teh atau Kopi. Jadi minat memborong oleh-oleh dari Magelang?

*Famtrip Festival Tidar 2016 bersama Travel Blogger, Admin Sosmed, dan Pegiat Pariwisata atas undangan Disporabudpar Kota Magelang pada hari Jum’at – Sabtu (9-10 Desember 2016).

Getuk Marem Kota Magelang
Alamat: Jl. Beringin II, Tidar Krajan, Kota Magelang, Jawa Tengah 56125
Telepon: (0293) 367007

Semburat Senja di Embung Nglanggeran, Gunungkidul

$
0
0
Semburat Senja di Embung Nglanggeran, Gunungkidul
Semburat Senja di Embung Nglanggeran, Gunungkidul

“Penjemput dari Desa Wisata Nglanggeran sudah datang,” Kata pak Saifuddin pada kami.

Aku mendongakkan kepala, kulihat di lahan depan jejeran kios arah ke Air Terjun Sri Gethuk. Ada dua mobil yang terparkir, ini artinya kami harus segera berkemas menuju destinasi selanjutnya di Desa Wisata Nglanggeran. Padahal di depan kamu masih ada suguhan yang belum selesai dimakan. Belalang Goreng, Minuman Kelapa Bakar, dan Keripik Singkong. Kamipun membungkus Belalang Goreng dan Keripik Singkongnya.

Pak Saifuddin selaku Seksi Pemaket Wisata kawasan Sri Gethuk dan Goa Rancang Kencono di Desa Wisata Bleberan menyalami seluruh rombongan. Terasa sebentar di sini, tapi ada banyak informasi dan rasa keakraban yang kami rasakan. Apalagi kami sudah diajak mengunjungi goa dan bermain air. Kami harus melanjutkan perjalanan sesuai susunan agenda yang sudah disepakati.
Gorengan, Belalang Goreng, Keripik Singkong di Desa Wisata Bleberan (dok: cewealpukat.com)
Gorengan, Belalang Goreng, Keripik Singkong di Desa Wisata Bleberan (dok: cewealpukat.com)

Rombongan travel blogger berjumlah 9 orang (termasuk aku) menaikkan barang ke dalam mobil. Kami secara acak memilih tempat duduk dan membagi sendiri mobil mana yang ingin dinaiki. Aku kenalkan pada pembaca sosok-sosok blogger yang ikut acara ini; Alid (Jombang), Rifqy (Malang), Aya (Surabaya), Halim (Solo), Aji(Boyolali), Riska (Bogor), Dwi (Bantul) dan tentunya Hanif (Jogja).

Perjalanan dilanjutkan menuju Nglanggeran. Untuk mengusir rasa bosan, kami di dalam mobil bersenda gurau. Pemandu dari Nglanggeran turut menimpali candaan kami. Tidak butuh waktu lama, kami cepat akrab dengan pemandu.

Kata “Maklegender” menjadi topik sepanjang perjalanan. Kata tersebut diucapkan Aji ketika menikmati Kelapa bakar. Menurutnya kata maklegender itu artinya sensasi yang dirasakan ketika makanan memasuki tenggorokan.

“Tadi di Nglanggeran hujan, jadi kita langsung ke homestayya,” Kata Mas Aris Budiyono selaku pemandu yang menjemput.

“Nanti malam kita berbincang santai di pendopo untuk membahas agenda besok pagi,” Tambahnya.

Kami menyetujui saran beliau. Jalur mobil dilewatkan dari arah jalan Kampung Emas Plumbungan. Jalur ini tak asing bagiku, beberapa kali sempat kulewati. Dari sini juga nantinya kita bisa menuju Air Terjun Kedung Kandang. Semacam mengingatkan pada beberapa tahun silam kala aku harus turun dari atas motor ketika melibas tanjakan.

“Sunsetnya indah. Bulat benar! Bagaimana kalau kita ke Embung dulu?” Pekik Mas Aris.

Sontak kami menatap ke arah barat, mentari sore ini cerah. Benar-benar bulat, di bawahnya gumpalan mega senja nan tebal. Sejurus rencana berganti, mobil diarahkan naik ke parkiran Embung Nglanggeran. Kami di dalam mobil girang, berharap masih dapat mengabadikan sunset.

Laju mobil tak bisa lebih kencang, akses jalan bebatuan diselingi cor semen membuat ekstra hati-hati. Lebih baik memperlambat laju kendaraan daripada memaksakan tarik gas kencang tapi jalan berlubang. Mobil berhenti di parkiran, aku berlari menapaki anak tangga, berharap Sang Baskara masih menampakkan wujudnya.

“Semoga belum terlambat,” Tuturku sendiri.
Sunset Embung Nglanggeran tertutup awan
Sunset Embung Nglanggeran tertutup awan

Kali ini aku harus puas melihat pemandangan senja. Gumpalan awan lebih suka menutupi mentari, sehingga yang tersisa adalah semburat cahayanya menebar di segala penjuru. Aku tahu, senja itu tak berlangsung lama. Terlebih di bawahnya sudah banyak gumpalan awan yang merata. Aku dan rombongan tidak merasa kecewa, toh di sini kami masih bisa menikmati suasana petang dari atas ketinggian.

Senja berlalu lebih cepat dari yang kuperkirakan. Akupun berusaha mengabadikan sisa-sisa senja. Menjadi pemandangan yang indah kala temaram senja di atas ketinggian. Berbagai sudut strategis memotret sudah dipenuhi orang-orang menenteng kamera. Mereka duduk santai, di depannya ada lebih dari dua Tripod tertancap.

Pasti orang-orang itu berhasil mengabadikan sunset indah Nglanggeran. Mereka sudah sedari sore tadi di sini. Kukelilingi Embung Nglanggeran, embung yang bebepa tahun silam sempat kusambangi naik sepeda. Bangunan Gazebo di tepian embung sudah penuh, kualihkan pemandanganku menuju bagian atas. Di sana juga tak jauh berbeda, ada tiga remaja yang asyik berswafoto.
Mengabadikan sunset di embung Nglanggeran
Mengabadikan sunset di embung Nglanggeran

Pantulan cahaya senja tergambar di air embung, tapi tak sempurna. Jika saja hembusan angin tidak kencang, mungkin aku bisa melakukan foto refleksi air dengan baik. Untuk mendapatkan hasil foto refleksi di air bagus, tentunya dipengaruhi berbagai faktor. Seperti cuaca, dan angin yang berhembus. Tidak masalah, toh aku tetap bisa mengabadikan seadanya. Dari sini terlihat rombonganku sedang asyik menikmati suasana senja. Selain itu diharuskan kita sudah tahu bagaimana teknik memotretnya.

“Sini aku bawakan kameranya. Hati-hati turunnya mbak,” Ujarku pada salah satu remaja yang kesulitan menuruni anak tangga kayu di atas Embung Nglanggeran.

Dua teman lainnya hanya tertawa melihat remaja ini kesulitan turun. Aku membantunya menuruni tangga agar nantinya aku bisa naik ke tempat tersebut dan memotret embung dari atas. Gardu Pandang kecil ini tingginya tidak sekitar 2,1 meter. Tertulis papan petunjuk jika maksimal di atas hanya 3 orang saja.

Bermodalkan lensa bawaan kamera (lensa kit), aku memotret Embung Nglanggeran dari dataran agak tinggi. Inilah gunanya Gardu Pandang yang berada di datran agak tinggi. Dari sini aku bisa memotret lansekap embung. Sayangnya lensa belum sepenuhnya mumpuni, sehingga embung tak terlihat utuh.
Pemandangan Embung Nglanggeran kala senja
Pemandangan Embung Nglanggeran kala senja

Indah pemandangan dari atas gardu pandang ini, air embung berpadu dengan warna barisan bukit yang sudah mulai gelap. Di ufuk barat sana, cahaya sang surya masih terpancarkan. Jika tidak mendung, tentu pemandangannya jauh lebih indah.

Lantunan adzan magrib berkumandang. Rona langit makin menampakkan keindahannya. Kilau jingga terbentang di angkasa, menerobos di antara mega yang tebal. Tak ayal, awan yang berwarna gelap diselingi warna jingga mempesona. Tak henti-hentinya aku mengabadikan momen tersebut.

Jika sedari awal yang terpancar sinar jingga keemasan. Menjelang akhir merangkak petang, sinarnya lebih menghanyutkan. Bolehkah kita sejenak menikmati panorama indah seperti ini. Karena di perkotaan kita belum tentu bisa menemukannya.
Semburat cahaya senja semakin mempesona menjelang petang
Semburat cahaya senja semakin mempesona menjelang petang

Kami berlomba-lomba mengabadikan setiap momen, sementara dua pemandu Desa Wisata Nglanggeran masih sabar menanti isyarat dari kami. Beliau terlihat berkoordinasi dengan anggota Pokdarwis lainnya karena kedatangan kami bersembilan. Di sampingku, Riska tampak asyik mengabadikan senja.

“Dapat hasil bagus?” Tanyaku.

“Lumayan sih. Daripada tidak dapat foto sama sekali.” Jawab Riska.

Senja memang menggoda, di manapun keberadannya. Ada setangkup kenangan indah kala menatap senja. Seperti sebuah beban yang hilang, tapi kenangan ingin menyeruak dari dalam raga.
Riska masih tetap mengabadikan senja di Embung Nglanggeran
Riska masih tetap mengabadikan senja di Embung Nglanggeran

“Mari kita pulang. Nanti langsung kami turunkan di homestay masing-masing. Pukul 19.30 WIB kita kumpul di pendopo membahas rencana besok pagi melihat sunrise dan berkunjung ke Kampung Pitu,” Ajak Mas Aris.

Kampung Pitu? Aih, ini adalah salah satu destinasi di Nglanggeran yang ingin kusambangi. Semacam berjodoh dengan kampung tersebut. Esok pagi aku dan rombongan akan berkunjung ke Kampung yang sangat menarik untuk dikunjungi dan ditelisik sejarahnya. Rasanya ingin cepat berlalu hari ini, menyongsong esok pagi menuju Kampung Pitu, Nglanggeran.
*Rangkaian kegiatan Travel Blogger Explore Desa Wisata Jogja (Hastag #EksplorDeswitaJogja) dipersembahkan oleh Forkom Desa Wisata Yogyakarta 24 - 26 Februari 2017.

Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran
Sekretariat: Kalisong, Desa Nglanggeran, Patuk, Gunungkidul
Sosial Media: Gunung Api Purba Nglanggeran (FB) & @gunungapipurba (Twitter&IG)
Nomor Telepon: 081804138610 (Aris Budiyono)

Menyeberang ke Pulau Nusakambangan, Cilacap

$
0
0
Menyeberang ke Pulau Nusakambangan, Cilacap
Menyeberang ke Pulau Nusakambangan, Cilacap

Guyuran keringat membasahi kaos yang kekenakan. Memutari Benteng Pendem Cilacap siang hari lumayan menguras tenaga. Kuarahkan kaki menuju luar benteng, mencari tempat yang teduh sembari menunggu jemputan dari pihak yang akan mengantarku ke Pulau Nusakambangan. Aku sudah terlanjur janji dengan salah satu jasa pengantar ke Nusakambangan. Terlebih dari pintu gerbang Pantai Teluk Penyu aku diantar naik motor menuju Benteng Pendem.

“Nanti kalau sudah keluar dari benteng, telpon saja mas. Saya akan jemput di depan sini,” Pesannya sembari memberi kartu nama.

Ada banyak tawaran yang kuterima selama rehat. Semuanya bertujuan sama, menawarkan jasa menyeberang ke Pulau Nusakambangan. Kutolak tawaran tersebut, aku sudah lebih dulu berjanji pada pemuda yang mengantarku ke benteng.

“Aku sudah di depan benteng mas,” Ucapku saat menelpon.

Hanya dalam beberapa menit, pemuda yang tadi mengantarku terlihat dari kejauhan. Dia menjemputku. Aku segera naik motor menuju tempat kapal. Tidak jauh dari Benteng Pendem sebenarnya, hanya beberapa puluh meter saja. Sekretariat bertuliskan Kennedy terpampang di bagian depan.

“Berapa orang mas?” Tanya pemuda tersebut.

“Sendirian saja. Bisa kan?”

Pemuda ini terdiam menatapku agak ragu. Beliau menyarankan agar menunggu rombongan lain agar lebih murah. Patokan harga yang ditawarkan Rp. 150.000/kapal. Itu jika harus mendekat di pelabuhan Nusakambangan. Hanya mendekat saja, tidak sampai singgah.

“Tidak apa-apa mas. Rp. 150.000 kan? Kita jalan sekarang,” Pungkasku meyakinkan.

“Baiklah mas. Pakai pelampungnya.”
Di depan itu adalah Pulau Nusakambangan
Di depan itu adalah Pulau Nusakambangan

Perahu kecil berbahan dasar serat gelas atau yang disebut dengan fiberglass diorong ke tengah laut. Aku sudah berada di atas perahu, kurasakan sedikit guncangan ombak di bibir pantai. Selanjutnya, perahu menyusuri Selat Segara Anakan. Selat yang membatasi antara Cilacap dengan Pulau Nusakambangan.

Pemandangan dari atas perahu beragam. Pulau Nusakambangan memanjang tidak jauh dari daratan Cilacap. Bagaimana tidak, luas pulau ini sekitar 210 km2, terbentang memanjang dari barat ke timur. Di Segara Anakan ada banyak kapal yang berlabuh atau hanya tertambat jangkar.

“Di sisi kanan itu Kapal Tanker Minyak mas!” Seru Mas pengemudi merangkap sebagai pemandu.

Suaranya terdengar sayup, dikalahkan angin kencang dari arah berlawanan. Kuamati kapal besar bertuliskan “Sinar Jogya” tersandar kokoh di tepian. Kapal yang mempunyai panjang 120 meter dan lebar 27 meter berjarak dekat dengan perahu kecil yang kutumpangi. Kapal tersebut dibuat pada tahun 2001, berbobot mati: 18050t. Sampai sekarang kapal tanker tersebut masih aktif – MarineTraffic.
Kapal Tanker Minyak Sinar Jogya
Kapal Tanker Minyak Sinar Jogya

Pengemudi perahu yang kutumpangi paham betul apa yang kuinginkan. Tatkala aku akan mengambil gambar kapal, dia memperlambat laju perahu. Dengan begitu, aku dapat memotret lebih mudah. Kutinggalkan Kapal Sinar Jogya yang sedang berlabuh dan kemungkinan mengisi minyak tersebut.

Masih di sini kananku, sebuah kapal Tongkang berisi Batubara juga bersandar. Boat yang bertugas menarik Tongkang tertambat di sampingnya. Kulihat ada beberapa orang yang berjalan di atas Tongkang. Sepertinya mereka juga akan menurunkan/menaikkan batubara. Sengaja perahu tidak terlalu mendekat, debu dari Tongkang bertebaran, takutnya malah terkena mata.

Tongkang tersebut bertandakan PST 511, dan di boat yang menarik juga ada tulisannya Pancaran 511. Kemungkinan besar ini adalah bagian dari Pancaran Grup, yakni milik PT. Pancaran Samudra Transport – Pancaran Group.
Kapal Tongkang Pancaran 511 di Cilacap
Kapal Tongkang Pancaran 511 di Cilacap

Kapal Tongkang yang memuat Batubara sering kulihat di perairan Karimunjawa. Pada musim tertentu jika ombak besar, mereka bersandar di Karimunjawa. Di Jepara pun sama, PLTU Tanjung Jati yang terletak di Jepara sering ada aktifitas bongkar Batubara. Batubara tersebut menyuplai bahan bakar PLTU.

“Kalau itu dermaga penyeberang ke Nusakambangan mas.”

Sejurus mataku menatap ke arah yang ditunjuk pemandu. Di sana aktifitas orang menunggu kapal. Itu adalah pintu masuk bagi orang yang akan menyebarang ke Pulau Nusakambangan untuk keperluan menjenguk napi dan lainnya. Kita tidak bisa sembarangan asal menyeberang jika ingin berkunjung ke Lapas. Ada aturannya sendiri, dan harus berkoordinasi dengan petugas Pelabuhan Wijayapura.

Kapal yang digunakan menyeberang ke Nusakambangan bernama Kapal Pengayoman. Beruntung sekali, ketika aku menaiki perahu berpapasan dengan kapal tersebut. Pengayoman IV nama kapal yang menyeberang dari Pelabuhan Sodong (Nusakambangan) menuju Pelabuhan Wijayapura (Cilacap).
Kapal Pengayoman IV menyeberang dari Nusakambangan ke Cilacap
Kapal Pengayoman IV menyeberang dari Nusakambangan ke Cilacap

Ukuran kapal tidak besar, hanya muat sekitar 2 truk dan beberapa kendaran roda dua. Kapal ini milik Departemen Kehakiman. Jika di antara kalian ada yang berniat menjenguk narapidana di Nusakambangan, pastinya akan menaiki kapal tersebut. Waktu tempuh penyeberangan dari Cilacap – Nusakambangan sekitar 15 menit.

Tentu kalian tidak asing dengan nama Kapal Pengayoman. Setiap ada narapidana yang dipindah menuju lapas di Nusakambangan pasti naik kapal tersebut. Bahkan ketika ada berita eksekusi teroris dan lainnya di Nusakambangan, segala yang berkaitan penyeberangan naik kapal ini dan tingkat keamanannya lebih ketat.

Laju perahu yang kunaiki masih menuju timur, mendekati Pelabuhan Sodong. Perahu wisatawan diperbolehkan mendekat dengan jarak tertentu. Aku sudah berujar pada pemandu sekaligus pengemudi kapal agar rutenya ke sini dulu baru menuju pantai yang digunakan sebagai objek wisata.

Mendekat di pelabuhan, aku melihat ada beberapa perahu kecil yang tidak jauh dari pulau Nusakambangan. Mereka adalah perahu nelayan setempat, dari sini kulihat mereka sedang asyik memancing ikan. Warga setempat memang diperbolehkan memancing di dekat pulau Nusakambangan. Sementara bagian atas rerimbunan pohon lebat yang terlihat.
Perahu-perahu nelayan setempat memancing di dekat Pulau Nusakambangan
Perahu-perahu nelayan setempat memancing di dekat Pulau Nusakambangan

“Di dekat Pelabuhan ini adalah lapas untuk para tanahan narkoba.”

Pelabuhan Sodong tidak panjang, hanya pendek dan langsung mendarat di depan gerbang bertuliskan Pemasyarakatan Nusakambangan. Di sana sudah bersandar Kapal Pengayoman II. Di sampingnya juga terdapat kerahu kecil bersandar. Dari jarak antara 10 meteran, aku membidik gerbang tersebut.

Sebuah reklame besar bertuliskan “Mari Wujudkan Lingkungan Keluarga Sehat, Kuat, Hebat Tanpa Narkoba.” Perahu yang kunaiki berhenti, aku terus memotret aktifitas di sana. Seperti inilah aktifitas di Pelabuhan Nusakambangan dihari-hari biasa.
Pemandangan pelabuhan Sodong di Nusakambangan
Pemandangan pelabuhan Sodong di Nusakambangan
Pemandangan pelabuhan Sodong di Nusakambangan

“Kalau yang seperti teroris itu di mana mas?” Celetukku.

“Lokasinya tidak berdekatan mas, tetap dibedakan dan berjarak.” Jawabnya.

Aku tidak merespon lebih lagi, toh itu hanya pertanyaan yang tak sengaja terujar. Akupun sudah tahu jawabannya seperti itu, lagipula belum tentu Mas tersebut tahu di mana lokasi tepatnya. Dari berbagai informasi kudapatkan jika di sana ada 7 lapas yang masih aktif digunakan. Lapas tersebut adalah Lapas Terbuka, Lapas Besi, Lapas Batu, Lapas Kembang Kuning, Lapas Permisan, Lapas Pasir Putih, dan Lapas Narkotika yang tidak jauh dariku ini.

“Kita lanjut ke pantainya.”

Perahu berputar, kami kembali menyusuri Segara Anakan menuju arah barat. Rencananya aku akan menepi di salah satu pantai di sana. Hanya ingin bermain air, mumpung sudah sampai di sini. Air laut terlihat seperti hijau pekat, tak terlihat dasarnya seperti apa. Yang kurasakan adalah arusnya deras.

Terlihat sebuah dermaga panjang, berbeda dengan pelabuhan Sodong tadi yang langsung merapat di daratan. Kali ini pelabuhannya cukup panjang. Di ujung jembatan terlihat dua orang sedang bekerja.
Pemandangan tak kalah menarik di Pulau Nusakambangan dari Segara Anakan
Pemandangan tak kalah menarik di Pulau Nusakambangan dari Segara Anakan

“Itu pelabuhannya pabrik semen di Nusakambangan.”

Tahu sama pemandu ini dengan rasa penasaranku. Aku baru ingat kalau di sini pun ada pabrik semen. Aku duduk di ujung perahu, menikmati hempasan angin. Masih terpasang pelampung di badanku, kali ini aku ingin berkunjung ke salah satu pantai di Pulau Nusakambangan. Namanya juga anak pantai, kalau urusan main ke pantai pasti langsung semangat. *Menyeberang ke Nusakambangan pada hari Sabtu, 21 Januari 2017. 
STG. Kennedy (Wisata Bahari Nusakambangan)
Nomor HP: 0852-9296-6912

Tujuan Wisata: Gua Segit Sela, Pasir Putih, Benteng Bersejarah, Paket Mancing

Melihat Pembuatan Blangkon di Desa Wisata Bejiharjo, Gunungkidul

$
0
0
Melihat Pembuatan Blangkon di Desa Wisata Bejiharjo, Gunungkidul
Melihat Pembuatan Blangkon di Desa Wisata Bejiharjo, Gunungkidul

Pakaian yang kukenakan belepotan, cipratan tanah dari ban Jeep saat off road Pindul di Sungai Oyo berhamburan. Tak ayal, kaosku yang awalnya berwarna putih berubah menjadi kecoklatan. Seru sekali menyusuri rute off road di tanah liat digabungkan dengan terjun ke Sungai Oyo. Jika kalian berminat, kalian bisa menghubungi Mas Arif (pengelola) di Desa Wisata Dewa Bejo.

“Kita langsung melihat cara pembuatan Blangkon. Habis itu istirahat di homestay dan menunggu jemputan.”

Mas Arif dari semalam mengkoordinasi kami ketika berkunjung di Desa Wisata Bejiharjo memberi arahan. Beliah adalah salah satu pengelola di Dewa Bejo. Dewa Bejo menawarkan banyak pilihan berwisata, dan yang paling terbaru off road Pindul.

Tiga jeep melibas jalan tanah bebatuan menuju padukuhan Bulu, Desa Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo. Selama perjalanan, kami berpapasan dengan warga setempat. Asyiknya di sini, kami bisa saling sapa. Bahkan anak-anak kecil sempat melambaikan tangan dan tersenyum. Sebuah kesan yang menyenangkan. Secara tidak langsung kami berinteraksi dengan warga setempat.

“Silakan masuk mas/mbak!” Sambut wanita dari dalam rumah.

“Kotor semua bu. Ada kran?” Tanyaku seraya memperlihatkan pakaian yang kukenakan.

“Di belakang mas.”

Aku menuju pintu yang ada di belakang, langsung masuk ke dalam kamar mandi. Kubasuh kaki, tangan, dan wajah dari cipratan tanah. Teman-teman yang lain turut antri di belakang. Setelah kurasa agak mendingan, aku masuk ke dalam rumah. Di sini terdapat banyak blangkon berserakan.
Bu Erna mempraktekkan cara menjahit blangkon
Bu Erna mempraktekkan cara menjahit blangkon

Bu Erna menyambut kamu dengan riang. Beliau menjelaskan kalau suaminya sedang ada acara, sehingga tidak bisa menemai. Menurut beliau, usaha pembuatan Blangkon ini dirintis pada tahun 2007. Di dukuh Bulu ini sudah ada 10 kelompok pembuatan Blangkon. Sebelumnya suami bu Erna, Pak Suratno sudah lama merintis membuatan blangkon.

Ada banyak macam blangkon yang dibuat. Mulai dari yang paling mudah sampai pengerjaannya sulit dan membutuhkan keahilan khusus. Pembuatan Blangkon yang tingkat kesulitannya tinggi itu yang dijahit tanpa menggunakan alat perekat.

“Jenis blangkon apa saja yang ibu buat?”

“Banyak mas. tergantung permintaan. Tapi paling banyak sih membuat Blangkon Mataraman dan Solo.”

Pembuatan blangkon disesuaikan dengan pesanan. Misalnya yang memesan dari Solo, berarti membuat Solonan. Bu Erna mempraktekkan cara membuat Blangkon. Sambil terus menjahit, aku dan rombongan bertanya-tanya.

“Ini ada ukurannya tidak bu?”

“Ada mas. Untuk orang dewasa dan anak-anak. Tapi tidak diukur semua.”

Kalau yang koden (pembuatan dalam jumlah banyak) buatnya langsung tanpa ukuran. Blangkon pesananlah yang ada ukurannya. Karena tiap dari mereka yang memesan harus menyertakan ukuran terlebih dulu. Koden itu istilah untuk blangkon paling murah dan diproduksi secara massal. Menurut Bu Erna, proses yang paling susah pembuatan blangkon itu merangkainya. Kalau menjahitnya paling mudah.
Berbagai jenis Blangkon buatan Bu Erna dan suami
Berbagai jenis Blangkon buatan Bu Erna dan suami

Aku kurang begitu tahu perbedaan yang mencolok antara Blangkon Mataraman dan lainnya. Di sini beliau menjelaskan jika beda antara Blangkon Mataraman dan lainnya itu ada pada bentuk dan motifnya. Bentuk itu mengacu pada bedolan yang ada di belakang blangkon. Blangkon yang belakangnya terepes atau tidak ada bendolannya itu bentuk blangkon Solo.

“Bendolannya terbuat dari kapuk mas.”

Dalam kurun waktu satu hari, Bu Erna bisa menghasilkan paling sedikit tiga blangkon Mataraman. Tiap blangkon mempuyai perbedaan, di antaranya yang berbeda adalah motif dan bentuknya. Kalau mataraman bentuknya separoh iket. Bendolan di paling belakang dikasih kapuk. Bu Erna masih terus menjahit blangkon bertopang pada Plonco. Plonco adalah Tempat cetakan blangkon namanya Plonco.
Tempat cetakan blangkon namanya Plonco terbuat dari kayu
Tempat cetakan blangkon namanya Plonco terbuat dari kayu

“Perbedaan blangkon dijahit dan di lem pitu gampang mas. Kalau pembuatannya kalau pakai lem jadinya keras, kalau tidak pakai lem blangkonnya lemas,” Terang Bu Erna.

“Blangkon bisa awet tergantung pemakaian yang punya, karena tidak semua orang bisa merawat dengan baik. Intinya kalau yang punya bisa merawa dengan baik, blangkon tersebut akan bertahan lama.”

Untuk kainnya biasanya Bu Erna dapatkan dari Bantul. Bisa juga beliau dapatkan dari para pemesan yang membawa sendiri kainnya. Hebatnya lagi, bu Erna dan suami sering mendapatkan pemesanan dari Keraton Yogyakarta.

“Sering juga dapat pesanan dari Keraton, bahkan kainnya bagus-bagus lagi. Kainnya lebih pakem lagi.”

Istilah pakem di sini adalah kualitas kain yang digunakan memang bagus dan terbaik. Pembuatan blangkon yang jahit tanpa lem dibuat hanya beliau berdua. Beliau juga menambahkan jika Blangkon yang dijahit dijual perbiji.

Pemesanan blangkon tidak hanya dari wilayah Jogja saja, pernah beberapa kali beliau mendapatkan pesanan blangkon dari Solo, bahkan Madura. Tiap daerah memesan sesuai dengan modifikasinya. Menurut beliau, pernah sekali mendapatkan pesanan 150 buah blangkon. Waktu itu yang pesan adalah Pokdarwis dan Karang Taruna Desa Wisata Nglanggeran.

“Berapa kisaran harga blangkon dari yang murah sampai ke yang mahal bu?

Bu Erna sejenak menghentikan aktifitasnya. Beliau mencari jarum lain yang akan digunakan untuk menjahit. Di depannya sudah ada banyak jenis jarum, ada yang kecil dan pendek, ada pula yang panjang. Mungkin lebih dari selusin jenis jarum yang digunakan.

“Harganya tergantung dari kualitas kain dan proses pembuatannya mas. Paling murah itu Rp. 40.000, biasanya yang Blangkon Iket. Ada juga yang harganya Rp. 60.000. Kalau kisaran yang mahal ada yang mencapai harga Rp. 300.000an.”
Harga blangkon cukup bervariasi, tergantung tingkat kesulitannya
Harga blangkon cukup bervariasi, tergantung tingkat kesulitannya

Pasang surut pemesanan blangkon telah dirasakan para pembuat blangkon. Mereka bergantung pada pemesanan, jika ada banyak pemesanan dari luar kota dan lainnya. Tentu omset yang didapatkan juga melimpah. Beruntung para sanggar seni Ketoprak, Wayang, Dalang, dan lainnya secara berkala memesan blangkon di sini. Beliau memaparkan jika omset yang didapatkan mencapai Rp. 4 juta per bulan.

“Selain dari pemesanan tersebut, mungkin kami sedikit terbantu dengan program sekolah yang mewajibkan siswa memakai blangkon tiap Kamis Pahing. Jadi mereka banyak yang membeli blangkon di tempat kami.”

“Kalau mendampingan dari pemerintah itu dari Dinas Pariwisata. Biasanya dari dinas memfasilitasi kami saat ada Pameran di manapun lokasinya. Seperti sedang mempromosikan hasil yang kita punyai.”

Blangkon hasil buatan Bu Erna dan suami tidak mempunyai hak paten (merek). Beliau mengungkapkan jika pernah ada membuat merek sendiri, tapi ditangguhkan dengan berbagai alasan. Bagi beliau rejeki itu tidak bakal tertukar. Jika hasil blangkonnya baik, tentu banyak orang memesan ke sini. Terlebih sekarang bisa dijual secara online.

Tak terasa kami sudah lumayan lama di sini. Teman-teman pun merasa cukup puas dengan apa yang dijelaksan bu Erna. Sayang sekali kami tidak bertemu dengan suami bu Erna yang sudah merintis pembuatan Blangkon sejak lama. Kami mencoba memakai blangkon untuk diabadikan. Gelak tawa panjang ketika melihat aku salah menggunakan blangkon.
Sudah bisa jadi grup boyband kah? Cakep kan kalau pakai blangkon.
Sudah bisa jadi grup boyband kah? Cakep kan kalau pakai blangkon.

“Membuat blangkon itu tergantung niat, kalau niatnya memang besar pasti cepat bisa. Regenerasi pembuatan blangkon ada tapi tidak begitu banyak peminatnya. Rata-rata yang ikut latihan pembuatan blangkon malah ibu-ibu keluarga. Nggak tahu besok generasinya siapa. Mudah-mudahan saja ada,” Tutur beliau kala salah satu temanku menanyakan apakah anak-anak beliau akan meneruskan usaha blangkon di Bejiharjo.

Waktu bergerak dengan cepat, tak terasa kami sudah mendekati pukul 11 siang. Kami harus berkemas, membersihkan diri dan menunaikan sholat jum’at di masjid dekat sekretariat Dewa Bejo. Selain Bejiharjo, di Gunungkidul ada banyak tempat pembuatan Blangkon seperti di Semanu, Playen juga ada.

Sebuah pengalaman yang menarik bagiku. Melihat bagaimana proses pembuatan blangkon di rumah, berinteraksi dengan mereka, dan mendapatkan banyak informasi yang tidak pernah terpikirkan olehku sebelumnya. Sebuah harapan besar tersirat dalam obrolan kami dengan bu Erna mengenai siapa generasi mendatang yang akan melanjutkan pembuatan blangkon di desa Bejiharjo.

Diakhir obrolan sebelum pamit, aku dan rombongan mendapatkan nomor hp milik Bu Erna. Jika kalian ingin memesan blangkon di desa Bejiharjo, silakan hubungi nomor Bu Erna Bejiharjo di 0877-3843-4466 atau langsung menuju rumah beliau di Dukuh Bulu, Bejiharjo, Karangmojo, Gunungkidul.

*Rangkaian kegiatan Travel Blogger Explore Desa Wisata Jogja (Hastag #EksplorDeswitaJogja) dipersembahkan oleh Forkom Desa Wisata Yogyakarta 24 - 26 Februari 2017.

Melepas Lelah di Hotel Horison Ultima Malang

$
0
0
Melepas Lelah di Hotel Horison Ultima Malang
Melepas Lelah di Hotel Horison Ultima Malang

Sepertinya Malang masih menjadi kota yang sering kukunjungi dalam kurun waktu satu tahun. Ini kali ketiga aku ke Malang. Jika biasanya aku langsung naik Kereta Api Malioboro Ekspres ke Malang, kali ini tiket yang ada di tangan tujuannya Surabaya. Aku menaiki Kereta Api Sancaka turun Surabaya, dan melanjutkan perjalanan naik bus ke Malang.

Tujuanku kali ini adalah Hotel Ultima Horison, lokasinya Jl. Green Boulevard No. 2, Purwodadi, Malang, Kota Malang. Berhubung aku datang malam hari, tak banyak yang kuabadikan. Bahkan setelah mendapatkan kunci kamar, aku langsung tidur. Terasa melelahkan juga perjalanan Jogja – Surabaya – Malang.

Menjelang pagi aku baru menyempatkan berkeliling area hotel sebelum agenda selama di Malang dimulai. Depan hotel cukup rimbun pepohonan, bahkan pagi ini kulihat ada sekeluarga sedang asyik menggelar tikar di area tanah lapang nan rimbun tersebut. Sekilas mirip dengan taman kota, lahan tersebut digunakan untuk bersantai di akhir pekan.
Bangunan Hotel Horison Ultima Malang
Bangunan Hotel Horison Ultima Malang

Sementara itu di jalan dekat Hotel Ultima Horison ini cukup banyak orang berlalu-lalang sekedar jogging maupun bersepeda. Parkir kendaraan pun tak sulit. Mobil-mobil tertata rapi di tempat parkir. Selain itu, di bagian depan juga terlihat bus yang terparkir memanjang.

Tidak jauh dari area hotel, di tepi jalan ada rombongan berkumpul. Sepertinya mereka juga tamu yang menginap di hotel. Karena tadi di dalam hotel sempat berpapasan dengan pengunjung lain yang menggunakan kaos sama. Mereka di tepi jalan (luar hotel) untuk merokok. Di Hotel Horison Ultima memang terdapat larangan merokok.

Bagian lobi hotel dikonsep ala Imlek. Sewaktu aku ke sini bertepatan dengan Perayaan Imlek. Jadi hampir semua bagian lobi dibuat semacam menyambut perayaan Imlek. Aku melihat ada dua spot yang berisi sofa warna-warni. Sementara itu di bagian sudut juga ada tempat khusus bermain anak-anak.
Bagion lobi hotel uhorison ultima Malang
Bagion lobi hotel uhorison ultima Malang

Poster Spiderman besar menjulang di jendela. Di bawahnya bertuliskan Kids Corner. Sudah jelas rasanya jika ada yang menginap dan mempunyai anak kecil bisa bermain di sini. Sudut ruangan ini didesain sedemikian rupa agar menarik perhatian anak-anak. Tidak hanya poster Spiderman saja, ada juga poster kupu-kupu.

Walau tidak luas, aku rasa cukup bagus jika tiap hotel mempunyai tempat khusus bermain anak-anak. Ruangan khusus anak bisa menjadi pertimbangan keluarga untuk menginap. Menyenangkan bukan jika ada tempat seperti ini, setidaknya anak-anak dapat bermain di luar kamar ketika sedang menginap di hotel.
Kids Corner untuk bermain anak-anak
Kids Corner untuk bermain anak-anak

Selama dua malam di sini, tak banyak yang kuabadikan. Bahkan aku memotret bagian kamar pun pada hari kedua. Di lantai 3, aku melongok ke arah luar. Dari jendela terlihat menjulang tinggi gunung. Entahlah gunung apa itu, mungkin gunung Arjuna. Lorong-lorong hotel berwarna kalem.

Di dalam kamar tampak bersih. Sebuah bed berukuran besar dipadu dengan bantal yang empuk membuatku nyaman saat tidur. Mungkin sedikit kurang di sini tidak disediakan guling. Ada banyak saklar lampu. Jadi aku bisa memilih lampu-lampu mana yang hidup kala aku sedang ingin tidur.
Bed berukuran besar dipadu dengan bantal yang empuk
Bed berukuran besar dipadu dengan bantal yang empuk

Di beberapa titik juga sudah tersedia colokan listrik. Aku bisa dengan leluasa memakai untuk mengisi baterai kamera dan smartphone. Biasanya aku membawa laptop saat bermain, tapi tidak pada saat ini. Sengaja aku tak membawa laptop, padahal di dalam kamar tersedia sofa dan juga meja untuk menaruh laptop.

Kadang kusempatkan untuk membuat draft tulisan saat berada di hotel, kali ini aku benar-benar menikmati waktu di hotel hanya untuk tidur dan bermalas-malas ria saja. Laci baju tepat berada di belakang pintu, kulkas mini pun tersedia. Selama di hotel yang kulakukan hanya menonton tv saja.
Mumpung masih rapi, jadi diabadikan
Mumpung masih rapi, jadi diabadikan

Seperti di tempat lain, salah satu yang pasti aku periksa adalah kamar mandinya. Peralatan lengkap untuk mandi sudah disiapkan dengan baik. hal ini membuat kita sebagai pengunjung yang menginap menjadi lebih tenang. Memang kebersihan kamar mandi menjadi patokan pada sebuah hotel. Tidak jarang penilaian baik/buruk itu dinilai dari kamar mandinya.
Kamar mandi di hotel
Kamar mandi di hotel

Pagi hari (dihari kedua), aku kembali menyempatkan mengambil foto seadanya sebagai selingan saja sambil menikmati suasana pagi. Tujuanku kali ini mengabadikan kolam renang yang ada di bawah. Sejak kemarin aku belum sempat mengabadikan. Hanya sekadar lewat.

Kulangkahkan kaki menuju lobi. Di sana yang ingin kuabadikan adalah kolam renangnya.  Kolam renang terletak di belakang, tidak jauh dari resto. Bahkan hanya beberapa meter saja dari tempat resepsionis.

Jejeran kursi untuk berjemur, corak lantai berwarna gelap kontras dengan kolam renangnya yang biru. Pagi ini tidak ada yang berenang, aku cukup puas memotret dan bermain air di sudut kolam. Tertata juga meja dan kursi di dekat pembatas dengan resto. Meja dan kursi itu biasanya digunakan para pengunjung duduk saat sarapan.
Kolam renang Hotel Horison Ultima Malang
Kolam renang Hotel Horison Ultima Malang

Kolam renang memanjang terbagi menjadi dua bagian. Di sana sudah dijelaskan berapa meter kedalamannya. Jika ingin bermain di kolam bareng anak kecil, tentu kolam yang dangkal menjadi pilihan. Untuk kali ini aku tidak berenang, biasanya sih menyempatkan berenang sewaktu pagi.

Puas bersantai di kolam renang, aku menuju restoran. Sarapan pagi dibuka pukul 06.00 WIB. Tepat di pintu masuk ke dalam restoran terdapat dua pramusaji yang berjaga.

“Kamar nomor berapa mas?”

“310 mbak.”

Seperti biasa, tugas pramusaji memastikan nomor kamar tersebut. Aku sendiri langsung berkumpul dengan pengunjung lain yang sudah menikmati sarapan. Menu utama tentu Nasi Goreng. Selain itu kita bisa memesan di tempat-tempat tertentu atau mengambil sendiri di tempat yang sudah disediakan.
Menu sarapan pagi ini
Menu sarapan pagi ini

Rasanya selama dua malam di sini cukup puas. Walau dua hari disibukkan dengan agenda padat. Pengalaman menginap di hotel ini memberikan kesan bagus. Dimulai dari penyambutan saat datang sampai kembali lagi balik ke Jogja. Bagi kalian yang berkunjung ke Kota Malang, kalian bisa menjadikan hotel ini sebagai pembanding saat akan menginap di Malang. *Menginap di Hotel Horison Ultima Malang 27 – 29 Januari 2017.


Hotel Horison Ultima Malang
Jl. Green Boulevard No. 2, Purwodadi, Malang, Kota Malang, Jawa Timur 65125

Memetik Buah Salak di Desa Ekowisata Pancoh, Sleman

$
0
0
Memetik Buah Salak di Desa Ekowisata Pancoh, Sleman
Memetik Buah Salak di Desa Ekowisata Pancoh, Sleman

Bunyi alarm terdengar nyaring, aku terbangun sesaat. Kulirik jam dinding yang terpasang di tembok. Sudah pagi rupanya, sejurus kulangkahkan kaki menuju kamar mandi dan berwudu. Dingin benar air di sini, seketika rasa ngantuk menghilang.

“Pagi ini kita main air nggak?”

“Nyusur sungai. Tapi sebelumnya kita ke kebun Salak dulu.”

Entah siapa yang menjawab dari arah kamar, antara Hanif atau Rifky. Pagi di Desa Ekowisata Pancoh benar-benar sejuk. Bahkan ketika berbicarapun seperti sedang mengeluarkan asap. Dipikiranku, cuaca seperti ini paling enak kembali tarik selimut.

Jika tidak ada agenda memetik buah Salak, tentu kami masih bermalas-malasan. Kami sudah janjian dengan Pak Ngatijan, beliau adalah pengelola Desa Ekowisata Pancoh. Pancoh sebenarnya Padukuhan yang berada di Desa Girikerto, Kecamatan Turi, Sleman. Kami teringat kalau pagi ini harus kumpul pukul 06.00 WIB. Tanpa pikir panjang, sehabis meneguk Teh hangat dan sajian kue tradisional, aku, Hanif, dan Rifky menuju aula.
Teman-teman berjalan menuju Kebun Salah di Desa Wisata Pancoh
Teman-teman berjalan menuju Kebun Salah di Desa Wisata Pancoh

Di aula, Pak Ngatijan dan beberapa warga setempat sudah menanti kami. Lagi-lagi di sini kami disuguhi makanan tradisional. Sebelum memetik buah Salak, kami mendapatkan sedikit informasi mengenai Desa Ekowisata Pancoh.

“Awal terkenalnya Desa Ekowisata Pancoh itu setelah erupsi Merapi tahun 2012. Tapi sebelumnya kita memang sudah membentuk kawasan Pancoh ini sebagai Ekowisata Desa.”

“Oya, kami juga mempunyai tagline; Lestari Alamku, Lestari Desaku,” Tandas Pak Ngatijan.

Hawa dingin masik menyeruak ke dalam tubuh. Lokasi yang tidak jauh dari Gunung Merapi membuat desa ini menawarkan suasana nyaman kala pagi. Perjalanan dilanjutkan menuju kebun Salak milik warga setempat. Tidak jauh lokasinya dari aula, hanya menyeberangi jalan besar saja. Kabut tipis terlihat di ujung jalan, udara masih bersih.
Suasana pagi di Desa Wisata Pancoh
Suasana pagi di Desa Wisata Pancoh

Di ujung sana, terlihat Gunung Merapi nampak kokoh berkharisma. Begitu jelas puncaknya terlihat dari sini. Aku memandangnya untuk beberapa saat.

“Merapi tak pernah ingkar janji,” Gumanku sendiri.

Seorang bapak yang  tidak jauh dariku tersenyum mendengar gumananku. Beliau tentu jauh lebih paham dengan siklus Merapi.

Setiap sisi kanan dan kiri dipenuhi kebun Salak. Hampir semua pohon juga berbuah. Aku dan rombongan menyeruak ke dalam lahan kebun Salak. Di sini kami dibebaskan mau memetik dan makan sepuasnya.
Puncak Gunung Merapi Terlihat Cerah kala pagi
Puncak Gunung Merapi Terlihat Cerah kala pagi

Pemilik kebun Salak di sini perorangan. Jadi hampir di setiap samping rumah ada banyak lahan kebun Salak. Warga Desa Ekowisata Pancoh sudah mengatur secara bergantian kebun mana yang akan dipetik jika ada tamu yang berkunjung.

Aku dan teman rombongan menggali informasi mengenai perkebuhan Salak dari beberapa narasumber yang ada di sana. Diruntut dari sejarahnya, perkebunan Salak ini dimulai pada tahun 1980an. Warga setempat memilih Salak daripada Palawija karena sekali tanam dan dapat panen berkali-kali.

Ketika belum sempat berbuah, di sekeliling pohon Salak masih bisa diselingi tanaman palawija. Istilah penanaman palawija seperti Singkong atau Cabai yang ditanam di sela-sela kebun Salak adalah Tumpang Sari.
Perkebunan Salak di Desa Pancoh
Perkebunan Salak di Desa Pancoh

“Dulu harga 1 kg Salak itu harganya sama dengan 10 kg Beras mas. Sekarang 5 kg Salak baru bisa seharga 1 kg Beras.”

“Harga salak itu berapa sih pak per kilonya?”

“Tergantung jenisnya mas. Kalau Salak Pondoh itu 4 ribu, kalau Salak Madu biasanya dua kali lipatnya harga Salak Pondoh. Ya antara 7-8 ribuan per kilo.”

“Kalau yang paling mahal pak?” Tanyaku.

“Paling mahal itu Salak Gading, harganya bisa sampai 15 ribu per kilo. Itu juga bisa lebih tinggi.”

Dituturkan beliau harga Salak Gading lebih tinggi karena belum banyak yang menanamnya. Selain itu banyak informasi yang mengatakan khasiat Salak Gading cukup melimpah. Sedangkan Salak yang popular ditanam adalah Salak Pondoh. Tidak hanya di lereng Gunung Merapi saja, Salak Pondoh juga sudah banyak tanam di kawasan Banjarnegara dan daerah-daerah dataran tinggi lainnya.

Aku berkeliling melihat banyaknya pohon Salak dan siap panen. Terbayang jika semuanya panen, akan dijual ke mana semua buah Salak ini. Sesekali aku memetik buah Salak dan kumakan. Terasa beda kalau makan hasil petikan langsung dengan beli di pasar. Jauh lebih segar dan manis rasanya.
Salaknya menggoda untuk dipetik
Salaknya menggoda untuk dipetik

Proses penanaman pohon Salak bisa dengan cangkok ataupun menanam dengan biji. Jika ingin mendapatkan hasil yang memang bagus, direkomendasikan menanam Salak dari hasil cangkok. Kata bapak yang menemaniku, jika menanam dari biji biasanya buahnya nanti rasanya agak sepat. Salak yang ditanam dari biji biasanya disebut dengan nama Salak Jawa.

Lumayan lama juga proses penanaman sampai bisa panen. Rata-rata membutuhkan waktu sampai 3 tahun baru bisa panen pertama. Selama itu juga pemilik kebun Salak harus membersihkan tumbuhan liar yang ada di sekitar lahannya.

“Sedang apa itu pak?” Tanyaku penasaran.

Bapak pemilik lahan Salak seperti mencacah bunga Salak.

“Ini namanya mengawinkan mas. Bunga Salak Jantan dikawinkan ke Bunga Salak Betina,” Seraya menunjukkan bunga salak lainnya yang masih menempel.
Proses pengawinan Bunga Salak Jantan ke Bunga Salak Betina
Proses pengawinan Bunga Salak Jantan ke Bunga Salak Betina

Baru tahu akau proses perkawinan eh penyerbukan bisa dilakukan secara manual. Selesai dilakukan proses penyerbukan, kemudian ditutupi dengan daun  Pisang. Tujuannya agar tidak terkena hujan dan gagal berbuah nantinya.

Bapak tersebut berlalu dari tempat yang tadi dilakukan penyerbukan secara manual. Beliau menjawab beberapa pertanyaan teman tidak jauh dari sana. Aku melongok bagaimana bentuk bunga jantan yang tadi seperti dicacah-cacah bapak menggunakan parang.

“Jangan diintip, itu sedang kawin,” Gurau temanku dari belakang.

Sontak kami tertawa. Ada-ada saja masa mengintip bunga Salak jantan dan betina kawin. Pada tahapan pengawinan dilakukan setelah dua hari saat bunga mekar. Setelah itu kita tinggal menunggu waktu 5-6 bulan untuk memanennya.
Selesai proses pengawinan harus ditutupi dengan daun pisang agar tidak kena hujan
Selesai proses pengawinan harus ditutupi dengan daun pisang agar tidak kena hujan

“Mas/mbak, jangan sungkan-sungkan loh kalau mau metik. Masa dari tadi cuma ngobrol-ngobrol saja,” Kata Pak Ngatijan.

Kami tersenyum lebar, mungkin Pak Ngatijan lupa kalau sedari tadi kami sudah memetik dan makan buah Salak. Beruntungnya makan buah Salak pada saat pagi hari dan belum sarapan pun tidak masalah.

“Iya pak ini kami juga metik kok,” Sahut kami kompak.

Seperti sedang kuliah saja. Sehabis mendapatkan teori dan praktik, kami lanjut memetik Salak dan dimakan bersama. Ada beberapa jenis Salak yang dikenal, di antaranya Salak Jawa, Salak Pondoh, Salak Madu, dan Salak Gading.
Mbak Dwi memetik Salak di area perkebunan
Mbak Dwi memetik Salak di area perkebunan

Untuk membedakan secara fisik, Salak Madu sisinya lebih rata dan halus. Berbeda dengan Salah Pondoh yang cenderung kasar walau warnanya hampir mirip. Sementara Salak Gading warnanya agak kuning. Kalau rasa Salak Madu lebih banyak airnya dan lebih manis dibanding Salak lainnya. Sedangkan Salak Gading rasanya lebih sepat, mirip seperti Salak Jawa hanya beda warna sisiknya.

“Begini cara mengupas Salak agar jari kalian tidak tergores,” Salah seorang warga mempraktikkan.

Salak ditaruh dikedua tangannya, lalu ditekan hingga berbunyi dan kulit Salak mengelupas. Bahkan bapak itu bisa melakukannya dengan satu tangan. Aku mencoba praktik, tapi terasa sulit. Belum terbiasa mungkin. Benar juga kata bapaknya jika dikupas dengan menggunakan Ibu jari bisa menggores jari dan terluka. Tuh mending terluka di jari atau terluka di hati?
Ternyata ada caranya mengupas Salak biar nggak tergores jarinya
Ternyata ada caranya mengupas Salak biar nggak tergores jarinya

Selama pagi ini, kami (travel blogger) yang mengikuti kegiatan di kebun Salak mendapatkan banyak informasi dan pengalaman. Selain itu, kami juga sudah puas bisa makan Salak. Yang terpenting adalah kami bisa menambah saudara dengan para warga di Desa Ekowisata Pancoh. Aku percaya dari kami bersembilan, satu orang yang paling antusias saat mengunjungi kebun Salak adalah Rifky. Karena sewaktu kuliah, jurusan dia tentang kehutanan dan perkebunan.

“Ayo kita masih ada satu tempat lagi yang dikunjungi. Kalau mau basah-basahan ya bisa,” Ujar Pak Ngatijan pada kami.

Bergegas kami keluar dari perkebunan Salak, tidak lupa memetik beberapa buah Salak yang akan kami makan saat berjalan. Ucapan terima kasih pada bapak yang mempunyai lahan, duh kenapa kebiasaanku lupa mencatat nama bapak yang mempunyai lahan Salak. Intinya pagi ini kami senang bisa diajak keliling masuk ke dalam perkebunan Salak dan bisa makan Salak sepuasnya.

*Rangkaian kegiatan Travel Blogger Explore Desa Wisata Jogja (Hastag #EksplorDeswitaJogja) dipersembahkan oleh Forkom Desa Wisata Yogyakarta 24 - 26 Februari 2017.

Tertarik berkunjung ke Desa Ekowisata Pancoh? Di sini tidak hanya berkegiatan memetik Salak saja. Ada banyak kegiatan outbond yang bisa dilakukan oleh siswa/mahasisawa/umum di sini. Jika tertarik mengunjungi bisa menghubungi nomor di bawah ini.

Desa Ekowisata Pancoh
Alamat: Pancoh, Girikerto, Turi Sleman
Telepon: 081-802-652-540 (Pak Ngatijan)/ 081-328-002-856 (Menuk)
Sosial Media: @Desaekowisatapancoh (Instagram)

La Kana Chapel, Tempat Pernikahan Romantis di Bandungan, Semarang

$
0
0
 La Kana Chapel, Tempat Pernikahan Romantis di Bandungan, Semarang
 La Kana Chapel, Tempat Pernikahan Romantis di Bandungan, Semarang

Jalan berliku dan menanjak menuju Bandungan kulintasi. Motor metik yang kunaiki sepertinya sudah terbiasa melibas tanjakan. Belum terlihat keramaian sepanjang perjalanan, padahal aku berangkat pukul 10.00 WIB. Apa mungkin akhir pekan ini tidak banyak yang ke Bandungan? Atau aku yang terlalu pagi.

Perjalanan bukan dari Jogja, aku mengendarai motor dari kawasan Unnes. Sebelum berangkat, kusempatkan melihat Google Maps. Jarak dari tempatku duduk sampai lokasi yang kutuju sekitar 27 KM. Bagi orang yang jarang mengendarai motor sepertiku jarak tersebut lebih terasa jauh dibandingkan jika naik sepeda. Sepanjang perjalanan aku tidak sempat mengabadikan ruas jalan yang tidak terlalu ramai.

“Yakin kita ke sana?” Tanyaku memastikan.

Gadis berjilbab di sampingku mengangguk. Dia beranjak masuk ke dalam rumah mengambil helm dan jaket. Aku menungguinya di teras, kuperiksa kamera yang ada di dalam tas. Semuanya lengkap, dan baterai pun kubawa dua. Sejujurnya ini adalah perjalanan pertamaku dari Gunungpati ke Bandungan.

La Kana Chapel adalah tujuanku. Bangunan yang biasanya digunakan untuk tempat pernikahan/pemberkatan yang berada di area Susan Spa Resort ini memang sedang melejit. Tidak sedikit foto-foto yang tersebar di Instagram berfoto dengan latar belakang kapel. Coba kalian buka Instagram dengan tagar #lakanachapel atau #susansparesort tentu akan mendapati banyak foto tentang bangunan tersebut.

Dari kejauhan bangunan kapel tersebut terlihat jelas. Mudah sekali mencarinya, karena bangunan tersebut berbeda bentuknya dibanding bangunan lain yang ada di sekitarnya. Aku mengikuti petunjuk arah ke Susan Spa Resort. Lokasinya tidak jauh dari Pasar Bandungan, dari sana sebuah plang besar menunjukkan jalan. Kumasuki area Susan Spa Resort, dan memarkirkan kendaraan. Ternyata sudah ada banyak kendaraan yang terparkir rapi.

“50 ribu untuk dua orang mas. Nanti tiketnya bisa ditukar dengan voucher di restoran dengan nilai nominal yang sama.”
Memasuki area Susan Spa & Resort
Memasuki area Susan Spa & Resort

Usai membayar tiket masuk, kami berdua menyusuri jalanan yang mengarahkan ke chapel. Siang ini agak mendung, jadi tidak terasa panas. Terlebih hawa di Bandungan lebih dingin. Sebuah tanah lapang luas kulewati, di setiap sudut terdapat gazebo. Ada juga burung yang dipelihara dalam sangkar besar.

Susan Spa & Resort merupakan hotel yang menarik. Konsep resort itu yang menjadikan bangunan tidak menjulang tinggi tapi menyebar di beberapa lokasi. Tempat ini sering digunakan untuk acara kantor atau malah resepsi. Kalian bisa menginap di sini atau sekadar untuk Spa.
Menyusuri jalan setapak menuju La Kana Chapel
Menyusuri jalan setapak menuju La Kana Chapel

Kami berdua melewati jalan menuju bangunan lain. Tidak terasa gerimis mengguyur Bandungan, kami beranjak menuju salah satu ruangan berteduh sambil menunggu hujan reda. Di luar sana terlihat bangunan chapel, bangunan kecil dengan warna putih terlihat memikat.

Di dalam ruangan ini ada banyak anak kecil bermain. Ternyata ada spot khusus untuk anak-anak bermain. Cukup luas ruangan untuk anak-anak, ada beberapa orangtua sedang mengasuh anaknya. Tidak banyak permainan, namun cukuplah membuat anak kecil bermain dengan leluasa.
Ruangan bermain untuk anak-anak
Ruangan bermain untuk anak-anak

Sambil menunggu hujan reda, aku memotret La Kana Chapel dari atas bangunan. Bangunan yang dominan warna putih terlihat indah berpadu dengan hamparan rumput hijau. Sementara itu, gadis yang bersamaku masih setia duduk di kursi menunggu hujan reda. Sudah kupastikan, dia tidak sabar ingin berfoto di depan kapel, namun hujan mengharuskan dia lebih bersabar.

Jika cerah tentu pemandangan di luar tidak kalah menarik, dari atas sini terlihat kota yang ada di bawah. Lansekap pemandangan kota Salatiga seharusnya terlihat jelas dari tebing ini, hanya saja hujan membuat pemandangan tidak terlihat.
La Kana Chapel terlihat dari samping
La Kana Chapel terlihat dari samping

“Ayo kita ke chapel. Hujannya sudah reda,” Ajakku.

Kami berdua menuruni tangga, di tembok tertulis peringatan agar berhati-hati saat menuruni tangga karena licin. Terdapat juga petunjuk arah bertuliskan “La Kana Wedding Venue”, juga di atasnya tidak ketinggalan informasi Instagram Susan Spa lengkap dengan tagar #susansparesort.

“Berhenti di sana dulu dek,” Pintaku.

Gadis yang di depanku berhenti, kemudian dia menghadap ke arahku. Jika biasanya aku memotret teman saat main bareng, kali ini ibu Negara bisa dijadikan model gratisan. Minimal ini jadi sogokan buat dia karena jarang aku ajak main bareng. *Semoga nggak ngambek lagi.
Sebelum turun ke bawah, diabadikan dulu
Sebelum turun ke bawah, diabadikan dulu

Kulihat di sekitar La Kana, sudah ada banyak orang yang antri berfoto. Kami masih asyik mengabadikan diri di tangga atas yang menghadap langsung ke chapel. Beruntunglah aku membawa Tripod, jadi tidak perlu repot-repot meminta bantuan orang lain saat akan foto bersama. Jika dilihat lokasinya sih sepertinya asyik buat foto bareng.

Aku tidak serta-merta turun ke bawah, kulihat di dalam Kapel masih ada kegiatan. Kalau terlihat sepintas sih itu sedang foto Pre Wedding. Dua mempelai lengkap menggunakan gaun pengantin dan berpose di luar dan di dalam Chapel. La Kana Chapel memang menjadi salah satu spot foto Pre Wedding yang romantis di Semarang.

Perlu diketahui juga, di sini juga sering dipergunakan untuk resepsi pernikahan. Konsep Outdoor Garden Party ditawarkan di sini. Berbekal lahan luas dengan memandangan yang ciamik, tentu La Kana (Susan Spa & Resort) cukup mudah menarik minat para calon pengantin untuk melakukan resepsi pernikahannya di sini.
Sepertinya La Kana Chapel sedang dipakai untuk foto Pre Wedding
Sepertinya La Kana Chapel sedang dipakai untuk foto Pre Wedding

Uniknya, La Kana Chapel ini dibangun di atas tebing, di belakangnya terdapat semacam tempat untuk memandang Kota Salatiga. Pagar lebih satu meter menjadi pembatasnya. Selain berada di atas tebing, yang mencuri perhatian dari La Kana adalah arsitekturnya. Bagaimana tidak, Chapel kecil ini terlihat seperti bangunan yang ada di Eropa. Bagi orang yang suka memotret, aku yakin mereka akan antusias memotret bangunan tersebut.

“Kita tunggu biar sepi dulu dek,” Ujarku lagi.

Kami berdua menunggu sekelompok remaja yang asyik berfoto ria di depan Chapel. Sebenarnya kami bisa memotret dari sudut lain, tapi menurutku sudut yang paling strategis itu jika dipotret dari depan. Ingin rasanya kami mengeksplore bagian dalam Chapel, hanya saja tidak ada petugas yang berada di dekat. Sehingga keinginan tersebut kutangguhkan. Pasti ada biaya tambahan lagi jika memasuki Chapel tersebut.
Bagus kan bangunan La Kana Chapel-nya? Sudah foto di sini?
Bagus kan bangunan La Kana Chapel-nya? Sudah foto di sini?

Tidak terasa kami sudah lama di sini, entah berapa banyak hasil dokumentasi di depan Chapel. Satu hal yang kurasakan, senang rasanya membuat gadis yang ada di dekatku ini tersenyum lebar. Jarak yang memisahkan Jogja – Semarang membuat kami jarang bertemu. Selama itu pula komunikasi terus berjalan dengan baik.

Bagaimana dengan kami? Apakah kami melakukan foto bersama? Kami berdua tidak melewatkan waktu dan spot romantis ini begitu saja. Kupasang tripod dan mengatur setelan agar bisa berfoto bareng. Menyenangkan bukan bisa berfoto dengan ibu Negara di tempat romantsi untuk pernikahan? Siapa tahu ini adalah kode agar untuk melangkah ke tahapan yang lebih serius.
Mari foto bersama, biarkan kamera mengabadikan kita *eh
Mari foto bersama, biarkan kamera mengabadikan kita *eh

“Kita lanjut makan siang dek.”

Kucari arah menuju restoran, selanjutnya kami berdua menuju resto. Restoran Susan Spa berada di bangunan yang tidak jauh dari La Kana Chapel, sudah lengkap juga petunjuk arahnya. Kami melewati kolam renang, naik ke lantai atas. Di ataslah restorannya. Siang ini kami makan siang di restoran Susan Spa & Resto. Seperti yang dibilang tadi, tiket masuk juga bisa ditukarkan untuk makan siang. Ada banyak menu yang disajikan, kamipun menikmati makan siang di sini. Lagi-lagi hujan deras mengguyur Bandungan.

“Jadi kapan kita main bareng lagi?” Celetukku sembari menyantap menu pesanan.

“Nanti kita rencanakan bareng lagi. Kayaknya asyik kalau sunset-an di pantai sambil menyeduh teh,” Jawabnya.

Walau belum tahu kapan lagi bisa jalan bareng, minimal kami sudah tahu akan ke mana ke depannya. Jika dia mengatakan sunsetdi pantai, ini jelas dia minta nantinya main di pantai yang ada di Jepara, semoga seperti itu. *Berkunjung ke La Kana Chapel – Susan Spa & Resort Bandungan pada hari Sabtu, 04 Maret 2017.
La Kana Chapel – Susan Spa & Resort Bandungan, Semarang
Alamat: Piyoto, Bandungan, Jetis, Bandungan, Semarang, Jawa Tengah
Sosial Media: @susansparesort (Instagram)
Reservasi: 0298711766 Mobile/WA: 081901012217

Uji Adrenalin di Trek Offroad Nglinggo, Kulon Progo

$
0
0
Jeep offroad di Desa Wisata Nglinggo, Samigaluh, Kulon Progo
Jeep offroad di Desa Wisata Nglinggo, Samigaluh, Kulon Progo

Suara mesin mobil Espass meraung kencang kala melibas tanjakan di perbukitan Menoreh. Aku duduk di kursi paling belakang bersama Rifqy, Mas Halim dan Aji. Tepat di depanku Rizka dan Dwi mulai menyandarkan kepalanya di sandaran kursi. Kursi di depan lagi diduduki Aya, Hanif dan Mas Alid. Untuk kali pertama kami dalam satu mobil.

Perjalanan berliku penuh tanjakan curam menuju Desa Wisata Nglinggo. Aku sedikit hafal rute jalan ini, beberapa kali sempat melewati jalan yang sama ketika berburu curugdi Kulon Progo. Dan juga pernah merasakan siksaan tanjakan kala bersepedake Kebun Teh Nglinggo. Seingatku, 4 jam aku dan teman-teman pesepeda merasakan siksaan tanjakan di sini.

“Tenang mas. Mobil ini sudah biasa lewat tanjakan di sini kok,” Ujar Mas yang menyetir.

Lega rasanya mendengar kalimat tersebut. Sebelumnya aku sudah merasa was-was, sering kulihat mobil mogok tidak kuat melibas tanjakan. Terlebih tanjakan bentuk huruf S yang dekat dari kebun Teh. 

Cuaca mendung menyelimuti Desa Wisata Nglinggo. Mobil yang kami naiki sempat tersendat, harus antri berhenti menunggu mobil dari arah berlawanan yang menanjak. Maklum akhir pekan, jadi banyak mobil berlalu-lalang di sini. Rombongan diturunkan tidak jauh dari lokasi Kebun Teh Nglinggo, kami turun dan berkumpul di Homestay Rimbono milik Mas Milki.
Gapura Desa Wisata Nglinggo
Gapura Desa Wisata Nglinggo

“Kita nanti naik Jeep,” Ujar pemandu.

Girang rasanya mendengar kata pemandu. Dipikiranku kali ini kami akan melewati hamparan kebun Teh naik Jeep. Melewati gerombolan remaja yang sedang foto ala-ala memegang tongsis di jalan setapak, dan kami lewat di depannya meninggalkan debu menggumpal di belakang.

Sebelum memulai acara, kami sempat dipaparkan mengenai Desa Wisata Nglinggo. Lokasinya berada di Desa Pagerharjo, Samigaluh, Kulon Progo. Perbukitan menjadi kontur wilayah yang dominan di sini. Desa Wisata Nglinggo dimulai tahun 2004, dan pernah menjadi juara 1 di Jogja dengan Kategori Lokasi Wisata Unik tahun 2012. Hal ini dikarenakan Desa Wisata Nglinggo satu-satunya desa wisata yang memiliki Perkebunan Teh di Jogja.

“Obrolannya kita sambung nanti saja. Saatnya kita naik Jeep. Mumpung belum turun hujan,” Potong Mas Milki.

Dua jeep di depan homestay tampak gahar. Kami dibagi menjadi dua kelompok. Aku mendapat satu Jeep bareng Rifqy, Aji, Hanif, dan Mas Halim. Sementara lainnya mengendarai mobil di belakang. Bersama Mas Milki, kami melibas jalanan. Tanjakan tinggi dekat Kebun Teh dilibas dengan santai. Tiba-tiba Jeep belok kiri menuruni turunan curam dekat rumah warga.

Teriakan panjang keluar dari lisan kami. Belum usai kaget pertama, Mas Milki dengan lihainya menggeber Jeep melintasi jalan tanah tanpa mengurangi kecepatan. Ranting-ranting kecil terasa memecut lengan, kami histeris.

“Kamera masukkan ke dalam tas. Pegangan.”

Kembali digeber mesin jeep, jalan panjang sedikit menanjak penuh tanah liat dilibas dengan gahar. Kami tak percaya jika harus melewati terk seperti ini. Untuk sementara waktu kami melupakan foto ala-ala di Kebun Teh Nglinggo. Tak hanya belepotan tanah liat yang basah, treknya juga berkombinasi dengan aliran air. Cipratan air sampai ke mana-mana, aku yang duduk di samping Mas Milki fokus pegangan.
Trek offroad di Nglinggo, kombinasi tanah liat dan sungai kecil
Trek offroad di Nglinggo, kombinasi tanah liat dan sungai kecil
Trek offroad di Nglinggo, kombinasi tanah liat dan sungai kecil

Teriakan tak hanya dari Jeep yang kami naiki. Jeep yang satu di belakang juga terdengar suara teriakan panjang. Goncangan Jeep benar-benar memacu adrenalin. Rasa kantuk yang tadi sempat terasa saat di homestay hilang seketika. Yang ada kali ini kami berteriak kencang sambil mengendalikan tubuh yang terombang-ambing mengikuti liukan Jeep.

Entah berapa kali terasa badan ini terbentur pada Jeep. Terasa remuk tulangku terbentur. Tapi di sanalah nikmat sebenarnya. Aku kategorikan ini wisata ekstrim, melibas trek pendek namun terasa panjang bagiku.

Tanjakan demi tanjakan dilewati, rerumputan kecil yang menghalangi trek ditabrak langsung tanpa berpikir. Kembali kode pegangan diucapkan Mas Milki, aku kembali memegang erat. Jeep membelok ke kanan dengan kencang, di depan sudah ada tanjakan yang menunggu. Mobil Jeep yang kami naiki mengerang kencang tapi tidak bergerak. Roda belakang memutar kencang, cipratan gumpalan tanah berhamburan.

Mas Milki turun, lalu mengaitkan semacam tali alat derek pada pepohonan yang besar. Kemudian beliau masuk kembali ke Jeep menghidupkan jeep. Alat Derek ini langsung menarik sendiri ketika mas Milki menempelkan dua kabel. Percikan api terlihat kala dua kabel tersebut menempel, sehingga Jeep bisa berjalan lagi.
Uji Adrenalin di Trek Offroad Nglinggo, Kulon Progo
Uji Adrenalin di Trek Offroad Nglinggo, Kulon Progo
Uji Adrenalin di Trek Offroad Nglinggo, Kulon Progo

“Gilak mas!”

Ungkapan itulah yang terlontar dari mulutku selama kami melibas trek pendek. Mas Milki terkekeh. Beliau mengatakan jika kami tidak datang kesorean bakalan menikmati trek yang panjang.

“Mau foto di Jeep?” Tanya Mas Milki.

“Iya mas. Foto bareng,” Jawabku cepat.

Mas Milki mengangguk, lintasan kali ini tak se-ekstrim sebelumnya. Perasaan tadi treknya membuat jantung berdetak kencang, disertai teriakan histeris. Namun secara keseluruhan kami benar-benar menikmati. Aliran air menajdi trek yang menyenangkan, di depanku sebuah bongkahan batu besar.

“Pegangan lagi!” Tegas Mas Milki.

Sontak aku memegang pegangan di depanku. Apa yang ada dipikiran Mas Milki, tidak mungkin dia menabrakkan Jeep ke bongkahan batu karena di sisi kiri masih ada jalur besar dan cukup untuk dilewati Jeep.

Digeber-geber mesin Jeep, suara terdengar kencang di tengah kesunyian. Jeep agak belok ke kiri. Sesuai pikiranku, Jeep bakalan menghindari bongkahan batu. Tiba-tiba laju Jeep diinjak kencang, nyatanya ban depan Jeep menabrak bongkahan batu. Kami kembali teriak histeris seraya tetap berpegangan. Jeep seperti akan terbalik, ban depan tepat di atas bongkahan batu. Mas Milki turun dari Jeep.
Foto dulu di trek offroad Desa Wisata Nglinggo
Foto dulu di trek offroad Desa Wisata Nglinggo

“Foto di sini saja,” Ujarnya terkekeh.

Pintar sekali ide Mas Milki, sengaja menghentikan Jeep dengan pose gahar. Kami beramai-ramai mengabadikan diri secara gantian, kemudian foto bersama. Menyenangkan rasanya dapat menikmati goncangan hebat ala Jeep di trek yang menantang ini.

“Lah mana Pinusnya?” Celetukku.

Seingatku tadi Mas Milki menerangkan jika kami akan melintasi Pinus. Tapi tak kulihat, ternyata kami terlalu konsentrasi pada trek yang menantang sehingga melupakan sekitar. Jika ingin menikmati lebih lama lagi, siapkan kocek yang tidak mahal untuk merasakan sensasi trek Jeep yang menggoda.

Trek yang kami lewati ini tidak panjang, malah yang paling pendek. Ini adalah trek ujicoba, hanya dibutuhkan waktu 30 menit saja untuk melintasinya. Trek lain yang panjang biasanya digunakan para offroader untuk lomba.
Wajah-wajah teman pada bahagia semua
Wajah-wajah teman pada bahagia semua

Harga Paket Jeep di Rimbono Homestay Nglinggo
Wisata Jeep ini sebenarnya sudah lama, hanya saja dalam 2-3 tahun terakhir ini sering banyak yang memesan. Bagi para pecinta offroad, Nglinggo disebut salah satu surganya para offroader. Mas Milki sendiri salah satu offroader yang sudah malang-melintang.

Mas Milki selaku pengelola Rimbono Homestay mempunyai paketan menarik untuk menikmati alam Nglinggo menggunakan Jeep. Paket Jeep dibagi menjadi beberapa kategori. Trek yang tadi kami lintasi sebenarnya bukan termasuk kategori, tapi malah disukai para pengunjung.

Ada tiga rute yang dimiliki, rute pendek ditempuh dalam waktu 1-2 jam. Kita merogoh kocek sebesar 350ribu untuk tiga orang. Rute sedang jarak tempuh selama 2-4 jam, kisaran harga 450ribuan. Sedangkan rute panjang jarak tempuh antara 4-6 jam dengan harga 600ribu. Jadi minat yang mana?

Di sini juga ada paketan ekstrim. Paket tersebut 1.5 juta dan kita menginap di tengah Hutan Pinus. Hutan Pinus sebenarnya berada di wilayah Purworejo, tapi satu-satunya akses dari Nglinggo. Paket lain yang menarik di sini adalah Nglinggo – Suroloyo (Rp. 500 ribu) dan Nglinggo – Borobudur (Rp. 700 ribu). Ini belum termasuk tiket masuk destinasi.

Tak hanya paketan Jeep, Rimbono Homestay menawarkan tempat menginap yang menyenangkan. Terdapat 55 Kepala Keluarga yang mempunyai homestay di sini, harganya tergantung penawaran ke tuan rumah masing-masing. Rimbono Homestay sendiri mempunyai 10 kamar dengan kisaran harga 250 – 300 ribu/malam.
Rimbono Homestay milik Mas Milki di Kulon Progo
Rimbono Homestay milik Mas Milki di Kulon Progo

Agenda yang ditawarkan Rimbono Homestay selain Jeep adalah Paket Family seharga 200ribu/paket. Paket tersebut meliputi sarapan pagi, dan menaiki Jeep menuju spot sunrise di Bukit Ngisis. Jika cerah, dari bukit ini kita bisa melihat 7 gunung; Merapi, Merbabu, Ungaran, Dieng, Ketep, Sindoro, Sumbing, dan Slamet.

Wisata edukasi yang bisa dilakukan di Desa Wisata Nglinggo adalah pemetikan daun Teh, mengolah, sampai mengemasnya. Selain Teh di sini juga ada banyak Kopi, berhubung ketinggian di sini mencapai 900 MDPL, kopi yang cocok adalah jenis Arabika. Kebun Teh di sini peninggalan Belanda, dan berkembang ketika UGM masuk dan ikut mengelola bersama warga setempat.

Desa Wisata Nglinggo nyatanya mempunyai banyak potensi yang bisa dikembangkan. Tentu bermodalkan perkebunan teh dan adanya PT Pagilaran bisa menggaet pengunjung khususnya siswa untuk belajar berkaitan dengan Teh. Wargapun sudah banyak yang membuat produk Teh rumahan, hal ini dapat membangkitkan ekonomi warga setempat. Jadi ada rencana berkunjung ke sini?

*Rangkaian kegiatan Travel Blogger Explore Desa Wisata Jogja (Hastag #EksplorDeswitaJogja) dipersembahkan oleh Forkom Desa Wisata Yogyakarta 24 - 26 Februari 2017.

Homestay Rimbono, Nglinggo, Kulon Progo
Sosial Media: @homestayrimbono (Instagram)
Harga Kamar: Rp 250.000 – Rp350.000
Paket Jeep: Trek Pendek (Rp. 350.000)
Trek Sedang: (Rp. 450.000)
Trek Panjang (Rp. 600.000)
Paket Kemping – Rp. 1.500.000
Paket Family + Sunrise – Rp. 200.000

Memotret Festival Ogoh-ogoh di Jalan Malioboro 2017

$
0
0
Memotret Festival Ogoh-ogoh di Jalan Malioboro 2017
Memotret Festival Ogoh-ogoh di Jalan Malioboro 2017 

Seperti tahun-tahun sebelumnya, menjelang perayaan hari Nyepi 2017, di Jogja ada Festival Ogoh-ogoh. Festival ini diikuti Himpunan Mahasiswa Hindu yang kuliah di Jogja. Berbagai komunitas pun ikut menyemarakkan acara tersebut. Jalan Malioboro yang biasa dipadati kendaraan, untuk kali ini ditutup.

Hujan mengguyur dari siang hari, Festival Ogoh-ogoh sebelumnya sudah diarak dari Sleman dan berakhir di Jembatan Baru Sardjito. Setelah itu seluruh Ogoh-ogoh dinaikkan mobil bak terbuka menuju Malioboro. Di sini arakan Ogoh-ogoh kembali diarak mulai pukul 15.00 WIB. Tujuan akhir Ogoh-ogoh di Alun-alun Utara (Depan Keraton Yogyakarta). Aku sedikit terlambat datang, sehingga tidak bisa mengabadikan keseluruhan Ogoh-ogoh yang diarak.
Keramaian Festival Ogoh-ogoh di Malioboro
Keramaian Festival Ogoh-ogoh di Malioboro

Animo masyarakat Jogja yang menonton tak surut walau sempat diguyur rintikan hujan. Beruntunglah intensitas hujan di Malioboro tidak sederas daerah lain. Sehingga Festival Ogoh-ogoh tahun ini berjalan dengan lancar. Dari sekitar 20an Ogoh-ogoh berbagai bentuk dan rupa diarak. Dari sebanyak itu hanya tiga rombongan yang membawa Ogoh-ogoh yang sempat kumintai keterangannya.

Ogoh-ogoh pertama berbentuk Raksasa (Bhuta Kala) yang berhadapan dengan replika patung wanita berpakaian kuning sedang mengatupkan kedua tangannya. Kedua replika itu saling berhadapan. Ini adalah hasil karya dari Kumpulan Mahasiswa Hindu Sumatera. Tertera di bagian depan bertuliskan KMHSY Yowana Dharma Laksana.

Patung Bhuta Kala tersebut mengartikan raksasa yang sudah meninggal namun badannya tidak dibakar. Sehingga raksasa tersebut mencari-cari badannya. Seperti itulah yang disampaikan oleh Wayan Firman, seorang mahasiswa UPN yang berasal dari Bali.
Salah satu Bhuta Kala/Raksasa di Festival Ogoh-ogoh Tahun 2017
Salah satu Bhuta Kala/Raksasa di Festival Ogoh-ogoh Tahun 2017

Ada banyak Bhuta Kala (Raksasa) yang diarak, aku mendekati salah satu raksasa yang dominan berwarna merah mudah. Lidahnya menjulur ke luar dengan kedua tangan seakan-akan siap mencakar. Ditambah kuku-kukunya panjang. Ogoh-ogoh ini hasil karya dari teman-teman Mahatma. Kumpulan Mahasiswa Hindu Atmajaya Jogja.

Bhuta Kala ini bernama Legu Gondong, sosok raksasa berbentuk setengah Nyamuk. Menurut penuturan Kadek (Mahatma), nantinya Ogoh-ogoh ini akan dibakar di salah satu Pura yang ada di Maguwo. Beliau menerangkan jika pembuatan Ogoh-ogoh ini menggunakan daun pandan agar roh jahat tidak berani masuk. Mereka juga mengikuti adat yang di Bali, ketika Hari Nyepi mereka semua tidak keluar kontrakan.

“Makna yang penting adalah kita membakar Ogoh-ogoh dan mengikuti apa yang dilakukan di Bali, walaupun kami tinggal di Jogja,” Tutur Kadek.
Bhuta Kala ini bernama Legu Gondong
Bhuta Kala ini bernama Legu Gondong

Satu sosok Ogoh-ogoh yang menarik perhatianku lainnya adalah sosok seperti Hanoman yang menggenggam Bumi. Ogoh-ogoh ini hasil karya dari rombongan Padma Bhuana Jogja. Pesan yang ingin disampaikan adalah keselarasan antara lingkungan dengan alam.

Dikutip dari pernyataan Nyoman Dharya, mereka ingin menyampaikan bahwa sudah seharusnya kita mencintai dan melindungi alam. Selama ini di Jogja kita sudah mengabaikan rimbunnya pepohonan. Ada banyak hotel dibangun, tapi pepohonan semakin tersisihkan dan nyaris hilang. Padahal alam-lah yang membuat kita senantiasa dapat hidup sehat.
Konsep kali ini berkaitan dengan Go Green, di tangan memegang bumi
Konsep kali ini berkaitan dengan Go Green, di tangan memegang bumi

Pada dasarnya setiap Ogoh-ogoh yang dibuat selama lebih dari satu minggu ini mempunyai banyak makna dan pesan, hanya saja aku tidak sempat bertanya pada peserta itu sendiri. Berikut Ogoh-ogoh lainnya yang sempat kuabadikan.
Festival Ogoh-ogoh di Jalan Malioboro 2017
Festival Ogoh-ogoh di Jalan Malioboro 2017
Festival Ogoh-ogoh di Jalan Malioboro 2017
Festival Ogoh-ogoh di Jalan Malioboro 2017
Festival Ogoh-ogoh di Jalan Malioboro 2017
Festival Ogoh-ogoh di Jalan Malioboro 2017
Festival Ogoh-ogoh di Jalan Malioboro 2017

Memotret para peserta festival
Festival Ogoh-ogoh 2017 ini diikuti lebih dari 20 komunitas dengan latar belakang yang berbeda-beda. Mulai dari kumpulan mahasiswa sampai masyarakat setempat. Berikut dokumentasi yang sempat kuabadikan berkaitan dengan pesertanya.

Salah satu yang menarik perhatian adalah para wanita yang ikut menyemarakkan Festival Ogoh-ogoh. Mereka berjalan sambil menebar senyuman ke setiap penonton yang memadati tepian jalan. Tak henti-hentinya kamera memotret setiap raut wajah penuh senyuman. Dari kejauhan, aku juga mengabadikan salah satu di antara ratusan peserta yang ikut.
Peserta Festival Ogoh-ogoh di Jalan Malioboro
Peserta Festival Ogoh-ogoh di Jalan Malioboro

Tidak hanya kawula muda dan mahasiswa yang berpartisipasi. Salut dengan beliau yang sudah berumur ikut berpartisipasi, tak ada raut capek walau sudah berjalan cukup jauh. Festival Ogoh-ogoh seakan-akan memberikan suntikan tenaga tambahan bagi mereka.
Peserta Festival Ogoh-ogoh di Jalan Malioboro
Peserta Festival Ogoh-ogoh di Jalan Malioboro

Pria, wanita, tua, muda, dan tidak ketinggalan anak-anak. Tidak sedikit anak-anak yang ikut dalam rombongan. Mereka dirias sedemikan rupa, dan antusias mengikuti festival tersebut. Dari sekian banyak anak-anak, aku hanya sempat mengabadikan sosok anak laki-laki yang duduk di atas kereta. Dia tampak tenang walau banyak kamera yang memotretnya.
Peserta Cilik Festival Ogoh-ogoh di Jalan Malioboro
Peserta Cilik Festival Ogoh-ogoh di Jalan Malioboro

Jika kita terfokus pada arakan Ogoh-ogoh menjulang tinggi, jangan sampai kita lupakan mereka yang terkuras tenaga mengangkat Ogoh-ogoh. Laki-laki kuat ini rela dirias dengan berbagai macam warna. Totalitas tampak dari penampilannya. Semangat mas!
Semangat mas!
Semangat mas!

Itulah sedikit keramaian yang sempat kuabadikan di Festival Ogoh-ogoh di Malioboro. Ogoh-ogoh yang terbuat dari bambu dan dirancang lebih dari dua minggu nantinya akan dibakar. Bentuk Ogoh-ogoh bermacam-macam, lebih dominan berbentuk Raksasa, tapi bisa juga berbentuk lainnya. *Dokumentasi Festival Ogoh-ogoh di Sepanjang Jalan Malioboro pada hari Sabtu, 25 Maret 2017.

Menyambangi Kampung Batik Giriloyo, Wukirsari

$
0
0
Jari-jari yang luwes memegang canting dan memberi warna motif pada kain
Jari-jari yang luwes memegang canting dan memberi warna dan motif pada kain

Puas berkeliling di Griya Cokelat Nglanggeran, kami keluar menuju halaman. Di halaman Griya Cokelat sudah ada mobil penjemput dari Desa Wisata Wukirsari. Nantinya, agenda kami di sana melihat pembuatan batik sekalian praktik membatik di pendopo. Oya, sekalian makan siang. Seperti itu informasi yang kudapat dari salah satu penjemput.

Jalur yang dilalui mengingatkanku saat bersepeda di kawasan perbukitan Gunungkidul - Bantul. Mobil dari Nglanggeran melewati Watu Amben, Pinus Pengger, dan kawasan hutan Pinus Dlingo. Aku terperangah melihat kawasan Hutan Pinus sudah terpetak-petak dijadikan destinasi wisata baru.

“Sudah pernah ke Wukirsari?” Tanya bapak yang menjemput kami.

Teman-teman yang ada di dalam mobil diam. Beberapa mengaku hanya pernah ke Mangunan, lokasi yang tidak jauh dari Wukirsari. Akupun menimpali jika pernah main ke Wukirsari dan sekitarnya. Menikmati Wedang Uwuh di Makam Imogiri, latihan fisik saat bersepeda ditanjakan Makam Seniman, bahkan blusukan sampai di Air Terjun Seribu Batu/ Curug Cengkehan.

“Wah ternyata mas satu ini sudah hafal daerah sini.” Sahut bapak tersebut.

Tidak terasa kami sudah sampai di Pendopo besar bertuliskan Kampung Batik Giriloyo. Tepat sampai di lokasi, gerimis kecil menyambut kami. Rombongan Famtrip #EksplorDeswitaJogja berlarian ke tempat teduh. Sebelumnya menyempatkan memotret tulisan tersebut.
Menyambangi Kampung Batik Giriloyo, Wukirsari
Menyambangi Kampung Batik Giriloyo, Wukirsari

Rombongan kami diarahkan menuju salah satu gazebo. Di sana ada tiga perempuan yang sedang membatik. Helaian kain lebar dan panjang penuh dengan motif mulai diberi warna. Tangan-tangan perempuan tersebut luwes memegang canting.

Aku mendekati salah satu dari ketiga perempuan tersebut. Sembari melihat, sesekali aku mengabadikan. Ibu yang kudekati tersenyum sesaat, kemudian beliau melanjutkan pekerjaannya. Ibu Imaroh (perempuan yang di dekatku) memperkenalkan kedua perempuan lainnya. Beliau adalah Ibu Nurjanah, dan Ibu Niptiah.

Menurut ketiga ibu ini, membatik merupakan pekerjaan sampingan. Biasanya ibu-ibu membatik pada puku 09.00 – 16.00 WIB. Beliau membatik tidak hanya di pendopo tapi juga di rumah. Pekerjaan membatik dibutuhkan waktu lama untuk menyelesaikan satu helai kain. Kain yang dibatik berukuran 250 CM X 105 CM. Satu helai kain diselesaikan satu bulan. Batik tulis memang membutuhkan waktu lama dalam penyelesaiannya. Bahkan akan membutuhkan waktu sampai 4 bulan jika kain yang dibatik berkualitas bagus dan halus.

Bahan kain yang digunakan tidak asal sembarang kain. Biasanya kain yang digunakan adalah kain Primisima jenis katun. Pernah juga ibu-ibu ini membatik dengan bahan Sutra, karena memang ada yang menyediakan kain sutra dari tempat lain. Berdasarkan pengalaman beliau, kain sutra rata-rata paling sulit untuk dibatik.

“Kalau batik tulis itu motifnya apa saja bu?”

Bu Imaroh masih fokus membatik. “Di sini motifnya macam-macam mas. Pokoknya motif kontemporer. Seperti yang dibatik bu Nurjanah itu motifnya Buah Naga.”

“Pernah merasa jenuh atau capek nggak bu saat membatik?”

“Membatik bukan merupakan hal yang membosankan kalau menurut kami mas. Membatik itu sangat menyenangkan. Kita bersemangat menyelesaikan kain batik ini dengan harapan hasilnya lebih baik dan mempunyai nilai jual tinggi. Kami bersemangat melakukan ini karena menghasilkan.”

Seperti itulah seharusnya, tak hanya membatik tapi juga pekerjaan lainnya. Ketika kita menyukai setiap pekerjaan, maka tak ada kata jenuh. Ibu-ibu ini tiap harinya membatik, menyelesaikan sampai tuntas, kemudian memulai lagi dengan kain yang berbeda. Beliau berujar kalau sengaja membuat stok.

“Batik itu beda hasil beda harga mas. Jadi kami harus benar-benar membuat karya yang terbaik di tiap kainnya.”

“Kalau misalnya mau pesan satu batik tulis saja tetap dilayani kok mas.”
Bu Imaroh sedang membatik di pendopo
Bu Imaroh sedang membatik di pendopo

Batik sendiri sudah ada sejak abad 17. Kain batik biasanya digunakan pada upacara-upacara di Keraton. Seperti yang sudah diketahui, Batik sudah ditetapkan UNESCO sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangibie Heritage of Humanity) sejak 2 Oktober 2009 - Wikipedia.

Untuk jadi kain batik siap jual, prosesnya tidak hanya pada saat memberi motif saja. Proses lainnya juga membutuhkan waktu lama. Salah satu proses yang lama lainnya adalah pemberian warna. Jika batik cetak, tinggal dicetak dan diberi warna biasa selesai, batik tulis berbeda. Warna yang digunakan itu adalah warnah alami.

Warna alami di sini yang sering digunakan seperti kulit kayu, kulit rambutan, daun jati, kunyit, dan bahan-bahan lainnya yang bisa menghasilkan warna. Karena inilah batik tulis dengan warna alami harganya bisa mahal. Dari prosesnya saja sudah membutuhkan waktu yang tidak sebentar.

Konon katanya bahan-bahan alami tersebut direbus terlebih dulu. Kemudian kainnya dimasukkan ke dalam kuali yang sama. Untuk mendapatkan warna yang bagus, satu kain bisa direbus dengan bahan yang sama sebanyak 8 -10 kali.

Tidak jauh dari ibu-ibu yang membatik, ada juga aktifitas ibu yang sedang merebus kain batik ke dalam kuali. Aku tertarik melihat yang beliau lakukan, segera kulangkahkan kaki menuju belakang rumah. Di sana ada tiga ibu yang melakukan pekerjaan berbeda, dibantu anak kecil memegang selang kecil mengisi air ke ember.

“Ini namanya proses apa bu?”

“Ini namanya Plorot mas.”

“Plorot?!” Aku mengerutkan dahi.
Proses pelepasan lilin pada kain setelah dibatik
Proses pelepasan lilin pada kain setelah dibatik

Sembari terus melakukan pekerjaannya, salah satu ibu menerangkan apa itu Plorot. Plorot adalah istilah yang digunakan untuk proses melepaskan lilin pada kain batik yang sudah diberi motif. Kain tersebut direbus ke dalam kuali dan digerak-gerakkan seperti mengaduk.

Nantinya kain yang sudah direbus tersebut dimasukkan ke dalam ember besar yang ada di depan anak kecil. Sementara ibu yang di belakang mencuci kain yang sudah direndam ke dalam ember. Warna kain akan terlihat di sini, jika sudah selesai dicuci tinggal dijemur.

Tidak ketinggalan, kamipun masuk ke dalam toko batik yang ada di sini. Ruangan tempat batik dipajang dan dijual ini cukup panjang. Setiap sisi terdapat berbagai motif batik yang siap dibeli. Sebagian besar yang dijual dalam bentuk kain jadi. Seperti keterangan dari bu Imaroh tadi, lebih banyak orang membeli kainnya daripada membeli dalam bentuk kemeja. Harga kain batik tulis yang bagus berkisar 500 ribu ke atas.

Aku melihat berbagai jenis motif yang ada di sini. Selain beragam motifnya, warna kainnya pun lebih kalem. Jika kainnya berwarna cerah, hampir dipastikan itu bukan warna alami bahan yang digunakannya. Iseng-iseng kulihat motif batik yang warnanya kalem di depanku. Harganya pun tinggi, lagi pula bahannya juga memang bagus.
Berbagai macam motif batik yang terpajang di toko
Berbagai macam motif batik yang terpajang di toko

Motif Tambal, Warna Alami, dan Harganya
Motif Tambal, Warna Alami, dan Harganya

Tidak hanya menjual dalam bentuk kain, di sini juga ada kemeja batik yang siap dijual. Kisaran harga antara 300 ribu – 500 ribuan. Tidak banyak sih yang dipajang, tapi sudah mencukupi jika ada yang mendadak beli kemeja. Kalau lama-lama di sini bisa beneran khilaf dan borong. Ada saran dari ibu yang di sini, kalau punya baju batik jangan dicuci dengan diterjen. Kata beliau cepat rusak.
Kemeja batik yang siap untuk dibeli
Kemeja batik yang siap untuk dibeli

Menurut informasi dari pengelola Desa Wisata Wukirsari, dalam setahun pengunjung yang datang sekitar 18.000. Banyak wisatawan yang ke sini khusus ingin belajar membatik, atau malah membeli batik. Tahun ini ada tambahan destinasi, pihak pengelola sedang membuat outbond susur sungai di dekat Air Terjun Seribu Batu.

Pemerintah pun mendukung apa yang dilakukan oleh desa wisata. Dukungan pemerintah langsung dari Dinas Pariwisata, dinas memfasilitasi setiap kegiatan promosi. Selain dari dinas, pengelola juga mengikuti pameran nasional dan menyebar brosur profil desa wisata.


Puas rasanya dapat berkunjung di Kampung Batik Giriloyo. Teman-teman juga berkesempatan membatik. Mereka berkreasi membuat motif didampingi Bu Imaroh. Teman-teman antusias, terlebih di setiap kain yang dibatik diberi nama mereka. Tidak hanya nama, sengaja mereka cantumkan nama blog masing-masing. Usai membatik dan makan siang, kami harus berpamitan, dua mobil penjemput dari Desa Wisata Kebonagung sudah menanti. Kami berpamitan pada pengelola dan foto di depan tulisan Kampung Batik Giriloyo.
Foto bareng di depan tulisan Kampung Batik Giriloyo, Wukirsari
Foto bareng di depan tulisan Kampung Batik Giriloyo, Wukirsari/ Dok. insanwisata.com

*Rangkaian kegiatan Travel Blogger Explore Desa Wisata Jogja (Hastag #EksplorDeswitaJogja) dipersembahkan oleh Forkom Desa Wisata Yogyakarta 24 - 26 Februari 2017.

Kampung Batik Giriloyo, Wukirsari
Alamat: Giriloyo, Wukirsari, Imogiri, Bantul

Sekelumit Cerita Tentang Stasiun Maguwo Lama

$
0
0
Sekelumit Cerita Tentang Stasiun Maguwo Lama
Sekelumit Cerita Tentang Stasiun Maguwo Lama

“Kakek dulu pernah berjuang di Bandara Maguwo.”

Kalimat itulah yang sampai sekarang aku ingat setiap mendengar cerita dari almarhum kakek. Sewaktu itu aku masih kecil, dan belum tahu apa-apa. Bahkan ketika beliau meninggal pada tahun 1992an, aku masih terngiang kalimat tersebut. Beliau diistirahatkan di Taman Makam Pahlawan Totolisi Sendana, Sulawesi Barat. Aku hanya bisa melihat foto-foto upacara pemakaman beliau yang masih tersimpan di rumah.

Bapak dan paman sering bercerita mengenai perjuangan kakek. Sekarang nama beliau diabadikan menjadi nama sebuah jalan di tempat kami. Sersan Moh. Toha, nama tersebut menjadi jalan tepat di area rumah kami di Karimunjawa. Sayangnya tidak banyak kuingat mengenai cerita-cerita kakek lainnya.
*****
Sebuah poster yang diunggah Instagram Malamuseum tak sengaja kubaca. Poster berlatarkan sebuah bangunan kayu dan bertuliskan “#KelasHeritage; Kisah Stasiun Maguwo Lama.” Ditambah deskripsi mengenai stasiun tersebut, stasiun kecil nan antik yang terbuat dari kayu dan berada di tengah perkampungan ini semakin terlupakan. Padahal, ada cerita menarik yang terdapat dibalik stasiun ini.

Begitulah tulisan yang ada diposter, tulisan yang membuatku tertarik mengikuti acara tersebut. Lagi pula, lokasinya tidak jauh dari kos. Sekitar 4 KM dari tempatku. Akhirnya aku benar-benar mengikutinya. Bermodalkan denah dari Google Maps yang dikirim Mas Halim, aku beranjak ke sana.

“Stasiun Maguwo Lama lokasinya di mana ya bu?” Aku bertanya ke seorang ibu pemilik warung di seberang Pasar Sambilegi, Maguwoharjo.
Jalan Anggrek dekat dari Stasiun Lama Maguwo
Jalan Anggrek dekat dari Stasiun Lama Maguwo

“Masuk gang samping warung ini mas. Nanti ikuti jalan terus, pasti sampai.”

Kulewati gang kecil yang hanya muat satu motor. Semakin ke dalam, aku dipusingkan banyaknya arah. Untuk kedua kalinya aku bertanya pada penduduk sekitar. Beruntung ibu yang sedang menyapu halaman dapat memberi arah dengan baik. Selain itu, lokasinya sudah dekat.

“Tapi stasiunnya itu nggak ada kereta yang berhenti loh mas. Keretanya berhenti di dekat Bandara,” Ujar ibu tersebut.

Aku menjawab kalau tujuanku ke Stasiun Maguwo Lama bukan untuk menunggu kereta, tapi mengikuti acara yang diselenggarakan Roemah Toeaberkolaborasi dengan Malamuseum. Kulanjutkan menyusuri jalan yang lebih lebar. Tepat di ujung seberang jalan anggrek, bangunan kayu itu terlihat.
Bangunan Stasiun Lama Maguwo masih kokoh
Bangunan Stasiun Lama Maguwo masih kokoh

Di depanku bangunan yang sama persis dengan latar belakang poster beberapa waktu lalu kulihat di Instagram. Aku disambut Faiz (perwakilan dari Malamuseum) yang sudah menunggu sedari tadi. Kami berbincang santai sembari menunggu peserta lainnya.

Acara dimulai pukul 09.19 WIB dan diawali dengan kumpul di dalam stasiun lama. Di sini perwakilan dari Roemah Toea, Malamuseum, dan dari pihak Stasiun Maguwo. Pak Burhani selaku kepala Stasiun Maguwo mengapresiasi kegiatan ini. Kami menyempatkan foto bersama di bagian depan museum.

“Mohon kiranya hati-hati, dan tolong teman-teman dikondisikan agar tidak melewati rel Kereta Api,” Pesan Pak Burhani.
Pak Burhani berbincang dengan peserta cilik Kelas Heritage
Pak Burhani  (Kepala Stasiun Maguwo) berbincang dengan peserta cilik Kelas Heritage *Jalur rel belakang peserta cilik tersebut tidak aktif

*****
Stasiun Maguwo Lama dibangun pada tahun 1909, lokasinya berada di Kembang, Maguwohargo. Berjarak sekitar 300 meter dari Stasiun Maguwo yang baru. Stasiun ini pernah direnovasi pada tahun 1931. Kemudian tahun 1950an kembali ada tambahan gedung yang ada di luar/di dekat bangunan stasiun. Pada dasarnya bangunan sekarang masih asli semua, bahkan atap-atapnya masih asli.
Stasiun Lama Maguwo menjadi Cagar Budaya
Stasiun Lama Maguwo menjadi Cagar Budaya

Dilihat dari bentuknya, bangunan Stasiun Maguwo Lama ini merupakan bangunan Belanda karena bentuk bangunanya tinggi-tinggi. Bangunan Stasiun Maguwo Lama disekat menjadi dua. Satu ruangan dijadikan bagian administrasi dan ruangan satunya untuk kepala stasiun.

Terlihat ada bekas dua lubang yang berada di bagian sudut bangunan, menurut informasi dari teman-teman pemandu, bekas lubang yang ditambal tersebut adalah bagian loket. Dulunya tiap orang yang ingin membeli karcis melalui lubang tersebut.
Tempat loket sudah ditambal, tersisa hanya bekasnya
Tempat loket sudah ditambal, tersisa hanya bekasnya *dalam lingkaran merah

Stasiun Maguwo Lama beroperasi sampai tahun 2007. Tahun 2009 – 2010 stasiun ini direnovasi termasuk pengecatan. Dulunya stasiun ini catnya berwarna hijau. Atas bantuannya dari pemerintah, stasiun ini masih ada dan terpelihara. Setelah itu untuk pemeliharaannya diserahkan pada Pak Lakso.

Menarik memang melihat bangunan Stasiun Maguwo Lama terbuat dari kayu. Ada empat stasiun yang dulu bangunannya terbuat dari kayu; Stasiun Mayong (Jepara) Stasiun Gresik, Stasiun Maguwo, Stasiun Grobogan. Kemungkinan masih ada stasiun pada masa Belanda lainnya yang terbuat dari kayu. Hanya saja yang teridentifikasi saat ini empat stasiun tersebut.
Kondisi bagian dalam ruangan Stasiun Lama Maguwo
Kondisi bagian dalam ruangan Stasiun Lama Maguwo

Jika dilihat dari bangunannya, Stasiun Maguwo Lama memang kecil. Tapi stasiun mempunyai jalur yang sangat kompleks pada masanya. Bagaimana tidak, ada tiga kereta api yang dilewati yang melintasi Stasiun Maguwo Lama. Kereta api tersebut adalah Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) milik Belanda, Staatsspoorwegen (SS) milik pemerintah Hindia Belanda, dan Kereta Api Gula. Jalur kereta Api pabrik gula itu berasal dari dekat bandara. Tepatnya adalah di Museum Dirgantara.

Ukuran jarak rel kereta api antara NIS dan SS tidaklah sama. Jika jarak rel NIS itu sekitar 1.4 meter, sedangkan SS jarak relnya sekitar 1 meter. Jalur kereta api lama mirip dengan jalur yang ada sekarang. Perbedaan ada di bagian persilangannya. Pada masanya satu jalur rel bisa digunakan dua kereta api yang berbeda (NIS & SS). Caranya, rel yang jaraknya 1.4 meter, di tengahnya ditambahi lagi rel untuk yang ukuran 1 meter.
Diskusi dibekas sisa pondasi rel Staatspoorwegen
Diskusi dibekas sisa pondasi rel Staatspoorwegen

Perbedaan lain antara NIS dan SS dapat dilihat dari bangunan stasiunnya. Stasiun NIS bentuknya lebih bagus dan glamor, contohnya Stasiun Tawang, Semarang. Sementara bangunan stasiun SS lebih sederhana. Contoh yang bisa dilihat itu Stasiun di Kroya, Purwokerto, dan Kutoarjo. Sedangkan stasiun Tugu adalah kombinasi antara keduanya.

Stasiun ini juga sempat diduduki Jepang. Termasuk pembongkaran rel di beberapa sisi (sisi utara) yang dijadikan rumah warga. Jepang masuk dan mengubah beberapa jalur yang tidak sesuai. Perbedaan pembangunan pada masa Belanda dan Jepang cukup mencolok. Jika pada masa Belanda pembangunan dilakukan dengan teliti dan kualitas hasil bangunan baik, sementara pada masa Jepang hanya asal-asalan. Contoh pembangunan rel kereta api masa Jepang adalah rel Muara – Pekanbaru.

Di dekat Stasiun Lama Maguwo ada rumah dinas yang ditinggali oleh Pak Narso (semasa hidup). Pak Narso adalah Kepala Stasiun sejak tahun 1950 – 1976. Beliau aslinya dari Purwokerto dan bertugas di sini. Sebelumnya, pada tahun 1937 Pak Narso dinas di Stasiun Tugu.
Sisa bangunan rumah dinas yang sudah hancur
Sisa bangunan rumah dinas yang sudah hancur
Sisa bangunan rumah dinas yang sudah hancur

Selepas pak Narso meninggal, rumah dinas tersebut ditinggali oleh Pak Lakso (anak dari pak Narso). Tahun 2006, rumah tersebut hancur akibat dari gempa. Rumah dinas itu dibangun bersamaan dengan pembangunan stasiun. Ada renovasi pada tahun 1938. Di rumah ada tempat khusus untuk kamar pembantu, dan dapur. Pak Lakso diserahi pihak stasiun untuk merawat rumah dinas dan Stasiun Maguwo Lama.

Saksi Bisu Agresi Militer Belanda II
Stasiun Maguwo Lama posisi di depan bandara. Bandara dibangun pada awal 1940an. Agresi militer 2 Belanda terjadi pada tanggal 19-20 Desember 1948. Pada saat ini bandara sudah dikuasai Belanda, kemudian pasukan Belanda menguasai Jalan Solo.

Stasiun Maguwo lama adalah bagian dari saksi sejarah yang terlupakan. Pada kenyataannya stasiun juga terlibat diserbu. Pada saat agresi militer 2 ada banyak yang gugur dari pejuang dan warga sipil. Menurut cerita almarhum Pak Narso, di pohon Kamboja ini ada 7 jasad yang dikubur. Tidak dikenali siapa-siapa orang yang gugur, karena yang gugur tidak hanya pejuang tapi juga warga sipil.
Pohon Kamboja yang tidak jauh dari Stasiun Lama Maguwo
Pohon Kamboja yang tidak jauh dari Stasiun Lama Maguwo

*****
Ada banyak cerita yang menarik mengenai Stasiun Maguwo Lama ini. Stasiun yang jaraknya antara 300 meter di barat Stasiun Maguwo sekarang juga pernah dijadikan lokasi syuting film Janur Kuning pada tahun 1979. Film yang menceritakan tentang kisah peperangan di Jogja dan dikenal dengan sebutan Serangan Umum 1 Maret.

Aku antusias mengikuti kegiatan #KelasHeritage dari awal sampai akhir. Dalam benakku, ada kalimat yang menyeruak ingin keluar. Sebuah kenangan masa kecil ketika aku antusias mendengarkan kisah yang diceritakan mendiang kakek tentang Maguwo. Aku yakin, daerah inilah yang dulu beliau sering ceritakan.
Foto bersama Kelas Heritage di depan Stasiun Lama Maguwo
Foto bersama Kelas Heritage di depan Stasiun Lama Maguwo/ Dok: Fanspage Roemah Toea

“Kakek, aku sekarang di Stasiun Lama Maguwo. Stasiun yang tidak jauh dari bandara Maguwo. Tempat yang kakek ingin pertahankan bersama pejuang lainnya dari serangan Belanda.”

*Informasi mengenai sejarah Stasiun Maguwo Lama penulis dapatkan dari para pemandu acara #KelasHeritage (Komunitas Roemah Toea & Malamuseum) saat kunjungan ke stasiun pada hari Sabtu, 11 Maret 2017.

Bertandang ke Gua Rancang Kencono Gunungkidul

$
0
0
Pohon Klumpit di Gua Rancang Kencono, Playen, Gunungkidul
Pohon Klumpit di Gua Rancang Kencono, Playen, Gunungkidul

Raut wajah capek mulai tampak jelas. Kami bersembilan terbaring di teras homestay milik Mas Aris di Bejiharjo. Sembari menunggu jemputan dari Desa Wisata Bleberan, kami berbincang santai. Nantinya di sana ada dua destinasi wisata yang bakalan kami kunjungi, Gua Rancang Kencono dan Air Terjun Sri Gethuk.

“Jadi nanti kita main air?” Celetukku berharap mendapatkan jawaban.

“Iya, main air di Sri Gethuk.”

Aku kegirangan, ini artinya aku tidak perlu ganti kaos bersih. Cukup memakai kaos belepotan yang tadi sempat kujemur. Toh di sana bakalan main air, jadi sayang kalau ganti pakaian. Teman-teman yang mendengar ideku tertawa kencang, merekapun mengikuti apa yang kulakukan. Fix, tidak ada yang ganti pakaian.

Sudah lama aku tidak berkunjung ke Air Terjun Sri Gethuk, jadi ini bisa menjadi cerita menarik karena ke sana dengan orang yang berbeda. Terlebih nantinya akan bertandang di Gua Rancang Kencono. Gua yang sudah ada didaftar kunjunganku tahun ini.

Jarak antara Desa Wisata Bejiharjo menuju Desa Wisata Bleberan tidaklah jauh. Berjarak kurang lebih 24 KM, sehingga ditempuh menggunakan mobil kurang lebih 30 menit. Jalan halus sampai memasuki Desa Wisata Bleberan, namun mulai terlihat berlubang ketika akses masuk ke tempat wisata. Desa Wisata Bleberan sendiri berlokasi di Kecamatan Playen, Gunungkidul.

Gapura destinasi wisata Desa Wisata Bleberan sudah tampak. Mobil yang kami naiki terparkir di dekat pembelian tiket. Di sini kami disambut Pak Saifuddin. Beliau yang akan menemani kami selama berkunjung di Desa Wisata Bleberan.
Gapura Kawasan Desa Wisata Bleberan
Gapura Kawasan Desa Wisata Bleberan

Desa Wisata Bleberan diresmikan kembali pada pertengahan 2010. Dulu pernah dikelola tapi tidak rutin dan sempat vakum. Tahun 1974 kali pertama diresmikan, dan kembali berbenah pada tahun 2007. Hanya saja kekurangan SDM dan lainnya membuat Desa Wisata Bleberan kembali tidak berkembang.

Beruntung semangat warga setempat dibantu pemerintah kembali mencuat, tahun 2010 itulah titik baliknya. Mereka bersama-sama memberdayakan potensi Gua Rancang Kencono dan Air Terjun Sri Gethuk. Pada akhir tahun 2011, mulai terlihat hasil yang diperjuangkan selama ini. pengunjung mulai banyak yang datang ke sini, rata-rata mereka mengunjungi Air Terjun Sri Gethuk.

“Desa wisata Bleberan mempunyai dua wisata yang diandalkan. Gua Rancang Kencono dan Air Terjun Sri Gethuk. Tiketnya 10ribu itu termasuk tiket objek dan asuransi. Tiket Terusan 45ribu/orang, itu tiket masuk, perahu Getek, body rafting, angkutan, pemandu, penitipan barang, asuransi dan lainnya,” Terang Pak Saifuddin.

Letak Gua Rancang Kencono hanya beberapa puluh meter saja dari gapura. Kami ditemani Pak Saifuddin memasuki gua tersebut. Jika kalian pernah melihat gua yang di dalamnya ada pohon besar menjulang tinggi ke atas, itulah Gua Rancang Kencono yang kami kunjungi. Gua ini mempunyai cerita tersendiri yang menarik untuk ditelisik.
Bertandang ke Gua Rancang Kencono Gunungkidul
Bertandang ke Gua Rancang Kencono Gunungkidul

Kuturuni tangga kecil yang sudah berlumut, sebuah gua besar di depanku. Tidak hanya itu, pohon besar menjulang tinggi di tengah-tengahnya. Gua Rancang Kencono konon merupakan tempat para Laskar Mataram bersembunyi dan mengatur strategi ketika melawan penjajahan Belanda.

Ditelisik dari penamaannya, Gua artinya Tempat, Rancang sendiri berartikan menyusun/merancang strategi, sedangkan kata Kencono diartikan sebagai Emas atau hasil karya yang menawan. Itulah yang dituturkan Pak Saifuddin selama kami menuruni tangga. Gua ini mempunyai tiga ruangan. Ruangan pertama sebagai aula/pertemuan, terus ada ruang Tempat Persembahan, ketiga itu untuk Semedi/Meditasi.

Ruangan pertama sangat luas, di sini bisa dilakukan aktifitas seperti kemping dan lainnya. Sebelum gua ini dikelola dengan baik, gua ini sering digunakan anak-anak untuk bermain petak umpet. Selain itu juga banyak pengunjung yang datang ke sini untuk bersemedi. Sayangnya ada coretan-coretan orang tidak bertanggungjawab di dinding gua. Dulunya di tempat inilah para Laskar Mataram merancang siasat/strategi untuk melawan penjajah.

Di ruang pertama inilah pohon menjulang tinggi tumbuh. Ini adalah Pohon Klumpit (Terminalia edulis), menurut penelitian dari UGM pohon ini berumur sekitar 300 tahun. Batang pohon menjulang tinggi, dan kulitnya dipenuhi lumut. Pohon Klumpit ini menjadi ikon yang menarikuntuk dipotret selama berada di dalam gua.

“Struktur ruangan di gua ini seperti sudah diatur kalau kita memasuki suatu kerajaan/keraton.  Di ruangan pertama, kita masuk berdiri tegak. Masuk ruangan kedua sedikit menunduk, dan masuk di ruangan ketiga kita benar-benar merangkak. Setelahnya baru kita bisa berdiri.”

Dulu di dalam Gua Rancang Kencono terdapat banyak patung/arca. Patung tersebut berbentuk manusia dan harimau. Hanya saja patung-patung yang di dalam gua hilang diambil oknum yang tidak bertanggungjawab. Menurut Pak Saifuddin, patung-patung tersebut terbuat dari batu hitam. Ada satu patung yang tertinggal, tapi belum sepenuhnya berbentuk. Sangat disayangkan sekali patung-patung tersebut raib.
Salah satu patung belum jadi di dalam Gua Rancang Kencono
Salah satu patung belum jadi di dalam Gua Rancang Kencono

“Sekilas mirip Harimau patungnya,” Ujarku sembari mengamatinya.

Tidak besar peninggalan patung tersebut, dan memang belum sepenuhnya berbentuk hewan apa yang akan dibuat. Namun bisa diperkirakan kalau ini akan membuat seekor hewan. Entah harimau atau hewan lainnya.

“Kita masuk ke ruangan yang kedua,” Ajak Pak Saifuddin.

Beliau berjalan menuju ke dalam, cahaya penerangan hanya menggunakan senter. Aksesnya agak lumayan mudah. Di dalam ruangan kedua, lumayan lebar. Dinding gua terasa dingin, dan seperti ada resapan air yang menempel di dinding. Stalagtit masih terlihat, tapi tidak sepenuhnya hidup. Hawa dingin cukup terasa di dalam gua ini.
Masuk ke dalam ruangan lainnya di Gua Rancang Kencono
Masuk ke dalam ruangan lainnya di Gua Rancang Kencono

“Menurut penuturan simbah-simbah, di sini ada penunggunya.”

Kucerna baik-baik perkataan Pak Saifuddin. Beliau menerangkan jika setiap tempat pasti ada penunggunya. Begitupun di gua ini, bahkan menurutnya ada dua penunggu tetap di sini. Beliau adalah Kiai Gudeg Linggo Bawono dan Kiai Loreng. Ruangan kedua ini adalah tempat persembahan.

“Seperti yang saya bilang tadi, masuk ke dalam ruangan ketiga kita harus merangkak. Harap hati-hati,” Pak Saifuddin kembali mengingatkan.

Aku merangkak melewati celah yang tidak terlalu besar menuju ke ruang ketiga. Awalnya hanya pemandangan gelap di dalam, setelah senter yang kami bawa dihidupkan mulailah terlihat  dinding gua. Stalagmit dan Stalagtit berwarna putih kehitaman.
Stalagtit di dalam Gua Rancang Kencono
Stalagtit di dalam Gua Rancang Kencono

Ruangan ini jauh lebih sempit. Di ruangan inilah tempat bermeditasi/bersemedi dilakukan. Tepat di salah satu dinding gua terdapat tulisan. Inilah tulisan yang dimaksud Pak Saifuddin, tulisan besar ini tampak jelas walau banyak coretan lainnya yang kecil akibat ulah para segelintir orang tidak bertanggung-jawab.

“Tulisan ini adalah sumpah/ikrar para Laskar Mataram dulu. Sumpah tersebut membuat mereka semakin termotivasi untuk berjuang dan bersatu.”

Aku memanfaatkan ponsel untuk menyinari dinding tersebut agar dapat membaca tulisannya. Teman-teman yang lain mengabadikan tulisan ini. Sekilas yang kubaca adalah Martabat, Djiwaraga, dan lainnya. Tulisan-tulisan ini memang berkaitan dengan motivasi untuk mengusir penjajah. Kata seperti Martabat dan Djiwaraga adalah semacam semboyan para pejuang ketika mereka ingin mempertahankan tanah kelahirannya dari penjajahan.
Tulisan ikrar di dinding Gua Rancang Kencono
Tulisan ikrar di dinding Gua Rancang Kencono

Kami senantiasa mendengarkan informasi yang diberikan Pak Saifuddi, setelah itu kami keluar dan berfoto bareng di ruangan yang paling luas. Aku tidak ketinggalan mengabadikan sendiri di sini. Beruntungnya selama di sini pengunjung yang mengunjungi Gua Rancang Kencono hanya rombongan kami, selainnya hanya lewat menuju Air Terjun Sri Gethuk.

Sedikit catatan, untuk harga tiket warga lokal maupun pengunjung manca tidak ada perbedaan harga. Hal ini karena dari pihak Desa Wisata Bleberan belum mempunyai SDM yang mumpuni untuk menjamu wisata asing secara maksimal. Semoga ke depannya, ada SDM yang mumpuni dan dapat berkontribusi ke desa wisata itu sendiri.

Puas berkeliling menyambangi Gua Rancang Kencono, kami diantar menggunakan mobil menuju Air Terjun Sri Gethuk oleh pengelola. Jum’at sore di sini tak terlalu ramai. Beberapa pengunjung sepertinya sudah pulang, dan tinggal sedikit yang bersantai di jejeran kios. Mobil yang kami naiki parkir tepat di depan jejeran kios, berbeda dengan mobil para pengunjung yang terparkir agak jauh di area parkir.
Berpose di bawah Pohon Klumpit Gua Rancang Kencono
Berpose di bawah Pohon Klumpit Gua Rancang Kencono

“Ini para pengunjung dan ibu yang berjualan mesti heran, kok mobil yang kita naiki boleh sampai di sini,” Candaku.

Kenyataannya memang seperti itu, mobil yang kami naiki berhenti tepat ditulisan “Air Terjun Sri Gethuk”. Kami bergegas menuruni tangga ditemani pengelola, sementara Pak Saifuddin disibukkan mengkoordinasikan makan sore kami. Seperti tamu penting rasanya selama mengikuti rangkain acara Eksplor Desa Wisata Jogja selama ini.

*Rangkaian kegiatan Travel Blogger Explore Desa Wisata Jogja (Hastag #EksplorDeswitaJogja) dipersembahkan oleh Forkom Desa Wisata Yogyakarta 24 - 26 Februari 2017.

Gua Rancang Kencono & Air Terjun Sri Gethuk Gunungkidul
Alamat: Desa Wisata Bleberan, Playen, Gunungkidul
Paket Wisata: Body Rafting, Kemping, Outbond, Kuliner, Canyoning, Trabas
Telp: 081-319-127-927 (Pak Saifuddin)

Uang Receh dan Buku Titik Nol Karya Agustinus Wibowo

$
0
0
Buku Titik Nol Karya Agustinus Wibowo
Buku Titik Nol Karya Agustinus Wibowo

Aku mulai menikmati kebiasaan membeli koleksi buku saat menjelang bepergian. Kalau pun tak membeli buku, biasanya aku sengaja membawa koleksi yang belum sempat kubaca sebagai teman perjalanan. Aku pernah menceritakan beberapa koleksi yang kubawa ketika sedang liburan atau sewaktu mudik ke Karimunjawa.

Terakhir aku membeli buku ketika ada Kampung Buku Jogja, setelah itu sempat COD-an membeli koleksi anak kos yang sudah selesai kuliah. Biasanya aku memantau di grup Barang Kos Jogja, jadi kalau ada yang menjual koleksi pribadi di sana, aku membelinya (tergantung koleksinya).

Kebiasaan ini tidak dibarengi dengan semangat membaca, sampai sekarang di meja kamar masih ada 8 koleksi yang belum sempat kubaca. Bahkan 6 di antaranya masih terbungkus plastik dan berdebu. Selain 8 koleksi tersebut, ada juga satu kardus koleksi dari Diva Press yang belum kujamah. Rencananya koleksi tersebut aku cicil bawa pulang ke Karimunjawa agar dapat kutata di rak teras rumah.

Tujuannya sih simpel, kali aja ada teman yang main ke Karimunjawa dan menginap di rumah orangtuaku, mereka bisa menyempatkan baca buku saat tak beraktifitas. Memang untuk sekarang masih sekedar rencana. Kuharapkan dalam kurun waktu tidak lama lagi rencana tersebut terealisasikan.

Awal bulan April ini, aku iseng mengumpulkan uang koin (receh) yang tersebar di sudut kamar. Puluhan uang receh sudah aku kumpulkan di tas kecil. Selebihnya kucari sambil membersihkan kamar. Berhubung tidak ada aktifitas, aku menghitung koin tersebut. Membagi uang koin yang nominal 1000, 500, 200, dan 100. Khusus yang uang koin 100an sengaja aku sisakan untuk nanti beli kopi di angkringan.
Mengumpulkan uang receh/koin di kamar
Mengumpulkan uang receh/koin di kamar

“Aku pengen beli buku dari uang receh ini,” Ujarku pada beberapa teman yang sempat main ke kos.

“Bagus itu,” Jawab mereka.

Uang receh selama beberapa bulan terkumpul Rp. 125.000. Dulu memang sempat terpikiran untuk membeli buku menggunakan uang receh. Lagipula ada beberapa koleksi yang sudah kuincar. Terbesit pikiranku untuk menggunakan uang ingin membeli buku di toko buku tanpa menukar ke uang lembaran.

Hari itu juga, aku memesan jasa ojek online menuju Gramedia. Di Jogja ada beberapa Gramedia seperti di Ambarukmo Plaza, Malioboro Mall, atau di Jalan Sudirman. Lokasi yang dekat sebenarnya Gramedia Mailoboro Mall, tapi aku memilih di Jalan Sudirman karena sering beli buku di sana.

Minggu menjelang siang Gramedia tak seramai saat malam. Aku menuju kasir memastikan apakah boleh membeli koleksi buku menggunakan uang receh. Jika tidak diperbolehkan, aku sudah berencana menukar uang tersebut di toko terdekat, lalu kembali ke sini lagi. Dua kasir perempuan kuhampiri.

“Mbak. Aku kan pengen beli buku, kalau nanti kubayar pakai uang receh boleh nggak?” Tanyaku tanpa basa-basi.

Kuperhatian dua perempuan kasir di depanku. Mereka berdua tersenyum, mungkin dikiranya aku sedang bercanda.

“Aku tanya beneran loh mbak,” Kembali aku bilang sambil tersenyum.

“Boleh mas. Kan sama-sama uang,” Jawab salah satu di antara kasir tersebut.

Lega rasanya mendengar jawaban tersebut. Aku tambah semangat mencari koleksi incaran. Segera aku menuju tempat penelusuran koleksi (OPAC), hanya saja sistemnya sedang diperbaharui. Jadi aku harus mencari satu-persatu rak koleksi.

Tak jadi masalah mengelilingi rak koleksi, toh aku bisa sambil melihat koleksi baru yang sudah dipajang. Ada banyak koleksi yang menarik minatku, aku masih menahan hasrat membelinya. Ingat rencana awal, hanya membeli koleksi yang dari awal sudah kuincar dan menggunakan uang receh. Melenceng sedikit dari rencana, berarti gagal.

Satu dari koleksi yang incar tepat di depanku. Buku dengan sampul dua anak laki-laki berumuran 12 tahunan. Sebatang kayu tanpa ada daun mewarnai sampulnya. Satu anak di atas pohon memperhatikan kawannya yang melompat dari atas pohon. Seakan-akan terbang tanpa sayap.

Titik Nol, sebuah buku karya Agustinus Wibowo kupegang erat. Aku sering membaca tulisannya, tapi aku belum pernah membeli bukunya. Banyak teman yang merekomendasikan aku untuk membeli buku karyanya. Tanpa ragu, aku mengambilnya dari jejeran rak. Buku yang bersampul biru dengan kombinasi kuning ini kutimang dan kuamati, tulisan “Best Seller Travel Writing” pada sampul membuatku yakin membelinya. Terlebih aku juga suka dengan tulisannya.

“Perjalananku bukan perjalananmu. Perjalananku adalah perjalananmu.”

Sepenggal kalimat itu terpampang di sampul, di bawahnya lagi barulah tulisan hitam besar Agustinus Wibowo – Titik Nol (makna sebuah perjalanan). Buku yang kali pertama dicetak Gramedia pada bulan Februari 2013 setebal 556 halaman. Kulihat harga di sampul belakang, nominal Rp. 125.000 harganya. Ini artinya jumlah yang sama dengan uang recehku. Tidak perlu berlama-lama, langsung ambil dan kembali menuju kasir.

“Harganya Rp. 125.000 ya mas.”

Aku mengangguk, kuambil uang receh dari dalam drybag-ku. Sebelum ke Gramedia, aku sudah membagi uang tersebut sesuai pecahan dan mengumpulkan tiap 5000an. Kuserahkan uang recehnya, salah satu kasir menghitung.

“Uangnya pas ya mas,” Ujar kasir padaku.

“Iya mbak. Makasih ya. Oya, boleh kan kita foto bareng? Uang recehnya dilihatkan,” Pintaku.
Uang receh, buku baru, dan Kasir Gramedia
Uang receh, buku baru, dan Kasir Gramedia

Gayung bersambut, salah satu calon pembeli yang antri di belakangku bersedia mengabadikan. Lagipula sewaktu meminta diabadikan memang tidak sedang ramai. Selesai foto, aku mengucapkan terima kasih dan pulang ke kos membawa satu koleksi incaran. Masih ada beberapa lagi incaran, tapi sengaja aku tangguhkan. Uangnya sementara untuk membeli tiket ke Malang.

Misi berhasil! Membeli koleksi buku menggunakan uang receh. Aku pulang ke kos penuh bahagia. Sempat aku unggah di sosial media, beragam komentar teman di Instagram maupun di Facebook.

“Anti mainstream!” Ujar teman di Instagram.

“Ini pasti modus mau dekatin kasirnya,” Komentar teman di Facebook.

Cerita tak berakhir sampai di sini. Balik dari Gramedia pukul 10.45 WIB, aku sempat mengedit beberapa draf blog. Sekitar pukul 13.30 WIB, aku mencari dompet. Di sudut kamar tak kutemukan dompet tersebut. Aku ingat terakhir memegang dompet saat di kasir Gramedia. Entah kenapa tadi aku menaruh dompet di meja kasir barengan dengan drybag saat memasukkan kamera.
Foto bareng kasirnya dan uang receh *eh
Foto bareng kasirnya dan uang receh *eh

Kembali aku memesan ojek online dan menuju Gramedia. Sampai di sana langsung menemui kasir. Satu kasir masih sama, satunya lagi sudah ganti.

“Mbak tadi ada barang tertinggal?” Tanyaku.

“Oalah mas yang tadi toh? Yang beli buku pakai uang receh. Iya tadi dompet mas ketinggalan. Bentar ya mas, biar diurus sama petugas keamanan.”

Ternyata masih ingat mbak kasirnya. Satpam laki-laki menghampiriku sambil membawa dompet lusuh kado dari mantan yang berisi uang Rp.50.000 + Identitas + NPWP + ATM + Tiket Kereta Malang PP.

“Ini tadi diamankan sama kasir, mohon saya catat nama anda dan alamatnya ya mas,” Ujar satpam.

Terima kasih untuk kedua kasir perempuan di Gramedia Jalan Sudirman Jogja karena sudah menyimpan dan mengamankan dompetku. Oya, kalau mau mengamankan hatiku juga boleh loh mbak. Eh!! *Pengalaman membeli buku di Gramedia ini pada hari Minggu, 02 April 2017.

Anyaman Bambu di Desa Wisata Malangan, Sleman

$
0
0
Anyaman Bambu di Desa Wisata Malangan, Sleman
Anyaman Bambu di Desa Wisata Malangan, Sleman

Tujuan selanjutnya pagi ini kami diajak mengunjungi Desa Wisata Malangan. Menurut informasi dari Pak Wiji, Desa Wisata Malangan salah satu desa yang mempunyai potensi banyak. Satu potensi yang sudah mendunia adalah anyaman bambu. Beliau berujar jika selama ini yang diketahui wisatawan mengenai desanya hanyalah tempat anyaman bambu.

Desa Wisata Malangan yang terletak di Sumberagung, Moyudan ini sebenarnya sudah sejak tahun 1998 merintis sebagai desa wisata. Hanya saja kesulitan SDM dan beberapa faktor lainnya membuat desa wisata ini serasa mandeg, tak bergerak sama sekali. Mereka hanya mengamati bus-bus yang datang silih berganti untuk berburu ayaman bambu.

“Kami sendiri malah belum pernah menginapkan wisatawan,” Tutur Pak Wiji selama perjalanan.

Menurut beliau, wisatawan hanya datang menuju tempat pembelian anyaman bambu, setelah membeli barang, mereka langsung balik. Padahal bisa saja mereka menginap di sini apabila ada promosi yang menarik. Tahun ini Pak Wiji beserta Pokdarwis Desa Wisata Malangan ingin membuat gebrakan baru.

Dua mobil yang menjemput dari Desa Wisata Pancoh menyusuri jalanan menuju arah Godean. Aku tidak asing dengan rute jalan ini, berkali-kali aku sepedaan menuju Perbukitan Menoreh lewat sini. Sebuah gapura bertulisakan Desa Wisata Malangan menyambut, mobil memasuki jalan tersebut dan parkir di dekat sekolah.

Kami turun dari mobil, disambut sekelompok bapak menggunakan pakaian seragam. Benar-benar mengesankan, mereka terlihat kompak menyambut dan menyalami. Jamuan kali ini adalah Teh Panas, Wedang Uwuh, dan Jajanan Pasar.
Sajian teh panas dengan gula batu
Sajian teh panas dengan gula batu

“Silakan dinikmati. Kita duduk santai sebentar, nanti baru lanjut sepedaan menuju tempat yang berpotensi menarik perhatian bagi wisatawan di Malangan.”

Ada tiga potensi yang menjanjikan ditawarkan oleh Desa Wisata Malangan antara lain, Anyaman Bambu, Batik, dan Pembuatan Keris. Untuk pembuatan Keris tidak dapat dilihat setiap saat, sehingga harus berkoordinasi lebih lanjut dengan panitia. Nanti aku ceritakan berkaitan dengan kunjungan ke Mpu Sungkowo Harumbrodjo disegmen tulisan lainnya.

Layaknya di Desa Wisata lainnya yang berada di kawasan datar, di sini kami berkeliling menaiki sepeda ontel. Jenis sepeda ini banyak kita lihat selama berada di desa wisata lain. Walau siang, antusias rombongan sangat layak diapresiasi. Salut juga bagi para bapak Pokdarwis yang setia dan sabar menemani kami.

Bersepeda siang hari di desa menyenangkan. Walau sesekali tersengat sinar mentari, tapi sepanjang perjalanan agak teduh. Sepeda yang kami naiki menyusuri gang kecil, aku turun dan menuntun sepeda. Hal yang sama dilakukan para rombongan beserta pemandu.
Pak Wiji, Mbak Dwi, Mas Rifqy, dan di belakang Mas Alid
Pak Wiji, Mbak Dwi, Mas Rifqy, dan di belakang Mas Alid

Tujuan sebenarnya ke rumah pak Suryadi, beliau salah satu pemilik Ayaman bambu yang sudah terkenal. Hanya saja ketika kami ke sini beliau sedang keluar, akhirnya kami mengunjungi rumah sampingnya yang juga membuat anyaman bambu.

Di depan rumah ini ada berbagai anyaman yang sudah diwarnai dan sedang dijemur. Anyaman ini berbentuk besek. Tentu bagi sebagian besar orang Jawa tidak asing dengan besek tersebut. Biasanya saat kenduren, besek tersebut dipakai untuk tempat nasi. Hanya saja besek ini yang berukuran kecil.

Rumah yang kami masuki milik Pak Sukirno, beliau bersama istri dan anaknya masih balita menyambut kami dengan ramah. Aku dan rombongan meminta ijin masuk ke dalam, melihat hasil anyaman yang beliau buat. Ada banyak anyaman yang dibuat, dan sudah jadi. Informasi dari Pak Sukirno, dulunya beliau anak buah Pak Suryadi, namun beberapa tahun kemudian beliau membuat anyaman sendiri di rumahnya. Tapi tetap masih bekerjasama dengan Pak Suryadi.
Hasil karya anyaman bambu di desa wisata Malangan
Hasil karya anyaman bambu di desa wisata Malangan

“Kalau bahannya itu yang bagus Bambu Apus atau Bambu Wulung mas. kadang-kadang juga pakai Bambu Cendani.”

Memang ada banyak jenis bambu, namun yang sering digunakan itu yang ruasnya panjang. Selain itu bambu yang sudah berumur lebih dari 3 tahun baru bisa digunakan. Aku melihat berbagai anyaman bambu, ada banyak jenis yang dibuat. Seperti tempat hiasan lampu dan lainnya. Harga anyaman bambu di tempat Pak Sukirno ini berkisar dari Rp. 2000 – Rp. 100.000an. Pak Sukirno memaparkan jika dalam satu bulan omsetnya antara 2-5 juta, tergantung pemesanan.
Hasil produksi rumahan Pak Sukirno
Hasil produksi rumahan Pak Sukirno

Belum puas rasanya hanya mengunjungi produksi anyaman bambu rumahan. Aku dan rombongan diajak Pak Wiji menuju pabrik anyaman bambu yang dikelola satu kampung. Di showroom ini ada banyak anyaman bambu, selain itu harganya juga beragam.

Ibu-ibu berpakaian warna merah sibuk bekerja, mereka terus melanjutkan pekerjaannya kala kami datang. Mereka tidak merasa terganggu, kami segera menyebar mencari berbagai kegiatan yang menarik untuk diabadikan. Ini adalah lokasi pabrik anyaman bambu.

Selain di sini, anyaman bambu juga dibuat oleh warga rumahan. Total karyawannya berjumlah lebih dari 100 orang, termasuk yang rumahan. Aku terus memperhatikan para perempuan ini cekatan dalam mengayam, atau memberi warna dasar putih pada anyaman bambu. Nantinya anyaman tersebut akan diberi warna yang lebih menarik.
Aktifitas para ibu di Pabrik Tunggak Semi Malangan
Aktifitas para ibu di Pabrik Tunggak Semi Malangan

Sejarah panjang yang menjadikan desa ini identik dengan anyaman bambu. Dari keterangan yang diberikan oleh pengelola Desa Wisata Malangan, sejak tahu 1950an di sini sudah dikenal sebagai pengrajin bambu. Mereka melakukan pekerjaan tersebut sebagai sambilan ketika tidak berladang.

Tahun 1962 dibantu pemerintah, di Gedongan, Sumberagung dibangun pabrik kerajinan bambu yang bernama PT. LEPPIN dan dikomandoi oleh Pak Amad Saidi, beliau adalah desainer produk dan sosok yang melatih karyawan untuk mengoperasikan alat-alat dan mesin Produksi. Tahun 1965 pemberontakan PKI berdampak pada PT LEPPIN, akhirnya bangkrut. Pak Amad Saidi tetap berjuang mengajarkan keahliannya pada warga setempat dalam membuat kerajinan bambu.

Perkembangan terlihat tahun 1970 di wilayah Minggir dan Moyudan ada sekitar 1500 orang warga tersebut yang mempunyai keahlian membuat anyaman bambu. Tahun 1974 mulailah kembali mencuat ayaman bambu sampai di Luar Negeri, bahkan sampai mengekspor anyaman bambu dalam jumlah banyak. Lika-liku perjuangan Pak Amad Saidi dan anyaman bambu cukup berliku untuk sampai dikenal dunia.

Dari sini juga akhirnya muncul Tunggak Semi, sebuah wadah yang mengakomodasi pesanan dari Luar Negeri pada tahun 2000an. Hingga akhir hayatnya, tahun 2006 Pak Amad Saidi meninggal, Tunggak Semi dipimpin Pak Suryadi, beliau anak ketiga Pak Saidi. Pada pemimpinan Pak Suryadi Tunggak Semi berhasil bekerjasama di Asia, Eropa, bahkan di Amerika.

Kerajinan Batik di Desa Wisata Malangan
Di sela-sela mengunjungi Pabrik Anyaman Bambu, kami dan rombongan #EksplorDeswitaJogja menyempatkan berkunjung di salah satu lokasi pembuatan Batik. Batik dan Desa Wisata di Jogja bagaikan dua mata uang yang tidak terpisahkan. Hampir di setiap desa wisata di Jogja pasti menjadikan batik sebagai penarik wisata.
Kerajinan Batik di Desa Wisata Malangan
Kerajinan Batik di Desa Wisata Malangan

Kami disambut pemilik showroom, di sana sudah ada dua ibu yang sedang bekerja. Ibu yang lebih tua sedang membatik (membuat batik tulis), sementara ibu yang lebih muda sedang menjahit kain dijadikan kemeja.

Sebuah showroom tidak besar kumasuki, di sana ada banyak kemeja batik berbagai motif. Di Malangan motif batik rata-rata Kontemporer. Pembuatannya ada yang masih tradisional seperti batik tulis. Namun tidak sedikit juga di sini menyediakan batik cap, sablon, printing, dan kombinasi.
“Tergantung permintaan pembeli,” Ujar pemilik showroom.

Metode Booster Ikan di Malangan
Satu potensi lagi yang bisa diunggulkan oleh Desa Wisata Malangan adalah perikanan. Ada banyak kolam ikan yang dibudidayakan. Ada banyak jenis ikan yang dibudikayakan di sini, paling banyak tentunya Ikan Lele dan Gurame.

Ada yang menarik dipelajari, penduduk Desa Malangan yang memelihara ikan menggunakan metode booster. Metode ini adalah proses yang mempercepat besarnya ikan. Alhasil jika biasanya Ikan Gurame dibudidaya selama 2 tahun baru bisa sebesar 1kg, kali ini dalam waktu 8 bulan ikan sudah seberat 1 kg. Untuk Ikan Lele tiap 70 hari pasti panen.
Lokasi budidaya ikan menggunakan Metode Booster di Malangan
Lokasi budidaya ikan menggunakan Metode Booster di Malangan

Hampir tiap rumah pasti mempunyai kolam ikan. Adanya perikanan di sini berguna untuk menyetok ikan-ikan yang ada di restoran terdekat. Bahkan kota lain yang berbatasan dengan Yogyakarta pun biasanya membeli ikan di sini. Jika kalian membutuhkan benih ikan Gurame, kalian bisa membeli di sini.

Pada dasarnya Desa Wisata Malangan sudah siap untuk berbenah, sudah ada banyak homestay yang siap menampung tamu. Dalam jangka panjang ke depan, desa ini akan melakukan pemetaan wisata outbond. Bahkan menurut para pengelola, di sini ada hutan desa yang luas dan berpotensi untuk diubah menjadi tempat wisata outbond. Menarik menunggu gebrakan Pak Wiji dan kolega dalam mengelola Desa Wisata Malangan pada tahun ini.

*Rangkaian kegiatan Travel Blogger Explore Desa Wisata Jogja (Hastag #EksplorDeswitaJogja) dipersembahkan oleh Forkom Desa Wisata Yogyakarta 24 - 26 Februari 2017.
Desa Wisata Malangan, Sleman
Alamat: Malangan, Sumberagung, Moyudan, Sleman
Telp: 087-839-728-330 (Pak Wiji) / 0821-3722-3912 (Andrian)
Sosmed: @desawisata_malangan (Instagram) 

Kuliner Sate Kelinci Pak Temon Tawangmangu

$
0
0
Kuliner Sate Kelinci Pak Temon Tawangmangu
Kuliner Sate Kelinci Pak Temon Tawangmangu

Tidak terasa aku sudah hampir seharian di Kemuning, Karanganyar. Cuaca tak menentu membuatku di sana lebih banyak menghabiskan waktu di Bale Branti, menyeduh teh sembari melihat pemandangan hamparan sawah. Sorenya kusempatkan mampir di Air Terjun Jumog, setelah itu tujuanku adalah Hotel Grand Bintang Tawangmangu.

Menjelang magrib aku sudah sampai di hotel, ada dua hotel yang berseberangan lokasinya. Sama-sama Grand Bintang. Aku sudah memesan kamar di hotel yang baru direhab. Lagi pula hanya untuk menginap saja sebelum besok menuju Sarangan. Segera aku mandi, mengganti baju dan menunaikan sholat.

Usai sholat magrib, aku mencari informasi tempat makan di Tawangmangu. Rata-rata di sini menawarkan Sate Kelinci. Aku memutuskan malam ini akan makan Sate Kelinci saja. Lagian aku belum pernah merasakan daging Kelinci, jadi ada kesempatan untuk mencobanya. Kulangkahkan kaki menuju resepsionis untuk mencari informasi Sate Kelinci di sini yang menurutnya enak.

“Kalau sate kelinci tidak jauh dari ini mas. Namanya Sate Kelinci Pak Temon.”

“Terima kasih informasinya mbak.”

Aku beranjak mencari bapak yang menyetir mobil. Mobil melaju pelan, sesuai dengan keterangan mbak resepsionis tadi kalau lokasinya di kanan jalan. Benar saja, tidak jauh dari hotel sebuah warung lesehan sederhana terpasang spanduk kuning bertuliskan Sate Ayam & Kelinci Pak Temon. Mobil diparkirkan di tepi jalan, dan aku mengajak bapak yang menyetir untuk sekalian makan malam.
Warung Lesehan Sate Kelinci & Ayam milik Pak Temon
Warung Lesehan Sate Kelinci & Ayam milik Pak Temon

Awalnya kukira warung Pak Temon besar dan luas. Nyatanya tidak seperti itu. Warung lesehan yang hanya di beri tiga meja panjang ini tidak luas. Namun sedari tadi banyak yang antri membungkus Sate Kelinci. Di deretan jalan ini banyak warung Sate Kelinci, tapi yang paling ramai warung milik Pak Temon. Pantaslah tadi resepsionis hotel merekomendasikan makan di sini.

Pak Temon dibantu oleh istrinya dalam berjualan. Istri bertugas memotong-motong daging, dan Pak Temon bagian membakar sate. Sementara untuk sajian minuman dan mencuci piring ada satu perempuan lagi yang membantu. Aku mendekati Pak Temon untuk sekadar berbincang, terlebih pesananku masih antri lama.

Di dekat Pak Temon sudah ada banyak daging sate yang sudah ditusuk, tinggal dibakar saat ada pesanan. Tidak hanya baskom berisi sate yang sudah tertusuk rapi, tidak jauh dari sana juga ada daging yang belum dipotong. Ketika beliau akan membakar sate, beliau pasti mencelupkan daging sate tersebut pada rempah yang ada di dekatnya. Mungkin ini racikan rempah yang membuat satenya sangat digandrungi oleh warga setempat dan wisatawan.

Kedua tangan Pak Temon cekatan menata sate di tungku. Asap membumbung disertai debu-debu kecil bekas arang yang terkena kipasan. Sembari mengipas, beliau bercerita mengenai warungnya.

“Saya berjualan sate sudah 30 tahun mas,” Terang beliau.
Pak Temon mengipasi sate kelinci yang sedang dibakar
Pak Temon mengipasi sate kelinci yang sedang dibakar

Tiga puluh tahun bukanlah waktu yang sebentar. Pak Temon asli orang Tawangmangu. Beliau memiliki warung di tepian jalan ini sudah 15 tahun. Sebelumnya beliau berjualan Sate Kelinci menggunakan gerobak. Berkeliling menuju depan hotel satu ke depan hotel lainnya. Terbayang bagaimana jalan di Tawangmangu yang tidak datar, banyak tanjakan dataupun turunan.

“Dari dulu memang langsung jualannya sate ayam dan kelinci atau tidak pak?”

“Langsung dua-duanya mas. Cuma lebih banyak sate kelincinya sih. Biasanya wisatawan yang ke sini lebih suka makan sate kelinci daripada sate ayam.”

“Saya sengaja menyediakan sate ayam itu untuk antisipasi mereka yang datang ke sini tapi nggak suka sate kelinci mas,” Tambah beliau.

Seperti yang sudah kuterangkan dari awal tadi, sepanjang tepian jalan banyak warung yang menawarkan menu Sate Kelinci, tapi yang paling ramai tempatnya Pak Temon. Beliau menerangkan kalau dalam satu hari biasanya dibutuhkan minimal 10 ekor Kelinci. Beliau sudah mempunyai penyetok Kelinci, jadi tidak perlu mencari Kelinci.
Sate Kelinci dan bara api
Sate Kelinci dan bara api

“Sudah ada bakulnya sendiri mas. Saya tinggal menerima kelincinya.”

Beliau sangat selektif dalam memilih Kelinci yang akan dipotong. Biasanya Kelinci yang dipilih adalah Kelinci muda yang umurnya antara 6-8 bulan. Kelinci muda dagingnya relatif lebih empuk, sehingga tepat jika dijadikan sate.

“Mas, sate njenengan sudah siap,” Ujar Bu Temon memberitahuku.

“Oh, baik bu. Terima kasih. Pak, saya ijin mau makan dulu.”

“Monggo mas.”

Cukup lama juga aku berbincang sembari memperhatikan Pak Temon membakar sate, sampai lupa kalau pesananku sudah siap santap. Dihadapanku, 10 tusuk sate Kelinci lengkap dengan lumuran kacang, cabai potong, bawang merah potong, dan lontong. Mantap sekali rasanya.
Satu porsi sate kelinci penuh lumuran bumbu kacang dan potongan cabai
Satu porsi sate kelinci penuh lumuran bumbu kacang dan potongan cabai

Empuk, seperti daging Ayam rasanya. Itulah yang terpikirkan saat kugigit satu tusuk sate tersebut. Cuaca dingin Tawangmangu memang cocok menikmati Sate kelinci dengan bumbu yang kental ditambah potongan cabai pedas. Ini kali pertama aku menikmati daging Kelinci, dan tak ada keraguan untuk melahap sampai habis.

Sepuluh tusuk Sate Kelinci kulibas habis, bahkan aku meminta tambahan Cabai dan Bawang merah potong ke Ibu Temon. Ini antara kalap, doyan atau lapar. Sepertinya kombinasi keseluruhannya.

Warung Lesehan Sate Kelinci & Ayam Pak Temon buka setiap hari mulai pukul 10.00 – 24.00 WIB. Lokasinya tidak jauh dari hotel Grand Bintang. Jalan Raya Tawangmangu arah ke Sarangan, letaknya tidak jauh dari Telkom. Untuk harganya, Sate Kelinci 15 ribu/porsi, dan Sate Ayam 13 ribu/porsi. Jika kalian berkunjung ke Tawangmangu dan sekitarnya, bisa mencoba kuliner Sate Kelinci di tempat Pak Temon. *Kuliner Sate Kelinci Pak Temon di Tawangmangu pada hari Sabtu, 19 November 2016.

Membajak Sawah dan Menanam Padi di Desa Wisata Kebonagung, Bantul

$
0
0
Seorang petani membajak sawah menggunakan Luku
Seorang petani membajak sawah menggunakan Luku

Pak Dalbiya menyambut rombongan dengan sumringah. Beliau ditemani pokdarwis Desa Wisata Kebonagung berjejer di depan rumah. Menyalami kami, serta mengajak berbincang di dalam rumah. Meja panjang di ruang tamu sudah dipenuhi makanan dan teh panas. Sementara di luar tampak Kelapa Muda sedang dipersiapkan, aku yakin Kelapa Muda tersebut bakalan jadi suguhan kami.

Obrolan berkutat seputaran Desa Wisata Kebonagung, beliau menceritakan sejarah awal desa ini menjadi desa wisata. Aku pernah mengulasnya ditulisan lain beberapa bulan lalu, saat kali pertama ke sini. Teman rombonganku bersemangat mendengarkan, diskusi kecil ini membuat kami dan para Pokdarwis makin akrab. Desa Wisata Kebonagung menonjolkan hamparan sawah, batik, dan beberapa keseniannya.

Di samping rumah ini, sebuah bangunan kecil berisikan koleksi buku banyak. Sudah pasti ini adalah Taman Baca Mandiri yang dimiliki Desa Wisata Kebonagung. Walau hanya sekilas melihat, aku pastikan ada banyak koleksi di sana. Tepat di seberang kami, ibu-ibu duduk santai bersama pemuda-pemudi setempat.

Ibu-ibu tersebut senantiasa sabar menunggui kami. Nantinya beliau akan memainkan musik Gebuk Lesung. Ketika kami keluar dari rumah, beliau kompak memukul lesung. Suaranya bersahutan serasa iringan irama menyambut kami. Kami juga akan ditemani para muda-mudi warga setempat ketika bersepeda mengelilingi desa. Sepeda ontel dan caping (topi yang terbuat dari anyaman bambu), paduan yang tepat kala berkunjung di desa wisata.
Bersepeda menyusuri jalanan di Desa Wisata Kebonagung, Bantul
Bersepeda menyusuri jalanan di Desa Wisata Kebonagung, Bantul

Mengunjungi Desa Wisata Kebonagung ini kali kedua dalam kurun waktu satu tahun. Sempat kupamerkan aktifitas bersepedaku di sini ke teman rombongan. Mereka bukannya takjub malah mengomentari kaos yang kukenakan. Semacam dejavu, kaos yang kukenakan waktu itu ternyata adalah kaos yang kukenakan sekarang.

“Jadi satu tahun kamu nggak ganti kaos?” Celetuk teman.

Wasyem tenan.”

Tawa kencang dari teman rombongan. Aku sendiri baru sadar, ternyata suka banget main pakai kaos ini. Disela-sela acara, aku melihat sosok paruh baya yang senantiasa tersenyum menyapa rombongan. Pak Sardi, sosok yang waktu aku menginap di sini selalu menemaiku. Kali ini beliau juga menemai kami bersepeda menyusuri desa.

“Masih ingat saya pak?” Tanya saya saat menjabat tangan Pak Sardi.

Beliau mencoba mengingat, namun sepertinya tidak berhasil. Maklum saja, dalam satu bulan entah ada berapa banyak wisatawan yang beliau dampingi. Tak kehabisan akal agar beliau bisa ingat aku. Aku bercerita kalau beliau pernah mengantarku ke Mangunan menjelang subuh naik motor.

“Oh mas yang dulu itu. Ingat saya mas, yang sempat ada kesalahan komunikasi dengan pokdarwis di sini,” Jawab beliau ketika ingat.

Ya, memang waktu itu sempat ada kesalahan komunikasi antara aku dan pengelola di sini. Tapi aku tetap menikmati agenda kala itu. Sekarang aku ke sini dengan teman-teman sebaya yang bersemangat kalau main di desa wisata. Seperti sudah saling mempunyai kemistri satu dengan lainnya. Kami yang baru kumpul dan main bareng amat kompak.

Bersepedamenyusuri Desa Wisata Kebonagung menyenangkan. Kami disuguhi pemandangan sawah terhampar luas. Pak Sardi mengajak kami mengunjungi salah satu homestay yang biasa diinapi wisatawan. Kali ini kami tidak menginap, agenda yang padat membuat kita harus meninggalkan lokasi ini menjelang sore.

Walau tidak menginap, bukan berarti kami di sini tanpa ada aktifitas. Malah di sini kami bermain di sawah. Menanam Padi dan membajak sawah. Main-main lumpur itu menyenangkan. Sebelum bermain lumpur di sawah, kami bersepeda menuju Bendung Tegal.

“Kita pakai pose lain. Bosan foto pakai posenya Alid,” Celetuk teman rombongan.
Berbaur dengan muda-mudi setempat
Berbaur dengan muda-mudi setempat (Dok. Rifky)

Entah siapa yang berbicara, tapi ucapan itu mendapatkan sambutan tawa kencang. Di sini kami berpose dengan para muda-mudi Desa Wisata Kebonagung. Malah kalau muda-mudi Desa Wisata Kebonagung ini nggak mau ikut pose bakal kami kasih hukuman. Jadi mereka turut berpose, tak ada sekat antara kami dengan mereka.

Bendungan Tegal mempunyai sejarah panjang, tempat ini juga yang pada pada akhirnya mengubah Kebonagung menjadi sebuah desa wisata. Potensi Bendungan Tegal sekarang tak seperti dulu. Dulu di sini sempat diadakan lomba Perahu Naga. Sebagai informasi tambahan saja, jika kalian pecinta kuliner. Tidak jauh dari ini ada Mie Ayam yang cukup kondang dan laris manis.

“Acara selanjutnya membajak sawah dan menanam padi. Nanti adik-adik warga sini akan menanam padi, kalau kalian minat silakan ikut,” Terang pak Dalbiya.

Sisi timur rumah Pak Dalbiya adalah hamparan sawah milik warga. Sepanjang mata memandang sebagian besar yang terlihat adalah sawah, diselingi bangunan rumah. Jika musim tanam padi, tentu aktifitas di sini menarik diabadikan.

Sejak dulu aku terpikirkan mengabadikan aktifitas warga setempat saat menanam padi dan membajak sawah. Aku pernah melihat di daerah Seyegan aktifitas para petani ditemani puluhan Burung Kuntul yang beterbangan. Sampai sekarang niatku mengabadikan aktifitas para petani berlatar-belakang burung tersebut belum terealisasikan.

Membajak sawah menggunakan alat mesin menjadi memandangan yang biasa. Di tiap penjuru Indonesia, hampir sebagian besar membajak sawah sudah menggunakan alat modern. Yang jarang terlihat adalah membajak lahan sawah menggunakan alat tradisional. Di Desa Wisata Kebonagung ini ada Museum Tani, museum yang menyimpan koleksi alat bajak sawah tua.

Luku, nama alat bajak tradisional ini masih terlihat di Kebonagung. Walau sekarang hanya dipergunakan kala ada wisatawan yang ingin merasakan sensasi menaiki Luku yang ditarik dua kerbau. Tertarik menaikinya? Kalian harus menyiapkan satu pakaian siap kotor kala menaiki luku.

Dua kerbau digiring seorang bapak menuju lahan yang akan dibajak. Lahan petak sawah ini memang dikhususkan untuk kegiatan membajak dan menanam padi bagi wisatawan. Tahun lalu, lokasi ini juga yang kudatangi.
Mengendalikan dua kerbau saja sudah kewalahan, bagaimana kalau mengendalikan keluarga *eh
Mengendalikan dua kerbau saja sudah kewalahan, bagaimana kalau mengendalikan keluarga *eh

Aku mendapatkan kesempatan menaiki Luku yang ditarik dua kerbau. Ini menjadi pengalaman kedua di tempat yang sama. Jika tahun lalu tidak ada yang mengabadikan, kali ini teman-teman yang menonton di tepian sawah sudah beraksi mengabadikan dengan kameranya masing-masing.

Mengendalikan laju dan arah Luku itu gampang-gampang susah. Tuas panjangnya harus kita pegang seimbang agar Kerbau tidak salah arah. Jika ingin membelokkan, kita harus menarik lebih kencang tuas tali sisi yang kita inginkan. Salah satu yang membuat agak susah karena kita harus menduduki papan Luku yang tidak lebar.

Kedua Kerbau berjalan saat kusentakkan tuas tali, sedikit demi sedikit Kerbau tersebut memutari lahan. Cukup canggung rasanya, harus duduk dan mengendalikan Luku. Aku ditemani bapak yang senantiasa ikut memutari lahan dengan jalan kaki. Beliau mengarahkan apa yang harus kulakukan. Tidak hanya aku, Hanif pun mencoba menaiki Luku sembari merekam menggunakan Action Camera.

Masih ada satu kegiatan lagi yang tidak boleh dilewatkan, yaitu menanam padi. Tepat di sebelah lokasi membajak sawah sudah dipersiapkan padi untuk ditanam. Mereka yang menanam adalah muda-mudi setempat. Kami hanya mengamati dari pematang sawah sambil mendengarkan keterangan bapak di sini.

Rasanya gatal kaki kalau tidak mencoba. Toh tadi sudah terlanjur kotor menaiki Luku. Aku segera turun bergabung dengan muda-mudi yang menanam padi. Menanam padi harus teliti, dalam satu tancapan minimal ada dua tangkai padi. Jaraknya tidak boleh terlalu jauh ataupun dekat.

Karena kamu ini hanya belajar menanam padi, bapak yang mengarahkan kami sudah mempersiapkan bibit padi dan sebilah bambu panjang. Bambu tersebut sudah diberi tanda tiap 20 CM. Ini artinya, kami harus menancapkan tangkai tepat ditanda tersebut. Tujuannya agar jaraknya dapat teratur dan rapi. Seru juga ternyata, menanam tiap tangkai dengan berjalan mundur.
Nandur padi dulu bareng adek-adek warga setempat
Nandur padi dulu bareng adek-adek warga setempat

Baru tiga baris saja rasanya sudah capek membungkuk, apalagi kalau seharian. Seperti inilah yang dirasakan petani. Mereka senantiasa sabar menanam padi dengan berjalan mundur. Saling membatu satu dengan lainnya agar satu petak lahan sawah bisa cepat ditanami benih padi. Pelajaran yang berharga bagi aku dan teman-teman. Jujur ini kali pertama aku menanam padi. Sewaktu ke sini tahun lalu, aku hanya menaiki Luku membajak sawah.

Waktu yang singkat mengantarkan kami pada penghujung waktu. Pukul 17.00 WIB, dua mobil dari Desa Wisata Pancoh sudah menanti kami. Bergegas kami mengemasi barang, dan membersihkan diri dari lumpur. Kami berpamitan dengan Pokdarwis Desa Wisata Kebonagung. Walau tidak lama, di sini kami dijamu dengan baik. Semoga ada kesempatan menginap di sini lagi di lain waktu.

*Rangkaian kegiatan Travel Blogger Explore Desa Wisata Jogja (Hastag #EksplorDeswitaJogja) dipersembahkan oleh Forkom Desa Wisata Yogyakarta 24 - 26 Februari 2017.
Desa Wisata Kebonagung, Bantul
Alamat: Kebonagung, Imogiri, Bantul, DI. Yogyakarta
Narahubung:  0813-9252-5751/0877-3877-8594 (Pak Dalbiya)

Pagi Hari Berenang di Pantai Karimunjawa

$
0
0
Pemandangan pantai yang ada dermaga kayunya
Pemandangan pantai yang ada dermaga kayunya

Semalam Riki sudah berencana memotret sunrisedi salah satu pantai belakang rumahnya. Jika diruntut, pantai ini hanya berdekatan dengan Pantai Batu Putih Karimunjawa. Sejak dulu pantai ini tak bernama. Ketika pantai dibeli oleh pengelola, dibangun jembatan kayu kecil. Barulah pantai ini digandrungi para remaja untuk bersantai.

Seperti pantai-pantai lainnya yang belum dikelola dengan baik, pantai ini masih belum ada namanya. Sebagian warga hanya menyebut nama pantai dengan sebutan pemilik lahan. Cara tersebut paling mudah menandai sebuah lokasi.

Kurun waktu enam bulan setelah aku pulang, sudah ada banyak sudut pantai yang berbenah. Inilah yang membuatku makin bersemangat saat mudik. Aku bisa mengeksplore pantai dan menulisnya di blog. Bahkan tidak sedikit aku harus membayar tiket masuk, karena dikira wisatawan. Aku jarang mengaku sebagai warga setempat agar membayar karcis yang tidak mahal.

Kembali ke rencana awal. Pagi terasa sejuk, rerimbunan pepohonan masih menyisakan lembab tanah. Cekungan di titik-titik tertentu digenangi air yang belum meresap, serta terlihat tetesan air di ujung daun. Semalam Karimunjawa diguyur hujan. Sekarang pun mentari enggan muncul, hanya menampakkan cahaya sinar redup.

Aku terus berlari kecil sembari menenteng kamera. Menyusuri jalan menuju rumah Riki yang jaraknya 700 meter. Masih pagi, warga setempat beraktifitas. Setiap bertemu rumah warga (tetangga), mereka menyapaku. Hampir sebagian besar bertanya sejak kapan aku mudik. Suasana akrab seperti ini yang aku rindukan.

Sapaan mereka (tetangga) tidak hanya menggunakan bahasa Jawa. Sebagian lagi malah berteriak semangat menggunakan Bahasa Bugis. Aku terlahir di Karimunjawa berdarah Bugis – Mandar, sehingga dengan lancar menggunakan Bahasa Jawa dan Bugis. Sementara Bahasa Mandar, aku hanya paham ketika orang berbincang.
Ketika sampai pantai di belakang rumah
Ketika sampai pantai di belakang rumah

Riki sudah di teras rumah menunggu kedatanganku. Sejurus kemudian kami berjalan ke pantai. Akses jalan hanyalah setapak, menyibak kebun kelapa samping rumah Riki. Aku teringat akses jalan ini sering kulewati sewaktu kecil. Target kami adalah memanen Jeruk yang tumbuh liar di sekitaran kebun. Di Karimunjawa ada namanya Jeruk Bokor, Jeruk yang mulai agak punah di sini. Jenis Jeruk ini jarang kutemukan di tempat lain.

Rupanya pemilik lahan pantai ini sudah membuat akses jalan cukup bagus saat turun. Tebing tidak terlalu tinggi ini sudah ditata menjadi tangga. Dari ketinggian, aku melihat dermaga mungil yang menghadap ke timur laut. Sejenak aku mengabadikan dermaga kecil tersebut. Mungil dan bagus diabadikan kala pagi.

“Sejak kapan dibangun jembatan ini, Rik?”

“Beberapa bulan yang lalu, kak.”

Jembatan kayu ini tidaklah panjang. Berjarak antara 30 meter dari pesisir pantai. Namun karena lokasinya berada di sudut hamparan pasir putih membuatnya indah. Bahan kayu yang digunakan kombinasi Kayu Ulin dan Bengkirai/Bangkirai, ada juga disisipi Glugu (papan dari pohon Kelapa yang sudah tua dan hitam).
Hamparan pasir dan jejeran Nyiur di tepian pantai
Hamparan pasir dan jejeran Nyiur di tepian pantai

Papan-papan yang tertata di permukaan air berbunyi kala kaki menapakinya. Dari tengah dermaga kecil ini aku dapat melihat daratan. Nyiur-nyiur menjulang tinggi, hanya sedikit berbuah karena terlalu tua. Hamparan pasir putih kontras dengan jernihnya air laut. Air laut layaknya kaca, aku dapat melihat dasarnya. Tidak dalam memang, sekitar 1.5 meter saja.

Langit masih berbalut awan tebal. Sudut timur yang dilihat hanyalah gumpalan awan. Tidak jauh dari sana bongkahan batu besar berwarna putih tampak jelas. Itulah Pantai Batu Putih, pantai yang sudah aku kenal sejak kecil. Sewaktu kecil, aku sering merangkak naik ke atas batu tersebut.

Aku terdiam di ujung dermaga, menikmati pemandangan pagi. Jarang-jarang bisa melihat pemandangan seperti ini. Dulu, kalau ingin melihat daratan dari jarak dekat, aku harus mendayung sampan beberapa ratus meter terlebih dahulu.
Pantai Batu Putih terlihat jelas bongkahan batunya
Pantai Batu Putih terlihat jelas bongkahan batunya

Riki asyik memainkan gawainya. Aku menepi, menatap arah timur penuh gusar. Semburat cahaya sudah mulai tampak, hanya saja sang Baskara belum terlihat. Gumpalan awan merata, membuat aku harus gigit jari.

“Gagal liat sunrise kak!! Mendungnya tebal!!” Teriak Riki dari ujung dermaga.

“Iya!!” balasku tak kalah kencang.

Bukan anak pantai namanya kalau tidak berkomunikasi seperti ini. Bahkan dengan jarak dekat pun kita masih berteriak kencang. Bagi orang yang belum paham, tentu obrolan kami dirasa semacam sedang berdebat.

“Kita foto-foto saja!” Tandasku.

Solusi terbaik kala tidak dapat mengabadikan mentari terbit adalah berfoto. Aku dan Riki secara bergantian saling memotret. Maklum, pagi ini aku tidak membawa Tripod. Berkali-kali aku melompat, begitupun dengan Riki. Intinya memperbanyak stok foto untuk diunggah di Instagram.
Tanda-tanda gagal melihat sunrise
Tanda-tanda gagal melihat sunrise

“Pokoknya pas aku loncat di foto ya,” Celetuk Riki.

Aku menangguk setuju, toh sesekali jadi tukang poto dia. Mulai melompat di ujung dermaga, dari tempat duduk yang terpasang di ujung dermaga pun dilakukan. Butuh perjuangan agak keras, karena badannya mulai gempal. Tidak sepertiku yang ringan dan mudah terbawa angin.

Hampir di setiap sudut dermaga ini sudah kami abadikan. Yang terlupakan (teringat saat menulis) adalah pasirnya. Aku malah lupa mengabadikan foto di hamparan pasir putihnya. Riki masih menyimpan kecewa, dia terus bercerita kalau mentari terbit dari sini indah diabadikan. Aku percaya saja, karena aku sendiri pernah mengabadikan mentari terbit dari lokasi yang tidak jauh dari sini.
Memperbanyak stok foto dulu
Memperbanyak stok foto dulu

“Rik, ini kalau renang airnya dalam nggak?”

“Mana ada anak Karimunjawa kok takut air dalam,” Jawab Riki tertawa.

“Bukan takut, buat memastikan saja,” Timpalku.

Jika kulihat dari atas dermaga, air di sini tidaklah dalam. Apalagi masih terlihat jelas pasirnya. Aku memutuskan melepas baju dan berenang. Sudah lama tak berenang di pantai, biasanya saat pulang berbarengan dengan bulan puasa, sehingga kutangguhkan keinginan berenang.

Sejurus kemudian aku melompat dan terhempas di air laut. Secepatnya aku menggerakkan kakiku agar tidak tenggelam. Kucoba berdiri di lautan, dan ternyata benar tidak dalam. Air hanya sampai mulutku. Tidak sampai menggelamkanku. Kedalaman air sekitar 1.70 meter ini pas untuk berenang. Tidak terlalu dangkal dan tidak dalam.
Dan akhirnya beraksi, diabadikan Riki
Dan akhirnya beraksi, diabadikan Riki

Menyenangkan rasanya mandi laut antara pukul 06.30 – 07.20 WIB. Tidak terasa dinginnya air laut, malah terasa segar. Di saat aku asyik berenang, Riki malah gantian memegang kameraku dan mengabadikan beberapa momen ketika aku berenang.

Tidak terasa mendung semakin tebal, aku melihat pemandangan agak berbeda di ujung timur. Seperti air hujan yang sudah turun, tapi di tempatku belum ada tanda-tanda hujan.

“Rik, lihat ke timur. Kok beda ya pemandangannya,” Celetukku.

Dia melongok ke arah timur. Kulihat dia langsung mengemasi kameraku dan memasukkannya ke dalam tas kecil yang kubawa.
Biar kurus, masih bisa terapung kok
Biar kurus, masih bisa terapung kok

“Itu hujan kak, cepat kita pulang,” Teriaknya.

Aku langsung menaiki tangga kecil yang tersedia di ujung dermaga. Kusambar saja kaos di dermaga dan berlari ke ujung daratan. Benar saja, begitu sampai jalanan bertangga di atas, hujan rintik mengguyur kami. Untung saja di dalam tas kamera kecil sudah kusiapkan plastik untuk membungkusnya. Kami berdua menyusuri jalan setapak dan sedikit basah air hujan. *Berenang di Pantai Karimunjawa pada hari Senin, 05 Desember 2016.

Boon Pring Andeman Sanankerto, Spot untuk Memotret Rays Of Light

$
0
0
Berpose di spot Rays Of Light Kebun Bambu (Boon Pring) Andeman Sanankerto, Turen, Malang
Berpose di spot Rays Of Light Kebun Bambu (Boon Pring) Andeman Sanankerto, Turen, Malang

Obrolan malam ini bersama Ghozali dan Pak Dono (pemilik homestay) mengerucut bahasannya ke Boon Pring Andeman. Beliau menceritakan kalau Boon Pring Andeman merupakan lokasi yang tepat memotret cahaya yang menyusup di antara batang bambu. Kabut tipis di dalamnya membuat pemandangan indah.

Aku sering melihat potret seperti itu, namun aku tidak tahu apa istilahnya. Ghozali-lah yang memberikan pencerahan padaku jika namanya Rays Of Light. Obrolan ringan namun mengena, setidaknya semalam dengan sosok satu ini membuatku banyak belajar khususnya di dunia fotografi.

“Biasanya orang lebih simpel mengatakan ROL,” Tandas Ghozali.

Malam makin larut, suara Jangkrik terdengar bersahutan meriah. Terkadang diselingi suara Tokek yang nyaring. Kami berbincang hinggal pukul 23. 20 WIB, setelah itu kami berdua pamitan rehat.

Oya, kami berdua merupakan tamu pertama dari homestay milik Pak Dono. Beliau antusias dengan kedatangan kami, dan beliau meminta masukan mengenai konsep homestay yang menurut kamu baik. Di acara #EksplorDeswitaMalang ini, kami bersepuluh dibagi menjadi 3 homestay, dan lokasinya lumayan berjauhan.
*****
Pagi menyapa Desa Wisata Sanankerto, Turen, Kab. Malang. Aku dan Ghozali sudah bersiap menuju Boon Pring Andeman ditemani Pak Dono. Kali ini rombongan lain sengaja kami tinggal, dan menunggu mereka di lokasi.

Pak Dono sudah di atas motor yang dimodifnya menjadi seperti motor Trail, aku dan Ghozali kebagian jatah motor satunya. Kami bertiga menyusuri jalan menuju Boon Pring. Tidak jauh lokasinya, hanya sekitar 10 menit naik motor, kami sudah sampai lokasi. Di depanku rerimbunan kebun bambu, di tengahnya jalan setapak.

“Kok gerimis ya?” Celetukku

“Ini bukan gerimis, ini tetesan embun yang ada di daun bambu,” Jawab Ghozali.

Aku memastikan apa ini hanya tetesan embun atau benar-benar gerimis. Kucari tempat yang tidak tertutup dedaunan bambu, nyatanya tidak ada tetesan di sana. Benar sekali jawaban Ghozali yang dikuatkan Pak Dono, ini hanya tetesan embun. Udik sekali aku, baru kali ini merasakan tetesan embun laksana gerimis.
Semburat cahaya menyusup di rerimbunan pohon Bambu
Semburat cahaya menyusup di rerimbunan pohon Bambu

Kami bertiga menunggu rombongan lain yang sedang diperjalanan. Begitu kumpul, kami beriringan menapaki jalan lembab yang di bawahnya berserakan dedaunan. Boon Pring Andeman merupakan kebun bambu seluas 26 hektar, dan sudah mempunyai koleksi sebanyak 65 jenis bambu.

Elok sekali dengan kebun Bambu seluas ini, potensi untuk dijadikan sebagai Ekowisata Bambu cukup mumpuni. Sekarang Boon Pring masih sekedar destinasi alternatif bagi para pengunjung, mereka lebih banyak bermain di Pulau Sekar Putri. Tapi niat kuat para pokdarwis Desa Wisata Sanankerto ditambah pak lurah yang mempunyai visi misi jelas bakal mendongkrak wilayah ini lebih dikenal.

Diruntut dari sejarahnya, bambu di Desa Wisata Sanankerto sudah ada sejak tahun 1910. Bambu-bambu di sini dipelihara dengan baik, dan berdekatan dengan mata air. Kegiatan awal yang dilakukan adalah konservasi, dan ada rencana ke depan menjadikan sentra bambu. Akan aku tulis di artikel lain berkaitan dengan sentra bambu di Desa Wisata Sanankerto.
Teman-teman mulai memotret ROL
Teman-teman mulai memotret ROL

Boon Pring Andeman mempunyai makna anugrah yang selalu mengalir dari Bambu. Ini bisa dijabarkan jika Desa Wisata Sanankerto benar-benar menjadikan Bambu sebagai salah satu mata pencaharian. Semoga bisa seperti Desa Wisata Malangan yang menggeliatkan ekonomi karena kerajinan bambunya.

Lebih dari empat anggota Pokdarwis Desa Wisata Sanankerto mendampingi kami di Boon Pring Andeman. Kami penasaran dengan semburat cahaya yang menerobos batang-batang bambu. Cahaya itulah yang ingin kami abadikan bersama. Beruntung, sebelum kami mengabadikan, setelan kamera sudah diatur Ghozali. Jadi aku dan lainnya tinggal memotret saja.

Tidak hanya aku saja, Mas Halim dan Hanif-pun meminta bantuan Ghozali untuk menyetel aturan di kameranya. Sementara kami masih mengotak-atik kamera, teman yang lainnya sudah asyik berpose di salah satu spot ROL. Memang masih pagi, jadi cahaya yang menyusup belum begitu maksimal.
Rays Of Light, seperti ini pemandangannya jika di kebun bambu
Rays Of Light, seperti ini pemandangannya jika di kebun Bambu

Di Boon Pring Andeman, ada beberapa titik yang bisa mengabadikan Rays Of Light. Tempat yang paling digandrungi adalah yang berada di tengah-tengah kebun bambu. Di sini Rays Of Light muncul dalam jarak satu jam. Antara pukul 07.00 – 08.00 WIB. Di titik lain waktunya juga berbeda, tergantung posisi mentari yang menerangi rimbunnya bambu tersebut.

Kabut tipis berbalut dengan cahaya mentari pagi hari benar-benar menakjubkan. Bagi para pecinta ROL, aku yakin tempat seperti ini menjadi idaman. Berbagai rerimbunan Bambu menghasilkan cahaya ROL, hanya saja yang paling jelas ada di depan kami. Kami setia menunggu sampai mentari sampai atas dan cahayanya menyusup di antara sela-sela batang bambu dan berpendar ke segala penjuru.
Keindahan pagi, cahaya mentari yang berpendar
Keindahan pagi, cahaya mentari yang berpendar

Kebun bambu yang luas ini mempunyai sedikitnya empat spot untuk memotret ROL. Hanya saja yang paling besar itu berada di tengah tadi. Sementara ada yang besar lagi dekat tempat parkir kendaraan. Tidak sengaja kami memotretnya sewaktu perjalanan pulang.

Oya, kebun Bambu di Desa Wisata Sanankerto ini didominasi Bambu Wulung, Petung, Peting Petung, dan lainnya. Bambu-bambu ini diberdayakan oleh warga setempat untuk membuat Tusuk Sate, aneka karya seperti Pot, Asbak, dan model-model lain.

Seperti yang kubilang tadi, teman-teman sangat antusias memotret ROL. Tidak hanya memotret, mereka juga kompak kalau diabadikan di sana. Seperti inilah keramaian teman-teman #EksplorDeswitaMalang, para bloger yang sebagian baru pertama jalan bareng tak sungkan berpose.
Seperti ini antusias teman-teman kala dipotret, ada yang teriak "Hokya"
Seperti ini antusias teman-teman kala dipotret, ada yang teriak "Hokya"

“Mumpung ada fotografer, jadi kita bisa bergaya,” Celetuk salah satu di antara rombongan.

Siapapun yang bilang tadi, pastinya yang dimaksud adalah Mas Ghozali. Sedari hari pertama, dia yang paling sibuk dengan peralatannya. Kami bersembilan tinggal pencet-pencet kamera, mengatur setelan “auto” dan mengabadikan. Sementara dia harus menenteng beberapa lensa, dan mengambil setiap sudut destinasi yang akan dibuat Foto Panorama 360.

Pokdarwis Desa Wisata Sanankerto tak mau ketinggalan. Pak Dono dan rekannya sedang berbincang di salah satu satu spot ROL. Tak ayal, keberadaan beliau berdua menjadi rebutan teman-teman untuk mengabadikannya.

“Hadap sini pak, sambil melambaikan tangan,” Pinta Hanif.
Pak Dono dan rekannya berpose di bawah sinar mentari
Pak Dono dan rekannya berpose di bawah sinar mentari

Beliau mengikuti intruksi teman-teman, dalam beberapa menit, Pak Dono dan rekannya menjadi model sesaat. Kombinasi semburat cahaya dan motor bebek yang dimodil menjadi trail cukup bagus diabadikan.

Hari terasa cepat siang. Kami harus meninggalkan Kebun Bambu “Boon Pring” Andeman menuju destinasi selanjutnya. Selama di perjalanan ini, aku melihat banyak mata air yang berpotensi dikembangkan. Bahkan sebenarnya di dekat Boon Pring pun sudah ada kolam renang anak kecil yang dibangun beberapa tahun silam.

Seperti teman lainnya, aku tak ingin menyia-nyiakan kesempatan memotret Rays Of Lightdi Boon Pring ini. Foto yang paling atas itu aku meminta Ghozali untuk mengabadikan. Ketika teman-teman lainnya sudah berjalan ke area parkir motor, aku menaruh kamera di tanah dan mengabadikan sendiri.
Mengabadikan diri di Kebun Bambu (Boon Pring) Andeman, Sanankerto
Mengabadikan diri di Kebun Bambu (Boon Pring) Andeman, Sanankerto

Memang kalau sudah terbiasa pose sendiri dan memotret sendiri itu tamengnya tepat. Puas mengabadikan diri sendiri, aku mengejar langkah teman-teman yang sudah di depan. Boon Pring Andeman mempunyai potensi yang besar jika dikembangkan lebih maksimal,

Ada wacana dari Kepala Desa Sanankerto untuk membangun sebuah museum bambu di sini. Sebuah langkah besar jika hal tersebut terealisasikan. Akan menjadi langkah yang besar bagi Desa Wisata Sanankerto, dan menjadi kebanggaan Indonesia jika memang niat tersebut terealisasikan. Sampai sekarang sudah ada 65 jenis bambu di Sanankerto, jumlah yang menurutku sudah banyak.

Jika memang akan dibuatkan museum, lebih baik lagi jika setiap jenis bambu yang akan ditanam diberi tulisan jenis dan keterangannya pada sebuah papan. Dan Boon Pring Andeman dikelola lebih baik lagi, minimal jalan setapaknya lebih bersih dan diberi pagar pembatas.
*Rangkaian kegiatan Travel Blogger Explore Desa Wisata Malang (Tagar #EksplorDeswitaMalang) dipersembahkan oleh Forkom Desa Wisata Malang 14 - 17 April 2017.


Boon Pring Andeman Sanankerto, Turen, Kab. Malang
Alamat: Jalan Kauman RT 5, Sanankerto – Turen
Telp: 0838-4882-4802 (Mas Rudi)/ 08533-167-4242 (Mas Wahyudi)
Viewing all 756 articles
Browse latest View live