Serunya Naik Boat di Telaga Sarangan, Magetan |
Jalan berliku dan menanjak dilalui mobil yang kunaiki. Mobil terus melaju menerobos jalanan agak lengang. Namun laju tak bisa lebih kencang, di beberapa bagian tampak gumpalan kabut tipis menutupi area jalan. Pukul 08.30 WIB, arus kendaraan menuju Cemoro Kandang belum ramai.
Hanya saja, begitu mendekati Cemoro Kandang terlihat keramaian. Setiap sisi jalan ada banyak motor Vespa yang terparkir. Tidak hanya sekali kulihat, sedari tadi sebenarnya sudah ada namun tak kuhiraukan. Awalnya kukira hanya tidak sengaja berpapasan dengan komunitas Motor Vespa.
Raungan Motor Vespa terdengar khas, membuat aku tertarik melihatnya. Entah kemungkinan mereka sedang ada Kopdar, sehingga Sepanjang Cemoro Kandang – Cemoro Sewu ada banyak motor Vespa berbagai variasi. Aku hanya menggelenggkan kepala terheran-heran melihat semangat mereka yang pantang mundur melawan tanjakan.
Kabut tipis menggelayut di jalanan |
“AC saya matikan dulu ya mas. Kacanya dibuka saja kalau pengap,” Ujar Bapak sopir.
Aku mengangguk dan membuka kaca jendela mobil. Terasa sekali rasa sejuk berhembus dari luar. Hawa dingin terkena kulitku. Menyenangkan rasanya dapat menikmati sejuknya suasana seperti ini. Aku teringat beberapa tahun silam, tiga temanku melibas tanjakan ini menggunakan sepeda dari Jogja.
Selain komunitas Motor Vespa, ada juga komunitas motor lain yang kulihat. Aku sempat mengabadikan satu kelompok komunitas kendaraan roda dua yang sedang touring. Sedari tadi kuperhatikan salah satu anggota dari mereka sibuk merekam. Bahkan sempat berbalik menghadap ke belakang demi merekam rekannya.
Salah satu komunitas motor sedang touring |
Cemoro Kandang – Cemoro Sewu adalah pembatas antara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di sana banyak titik yang digunakan para pengendara untuk berhenti melepas lelah. Kali ini perjalananku menuju Telaga Sarangan. Telaga Sarangan berada di ketinggian 1200 mdpl lereng Gunung Lawu. Lokasinya sendiri terletak di Kecamatan Plaosan, Magetan, Jawa Timur.
Mendekati jalan turunan menuju Telaga Sarangan, di sebelah kiri terdapat Hutan Pinus yang diberdayakan menjadi taman. Dari sana juga kita bisa melihat Telaga Sarangan dari ketinggian. Mobil yang kunaiki menuruni turunan agak curam, dan menguntit kendaraan lain yang sudah di depan.
Akhir pekan membuat Telaga Sarangan ini sangat ramai. Kendaraan tersendat macet sebelum gerbang petugas meminta karcis. Tatkala mobil mendekat pintu masuk, seorang petugas melongok ke dalam mobil. Bapak yang menyetir mobil memberikan uang, dan kami berlalu.
“Macet banget mas. Saya turunkan di sini saja ya. Nanti saya cari tempat parkir. Kalau mau pulang, telpon saja. Nanti saya kasih tahu parkir mobilnya,” Ujar bapak yang menyetir mobil.
Aku mengiyakan saja. Lebih baik ikut berdesakan jalan kaki daripada kendaraan dipaksa masuk dan membuat kemacetan semakin panjang. Berderetan toko tertata di sini menjual segala pernak-pernik cinderamata. Sementara waktu tak kulirik, aku sendiri fokus jalan mencari anak tangga agar bisa ke bawa Telaga dan mencari boat.
“Naik kuda mas, murah kok. Rp. 65.000 kalau mau?”
“Tidak pak, terima kasih.”
Aku berjalan berdesakan dengan pengunjung lain. Telaga Sarangan akhir pekan ini membludak, benar-benar padat. Kutemukan tangga menurun ke bawah, aku beranjak menuju tangga tersebut dan menuruninya.
Payung-payung dan tikar di tepian Telaga Sarangan Magetan |
Di bawah sudah terdapat payung peneduh ala pantai beserta tikar. payung-payung itu tertambat di hamparan tanah berumput yang ada di tepian air telaga. Tidak ketinggalan Perahu Bebek berwarna cerah tertambat menunggu pengunjung yang datang. Aku masih asyik mengabadikan pemandangan.
“Naik boat mas?” Seorang lelaki tanggung menghamipiriku sembari menunjuk boat.
“Berapa harganya?” Tanyaku balik.
“Sekali putaran Rp. 60.000 mas. Gimana? Mau ya?”
Sejumlah boat tertambat menunggu pengunjung yang ingin berkeliling Telaga Sarangan |
Tidak perlu lagi menawarnya, toh harganya tidak sebesar yang aku perkirakan. Aku katakan pada dia kalau berminat naik boat. Sebelumnya aku meminta lelaki tanggung tersebut untuk mengabadikanku di atas boat. Bergegas lelaki tanggung tersebut mengabadikan beberapa kali menggunakan kameraku.
Mas Andi nama lelaki tanggung yang mengemudikan boat. Beliau sudah empat tahun bekerja di Sarangan. Kami berbincang selama menaiki boat. Berhubung aku belum mempunyai action camera, jadi tidak banyak bisa kuabadikan selama di atas boat. Percikan air mengenai baju dan kamera harus rela kusimpan saja. Sesekali kamera kukeluarkan dan memotret, Mas Andi paham dan langsung melambatkan laju boat.
Mengabadikan diri dulu sebelum menaiki boat |
Dari Mas Agus ini pula aku mendapatkan sedikit keterangan dalam sehari berapa kali dia bisa menggaet pengunjung untuk menaiki boatdan berkeliling melihat Telaga Sarangan. Di musim liburan (saat weekend), dalam sehari Mas Agus rata-rata bisa menggaet 11 kali. Pada hari biasa katanya hanya mencapai 4 atau 5 kali, itupun tergantung seberapa banyak pengunjung yang datang.
“Bahkan pernah dalam sehari tidak narik sama sekali mas,” Tutur Mas Agus.
“Kalau sampai tidak menarik sekalipun bagaimana bayar setorannya Mas?”
“Ya tidak ngasih setoran mas. Memang kenyataannya tidak ada narik.”
Aku termangu saja mendengar cerita Mas Agus. Narikadalah istilah yang digunakan Mas Agus ketika dia mendapatkan pengunjung yang akan berkeliling Telaga Sarangan. Beliau tidak melanjutkan sekolah karena alasan biaya. Aku sempat ingin mengabadikan/foto bersama, beliau menolak dengan alasan malu, sehingga tak kupaksakan untuk berswafoto dengan dia.
Hempasan air Telaga Sarangan seperti ombak lautan. Bagaimana tidak, laju boat yang kencang membelah air dan membentuk gulungan ombak tak beraturan. Ada keseruan sendiri menarik tuas gas kencang boat, seraya menerjang ombak. Aku pernah merasakan jauh lebih hebah lagi sewaktu di rumah, saat laut Jawa menggelora ombaknya.
Menikmati hempasan ombak dari boat |
Terasa sebentar mengelilingi Telaga Sarangan menggunakan boat. Tak terasa aku sudah hampir sampai lokasi tertambatnya boat. Aku meminta Mas Agus untuk menarik tuas lebih kencang agar ikut meliuk-liuk di antara ombak telaga. Alhasil suara dentuman boat menabrak gulungan air membuatku tertawa dan bersemangat walau sedikit pakaian harus basah.
Di tengah-tengah Telaga terdapat semacam pulau kecil, sedangkan tulisan Telaga Sarangan berada di ujung berbeda dari tempatku sandar. Tulisan itu bisa terlihat kalau kita menaiki boat, sayangnya tulisan tersebut tertutup pepohonan agak rimbun.
Turun dari boat, kuberikan uang sesuai kesepakatan tadi. Ada sedikit yang mengganjal di hatiku. Beberapa sudut Telaga Sarangan terdapat tumpukan sampah, sebagian besar adalah sampah plastik seperti bekas kemasan air minum. Kebersihan suatu tempat tidak melulu harus menjadi tanggung jawab pengelola, dan warga setempat. Namun pengunjung pun harus berperan aktif di dalamnya.
Aku menaiki tangga ke jalanan yang melingkari Telaga Sarangan. Masih seperti tadi, berdesak-desakan. Beberapa kali kudengar tawaran dari bapak-bapak penjual jasa naik Kuda.
Aktifitas lain di Telaga Sarangan, berkeliling naik Kuda |
“Ayo Mas naik Kuda. Rp. 65.000 saja.”
Para pemilik Kuda tidak bosan-bosannya menyapa pengunjung agar mau meyewa Kuda untuk memutari Telaga Sarangan. Informasi yang kudapatkan dari Mas Agus, jalan yang memutari Telaga Sarangan dan dilalui oleh jalur kuda ini sepanjang 4 kilometer. Tidak terbayangkan sudah berapa kilometer bapak-bapak itu tempuh dalam seharian.
“Baiklah bu, Rp. 50.000 tidak apa-apa. Yang penting bisa narik,” Ujar salah satu penyewa Kuda di sudut lain.
Selain para pemilik Kuda, ibu-ibu yang menjual berbagai jenis kaos pun tidak mau kalah bersuara. Mereka aktif menyapa pengunjung agar singgah di lapaknya dan membeli kaos oleh-oleh dari Telaga Sarangan. Bagi kalian yang ingin membawakan bingkisan pada kerabat di rumah, kalian bisa membeli kaos berbagai tulisan berkaitan dengan destinasi wisata tersebut di sini.
Kaos Sarangan yang bisa dibeli ketika berkunjung di Telaga Sarangan |
Hari sudah menjelang pukul 12.00 WIB. Aku berlalu mencari tempat yang agak teduh, lalu menelpon bapak sopir.
“Mas balik ke tempat yang tadi saya turunkan, nanti belok kanan. Ikuti jalan itu terus, nanti saya ada di sisi kiri jalan. Maaf Mas jalannya satu arah, jadi tidak bisa menjemput ke sana,” Ujar bapak dari telepon.
“Tidak apa-apa pak. Saya jalan ke sana saja sambil cari camilan,” Jawabku.
Terik siang tak begitu terasa, ini karena efek hawa dingin Telaga Sarangan. Sempat aku berhenti di salah satu kios dan membeli minuman serta camilan. Lalu berjalan menuju arah yang diberikan pak supir.
Cukup mudah menemukannya, kami langsung meninggalkan Telaga Sarangan dari jalan yang berbeda. Dari ketinggian, terlihat lekuk Telaga Sarangan, di tepian jalan tersebut banyak orang berhenti sekedar berfoto. Ya, itu tempat menjadi spot menarik berfoto dengan latar belakang Telaga Sarangan Magetan. *Kunjungan ke Telaga Sarangan pada hari Minggu, 20 November 2016.
Baca juga tulisan yang bertema Alam lainnya