Pedestrian Malioboro dan Sudut Jalan Kampung Ketandan |
Sejak diresmikan akhir desember 2016, pedestrian Malioboro menjadi kawasan yang paling digandrungi pengunjung. Mereka menikmati waktu pagi, siang, sore, ataupun malam hari untuk sekedar duduk santai dan berbincang dengan teman. Aku sendiri sudah beberapa kali menikmati kala pagi hari di sini.
Seperti halnya pagi ini, libur nasional (pilkada 2017) kuhabiskan waktu dengan mengayuh pedal sepeda menikmati suasana kota. Awalnya aku hanya duduk di Tugu Jogja, lalu pindah ke kawasan pedestrian Malioboro. Pagi hari memang menjadi waktu favorit bagi sebagian besar masyarakat berkunjung ke sini.
Antusias pengunjung Malioboro benar-benar terlihat. Walau masih pagi, banyak kursi yang dipasang permanen sudah dipenuhi para pengunjung. Mereka meluangkan waktu untuk membaca Koran, bercengkerama dengan teman, atau sekedar berswafoto. Mengasyikkan memang kala pagi di pedestrian Malioboro.
Suasana pagi di Malioboro |
Fasilitas umum tidak hanya kursi permanen saja, jalanan untuk pejalan kaki lebih luas. Di tengah-tengah sebenarnya terdapat tanda jalur untuk difabel. Namun belum sepenuhnya diperhatikan. Satu hal yang membuatku puas, di sini ada banyak spot area parkir sepeda. Jadi aku tidak perlu kebingungan untuk memarkir sepeda. Bahkan ada juga sepeda-sepeda yang bisa dipakai umum sepanjang di Malioboro.
Kuparkirkan sepeda di salah satu area parkir. Tidak lupa mengunci sepeda, lalu kutinggalkan jalan kaki menyusuri pedestrian. Aku hanya ingin mengabadikan momen kala pagi, sekaligus memperhatikan jika ada teman-teman pesepeda yang lewat di Malioboro. Tiap libur biasanya banyak teman yang hanya sekedar bersepeda menyusuri jalan-jalan kota.
Bangku-bangku permanen di Maliboro digunakan pengunjung untuk duduk santai |
“Kami masih di Tugu, nanti ke Malioboro dan Ketandan.”
Sebuah pesan kubaca digrup WA. Pagi ini ternyata banyak teman yang akan menuju Malioboro. Aku sendiri hanya memantau saja, sengaja tidak membalas. Niatnya sih biar menjadi kejutan bagi teman-teman.
“Jamunya mas?” Sapa seorang ibu sembari menawarkan jamu.
“Tidak bu, terima kasih.”
Ada banyak penjual kala pagi di area Malioboro. Mereka berjalan dan menjajakan jualannya. Seperti ibu yang tadi menyapaku, beliau menuntun sepeda yang penuh dengan Jamu. Selain itu ada juga ibu-ibu yang menawarkan Pisang Rebus.
Kuliner pagi di sepanjang jalan Malioboro |
Pemandangan pagi dan sore memang sedikit berbeda. Jika sore menjelang magrib, ada banyak warung lesehan yang memadati seputaran Malioboro. Sedangkan kalau pagi hanya ada gerobak-gerobak penjual kuliner. Pengunjung pun biasanya menyempatkan untuk sarapan di kawasan Malioboro.
Tepat di depan Mall Malioboro, tiap pagi banyak kuliner yang berjualan. Salah satu yang paling favorit dibeli para pengunjung adalah Pecel. Nasi Pecel memang menggugah selera, terlebih disajikan dengan berbungkus daun pisang. Banyak wisatawan yang sarapan pecel ditemani Teh hangat.
Aku masih asyik duduk di kursi seraya menyapu pandangan ke segala penjuru. Awalnya sepedaku terparkir sendiri, akan tetapi sekarang sudah ada beberapa sepeda pengunjung lain yang berjejeran terparkir rapi. Tanganku masih memegang kamera, memotret apa saja sekiranya membuatku tertarik mengabadikannya.
Sepedaku terparkir di fasilitas parkir Malioboro |
Kawasan Malioboro memang sudah dikonsep dengan baik. Selain kursi dipasang berbaris rapi, diselingi tempat duduk unik seperti batu bulat dan lainnya. Di sepanjang jalan Malioboro juga tertata tanaman yang terkapling. Sayangnya sebagian titik tanaman tersebut rusak ulah segelintir pengunjung tak bertanggung jawab.
Tempat sampah juga sudah disebar dengan jarak tertentu. Hanya saja kepedulian para pengunjung belum serta-merta sadar akan membuang sampah pada tempatnya. Masih tersisa sampah yang terselip di antara pot tanaman, atau hanya dibuang berserakan. Pagi ini kulihat dua bapak petugas kebersihan mulai menyapu bersih setiap sudut tepi jalan.
Petugas kebersihan sedang bekerja |
Dituntun gerobak berwarna hijau, di dalamnya sudah penuh tumpukan sampah. Beliau berdua menyeruak di keramaian pengunjung mengambil sampah yang tercecer. Kedua mata menyapu segala penjuru, jika dilihat ada sampah, beliau menghampiri dan memungutnya. Sosok-sosok inilah yang berusaha membuat Malioboro tetap bersih. Sudah seyogyanya kita juga ikut sadar kebersihan lingkungan. Minimal tidak membuang sampah sembarangan.
Sudut kampung Ketandang yang Instagramable
“Ayo mas lanjut ke Ketandan!” Teriak seorang pesepeda padaku.
Rombongan pesepeda melintasi jalan Malioboro. Aku tidak menghitung berapa jumlahnya, tapi yang kuingat mereka adalah bagian dari teman yang tadi ngobrol digrup WA. Bergegas kumasukkan kamera ke dalam tas, lalu ikut bersama rombongan. Tujuan kali ini adalah sudut bangunan di Kampung Ketandan.
Bagi kalian yang berada di Jogja dan mengikuti akun-akun sosial media Jogja, tentu kalian sudah pernah melihat hasil potret fotografer yang menampakkan sudut bangunan ala Tionghoa di Jogja. Ketandan adalah kampung Pecinan yang berada di kawasan Malioboro. Tepatnya berada di belakang Ramayana Mall Malioboro. Sebuah gapura besar bercorak Tionghoa menjadi patokannya.
Sudut bangunan di Ketandan |
Awal bulan Februari kemarin, event besar dilakukan di sini. Pekan Budaya Tionghoa yang berpusat di Ketandan menjadi daya tarik masyarakat untuk mengunjungi Malioboro. Pagi ini sudah banyak pesepeda yang menuju rute sama, ingin berfoto di sudut Kampung Ketandan.
“Sepedanya saja yang dipotret,” Celetuk salah satu pesepeda memberi intruksi.
Corak tembok identik dengan warna merah dan kuning menghiasi bangunan di perempatan kecil Kampung Ketandan. Di sinilah spot instagramable bagi para pemburu foto/swafoto. Corak khas Tionghoa memikat para pesepeda untuk mengabadikan diri bersama sepeda di depannya. Aku sendiri tidak ketinggalan, berhubung ada teman pesepeda cewek, jadi kami berdayakan para cewek sebagai model.
Tidak perlu banyak properti sepeda, cukup menyambar sepeda teman yang berada paling dekat. Setelah itu satu-persatu teman cewek beraksi. Oya, sebenarnya kami ini punya banyak kesamaan. Selain suka bersepeda, beberapa di antara kami juga suka memotret. Jadi kadang kami sekedar janjian lalu motret bareng dengan model teman sendiri.
Iput menjadi model dadakan di sudut bangunan Ketandan |
Fotografernya tidak mau ketinggalan narsis |
“Iput dulu, nanti gantian Lavienz.”
Cukup sigap Iput mendengar panggilan teman untuk dipotret. Dia menikmati peran sebagai model dadakan. Toh kami tidak pernah memberi intruksi berlebihan. Pokoknya yang penting berdiri, tersenyum, dekat sepeda, dan abadikan.
Puas gantian memotret satu-satu pesepeda cewek. Kami meminta beberapa cewek yang ikut bersepeda berkumpul menjadi satu, tentunya akan diabadikan. Tidak semuanya mau, ada dua cewek yang merasa malu. Akhirnya tiga cewek inilah yang diabadikan.
“Ini kami ngapain?” Tanya Iput.
Para pesepeda cewek beraksi depan kamera |
“Terserah kamu mau ngapain. Penting kami abadikan,” Sahut teman-teman yang memegang kamera.
Seru sih bisa bersepeda bareng seperti ini. Rutenya memang hanya kota-kota saja, tapi aktifitas bersepeda sambil belajar memotret ini yang membuat kami semakin bersemangat. Berawal dari ide beberapa teman pesepeda yang suka memotret, akhirnya kami agendakan dalam dua minggu sekali kumpul untuk bersepeda sambil latihan motret.
Bahkan ada teman yang merencanakan tema apa diambil nantinya. Sebenarnya sudah beberapa kali agenda ini berlangsung, hanya saja aku baru sekali ini ikut. Melihat antusias teman-teman saling berbagi ilmu, tentu menyenangkan. Setidaknya aku bisa belajar dari mereka tentang ilmu fotografi. *Menyusuri jalanan Malioboro dan sudut Kampung Ketandan pada hari Rabu, 15 Februari 2017.
Baca juga tulisan bertema Gowes lainnya