![]() |
Menunggu senja di bukit paralayang, Bantul |
Senja di Jogja dan sekitarnya akhir-akhir ini memesona. Rona jingga merekah di ujung barat kala mentari pamit menenggelamkan wujudnya. Itu sebabnya aku dan teman-teman bloger selepas kondangan tetap bertahan di daerah Pundong menunggu senja. Tujuan kami kali ini adalah menyaksikan keindahan senja dari bukit paralayang, Bantul.
Puncak Paralayang yang berada di perbukitan atasnya pantai Parangtritis menjadi destinasi menarik dikunjungi kala senja. Dari atas, kita dapat melihat hamparan samudra sejauh mata memandang. Selain itu barisan pantai menyisir dimulai dari pantai Parangtritis, pantai Parangkusumo, pantai Depok, dan terus menyusuri pantai selatan Jawa.
Dua tahun lebih tidak menginjakkan kaki di bukit paralayang Bantul. Aku terkesiap dengan perubahan yang mencolok. Jalan utama masih tetap berlubang; tapi yang membuat berbeda adalah adanya retribusi sendiri sebesar Rp.10.000/motor dengan dua orang, area parkir ada beberapa tempat, jalan menuju bukit sudah terdapat anak tangga, dan hilangnya bangunan tanggul di dekat jurang.
Langit tidaklah cerah, mendung tebal seakan-akan menyelimuti seluruh sudut angkasa. Gundukan bukit paralayang sudah ramai para wisatawan yang menunggu senja. Mereka tentu berharap agar mendung sedikit bergeser, tidak menutupi langit, khususnya ufuk barat.
Wisatawan yang datang rata-rata adalah remaja. Mereka datang berkelompok, atau berdua dengan pasangan. Kami berenam ini seakan-akan terjebak dalam keramaian; lima di antaranya menggunakan batik, sepatu, dan tentunya celana panjang. Sementara wisatawan lain menggunakan pakaian santai.
![]() |
Bukit Paralayang mulai ramai didatangi wisatawan |
Abaikan saja pakaian formal kami, terutama aku yang menggunakan batik lengan panjang, celana kain, plus sepatu hitam. Kulirik di belakang sudah sangat ramai. Wisatawan dominan adalah mahasiswa/i dari kampus di sekitaran Jogja. Gawai di tangan, mereka mengabadikan pemandangan dari tempat duduknya.
Bukit paralayang ini menjadi tempat favorit para pecinta olahraga terbang bebas menggunakan parasut. Angin dan kontur tempat mendukung mereka naik dan terbang. Selama di sini, ada dua orang yang bermain paralayang. Satu pertama sendirian, dan yang kedua tandem. Mereka terbang tinggi, menikmati pemandangan alam dari atas ketinggian. Sementara aku dan lainnya sesekali memotret mereka.
Tidak hanya para remaja yang duduk manis menantikan senja. Seorang bapak pun asyik momong kedua anaknya. Beliau berada di sudut bagian depan, memandang laut lepas, sesekali berbincang dengan kedua anaknya. Bisa dibilang inilah quality time with family. Sebuah momen yang pastinya menyenangkan bagi ayah dan kedua anak kecilnya.
![]() |
Momong anak kala sore hari |
Dua parasut terbang masih asyik mengelilingi ujung pantai. Sesekali terbang rendah di atas para wisatawan. Lalu menjauh menuju perbukitan, memainkan tuas sehingga terlihat parasutnya mengembang dan melengkung. Aku tidak bosan mengabadikannya, menunggu kedua paralayang tersebut berdekatan, dan mengabadikan.
Ada kalanya mereka terbang rendah di atas samudra. Melihat bulir-bulir ombak memecah dan terhempaskan di pantai. Mereka tentu menikmati setiap jengkal pemandangan yang dilewatinya. Aku tidak tahu persisnya jika ingin mencoba paralayang di sini. Bisa jadi kisaran harganya antara Rp.350.000/an.
“Mereka turun di mana?” Tanya temanku yang dari Malang.
“Turunnya di pantai Parangtritis,” Jawabku cepat.
Sedari tadi aku menunggu salah satu dari mereka turun di pantai. Pantai Parangtritis tampak ramai dari atas paralayang. Berjejer payung pantai, mengikuti hamparan pasir. Orang-orang yang bersantai di tepian pantai terlihat kecil, seperti semut yang berkelompok; berjalan, dan bermain air.
![]() |
Paralayang terbang di atas para penunggu senja |
Gelombang pantai selatan tidaklah bersahabat. Di beberapa pekan ini ombak memang cukup tinggi. Bahkan terdapat peringatan untuk tidak main air. Dari atas sini saja terlihat ombak memutih, dan tentunya harus waspada bagi yang sedang main air.
Kedua paralayang tersebut terbang rendah, mencari titik tepat untuk pendaratan. Aku memperbesar lensa bawaan kamera, berharap masih bisa terabadikan walau hanya tampak kecil. Kutunggu sampai mereka benar-benar terbang rendah, dan kemudian mendarat mulus di pantai Parangtritis. Pendaratan sempurna!
![]() |
Salah satu paralayang siap mendarat di pantai Parangtritis |
Kembali mata tertuju pada ujung garis imajiner. Kabut tebal dan hitam sepertinya tidak mau mengalah. Membiarkan kami menggigit jari, rona jingga yang kami harap-harapkan tak kunjung tiba. Cuaca benar-benar tidak mendukung, bahkan sang mentari pun tak terlihat sedikitpun.
Sebersit cahaya senja menerobos awan tebal, terpantul di permukaan air laut. Pantulannya berwarna kuning keemasan. Namun terasa pudar karena tidak sesuai harapan. Sekitar sebulan lalu, temanku berhasil mengabadikan senja dengan segala keindahannya di sini.
“Sepertinya kita gagal,” Ujar temanku setengah mengeluh.
Perjalanan panjang menunggu senja di bukit paralayang tak sesuai harapan. Bagi para pecinta senja, tentu hal ini menyesakkan. Tapi kita harus paham, cuaca di Jogja tiap akhir tahun cepat berubah. Bisa jadi cerah, dan lebih sering hujan. Jadi tak perlu disesali, toh masih ada kesempatan di lain waktu.
![]() |
Senja berselimut mendung tebal |
Aku berpikiran beda, sekalipun hari ini tidak dapat pemandangan indah, toh aku masih bisa mendapatkan bahan tulisan. Bukankah itu yang terpenting? Aku arahkan teman-teman yang lain berdiri menghadap ke barat, dan menaikkan tangannya ke atas. Aku abadikan momen tersebut.
Hari mulai temaram, mendung makin tebal, dan azan magrib sudah berkumandang. Kami masih setia di sini, menunggu sampai azan usai, lalu beranjak pergi menuju musola terdekat. Ya, kami memang tidak sempat mengabadikan sunset indah di paralayang, tapi kami mendapatkan waktu banyak kumpul bersama teman.
![]() |
Mereka para penanti senja yang gagal sore kali ini |
Bukankah setiap perjalanan itu tetap berkesan, terlepas apa yang kita harapkan tidak sesuai dengan kenyataan. Dan tentunya ada kejutan-kejutan lain yang muncul kala kita tidak pernah pikirkan. Seperti kali ini, kami tidak langsung pulang. Tapi malah makan miedes di Pundong; kuliner khas Pundong yang sudah melegenda. Tentunya gratis, karena salah satu teman kami sedang ulang tahun hari ini. Kejutan kan!? *17 Desember 2017.