![]() |
Kawasan Sunan Sendang Duwur Paciran, Lamongan |
Kusapu pandangan menatap jalur yang kami tempuh. Mobil yang kami naik berusaha keluar dari kemacetan area Gua Maharani. Melintasi jalur padat merayap, belok kiri sedikit menanjak. Kembali lagi perjalanan tersendat, lalu-lalang kendaraan di pasar tradisional.
Mataku masih mengamati jalan sekitar, dalam hati bertanya ke mana tujuan jelajah menjelang siang ini. Kubuka maps di gawai, jalur yang tertulis adalah jalan Sendang. Aku tidak bertanya pada teman-teman, toh liburan ke Lamongan ini memang tidak ada rencana paten. Intinya kami berkumpul dan bersenang-senang.
Jalanan tidak luas. Ketika ada kendaraan berpapasan, salah satu kendaraan sedikit mengalah. Sepi, seperti menuju perbukitan. Sesekali tampak rumah di dekat jalan dengan halaman depan luas. Kemudian kembali semak belukar dan kebun warga. Pohon-pohon Siwalan/Lontar menjulang tinggi, selaras dengan warung kecil tepi jalan bertuliskan “Es Siwalan”.
“Benar kok jalurnya,” Aya terus meyakinkan.
Semakin mengikuti jalur, jalanan semakin sempit. Aku heran, di tengah perbukitan, setelah melewati ladang warga terdapat desa sedemikan sesaknya. Mengingatkanku bukan di desa, tapi gang-gang dalam kota. Semacam labirin yang saling bersambung, pun GPS ngadat tidak bisa menunjukkan arah yang benar.
“Mbak dan rombongan tunggu di tempat saja. Saya jemput naik motor,” Terdengar suara lelaki yang ditelpon Aya.
“Oke mas, kami tunggu.”
Kami tertawa bersama, dua mobil terjebak di labirin desa Sendang. Memarkirkan kendaraan di jalan sempit, depan dan belakang turunan tajam. Antara tertawa konyol dan tidak percaya. Bagaimana bisa kami tersesat di desa. Desa dengan jalur-jalur kecil bersekat tembok. Masih saja kami saling menyalahkan. Terakhir kami sepakat jika yang salah adalah Google Maps.
Penantian panjang berakhir. Sosok yang berkomunikasi dengan Aya menghampiri kami menggunakan motor metik. Bergegas dua mobil mengikuti dari belakang. Kami masih berdebat panjang kenapa bisa tersesat. Sampai akhirnya titik terang terkuak. Pada jalur yang kami lalui tadi GPS mengarahkan belok kiri, nyatanya di plang pinggir jalan menunjukkan belok kanan. Benar-benar GPS dalang dari semua ketersesatan kami.
![]() |
Antrean penziarah yang mendatangi daerah Sunan Sendang Duwur |
Di halaman cukup luas kedua mobil diparkirkan. Seluruh rombongan turun, berkumpul di bawah pohon rindang. Matauku tertutu pada tulisan “Sendang Duwur Paciran, Lamongan” pun dengan gerbang serta pengunjung ramai berlalu-lalang.
Percaya atau tidak, kali ini kami melakukan wisata religi. Beruntung aku membawa sarung dalam tas kecil. Meskipun bercelana pendek, aku masih bisa mengenakan sarung kesayangan berwana merah menyala untuk membalut bagian bawah tubuh. Rombongan menyusuri jalan yang mengantarkan kami ke dalam area Sunan Sendang Duwur.
Aku terkesiap sesaat. Melihat gapura ini pikiranku terbayang gapura Wringin Lawang, atau malah gapura yang sering terlihat di Bali. Gapura ini berwana kusam kecoklatan. Disadur dari literasi, nyatanya gapura ini merupakan jelmaan dari perpaduan budaya Hindu dan Islam.
Satu hal yang diperhatikan, gapura-gapura ini adalah situs purbakala. Larangan menginjak tembok-tembok tertera di berbagai sudut. Mungkin pernah terjadi pengunjung yang naik ke tembok dan berfoto. Karena di sana ada tulisan larangan swafoto di atas tembok batu.
![]() |
Menyusuri jalanan di area sendang duwur |
Terik panas tak membuat kami kelelahan. Kawasan Sunan Sendang Duwur masih ramai penziarah. Ada banyak makam yang tersebar di sudut-sudut tanah, kami terus menuju jalan agar sampai di makam Sunan Sendang Duwur.
Makam Sunan Sendang Duwur Paciran
Sunan Sendang Duwur bernama asli Raden Noer Rahman terlahir pada tahun 1320 M, anak dari Abdul Kohar bin Malik bin Sultan Abu Yazid yang berasal dari Baghdad. Gelar Sunan Sendang Duwur tersebut didapatkan dari Sunan Drajat. Beliau menyebarkan agama Islam di Sendang Duwur, yang pada masanya masyarakat di sini beragama Hindu.
Cara penyampaian dakwah Sunan Sendang Duwur pun beragam. Beliau malah menyebarkan agama Islam dengan cara mengajak masyarakat setempat dengan menanam pohon Siwalan/Lontar. Kemudian beliau menyisipkan ajaran-ajaran Islam dengan kegiatan tersebut. Lambat laun Islam menjadi banyak dan merebak di desa ini. Jadi ketika aku melihat banyak pohon Siwalan itu ada hubungannya dengan sejarah di sini.
Makam Sunan Sendang Duwur berada di perbukitan. Menurut Mas Zamroni (pemandu), perbukitan ini adalah yang tertinggi di Paciran. Seperti yang sudah aku sebutkan diawal, menuju desa Sendang, kami menyusuri beberapa bukit.
![]() |
Pemandangan dari perbukitan |
Kawasan makam cukup luas, bahkan ada tempat khusus untuk melihat keindahan dari perbukitan. Nun jauh di sana tampak masjid megah berkubah warna biru dan menara hijau menjulang tinggi di antara rumah warga. Seluas mata memandang masih didominasi perkebunan/lahan hijau dibanding atap rumah.
Tepat di tangga menurun, sebelum terowongan kecil penuh ukiran. Seorang simbah menamung air dari mata air dengan bekas botol mineral. Beliau sesekali menawarkan air mineral yang berasal dari sumber tersebut pada pengunjung. Satu botol air mineral ditebus dengan beberapa ribu. Aku lupa harganya, antara Rp3000 – Rp5000. Puluhan botol bekas air mineral terisi, beliau terus melakukan aktivitas sehari-hari menampung air dan mengemasnya dalam botol.
“Air ini dari lidah Mbah Wali,” Beliau berujar.
Mata air itu merupakan sumber yang tidak pernah habis meskipun musim kemarau. Penamaan Lidah Mbah Wali disematkan oleh para sesepuh untuk mata air tersebut. Masih dengan seksama, melawan rasa panas terik matahari, Mbah Wahlim terus menampung air mineral dan berharap ada yang membeli.
![]() |
Mbah Wahlim memanfaatkan botol bekas untuk diisi dengan air |
Aku sudah tertinggal dari rombongan. Mereka memasuki pintu semacam lorong pendek. Mungkin sepanjang tiga meter. Lorong sempit ini hanya bisa dilalui satu orang dewasa. Jika di tengah lorong ada yang berfoto, kita harus sabar menanti.
Gerbang berbentuk lorong dengan ukiran menghiasi bata yang tersusun ini menjadi ikonik. Tidak sedikit yang menjadikan jalan ini sebagai spot berfoto. Kulalui lorong kecil sembari meraba bata. Aku mengamati langit-langit lorong, sejenak berhenti di dalamnya.
Keluar dari gerbang lorong, anak tangga mengantarku naik ke atas bangunan lain. Di sinilah makam Sunan Sendang Duwur diistirahatkan. Aku menjadi orang terakhir yang masuk (rombonganku). Di dalam sana sudah ada seorang penjaga/juru kunci. Sebuah papan bertuliskan “Mohonlah pada Allah” bertujuan agar tiap penziarah memohon doa hanya kepada Allah.
![]() |
Lorong jalan penuh ukiran |
![]() |
Makam Sunan Sendang Duwur Paciran |
Cerita Pemindahan Masjid dalam Semalam
Azan duhur berkumandang tepat saat rombongan usai berziarah di makam Sunan Sendang Duwur. Aku dan rombongan bergegas menuju masjid. Tidak banyak yang kuabadikan tentang masjid ini, dan itu menjadi penyesalanku kala pulang.
Bagaimana tidak menyesal, masjid yang aku sempat salat berjamaah dengan rombongan ini mempunyai cerita “ajaib” berkaitan dengan pembangunannya. Pun dengan asal muasal masjid ini berasal.
Masjid Sendang Duwur terbangun gagah, bagian dalam masjid terdapat penyanggah kayu besar. Uniknya lagi, di ujung belakang terdapat tangga yang bisa naik ke loteng masjid. Di atas loteng itu peninggalan kayu-kayu disimpan.
Konon masjid ini dibuat dalam waktu semalam. Lebih jelasnya masjid ini dipindahkan dari Jepara menuju Sendang hanya dalam waktu semalam saja. Itulah cerita-cerita yang dipercayai warga sampai saat ini. Mereka menyebutnya bahwa masjid ini adalah hadiah dari Ratu Kalinyamat (Mantingan, Jepara).
![]() |
Masjid di kawasan Sunan Sendang Duwur Paciran, penyanggahnya dari kayu |
Pada masa Ratu Kalinyamat, Jepara memang terkenal dengan ukiran dan melimpah kayu jati. Sehingga tersiar kabar Sunan Sendang Duwur diarahakan gurunya (Sunan Drajat) ke Jepara bertemu dengan Ratu Kalinyamat yang mempunyai masjid indah. Kemudian masjid itu menjadi hadiah untuk Sunan Sendang Duwur jika dapat dipindahkan dalam semalam. Alhasil masjid itu benar-benar pindah ke bukit tertinggi di Sendang Duwur yang dinamakan Punak Gunung Amitunon.
Memang itu hanya cerita, dan kita tidak tahu kebenarannya. Tetap saja cerita-cerita seperti itu harus kita simpan agar tidak terlupakan. Menariknya aku yang salat di sini mengenakan kaos Jepara. Kaos yang diberikan oleh teman pengusaha ukir di Mantingan Jepara. Lokasi yang sama dengang lokasi awal masjid ini berada.
![]() |
Di dalam masjid Sendang Duwur/ do. Alid Abdul |
“Biarpun ini hanya kebetulan. Tetap saja menjadi istimewa bagiku. Mengenakan kaos dari Mantingan (Jepara), dan mengenakannya saat salat di masjid nun jauh di Lamongan yang mempunyai cerita berkaitan dengan Mantingan.” Batinku berujar sendiri.
Sumur Giling di dekat masjid
Sebelum menunaikan salat zuhur berjamaah, aku dan rombongan diajak Mas Zamroni melihat sumur tua yang tidak jauh dari masjid. Sumur ini bernama Sumur Giling, dan airnya selalu melimpah walau musim kemarau.
Tidak kulihat ada mesin pompa air yang disematkan di atas sumur, pun dengan pipa-pipa kecil sebagai pengantar air yang disedot. Bahkan tali panjang untuk menimba air juga tidak ada. Hanya sebuah kayu besar dengan ruas kayu-kayu kuat terbalut tali sebesar lengan tangan anak kecil.
![]() |
Mengunjungi sumur giling di dekat makam sendang duwur |
Kayu yang kulihat semacam drum besar. Tali panjang melilit di tengah susunan kayu yang membentuk membentuk lingkaran. Seorang warga asyik duduk sembari memainkan kaki di antara ruas-ruas batang kayu. Menggamit bagian celah, lalu menekan seperti sedang mengayuh pedal sepeda.
Bedanya, dia duduk sejajar sehingga seperti mengayuh perahu bebek-bebekan sembari terbaring. Kedalaman sumur giling 30 meter, jadi jika menimba air di dalamnya tentu terasa berat dan lama. Cekatan sekali sosok pemuda berambut agak gondrong ini mengayuhkan kaki menimba air.
Plung! Byuur! Suara ember yang sudah sampai permukaan air. Kemudian terisi air setengah, ditarik sedikit lagi menggunakan kaki, dan dijatuhkan. Ini dilakukan agar penimba tersebut yakin bahwa ember di dalam sudah dipenuhi air. Kebiasaan sehari-hari menimba menggunakan kaki membuat beliau santai tanpa merasa kesulitan.
![]() |
Alat menimba airnya tidak pakai tangan, tapi seperti ini |
Aku mengambil air yang sudah ditimba. Membasuh muka dan meminumnya sedikit. Segar rasanya. Sementara di belakangku terdapat lubang kecil yang nantinya air tersebut dialirkan ke dalam kolam kecil penampung. Tidak ada yang ingin mencoba menimba air, melihat saja aku sudah merasa capek.
Usai berkeliling di makam Sunan Sendang Duwur, salat di masjid, dan menyempatkan diri melihat sumur giling, rombongan menyusuri sudut lain dari desa Sendang. Pada akhirnya jejeran penjual Es Siwalan tetaplah menggoda. Ada rencana nantinya sebelum meninggalkan desa Sendang bakal mampir dulu di warung Es Siwalan. *Lamongan, Sabtu 23 Desember 2017.