“Besok pagi aku mau ke sini, siapa yang mau ikut?” Sebuah pesan dari Mas Febri di grup WA Gowes Hore.
Terlihat gambar dua orang yang sedang naik rakit menyusuri hutan Mangrove dan mengabadikannya dengan sebuah tongsis dari belakang, foto tersebut memperlihatkan dua orang berdiri dengan pemandangan mangrove. Pemandangan hijau serta air melimpah membuatku tertarik, berhubung sabtu memang tidak ada kegiatan; aku pun menanggapi ajakan mas Febri.
“Aku ikut, om,”Balasku di grup.
Panggilan om sudah melekat bagi kami para pesepeda, walau belum pernah saling ketemu secara langsung; kami pun tak segan memanggil dengan sebutan “om”. Biasanya setelah ketemu, nanti panggilan itu akan berubah menjadi “mas” karena ternyata seumuran. Kami janjian ketemu di dekat perempatan Jalan Parangtritis esoknya.
Sabtu pagi aku bergegas menyusuri jalan Timoho – Kusumanegara – Taman Siswa- Sisingamangaraja- sampai tembus di ringroad, di sana aku menunggu mas Febri. Serambi menunggu, beberapa kali aku berjumpa dengan pesepeda yang melintas di depanku. Salah satu yang lewat adalah Mbah Kung Endy; beliau kusapa. Kulihat arah beliau pun menuju Jalan Parangtritis. Tak lama berselang mas Febri pun datang, dan kami langsung melewati jalan Parangtritis menuju lokasi Mangrove pantai Baros. Pantai ini pernah kukunjungi saat aku nebeng teman yang hobi mancing malam hari, di sana aku dan teman-teman mendirikan tenda.
Rute yang biasanya lewat jalan arah Srandakan, kali ini berbeda. Aku dan mas Febri melewati jalan paris km 22, tepat di perempatan pasar Tegalsari sepeda kami belokkan ke kanan. Jalanan di sana lebih lengang dan menyenangkan. Hamparan sawah terlihat luas, kemudian kami melewati jalanan rumah warga yang setiap sisi rimbun karena banyak pepohonan. Mengikuti arah plang Hutan Mangrove, serta sesekali bertanya pada warga, akhirnya kami sampai diparkiran Hutan Mangrove. Di sini tidak ada penjaga, kami menunggu seorang ibu yang lewat dan bertanya apakah sepeda boleh dibawa, beliau menganggukkan kepala seraya menunjuk jalan setapak yang nantinya kami lalui.
“Terima kasih, bu,” Jawab kami.

![]() |
Blusukan melewati jalan setapak di area Hutan Mangrove Pantai Baros |
Kuikuti jalanan setapak yang setiap sisinya sawah. Jalanan semakin sempit, hamparan rumput semacam lahan tak dirawat pun kami lalui. Sesekali kami berhenti menentukan arah jalan yang mana dipilih. Sampai akhirnya kami sampai di dekat pantai, semacam bendungan yang sering digunakan orang mancing. Kami sepakat mengayuh sepeda dibibir pantai. semakin ke depan, aku tidak asing dengan tempat ini. Di sana ada gubuk kecil.
“Ini tempatku kemping dulu,” Ujarku ke Mas Febri.
Kami berhenti dan sibuk mengabadikan sepeda dengan latar belakang perahu. Tempat ini kalau malam ramai banget orang yang mancing, di tanah lapang belakangku juga sudah dibuatkan semacam gubuk yang dapat digunakan para pemancing untuk memarkirkan kendaraannya. Berhubung aku membawa tripod, aku mengajak mas Febri berfoto bareng. Ini kok kemistrinya dapat ya? Tuh tanpa janjian, kaos yang kami gunakan sama-sama merah. Selain itu celana pun dominan warna hitam. Benar-benar kompak kan? Berkali-kali kami berusaha foto sambil loncat, namun empat kali kami mencoba dan selalu gagal. Tak apalah, minimal sudah foto bareng.
![]() |
Mengayuh sepeda di bibir pantai |
![]() |
Kompak banget kan? Sama-sama merah |
“Lanjut cari Mangrove yang ada rakitnya?” Tanyaku.
“Iya, kita cari,” Jawab mas Febri.
Kami keluar dari rerimbunan pohon pandan yang daunnya penuh duri. Di sini ada semacam jembatan kecil terbuat dari bambu. Sebagian bambunya tidak lagi terikan dengan baik, jadi kami harus ekstra hati-hati menyeberanginya. Untung jembatan darurat ini tidak panjang, hanya sekitar 4 meter saja. Di depan sana terdapat lima ibu yang sedang membersihkan lahannya. Kami menyapa beliau sekaligus bertanya mengenai Mangrove yang ada rakitnya.
“Lewat sini, mas. Ada jalannya kok, ikuti saja. Mau nyusur Mangrove?” Tanya salah satu di antaranya.
“Mau main-main saja, bu. Terima kasih.”

![]() |
Rutenya mengasyikkan loh |
Jalan setapak dengan sisi kanan hamparan sawah terbentang. Sedangkan sisi kiri pepohonan yang membatasi mangrove. Sesekali aku turun dari sepeda karena jalanan terdapat lubang atau terhalang dengan pohon yang menjorok ke arah jalan setapak. Lucunya, ban sepedaku terperosok ke dalam liang yang tertutup rumput, untung tidak dalam. Aku pun memutuskan untuk menuntun saja.
Jalan setapak ini menuju sebuah gubuk kecil yang berdiri di atas aliran air bendungan yang membatasi air laut, semacam muara yang airnya terlihat tenang namun alirannya sangat kuat. Gubuk kecil terbuat dari susunan bambu dengan atap berwarna hitam menjadi tujuanku. Awalnya di sana ada seorang bapak yang duduk seraya memandang ke laut lepas. Kami bergabung dengan beliau, lalu menanyakan perihal menyusuri mangrove dengan rakit. Kulihat di sini ada 3 rakit yang tertambat, dan sebuah papan kecil bertuliskan spidol hitam “Dilarang bemain & berenang menggunakan rakit”. Ini sebuah pesan dari warga setempat agar rakitnya tidak digunakan pengunjung seperti kami tanpa ijin.
![]() |
Gubuknya ehemmm, asyik buat santai seraya ngobrol |
Sementara di tengah-tengah sana terlihat seorang bapak sedang menarik jaring. Menurut bapak di samping, bapak di atas rakit tersebut sedang mengambil Jaring yang dipasang sambil mengambil perangkap kepiting. Perangkap tersebut seperti bobo; jika bobo di ada yang terbuat dari anyaman bambu; di sini menggunakan rangkaian kawat. Selain itu di sudut lain juga ada bapak-bapak yang sibuk berjalan di lumpur. Beliau membawa kantong kecil yang isinya adalah kerang. Kaki bapak tersebut terbenam lumpur setinggi betis, dengan teliti beliau mengambil kerang yang terendam di lumpur.

![]() |
Kesibukan warga setempat |
Kami bertanya tentang menyusur mangrove. Mataku tertuju pada rerimbunan mangrove yang ada di sisi kiri. Semacam ada jalan yang teraliri air laut dengan aliran air yang lumayan kencang. Sekumpulan Bebek asyik berurutan berenang di dekat mangrove. Suaranya pun ramai, memecah kesunyian pagi ini. Di dekatku berjejeran bibit mangrove yang terikat dengan penyanggah. Sementara itu tanah yang ada di sekitaran mangrove pun terkena abrasi. Nantinya mangrove inilah yang menjaga tepian pantai dari abrasi sekaligus sebagai tempat bekembangbiaknya biota laut seperti ikan, kepiting, maupun udang.
“Wah sekarang lagi surut, mas. Biasanya kalau mau nyusur itu harus saat air pasang. Pasti kandas kalau kalian naik rakit.”
“Jam berapa pak kalau pasang?” Tanya mas Febri yang penasaran karena terpaksa tidak bisa menyusuri mangrove naik rakit.
“Mungkin jam 10an, mas. Setiap harinya itu terlambat 2jam. Itupun bulan-bulan ini. Tidak tentu, mas,” Jawab bapak lagi.

![]() |
Airnya sedang surut, jadi rakitnya nggak bisa lewat |
Kami saling memandang, ya kali mau tidak mau kami tidak bisa memaksakan diri untuk menyusuri mangrove dengan rakit. Memang benar kata bapak di sampingku, air yang mengalir ke arah mangrove sangat surut. Bahkan di satu titik terlihat endapan lumpur yang menandakan airnya dangkal.
“Kalau dipaksakan tetap tidak bisa, mas. Itu air hanya sebetis saja. Kalau kalian turun; takutnya lumpur itu terlalu dalam, jadi malah menyusahkan mas.”
“Kalau mau naik rakit saja nggak apa-apa, mas. Tapi mendayungnya melawan aliran air. Jadi mas tidak ke mangrove,” Kata bapak tersebut yang melihat kami penasaran dengan rakit.
“Boleh, pak?”Tanya kami bersamaan.
“Boleh, mas. Tapi jangan ke arah muara sana ya? Cukup melawan aliran ke sini, nanti kan biar mudah menambatkan rakit lagi di tiang ini,” Kata bapak sambil mengijinkan.
Kami pun kembali bersemangat, bergegas menuruni gubuk ke rakit melalu tangga darurat. Kemudian dengan galah bambu panjang aku dan mas Febri mendayung rakit melawan aliran air. Berat banget ternyata, walau sudah sangat lama kurasa, tapi rakitnya hanya bergeser beberapa meter saja. Walau aku terlahir sebagai anak laut, sudah biasa mendayung sampan di pantai; tapi ini beda. Tetap saja harus belajar dari awal. Galah bambu menancap di lumpur, lalu kutekan dari belakang, sementara mas Febri mengatur arah rakit biar tidak mutar balik dengan galah bambu juga. Semacam kerjasama yang baik, rakit pun berjalan sesuai arah, dengan cepat mas Febri memasang kamera di tongsis lalu mengabadikan. Aku sempat mengabadikan dengan mirroles, tapi hasilnya tidak terlihat rakitnya. Kuputuskan fokus mendayung saja, sementara nanti foto bisa aku ambil dari kiriman mas Febri. Matur nuwun mas Febri, fotonya aku comot dua ya untuk bukti kerja keras kita mengendalikan rakit hahahahhah.

![]() |
Pokoknya sudah sah!! *Dokumentasi & Edit mas Febri |
Lebih dua puluh menit kami bergulat menahan rakit agar tidak mengikuti aliran menuju laut. Bapak yang tadi mengijinkan pun pamit pulang, ahhhh sayang sekali aku tidak sempat berfoto dengan beliau. Namun ucapan terima kasih untuk beliau yang telah mengijinkan kami memakai rakit, dan tetap mematuhi arahan beliau agar tidak keluar dari aliran air. Puas bermain rakit, kami berdua naik kembali ke atas gubuk, tidak lupa menambatkan rakit dan membersihkan kaki yang penuh lumpur. Kami beristirahat sejenak sebelum kembali menuju Jogja. Oya, untuk menikmati menyusur Mangrove menggunaka rakit hanya bisa dilakukan saat air pasang, jadi jangan kecewa kalau ke sini pas lagi airnya surut ya. Terima kasih untuk mas Febri yang sudah mengajakku bersepeda ke Pantai Baros, dan mengabadikan foto saat sedang di rakit. Jangan kapok ngajak aku lagi ya hehehheehe. Ditunggu ajakan selanjutnya loh, mas. Terima kasih juga untuk teman-teman grup Gowes Hore yang selalu ramai dengan ide-ide rute bersepeda tiap akhir pekan, semoga makin kompak saja. *Bersepeda ke Mangrove Pantai Baros ini pada hari Sabtu, 30 Januari 2016.
Baca juga perjalanan lainnya