Quantcast
Channel: Nasirullah Sitam
Viewing all 749 articles
Browse latest View live

Singgah Sejenak di Rest Area Bawen

$
0
0
Masjid di rest area jalan tol Bawen KM 22
Masjid di rest area jalan tol Bawen KM 22

Mobil travel Jepara – Jogja melaju kencang keluar dari Tol Tembalang. Sopir travel kembali membelokkan arah jalan Tol Ungaran – Bawen. Jalan ini bisa menyingkat waktu untuk sampai Terminal Bawen. Ini kali kedua kulewati Tol Ungaran – Bawen, biasanya aku melewati Sukun jika naik bus.

Sepanjang perjalanan, aku berbicang santai dengan sopir travel. Dari Jepara hanya ada tiga penumpang. Dua bule sudah turun di terminal Semarang, sedangkan yang menuju Jogja tinggal aku seorang.

“Apa nggak rugi pak kalau penumpangnya hanya satu orang?” tanyaku penasaran.

“Ini saya pulang kok mas, rumah saya di Godean. Lagipula besok kapal tidak menyeberang ke Karimunjawa, jadi nggak ada penumpang.”
Ruas jalan tol Bawen cukup lengang
Ruas jalan tol Bawen cukup lengang

Sedikit keberuntungan berpihak padaku. Aku naik travel serasa naik mobil bareng teman sendiri. Berhubung tidak ada target sampai Jogja lebih cepat, kubilang pada sopir untuk berjalan pelan saja.

“Mas, kita singgah di rest area ya? Mau ke kamar mandi,” Pinta Bapak Sopir.

“Oke pak.”

Sempat kulihat beberapa spanduk terpasang di atas jembatan tentang adanya rest area di jalan tol Ungaran – Bawen. Jika tidak salah rest area tersebut berada di KM 22. Bahkan terdapat tulisan rest area terbaik. Entahlah, mungkin aku salah baca atau memang tulisannya seperti itu.

Mobil belok ke kiri mengikuti jalur tanjakan sebelum sapai di rest area. Kuminta sopir melewati portal Starbucks, aku ingin minum kopi. Sempat kutawari beliau minum kopi, namun enggan atau bagaimana. Beliau bilang tidak suka kopi. Bahkan ketika kulihatkan daftar menu pun beliau keukeuh tidak mau.
Memesan kopi di starbucks
Memesan kopi di starbucks

Sedikit lebih lama menunggu pesanan dari dalam mobil. Sementara hanya satu pramusaji yang bertugas di ujung ruangan kecil. Selang 15 menit, aku dilayani. Mobil berhenti di area parkir luas. Bergegas bapak sopir menuju kamar mandi.

Kuhabiskan waktu santai dengan berkeliling rest area. Bangunan paling menonjol adalah masjid di sampingku. Banyak orang yang istirahat dan menunaikan salat di sini. Kulangkahkan kaki menuju kamar mandi. Dua orang bertugas menjaga kebersihan asyik berbincang. Kamar mandinya besih, dan terawat dengan baik.
Kamar mandi di rest area cukup bersih dan terawat
Kamar mandi di rest area cukup bersih dan terawat

Rest areaBawen menurutku mewah dan tertata rapi. Selain ada Starbucks, di sini juga berjejeran tempat minum atau makan lainnya. Lahan yang digunakan juga luas, pun dengan tempat belanja oleh-oleh. Langkahku menuju bagian belakang, searah jalan keluar. Di sana ada banyak lokasi untuk makan.

Sebagian lahan rest area sudah kukelilingi, aku beranjak menuju tempat parkir. Sementara itu bapak sopir merokok di dekat mobilnya, menantiku yang sudah menghilang dari tadi.

“Mas, saya habiskan satu batang dulu ya?” Pintanya lagi sembari menunjukkan rokok.

“Silakan pak.”

“Rokok mas?” Disodorinya aku sebungkus rokok yang baru dibuka.

Rokok putih, begitulah istilah teman-teman yang suka merokok. Kutolak dengan halus tawaran tersebut, dan kuceritakan kalau aku sudah berhenti merokok sejak akhir tahun 2009. Bahkan beliau terperangah ketika mendengar ceritaku kalau aku merokok sejak SD.

Minimarket berjejeran di rest area. Tinggal pilih ingin membeli apa, pun dengan tempat untuk makan siang. Aku meminta ijin memotret sekeliling lagi, kusempatkan masuk ke kedai teh Tong Tji. Kupesan satu gelas, lalu keluar dari kedai.
Startbucks di rest area Bawen
Startbucks di rest area Bawen

“Kalau tadi nolak kopi, kali ini nggak nolak teh kan pak?” Selorohku.

Beliau tertawa sembari menggelengkan kepala. Kami nikmati sore ini dengan segelas minuman di tangan. Tak lupa membeli Tahu Sumedang yang ada di depanku. Lengkap sudah, duduk di tepian parkir, menyeduh kopi dan teh, gorengan masih panas, serta pemandangan gunung gagah di depan.

Seperti berjalan dengan sejawat, perbedaan usia tak membuat kami kaku kala berbincang. Aku banyak bertanya terkait jasa travel Jogja – Jepara yang beliau geluti di beberapa tahun terakhir. Beberapa tahun silam, aku naik travel ini saat pulang ke Jepara, namun sopirnya berbeda.

Bapak ini menceritakan sejarah ketika awal beliau membuka jasa travel Jogja – Jepara. Target penumpang mereka adalah calon wisatawan yang ingin liburan ke Karimunjawa. Karena itulah jadwal keberangkatan pukul 23.00 WIB. Waktu awal merintis mereka menggunakan dua mobil, dan sekarang sudah nambah satu mobil besar.
Pemandangan dari rest area Bawen
Pemandangan dari rest area Bawen

“Kalau sudah siap berangkat bilang saja mas. Biar sampai Jogja tidak malam.”

Menurutku rest area di jalan Tol Bawen ini bagus. Fasilitas seperti musola, kamar mandi, minimarket, resto, stand oleh-oleh tersedia. Pun dengan jejeran SPBU yang masih dalam tahap pembangunan.

Hampir satu jam aku rehat di rest area Bawen. Kami meninggalkan rest area Bawen, kembali menikmati perjalanan menuju Jogja. Sementara hujan mulai turun, membasahi jalanan Semarang – Jogja.

*Singgah di rest area jalan tol Bawen pada hari Selasa, 18 Juli 2017.

Rowo Jombor kala Pagi Hari

$
0
0
Kesibukan kala pagi di Waduk Rowo Jombor, Klaten
Kesibukan kala pagi di Waduk Rowo Jombor, Klaten

Sekumpulan pria bersepeda kumpul di perempatan Blok O, tepatnya berada di seberang Rumah Sakit Harjolukito. Mayoritas mereka menggunakan jersey hitam merah. Tulisan besar SGICCY terpajang di bagian depan, dan di lengan bertuliskan Segoro Geni. Rata-rata mereka pria berumur lebih dari 30 tahun.

Komunitas Sepeda Segoro Geni hari ini ada agenda sepedaan bareng. Tujuannya adalah Rowo Jombor yang ada di Kabupaten Klaten. Jaraknya sekitar 33KM, biasanya ditempuh dengan waktu kurang dari 2 jam. Tergantung ritme kayuh sepeda. Aku merapat berkumpul di tempat kumpul, menyapa, dan menyalami satu persatu rombongan.

“Kita nunggu Febri dan Mbak Hastuti. Mereka sedang diperjalanan,” Terang Mas Panca selaku koordinator pelaksana.

Sebagian pesepeda ini tidak asing bagiku. Sudah beberapa kali kami sepedaan bareng di sekitaran Jogja. Aku pernah blusukan ke arah Candi Plaosan kala mencari rute untuk acara Jogja Gowes, bahkan waktu itu kami dikejar anjing di salah satu kampung. Aku yakin, baik Mas Panca, ataupun Febri masih ingat peristiwa tersebut.
Ruas jalan Srowot, Klaten
Ruas jalan Srowot, Klaten

Aku belum pernah sepedaan sampai Rowo Jombor. Dulu sempat sepedaan menuju Gedangsari, setidaknya lokasinya sudah dekat dengan Rowo Jombor. Rowo Jombor sendiri pernah kukunjungi tahun 2009, saat itu aku dan teman-teman kuliah kuliner bareng di Warung Apung. Sudah lama ternyata aku tidak berkunjung ke sana.

Satu persatu orang yang ditunggu berdatangan. Formasi lengkap, rombongan pesepeda ini menyusuri jalan Solo menuju Rowo Jombor. Rute yang dilewati blusukan, kami melewati jalan Srowot, Pasar Wedi, dan menuju Rowo Jombor. Aku teringat Pasar Wedi, dulu sewaktu sepedaan menuju Curug Gedangsari pernah lewat sini. Pun dengan waktu mendatangi rumah batik di Gedangsari awal tahun lalu.

Jalanan relatif datar, tidak ada tanjakan yang dilalui. Hanya saja, rute menuju Rowo Jombor di beberapa titik banyak kendaraan besar yang berlalu-lalang. Satu setengah jam berlalu, sebuah gapura melengkung besar dihadapanku. Kami sudah sampai di kawasan Rowo Jombor. Portal besar dijaga dua petugas, mereka hanya tersenyum melihat kami (pesepeda) melintasi. Tidak dipungut biaya.
Gapura kawasan Rowo Jombor
Gapura kawasan Rowo Jombor

Rowo Jombor adalah waduk yang berada di dukuh Jombor, desa Krakitan, Bayat. Pagi ini lumayan ramai di area Rowo Jombor. Warung-warung apung mulai buka, para juru parkir silih berganti meminta kami memarkirkan sepeda di tempatnya. Aku berhenti menatap warna-warni warung Apung. Sudah berubah sekarang, Eceng Gondok yang dulu menutupi hampir sebagian besar area waduk mulai bersih. Banyak sekat-sekat semacam tempat budidaya ikan di tengah.

Di tepian waduk yang masih dipenuhi Eceng Gondok, terlihat seorang sedang memancing. Menggunakan umpan lumut, lelaki ini sabar menunggu kailnya dimakan ikan. Menurutnya, ikan yang sering ditangkap adalah ikan Nila, terkadang juga mendapatkan Ikan Lele. Tergantung umpan yang digunakan.

“Dapat banyak pak?”

“Baru dapat dua atau berapa ini mas.”

Bapak yang memancing tersenyum. Dia baru sebentar di sini, dan baru mendapatkan tiga ekor ikan sebesar dua jari orang dewasa. Rowo Jombor memang menjadi salah satu tempat yang sering didatangi para pemancing. Mereka tidak hanya warga setempat, namun juga orang-orang dari Jogja dan sekitarnya sering ke sini untuk menyalurkan hobi mancingnya.
Memancing di sela-sela rimbunnya Eceng Gondok
Memancing di sela-sela rimbunnya Eceng Gondok

Rowo Jombor membentang luas di kawasan Bayat. Tampungan air mencapai empat juta meter kubik (Wikipedia). Waduk ini berfungsi untuk menampung aliran air dari sungai-sungai yang ada di sekitarnya, sekaligus untuk mengendalikan banjir. Selain itu, air waduk dimanfaatkan warga setempat untuk mengaliri sawah-sawah yang ada di daerah Bayat dan sekitarnya.

Aku dan rombongan memasuki salah satu warung apung, di sini kami memesan makanan. Tiap warung apung mempunyai sound system besar. Lagu-lagu dangdut koplo terdengar kencang saling bersahutan. Aku baru sadar, tiap warung sengaja membunyikan lagu dangdut kencang, seperti sedang saingan.

Rasa kagetku bertambah, lagu yang diputar bukan hanya dari MP3 yang tertancap di Fashdisk saja. Dua perempuan muda bernyanyi dan bergoyang di depan. Setahuku, dulu tidak ada seperti ini. dan sekarang lagu dangdut dengan perempuan bernyanyi menjadi pemandangan yang biasa. Entah sejak kapan ini dimulai.
Jejeran warung apung di Rowo Jombor masih sepi
Jejeran warung apung di Rowo Jombor masih sepi


Di tepian Rowo Jombor terdapat lokasi untuk menyeberang ke warung apung. Jika kita ingin menuju warung apung, nanti melewati getek yang ditarik dengan tuas tali. Biasanya tiap titik sudah ada yang bertugas untuk menarik agar getek tersebut bergeser. Aku dan sebagian rombongan naik ke atas getek, dan tuas tali ditarik seorang pegawai warung apung.

Kulangkahkan kaki menapaki lantai bambu menuju paling ujung warung apung. Dari sini aku memandang lepas Rowo Jombor. Di sana kulihat ada warga sekitar yang sibuk membersihkan sekatan tempat budidaya ikan. Jaring-jaring berlubang kecil tertata rapi tiap petakan, jaring tersebut menjadi alat membatasi ikan yang ada di dalamnya agar tidak lepas.

Petakan tempat budidaya ikan biasanya dipenuhi lumut, sehingga tiap hari pemiliknya harus rajin membersihkan. Selain itu mereka juga harus sering memberi makan ikan tersebut. Kalau di laut, sekatan seperti ini bernama keramba.
Pemandangan di Rowo Jombor, banyak sekatan tempat budidaya ikan
Pemandangan di Rowo Jombor, banyak sekatan tempat budidaya ikan

Getek, perahu kecil bermesin, atau sampan panjang silih berganti lewat. Ruas-ruas jalan kecil sudah disediakan agar tidak menabrak sekat tempat budidaya ikan. Seorang bapak asyik memberi makan ikan dan duduk di getek (rakit bambu).

Di sudut lain dua warga saling sibuk di petaknya masing-masing. Mereka mengabaikan suara lagu dangdut dan goyangan para biduan. Suaranya sayup-sayup terdengar terbawa angin. Mereka melakukan rutinitas seperti biasa. Sekalipun pengunjung silih berganti, mereka tidak menghiraukannya.

Ingin rasanya menaiki sampan dan nimbrung dengan para warga setempat yang memberi makan ikan. Sayang aku tidak bisa mempunyai akses jalan ke sana. Seluas mata memandang, hampir di setiap sudut terdapat batang-batang tertancap dengan petakan jaring-jaring halus. Bisa jadi di dalam itu ikan Nila atau Bawal.
Pemilik budidaya ikan membersihkan sekatannya masing-masing
Pemilik budidaya ikan membersihkan sekatannya masing-masing

Waduk Rowo Jombor sebenarnya tempat paling asyik menunggu senja. beberapa kali temanku mengabadikan senja di sini, dan benar-benar memukau. Aku masih duduk di tepian warung menatap rombongan yang beristirahat. Mereka menikmati lantunan lagu koplo dari dua penyanyi perempuan.

Makanan yang dipesan sudah disajikan. Aku berkumpul dengan rombongan menikmati makan siang. Ya, makan siang ditemani lantunan lagu dangdut mungkin bisa membuat tenaga lebih kuat kala mengayuh pedal sepeda menuju Jogja.

*Bersepeda menuju Rowo Jombor, Klaten pada hari Sabtu; 29 Juli 2017.

Bincang Literasi Bersama Kang Maman dan Pak Endaryono di Festival Literasi Jepara

$
0
0
Siswa/i sekolah memadati stand Festival Literasi Jepara 2017
Siswa/i sekolah memadati stand Festival Literasi Jepara 2017

Festival Literasi Jepara dikonsep sederhana. Stand-stand Taman Baca Mandiri (TBM) berjejeran, menyatu satu dengan lainnya di halaman Pendopo Alit Wakil Bupati Jepara. Tidak banyak memang, hanya sembilan TBM yang berpartisipasi. Sebuah pengharapan agar tahun depan bisa menjadi lebih banyak pesertanya (jika festival ini berlanjut).

Rumah Belajar Imara (Inspirasi Masyarakat Jepara), Rumah Baca Cemerlang, Rumah Belajar Ilalang, Gardu Baca, Taman Baca Capung, Kampung Pelangi Cita, dan stand-stand lain memajang koleksi bukunya. Mulai dari buku agama, sosial, budaya, sampai novel juga ada. Bahkan di salah satu sudut tampak novel terbaru Andrea Hirata yang berjudul Sirkus Pohon.

Aku berjalan mengelilingi tiap stand TBM, sedikit berbincang dengan salah satu orang yang bertugas menjaga stand. TBM di Jepara masih sangat sederhana. Mereka mengolah koleksi, memberi label, ataupun melakukan kegiatan sirkulasi masih manual. Mencatat satu persatu koleksi yang dipinjam.
Membaca koleksi yang terpajang di stand Taman Baca Mandiri
Membaca koleksi yang terpajang di stand Taman Baca Mandiri

“Kalau ada yang pinjam ya kami catat di buku. TBM ini muncul atas kesadaran kami, dan tidak ada pustakawan satupun dari kami.”

Dep! Menohok rasanya mendengar tutur mereka. Aku yang dulu kuliah dibidang Ilmu Perpustakaan malah belum sempat membangun TBM. Sementara koleksi yang kumiliki masih tertumpuk di kamar, menunggu ruang rumah sudah siap pakai.

Tidak hanya pajangan berupa buku, di sini juga ada stand yang menampilkan hasil kebun, permainan anak-anak, serta ada pentas tari. Aku antusias menyaksikan semua; melihat para anak asyik membaca buku, bermain dolanan anak, mewarnai gambar, atau mereka yang hanya berlari-lari kala bercengkerama bersama teman.
Dolanan di Festival Literasi Jepara
Dolanan di Festival Literasi Jepara

Lebih dekat dengan Kang Maman Suherman & Pak Endaryono

Pak Endaryono bagiku sangat asing. Aku memang pernah singgah ke KPP Jepara saat membuat NPWP. Namun aku tidak tahu kalau sosok yang mentraktirku sarapan nasi pecel kali ini adalah Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jepara.

Di sini Pak Endaryono mengenalkan pajak kepada peserta seminar yang didominasi anak-anak sekolah. Selain itu, beliau juga membagikan koleksi buku yang berjudul “Pajak Itu Gampang Loh” kepada setiap pemilik stand TBM dan beberapa penanya. Akupun beruntung mendapatkan satu eksemplar.

Bagi orang awam seperti aku, aneh rasanya jika acara seminar literasi diisi oleh orang pajak. Jawaban itu seketika musnah ketika beliau mengkampanyekan Gerakan Pajak Bertutur dan memperkenalkanku sebuah portal. Di portal tersebut kita bisa mencari koleksi buku tentang pajak dan dapat mengunduhnya secara gratis. Silakan buka Pandu Pajak; karena beliaulah yang berperan di dalamnya.
Pak Endaryono mengenalkan pajak pada peserta seminar
Pak Endaryono mengenalkan pajak pada peserta seminar

Gerakan Pajak Bertutur adalah bagian dari kampanye literasi, yang digagas Ditjen Pajak RI dengan harapan gaungnya terdengar sampai ke penjuru Indonesia. Sebuah harapan yang mulia, dan kita harus mendukungnya.

“Masa depan yang baik tercipta di antaranya dari sejarah melalui literasi,” Sedikit kutipan dari Pak Endaryono.

Selama kurang dari 30 menit, beliau menuturkan tentang pajak, literasi, dan pengenalan tentang pajak ke masyarakat. Hebatnya, sosok yang berkecimpungan di dunia pajak ini berusaha merealisasikan “Pojok Literasi Pajak” di KPP Jepara. Beliau juga aktif menggandeng para komunitas literasi, sastra, dan blogger di Jepara.

“Bangun Jepara, mas,” Ujar Pak Endaryono padaku sewaktu sarapan bareng.

Aku tercekak, sebuah saran dari beliau agar kami (para muda-mudi Jepara) bisa membangun kota kelahiran. Sebuah saran yang sama diutarakan oleh orang-orang di Karimunjawa padaku.

*****
“Salam Literasi!!”

“Salam!!”

Kang Mamangmenyapa peserta seminar, slogan kencang diteriakkan agar peserta seminar lebih semangat. Pembukaan yang menggebu-gebu, seperti itu yang kurasakan. Aku duduk di kursi paling belakang, mencatat sedikit wejangan dari Kang Maman. Menurut beliau ada dua titik literasi awal di Indonesia; Jepara dan Makasar.
Kang Maman menyapa peserta seminar dengan teriakan "Salam Literasi"
Kang Maman menyapa peserta seminar dengan teriakan "Salam Literasi"

Jepara, jauh sebelum Indonesia merdeka; terlahir sosok RA Kartini yang mengguncang eropa dengan suratnya. Di Makasar dikenal dengan salah satu karya sastra terbesar di dunia yang bernama La Galigo. Koleksi sastra yang sekarang berada di Belanda.

Sebelum memberikan kiat-kiat dalam menulis, Kang Maman lebih dulu menekankan bahwa membaca dan menulis adalah perintah dari agama. Wahyu pertama turun tentang iqra yang membaca, dilanjut dengan qalam yang mempunyai arti pena. Dari sini sudah jelas bahwa membaca dan menulis itu sebuah perintah.

“Bahkan kalimat Habis Gelap Terbitlah Terang yang diucapkan RA Kartini pun terinspirasi dari alquran. Surat Al Baqarah ayat 257; Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya,” Tandas Kang Maman.

Kembali ke topik menulis. Menurut Kang Maman, selain rumus 5W+1H, harus ditambahkan So What pada kelanjutannya. Sehingga yang kita tulis menjadi lebih dalam. Menulis itu bukan pekerjaan yang mudah. Merangkai dan memilih padanan kata yang baik serta relevan itu yang susah.

“Ide menulis bisa muncul dari mana saja. Ketika kalian bangun, lalu menuliskan poin-poin penting yang kamu impikan. Kamu jabarkan dengan baik, pasti kamu bisa menghasilkan sebuah tulisan di atas rata-rata.”

Di era sekarang rumus 5W+1H & So What saja tidak cukup. Untuk menulis ditambah dengan beberapa unsur yang dikenal dengan sebutan 5R. 5R yang dimaksud adalah; Read, Research, Reliable, Reflecting, (w)Rite.
Kang Maman menulis poin-poin ide yang bisa digali saat membuat tulisan
Kang Maman menulis poin-poin ide yang bisa digali saat membuat tulisan

“Endapkan bahan tulisan itu. Baca banyak literasi, pastikan tulisan dan rujukanmu dipercaya, dan tulis secara bertahap. Pasti tulisannya jauh lebih detail dan mendalam.”

Semakin aku tertegun mendengar kiat-kiat yang Kang Maman berikan. Sebuah nasihat penting kudengar lagi dari beliau. Jika setiap tulisan yang dikerjakan secara cepat dan terburu-buru cenderung menghasilkan cerita yang kurang baik. Banyak salah ketik, dangkal, dan mungkin lebih banyak berujar cercaan.

Faktor penunjang lain pada tulisan adalah kita harus memahamil dasar literasi. Ada enam dasar literasi dalam menulis dalam menulis. Keenam dasar tersebut adalah; Literasi Baca Tulis, Literasi Numerasi (hitungan), Literasi Finansial, Literasi Ilmu Sains, Literasi Digital (jurnalistik, media sosia, dan media percakapan), dan Literasi Budaya & Kewargaan.

“Modal utama seorang penulis adalah skeptis, bukan apatis.”

Setiap penulis diharuskan membaca secara berulang-ulang hingga paham maksudnya. Membacanya dengan penuh kehati-hatian. Karena membaca suatu tulisan itu mirip kita berdialog dengan penulisnya.

Satu hal yang dibutuhkan lagi calon penulis adalah merka harus mempunya 4C; Creativity, Collaboration, Communication, Critical Thinking. Jika keseluruhan dipadukan dengan baik, tentu akan tercipta tulisan-tulisan yang baik dan bagus.

Lebih satu jam Kang Maman memberi inspirasi pada peserta untuk mengguggah agar mereka mau menulis. Mempunyai semangat menulis, cara penyampaian khas ditambah kutipan-kutipan bersitaf motivasi, komedi, haru, menjadi satu. Seperti tersihir tiap rangkain kata yang beliau ujarkan. Aku masih terpaku, jemari kian lincah mengetik setiap ucapan yang beliau keluarkan; membuat draf tulisan di linimasa.

“Literasi membuat kita tidak mudah menghakimi seseorang,” Tutur Kang Maman diakhir acara.

Secara simbolis acara telah usai ditandai dengan pemberian buku tentang pajak dan sebuah cinderamata oleh Pak Endaryono kepada Kang Maman. Acara berlanjut tidak formal. Para peserta berebut foto dan meminta tanda tangan.
Penyerahan cinderamata oleh Pak Endaryono kepada Kang Maman
Penyerahan cinderamata oleh Pak Endaryono kepada Kang Maman

Aku izin pada panitia, lalu berjalan meninggalkan pendopo menuju halte bus Jepara – Semarang. Suatu kebanggan tersendiri kala kota Jepara mengadakan festival literasi. Bertemu dengan sosok-sosok hebat (para pemateri), Wakil Bupati Jepara, ditambah dengan figur seperti Stakof, Prabu, dan orang-orang Jepara lainnya. 

Meskipun sekarang minat baca Indonesia masih terbilang rendah, setidaknya ada perjuangan dari orang-orang sekitar yang mengkampanyekan minat baca. Semoga tidak hanya di Jepara, namun di kota-kota lainnya melakukan hal yang sama. Salam Literasi!

*Festival Literasi Jepara pada hari Sabtu – Minggu; 16-17 September 2017 di Pendopo Alit Wakil Bupati Jepara.

Gunung Sari Sunset Desa Wisata Gubugklakah

$
0
0
Gunung Sari Sunset Desa Wisata Gubugklakah
Gunung Sari Sunset Desa Wisata Gubugklakah

Sekilas tampak bangunan baru di lahan yang dipenuhi pohon pinus. Tulisan GGS terpajang besar menjadi ikon. Rombongan kami hanya melewati tanpa berhenti. Jeep melaju kencang menuju Air Terjun Coban Pelangi. Lokasinya tidak jauh dari perbukitan tadi, hanya berjarak beberapa ratus meter saja.

“Sepulang dari Coban kita singgah di sana,”Seru Pak Anshori dari belakang.

GGS adalah singkatan dari Gunung Sari Sunset, lokasi yang berada di perbukitan dan dekat dengan jalan besar. Menurut penuturan pokdarwis, lokasi ini menjadi salah satu spot strategis melihat sunset.

Lahan GGS tidaklah luas, area parkir pun hanya di tepian jalan. Tiap hari tempat ini ramai kendaraan berlalu-lalang ingin menuju Taman Nasional Bromo Tengger (TNBT). Namun tak banyak pengunjung yang singgah. Jauh memandang dari atas, rimbunnya pepohonan yang tampak.

Sepulang dari Coban Pelangi, Jeep yang kami naiki berhenti di tepi jalan. Sesuai dengan janjinya, Pak Anshori menyinggahkan kami di sini. Kami dibebaskan istirahat sembari melihat-lihat GGS. Rumah-rumah kecil sedang dibangun, tempat ini belum sepenuhnya sudah jadi. Ada beberapa bangunan yang sedang dibangun dan dikembangkan.
Perbukitan di sekitar Gunung Sari Sunset
Perbukitan di sekitar Gunung Sari Sunset

Layaknya mengikuti tren tempat lain yang menjadikan hutan Pinus menjadi destinasi alternatif, GGS merias diri. Payung-payung besar berjejeran lengkap beserta kursi dan meja. Tiap sudut dibuatkan tempat duduk terbuat dari batang kayu.

Siang ini lumayan ramai, pengunjung dominan para remaja yang masih berusia belasan tahun. Mereka bercengkerama bersama teman dan orang terdekat. Kusapu pandangan, teman-temanku rehat di hammockyang terikat di ujung. Sebagian lagi berbaur dengan pengunjung lainnya.

Hammock yang terikat di pohon tersusun dua. Berhubung lokasinya agak di tebing, tidak ada yang ingin naik ke atas. Teman-teman silih berganti foto di hammock yang rendah. Kulihat teman-teman riuh saat berebut duduk. Mirip riuhnya saat sedang berghibah syariah di penginapan.

Meski belum dilirik wisatawan luar kota yang hanya hilir-mudik di jalan raya naik Jeep. Gunung Sari Sunset punya pangsa sendiri. Warga lokal mendominasi lokasi ini. Desa Wisata Gubugklalah memang berada di ujung dekat TNBT, sehingga tidak banyak wisatan luar yang mampir.

Warung kecil di tengah-tengah lahan dipadati pengunjung. Mereka berjualan kopi maupun makanan instan lainnya. Hawa dingin membuat warung tersebut ramai. Meja-meja yang tertata sudah dipenuhi para wisatawan, mereka berbincang sembari menyeduh kopi panas.
Duduk santai sembari ngobrol
Duduk santai sembari ngobrol

Bangunan yang paling ramai dinaiki dan dijadikan latar buat berfoto adalah rumah pohon. Rumah kecil ini dibangun di antara jejeran pohon pinus. Sepintas terlihat seperti rumah panggung. Untuk naik ke atas, sebuah anak tangga sudah tersedia. Terdapat tulisan maksimal orang yang diperbolehkan naik.

Seorang ibu menggendong balita naik ke atas rumah tersebut. Setelah sampai, dia meminta anaknya yang di bawah untuk mengabadikan. Aku menunggu sampai mereka puas berfoto, lalu antre naik ke atas. Jadi teringat waktu di sekitaran Pinus Mangunan.
Rumah pohon di GGS desa wisata Gubugklakah
Rumah pohon di GGS desa wisata Gubugklakah

Destinasi pinus tanpa gardu pandang terasa hambar. Makanya di banyak lokasi berlomba-lomba membuat spot-spot unik untuk berfoto. Tentu kawasan Mangunan Jogja menjadi yang pertama. Di GGS ada juga spot untuk berfoto, namun belum banyak dan masih berbentuk dudukan seperti di Kalibiru.

Kami berkunjung ke sini hari jumat menjelang salat jumat. Sehingga masih cukup sepi, kemungkinan pengunjung akan lebih ramai jika menjelang sore. Karena di sini salah satu spot strategis melihat mentari terbenam. Tempat ini pula tidak jauh dari rest areadesa wisata Gubugklakah.
Memandang masa depan
Memandang masa depan

Di GGS terdapat pelataran cukup luas, lokasinya tepat di dekat hammock. Tempat luas ini terdapat sebuah pendopo kecil yang tidak berdinding. Pendopo ini dijadikan tempat duduk santai sekaligus lokasi menyambut tamu.

Usai seharian keliling desa wisata Gubugklakah, menghabiskan watu sore River Tubing Ledok Amprong. Aku beserta rombongan kembali menuju Gunung Sari Sunset untuk menyaksikan sebuah tari.

Suara musik pengiring tarian menggema dari pengeras suara, seorang lelaki berbadan besar keluar menggunakan topeng. Menari, meliuk mengikuti iringan gamelan. Tanpa menggunakan alas kaki, dia menari lebih dari 20 menit.

Tari Klono namanya, sebuah tarian yang terus beliau pentaskan di pendopo GGS kala ada tamu datang. Aku berusaha membidik setiap gerakan tersebut, teman lain juga sibuk mengabadikan, merekam, dan menikmati tiap detik.
Tarian Klono di desa wisata Gubugklakah
Tarian Klono di desa wisata Gubugklakah

Tarian Klono ini menjadi penutup waktu berkunjung di desa wisata Gubugklalah. Mendung menggelayut tebal, dan sempat gerimis. Niat awal selain menyaksikan tarian Klono, kami berencana menikmati senja di GGS. Sayangnya mendung tebal membuat rencanya harus buyar. Tak masalah, toh aku dan rombongan sudah sangat menikmati suasana di desa wisata ini.

Selalu ada harapan besar di tiap destinasi baru seperti ini. Ketika sudah melibatkan pepohonan, dan berada di perbukitan; semoga tetap terjaga kebersihannya. Kita tidak pernah tahu ke depannya destinasi tersebut makin dikenal atau tidak. Yang jelas, semakin banyak pengunjung datang, semakin kerja keras juga pengelola menjaga kebersihannya.

*Rangkaian kegiatan Travel Blogger Eksplor Desa Wisata Malang (Tagar #EksplorDeswitaMalang) dipersembahkan oleh Forkom Desa Wisata Malang 14 - 17 April 2017.

Gunung Sari Sunset Desa Wisata Gubugklakah
Desa Gubugklakah, Poncokusumo, Kab Malang, Jawa Timur
Narahubung: 0878-5947-8177 (Pak Purnomo Anshori)

Setengah Hari Jelajah Empat Museum di Yogyakarta

$
0
0
Mencari jawaban di Museum Perjuangan Yogyakarta
Mencari jawaban di Museum Perjuangan Yogyakarta

Regu-regu kecil tersebar di berbagai sudut museum, mereka mencari jawaban dari setiap pertanyaan yang tertera di kertas. Semua menyusuri sudut museum, membaca tulisan keterangan di tiap informasi. Tak pelak, kadang mereka salah menyapa regu lain yang dianggap regunya.

“Aku regu Mayor Udara Nayoan,” Jawabku kala seorang menanyaiku. Sepertinya dia terpisah dari rombongannya di Museum Perjuangan.

Mayor Udara Nayoan adalah pemimpin Operasi Banteng Ketaton tahap pertama (Banteng Putih) dengan sasaran lokasi di Fak Fak. Operasi ini dilaksanakan pada tanggal 26 April 1962.

*****
Di lantai gedung Benteng Vredeburgaku duduk lesehan. Mata fokus melihat nametag tiap peserta. Berharap mereka adalah satu regu denganku. Pencarian regu mulai menemukan titik terang; aku, Mas Eko, Erwin, Pak Untung, Deby, Mas Agung, Sukma, dan Retno satu regu. Kami tergabung dalam Operasi Banteng Ketaton – Mayor Udara Nayoan.

Satu regu sudah berkumpul, sebuah peta menjadi arahan kami mengunjungi tiap museum. Ada empat museum yang akan dikunjungi. Selain Museum Benteng Vredeburg, masih ada Museum Perjuangan, Museum Dewantara Kirti Griya, dan Museum Sasmitaloka Panglima Besar Sudirman.

Konsepnya seperti triathlon race, tiap menuju lokasi kami menggunakan transportasi yang berbeda. Naik Jeep, sepeda, dan jalan kaki. Untuk reguku; kami naik jeep terlebih dulu, diakhiri dengan jalan kaki.
Peta dan intruksi yang harus dilaksanakan
Peta dan intruksi yang harus dilaksanakan

“Kita naik Jeep dulu,” Terang Pak Untung.

Empat Jeep berjejeran menunggu peserta. Semua Jeep tampak gahar walau sudah berumur tua. Tiap pemilik Jeep mengenakan pakaian perjuangan. Tiga regu dari kelompok satu menaiki Jeep. Kami berbaur dengan regu lain agar kapasitas Jeep tidak berlebihan. Sebelumnya, kami menyempatkan foto bersama.
Regu satu siap mengunjungi musuem lainnya
Regu satu siap mengunjungi musuem lainnya

Jeep-jeep berjalan beriringan keluar dari Benteng Vredeburg. Setiap mata memandang, rasanya mereka juga ingin menaiki Jeep. Aku duduk di sisi kiri mengabadikan jeep lain yang ada di belakangku. Semacam karnaval saja, pengunjung yang berada di KM Nol pun mengabadikan jeep-jeep yang kami naiki.

Berjarak sekitar 2.6 kilometer, kami rasa hanya sebentar naik jeep. Di depan museum Perjuangan sudah ada tiga panitia yang menyambut. Perkenalan tiap regu diawali dengan yel-yel, Salam museum, berlanjut dengan slogan Mataram.
Jeep-jeep mengantarkan ke Museum Perjuangan
Jeep-jeep mengantarkan ke Museum Perjuangan

Museum Perjuangan terletak di Jalan Kolonel Sugiyono No.24, Brontokusuman, Mergangsan. Museum ini dibangun pada tahun 1959. Museum Perjuangan dikelola oleh pihak yang sama dengan Benteng Vredeburg, tahun 2006 museum ini sempat rusak terkena gempa bumi. Kemudian dipugar lagi, dan tahun 2007 kembali dibuka untuk umum.

Tiga regu secara bersamaan memasuki museum, kami tidak membaca satu persatu informasi yang ada di dalam. Karena tujuan ke sini adalah mencari jawaban dari tiap pertanyaan. Jawaban-jawaban tersebut tersebar di dalama dan luar museum.

Kulangkahkan kaki menuju lantai bawah, sebuah tangga bercahaya temaram ruangannya. Tepat di bawah lukisan wajah dr. Sortomo terpajang. Aku menyusuri sudut museum, menyempatkan baca informasi yang terpajang sembari mencari jawaban pertanyaan.
Salah satu lorong anak tangga di museum perjuangan
Salah satu lorong anak tangga di museum perjuangan

“Tinggal satu. Jawabannya ada direlief luar museum.”

Regu kecil ini keluar secara teratur dari dalam museum. Aku melangkah ke sini barat, dan sebagian lagi mengamati relief sisi timur. Nyatanya jawaban ada di sisi timur, tepat di relief Sultan Hasanuddin.

Kertas pertanyaan sudah dilengkapi dengan jawaban. Aku disuruh salah satu teman untuk menyerahkan jawaban tersebut pada panitia yang menunggu di bawah pohon rindang sisi timur. Usai kuserahkan, perjalanan lanjut ke Museum Dewantara Kirti Griya dengan mengendarai jeep.
Mengisi jawaban tiap pertanyaan di kertas
Mengisi jawaban tiap pertanyaan di kertas

Sekilas tak tampak rasa lelah, hanya ada rasa gembira diraut wajah peserta Jelajah Malam Museum. Suara mesin menderu, jeep menyibak kemacetan di arah jalan Taman Siswa. Menjelang sore, jalanan di sini cukup ramai.

Memasuk halaman Museum Dewantara Kirti Griya, kami kembali berkumpul. Masih sama dengan di museum sebelumnya, setiap datang wajib menampilkan yel-yel tiap regu. Aku jadi teringat kala masih ikut Pramuka setiap mendengar yel-yel regu dinyanyikan lantang.

Museum Dewantara Kirti Griya ini merupakan rupa dan pendapa Ki Hadjar Dewantara. Di sini tempat menyimpan koleksi/barang yang pernah digunakan oleh beliau. Museum ini sendiri diresmikan pada tahun 1970, dan terbuka untuk umum. Jika ingin mengetahui data-data tentang Ki Hadjar Dewantara, tempat ini menjadi pilihan.

Lima pertanyaan di kertas cukup membuat kami sibuk. Akupun berjalan menyusuri ruangan, melihat regu lain yang berusaha mencari jawaban. Tiap kertas pertanyaannya berbeda, entah benar atau tidak. Aku tidak melihat kertas dari regu lain. Mataku malah fokus melihat dua bapak yang duduk dipojokan sembari memandang laptop.
Peserta di dalam museum Ki Hadjar Dewantara Yogyakarta
Peserta di dalam museum Ki Hadjar Dewantara Yogyakarta

“Bapak-bapak itu bertugas menjadi pemandu kalau ada pengunjung yang datang ke sini,” Ujar mbak panitia padaku.

Aku jadi teringat waktu mengunjungi Museum Sonobudoyo, di sana ada pemandu yang bisa mengantarkan kita sekaligus menerangkan secara detail tiap peninggalan atau foto. Jasa mereka tidak dibayar pengunjung, tapi dibayar oleh Dinas.

“Sabtu – Minggu buka tidak ya mbak museum ini?” Celetukku.

“Buka mas. Mau saya perkenalkan dengan kepalanya? Beliau ada di sini.”

Kutampik tawaran tersebut dengan alasan kunjungan hari ini karena agenda berbeda. Aku merencanakan untuk datang kembali ke sini, dan fokus menyusuri setiap sudut museum, dan menuliskannya di blog. Kali ini aku hanya menulis kegiatannya saja.

Lima pertanyaan sudah kami jawab, lalu dikumpulkan. Tujuan selanjutnya adalah Museum Sasmitaloka Panglima Besar Sudirman. Museum ini terletak di Jalan Kapten Laut Samadikun No.16, Wirogunan, Mergangsan. Lokasinya tidak lebih dari 1 kilometer dari Museum Ki Hadjar Dewantara.

Jejeran sepeda ontel terparkir rapi di depan halaman Museum Ki Hadjar Dewantara, kami memilih satu sepeda dan mengayuh menuju Museum Sudirman. Aku mengendarai sepeda ontel bersama satu mahasiswi yang tidak bisa naik sepeda. Sulit juga membonceng seseorang naik sepeda.

Sebuah bangunan di depannya ada patung Jenderal Sudirman menunggang kuda, sisi kanan terdapat replika Meriam. Kami hanya diberi waktu singkat menyelesaikan lima pertanyaan. Aku tidak sempat mengabadikan tiap sudut dan ruangan di museum ini. Seperti halnya di museum lain, aku merencanakan untuk mendatangi di lain waktu.
Museum Jenderal Sudirman di Yogyakarta
Museum Jenderal Sudirman di Yogyakarta

“Akhir pekan museum ini tidak buka,” Ujar mbak panitia memakai batik merah.

Belum sempat kutanyakan lebih detail, beliau sudah sibuk mengurusi regu lain yang mulai berdatangan. Mungkin nanti aku tanyakan di lain kesempatan, atau bersua ke sini untuk bertanya bagaimana prosedur dan waktu yang tepat berkunjung. Museum Sudirman ini lebih besar daripada Museum Sudirman yang ada di Magelang. Aku pernah berkunjung di museum Magelang.

Tujuan akhir acara adalah kumpul di titik awal. Reguku jalan kaki menyusuri jembatan Sayidan, lalu masuk ke benteng lewat pintu dekat Taman Pintar. Panitia mengarahkan kami lewat sini agar lebih cepat. Sampai di lokasi, kami lapor ke panitia yang berjaga di meja pendaftaran.

Di sini masih ada satu tantangan yang diselesaikan. Kami harus menjawab 5 pertanyaan lagi dengan waktu 30 menit. Bergegas aku dan teman regu menyebar mencari jawaban. Kupotret pertanyaannya, lalu menyusuri diorama 2 & 3. Jawabannya terselip di antara keterangan diorama.
Menyusuri diorama di Museum Benteng Vredeburg
Menyusuri diorama di Museum Benteng Vredeburg

Malam semakin larut, rinai hujanmulai membasahi Kota Jogja. Acara demi acara berlangsung lancar. Aku duduk di lesehan menikmati kudapan yang sudah disediakan. Sembari makan malam, aku menyapa teman-teman satu regu, sampai akhirnya kami berpisah meninggalkan Benteng Vredeburg.

Jelajah Malam Museum kali ini menguras tenaga, namun menghadirkan banyak kenangan. Bertemu teman lama, mendapatkan teman baru, mengunjungi empat museum; dan ingin kembali mengunjungi beberapa museum tersebut untuk ditulis di blog. Mungkin ini memang salah satu cara melecut diri kita agar bisa mencintai museum. Sesuai dengan slogannya “Museum di Hatiku.”

*Jelajah Malam Museum di Yogyakarta pada hari Minggu; 24 September 2017.

Konsep Retro di Tjokro Style Hotel Yogyakarta

$
0
0
Kamar di Tjokro Style Hotel Yogyakarta
Kamar di Tjokro Style Hotel Yogyakarta

Sofa-sofa tertata rapi sudut ruang depan hotel. Tepat di depan terdapat sebuah monitor berukuran sedang. Fasilitas komputer yang bisa digunakan pengunjung hotel kala butuh akses internet dan tidak membawa gawai. Dua mural sosok besar terpajang di tembok, salah satunya adalah Moody Marilyn Moore.

Dari depan sudah tampak hotel ini berkonsep retro art. Konsep yang disukai kawula muda untuk sekadar bersantai sembari menikmati suasana hotel saat menginap. Ini adalah Tjokro Style Hotel Yogyakarta, berlokasi di Jalan Menteri Supeno No.48, Sorosutan, Umbulharjo, DI. Yogyakarta.
Moody Marilyn Moore dengan siapa Ada yang tahu?
Moody Marilyn Moore dengan siapa Ada yang tahu?

Kulangkahkan kaki menuju restoran yang tidak jauh dari tempat informasi. Restoran tersebut bernama Citrus Restaurant. Selain berdekatan dengan tempat informasi, restoran ini juga berdekatan dengan kolam renang. Hanya disekat menggunakan kaca transparan, dan di luar sudah tertata meja-meja dan sofa untuk bersantai.

Di restoran sudah terjejer meja dan kursi untuk tamu undangan. Aku salah satu undangan yang hadir pagi ini untuk bersua dengan pihak hotel. Kami bercerita santai sembari menikmati sarapan pagi.

Unik melihat bagaimana pihak hotel ini memanfaatkan drum-drum besar sebagai penyanggah meja kaca, atau ketika melongok ke atas yang tampak adalah jendela dan pintu kayu warna-warni menambah jelas identitas modern. Bisa jadi hotel berbintang tiga ini sengaja membuat konsep retro agar menarik pangsa pasar para muda-mudi saat bepergian.

Minuman tertata berdekatan. Kopi, Teh (beberapa varian), Wedang Secang, dan Jamu juga tersedia. Pun jika pecinta Jus, sudah disediakan buah-buahan yang siap dijadikan jus. Pengunjung diperbolehkan membuat jus sendiri atau meminta pramusaji untuk dibuatkan.

“Silakan dicicipi menu yang kami sediakan,” Ujar Perwakilan dari hotel.

Tidak hanya pihak hotel saja yang ikut berbincang santai, salah satu chief restoran juga bergabung. Sembari sarapan, kami menanyakan seputar menu yang disajikan.
Sarapannya mie ayam dulu
Sarapannya mie ayam dulu. Padahal sudah sarapan lainnya

Menu sarapannya juga cukup beragam; menu-menu seperti Ayam Goreng Kremes, Balado Terong Tahu, Kailan Saus Tiram, Nasi Goreng, Sup Ayam, Soto Ayam, sampai Mie Ayam, pun tersedia. Menu andalan di sini sebenarnya Miedes. Mie yang khas dari Bantul, sayangnya sajian tersebut bukan termasuk yang disajikan saat sarapan.

Tjokro Style Hotel Yogyakarta dikelola oleh SAS Hospitality yang sekarang telah mengelola 7 hotel di beberapa kota seperti Yogyakarta, Jakarta, Klaten, Bandung, Balikpapan, dan Pekanbaru. SAS Hospitality berdiri sejak awal tahun 2017 merupakan perusahaan operator hotel yang tertarik pada nilai-nilai keramahan, budaya lokal, dan spiritual dalam memberikan layanan.

SAS Hospitality mengelola dari hotel kelas ekonomi hingga kelas atas. Tujuannya memberikan alternatif pilihan bagi para wisatawan maupun pebisnis untuk berkunjung dan menginap di hotel tersebut. Hotel-hotel yang dikelola antara lain Grand Tjikro Premiere, Grand Tjokro, Tjokro Hotel, dan Tjokro Style. Tojkro Style inilah yang aku kunjungi bersama tamu undangan lainnya.

Aku menyempatkan waktu menuju kolam renang. Walau tidak besar, kolam renang ini cukup menjadi pelepas dahaga para pengunjung yang ingin berenang. Dua kolam menyatu dan tertera kedalamannya. Satu kolam renang untuk anak-anak, dan satunya untuk orang dewasa. Selain kolam renang, di dekat sini juga terdapat ruangan untuk Spa & Massage. Tidak ketinggalan tempat khusus Gym.
Kolam renang di dekat restoran
Kolam renang di dekat restoran

Fasilitas yang ada di hotel ini lainnya adalah ruangan untuk rapat. Terdapat beberapa ruangan dengan kapasitas berbeda. Aku sempat mengabadikan ruang rapat yang kecil, di sana tempatnya asyik karena dinding-dinding dipenuhi angka dan huruf. Sehingga terlihat inovatif ruangannya. Di lantai atas juga terdapat ballroom yang bisa digunakan 250 orang. Tiap dindingnya diberi hiasan batik.

“Kalau mau ambil paket nikahan juga bisa di sini,” Ujar Pihak hotel.

Kami tertawa mendengar perkataan beliau. Terlebih kami yang datang memang para kawula muda. Hanya beberapa teman saja yang sudah menikah.
Ruang rapatnya menarik
Ruang rapatnya menarik

Selama di hotel, kami diajak tour hotel. Tjokro Style Hotel Yogyakarta memiliki tujuh lantai, dan mempunyai 99 kamar. Tiap lorong hotel cukup temaram, dan dinding hotel dikonsep sedemikian rupa. Sengaja dibuat menjadi menarik di tiap sudutnya.

“Kamar di hotel kami ada tiga jenis; Superior, Deluxe, dan Junior Suite Rooms.”
Lorong tiap menuju kamar
Lorong tiap menuju kamar

Kelompok kami terbagi menjadi beberapa rombongan. Aku masuk di salah satu kamar yang superior. Memberdayakan ruangan yang tidak terlalu luas dengan konsep retro; begitulah yang kulihat. Warna cerah ditambah dengan motif modern sprei kamar. Terasa berada di kamar anak-anak muda.

Fasilitas kamar juga sudah mumpuni. TV, Kamar Mandi, AC, Wifi, dan lainnya sudah tersedia. Sebuah papan tulis yang terpajang di dinding nantinya ditulis nama orang yang menginap. Lukisan berwarna cerah terpampang di sudut dinding lain dibuat serasi dengan warna kamar.

Lokasi Tjokro Style Hotel Yogyakarta cukuplah strategis. Dari hotel ini cukup dekat menuju pusat kota Jogja. Selain itu lokasi ini juga tidak jauh dari beberapa destinasi seperti museum. Setidaknya ada lima museum yang dekat di sini; Museum Sandi, Museum Perjuangan, Museum Ki Hadjar Dewantara, Museum Sonobudoyo, Museum Benteng Vredeburg, bahkan Kraton Yogyakarta.
Jangan tanyakan siapa modelnya
Jangan tanyakan siapa modelnya

Aku dapat menarik simpulan jika Tjokro Style Hotel Yogyakarta dengan konsep retro-nya menjadikan para kawula muda sebagai sasaran konsumennya. Tiap sudut terdapat sudut menarik untuk diabadikan, instagramable, sehingga memantik pengunjung untuk berfoto dan mengunggah di sosmed-nya.

Kita semua tahu jika mengunggah di sosmed, setidaknya kita sudah mempromosikan tempat tersebut pada teman maupun kerabat. Dan di setiap sudut Tjokro Style Hotel Yogyakarta memang sayang jika tidak diabadikan. Kali ini aku cukup mengabadikan saja, dan siapa tahu ke depannya bisa diundang menginap di hotel ini *eh.
Tjokro Style Hotel Yogyakarta
Alamat: Jl. Menteri Supeno No.48, Sorosutan, Umbulharjo, DI. Yogyakarta
Narahubung: 0274 386200/ 0274 386858 (Fax)
Sosial Media: @tjokrostyle(Instagram)

Heritage Art 2017 di Museum Benteng Vredeburg

$
0
0
Pameran Lukisan Cat Air Internasional di Benteng Vredeburg Yogyakarta 2017
Pameran Lukisan Cat Air Internasional di Benteng Vredeburg Yogyakarta 2017

Menjelang acara Jelajah Malam Museum di Benteng Vredeburg, aku menyempatkan melihat pameran lukisan di tempat yang sama. Pameran Lukisan Cat Air Internasional berlangsung sejak tanggal 23 September - 1 Oktober 2017. Jejeran umbul-umbul terpasang rapi area gedung. Berharap umbul-umbul tersebut memikat pengunjung untuk datang menengok pameran.

Pameran lukisan ini diikuti perwakilan dari 42 Negara. Aku dapat melihat seluruh Negara peserta dari bentangan spanduk yang melintang di atas gedung. Indonesia bersama Albania, Australia, Bangladesh, Belarusia, Belgia, Brazil, Kanada, China, Ceko, Ekuador, Mesir, Yunani, Hongkong, India, Iran, Italia, Jepang, Yordania, Kosovo, Latvia, Malaysia, Meksiko, Myanmar, Nepal, Pakistan, Peru, Filipina, Rumania, Rusia, Singapura, Korea Selatan, Sri Lanka, Swiss, Thailand, Bahama, Belanda, Turki, UEA, Ukraina, Amerika Serikat, dan Vietnam.

Lengkap rasanya jika ditelisik tiap negara, sudah mewakili seluruh benua yang ada di belahan bumi. Tanpa ada retribusi tambahan, aku masuk ke dalam dan melihat puluhan karya dari belahan bumi yang dipamerkan. Urutan lukisan terpajang di bagian depan adalah Indonesia, lalu Negara-negara lainnya.
Lukisan para seniman yang terpajang di pameran
Lukisan para seniman yang terpajang saat pameran berlangsung

Aku terus melangkah menapaki lorong penuh sekat. Melihat karya para maestro, takjub rasanya ketika melihat goresan cat air menjadi hasil karya indah. Aku tidak paham seni lukis, namun aku menikmati setiap hasil karya dipamerkan. Tidak sedikit karya kuamati lama, lalu kuabadikan. Berikut sedikit lukisan yang kuabadikan untuk kalian nikmati.

Suherman Djaman (Indonesia) - Anthropic Heritage

Suherman Djaman (Indonesia) - Anthropic Heritage

Sareh Mohebeian Zadeh (Iran) - The Secret of Childhood

Sareh Mohebeian Zadeh (Iran) - The Secret of Childhood

Ali Abbas Syed (Pakistan) - Traditional Woman of Thar Desert

Ali Abbas Syed (Pakistan) - Traditional Woman of Thar Desert

Victor Hugo Rueda Palacios (Ecuador) - Cazador Huaorani

Victor Hugo Rueda Palacios (Ecuador) - Cazador Huaorani

Jinky Rayo (Philippines) - Grandpa's Smile

Jinky Rayo (Philippines) - Grandpa's Smile

Katerina Kovatcheva (The Bahamas) - The Craftman

Katerina Kovatcheva (The Bahamas) - The Craftman

Moelyoto (Indonesia) - Significance of a Single Thread

Moelyoto (Indonesia) - Significance of a Single Thread

Selain lukisan yang kuabadikan tersebut, masih ada puluhan lukisan lainnya dan tidak kalah indah. Hampir sebagian besar yang dipamerkan adalah lukisan manusia, selebihnya terbagi antar lukisan alam, bangunan sudut kota, ataupun lainnya.
Lukisan lainnya saat pameran
Lukisan lainnya saat pameran, hanya ada tanda tangannya saja

Aku masih terkesima melihat tiap karya ini, tanpa kusadari tuntas sudah kutapaki tiap lorong penuh lukisan yang menceritakan banyak hal. Jarang-jarang aku bisa menikmati lukisan senyaman ini. Mungkin karena hanya ada aku dan segelintir orang yang masuk ke dalam galeri. Selama di dalam; aku hanya melihat empat orang lainnya. Bisa jadi siang ini tidak ramai pengunjung yang masuk. Kadang menjelang sore atau magrib baru banyak pengunjung yang datang.

Meskipun antusias para pengunjung museum tidak semuanya masuk melihat pameran lukisan, setidaknya tetap ada sosok-sosok yang mau berlama-lama melihat goresan karya seniman dengan cat cair. Aku melangkah keluar, menyapa pintu yang kosong tanpa ada penjaga; hanya sebuah buku tamu yang terdapat daftar nama pengunjung masuk. Di sana tertera namaku di barisan akhir siang ini.

Menyesap Dongeng Latte di Dongeng Kopi

$
0
0
Kedai Dongeng Kopi Yogyakarta
Kedai Dongeng Kopi Yogyakarta

“Kita pindah ke Dongeng Kopi, lebih nyaman buat bersantai,” Usul Mas Iqbal pada kami.

Bergegas kami meninggalkan tempat duduk di Filosofi Kopi. Filosofi Kopi menjelang magrib sudah dipenuhi pengunjung. Antusias pengunjung tinggi, untuk pesan menu sudah antri lumayan panjang. Masih banyak waktu untuk ke sini lagi, dan kami putuskan pindah tempat agar lebih santai.

Dongeng Kopi yang dulunya berada di Condong Catur pindah ke sekitaran Jalan Damai. Beruntung Aqied sudah pernah ke sana, jadi kami tidak kebingungan kala menuju lokasi. Dongeng Kopi bersebelahan dengan sebuah homestay. Bangunan semi joglo terlihat temaram, sebuah tanda tulisan “Dongeng Kopi” terpajang di depan.

Kedatangan rombongan kami, pihak Dongeng Kopi mengatakan bahwa sebenarnya ini belum buka. Peresmian buka masih bulan depan, namun mereka buka sekadar untuk mengantisipasi pengunjung yang sudah jauh-jauh ke sini. Kasihan kalau sudah datang jauh-jauh dan tutup, begitu kata Mas Lukas yang menyambut kami.

Tatanan bangunan masih 80% jadi, kami numpang salat dengan alas tikar seadanya. Musola belum jadi, beruntung salah satu pramusaji Dongeng Kopi tanggap menyediakan tikar, sajadah, dan mukena. Dongeng Kopi bangunannya cukup luas, kursi-kursi terjejer rapi di lahan tengah.
Mas Lukas menyapa pengunjung Kedai Dongeng Kopi
Mas Lukas menyapa pengunjung Kedai Dongeng Kopi

Bergantian kami menunaikan salat magrib, sebagian lagi sudah memesan kopi sesuai keinginannya. Mas Iqbal dan Aqied sibuk berbincang dengan Mas Lukas (Barista Dongeng Kopi). Mak Indah, Hanif, Gallant, serta Mbak Ika yang sengaja mampir ke Jogja berbincang santai. Sepertinya kami sedang reuni, selain itu di sini juga kedatangan Mas Aan yang balik ke Jogja.

Mas Lukas ditemani barista lain asyik berbincang tentang kopi dengan pengunjung yang mulai berdatangan. Walau sepenuhnya belum buka, nyatanya Dongeng Kopi tetap ramai. Di tempat yang dulu (Condong Catur), pengunjung bisa sekalian latihan meracik kopi sesuai dengan keinginannya sendiri. Nantinya mereka membayar sukarela.

Toples kaca tempat menyimpan berbagai jenis biji kopi berjejer rapi di meja depan barista. Tertulis nama-nama di tiap toplesnya. Gatholoco, Ganda Arum Manis, Esthining Panembah, Dadung Awuk, Hasta Dasa Parateming, Asmarandana, Barung Sinang. Kubuka salah satu toples yang berisi biji kopi. Bau harum semerbak kopi terasa.
Biji kopi di dalam toples transparan
Biji kopi di dalam toples transparan

“Kopinya dari mana saja mas?”

Mas Lukas sedang meracik kopi senantiasa meluangkan waktu menjawab tiap pertanyaan pengunjung. Pun dengan pertanyaanku yang kadang nyeletuk.

“Paling banyak dari Temanggung, Gayo, dan Bali.”

Di Jawa, Temanggung menjadi tempat yang paling banyak perkebunan kopi. Aku teringat saat menyambangi Curug Surodipo Temanggung, setiap sisi selain tembakau juga banyak pohon kopi. Pun ketika aku mengunjungi Posong, hampir tiap sisi ada banyak kedai kopi yang tersedia.

Sembari menunggu waktu antri memesan kopi, kusempatkan mengelilingi sudut bangunan Dongeng Kopi. Tembok hanya setengah meter, lalu bagian atas diberi papan-papan sebagai dinding. Bagian dalam ruangan terdapat anyaman bambu dengan selingan lukisan berjejer di atap.

Anyaman bambu di Dongeng Kopi mengingatkanku Desa Wisata Sanankerto yang dominan terbuat dari bambu. Ada banyak lukisan yang terpajang, lukisan peta Indonesia dengan dengan bentukan butiran biji kopi paling membuatku tertarik. Di sana terdapat keterangan beberapa jenis kopi seperti Gayo, Bajawa, sampai Papua.
Lukisan peta Indonesia
Lukisan peta Indonesia 

Di sudut utara sebuah rak buku lengkap dengan koleksinya. Sebagian besar buku berasal dari Indie Book Corner. Penerbit yang awalnya satu tempat dengan Dongeng Kopi. Tidak banyak memang koleksinya, namun cukuplah untuk dijadikan buku bacaan ketika sedang luang saat menunggu pesanan datang.

“Mas kalau kopi yang khas di sini apa?” Tanyaku ketika mendapat kesempatan bertanya.

“Dongeng Latte,” Jawab Mas Lukas.

Aku tertarik dengan Dongeng Latte, pikiranku langsung tertuju pada Caffee Latte, kopi yang dicampur dengan susu dan bagian atasnya mempunyai lapisan busa tipis. Di sini banyak penamaan kopi yang disesuaikan dengan nama kedai.
Secangkir Dongeng Latte
Secangkir Dongeng Latte

Dongeng Latte adalah kombinasi kopi dicampur susu ditambahi rempah lain seperti; pala, cengkeh, kayu manis, jahe, dan serai. Bau semerbak rempah tercium jelas, menggugah selera. Tidak ketinggalan pemanisnya adalah gula aren agar lebih kental.

Untuk seorang pemula, aku rekomendasikan memesan Dongeng Latte. Jika ingin tahu lebih lanjut, kalian bisa berdiskusi sejenak dengan baristanya ketika sedang meracik kopi pesananmu. Mereka akan tahu kopi apa yang cocok untukmu.

“Pas banget buatku mas,”Ujar Mak Indah saat menyesap dongeng latte pesanannya.

Reuni kecil ini dihangatkan dengan obrolan seputar jalan-jalan dan blog. Semakin banyak teman, kita semakin melebarkan sayap tali persaudaraan. Hobi yang sama membuat setiap orang menjadi teman akrab. Sayangnya Mak Indah, Gallant, dan Mas Iqbal harus pulang duluan karena ada acara.

Malam makin larut, tiga teman datang bergabung. Kita kembali menikmati seduhan kopi ditambah sajian kentang goreng. Dongeng Kopi memberikan suasana nyaman, ramai namun tidak banyak suara gaduh. Suasana yang pas untuk berbincang lama dengan kawan.
Kopdar blogger di kedai kopi
Kopdar blogger di kedai kopi/ Dok. Aqied

Uniknya, Dongeng Kopi membebaskan kita membayar berapa pun harga segelas kopi yang kita minum. Jika dirasa enak, kita dipersilakan mengambil uang terbesar di dompet, dan memasukkan ke dalam toples. Pun jika kita merasa tidak sregrasanya. Diperbolehkan kita membayar dengan nominal terkecil sekali pun.

Kuteguk dongeng latte sampai habis, kutinggalkan cangkirnya di atas meja. Seperti yang lainnya, kuambil uang dari dompet dan memasukkan ke dalam toples transparan. Sembari melangkah keluar, kami mengucapkan terima kasih pada barista yang masih bekerja. Kuyakinkan di kesempatan lain, aku akan bersua kembali ke sini.

*Dongeng Kopi, Kamis; 27 Juli 2017.

Kuliner Malam Sate Pak Kampret di Jombang

$
0
0
Sate Pak Kampret Jombang
Sate Pak Kampret Jombang

Pernah suatu ketika teman berkata kalau sate di tengah-tengah pasar itu cenderung lebih enak dan ramai. Aku tidak tahu dia mendapatkan informasi dari mana ketika berkata seperti itu. Sejauh ini lokasi sate yang berada di tengah pasar dan pernah kukunjungi adalah Sate Klathak Pak Bari. Itupun aku belum ulas di blog, padahal sudah beberapa kali ke sana. Dan memang enak.

Kunjunganku ke Jombang secara tidak langsung menjelajahi kuliner di kabupaten tersebut. Seperti yang sudah ada direncana awal, kami (rombongan dari Jogja, Surabaya, dan Malang) akan mencicipi kuliner sate. Menurut bloger sekaligus pemandu kami, sate Pak Kampret ini sudah terkenal.

“Jombang sudah hits, jadi nggak perlu kalian promosikan,” Kelakarnya.

Aku tidak paham seluk beluk Jombang, yang kutahu dari Jombang hanyalah Pondok Pesantren Darul Ulum. Itupun karena kakak-kakakku mondok di sana, serta almarhum kakek teman karib salah satu sesepuh di ponpes tersebut.

Mobil melaju pelan, menyeruak di tengah kemacetan jalan. Ruas jalan kurasa makin kecil, memasuki pasar. Aku masih penasaran lokasinya, mobil benar-benar parkir di depan lapak warung yang sudah tutup. Dari tulisan kecil yang ada di penyanggah kayu terpampang tulisan Pasar Legi.

Perjalanan dilanjut jalan kaki melintasi jalan kecil antar sekat lapak. Sayuran dan buah tertata rapi, beberapa orang tua menjaga lapak sambil menyapa kami. Mereka tentu sudah tahu kalau tujuan kami ke sini untuk kuliner sate Pak Kampret. Begitu dekat warung sate, aku terperanjat melihat kerumunan orang-orang yang ingin kuliner.
Pecinta kuliner malam sudah ramai
Pecinta kuliner malam sudah ramai

Asap mengepul di tengah pasar bersamaan dengan aroma sate. Para pecinta kuliner malam sabar menanti kursi kosong. Mereka bercengkerama dengan teman di tempat yang dirasa nyaman. Aku dan rombongan berhasil mendapatkan kursi & meja kosong. Kami langsung memesan sate beberapa porsi.

Seorang bapak berkaos merah sibuk mengipasi sate yang dibakar. Tiga perempuan lainnya mengatur pengunjung sembari menanyakan pesanan. Aku mendekat bapak yang bertugas membakar sate.
“Pak kampret, mas,” Lelaki tersebut menjawab pertanyaanku.

Dari sini aku langsung paham jika penamaan sate tersebut memang dari nama beliau. Aku kira itu hanya brand agar lebih dikenal dengan mudah. Aku masih penasaran apa yang membuat sate ini begitu kondang dan dicari para pecinta kuliner ketika berkunjung ke Jombang.
Pak Kampret sibuk membakar sate
Pak Kampret sibuk membakar sate

Sembari menunggu pesanan datang, aku berbincang dengan Pak Kampret. Sesekali harus bergeser karena asap mengarah padaku. Sate Pak Kampret nyatanya memang sudah dikenal oleh masyarakat sudah lama. Beliau sudah 26 tahun merintis warung sate di tempat ini.

“Dari awal buka sudah di sini mas. Di tengah-tengah pasar.”

Walau lokasinya blusuk di tengah pasar, nyatanya cukup mudah ditemukan. Terlebih nama warung beliau sudah kondang.

Sate Pak Kampret berbahan baku daging sapi. Jika sebagian besar sate itu ayam atau kambing, beliau sudah menetapkan dari awal daging yang digunakan adalah sapi. Warung beliau buka sejak pukul 21.00 WIB – 07.00 WIB. Jadi jika ingin menikmati sate Pak Kampret, lebih baik datang sekitar pukul 21.00 WIB, pasti stoknya masih banyak.
Sate sapi di warung Pak Kampret
Sate sapi di warung Pak Kampret

Beliau sengaja buka dari malam sampai pagi ternyata sasaran utama pembeli adalah orang-orang yang menyambangi pasar menjelang subuh. Pasar Legi merupakan pasar tradisional, dan mereka yang berjualan di sini biasanya datang menjelang dinihari.

“Banyak penjual pasar ini beli pas pagi mas. Mereka sarapan sate sama pecel,” Terang Pak Kampret.

“Pecel pak?” Kuulangi ucapan beliau. Siapa tahu beliau salah mengucap.

“Iya mas, pecel. Sate ini dimakan dengan nasi pecel,” Pak Kampret balik meyakinkanku.

Aku tidak memperhatikan sebelumnya jika sate nasi yang disajikan mendamping sate adalah nasi pecel. Benar-benar khas Jawa Timur, bahkan satepun dimakan dengan nasi pecel. Aku jadi penasaran sensasinya.

Sepiring sate sudah tersaji di depanku. Kulihat lebih seksama, benar saja ini adalah nasi pecel. Aku belum terbiasa makan pecel malam hari, justru ini menjadi pengalaman tersendiri bagiku. Makan pecel dengan lauk sate sapi.
Sate sapi dimakan dengan nasi pecel
Sate sapi dimakan dengan nasi pecel

Satu porsi sate Pak Kampret terbagi menjadi dua; jika satenya hanya tiga tusuk dihargai Rp.18.000, jika satenya 5 tusuk dihargai Rp.25.000. Harga yang standar menurutku, terlebih kuliner ini sudah terkenal.

Daging sapi memang berbeda dengan kambing, tekstur maupun baunya. Pak Kampret berhasil membuat inovasi yang menarik perhatian. Empuk dagingnya, dan bakarannya pun pas. Jadi tidak sia-sia kuliner malam sate Pak Kampret walau antrinya membludak.

Saking membludaknya pengunjung, Pak Kampret tiap malam membutuhkan minimal 16kg daging sapi di waktu malam biasa. Untuk akhir pekan beliau menyiapkan daging lebih banyak lagi, biasanya disiapkan 25kg.

“Pasti habis mas, dan banyak orang-orang dari luar kota yang makan di sini. Lah mas sendiri dari mana?” Tanya Pak Kampret.

“Saya dan rombongan dari Jogja pak.”

Pak Kampret asyik diajak ngobrol. Beliau cekatan membolak-balikkan sate yang tertata di atas tumpuan arang. Sembari bekerja, beliau antusias menceritakan seluk-beluk dan perjuangan beliau sebagai penjual sate. Sate dipadu dengan nasi pecel merupakan makanan yang sudah turun-temurun di Mojosari.

Malam semakin larut, aku dan rombongan menikmati santap malam sebelum tidur. Hiruk pikuk pengunjung makin ramai, aku terus menyantap sampai tusuk yang terakhir. Lima tusuk sate sapi habis beserta nasi pecelnya. Kami tidak bisa lebih berlama-lama lagi, terlihat pengunjung lain yang ingin duduk sudah mengular.

“Terima kasih pak, kami pulang dulu.”

Pak Kampret tersenyum sembari mengucap balik terima kasih. Aku dan rombongan berjalan menuju mobil setelah kekenyangan. Hari pertama di Jombang kami habiskan kulineran di Jombang & Mojokerto. Sate Pak Kampet barulah satu kuliner yang tertulis, masih ada kuliner lain yang wajib dikunjungi kala ke Jombang.

Benar kata teman waktu lampau, kalau sate di tengah pasar itu jauh lebih nikmat. Sejauh ini banyak sate yang sudah kunikmati; rata-rata sate kambing. Namun ketika kuliner ke sate Pak Kampret, aku mulai tahu jika sate sapi juga tak kalah enak. Terasa lebih spesial lagi karena dimakan dengan nasi pecel.

*Kuliner Sate Pak Kampret di Jombang pada hari Sabtu; 19 Agustus 2017.

Rusa-rusa di Pendopo Kabupaten Jepara

$
0
0
Anak-anak kecil didampingi orangtuanya memberi makan rusa di Pendopo Jepara
Anak-anak kecil didampingi orangtuanya memberi makan rusa di Pendopo Jepara

Jepara menjelang sore tetap ramai. Ruas jalan di tengah kota silih berganti kendaraan lewat. Alun-alun Jepara masih sepi, sementara Pecinan tak pernah berubah. Lantunan lagu musik koplo terdengar bersahutan dari tiap pengeras suara. Sepanjang jalan kawasan Pecinan ada banyak penjual-penjual CD/DVD.

Aku menyempatkan waktu rehat di sekitaran Alun-alun Jepara. Memandang bangunan bekas Bioskop Mutiara yang sudah dirobohkan. Taman di dekat alun-alun lengang, hanya ada beberapa anak yang bermain diayunan sembari berteriak kegirangan.

Di depan pendopo kabupaten, terlihat beberapa orang asyik menghadap ke pagar jeruji besi. Aku penasaran apa yang mereka lihat dari pinggir jalan. Ternyata mereka sedang asyik melihat Rusa-rusa yang ada di penangkaran.
Segerombol Rusa di dalam penangkaran depan Pendopo Jepara
Segerombolan Rusa di dalam penangkaran depan Pendopo Jepara

“Itu rusa sudah lama kak. Di sana ada juga burung loh,” Celetuk adik sepupu sewaktu aku cerita sempat memotret rusa di pendopo Jepara.

Berkali-kali aku pulang ke Jepara, selalu lewat area Alun-alun Jepara, tapi baru sadar jika di sana ada penangkaran Rusa. Aku teringat di beberapa tempat seperti Lembah UGM (dulu), area Candi Prambanan, dan Taman Balekambang di Solo juga ada rusa-rusa yang ditangkar.

Aku tidak sempat menghitung berapa jumlah rusa yang berada di penangkaran. Penangkaran ini lumayan luas untuk segerombolan rusa dan burung. Hamparan tanah lapang berumput hijau menjadi kandangnya. Tulisan besar terpampang di sana, “Trus Karya Tataning Bumi”. Dari sini juga terlihat sangkar burung besar yang berada di belakang sana.
Tingkah rusa kala sore hari
Tingkah rusa kala sore hari

Selama di Jepara aku tidak ada agenda khusus. Hanya ingin santai di Jepara sembari menikmati suasana kota Jepara. Aku melangkahkan kaki ke arah kerumunan anak-anak yang didamping orangtuanya mendekat ke pagar besi.

Rusa-rusa berlarian, di sini lumayan banyak rusanya. Mereka mendekat saat ada tangan-tangan yang memberikan makanan. Sementara rusa lainnya hanya diam menatap ke luar pagar. Cukup ramai juga orangtua yang membawa anaknya main ke sini, mereka sekadar menonton tingkah rusa atau sekalian bergabung memberi makan.

Pandanganku tertuju pada seorang perempuan tua yang sibuk memberi makan potongan kulit semangka. Rusa-rusa di dalam pagar berebut menyambar kulit semangka segar yang disodorkan. Di depan ibu tersebut, plastik putih dipenuhi potongan kulit semangka segar.

Beliau telaten menyodorkan potongan kulit semangka pada tiap rusa yang mendekat. Jika rusa tersebut sudah mendapat jatah, beliau pindah ke rusa lain yang belum sempat diberi makan. Moncong rusa-rusa tersebut menempel di jeruji, ingin keluar dari pagar dan menyantap makanan dari perempuan tersebut.

Sesekali beliau melemparkan beberapa potongan kulit semangka ke tengah-tengah penangkaran. Rusa yang berada di kejauhan berebut potongan makanannya. Riuh rendah suara anak kecil yang melihat tingkah rusa berlarian berebut makanan.

“Hampir tiap hari saya ngasih makan rusa di sini mas,” Jawab ibu berkaos merah muda.

Ibu Ani namanya. Sosok perempuan tua yang senantiasa asyik memberi makan rusa-rusa di penangkaran. Beliau bercerita jika awalnya rusa di sini hanya ada empat ekor, lambat laun menjadi lebih banyak.
Ibu Ani memberi makan potongan kulit semangka pada seekor rusa
Ibu Ani memberi makan potongan kulit semangka pada seekor rusa

Masih dengan memberi makan rusa, beliau bercerita panjang lebar perihal kegiatannya memberi makan rusa. Perempuan asli Jepara ini mengatakan kalau potongan kulit semangka ini sengaja dikumpulkan olehnya beserta anak perempuannya.

“Anak saya jualan es buah di dekat sini. Jadi ada banyak sisa potongan semangka dan lainnya. Saya kumpulkan dan saya kasih makan ke rusa.”

Sebuah inisiatif yang bagus menurutku. Ketika potongan-potongan kulit buah itu hanya dibuang saja, tentu hanya menumpuk ditempat sampah. Ibu Ani memanfaatkan potongan kulit buah tersebut diberikan untuk rusa.

“Lebih baik diberikan ke rusa daripada hanya saya buang. Kan sayang bisa dimanfaatkan.

Aku meminta izin mengabadikan beliau memberi makan rusa. Selain itu aku juga sempat meminta beberapa potongan kulit semangka untuk dimakankan ke rusa. Seru rasanya beraktivitas seperti ini.

Tanpa terasa aku sudah cukup lama di sini. Silih berganti orang-orang menyempatkan berhenti dan melihat rusa di Pendopo Jepara. Banyak ibu/bapak membawa balita dan anak kecilnya untuk bersantai sambil melihat tingkah rusa. Mereka mengabadikan diri Bersama anak-anaknya.
Hiburan alternatif anak-anak di Jepara, melihat penangkaran rusa depan pendopo
Hiburan alternatif anak-anak di Jepara, melihat penangkaran rusa depan pendopo

Penangkaran rusa ini berada di tempat yang strategis. Tepat berada di jalan raya, dan di area pusat kota. Sehingga banyak orang yang bisa sekadar singgah dan memotret rusa, atau mengajak keluarga kecil menghabiskan sore di sini.

Sore berjalan cukup cepat. Aku melihat sekelilingku, dan terasa mulai ramai. Tugu Pancasila menjulang tinggi di tengah-tengah jalan; menjadi patokan pemecah alur kendaraan yang ingin memutar. Kulangkahkan kaki menuju Lodji, aku berniat kembali mengabadikan Benteng VOC, sekaligus nyekar di kuburan paman yang tidak jauh dari sini.
*Memotret Rusa di Pendopo Kabupaten Jepara pada hari Jumat; 22 Juni 2017

Mengayuh Sepeda ke Bukit Klangon Lereng Merapi

$
0
0
Landmark tulisan Klangon
Landmark tulisan Klangon, pinjam sepeda orang untuk dipotret

Sebuah pertanyaan terbesit kala melihat agenda teman-teman ingin menyambangi Gardu Pandang di Bukit Klangon, apakah aku kuat melewati tanjakan tak berujung tersebut? Tahun 2017 adalah tahun paling jarang aku bersepeda tiap pekan. Aku lebih sering menghabiskan akhir pekan mengunjungi kota lain dengan kendaraan umum.

Kutekadkan sabtu pagi menyusul teman pesepeda yang sudah berangkat lebih dulu. Bekal seperti roti, air mineral, dan P3K sudah kumasukkan ke dalam tas. Kulihat rute terdekat menuju Klangon, aku mengambil jalur dari Kalasan. Melintasi jalanan relatif sepi, kukayuh pedal sepeda dengan ritme sedang.

Tak ada target sampai ke Bukit Klangon. Pun kalau nanti capek dan kurasa tidak kuat, aku sudah berniat putar balik. Minimal sudah dapat keringat banyak. Selama ini aku jarang menjelajah area utara, paling jauh ke daerah utara adalah beberapa tahun silam sewaktu sepedaan ke Bukit Perkemahan Wonogondang.
Melintasi jembatan di area Cangkringan
Melintasi jembatan di area Cangkringan

Pagi cukup menyenangkan, hawa sejuk menerpa kulit. Hamparan sawah luas menguning. Di salah satu area persawahan, warga setempat sedang ramai-ramai memanen padi.

“Panen pak/bu,” Sapaku seraya istirahat.

“Inggih mas.”

Aku asyik melihat bagaimana aktivitas warga kala panen padi. Membagi tugas, ada yang memotong padi, mengumpulkan jadi satu, dan menyelep padi agar terlepas dari dahan. Bulir-bulir gabah tertumpuk menjadi satu di karung.

Tenaga sudah mulai kumpul lagi. Aku melanjutkan perjalanan mengikuti GPS. Rasanya tanjakan di sini nggak ada habisnya. Belum ada tanjakan yang tajam, namun tetap saja berat mengayuh pedal. Untuk kedua kalinya aku rehat dan berbincang dengan dua bapak yang sedang membersihkan lahan.
Gotong royong memanen padi
Gotong royong memanen padi

“Mau kami tanami Singkong mas.”

Enaknya sepedaan di area perkampungan warga itu bisa berinteraksi. Lagi-lagi aku rehat, mengumpulkan tenaga sambil menyeduh teh yang bapak tawarkan. Fisikku memang payah, separoh perjalanan dan belum melewati tanjakan tajam sudah ngos-ngosan.

Kembali aku mengayuh pedal, jalan lurus dan berupa tanjakan yang tak berhenti. Beberapa kali ketemu dengan pesepeda yang lain. Tujuan sama, Bukit Klangon. Pesepeda menggunakan roadbike menemaniku beberapa kilometer, namun akhirnya aku keteteran. Sedikit demi sedikit, mereka menjauh.

Sampai akhirnya bertemu dengan rombongan downhill yang sengaja mengayuh pedal sampai Klangon. Teman-temannya satu komunitas sudah lebih dulu ke atas, sepedanya dinaikkan ke mobil bak terbuka.
Fisiknya kuat; sepeda untuk downhill dipakai uphill
Fisiknya kuat; sepeda untuk downhill dipakai uphill

“Sengaja kami kayuh mas. Sudah ada niat dari awal pengen nggowes sampai atas,” Terang satu bapak yang kuikuti dari belakang.

Aku berbaur dengan rombongan tersebut. Ritme yang kami lakukan pun lambat. Aku diuntungkan dengan ukuran ban kecil, sementara mereka yang ingin downhill ukurannya bannya besar semua.

Sedikit demi sedikit kaki mulai menikmati kayuhan pedal, gir sepeda kubuat paling kecil sehingga ringan saat kukayuh. Aku mengekor di belakang para pecinta downhill yang sedang uphill. Sebenarnya sepeda yang mereka gunakan itu untuk downhill sehingga benar menguras tenaga kalau ketemu tanjakan. Terus terang fisik mereka kuat.

Mendekati tanjakan yang lumayan tajam, aku bertemu dengan rombongan lainnya yang sedang rehat. Kami bergabung menjadi satu, dan saling menunggu. Mas Arif, Mas Irwan, dan Mas Narto; rombongan yang terpisah dengan teman depannya menyatu denganku.

“Dari kejauhan sudah kelihatan kalau Mas Sitam,” Ujar Mas Arif padaku.
Rombongan Jogja Gowes yang istirahat di tepi jalan
Rombongan Jogja Gowes yang istirahat di tepi jalan

Mereka adalah rombongan yang sedang kukejar. Ada dua rombongan sebenarnya, yang paling duluan mereka menggunakan sepeda roadbike dan MTB. Sambil menikmati tanjakan, sering istirahat, kami beriringan.

Ada beberapa jalur yang bisa dilewati kala menuju Bukit Klangon. Sepanjang perjalanan aku sempat membaca nama daerah di sini. Sebagian adalah wilayah Klaten, dan sebagian lagi wilayah Sleman. Kami berhenti di perempatan, sepertinya ini berada di Desa Balerante, Klaten.

Tanjakan makin nyata, jalan yang memang menurutku tak ada habisnya berupa tanjakan. Ketika menemukan jalan datar atau menurun, semacam bonus dan bersiap melewati tanjakan lagi. Tak hanya mengayuh pedal, kami berempat yang terpisah dari rombongan downhill menuntun sepeda.

Untuk kesekian kali kami berhenti, dan menurut pemilik warung tinggal 1.5KM lagi kami sampai Gardu Pandang Bukit Klangon. Sementara tiga pesepeda yang ingin downhillsudah sampai tempat titik kumpul. Di sana mereka sudah ditunggui temannya, sebuah mobil bak terbuka mengangkut sepeda mereka menuju atas.

Jika sebagian besar pesepeda yang ke sini bertujuan mencicipi trek downhill, aku dan teman rombongan hanya ingin sampai di tulisan “KLANGON” saja. Di sana kami nantinya rehat, sarapan, lalu turun pulang. Titik terang dekat tujuan mulai terlihat, kami melintasi trek downhillyang bertuliskan “Klangon Gravity Park”.
Berhenti melihat trek downhill dari jalan
Berhenti melihat trek downhill dari jalan

Lintasan tersebut di atas jalan aspal, dan tiap sisinya sudah dilengkapi dengan pagar. Klangon adalah surga bagi pecinta downhill. Tiap pekan ada puluhan pesepeda yang mencoba trek tersebut. Bahkan sudah sering kali tempat ini menyelenggarakan event besar di Jogja. Aku kenal beberapa pesepeda yang hobi downhill.

Di Jogja dan sekitarnya, downhill lebih sering diucapkan dengan kata “dronjong” yang berarti turunan dalam Bahasa Jawa. Akhir-akhir ini banyak pesepeda yang menyukai downhill walau pengalaman minim. Semoga itu bukan hanya karena ikut-ikutan saja. Karena downhill sendiri termasuk agak ekstrim dan butuh jam terbang tinggi kala melintasi treknya.

“Ini tanjakan terakhir. Tepat di atas sana tulisan Klangon,” Terang Mas Narto.

Di antara kami berempat, hanya Mas Narto yang sudah pernah sampai Klangon. Tanjakan terakhir cukup curam dan berbelok. Aku mengatur nafas dan memindah gir ke paling kecil. Sebelumnya jalanan cukup menyenangkan, tanjakan dan turunan silih berganti, kami bisa menyiasati dengan mengayuh pedal kencang kala turunan dan mendekati tanjakan secepatnya memindahkan tuas ke gir paling kecil.
Rombongan berkumpul; sebagian pulang, dan sebagian lagi baru mau naik ke Klangon
Rombongan berkumpul; sebagian pulang, dan sebagian lagi baru mau naik ke Klangon

Dari atas rombongan pesepeda turun cukup kencang. Ini adalah rombongan yang ingin kukejar. Mas Yuda, Bu Hastuti, Febri, dan beberapa pesepeda lain yang menggunakan MTB dan roadbike turun. Mereka berhenti menyapa kami dan menyempatkan foto bareng.

“Kita foto bareng dulu,” Pinta Mas Yuda.

Foto bareng selesai, kami melanjutkan perjalanan. Berhubung tadi berhenti tepat di tengah-tengah tanjakan, kami yang sudah kecapekan menuntun sepeda sampai atas. Mencari jalan agak landai, baru menaiki lagi sampai ke tulisan. Personil bertambah satu orang, Mas Doni kembali ikut naik dan menemani kami.
Menuntun sepeda dulu
Menuntun sepeda dulu

Berangkat dari kos pukul 07.30WIB, aku akhirnya bisa sampai Klangon tepat pukul 11.00WIB. Perjalanan lebih dari tiga jam membuat tenaga terkuras. Namun di sinilah kepuasan tersendiri, akhirnya kami bisa sampai di atas. Deretan warung menarik perhatianku, sebelumnya kami sempatkan foto bersama dan sendirian.

Bukit Klangon terlihat cukup ramai pesepeda yang ingin menikmati sensasi downhill. Aku sendiri melepas lelah di warung. Gardu pandang yang biasa dipakai muda-mudi swafoto cukup ramai yang berfoto di sana dengan latar belakang Gunung Merapi. Siang ini puncak Merapi tidak terlihat, awan tebal menutupinya.
Kalau wisatawan lain foto di Gardu Pandang, aku sih foto di sini saja
Kalau wisatawan lain foto di Gardu Pandang, aku sih foto di sini saja

Beberapa waktu terakhir ini, Bukit Klangon menjadi salah satu spot yang dikunjungi wisatawan domestik, khususnya mereka yang tinggal di sekitaran Jogja. Pemandangan puncak Gunung Merapi kala cerah menarik perhatian. Dari sini terlihat kaldera Merapi begitu dekat, dan mengagumkan.
*Bersepeda menuju Bukit Klangon lereng Merapi pada hari Sabtu; 05 Agustus 2017.

Memotret Kera Liar di Karimunjawa

$
0
0
Kera liar terabadikan di Karimunjawa
Kera liar terabadikan di Karimunjawa

Kudengarkan emak bercerita kalau akhir-akhir ini ada seekor kera yang berkeliaran di dekat rumah. Keponakanku (Naura & Wafi) juga acapkali memergoki kera tersebut berjalan. Kemudian mengambil buah atau apapun yang bisa dimakan.

“Keranya ambil singkong, om,” Celetuk Naura dengan mimik serius.

Gadis kecil ini antusias bercerita mengenai kera yang dilihatnya. Pun dengan Wafi; dia lebih tua sedikit. Mereka berdua seperti saling melengkapi kala bercerita. Aku sendiri mendengarkan dan mencoba memahami yang mereka ucapkan.

“Keranya besar, tapi jalan sendirian ke sana,” Ujar Wafi sembari menunjuk semak-semak.

Dari dulu Karimunjawa memang banyak kera yang berkeliaran. Terkadang mereka mendekati pemukiman kala pohon manga atau buah lainnya mulai ranum. Kalaupun tidak musim buah, singkong dan kelapa pun dilibas.

Obrolan kami terhenti saat salah satu kakakku berseru kalau ada kera yang melintasi samping rumah. Sekelebatan sosok berwarna hitam berjalan santai di semak-semak rumah. Aku berlari kecil menuju kamar, lalu mengambil kamera dan berusaha mengabadikan momen tersebut.

Di sisi timur rumahku terdapat sebuah pohon Jambu Mete rindang. Di bawahnya ada tumpukan buah kelapa, kelapa-kelapa itulah menjadi sasaran kera. Seekor kera ini sudah terbiasa menyambangi tempat tersebut, jadi tak merasa terganggu saat aku berjalan mendekat; menjaga jarak.

Kuintai kera yang sibuk menggigit sabut kelapa, dan berusaha memecahkan batok kelapa. Tidak butuh waktu lama, kera tersebut berhasil mengupas sabut, lalu memukulkan ke benda keras, sehingga pecah. Dia pun asyik menikmati jarahannya.
Seekor kera sibuk mengigit sabut kelapa
Seekor kera sibuk mengigit sabut kelapa

“Pandai juga Kera itu memecah batok kelapa,” Batinku.

Seperti sedang liburan saja, penuh hati-hati aku mengintai kera liar dari balik tembok. Berkali-kali kuabadikan, menggunakan kamera dan lensa seadanya; aku terus mengabadikan. Semacam ada kesenangan tersendiri melihat kera liar di dekat rumah. Padahal sewaktu kecil pemandangan seperti ini sesuatu hal yang lumrah.

Melihat momen tersebut, aku pun iseng memotret sekitar rumah; kira-kira buah apa saja yang membuat kera kerap menyambangi pemukiman warga. Esoknya aku berhasil mengabadikan beberapa pohon yang menghasilkan buah. Mungkin pohon-pohon tersebut yang membuat kera kerap menuju area warga.

Di belakang rumah terdapat petakan tanah yang ditanami singkong. Sering kali kera yang datang dan tak mendapatkan buah incarannya mencabut singkong, lalu memakannya. Singkong ini menjadi buruan utama kala mereka berkunjung.

Berbeda dengan pisang atau lainnya, singkong tidak mengenal musim. Warga di Karimunjawa selalu menanam singkong di lahannya. Terlebih menanam singkong tidaklah susah, dan perawatannya pun cukup mudah.

Kuambil sebatang singkong dari belakang rumah. Sengaja kuikat singkong tersebut di dekat rumah. Benar saja, dalam kurun waktu tidak lama, kera tersebut menggondol dan kabur ke semak-semak. Belum sempat terabadikan olehku.

Selain petak tanah berisi Singkong, di dekat rumah juga ada jambu air. Jambu ini tidak luput dari serangan kera yang mendekati rumah. Mungkin kedua keponakanku sering mendapati kera berjalan karena jambu air sedang berbuah lebat. Sayangnya buah jambu air kali ini kurang bagus.
Jambu air yang berceceran terjatuh di tanah
Jambu air yang berceceran terjatuh di tanah

Bagi orang rumah; ketika buah jambu air tidak bagus, ini menjadi santaoan para hewan liar. Tiap malam banyak kalong yang beterbangan dan hinggap di sini. Pun menjelang siang, kera juga memanen buah tersebut.

Salah satu tempat yang lebih mudah melihat gerombolan kera di Karimunjawa itu di sekitaran kebun jambu mete. Di barat rumahku ada beberapa hektare tanah saudara yang ditanami jambu mete. Tiap musim Mete, banyak kera yang datang menjarah buah-buah tersebut. Terlebih lokasi lahannya berbatasan langsung dengan hutan mangrove.

Di sini jambu mete hanya diambil kacang metenya saja. Dikumpulkan kacang mete dan dijual ke pengepul atau dikupas sendiri. Jangan kaget kalau di Karimunjawa kalian melihat banyak pohon jambu mete yang tidak terawat; bahkan buahnya tercecer di bawah tanpa dipanen.

Kera menjadi salah satu hewan yang masih banyak dan mudah dijumpai di Karimunjawa. Selain kera, ada juga landak yang sering merusak hasil kebun. Aku pernah beberapa kali melihat secara langsung. Oya, jika beruntung, kita juga bisa melihat rusa Karimunjawa. Hewan ini mulai langka di Karimunjawa.

Selain jambu air dan jambu mete, buah lain yang kerap menjadi sasaran kera adalah pisang dan manga. Terlebih pohon pisang, nangka dan mangga jauh lebih banyak jumlahnya dibanding jambu. Kalau dipikir-pikir, tanah di Karimunjawa itu sangat subur. Ada banyak buah yang bisa hidup dan berbuah di sini. Sementara buah buah yang setahuku tidak ada di Karimunjawa adalah durian.
Jambu mete mulai ranum
Jambu mete mulai ranum


*****

Aku puas bisa mengabadikan kera yang asyik menikmati santapannya di bawah pohon jambu mete. Aku dan keluarga kembali berbincang santai, berbincang tentang keberangkatanku untuk balik ke Jogja dua hari lagi.

“Nanti kalau kera-nya kelihatan lagi, saya dan kak Wafi telpon om ya,” Ujar Naura antusias.

“Iya, nanti tiap jumat setelah salat magrib om telpon. Jadi Naura & Kak Wafi bisa cerita,” Balasku.

Waktu yang singkat ini cukup bermakna, setelah dua hari mendatang; aku kembali bekerja di Jogja, dan mungkin kembali ke Karimunjawa bulan Oktober 2017. Setidaknya itu sudah tertulis di agenda pada kalenderku. *Mengabadikan kera liar di Karimunjawa pada bulan Juli 2017.

Kuliner Ingkung Sambilegi Bu Yadi

$
0
0
Sajian Kuliner Ingkung Sambilegi Bu Yadi
Sajian Kuliner Ingkung Sambilegi Bu Yadi

Ingkung menjadi kuliner yang populer di Jogja dan sekitarnya. Ada banyak tempat yang menyajikan menu ingkung, salah satu lokasi yang paling terkenal adalah Pajangan, Bantul. Di sana ingkung menjadi menu andalan mereka. Selain itu tiap desa wisata di Jogja pun banyak menyajikan Ingkung saat makan malam.

Sewaktu di desa wisata Nglanggeran dan di desa wisata Kebonagung aku disuguhi ingkung untuk jamuan makan malam. Pun sewaktu aku menyambangi Kampung Emas Plumbungan, di sana juga menyediakan makan siang dengan menu spesial ingkung ayam kampung. Hampir semua tempat yang menyajikan menu ingkung cukup jauh dari pusat kota Jogja.

Bagi yang ingin menyicipi makanan ingkung dan lokasinya tidak jauh dari kota Jogja, kalian bisa mencoba berkunjung ke Warung Ingkung Sambilegi Bu Yadi. Lokasinya hanya beberapa ratus meter dari bandara Adi Sucipto, dan tidak jauh dari pusat kota Jogja.

*****

Rinai hujan mulai berhenti tepat usai azan isya. Aku bergegas memesan ojek online menuju Warung Ingkung Sambilegi Bu Yadi. Di sana teman-teman dari Jogja Gowesrencananya akan dijamu makan malam oleh Pak Yadi, pemilik warung ingkung ayam kampung.

Warung ini lokasinya di Jalan Rambutan No 26 Sambilegi Kidul RT 03 RW 56, Maguwoharjo. Kalau dari pusat kota Jogja, ruteya setelah Pasar Sambilegi belok kiri, lalu masuk gang kecil searah dengan Hotel UIN SUKA.

Sebuah plang bertuliskan Ingkung Sambilegi mengarahkanku pada sebuah rumah yang di depannya terdapat cakruk; bangunan kecil terbuat dari anyaman bambu di tepian sawah. Melewati halaman rumah tersebut, aku menyusuri jalan menuju ke belakang. Nyatanya warung ingkung tersebut sangat luas jika dilihat dari dalam.
Cahaya temaram di warung Ingkung Sambilegi
Cahaya temaram di warung Ingkung Sambilegi

Suasana sepi ditemani temaram lampu. Ada banyak tempat duduk yang masih kosong. Bangunan warung seperti menyelaraskan konsep warung ala Bali. Termasuk lantunan musik yang dipilih. Sesekali musik yang terdengar ala Sunda. Entahlah, cukup selaras dengan lokasi di tepian sawah. Menariknya, kalau ke sini malam hari; kita bisa mendengarkan nyanyian alam seperti Jangkrik dan Kodok yang ada di pematang sawah.

Meja-meja berjejeran, di atasnya sudah tertata rapi menu andalan; Ingkung Ayam Kampung. Aku berbaur dengan teman-teman perwakilan dari Jogja Gowes yang sudah datang lebih dulu. Di sini, kami ditemani suami-istri (pemilik warung) Pak Yadi dan Bu Vita Wardani.

Sembari menunggu teman yang lain, aku menyempatkan berbincang dengan pemilik warung. Sedikit informasi kudapatkan, dulunya Ingkung Sambilegi adalah cabang dari Ingkung Mbah Cempluk, Pajangan dari tahun 2013. Namun dua tahun terakhir ini buka sendiri tanpa embel-embel Mbah Cempluk.
Dijamu makan malam Ingkung
Dijamu makan malam Ingkung

Usai berkreasi sendiri, Ingkung Sambilegi Bu Yadi ini mencoba hal baru. Menu yang disuguhkan tidak hanya Ingkung. Menu utama tetaplah Ingkung Areh dan Lodho Gendeng. Namun tetap ada menu lainnya seperti Gurami Acar Kuning, Mangut Lele, Mangut Kutut, dan Iwak Wader.

Beliau sengaja membuka warung Ingkung di dekat bandara dengan alasan menggaet para wisatawan yang datang ke Jogja dalam kurun waktu tidak lama, tapi ingin mencicipi menu Ingkung. Selain itu antusias wisatawan untuk mencicipi ingkung juga masih tinggi.

“Selain rombongan keluarga, di sini juga seringnya ada yang order lewat aplikasi layanan antar mas.”

Keberadaan ojek online memang memudahkan para pemilik warung makanan. Termasuk Ingkung Bu Yadi.
Daftar harga Ingkung Sambilegi Bu Yadi
Daftar harga Ingkung Sambilegi Bu Yadi

Pemandangan sedikit berbeda kala melihat menu ingkungnya. Jika biasanya ingkung yang disajikan itu tidak diberi santan, yang di sini ingkungnya terdapat santannya yang menggumpal. Dari keterangan Bu Vita, ini adalah Ingkung Areh.

Ingkung Areh mirip dengan Ingkung yang biasa disajikan. Hanya saja untuk cara pengolahannya ditambahi santan, sehingga rasanya lebih gurih. Sementara jika yang sering aku lihat dan aku cicipi adalah Ingkung Lodho, rasanya cenderung pedas.
Menu andalan Ingkung Areh ala Bu Yadi
Menu andalan Ingkung Areh ala Bu Yadi

Sejenak obrolan kami terhenti. Aku dan rombongan Jogja Gowes menikmati hidangan malam. Menu yang disajikan tidak hanya Ingkung Areh; tambahan ubo rampe seperti trancam, iwak wader, tempe goreng, sambal, dan segelas teh panas sudah tersedia. Sajian ingkung tambah sedap karena piring yang digunakan terbuat dari anyaman bambu dan dilapisi daun pisang.

Saat disajikan, ingkung sudah tidak lagi berbentuk utuh ayam, namun sudah dipotong-potong per bagian. Mungkin dengan pertimbangan agar santan yang disiramkan bisa merasuk ke dalam daging ayam kampung. Aku menikmati menu tersebut, ditambah dengan tempe goreng.
Menikmati Ingkung Sambilegi
Menikmati Ingkung Sambilegi

Tanpa terasa waktu makan malam dan ngobrol santai usai, kami berpamitan untuk pulang. Terima kasih untuk keluarga Pak Yadi yang sudah menjamu kami, semoga warungnya makin laris. Terima kasih juga untuk Mas Yuda dan teman-teman Jogja Gowes; semoga makin guyub lagi.

Aku merekomendasikan bagi kalian yang ingin menikmati ingkung ayam kampung dan tidak ingin keluar jauh dari area kota Jogja. Aku rasa Ingkung Sambilegi Bu Yadi bisa menjadi opsi kalian. Misal pun malas keluar, kalian bisa memesan menu tersebut dengan menggunakan aplikasi ojek online dengan kata kunci “Ingkung Sambilegi Bu Yadi”.
Foto bersama personil Jogja Gowes dengan Pak Yadi (ujung kanan kaos merah)
Foto bersama personil Jogja Gowes dengan Pak Yadi (ujung kanan kaos merah)

Oya, jika ke sini lebih baik menggunakan kendaraan roda dua atau mobil pribadi. Jika menggunakan bus besar (bagi rombongan), sedikit sulit karena jalan kecil dan area parkir terbatas. Selamat menikmati kuliner di Jogja. *Kuliner Ingkung Sambilegi Bu Yadi pada hari Rabu; 11 Oktober 2017.

Ingkung Sambilegi Bu Yadi
Alamat: Jalan Rambutan No 26 Sambilegi Kidul RT 03 RW 56, Maguwoharjo
Buka: 09.00 WIB - 21.00 WIB
Narahubung: 0274 4332300/📱081227293000
Sosial Media: @ingkungsambilegi_buyadi(IG)

Drama Kopi di Akhir Pekan

$
0
0
Coffee & Drama Demangan
Coffee & Drama Demangan

Hari sudah siang, aku berjalan melewati gang-gang kecil, mencari jalan pintas menuju kedai kopi yang tidak jauh dari kos. Jika biasanya aku menghabiskan waktu di kamar, dan melanjutkan draf yang tertunda. Siang ini aku ingin suasana berbeda, sesekali menghabiskan beberapa jam di kedai kopi sembari menulis artikel blog.

Jarang aku nongkrong di kedai untuk menulis, lebih banyak malah ngobrol santai atau sekadar blogwalking. Berhubung kedai kopi tidak jauh dari kos, aku cukup jalan kaki saja. Nama kedainya Coffee & Drama. Jadi sudah paham kenapa judul artikelnya Drama Kopi? Biar pembaca penasaran saja.

Coffee & Drama berlokasi di area Ruko Demangan Baru, jalan Demangan Baru No. 23. Berjejeran dengan tempat kebugaran (senam) dan K24. Kedai ini buka sejak pukul 08.00 WIB sampai last order pukul 02.00 WIB. Siang hari belum ramai pengunjung yang datang ke sini. Sekitar enam pengunjung denganku.
Lokasi Coffee & Drama di salah satu deretan ruka Demangan
Lokasi Coffee & Drama di salah satu deretan ruka Demangan

Mumpung masih sepi, aku mencari sofa paling strategis. Kupastikan lokasi duduk dekat dengan colokan listrik. Seorang barista sendirian bekerja, tak hanya meracik pesanan, dia juga menjadi pramusaji.

“Di sini minuman apa yang sering dipesan?” Tanyaku.

“Ice Coffee Drama with Milk,” Jawabnya sembari meracik pesanan pengunjung lain.

“Aku pesan satu,” Balasku cepat.

Masih sambal menunggu pesanan datang, kau disapa oleh pemuda yang duduk berempat di depanku. Ternyata dia adalah Mas Sindu, salah satu barista di Kopi Ketjil. Dia beserta temannya sedang sibuk mengerjakan tugas akhir.
Pengunjung yang sudah datang ke kedai
Pengunjung yang sudah datang ke kedai

Ruangan Coffee & Drama tidaklah luas. Satu petakan ruko memanjang ke belakang. Tanpa ada sekat yang memisahkan antara ruangan. Di sini semua menjadi smoking area, jadi bagi yang tidak suka dengan asap rokok ini bukan tempat tongkrongan yang kurekomendasikan.

Sempat kutanyakan pada barista perihal tempat yang menjadi satu. Beliau mengatakan sedang berupaya agar ruangan atas bisa dikontrak dan didikan area bebas rokok. Namun sewaktu aku ke sana, lokasi tempat duduk masih di lantai satu. Beruntung pagi ini belum ramai seperti malam hari.

Deretan meja dan kursi tertata rapi. Tepat di dekat dinding terdapat enam meja kecil yang bisa diduduki 2 – 4 orang. Untuk meja lebih besar yang luas ditaruh di tengah-tengah, dikelilingi kursi antara 6-8 buah.

Barista berbaju merah tersebut bernama Gabriel. Dia tampak sibuk menerima pesanan. Pemuda itu kuliah di UPN, semester akhir. Bekerja sebagai barista di sini sejak tahun 2017. Kedai ini pun sebenarnya awal 2017 berdirinya, jika aku tidak salah. Sementara total barista di sini sejumlah 6 orang, mereka gantian piket.
Daftar harga dan menu di Coffee & Drama Demangan
Daftar harga dan menu di Coffee & Drama Demangan

Tidak banyak menu yang tersedia di sini. Tapi untuk kalian pecinta cold brew, jangan khawatir. Kisaran harganya juga termasuk murah di saku mahasiswa. Di Coffee & Drama tidak disediakan menu camilan. Hanya murni menerima pesanan minuman saja.

“Ini Mas pesanannya Ice Coffee Drama with Milk.”

“Terima kasih mas,” Jawabku sembari menggeser letak laptop.

Kulihat di papan yang terekat pada tembok ada beberapa aksesoris Minions dengan sebuah tustel. Aku kembali menghampiri Mas Gabriel; meminta izin pinjam properti tersebut untuk kupotret. Beliau memperbolehkan, malah menyodorkan sebuah sticker kecil bertuliskan Coffee and Drama.
Pesanan kopi sudah di meja
Pesanan kopi sudah di meja

Segera kuabadikan dari berbagai sudut, kemudian mengembalikan properti di tempat semula. Termasuk sticker kecil yang tadi diberikan padaku.

“Ambil saja mas,” Ujar Mas Gabriel.

Sticker bertuliskan Coffee and Drama kubawa kembali sekaligus mengucapkan terima kasih. Aku kembali larut mengedit draf tulisan di laptop. Sesekali aku gunakan fasilitas free wifi yang sudah disediakan. Menurutku pribadi jaringan internet yang disediakan tidak terlalu cepat; tapi cukuplah kalau hanya sekadar membuka sosial media dan menjadwal artikel di blog. Siapa tahu ke depannya lebih cepat lagi jaringannya.

Bagiku, Coffee and Drama ini lebih asyik untuk tempat ngobrol santai daripada menulis artikel, atau untuk aktivitas lain yang membutuhkan konsentrasi. Jika sedang ramai, suara tiap sudut terdengar tanpa ada sekat.

Pengunjung yang datang ke sini lebih ramai antara pukul 20.00 WIB. Begitulah menurut cerita Mas Gabriel. Bahkan jika sedang ramai, orang-orang yang datang terlambat harus pindah tempat karena ruangan yang tersedia tidak mencukupi kapasitas. Pengunjung yang datang rata-rata adalah mahasiswa atau teman dan kenalan barista.
Mas Gabriel melayani pembeli
Mas Gabriel melayani pembeli

“Rata-rata yang datang sih teman mas. Teman kita juga narik temannya untuk nongkrong di sini,” Ujar Mas Gabriel.

Rata-rata pengunjung kedai kopi memang seperti itu. Sebagian yang datang memanglah teman yang mengajak temanya lain untuk nongkrong. Namun ada juga yang datang karena penasaran dengan kedainya, atau karena lokasi kedai dekat dengan tempat tinggal mereka.

Menurut Mas Gabriel, bagi orang yang bisa meracik kopi; di sini kita dipersilakan untuk meracik kopi sendiri. Beliau bilang bahwa kita di sini bukan mencari pengunjung, tapi mencari calon teman. Di Jogja ada beberapa kedai kopi yang memperbolehkan pengunjung untuk meracik sendiri pesanannya. Alhasil, kedai-kedai yang seperti itu tetap ramai.

Kuhabiskan waktu beberapa jam di tempat ini, mengedit tulisan, dan memposting di blog. Berhubung sudah cukup lama, dan di kedai ini tidak ada menu makanan; aku beranjak pergi meninggalkan kedai, mencari makan sore sembari pulang ke kos. *Menikmati Segelas Kopi di Kedai Coffee & Drama pada hari Sabtu, 30 September 2017.

Sungai Brantas Jombang, Spot Terbaik Memotret Sunset

$
0
0
Sunset di tepian sungai Brantas, Jombang
Sunset di tepian sungai Brantas, Jombang

Rona jingga di ufuk barat menjadi pemandangan indah kala di tepian sungai Brantas, Jombang. Aku beserta rombongan berusaha mengabadikan foto sebanyak mungkin. Hari ini cukup cerah, menjadikan sang baskara terlihat jelas tanpa ada awan yang menutupi.

“Sungai Brantas ini spot terbaik menikmati senja, melihat keindahan sunset,” Ujar Mas Alid selaku pemandu.

Kami hanya mendengar celetukannya saja. Toh yang paling penting adalah bagaimana agar momen senja ini terekam oleh kami. Kami ingin menikmati senja pertama di sudut Kabupaten Jombang.

*****

Sungai Brantas terletak di Kecamatan Megaluh, Jombang. Mobil yang kami naiki melintasi jalan padat, kemudian masuk ke daerah pemukiman warga, diselingi hamparan sawah luas. Tepat di depan sana, sebuah aliran sungai deras menanti. Tanggul-tanggul pembatas jalan terlihat di tepi jalan.

Di tepi jalan terdapat beberapa orang sedang bersantai, menghadap ke barat. Sungai Brantas ini menjadi spot yang sering dikunjungi oleh wisatawan maupun warga setempat yang ingin menikmati waktu senja.

Hilir-mudik kapal kayu menyeberang di sungai Brantas. Aku penasaran melihat muatan tiap kapal didominasi kendaraan roda dua. Ada juga kapal yang memuat mobil, dan menyeberangkannya ke daratan di seberang.
Kapal menyeberangkan sepeda motor dan mobil dari Megaluh ke Jatikalen
Kapal menyeberangkan sepeda motor dan mobil dari Megaluh ke Jatikalen

Dari informasi Mas Alid, aku baru tahu kalau sungai Brantas ini adalah pembatas antara dua kabupaten. Kabupaten Jombang (di tempatku berpijak), sementara yang ada di seberang adalah Jatikalen, Kabupaten Nganjuk.

Tiap kapal menyeberangkan motor/mobil beserta penumpang untuk menyingkat waktu dan jarak tempuh. Jika perjalanan melalui jalan darat, atau melintas Jembatan Ploso. Perjalanan akan menempuh jarak lebih dari 10 km. Karena jarak itulah banyak warga yang lebih suka melintasi penyeberangan kapal. Mereka hanya memerlukan waktu tidak lebih dari 10 menit (waktu lama karena menunggu motor berkumpul).

Di Jogja, aku pernah melihat jasa transportasi seperti ini. perbatasan antara Srandakan (Bantul) dengan Lendah (Kulon Progo), tepatnya di Desa Ngentak Mangir, ada jasa menyeberangkan kendaraan bermotor dan sepeda. Namun di sana hanya musiman saja, jika sedang air tidak meluap, penyeberangan menggunakan jembatan sesek.

Sementara rasa penasaran tentang transportasi penyeberangan (kapal kayu) tersebut kutangguhkan. Aku menikmati pemandangan senja dari tepian sungai. Teman-teman yang lain juga sudah mengeluarkan kameranya, lalu membidik sang baskara.
Pemandangan senja di sungai Brantas, Jombang
Pemandangan senja di sungai Brantas, Jombang

Matahari tanpa terhalang pepohonan ketika mulai sinarnya tidak menyilaukan mata. Pantulan cahaya menyebar di aliran sungai Brantas. Cahaya senja menyebar, membuat suasana di aliran sungai Brantas menjadi asyik untuk dipandangi.

Jika kita menikmati senja di tepian pantai, selain matahari yang ingin terlelap, kita juga berusaha mengabadikan objek lainnya; seperti kapal atau nelayan yang menyeberang tepat di lingkaran matahari. Di sungai Brantas, lalu-lalang kapal penyeberangan menjadi objek tambahannya.

Berkali-kali kapal menyeberang dalam kurun waktu 10 menit. Aku menggabadikan kesibukan para penduduk yang menawarkan jasa penyeberangan kala senja. Sepanjang jalan sungai Brantas ini cukup lengang. Jalan kecil ini memang bukan jalan utama; hanya jalan kampung, dan para pecinta senja hanya parkir di tepi jalan serta menghadap ke barat.
Kapal menyeberang kala senja di sungai Brantas
Kapal menyeberang kala senja di sungai Brantas

Tidak ada kios-kios yang berjualan air mineral di sini. Jalan kecil ini hanya menjadi akses warga setempat. Lebih banyak malah warga setempat naik sepeda, atau jalan kaki sembari melihat kami yang berkumpul sembari memegang kamera. Sungai Brantas memang indah kala senja, sepi, serta menghanyutkan layaknya aliran di dalam sungai.

Benar kata kawan, jika ingin menikmati senja di Jombang; sepanjang aliran sungai Brantas yang terletak di Megaluh inilah pilihan terbaik. Kita bisa mengabadikan mentari menjelang terbenam di peraduan, sembari menikmati sepoi angin di tepian sungai.

*****

Kapal-kapal penyeberangan di sungai Brantas
Mentari mulai tenggelam, di sungai Brantas tidak serta-merta gelap. Aku melangkahkan kaki ke salah satu tempat kapal penyeberangan, melihat dari dekat orang-orang yang menyeberang ke Jatikalen, Nganjuk. Rencananya aku ingin ikut menyeberang ke Nganjuk, tapi tidak turun; langsung balik ke Megaluh lagi.

Tidak hanya aku, beberapa teman ikut menyeberang, tiga teman lainnya sudah ada di belakangku. Kami naik ke atas kapal dan berdiri, menunggu muatan kapal penuh berjejeran motor.

Bentuk kapal di sini tidak seperti kapal pada umumnya. Palka kapal datar, dari ujung depan sampai belakang. Mesin penggerak berada belakang, kemudi kapal dikendalikan menggunakan tangan

Selama menyeberang kapal, aku berbincang dengan Pak Aripin, beliau salah satu penyedia jasa penyeberangan Megaluh – Jatikalen. Kapal beliau sementara belum mampu menyeberangkan mobil. Hal ini dikarenakan tepian jembatan kayu yang dibuat belum dipondasi. Sehingga mobil belum berani lewat tempatnya, ditakutkan jembatan kayunya tidak kuat menahan beban mobil.

Kapal milik pak Aripin lumayan besar. Beliau bersama temannya setiap hari menyeberangkan puluhan motor roda dua. Tiap kapal mempunyai jembatan kecil sendiri-sendiri tiap tepian sungai. Jasa penyeberangan Megaluh – Jatikalen atau sebaliknya hanya ditempuh dalam waktu kurang dari lima menit.
Ikut naik kapal penyeberangan Megaluh - Jatikalen
Ikut naik kapal penyeberangan Megaluh - Jatikalen

Jasa penyeberangan ini dimulai sejak pukul 03.30 WIB. Pak Arifin maupun warga lainnya sudah mulai bersiap menyeberangkan warga yang ingin menyeberang. Sedangkan untuk penyeberangan terakhir pada pukul 23.00 WIB. Kapal pak Arifin bisa menampung sebanyak 30 motor sekali jalan.

Teman pak Arifin menata motor yang ada di atas, selama kapal berjalan; beliau mendekati tiap pemilik motor untuk menerima bayaran uang jasa penyeberangan. Mas Alid membayari kami berempat. Agar mudah, kami dihitung seharga motor. Pak Arifin dan warga yang menyeberang tertawa saat melihat kami sibuk ngevlog.

“Kalau motor harganya Rp. 2000. Mobil biasanya Rp.10.000, sekali jalan,” Terang Pak Arifin.

Aku menikmati penyeberangan menuju Jatikalen. Ketika para pengendara motor mulai turun, diganti penumpang lain yang sudah menunggu di ujung dermaga kecil. Begitu motor-motor turun, dengan cepat motor yang sudah menunggu langsung naik. Aku dan teman lainnya sengaja tidak menginjakkan kaki di Jatikalen.

Kapal berputar balik ke dermaga kecil tempat kami naik. Selama kapal menyeberang, aku lebih banyak berbincang dengan pak Arifin. Selain dapat menyaksikan keindahan senja di tepian sungai Brantas, kalian bisa mencoba sensasi menyeberang sungai Brantas kala senja. Melihat cahaya jingga menghias di langit saat sang baskara terlelap dalam peraduan.
*Menikmati senja di tepian sungai Brantas pada hari sabtu, 19 Agustus 2017

Lokomotif Tua di Balai Yasa Pengok, Yogyakarta

$
0
0
Lokomotif dan gerbong kereta api di Balai Yasa Pengok, Yogyakarta
Lokomotif dan gerbong kereta api di Balai Yasa Pengok, Yogyakarta

Petugas satpam yang berjaga di ruangan penerima tamu membuka berkasku. Beliau memeriksa satu persatu kertas di dalam map plastik. Aku menunggu dengan sabar, menanti jawaban baik dari pihak humas Balai Yasa. Balai Yasa pengok adalah bengkel kereta api terbesar di Indonesia. Dari literatur yang aku baca, ada beberapa Balai Yasa; tersebar di Jawa dan Sumatra.

“Berkasnya lengkap, nomor ID KAI1***. Surat izin dan kartu identitas juga terlampir,” Terang petugas satpam pada seseorang melalui telepon kantor.

Petugas satpam mendengarkan intruksi dari seberang telepon. Beliau mengangguk, lantas meletakkan gagang telepon ke tempat asalnya.

“Humas Balai Yasa memperbolehkan mas untuk motret. Hanya saja yang di dalam los (kegiatan apapun) jangan difoto. Silakan memotret lokomotif yang ada di luar los.”

Lega rasanya mendengar keterangan tersebut. Pihak Balai Yasa Yogyakarta juga menyertakan satpam yang menemaniku selama mengeksplor Balai Yasa. Los adalah tempat bengkel kereta api yang tertutup, tidak sepenuhnya tertutup. Ada beberapa los yang terbuka, dan di sana banyak orang yang bekerja. Sesuai aturan, aku harus menaati peraturan; tidak diperbolehkan memotret seluruh kegiatan yang ada di los.
Gerbang depan Balai Yasa Yogyakarta
Gerbang depan Balai Yasa Yogyakarta

Balai Yasa Pengok diresmikan pada tanggal 06 Juni 1959 oleh Ir. Moh Effendi Soleh. Bengkel ini digunakan untuk pemeliharaan kereta api. Hal ini tertera pada prasasti yang tertulis di bagian depan pintu masuk.

Sebelum keliling area Balai Yasa, aku harus melengkapi perlengkapan sesuai prosedur. Petugas memberikan sebuah nametag khusus tamu. Setelah itu aku menuju bagian depan lobi. Di sana terdapat rak yang berisi helm. Tiap orang yang masuk diwajibkan menggunakan ID dan helm untuk keamanan.

Perjalanan kali ini aku didampingi satu petugas berjalan menuju arat barat. Di samping kiri kesibukan orang-orang bekerja di los terlihat. Tujuanku kali ini ingin memotret sebanyak mungkin lokomotif-lokomotif yang tersebar di sepanjang area Balai Yasa. Ada banyak jalur rel di dalam sini, kita tidak diperkenankan jalan di tengah rel.

Sepanjang Balai Yasa dibuatkan satu jalur untuk jalan kaki atau bersepeda keliling area bengkel. Jalur tersebut beralaskan paving dengan cat warna hijau. Sewaktu kami berjalan, kami berpapasan dengan petugas satpam yang habis mengecek rute menaiki sepeda. Petugas tersebut usai memeriksa rute rel kereta api di ujung.
Petugas keamanan mengecek area Balai Yasa menggunakan sepeda
Petugas keamanan mengecek area Balai Yasa menggunakan sepeda

Aku menyapa petugas tersebut, mengabadikannya sejenak dan kemudian lanjut melihat sekeliling area bengkel. Ada banyak lokomotif dan gerbong tua tersebar di setiap sudut. Lokomotif ini menjadi pemandangan langka bagi orang awam sepertiku. Kuabadikan besi tua yang mangkrak tersebut.

Perjalanan berlanjut menjauh dari bengkel kereta api. Gerbong kereta api makin banyak tergeletak, warna kusam dan cat mengelupas. Di ujung perbatasan dengan rumah warga, sebuah gerbang tinggi membatasi area ini. Dari sini terlihat jalur rel panjang menuju los kereta api.

Semacam besi panjang yang malang melintang, menjadi jalur lokomotif kala bergerak. Pohon papaya tumbuh berjejer, menjadi sekat antar rel. Jika diamati, aku berada di tempat yang unik. Gerbong panjang nan tinggi serasa memenuhi Balai Yasa. Indah sekali rasanya melihat besi tua yang tersebar di segala penjuru.

Aku tidak mengulas sejarah tempat ini, yang ingin aku tulis hanyalah pengalaman ketika berada di dalam Balai Yasa. Sengaja aku tulis karena untuk masuk ke tempat ini, kita harus mengikuti alur yang sudah ditentukan, termasuk izin. Beruntung kartu ID Lomba Foto KAI untuk memperingati 150 tahun perkeretaapian Indonesia bisa membuatku dengan mudah mendapatkan izin.
Jalur rel kereta api di dalam Balai Yasa Yogyakarta
Jalur rel kereta api di dalam Balai Yasa Yogyakarta

Balai Yasa Pengok Yogyakarta ini luas, lumayan menguras tenaga juga berkeliling jalan kaki. Sesekali aku melepas lelah dengan memotret lokomotif. Satpam yang bersamaku cukup santai diajak ngobrol santai.

“Kalau capek istirahat dulu mas, jangan dipaksakan,” Ujar petugas yang menemaniku.

Deretan gerbong maupun lokomotif tua berada di depanku. Warna kusam terkena sinar matahari, diguyur hujan, dan sebagian cat mengelupas. Menurut informasi yang kudapatkan, lokomotif diesel tertua di sini bertuliskan CC200 09 di bagian depan lokomotif. Saking banyaknya lokomotif yang ada di sini, aku tak sempat mencari lokomotif tertua tersebut.

Di depanku sebuah lokomotif tua nan usang bernomorkan BB 301 – sekian. Nomor belakangnya sudah hilang termakan umur. Tak terhitung olehku berapa umur lokomotif ini, begitu tua dan sudah lama di tempatnya. Sebenarnya aku tertarik ingin masuk ke dalam salah satu gerbong, namun kutangguhkan.

Tiap lokomotif dan gerbong tua kereta api di sini ditempeli sebuah tulisan besar. Tulisan tersebut berbunyi ‘Aset ini ditetapkan sebagai benda cagar budaya berdasarkan undang-undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Dilarang merusak, mengubah, atau memindahkan aset cagar budaya ini’.
Aku tertarik berfoto di dekat salah satu lokomotif tua. Kuminta petugas yang menemaniku untuk mengabadikan. Tidak butuh waktu lama, aku berdiri di samping lokomotif dan diabadikan.
Lokomotif BB20023 menjadi benda cagar budaya milik PT KAI
Lokomotif BB20023 menjadi benda cagar budaya milik PT KAI

“Terima kasih mas,” Ucapku.

Selama berkeliling, petugas yang menemaniku memberi keterangan tentang hal-hal baru yang kuketahui. Sedikit banyak aku menjadi paham tentang kereta api. Dari beliau juga aku tahu jika ada kereta api yang rusak di Jawa, maka kereta api tersebut akan diperbaiki di sini. Di Jogja, bukan di Balai Yasa lainnya.

Gerbong kereta api yang berada di sini pun beragam. Selain yang sudah kusam dan karatan, ada juga gerbong yang masih cukup bagus catnya. Besi-besinya juga masih bersih dari karatan. Ternyata gerbong ini sedang dalam tahap perbaikan dan memang masih digunakan mengangkut barang/penumpang.

Motif gerbong ada yang berwana polos merah, kuning, putih, ungu, dan lainnya. Ada juga yang bermotifkan batik. Aku jadi teringat gerbong kereta api prameks jika bermotif batik. Di sudut lain juga terlihat gerbong kereta api khusus wanita.

Perjalanan mengelilingi Balai Yasa sudah hampir selesai. Cukup jauh ketika ke arah barat, lokasi hampir sampai di Stasiun Lempuyangan, sedangkan sisi timur berbatasan langsung dengan Sapen. Sama dengan batas arah Lempuyangan, di Sapen juga terdapat rel yang ditutup dengan gerbang tinggi. Sesekali gerbang tersebut dibuka saat Balai Yasa sedang uji coba lokomotif melalu jalur rel yang berada di depan pekarangan rumah warga.

Sisi timur Balai Yasa cukup rindang, ada banyak pohon Jati. Di bawahnya terjejer lokomotif serta gerbong panjang. Tim kebersihan sibuk membersihkan rumput ilalang dan semak belukar yang mulai tumbuh subur. Berbekal mesin pemotong rumput, mereka bersama-sama membersihkan semak yang ada di sekitar gerbong.
Petugas kebersihan membersihkan semak belukar di kawasan Balai Yasa
Petugas kebersihan membersihkan semak belukar di kawasan Balai Yasa

Tidak jauh dari sini, tepatnya di bagian Gudang ada banyak komponen kereta api yang bisa aku lihat. Semacam mesin dan besi bulat mirip dengan ban tapi terbuat dari besi baja. Semua komponen tersebut diletakkan pada tempat terbuka. Berdekatan dengan Gudang dan bagian logistik.

Tidak terasa lebih satu jam aku berkeliling di area Balai Yasa. Mendapatkan banyak foto lokomotif maupun gerbong tua. Ada lebih dari 70 foto yang kudapatkan di sini, dan sebagian besar adalah koleksi lokomotif dan gerbong tua. Tidak semua foto aku posting, hanya beberapa saja yang kuunggah di blog. Sengaja foto-foto bagus ini kujadikan koleksi pribadi.

Sebelum berpamitan, aku mendapatkan informasi dari petugas kalau ada komunitas kereta api (aku lupa namanya) yang kadang mengagendakan berkunjung ke tempat ini. Mungkin bagi kalian yang ingin berkunjung ke sini, kalian bisa tanya-tanya terlebih dulu pada petugas berkaitan dengan prosedurnya. Oya, setiap aturan selama di sini wajib ditaati; termasuk tidak diperkenankan memotret bagian dalam bengkel.
Tiap tamu wajib menggunakan tanda pengenal dan helm ketika masuk ke dalam area Balai Yasa
Tiap tamu wajib menggunakan tanda pengenal dan helm ketika masuk ke dalam area Balai Yasa

Kuucapkan terima kasih pada PT KAI, khususnya Balai Yasa Pengok, Yogyakarta atas izin dan pelayanan selama masuk ke dalam bengkel kereta api terbesar di Indonesia. Senang rasanya bisa berkeliling mengabadikan lokomotif serta mendapatkan ilmu baru. Sebuah pengalaman yang mungkin tidak semua orang bisa dapatkan. Melihat gerbong-gerbong tua dan penuh sejarah. *Yogyakarta, 01 Agustus 2017.

Fort Japara: Benteng VOC di Pantai Timur Laut Jawa

$
0
0
Fort Japara, benteng VOC di Kabupaten Jepara
Fort Japara, benteng VOC di Kabupaten Jepara

Tiap pulang ke Jepara, aku menyempatkan singgah di beberapa tempat wisata jika waktunya masih terjangkau. Di sekitar kota Jepara sendiri, ada opsi destinasi yang bisa dikunjungi; Museum Kartini, Pecinan, sampai dengan Benteng VOC/Fort Japara. Kuputuskan menjelang sore ini menyambangi benteng VOC, lokasinya tidak jauh dari Alun-alun Kota Jepara.

Benteng VOC/ Fort Japara sering aku kunjungi. Bahkan aku pernah menulis sekitar tiga tahun silam di blog. Waktu itu aku masih belajar menulis, sehingga tulisan kala itu seadanya saja. Benteng VOC lebih dikenal warga dengan sebutan Lodji Gunung di atas bukit Donorojo; dan bersampingan dengan taman makam pahlawan Giri Dharma.
Gapura Benteng VOC di Jepara/Dok. Jurnal Paramita Vol 25(1) Januari 2015
Gapura Benteng VOC di Jepara/Dok. Jurnal Paramita Vol 25(1) Januari 2015

Menjelang idul fitri, di kawasan Lodji Gunung ramai para penziarah yang sedang nyekar. Lodji Gunung sendiri dikelilingi makam. Bagian samping sebelum gerbang terdapat pemakaman umum, di belakang benteng mengarah ke laut pun makam umum Ujung Batu, Jepara. Aku memasuki gerbang putih menjulang tinggi bertuliskan “Fort Japara XVI”.

Seorang petugas parkir menata motor yang berjejeran di depan gerbang. Motor-motor tersebut bukan pengunjung benteng melainkan warga yang berziarah ke makam keluarganya. Gerbang kokoh menjulang tinggi berwarna putih ini kontras dengan benteng aslinya. Vandal-vandal dari spidol terpampang pada tembok gerbang.

Zidane Mahendra 16, Mbarang Geng's, Seng Genag, Sayang Fune, dan coretan lain bertabur layaknya tanda tangan. Sangat disayangkan jika tempat seperti masih saja dicemari coretan oleh oknum yang kurang ajar. Semoga ke depannya perawatan dan penjagaan tempat ini lebih baik.
Coretan oknum tidak bertanggung jawab di gerbang benteng
Coretan oknum tidak bertanggung jawab di gerbang benteng

Di sekitar benteng VOC yang merupakan tanah lapang mulai ada bangunannya. Tidak jelas itu bangunan apa, bangunan tersebut seperti belum sepenuhnya jadi. Di sisi lain penuh rindang pepohonan yang berbuah seperti jambu, kelengkeng, dan buah-buah lainnya.

Benteng VOC Jepara dibuat sekitar tahun 1680an. Waktu itu VOC membangun banyak benteng seperti di Tegal, Semarang, Rembang, Surabaya, dan kota-kota lainnya yang berdekatan dengan laut. Tujuan dibangunnya benteng antara lain untuk melindungi daerah dan pelabuhan yang dikuasi VOC dari serangan lawan, terutama serangan dari laut.

Seperti yang sudah kita ketahui VOC pernah menguasai nusantara;Mulai datang pertama di Banten tahun 1602, lalu merebut Ambon dan Tidore dari Portugis tahun 1605. Kekuasaan VOC makin meluas dengan menguasai Banda (1609), Batavia (1919), Makasar (1669), menguasai Madura, Semarang, Jepara, Cirebon dan kota-kota lain di Jawa tahun 1705. Selain itu masih berlangsung mengasai tempat lain di Indonesia.

Pada masa keemasan kesultanan Demak (1475-1568), Jepara menjadi bagian wilayah dari kesultanan. Letak strategis Jepara yang menjorok ke laut dijadikan tempat berlindung kapal-kapal. Pelabuhan Jepara berfungsi sebagai pusat perdagangan pada masanya. Tidak hanya sebagai pusat perdagangan, pelabuhan tersebut juga menjadi pelabuhan militer. Hal ini juga terus berlanjut ketika Jepara dipimpin Ratu Kalinyamat (1549-1579).
Benteng Jepara dalam Kota Jepara Tahun 1743/ Dok. Jurnal Paramita Vol 25(1) Januari 2015
Benteng Jepara dalam Kota Jepara Tahun 1743/ Dok. Jurnal Paramita Vol 25(1) Januari 2015

Benteng VOC yang dulu juga menjadi pusat pemerintahan VOC di pantai Timur Laut Jawa (Noord Oostkust van Java) kini menjadi sebuah taman. Taman yang meninggalkan sisa-sisa tembok benteng setinggi 1.5 meter. Taman di benteng VOC cukup luas, hanya saja tidak begitu menarik minat para wisatawan untuk berkunjung. Aku mengelilingi taman tersebut. Hanya ada segelintir pengunjung yang datang ke sini. Itu pun warga setempat. Mereka bersantai sembari menunggu sore di salah satu gazebo.
Denah benteng VOC/Arsip Nasional/ Dok. Jurnal Paramita Vol 25(1) Januari 2015
Denah benteng VOC/Arsip Nasional/ Dok. Jurnal Paramita Vol 25(1) Januari 2015

Susunan batu hitam agak tajam mengelilingi bukit menghadap ke arah laut. Jenis batu seperti batu karang. Tembok batu ini tidak dilaburi semen, hanya bebatuan yang disusun dengan tambahan perekat. Tembok tersebut sudah kusam, terdapat jalan setapak yang mengelilingi benteng, namun tidak sepenuhnya utuh. Dari atas benteng, dengan leluasa kita bisa melihat laut. Memang tempat strategis untuk memantau serangan dari musuh pada masa perjuangan.

Puas berkeliling, aku duduk melepas lelah di depan pintu masuk. Petugas parkir yang menjaga benteng VOC sibuk menata motor. Sesekali beliau menerima lembaran uang ribuan dari warga yang pulang. Sepertinya petugas parkir hari ini mendapat banyak tamu, khususnya warga yang ziarah kubur.
Bagian dlam taman benteng VOC Jepara
Bagian dlam taman benteng VOC Jepara
Tembok benteng yang masih berdiri kokoh
Tembok benteng yang masih berdiri kokoh

Pak Kasrin namanya, beliau bekerja sebagai penjaga parkir di benteng VOC sejak tahun 2006. Lelaki yang berasa dari desa Pengkol ini menceritakan jika dalam sehari biasanya wisatawan yang datang ke benteng VOC tidak lebih dari 20 orang. Rata-rata mereka adalah remaja yang ingin menghabiskan waktu di sini.

“Jarang ada wisatawan dari luar Jepara mas. Mereka yang datang hampir semuanya orang sini sendiri.”

Sayangnya di sini tidak ada sedikitpun tulisan informasi yang berkaitan dengan sejarah benteng. Sehingga benteng VOC ini seperti tidak menarik bagi wisatawan yang datang ke Jepara. Sayang rasanya, padahal tempat seperti ini bisa dijadikan opsi berwisata bagi para pecinta heritage. Terlebih lokasinya berdekatan dengan Museum RA. Kartini dan Pendopo Kabupaten Jepara.
Pak Kasrin, petugas parkir yang berjaga di benteng VOC Jepara
Pak Kasrin, petugas parkir yang berjaga di benteng VOC Jepara

Selalu ada harapan agar benteng ini tetap dirawat dengan baik, diberdayakan pihak terkait, dan menjadi destinasi alternatif bagi wisatawan yang datang ke Jepara. Sementara ini kita hanya bisa menyaksikan bukti sejarah ketika Jepara pernah menjadi lokasi strategis dibidang kemaritiman. Bukti yang kini tidak terurus dengan baik, dan sisa-sisa kemegahannya masih ada.

Tidak setiap kota mempunyai benteng VOC, namun Jepara mempunyai dua benteng sekaligus. Benteng VOC di bukit Donorojo, dan benteng Portugis yang berada di ujung pantai Jepara berbatasan dengan kabupaten Pati. Semoga saja benteng-benteng tersebut tidak hanya diakui, tapi dijaga dan dirawat sepenuh hati. *Kamis, 22 Juni 2017

Catatan: Literatur tambahan dan beberapa screen capture berasal dari artikel “Tinjauan Historis Benteng VOC Jepara oleh Agustinus Supriyono pada jurnal Paramita Vol. 25 No. 1 Januari 2015, Hal 26-39”, dapat diakses di sini.

Tips Menggunakan Tas Selempang saat Beraktivitas

$
0
0
Bersepeda menggunakan tas selempang
Bersepeda menggunakan tas selempang

Sejak memutuskan bersepeda ke kantor akhir tahun 2012. Ada banyak hal yang aku ingin miliki untuk menunjang aktivitas bersepeda. Selain perlengkapan lengkap seperti helm sepeda, kaus tangan, lampu sepeda, kebutuhan yang harus aku miliki lainnya adalah tas yang nyaman digunakan untuk bersepeda.

Tas Selempang/ Messenger tentu menjadi pilihan yang paling digandrungi pesepeda selain tas pannier. Rata-rata bagi pesepeda ke kantor/ bike to work, tas selempang menjadi pilihan utama. Selain bawaannya tidak berat, tas selempang juga nyaman digunakan kala mengayuh sepeda.

Kalau sekarang tas selempang masih aku pakai sewaktu main ke kedai kopi ataupun nongkrong dengan teman. Biasanya di dalam tas selempang isinya hanya laptop dan kamera. Rasanya lebih simpel saja menggunakan tas selempang untuk sekadar main di kedai kopi.

“Bagus juga tas kamu.”

Begitulah celetuk teman-teman saat kami nongkrong bareng. Ya, akhir-akhir ini aku lebih sering memakai tas selempang kala janjian nongkrong dan ngeblog bareng di kedai kopi. Akhirnya tas selempang yang beberapa tahun aku beli kembali kupakai juga.

Bagi orang yang sudah terbiasa menggunakan tas selempang, tentu mereka tidak mempermasalahkan hal-hal yang sering dirasakan pemula. Salah satunya adalah pundak sakit saat memakai tas selempang. Pada dasarnya kita harus mengetahui bagaimana cara agar tas selempang yang kita gunakan bisa senyaman mungkin.

Perhatikan cara pakai tas selempang agar tidak nyeri otot
Tas selempang tidak seperti daypack, hanya ada strap bahu panjang yang bisa kita ubah sesuai keinginan. Jika kita tidak tidak memperhatikan cara pemakaiannya, ditakutkan salah satu dari pundak kita akan terasa sakit karena terlalu lama menahan strap tas tersebut.

Kita harus bisa memprediksi bawaan mana saja yang masuk ke dalam tas tersebut dan seberapa beratnya. Biasanya tas selempang ini dipakai kalau kita sedang bepergian dengan jarak dekat dan tidak membutuhkan banyak barang yang dibawa. Biasanya tas selempang ini dipakai jika kita hanya main seharian tanpa menginap.
Tas selempang idaman, bisa cek di Qlapa.com
Tas selempang idaman, bisa cek di Qlapa.com


Usahakan tas selempang sering dipindah
Mengubah posisi strap tas selempang secara bergantian, dari pundak kiri ke kanan menjadi keharusan. Jika kita pakai pada satu posisi dalam jangka waktu lama bakal membuat rasa sakit pada pundak.

Apabila sudah pada posisi di pundak kanan, selang beberapa waktu ganti disisi sebelahnya. Selempang yang hanya ditempatkan satu sisi kurun waktu lama, maka otot pun merasa lebih terbebani.

Kelebihan berat pada tas selempang bisa membuat cidera siku
Belum banyak yang tahu soal tips berikut. Hindari memakai tas yang diletakkan sambil menekuk tangan. Penggunaan seperti demikian bakal berpotensi mencederai siku tangan si pengguna tas selempang. Alangkah lebih baik lagi kalau ditaruh tas di bahu saja, bukan di lekukan tangan.

Cara seperti ini dipilih supaya kamu tidak mengalami cedera siku seperti tendinitis. Apabila ternyata beban yang dibawa terlalu berat, usahakan membaginya ke dalam dua tas kecil. Seperti pada keterangan awal, tas selempang hanya untuk barang-barang tertentu saja dan tidak berat.

Postur tegak membantumu lebih ringan
Maksudnya disini, usahakan selalu memakainya dengan sikap tubuh tegak. Saat kamu bersikap tegak, maka beban akan lebih tersebar sempurna ke bagian tubuhmu. Beban pun tidak hanya berfokus pada satu bagian saja.

Kalau disertai tas tangan, usahakan untuk mengencangkan bagian perut. Hal ini sengaja dipilih untuk membuat berat badan terpusat diatas kaki, bukan disalah satu sisi tas. Alhasil, bagian otot lengan tidak mudah cedera. Selain itu, kamu pun terhindari gejala nyeri otot.

Tips memakai tas selempang diperuntukkan agar pengguna lebih sehat. Kalo perhatian sama kesehatan tubuh, kamu bakalan menyimak dan meniru tips-tips yang udah ditulis di atas. Semakin ke sini, kamu tahu bahwa tips menggunakan tas selempang cukup banyak.

Letakkan tas telempang ke arah depan
Ada lagi yang perlu diperhatikan. Perihal menempatkan pada posisi tas yang tepat cukup penting. Selain diperuntukkan supaya lebih nyaman, gaya fesyenmu pun makin keren. Kalau tadi kamu dianjurkan untuk rajin memindahkan dari sisi ke sisi lainnya, kali ini cobalah menempatkannya di bagian tengah tubuh.

Ketika menempatkan tas selempang ke arah tengah, ayunan yang sering terjadi di tas jenis ini pun jadi lebih sedikit. Selain itu, hal ini menjadikan tulang punggung bawah jadi tak terlalu lelah. Pemakaiannya memang tidak boleh sembarangan atau akibatnya jadi fatal.

Membeli tas selempang di toko online
Usai membahas secara lengkap soal cara pemakaian tas selempang, aku tertarik mencari-cari tas selempang yang cocok untuk bekerja. Dari info teman, aku diarahkan memilih-milih Tas Selempang di qlapa.com. Situs handmade dengan 500an ribu produk ini menjadikan pembeli lebih melek produk lokal. Kualitas dan harganya bisa disesuaikan dengan dompetmu.
Lirik-lirik tas selempang dulu di Qlapa.com. Kali aja langsung klik beli
Lirik-lirik tas selempang dulu di Qlapa.com. Kali aja langsung klik beli
Lirik-lirik tas selempang dulu di Qlapa.com. Kali aja langsung klik beli

Di sana, aku bisa memilih jenis tas yang sesuai dengan seleraku. Corak tas beretnik nusantara atau casual minimalis pun tersedia. Cukup kita pilih item, lalu mengisi lengkap alamat pengiriman dan transfer uang sesuai harganya. Transaksi dijamin aman. Ratusan ribu pembeli memberi feedbackpositif terhadap pelayanan dan kualitas produk dari Qlapa. Kini, saatnya produk lokal berbicara.

Bagi yang demen koleksi tas produk lokal dan hasil handmade, kalian bisa coba buka Qlapa.com sebagai referensi. Siapa tahu kalian dapat menemukan tas sesuai selera dengan harga yang bersahabat.

Menunggu Senja dan Menikmati Barbeque di Rooftop Satoria Hotel Yogyakarta

$
0
0
Rona jingga dari rooftop Satoria Hotel Yogyakarta
Rona jingga dari rooftop Satoria Hotel Yogyakarta

Akhir-akhir ini senja di tengah kota Jogja tampak memukau. Rona jingga merekah di langit menjelang petang. Aku mulai merencanakan untuk memotret senja dari tengah kota. Mencari tempat tinggi dan terbuka, lalu menantikan senja sembari mengabadikannya.

Kesempatan itu datang, aku beserta bloger lain di Jogja mendapat undangan dari salah satu hotel yang berada tidak jauh dari Bandara Adi Sucipto untuk barberque-an sekaligus menikmati senja dari rooftop hotel. Tepatnya di Satoria Hotel Yogyakarta yang beralamatkan di Jalan Laksda Adisucipto, KM 8.

Satoria hotel berada di dekat bandara, hotel berbintang empat ini termasuk baru. Awalnya hotel ini bernama Premier Inn, lalu berubah menjadi Satoria Hotel setelah pergantian manajemen. Hotel ini mempunyai 9 lantai, serta menyediakan dua tipe kamar; Deluxe & Superior.

“Kita langsung ke lantai 9,” Ujar wanita yang sudah menunggu kehadiran para bloger.

Langit Jogja agak mendung, aku dan mbak Rian mengikuti wanita yang mengarahkan kami ke rooftop. Sedikit gelisah ketika mendung, takutnya rencana menikmati sunset dan barbeque-an di rooftop gagal.

“Tenang saja mbak, nggak hujan kok sore ini. Saya kan pawang hujan,” Celetukku bercanda.

Lift berhenti pada angka sembilan. Pintu terbuka, gemerlap lampu biru terlihat kala kami keluar dari dalam lift. Vue Bar, mini bar yang ada di rooftop hotel mulai dibuka. Pramusaji menyiapkan peralatan untuk barbeque-an, sementara aku memotret kolam renang yang berada di rooftop sambil menunggu teman bloger lainnya.
Kolam renangnya cukup sepi, asyik buat berenang
Kolam renangnya cukup sepi, asyik buat berenang

Tidak banyak orang di atas, hanya ada tiga remaja yang duduk di meja kursi tersedia. Kolam renang ini serasa memanggilku agar berenang. Sayang, aku tidak membawa pakaian ganti. Mendung sedikit tersibak angin, dan cahaya jingga berpendar.

Biasanya kolam renang di tiap hotel saat menjelang senja ramai. Di Satoria Hotel malah sepi, selama aku duduk di sini hanya ada dua orang yang renang. Dari informasi pihak hotel, kolam renang ini tidak untuk umum. Hanya orang yang menginap di sini saja yang diperbolehkan untuk berenang.

“Kapan-kapan kalau teman bloger mau berenang di sini tinggal hubungi kami dulu. Untuk teman bloger kami perbolehkan berenang, dan tentunya gratis.”

“Wah bagus ini, bisa lah sekalian beli makan atau sekadar minum,” Timpal teman bloger.

Selain kolam renang, di sini juga disediakan meja kursi untuk duduk santai sembari menikmati santapan yang dipesan. Tempat yang nyaman untuk ngobrol santai bersama teman-teman.

Gemuruh suara pesawat terdengar jelas. Dari rooftop pesawat yang akan take off terlihat bergerak. Aku mengabadikan maskapai tersebut, menungguinya sampai lepas landas. Bagi wisatawan lokal yang menginap di Satoria Hotel, pemandangan ini menjadi hal yang menarik.

Tidak hanya lepas landas, ketika pesawat ingin mendarat pun jelas terlihat. Langit berselimut mendung terpancar sinar senja. Cahaya merah kombinasi dengan hitam. Sebuah pesawat terbang rendah, aku menantikan hingga dekat. Membidik pesawat yang akan mendarat di bandara.
Sebuah pesawat sedang landing ke bandara Adisucipto Yogyakarta
Sebuah pesawat sedang landing ke bandara Adisucipto Yogyakarta

Senja menampakkan rona indah. Pemandangan yang menakjubkan dari rooftop hotel. Makin gelap, cahaya makin memikat. Cahaya jingga senja terpantul oleh birunya air kolam menjadi suasana makin indah.

Tidak sia-sia menantikan senja di rooftop hotel. Satu persatu teman mengeluarkan kamera, saling mengabadikan momen indah. Tidak lupa berpose dengan latar belakang senja. Pantulan cahaya lampu dari sudut kolam membuat makin indah.

Walau sang baskara tidak tampak wujudnya, cahaya indah ini menjadi bukti bahwa senja tetaplah indah. Menyenangkan rasanya bisa menikmati senja bersama teman bloger di rooftop hotel. Waktunya kita menikmati secangkir kopi, bercanda, dan berbagi cerita.
Ketika senja di atas rooftop hotel
Ketika senja di atas rooftop hotel

“Bagi yang menunaikan salat, musola ada di basement.”

Aku dan beberapa bloger gantian turun ke basement, kami menunaikan salat magrib berjamaah. Agenda selanjutnya adalah makan malam. Kali ini kita dijamu dengan barbeque di rooftop. Seorang chief didampingi dua orang pramusaji sibuk menyiapkan menu yang akan kami santap.

“Silakan disantap, kita acaranya santai saja,” Ujar General Manager hotel.

Di Saforia Hotel mempunyai paket barbeque-an. Tarifnya hanya Rp.70.000, paket barbeque ini tidak tiap malam. Pihak hotel hanya menyediakan paket barbeque tiap malam sabtu. Lokasinya juga di rooftop. Kita bisa menikmati makan malam ditemani lantunan live music.
Chief sedang menyiapkan menu barbeque
Chief sedang menyiapkan menu barbeque
Waktunya santap malam
Waktunya santap malam

Ada banyak pilihan menu makan malam yang disediakan, aku menikmati santap malam bersama teman. Tak ada keriuhan, hanya suasana santai saja. Kami menghabiskan waktu di rooftop hotel hampir sampai tengah malam.

Waktu berlalu dengan cepat. Senja telah lama meninggalkan kami, santap malam pun tandas. Terima kasih kepada Satoria Hotel yang telah mengundang kami untuk menikmati senja dari rooftop. Mencicipi masakan chief, dan tentunya memperbolehkan kami berlama-lama di lantai 9 hotel. *Menikmati senja di Satoria Hotel pada hari Jumat, 10 November 2017.

Embung Mini Kleco di Perbukitan Menoreh

$
0
0
Menatap embung mini Kleco dari atas bukit
Menatap embung mini Kleco dari atas bukit

Satu hal yang kuingat tiap bersepeda ke Kulon Progo adalah rute yang menyenangkan. Belum banyak tempat yang aku kunjungi di Kulon Progo, khususnya naik sepeda. Lebih khusus lagi daerah yang ada di perbukitan Menoreh.

Waduk Sermo, Kalibiru, Canting Mas, Kebun Teh Nglinggo, dan beberapa destinasi lainnya saja yang pernah aku sambangi naik sepeda.  Tentu saja keseluruhan destinasi itu menyenangkan, terutama tanjakannya. Bahkan aku lupa beberapa kali harus turun dari sepeda, lantas menuntunnya sampai ke jalan datar.

“Sabtu sepedaan ke embung Kleco yuk?” Ajakku pada teman pesepeda.

“Embung Kleco atau Bukit Kleco?” Febri ingin memastikan.

Aku baru sadar kalau di kawasan sana ada dua nama yang mirip. Embung Kleco adalah waduk mini, sedangkan bukit Kleco sendiri adalah gardu pandang yang lokasinya tidak jauh, namun berbeda tempat arahnya.

“Embung Kleco,” Jawabku yakin.

“Siap!!”

Setelah lama tidak mengunjungi daerah Kulon Progo, akhir pekan ini aku bersepeda menuju Embung Kleco. Embung ini berada di Giripurwo, Girimulyo. Aku sempat melihat rutenya, tidak jauh sih sebenarnya, namun tanjakannya lumayan menguras tenaga.
Melintasi jembatan Kreo perbatasan Sleman - Kulon Progo
Melintasi jembatan Kreo perbatasan Sleman - Kulon Progo

Aku ditemani tiga pesepeda lainnya; Febri, Mas Arif, dan Mbak Narli. Berangkat dari Tugu Jogja, kami menyusuri jalan Godean. Secara garis besar rute yang aku lewati antara lain Tugu Jogja – Perempatan Kenteng – Pasar Sribit – Polsek Girimulyo – Embung Kleco. Sepertinya dekat, tapi tanjakannya itu yang membuat jadi lama.

Mas Arif pernah bersepeda denganku waktu kami menuju Klangon, pun dengan Febri. Aku sendiri sering sepedaan dengannya menuju area Mangunan. Bahkan aku pernah dilewatkan jalan buntu ketika ingin mencari jalan pintas di kawasan Dlingo, Bantul.

Sepanjang jalan Godean jalanan ramai lancar, beberapa kali aku berpapasan dengan pesepeda; mereka adalah anak-anak sekolah. Kusempatkan juga membeli jajanan pasar di tepi jalan. Tanjakan pertama terasa kala kami melewati Jembatan Kreo. Ya, setidaknya fisik harus mulai disiapkan.

Di antara kami berempat, mungkin aku yang paling sibuk. Selain bersepeda bareng, aku bertugas mengabadikan selama perjalanan. Ada banyak spot menarik selama perjalanan, Jembatan Kreo, jembatan dekat pasar Sribit, dan tentunya beberapa titik yang jalannya menanjak.

Salah satu hal yang membuatku senang lewat jalan di sini adalah hamparan sawah luas. Terlihat petani sedang menanam padi ditemani ratusan burung berwarna putih. Aku sudah mempunyai niat, suatu saat ingin bersepeda ke daerah sini hanya untuk memotret burung-burung Bangau yang ada di tepian sawah.
Rute ke embung Kleco banyak tanjakannya
Rute ke embung Kleco banyak tanjakannya

“Kita berhenti dulu,” Celetuk Mbak Narli kelelahan.

Tanjakan demi tanjakan sudah kami lewati, tapi rasanya tak habis. Kontur perbukitan menoreh memang menyajikan pemandangan indah, rute yang asyik bagi pecinta uphill. Bagaimana tidak, setiap destinasi di sini harus melewati tanjakan. Salah satu jalur yang paling disukai pesepeda adalah arah ke Gua Keskindo.  Kalau penasaran, mainlah ke Jogja dan bersepeda lewat sana.

“Di atas sana jalannya datar mbak, tanjakannya sampai belokan saja,” Kata seorang ibu yang pulang dari ladang.

“Inggih bu. Matur nuwun.”

Bagi aku, mas Arif, dan Febri tentunya tanjakan ini cuku bisa dilewati walau harus menghentikan sepeda di tengah-tengah tanjakan. Namun bagi pesepeda wanita yang kami ajak, ini sebuah ujian yang harus dilewati. Tanjakan mulai terasa saat kami sudah melewati Polsek Girimulyo.

Satu tanjakan berhasil dilewati, tanjakan lainnya sudah menunggu. Aku lupa lokasinya, tapi di pertigaan yang bertuliskan ‘embung kleco’ belok kanan menurun, berdekatan dengan bengkel motor terdapat jalan yang menguji kaki saat mengayuh.
Usai turunan, datanglah tanjakan berikutnya
Usai turunan, datanglah tanjakan berikutnya

Turunan panjang, tiap sisi hijau ladang warga. Di tengah sebelum tanjakan terdapat jembatan kecil. Sebuah motor berhenti di tepian jalan karena membawa rumput untuk ternak. Sepeda kukayuh kencang agar memudahkanku saat melewati tanjakan yang sudah menunggu. Benar saja, tanjakan ini menguras tenaga.

Kuambil kamera, membidik teman yang melaju kencang saat turunan, dan mengayuh pedal tepat ditanjakan tinggi. Jalan tidak hanya tanjakan, dilengkapi dengan belokan. Biarpun terasa capek sepanjang perjalanan, udara di sini masih bersih. Sehingga kami menikmati sepedaannya.

“Kita foto di sini. Tapi cepat fotonya, ada truk dari belakang,” Terang Mbak Narli.

Kameraku sudah terpasang pada tripod kecil. Aku meletakkan kamera di tepian jalan. Kami berdiri tepat di jalan datar, sementara di belakang kami sebuah truk siap naik ke atas. Tanjakan inilah yang membuat kami terengah-engah.
Formasi lengkap kawan bersepeda
Formasi lengkap kawan bersepeda

Jalan menuju embung Kleco tidak besar, sehingga jika ada kendaraan roda empat yang berlawanan arah atau searah dengan jalur kita; lebih baik kita berhenti, terlebih di tanjakan. Hal ini untuk memudahkan sopir truk agar lewat terlebih dulu.

Truk mengerang kencang, bak truk berisi tanah terasa berat. Kami berhenti di tepian jalan sembari mengatur jalan karena dari atas ada motor yang ingin turun. Motor tersebut turut berhenti, membiarkan truk lewat.

Makin mendekati embung, tanjakan masih menanti. Terhitung lebih dari tiga kali kami istirahat melepas lelah. Meneguk air mineral, dan meluruskan kaki yang sudah terasa capek. Kami melewati bapak-bapak yang sedang membangun pondasi jembatan.

“Semangat. Ini tanjakan terakhir!” Saat mereka tahu kalau tujuan kami adalah embung Kleco.

Tanjakan terakhir ini panjang. Aku menunggu teman-teman di halaman rumah warga. Dari arah atas, seorang warga setempat menaiki motor metik berhenti di dekat kami istirahat. Kami berbincang santai, beliau memberi tahu kalau nanti sampai atas belok kiri, jalan cor menuju embung.

Benar informasi yang kami dapatkan. Tepat di akhir tanjakan terdapat jalan cor belok kiri dan turun ke bawah. Lega rasanya mendapatkan rute menurun, ini artinya kami tidak perlu mengayuh pedal sepeda.

Mendekati embung, tanjakan kecil kami lewati. Sebuah plang portal dan parkiran di depan kami. Sejenak kami berhenti dan meminta izin apakah sepeda diperbolehkan naik ke atas. Penduduk setempat memperbolehkan kami membawa sepeda ke atas, dan mengabadikan tepat pada tulisan waduk mini Kleco.
Foto bareng ditulisan waduk mini Kleco, Kulon Progo
Foto bareng ditulisan waduk mini Kleco, Kulon Progo

Prasasti peresmian waduk mini Kleco diresmikan Sultan pada 30 Desember 2014. Prasasti besar ini berbentuk durian. Bisa jadi daerah embung Kleco terkenal dengan duriannya, seperti yang ada pada embung Banjaroya.

Tidak ada retribusi selama kami di sini, padahal pada tulisan-tulisan orang lain terdapat retribusi. Entah kami kepagian, atau petugasnya tidak di lokasi. Kami menaiki sepeda menuju tepian embung. Embung ini tidak begitu terawat. Selama kami di sini pengunjung hanya kami berempat.

Tatanan lokasi di embung sepertinya kurang terawat. Mungkin karena ini pula pengunjung kurang minat mengunjunginya. Terdapat tempat duduk di tepian embung, pemandangan di atas adalah lansekap kota.

Selain tempat duduk yang mulai rapuh, ada juga tempat seperti gardu pandang. Hanya saja kayu-kayu yang digunakan mulai rapuh. Bagi yang ingin mengabadikan di sini harus berhati-hati, takutnya rapuh dan terinjak.

Puas mengelilingi waduk, kami memarkirkan kendaraan di halaman rumah warga yang berada di dekat waduk. Lalu berjalan ke atas, karena di sana terdapat sebuah gazebo. Sepanjang embung sudah ada tempat sampah, tapi sampah masih berceceran di tepian. Dibutuhkan kesadaran diri sendiri untuk membuang sampah pada tempatnya.

Di atas embung, aku dan teman-teman melepas lelah. Berteduh di gazebo, dan menikmati jajanan pasar yang kami bawa. Dari atas pemandangan cukup indah, hamparan berwarna hijau. Kibaran sang saka merah putih pada satu tiang embung terus terkena angin. Kami menikmati perjalanan selama lebih tiga jam.
Waduk Mini Kleco dari perbukitan
Waduk Mini Kleco dari perbukitan

Mendung menebal, dan sempat hujan. Kami berteduh di gazebo, walau tetap terkena air hujan yang tidak lama. Dari atas pemandangan cukup bagus, aku mengabadikan beberapa kali selama di embung. Bahkan, selama perjalanan aku menyempatkan membuat vlog.

Sebenarnya tempat ini cukup bagus jika dikelola dengan baik. pemandangannya pun tak kalah indah. Hanya saja memang banyak fasilitas yang harus dibenahi. Jika diperhatikan dengan baik, embung mini Kleco ini kalah tenar dengan embung Banjaroya. Mungkin selain lokasinya yang ke dalam, juga fasilitasnya.

Bagi aku dan teman-teman pesepeda, yang terpenting adalah sampai di sini dengan selamat, dan nantinya pulang selamat. Destinasi bagi pesepeda bukanlah tujuan, namun hanya tempat untuk beristirahat setelah berjam-jam mengayuh pedal sepeda. Berikut vlog yang aku buat selama bersepeda.

Selain hanya ada satu warung, di embung mini Kleco lebih baik lagi jika tatanan taman lebih dihias kembali. Selain itu tempat-tempat duduk yang ada di tepian embung harus dipugar, dan kalau bisa disediakan kamar kecil. Kita tidak tahu ke depannya tempat ini bisa menarik minat wisatawan yang ingin berkunjung.

Lebih dari satu jam kami bersenda gurau, melepas lelah, dan menikmati bekal yang dibawa. Kami meninggalkan embung mini Kleco. Semoga embung ini bersolek, dan menjadi tempat wisata alternatif bagi wisatawan yang ingin bermain. Karena di sini pemandangannya pun tak kalah indah. *Embung mini Kleco, Sabtu 14 Oktober 2017.
Viewing all 749 articles
Browse latest View live