![]() |
Wisatawan di Pantai Payung Sewu Batang |
Petugas di pintu masuk pantai Sigandu menghampiri mobil kami, beliau mengecek penumpang mobil, lantas menginformasikan biaya masuk sekaligus parkir. Siang ini, lalu-lalang kendaraan menuju pantai didominasi oleh masyarakat setempat.
“Biaya masuk dan parkir jadinya 28.000 rupiah,” Ujar petugas sembari memberikan lembaran karcis.
Tarif 28.000 rupiah itu terakumulasi dari lima penumpang serta biaya parkir. Setidaknya, harga ini cukup terjangkau bagi para wisatawan luar Batang. Sementara untuk warga lokal, mereka cukup melaju tanpa membayar. Petugas pun tak terlalu ketat.
Lepas membayar, mobil kami meluncur pelan, mengikuti motor yang dikendarai Charis bersama istrinya. Sepanjang perjalanan menuju pantai, sisi kiri banyak kapal-kapal digalang. Sepertinya di sini pusat pembuatan kapal kayu besar. Di tempatku, kapal-kapal tersebut disebut kursin.
Sisi kanan sebaliknya, hamparan sawah subur membentang. Pemandangan yang lainnya adalah bangunan PLTU yang menjulang tinggi. Ternyata PLTU di sini lokasinya dekat dengan pusat kota Batang, sedikit berbeda dengan yang ada di Jepara.
![]() |
PLTU Batang terlihat dari kejauhan |
Sepanjang sisi kiri jalan adalah pesisir pantai. Kami tidak mengarah ke pantai Sigandu, hanya numpang lewat lalu menyisir sisi kiri jalan. Tiap barisan pantai mulai dibangun, ada banyak nama pantai yang sempat kubaca. Rata-ratapantainya ditumbugi pohon cemara.
Di sisi kanan sedikit penampakan tumbuhan Bakau. Tumbuhan ini menjadi penangkal abrasi serta tempat berkembangbiaknya biota laut. Kami terus menyusuri jalan panjang ke arah barat. Sesekali melihat bangunan-bangunan di sisi kiri.
Jarak antar jalan dengan laut tak jauh. Gelombang air pasang tampak jelas. Pasir pantai berwarna gelam. Setidaknya, dari pantai Sigandu sudah ada tiga atau empat nama pantai yang kubaca plangnya. Deretan pantai ini mengingatkanku seputaran Pantai Baru Bantul.
Satu pantai yang paling ramai kami kunjungi. Mobil masuk gapura, petugas kembali meminta uang. Kukira uang masuk tiap penumpang, tetapi hanya uang parkir. Jika di depan tadi adalah uang parkir di pantai Sigandu, kali ini untuk parkir di pantai yang kami singgahi.
Payung Sewu namanya. Entah pengambilan nama dari mana, aku tak begitu paham. Bisa jadi pantai ini sengaja dibranding dengan nama tersebut agar mudah diingat. Pantai ini dipenuhi pepohonan Cemara Laut sebagai peneduh.
![]() |
Pantai Payung Sewu di Batang |
Destinasi pantai Payung Sewu sudah dikonsep dengan baik. Area parkir tertata, pun untuk akses jalan kaki sudah ada jalurnya sendiri. Sekilas tempat ini sudah terbagi menjadi beberapa bagian, bangunan-bangunan pun tak berjauhan.
Puluhan payung, mungkin ratusan jumlahnya tergelantung di atas jalur jalan kaki. Payung warna warni ini menjadi penghias sepanjang ruas jalan kaki di pantai. Bisa jadi penamaan Payung Sewu diambil karena banyaknya payung yang tergelantung.
Ban-ban mobil bekas ditanam separoh untuk pembatas jalan. Berjejer dengan batang-batang kayu yang dipotong sama tinggi dan ditancapkan sebagai pembatas jalan. Aku mengikuti langkah kawan mencari tempat duduk yang masih kosong.
Akhir pekan di Pantai Payung Sewu ini ramai. Pihak pantai menyediakan kursi-kursi plastik sebagai tempat duduk. Ratusan kursi tersebar sepanjang petakan pantai, lalu dikombinasikan dengan meja plastik ataupun meja yang terbuat dari kayu.
![]() |
Kursi plastik menjadi tempat duduk di pantai |
Di sini, kami hanya ingin menikmati waktu siang disertai embusan angin laut. Tiga kawan sedang mencari minuman dan cemilan. Sementara itu, aku meminta izin untuk menjelajah Kawasan pantai yang tak panjang ini untuk kuabadikan.
Pengunjung didominasi rombongan keluarga. Mereka dapat memesan makanan ataupun minuman pada stand-stand yang tersedia. Di pantai Payung Sewu juga tersedia tempat bilas air bersih, pun dengan musola.
Sewaktu iseng mengambil vlog, tak sengaja aku disapa mas yang tadi menjaga parkir. Beliau melihat aktivitasku yang sedang bicara sendiri di depan kamera. Kususuri jalur jalan kaki yang mengarahkan ke tempat parkir moto, musola, tempat bilas air bersih, hingga tempat membeli makan.
Rombongan muda-mudi menepi, mencari tempat duduk yang agak terpisah agar tak terganggu. Para remaja putri sibuk berswafoto, silih berganti mereka berpose di bawah gelantungan payung. Tempat sampah besar ada di sudut-sudut tertentu.
Penjual makanan dan aksesoris silih berganti menawarkan dagangannya. Ada yang menjual pecel, atau malah mas-mas yang menjual kacamata menghampiri tiap rombongan. Sementara mas berjualan balon udara tak bergerak dari pintu masuk sambil memegang tuas tali agar balonnya tak tersambar angin kencang.
Sekumpulan bapak sedang sibuk mengambil pasir dan memasukkannya dalam karung. Karung-karung tersebut disusun rapi sebagai tanggul. Daratan di Pantai Payung Sewu terkena abrasi, beberapa pohon cemara laut tumbang tergeruk ombak.
![]() |
Tumpukan pasir dalam karung menjadi tanggu |
Sesekali mereka istirahat, berbincang dengan rekannya sambil mngumpulkan tenaga. Aku mendekat, kami berbincang santai. Melihatku yang membawa kamera, beliau mengira aku berprofesi sebagai wartawan.
Aku tertawa, kubilang jika kamera ini hanya untuk teman liburan. Memotret pantai dan memostingan di media sosial. Karung-karung yang sudah berisi pasir ditata pada bagian yang terkena abrasi, tujuannya agar menjadi pelindung empasan ombak.
“Semua pantai dikasih tanggul karung, pak?”
“Enggak mas. Tergantung yang mengelola pantai. Kalau kami ini hanya sebatas pantai ini saja,” Jawab beliau sambil menunjuk patokan yang nantinya dipasangi tanggul pasir.
Sepanjang pesisir pantai di Batang memang menyambung, sehingga hanya pada pantai-pantai tertentu yang dipasangi tanggul agar tidak terkena abrasi lebih besar. Tak semua pantai terkena abrasi, hanya di tempat-tempat tertentu yang tampak rawan.
Air laut membui putih, embusan angin lumayan kencang. Gelombang silih berganti mengempas pada tanggul-tanggul dadakan. Sementara di pesisir yang agak landai, anak-anak kecil berlarian riang menikmati waktu siang hari.
![]() |
Pasir pantai cenderung berwarna gelap |
Gelombang tak langsung mengempas di daratan, gulungan ombak terpecah di tengah, lalu membentu gelombang-gelombang kecil yang sampai di pantai. Dari bibir pantai, aku melihat buih-buih gelombang memutih.
Air laut tidak tenang, lebih mirip dengan pantai di selatan, hanya saja ombaknya jauh lebih kecil. Selain itu, warna airnya juga keruh kecoklatan. Selaras dengan pasir yang ada ada di sini. Bibir pantai yang luas membuat anak-anak bebas berlarian.
Menjelang sore hari, pengunjung makin bertambah. Pesisir pantai yang awalnya sedikit lengang menjadi ramai. Kulihat sekumpulan anak-anak sedang berlarian bermain air. Ada juga yang asyik menggali pasir tak jauh dari bibir pantai.
Di sudut tertentu, tepat agak menjorok di laut. Terdapat pancang-pancang ranting yang ditancapkan. Bagian atasnya seperti bendera merah putih. Aku tidak tahu kegunaan pancang tersebut, apakah sebagai patok bendera atau sebagai batas terjauh wisatawan bermain air.
Meski gelombang tak besar, anak-anak di sini wajib dalam pantauan orang dewasa. Tentu peran para wisatawan harus paling utama, terlebih di pantai ini tidak ada Tim SAR. Orang tua masing-masing harus terus memantau anaknya yang sedang bermain air.
![]() |
Anak-anak riang bermain air laut |
Keseruan anak-anak yang bermain air terlihat kala pecahan gelombang datang. Mereka berlarian menyambut air yang tidak deras tersebut. Ada yang sengaja menendang agar terbentuk cipratan tinggi, ada pula yang sengaja menyiramkan air ke temannya.
Gelak tawa panjang terdengar, raut wajah gembira terlihat jelas. Seperti ini keseruan anak-anak kecil saat bermain air di pantai Payung Sewu Batang. Di akhir pekan, kunjungan wisatawan biasanya melonjak, berbeda dengan hari-hari biasanya.
Waktu sudah sore, pada akhirnya aku beserta rombongan harus balik Jogja. Sebelumnya, aku menyempatkan salat asyar di musola pantai Payung Sewu. Musolanya terletak tidak jauh dari tempat bilas badan. Oya, air yang digunakan untuk wudu rasanya asin.
Kami kembali melintasi jalur yang tadi dilewati. Kali ini sengaja ingin mencoba masuk jalan tol dari Batang ke Semarang. di ruas jalan tol, kami melintasi area PLTU Batang. Tempatnya memang dekat dari pantai yang tadi kami kunjungi.
Menjelang senja merangkak. Suasana jalan tol tak ramai. Kulirik belakang mobil, cahaya baskara merekah. Kutunggu momentum yang tepat untuk mengabadikan pemandangan indah dari dalam mobil. Berharap dapat menangkap gambar yang pas.
![]() |
Menatap senja di sudut Jalan Tol Batang - Semarang |
Berkali-kali aku mengambil gambar, tak semuanya berjalan mulus. Entahlah, memang butuh perjuangan mengambil gambar yang pas saat mobil melaju kencang, ditambah jalan agak bergoyang. Setidaknya, aku dapat mengabadikan walau menurutku kurang puas.
Tak ada cerita kuliner di Batang, berkunjung ke sini adalah rencana dadakan, dan kami harus langsung pulang. Tak masalah, setidaknya kami sudah mengunjung rumah kawan dan berlibur sebentar di salah satu pantainya. Di pikiranku masih terbayang, sepertinya menarik kalua ke sini lagi memotret pembuatan kapal. * Batang, 22 Agustus 2020.