Quantcast
Channel: Nasirullah Sitam
Viewing all articles
Browse latest Browse all 750

Merekam Ingatan di Museum Ullen Sentalu

$
0
0
Mengabadikan diri di Museum Ullen Sentalu
Mengabadikan diri di Museum Ullen Sentalu
Kamera kumatikan. Aku mengikuti rombongan menuju bangunan museum. Sedari awal memang tidak mengabadikan meski tempat ini masih diperbolehkan untuk memotret. Kawan rombongan malah sudah ada yang merekam. 

Tiga petugas keamanan duduk santai di bawah pohon. Tak jauh dari tempat duduk mereka, tulisan Museum Ullen Sentalu menyatu dengan tanaman bunga. Sebelumnya, teman rombongan sudah berfoto di depan menggunakan spanduk. 

Meniti anak tangga, menyusuri jalur menuju bagian ruang tunggu museum. Siang ini sudah ada beberapa wisatawan yang antre masuk. Berhubung kami satu rombongan, nantinya akan dipisahkan dengan wisatawan yang lainnya. Untuk sesaat kami istirahat sembari menunggu panggilan. 

Kami sampai di ruang tunggu. Ruangan ini luas dengan dinding kaca transparan. Plakat keterangan Museum Ullen Sentalu terpasang pada dinding yang berdekatan dengan pintu masuk. “Ndalem Kaswargan, Yogyakarta 04 November 1997.” Begitulah keterangannya. 
Petugas keamanan di luar museum
Petugas keamanan di luar museum
Petugas yang berada di meja resepsionis mendata rombongan kami. Beliau meminta pemandu untuk membagikan tiket. Kertas tiket ini bertuliskan Mataran Tour, terdapat pula nominal 40.000 rupiah tiap pengunjung dewasa. Tiket untuk wisatawan manca 100.000 rupiah. 

Pada ujung atas tiket tersemat kode batang. Jika kita pindai menggunakan fitur pada gawai, kode batang tersebut mengarahkan perambah pada website Ullen Sentalu. Kuambil satu tiket dan memotretnya berlatarkan plakat keterangan museum. 

Kursi panjang sudah diisi wisatawan yang tidak termasuk rombongan. Petugas saling berkomunikasi. Satu rombongan diarahkan untuk menjelajah, sebelumnya tiket disobek pada pintu masuk. Rombongan ini kumpulan para wisatawan yang disatukan oleh petugas. 

Patung di tengah ruang tunggu menarik perhatianku. Teman rombongan sudah merekam di area yang masih diperbolehkan menghidupkan kamera. Di pintu kecil terdapat imbauan jika kamera harus dimatikan. Aku sendiri menyiapkan gawai sebagai catatan. 
Tiket masuk museum Ullen Sentalu di tangan
Tiket masuk museum Ullen Sentalu di tangan
Lepas rombongan berjalan mengikuti pemandu, aku mendekati petugas di resepsionis. Kami sesaat berbincang. Informasi dari beliau, di hari kerja pengunjung museum berkisar 200 wisatawan. Pengunjung melonjak saat hari libur, bisa mencapai 1000 wisatawan. 

Para pengunjung masih didominasi wisatawan lokal. Menurutnya, wisatawan manca kurang lebih 10% yang berkunjung. Ullen Sentalu adalah museum yang berisikan budaya, wastra, dan kehidupan bangsawan Mataram. Tempat ini merupakan destinasi populer yang wajib dikunjungi. 

Museum Ullen Sentalu mempunyai sembilan pemandu. Mereka rata-rata menggunakan bahasa Indonesia. Ada juga beberapa pemandu yang bisa bahasa Inggris. Pada saat akhir pekan, pemandu bakal bertambah. Biasanya mencapai 14 orang yang bertugas. 

Perempuan berambut agak pendek mendekati kami. Beliau yang menjadi pemandu. Mbak Ida, begitulah beliau memperkenalkan diri. Sebelum menjelajahi tiap sudut museum, kami berbaris di pintu kaca. Tujuannya menuju halaman luas yang tampak dari dalam ruang tunggu. 
Relief pada halaman di Ullen Sentalu
Relief pada halaman di Ullen Sentalu
Mbak Ida menjelaskan, di sini tiap peserta masih diperbolehkan menghidupkan kamera. Tapi, ketika kami mulai berjalan, sudah ketentuan jika kamera apapun harus dimatikan. Aku sendiri menerangkan jika gawaiku ini kufungsikan sebagai catatan, dan tidak bakal memotret. 

Di halaman museum, Mbak Ida mulai bercerita terkait museum. Beliau juga mempromosikan akun media sosial serta website Ullen Sentalu. Cara penyampaiannya menyenangkan, intonasinya pas. Sesekali kencang, kadang juga lirih. Selaras dengan raut wajah saat beliau menceritakan sesuatu yang ‘wah’. 

Peserta rombongan diperbolehkan mengabadikan diri berlatarkan relief pada tembok. Aku hanya mengabadikan sekali, lalu mengarahkan mata lensa pada gapura. Pepohonan rindang membuat suasana di museum teduh. 

Usai berfoto, seluruh kamera dimatikan. Kami mengikuti Mbak Ida yang berjalan di depan. Rute yang diambil adalah gapura yang sempat kufoto. Aku terus mengikuti di barisan paling belakang. Melintasi jalan kecil, lantas masuk semacam lorong ruangan. 

Lorong yang kami lewati luasnya kurang dari 2 meter. Pun tidak tinggi. Hawa dingin terasa, kami terus berjalan menuju ruangan yang lebih luas. Mbak Ida memastikan rombongan sudah lengkap, beliau berdiri tepat di lukisan perempuan sedang menari. 
Suasana rindang di museum
Suasana rindang di museum
Ruangan ini luas. Jendela terbuka, sinar matahari masuk dari kaca transparan. Berbagai alat musik tertata rapi. Perlu diketahui, semua alat ini tidak diperkenankan disentuh. Sudah ada tulisan yang tertera. Sehingga kita harus mematuhi aturan tersebut. 

Kusapu pandangan seluruh penjuru ruangan. Otak ini hanya mampu merekam sedikit ingatan. Semoga tidak terlupakan. Mbak Ida antusias ketika beliau menceritakan sosok perempuan cantik yang sedang menari. 

“Ini adalah Gusti Nurul,” Ujar beliau sumringah. 

Dari awal sinilah cerita dimulai. Secara tidak langsung, semua museum ini berkaitan dengan Gusti Nurul. Tidak kuceritakan tentang beliau. Kalian bisa membaca di banyak literatur ataupun mengunjungi museum ini. Lagi-lagi, aku takzim mendengarkan tuturan Mbak Ida. 

Konon lukisan perempuan yang sedang menari ini adalah dokumentasi saat Gusti Nurul menari. Uniknya, beliau menari di Belanda. Sementara itu iringan dari Solo. Alunan gamelan dikirimkan melalui transmisi suara. Kala itu beliau diundang untuk pernikahan Putri Ratu Wilhemnina pada tahun 1937. 

Tuntas di ruangan pertama, kami terus diarahkan menyusuri ruangan yang lainnya. Tidak jauh dari ruangan pertama, terdapat patung Dewi Sri. Di seberangnya sedikit tertera lengkap silsilah Keraton Yogyakarta. Mbak Ida menerangkan silsilah tersebut. 

Tiap dinding di kedua sisi ada banyak koleksi foto sultan. Momen-momen penting terabadikan dalam gambar. Aku melihat satu-persatu. Ada banyak hal yang bisa diceritakan. Tiap foto ada keterangannya. Menarik untuk dipelajari. 

Perjalanan berlanjut. Ruangan selanjutnya koleksi busana. Ada banyak koleksi terpajang. Semuanya adalah busana asli. Ruangan ini suhunya harus tetap terjaga, tujuannya agar semua koleksi tetap aman dan tidak rusak. 

Aku teringat di salah satu ruangan yang lainnya. Di sana terdapat banyak semacam surat yang dipajang di tiap dinding, lengkap dengan foto. Tulisan tersebut menggunakan Bahasa Indonesia ataupun Bahasa Belanda. Selain itu juga dilengkapi dengan Bahasa Inggris serta Bahasa Jepang. 
Bagian pintu keluar pun terdapat relief yang miring
Bagian pintu keluar pun terdapat relief yang miring
Ada satu foto yang menarik perhatianku di ruangan ini. Gusti Nurul sedang berdiri di salah satu bangunan semacam rumah panggung. Aku bertanya ke Mbak Ida terkait gambar tersebut. Beliau menuturkan dokumentasi itu kala ada inagurasi di lapangan daerah tertentu. 

Pada akhirnya kami sampai di ruangan terakhir. Ini adalah ruangan khusus Gusti Nurul. Ruangan tersebut dipenuhi foto-foto Gusti Nurul dari kecil hingga terakhir. Begitu menawan paras Gusti Nurul, pantas saja IR. Soekarno pun sempat terpikat beliau. 

Selesai jelajah museum, kami disuguhi minuman tradisional. Ada juga kudapan tradisional yang disajikan. Rasanya jelajah museum ini cepat, padahal durasinya lebih dari 40 menit. Aku terus berusaha mengingat-ingat sembari mencatat di gawai. 

Kudapan sudah kami nikmati, rombongan menuju area luar ruangan. Di sini terdapat relief yang dipajang dengan posisi miring. Aku penasaran dengan komposisi pajangan yang nyeleneh tersebut. Mbak Ida menerangkan bahwa makna dari posisi miring itu karena prihatin orang sekarang kurang memperhatikan budaya Indonesia. 

Di sini, kami kembali berbincang. Rombongan sudah diperbolehkan menghidupkan kamera. Kami duduk di undakan kecil, membahas beberapa tema terkait jelajah museum. Mbak Ida menjawab berbagai pertanyaan yang dilontarkan. 
Memotret di area luar museum Ullen Sentalu
Memotret di area luar museum Ullen Sentalu
Ketika yang lain sibuk mendengarkan jawaban dari Mbak Ida, aku sendiri malah asyik memotret. Cermin-cermin besar di depan menarik perhatianku. Sengaja kuambil pantulan cahaya untuk mengabadikan diri. 

Sebelum berpamitan, kembali rombongan berfoto di pintu keluar. Sembari bersalaman, tak henti-hentinya Mbak Ida meminta tiap peserta rombongan untuk mengikuti Instagram Ullen Sentalu. Aku menyempatkan untuk bertanya terkait foto yang ada di salah satu ruangan. 

Rombongan kembali berlanjut. Kami berencana makan siang di salah satu rumah makan yang lokasinya sejalur pulang. Setelah itu, kami kembali mengopi di Sua Coffee, lanjut pulang ke rumah masing-masing. 

Bagiku, Ullen Sentalu adalah salah satu destinasi yang wajib kalian kunjungi kala berkunjung ke Yogyakarta. Di sini kita bisa belajar tentang sejarah, merangkai imajinasi mengikuti tuturan para pemandu. Semuanya terasa menyenangkan. *Museum Ullen Sentalu; Minggu 23 Februari 2020

Viewing all articles
Browse latest Browse all 750

Trending Articles