![]() |
Tradisi mendorong kapal ke pantai di Karimunjawa |
Menjelang pukul 07.00 WIB, sekumpulan lelaki sudah berkumpul di salah satu teras rumah. Mereka meluangkan waktu tidak bekerja. Kemarin, salah satu warga di kampungku mengutarakan sedang ada hajat. Dia ingin menurunkan kapal yang selesai dibuat.
Sudah menjadi tradisi secara turun temurun, menurunkan kapal baru secara gotong royong adalah pemandangan yang biasa di Karimunjawa. Secara bersama-sama nantinya kapal baru tersebut didorong para warga untuk sampai pantai.
Di Karimunjawa, mendorong kapal baru disebut dengan istilah “mudunke kapal.” Kata tersebut diambil dari bahasa Jawa yang artinya menurunkan kapal. Dikatakan menurunkan, karena proses pembuatan kapal di daratan.
Pembuatan kapal kayu bisa di mana saja. Bagi sebagian orang, mereka membuat kapal di dekat pantai. Tujuannya agar proses penurunan kapal lebih mudah. Namun, tidak sedikit pula yang membuat kapal di dekat rumah. Meski jarak ke pantai lumayan jauh.
Sebelum mendorong kapal, seluruh lelaki yang datang duduk santai. Mereka berbincang dengan sebelahnya. Tuan rumah sudah menyediakan kudapan dan teh panas. Sembari menunggu yang lainnya, mereka menikmati kudapan tersebut.
![]() |
Berbincang sebelum beraktivitas |
Setengah jam berlalu, makin banyak orang yang berkumpul. Tuan rumah menyiapkan sarapan. Umumnya, sarapan sebelum mendorong kapal adalah menu sop. Bihun kecil ditambah dengan suwiran ayam kampung. Lengkap pula nasi dan sambal kecap.
Kesibukan para perempuan yang membantu tuan rumah terlihat jelas. Mereka menyiapkan sop, ada yang bertugas menuangkan kuah. Ada pula yang menata gelas diisi dengan teh hangat. Pada umumnya, minuman teh dan kopi pasti disediakan. Satu lagi yang tak boleh ketinggalan, rokok.
Merokok sebelum beraktivitas menjadi hal yang lumrah di masyarakat. Aku dulu juga seperti itu, sebelum ikut gotong royong, rokok-rokok yang sudah disediakan kami isap. Mengepul asap berbagai aroma. Sejak tahun 2010, aku berhenti merokok tanpa ada rencana. Entahlah.
Selesai sarapan, semua lelaki berkumpul. Mereka menggoyang-goyangkan kapal sebelum dorong. Semuanya menunggu aba-aba dari salah satu sesepuh. Seperti komandan, satu orang nanti berteriak lantang agar kompak mendorong ataupun menarik.
Bentuk kapal sudah jadi, hanya saya belum dipasangi penutup bagian atas di buritan. Aroma papan menyatu dengan cat kayu. Kapal-kapal di sini dominan berwarna putih. Biasanya selingan garis merah ataupun biru menjadi kombinasi.
![]() |
Mengecek kapal sebelum didorong |
Pelepah kelapa disiapkan, pun dengan batang-batang kayu berukuran betis orang dewasa. Semuanya ditaruh pada bagain bawah kapal yang agak lancip. Nantinya berfungsi sebagai roda penggerak saat kapal didorong bersama.
Bagian depan kapal diikat dengan tali sebesar lengan orang dewasa. Tim terbagi menjadi empat bagian. Mereka yang di depan menarik dengan tali, di belakang mendorong, serta tiap sisi kiri dan kanan ikut mendorong sekaligus menjadi penyeimbang.
Sebenarnya di beberapa tempat sudah alat yang dimodifikasi untuk menarik ataupun mendorong kapal. Semacam ban mobil yang disambung dengan besi panjang, nantinya cara kerja mirip mendorong gerobak.
Hanya saja untuk menggunakan tersebut, pemilik kapal harus menyewa. Jika kapal tidak besar, serta para lelaki banyak, tidak menjadi masalah. Cukup gampang mendorongnya. Ukuran kapal besar biasanya menggunakan alat tersebut.
Jarak dari tempat awal hingga pantai sekitar 400 meter. Jalanan terbagi dari aspal, tanah tandus, serta pasir. Tiap orang mencari posisi yang nyaman untuk turut mendorong. Aku sendiri hanya bergabung, sesekali mendorong. Lebih banyak lagi memotret.
![]() |
Melintasi jalan utama di kampung |
Teriakan komando membuat kapal ini bergerak. Suara gemeretak kala papan bawah menggerus aspal. Pelepah daun kelapa dan batang kayu bergelindingan, ada orang yang bertugas khusus menata batang-batang tersebut ke depan.
Selain bertujuan agar menggerakkan kapal, adanya pelepah kelapa dan dan batang ini menghindarkan bagian bawah kapal berbenturan langsung dengan aspal. Aspal pun sedikit tergores. Meninggalkan bekas bergaris.
Kapal mulai bergerak, pelan-pelan laju kapal bergerak jauh. Suara riuh saling mengingatkan. Selepas aspal, rute selanjutnya tanah tandus berbatu. Kapal dibelokkan ke kiri, mulailah mengepul debu tanah.
Tenaga lebih terkuras, di tanah tandus dan sedikit menurun membuat tenaga ekstra. Belum lagi debu yang mengepul, sementara tidak ada yang menggunakan masker. Lebih banyak orang yang menarik, bagian belakang hanya empat orang, dan selebihnya di tiap sisi.
Cukup satu orang memberi komando, semuanya mendorong ataupun menarik. Jika kapal bergerak mulus, mereka makin bersemangat. Sebaliknya, jika tiba-tiba tersendat. Teriakan panjang hampir kompak. Mengesankan.
![]() |
Beramai-ramai mendorong kapal |
Di desa-desa, gotong royong masih tetap terjaga. Seperti di tempatk, hal yang paling umum adalah membersihkan fasilitas umm layaknya jalan, tempat ibadah, ataupun lapangan. Selain itu ada juga saat orang hajatan atau sedang tertimpa musibah. Semua saling berbagi tangan.
Selain gotong royong mendorong kapal, ada satu lagi yang sebenarnya menjadi incaranku untuk kuabadikan. Memindahkan rumah panggung. Adat yang kental dengan budaya Bugis ini sudah jarang di Karimunjawa.
Jalan turunan memudahkan kapal bergeser cepat. Kesulitan kembali dirasakan saat sampai di tanah berpasir. Tinggal sepelemparan batu dari pantai. Perjuangan masih terus berlanjut. Harapannya segera sampai pantai.
Sudah ada jalan setapak yang biasa diakses nelayan untuk ke pantai. Tanah pasir yang labil membuat bagian bawah kapal menggerus dalam, tarikan makin berat. Ditambah tenaga yang sudah tidak penuh seperti awal.
Sesekali para pendorong kapal beristirahat, biasanya ada yang memberi masukan agar kapal ini lebih mudah digeser. Salah satunya dengan menambah banyak pelepah dan kelapa serta kayu kecil. Ditata lebih rapat agar bagian bawah kapal tidak menyentuh pasir.
![]() |
Kapal dan nyiur yang menjulang tinggi |
Embusan angin laut makin terasa, suara daun-daun nyiur bergesekan. Sebentar lagi sampai. Itulah yang ada dibenak para lelaki di kampungku. Mbah Sakim selaku sesepuh di kampung menyemangati. Beliau naik, lalu memberi teriakan komando.
Teriakan beliau disambut dengan sontakan tarikan dan dorongan kapal. Selalu begitu, satu teriakan, sekali juga kapal bergeser. Tak peduli bagaimana prosesnya, penting kapal ini sampai bersua dengan air laut.
Semangat masih tinggi, pantai makin dekat. Sebagian orang yang mendorong kapal sudah turun ke laut. Kedalaman air sepinggang orang dewasa. Mereka membiarkan celana dan kaus basah kuyup. Aku sendiri terus mengabadikan.
Mereka yang tidak ingin terkena air lebih banyak mendorong dari kedua sisi dan belakang. Saat kapal ini menyentuh air laut, ini menjadi kelegaan para pendorong kapal sekaligus pemiliknya. Nafas panjang menjadi bukti kelegaan tersebut.
“Sedikit lagi! Sedikit lagi!”
![]() |
Kapal sudah sampai di laut |
Sebagian kapal sudah mengambang di laut, bagian buritan masih kandas di daratan. Tinggal sedikit yang ikut mendorong. Lebih banyak duduk santai sambil memberi semangat. Lumayan cepat, sekitar 1 jam kapal sudah sampai laut.
Sepenuhnya kapal sudah di laut. Empasan ombak kecil membuatnya berayun. Kami semua duduk di tepian pantai, melepas lelah sambil bercerita tentang proses mendorong kapal yang baru saja kami lakukan. Keringat mulai menghilang tersapu angin sepoi.
Pemilik kapal beserta pembuatnya masih di laut. Ditambatkan tali panjang ke pancang. Pemilik kapal mengguyur badan kapal dengan air laut. Semacam ritual, dikelilingi kapal tersebut sambil menyipratkan air laut ke seluruh bagian kapal.
Mungkin doa panjang terlontar bersama air-air yang dicipratkan. Rasa syukur atas kapal yang sudah siap untuk menyokong perekonomian keluarganya. Berharap selalu diselimuti keberuntungan, keselamatan, dan hasil laut melimpah.
![]() |
Ritual menyirami kapal dengan air laut |
Mesin kapal dihidupkan, dicoba kapal tersebut memecah ombak pantai. Kapal melaju pelan, lalu kembali lagi ditambatkan. Nantinya, pemilik kapal tinggal menambahi atap terpal di buritan, tiang bendera merah putih, serta yang lainnya.
Sebagian perempuan turut ke pantai. Mereka menggelar tikar dan menyiapkan kudapan. Termos-termos berisi kopi dan teh panas dibuka, menuangkan pada gelas kaca yang sudah dibawa. Sebagian lagi menata piring dan mengisi kue tradisional.
Kami berkumpul, menyesap minuman hangat dan menikmati kudapan yang legit. Teh manis panas berkombinasi dengan kue manis. Sesaat hilang rasa capek, lagi-lagi semuanya harus dilengkapi dengan rokok kretek.
Aku menepi, berbincang dengan teman kampung. Sesekali kuperlihatkan hasil jepretanku yang ada mereka. Berbagai komentar silih berdatangan, selaras dengan derai tawa panjang. Sebagian kawan meminta foto tersebut agar bisa diunggah di media sosial.
![]() |
Menikmati kue tradisional |
Sebagian lagi berseloroh canda. Bukannya ikut mendorong, malah hanya memotret. Begitulah candaan para kawan. Suasana yang sering aku rindukan saat di tanah perantauan. Cukup lama aku tidak berbaur seperti ini.
Gotong royong sudah menjadi tradisi, semoga tidak hilang oleh waktu. Satu-persatu orang di sini meninggalkan pantai. Ada yang ingin memulai aktivitas bekerja maupun pulang ke rumah. Kembali ke rutinitas masing-masing.
Kusesap teh panas hingga tandas. Aku mengikuti langkah kaki orang di depan. Kembali ke rumah yang punya hajat untuk mengambil motor dan pulang. Hari ini aku mendapatkan konten yang bagus untuk kuceritakan dan kusebarkan secara luas.
Cerita ini hanyalah segelintir tradisi yang ada di Karimunjawa. Aku berharap di masa mendatang masih bisa mendokumentasikan tradisi-tradisi yang lainnya di kampungku. Agar mereka yang ke Karimunjawa tidak hanya tahu keindahan pantai, tapi juga sisi yang lainnya. *Karimunjawa, 09 September 2019.