![]() |
Deretan gelas plastik bertuliskan Cupable Coffee |
Mendung menggelayut di angkasa. Mentari agak malu-malu menampakkan wujudnya. Aku bergegas mengayuh pedal sepeda menuju Pusat Rehabilitasi YAKKUM yang berada di Jalan Kaliurang KM 13,5. Jaraknya lumayan jauh dari pusat kota Jogja.
Jalan Kaliurang bagiku bukanlah rute baru. Sedari dulu, aku sering melintasi jalanan ini kala berkumpul di warung makan tempat para pesepeda. Biasanya aku ke tempat itu tiap akhir pekan. Sesampai di YAKKUM, tenda sudah terpasang, empat orang lelaki sibuk menata kursi.
Bergegas aku membantu, seingatku mereka yang menata kursi adalah Mas Arka, Pak Yuli, Mas Rohmat, dan satunya aku lupa namanya. Sembari mengangkat kursi untuk acara ngobrol santai, aku meminta izin nanti menggunakan kamar mandi untuk mengganti pakaian. Nantinya, aku mengikuti ngobrol santai berkaitan dengan Barista Inklusif.
*****
Cupable Coffee, kedai kopi ini berada satu gedung dengan YAKKUM. Kedai yang baru dibangun 1.5 tahun lalu cukup menjanjikan. Seiring menyesap kopi menjadi bagian dari gaya hidup, kafe ini cukup banyak yang datang, di antaranya para mahasiswa UII. Kedai ini pula tempat melatih delapan barista inklusif.
![]() |
Barista Inklusif meracik kopi di teras Cupable Coffe |
“Selain itu juga pengunjung YAKKUM sering pesan di sini mas,” Terang Mas Arka.
Mas Arka salah satu dari empat barista yang meracik kopi di Cupable Coffee. Beliau berbincang lumayan lama denganku. Aku juga sempat mengelilingi area dalam kedai. Tempatnya agak kecil, namun tetap asyik untuk nongkrong.
Waktu merangkat cepat, arloji di tangan menunjukkan pukul 08.30 WIB. Tiap orang sibuk menyiapkan perlengkapan untuk diskusi. Delapan banner dipajang lengkap dengan foto para barista inklusif. Para barista tersebut adalah Mas Eko, Mas Ade, Pak Yuli, Mas Rohmad, Mas Jefri, Mas Salman, Mbak Indah, dan Mbak Kuswinda.
Aku mendekati Mas Eko, salah satu barista inklusif yang memajang banner-nya sendiri. Sembari menata banner-nya, aku menyempatkan berbincang lebih dulu. Beliau menceritakan dari awal sampai akhirnya menjadi barista.
Berawal dari iseng, Mas Eko mulai mendalami kopi atas bantuan owner Cupable Coffee dan YAKKUM. Beliau bekerja sebagai resepsionis di Yayasan Rehabilitasi YAKKUM. Dimulai dari suka menyesap kopi, akhirnya menjadi peracik kopi.
![]() |
Mas Eko, salah satu barista inklusif memasang banner di dekat panggung |
Kesempatan awal meracik kopi dengan metode V60. Cukup canggung dan repot ketika harus beradaptasi dengan peralatan yang ada. Penuh ketekunan dan kegigihan, akhirnya beliau sekarang bisa lihai dalam meracik kopi. Ketika ikut pelatihan barista, beliau dimentori Mas Gilang.
“Saya pernah membuat latte, tapi jadinya malah terang bulan,” Ujar Mas Eko saat kegiatan ngobrol santai.
Menurutnya sebuah proses panjang baginya untuk membuktikan bahwa mereka (difabel) bisa melakukan hal-hal yang dianggap tidak bisa bagi manusia normal. Mas Eko beserta tujuh temannya lain membuktikan kalau tidak ada yang mustahil.
Harapan beliau ke depan agar ilmu yang didapatkan selama pelatihan bermanfaat. Jika diberi kesempatan, dia ingin mempraktekkan ilmunya di kedai lain, mempunyai kenalan, dan tentunya dapat bekerja sebagai barista.
“Sekarang saya bisa merasakan bagaimana aroma dari berbagai biji kopi,” Celetuknya sembari tersenyum.
Pengalaman serupa juga dituturkan barista inklusif lainnya. Seperti Pak Yuli, beliau mengenakan kaki palsu untuk berjalan. Sepanjang acara berlangsung, beliau aktiv menyajikan hasil racikan kopi teman barista lainnya ke meja.
“Pokoknya semangat mas,” Ujar beliau sumringah.
Di samping Pak Yuli, seorang pemuda menggunakan kursi roda fokus melihat teman yang meracik kopi. Dia tidak memegang peralatan barista, namun tetap berada di antara barista lain. Sesekali berbincang santai.
![]() |
Pak Yuli dan Mas Ade (kaos merah di atas kursi roda) antusias melihat kompetisi meracik kopi |
Mas Ade namanya, pemuda yang berasal dari Brebes ini menceritakan pengalaman kala menjadi barista. Kesulitan demi kesulitan mulai terkikis, sehingga dia bisa dengan cekatan menyajikan kopi.
“Paling kesulitan saya adalah tempatnya mas. Untuk muter-muter dan meja cenderung tinggi tidak ergonomis.”
Dibantu kursi roda, Mas Ade memang agak kesulitan dengan urusan tempat. Kali ini dia sudah bisa meracik kopi dengan tempat dan tinggi meja yang disesuaikan. Seperti halnya yang lainnya, Mas Ade mempunyai cita-cita bekerja di kedai kopi.
“Syukur-syukur kalau punya kedai sendiri di Jogja, mas.” Ucapnya dengan yakin.
*****
Menjelang pukul 10.00 WIB, kursi di depan panggung sudah ramai. Agenda ngobrol santai dimulai. Pemantik obrolan kali ini dipegang Mas Gilang dengan dengan tamu undangan Bernard Batubara dan Frischa Aswarini, ditemani Ranie Ayu Hapsari (Project Manager Program Peduli) dan Mas Eko (Barista Inklusif).
Bernard maupun Frischa merupakan dua sosok yang kegiatannya tidak jauh-jauh dengan kopi. Bernard yang dikenal penulis kali ini mulai menggeluti dunia kopi sebagai penyeduh rumahan, dan Frischa merupakan salah satu penulis ide film tentang kopi.
![]() |
Ngobrol santai tentang Barista Inklusif |
Pada postingan Instagramnya, Bernard mengatakan bahwa dia percaya kopi adalah sarana yang tepat untuk menciptakan inklusi sosial, sebab kopi tidak pernah mendiskriminasi. Kopi adalah simbol keberagaman, menyatukan banyak orang yang berbeda selera dan pemikiran.
Pun dengan Frischa, dengan penuh yakin dia berkata “Dari kopi, kita bisa menyuarakan hal-hal yang tersampingkan.”
Obrolan seru ini tak hanya menceritakan tentang karena kopi kita setara, namun juga mengenalkan apa itu Program Peduli. Program yang memfasilitasi para barista inklusif untuk belajar meracik kopi.
Selayang Pandang tentang Program Peduli
Tidak banyak informasi yang kudapatkan tentang Program Peduli. Ketika Ibu Ranie Ayu sedikit menceritakan tentang program ini, aku mencoba mengingat-ingat sedikit informasinya. Program Peduli mendapatkan dana dari Australia Goverment dengan tujuan memberdayakan para disabilitas.
Di YAKKUM, program ini sudah berjalan seperti adanya pemberdayaan menjahit maupun keterampilan lainnya. Rata-rata program tersebut yang minat orang tua. Ketika target utamanya adalah kawula muda, kopi menjadi pangsa pasarnya. Terlebih kopi digandrungi kawula muda.
Program Peduli fokus pada mereka yang disabilitas maupun minoritas. Program yang dilaksanakan adalah mencetak barista, pelatihan tersebut selama satu bulan di Cupable Coffee. Mencetak barista dari keterbatasan yang menurut orang lain mereka tidak bisa apa-apa. Delapan barista ini dilatih meracik kopi, menyajikan sambil mengirimkan pesan tersirat tentang inklusi sosial.
![]() |
Halaman depan website programpeduli.org |
Selain tehnik penyajian kopi, delapan barsita inklusif ini juga diberikan progam perencanaan bisnis. Perencanaan bisnis ini masing-masing barista harus sudah mempunyai rencana ke depan mau seperti apa. Tujuannya agar setelah pelatihan selesai, mereka sudah memiliki ide untuk melakukan hal yang lain.
Dari pihak Program Peduli sendiri mengajarkan mereka jika nantinya ingin membuka kedai kopi, mereka harus tahu alur mencari biji kopi dari mana. Atau ketika mereka berkecimpung di dunia pemasaran, mereka harus paham strategi promosinya seperti apa.
“Sedikit kedai kopi yang mempunyai fasilitas untuk disabilitas. Jarang ada yang peka untuk fasilitas tersebut. Padahal kita ingin ke tempat itu,” Tandas Ibu Ranie Ayu Hapsari setelah menceritakan pengalaman mengangkat kursi roda bersama-sama di salah satu kedai kopi.
*****
Gelaran yang sejatinya sampai pukul 14.00 WIB ini menarik perhatian banyak pengunjung. Teman-teman dari komunitas kopi maupun warga setempat. Silih berganti para barista meracik kopi di teras kedai. Bahkan, temanku; salah satu bloger juga sempat unjuk kebolehan membuat kopi.
Para barista inklusif bergantian menyeduh kopi. Mereka berbaur, berbincang, dan berkenalan dengan para pengunjung. Berawal dari biji kopi yang diracik barista, tiap pengunjung mendapatkan banyak hal.
![]() |
Seorang Barista menuangkan kopi pada pengunjung |
Puluhan gelas tertata rapi, tiap gelas dituang kopi. Aku berbaur dengan bloger lain saling menyesap kopi. Menikmati seteguk kopi dari racikan barsita inklusif. Pada gelas ini bertuliskan “Barista Inklusif; karena kopi kita setara.”
Diakhir acara, digelar Fun Battle meracik kopi. Semua barsita inklusi tampil melawan teman-teman dari komunitas kopi yang hadir. Meskipun ini hanya Fun Battle, tetap saja penilaiannya dilakukan oleh orang-orang yang berkecimpung di dunia kopi.
![]() |
Kompetisi meracik kopi di Cupable Coffee |
Rangkaian acara yang bagus, dan beruntung aku ada tempat ini. Mendengar cerita teman barista inklusi kala berjuang, melihat kelihaiannya saat meracik kopi, serta menikmati sesapan kopi yang disajikan. Dan tentunya, ikut mendoakan tiap harapannya agar tercapai.
Percayalah, momen-momen seperti ini yang diharapkan para Barista Inklusif. Mereka berjuang dengan hebat untuk membuktikan bahwa mereka mampu melakukan hal-hal yang dianggap mustahil sebagian orang. Secercah harapan itu mulai terlihat ketika para barista di Jogja menjadi mentor serta Program Peduli yang mendukung semuanya. *Yayasan Rehabilitasi YAKKUM Yogyakarta; Minggu, 29 Juli 2018.